POLITIK STIGMATISASI PADA PERJUANGAN RAKYAT PRIBUMI PAPUA BARAT

Oleh: Selpius A. Bobii *

Selpius Bobii (Dok. Jubi)
Selpius Bobii (Dok. Jubi)

“Kami heran bahwa Kapolda Papua baru menjabat langsung tuduh KNPB adalah teroris, nah ini bagian dari pengacau keamanan, ini sangat keterlaluan, komentar Socratez S. Yoman, Ketua Umum Persekutuan Gereja- Gereja Baptis Papua. (Sumber: Bintang Papua, Jumat, 25 Januari 2013, hal. 3).

Tanggapan tokoh Gereja Papua, Socratez S. Yoman, S.Th. M.A menyikapi tudingan teroris oleh Kapolda Papua kepada aktifis Papua (Komite Nasional Papua Barat) adalah merupakan suara gereja menolak tegas tudingan teroris oleh Negara Indonesia melalui Kapolda Papua. Tanggapan tokoh Gereja itu juga menyatakan kepada Negara Indonesia dan negara-negara di dunia serta Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa orang Papua bukan teroris, orang Papua bukan Makar, orang Papua bukan separatis, orang Papua bukan pengacau keamanan, orang Papua tidak merong-rong keutuhan NKRI.

Dalam artikel ini, saya menyoroti beberapa pertanyaan fundamental yaitu: 1). Mengapa Negara Indonesia menstigmatisasi perjuangan bangsa Papua dengan tudingan: separatis, makar, pengacau keamanan, teroris, dll?;
2). Mengapa orang Papua bukan teroris, orang Papua bukan Makar, orang Papua bukan separatis, orang Papua bukan pengacau keamanan, orang Papua tidak merong-rong keutuhan NKRI?
3). Bagaimana tanggapan masyarakat Internasional atas tudingan Pengacau Keamanan, Makar / Separatis, teroris, dll kepada orang asli Papua?
4). Apa dampak stigmatisasi Pengacau keamanan, makar / separatis, teroris oleh RI terhadap perjuangan rakyat bangsa Papua?
5). Bagaimana siasat menghadapi stigmatisasi terhadap orang Papua yang digencarkan oleh Negara Indonesia melalui sistemnya?

Kelima pertanyaan mendasar ini, saya uraikan satu persatu dalam artikel ini.

I. PEMBUNGKAMAN PERJUANGAN BANGSA PAPUA MELALUI STIGMATISASI.

Strategi dan taktik politik stigmatisasi yang digencarkan oleh Negara Indonesia melalui sistemnya terhadap aktifis Papua Merdeka adalah merupakan suatu langkah menutupi segala bentuk kejahatan kemanusiaan terhadap orang Papua dan sebagai langkah pembenaran untuk menumpas orang asli Papua yang berjuang untuk kedaulatan Papua Barat.

Ada tiga bentuk kejahatan kemanusiaan, yakni: Aneksasi kemerdekaan kedaulatan suatu bangsa; Kejahatan Perang, dan Pemusnahan etnis. Negara Indonesia telah dan sedang melakukan tiga kategori kejahatan kemanusiaan ini. Setelah Negara Indonesia berhasil menganeksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua melalui invasi politik dan militer yang dimulai dengan Maklumat Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI (Soekarno), 19 Desember 1961, Negara Indonesia masih terus menerus menerapkan operasi militer, baik secara terbuka dan terselubung (perang terbuka dan tertutup), yang berdampak pada pemusnahan etnis Papua secara pelan tapi pasti (slow motion genocide).

Salah satu stigmatisasi yang muncul pada akhir-akhir ini adalah tudingan teroris kepada para aktifis Papua Merdeka, khususnya kepada aktifis Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Berikut ini tingkatan stigmatisasi dari Negara Indonesia kepada orang asli Papua yang berjuang untuk berdaulat penuh, yaitu: pertama-tama RI menyebut Organisasi Papua Merdeka (OPM), Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) / Gerakan Pengacau Lingkungan (GPL), Separatis atau Makar, Orang Tak Kenal (OTK), Sipil bersenjata, dan Teroris.

Sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dilabelkan oleh Negara Indonesia kepada orang Papua yang mengambil sikap untuk berjuang kemerdekaan Papua Barat. Menurut tuan Forkorus Yaboisembut S.Pd orang asli Papua menerima sebutan OPM setelah mempertimbangkannya dan ternyata sebutan OPM itu tepat dan benar. Kini OPM telah menjadi sebuah organisasi perlawanan yang menyatu dalam wadah TPN PB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) yang struktur dan manajemen telah ada, walaupun belum ada komando terpusat.

Sebutan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) / GPL adalah sebutan kedua yang dimunculkan Negara Indonesia. Dengan adanya sebutan ini membenarkan tindakan penumpasan (operasi militer)terhadap orang asli Papua yang berjuang untuk berdaulat penuh. Juga melalui berbagai forum resmi dan non resmi Republik Indonesia (RI) meyakinkan kepada masyarakat Internasional bahwa di Papua ada Gerakan Pengacau Keamanan. Dengan demikian meredam dukungan masyarakat Internasional soal status politik bangsa Papua.

Stigmatisasi berikutnya adalah Makar atau Separatis kepada aktifis Papua Merdeka oleh Negara Indonesia. Stigmatisasi itu dilegalisasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yakni pasal 106 – 110 KUHP. Produk Hukum yang ditinggalkan oleh Kerajaan Belanda ini, dalam penerapannya telah memakan korban nyawa rakyat sipil dan materi dalam jumlah sangat banyak.

Pasal-pasal makar dalam KUHP ini sebagai upaya pembenaran dan melegalkan operasi-operasi militer secara terbuka dan tertutup untuk menumpas gerakan pembebasan nasional Papua Barat, penangkapan dan pemenjaraan sewenang-wenang oleh RI. Pengorbanan moril dan materil yang dialami oleh rakyat bangsa Papua tidak dapat dibayangkan dan tak dapat dilukiskan dalam tulisan ini. Dan lebih mengerikan adalah pengorbanan nyawa rakyat bangsa Papua dalam jumlah banyak akibat operasi militer terbuka dan tertutup, serta operasi sipil. Singkatnya, stigmatisasi makar atau separatis yang dilegalkan dalam KUHP adalah sebagai tameng untuk melindungi diri dari berbagai kecaman dari masyarakat Internasional atas tindakan kejahatan kemanusiaan kepada orang asli Papua hanya demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Orang Tak Kenal (OTK) adalah istilah yang dimunculkan aparat polisi dan militer Indonesia untuk menunjuk pelaku penembakan yang tidak diketahui identitasnya. Menurut Agus Sananay Kraar (Tahanan Politik Papua di penjara Abepura) bahwa istilah OTK ini melahirkan multi tafsir, apakah dilakukan oleh pihak Papua atau pihak Indonesia; dan dapat mengarah pada kambing hitam kepada orang Papua, saling tuduh menuduh pun terjadi. Selain itu, ada istilah lain yang digunakan adalah kelompok sipil bersenjata dan juga manusia bertopeng.

Stigmatisasi kepada aktifis Papua Merdeka yang paling terakhir adalah tudingan Teroris. Tudingan ini bukan tiba waktu tiba akal, tetapi ini sebuah skenario besar Negara Indonesia yang sudah lama dirancang untuk menterorisasi perjuangan bangsa Papua dalam upaya membunuh nasionalisme Papua Merdeka, dengan demikian memperpanjang penindasan dan gerakan aktifis Papua Merdeka menjadi musuh dunia. Upaya terorisasi perjuangan bangsa Papua oleh Negara Indonesia melalui sistemnya adalah langkah Indonesia untuk meningkatkan status operasi-operasi militer, baik secara terbuka dan tertutup karena upaya-upaya lain yang selama ini diterapkan oleh RI di Papua Barat tidak membuahkan hasil yang signifikan.

Berbagai rekayasa dilakukan Negara Indonesia untuk membuat mosi tidak percaya kepada masyarakat Internasional. Dengan jalan ini membunuh dukungan masyarakat Internasional terhadap perjuangan bangsa Papua. Berikut ini saya mengutip pernyataan Ed McWilliams: Tuduhan tindakan-tindakan kriminal oleh beberapa anggota KNPB tidak dibenarkan dengan kuat dan biasanya RI berupaya untuk menjelekkan nama organisasinya. KNPB dan banyak organisasi lain di Papua maupun setiap pribadi memang sedang mendorong untuk hak orang Papua diakui, khususnya hak menentukan nasib sendiri yang sudah sangat lama tidak diakui. Tetapi semua usaha ini secara umum dilakukan tanpa kekerasaan, demikian komentarnya. Artikel tuan Ed McWilliams lengkapnya silahkan Anda kunjungi: http://www.westpapuamedia.com artikelnya dinaikan pada tanggal 2 Februari 2013.

II. ORANG PAPUA BUKAN MAKAR, BUKAN TERORIS, DLL.

Akar masalah Papua Barat bukan masalah makan minum artinya bukan masalah kejahteraan, bukan masalah pendidikan, bukan juga masalah kesehatan, tetapi akar masalah Papua adalah hak kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang telah dianeksasi ke dalam NKRI secara sepihak melalui invasi politik dan militer atas dukungan penuh Amerika Serikat. Rakyat bangsa Papua berjuang hanya untuk memulihkan kembali kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang dianeksasi ke dalam NKRI dengan sewenang-wenang.

Fakta membuktikan bahwa justru negara Indonesia dapat dikategorikan ke dalam pengacau keamanan (pengacau lingkungan), makar/separatis, mendirikan negara dalam negara, merong-rong kedaulatan Papua Barat dan sarang teroris. Berikut ini penjelasan ku untuk membuktikan pernyataan di atas:

1). Siapa yang sebenarnya pengacau keamanan? Justru yang mengacaukan keamanan di Tanah Papua adalah negara Indonesia yang telah menganeksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI melalui Maklumat Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI, Soekarno, pada tanggal 19 Desember 1961, yang selanjutnya diwujudkan melalui invasi militer dan politik, yang berpuncak pada Penentuan Pendapat Rakyat Papua pada tahun 1969 yang kita sebut Cacat Hukum dan Moral. Dalam proses aneksasi itu didukung penuh oleh Amerika Serikat hanya untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik semata. Justru negara Indonesia melalui mesin-mesinnya mengacaukan keamanan di Tanah Papua untuk mempertahankan Tanah Papua dalam bingkai NKRI yang telah dianeksasi dengan cara-cara kotor dan tidak beradab.

2). Siapa pembuat makar sesungguhnya? Justru Negara Indonesia yang melakukan makar atas kemerdekaan kedaulatan bangsa dan Negara Papua. Sejak tahun 1962 Negara Indonesia meningkatkan Invasi politik dan militer untuk mewujudkan Maklumat Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI. Aneksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI adalah tindakan makar yang dilakukan oleh Negara Indonesia. Karena itu tudingan makar dari RI kepada orang Papua yang berjuang untuk pembebasan bangsa Papua tidak dapat dibenarkan.

3). Siapa sebenarnya yang mendirikan negara dalam negara? Yang mendirikan negara dalam negara adalah justru Negara Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dalam maklumat Tri Komando Rakyat oleh Prisiden RI, Soekarno dalam point pertama menyatakan: Bubarkan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda. Dalam point ini mengandung tiga hal penting, yakni: a). Negara Indonesia telah mengakui adanya negara Papua Barat; b). Tapi Negara Papua Barat itu dihina sebagai negara boneka; c). Negara Papua Barat itu harus dibubarkan. Camkanlah bahwa pengakuan presiden Indonesia adanya negara Papua dalam maklumat TRIKORA itu sah dan mengikat. Dan di sisi lain maklumat TRIKORA itu adalah bukti outentik adanya aneksasi Negara dan Bangsa Papua ke dalam NKRI.

4). Siapa sebenarnya yang merong-rong kedaulatan? Tudingan merongrong kedaulatan NKRI oleh Negara Indonesia sangat tidak tepat ditujukan kepada rakyat bangsa Papua yang sudah dan sedang serta akan berjuang untuk memulihkan hak-hak dasarnya, terutama hak fundamental yakni hak kesulungan rakyat bangsa Papua (kemerdekaan kedaulatan) yang telah dianeksasi ke dalam NKRI dengan sewenang-wenang. Jusrtu negara Indonesia telah berhasil merong-rong kedaulatan Papua Barat dan berhasil aneksasi bangsa Papua Barat ke dalam NKRI. Camkanlah bahwa orang asli Papua berjuang bukan untuk menganeksasi atau mencaplok tanah Jawa, Tanah Sulawesi, Tanah Madura, dan lain lain, tetapi bangsa Papua berjuang untuk tanah leluhurnya berdaulat penuh (merdeka) sama seperti bangsa-bangsa merdeka lain di dunia. Jadi orang asli Papua tidak sama sekali merong-rong kedaulatan Tanah-Tanah lain di Indonesia. Orang asli Papua berjuang untuk hak-hak dasarnya diakui dan dikembalikan, seperti hak kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua, yang dijamin oleh konstitusi NKRI pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pragraf pertama dan hukum Internasional.

5). Siapa penganut teroris sesungguhnya? Istilah teroris tidak ada dalam perjalanan hidup bangsa Papua. Nenek moyong bangsa Papua tidak pernah mempraktekkan dan mengajarkan kepada anak cucuhnya untuk meneror disertai dengan pembunuhan warga sipil dengan sewenang-wenang. Walaupun ada perang suku di Papua, tetapi kedua belah pihak tunduk dan taat pada tata cara perang suku yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Bukan perang dengan sewenang-wenang seperti yang dilakukan oleh militer dan polisi Indonesia di mana dalam operasi militer memperkosa, mencuri, membakar rumah-rumah warga sipil, mengusir warga sipil dari perkampungan, membunuh anak-anak dan istri dari pihak lawan dengan brutal; serta mengadu domba suku-suku setempat untuk saling membunuh dan hal itu digunakan oleh Negara Indonesia sebagai bahan kampanye bahwa itu adalah perang suku.

Dalam perjuangan bangsa Papua pun, para aktifis Papua Merdeka tidak pernah menerapkan tindakan teror kepada warga sipil. Yang ada adalah gerakan perjuangan pembebasan nasional Papua dengan menempuh cara-cara damai dan tentang hal ini ditetapkan dalam Kongres Bangsa Papua pada tahun 2000. Aktifis Papua merdeka tidak pernah menggunakan bom untuk menarik simpati internasional atau menakuti warga sipil.

Aksi perlawanan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) dirimba raya Papua yang seringkali kontak senjata dengan Polisi dan militer Indonesia adalah hal yang biasa dalam perjuangan pembebasan nasional di mana pun di dunia yang pernah berjuang untuk merdeka. Dengan adanya kontak senjata itu, TPN PB menunjukkan eksistensi nasionalisme pembebasan bangsa Papua dan menolak pendudukan pemerintahan Indonesia di Tanah Papua. Sama seperti bangsa Indonesia memerdekakan dirinya dari penjajahan Belanda dengan perlawanan senjata dari Tentara Indonesia, TPN PB sebagai sayap militer melaksanakan fungsinya. Sasaran TPN PB adalah kepada Polisi dan TNI, bukan kepada warga sipil. Wacana selama ini bahwa TPN PB menembak warga sipil adalah tidak benar dan itu hanyalah rekayasa aparat Indonesia untuk membangun mosi tidak percaya kepada masyarakat Internasional. Kalaupun ada, itu dilakukan oleh oknum (pribadi) mungkin karena alasan atau kepentingan tertentu atas permainan pihak tertentu, bukan perintah pimpinan TPN PB. Karena itu sangat tidak masuk akal dan tidak dapat dipertanggung jawabkan jika dari pihak Negara Indonesia dapat beranggapan bahwa TPN PB atau aktifis Papua Merdeka itu identik dengan teroris.

Camkanlah bahwa hukum anti terorisme itu baru saja dilahirkan bersamaan dengan ancaman-ancaman terhadap fasilitas umum dan menakuti warga sipil, seperti pemboman terhadap gedung raksasa di Amerika Serikat yang disebut kantor pusat perekonomian dunia (WTC). Pasca pemboman gedung pencakar langit itu, Amerika Serikat menyerukan perang terhadap terorisme. Disaat yang sama pula Indonesia mendevinisikan terorisme sesuai kehendaknya hanya sebagai tameng untuk kepentingan menjaga teritorial NKRI dan ancaman keamanan serta ketertibaan umum.

Berikut ini saya mengutip devinisi teroris menurut satuan Densus 88 yang dimuat dalam pidato ibu Sidney Jones; ada dua macam kategori terorisme, yaitu pertama, orang Islam radikal; kedua, orang separatis / nasionalis etno (www.crisisgroup.org/en/publication-type/speeches/2013/jones-papuan-separatists.aspx).

Devinisi teroris kategori kedua ini sangat aneh dan memalukan. Dengan adanya devinisi kategori ke dua ini dapat melegitimasi Densus 88 dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sedang berusaha untuk menumpas aktifis Papua merdeka yang sudah berjuang lama sebelum devinisi teroris itu dilahirkan. Ironis memang, tapi nyata bahwa langkah ini ditempuh RI setelah metode-metode lain yang diterapkan selama ini gagal menumpas gerakan pembebasan bangsa Papua. Tetapi apakah upaya RI untuk menerapkan hukum anti terorisme di Papua akan berhasil?
Sesungguhnya Negara Indonesia mengintropeksi diri sebelum menerapkan hukum anti terorisme di Papua. Jika itu diterapkan di Papua, maka tindakan itu hanyalah menuai kritik dan memalukan nama Indonesia dikancah masyarakat Internasional. Mengapa saya katakan demikian? Masyarakat internasional telah tahu dan paham bahwa perjuangan bangsa Papua itu bukan mengacaukan keamanan, bukan makar/ separatis, bukan teroris yang menakuti warga sipil, tetapi perjuangan bangsa Papua adalah untuk memulihkan kembali kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang dianeksasi secara sepihak ke dalam NKRI pada tahun 1960 – an.

Masyarakat Internasional sudah tahu bahwa sarang teroris itu hanya ada di wilayah-wilayah Indonesia tertentu dibagian barat dan tengah yang berpenganut Islam Radikal yakni jihad.

III. TANGGAPAN MASYARAKAT INTERNASIONAL ATAS STIGMATISASI.

Taktik politik stigmatisasi Negara Indonesia kepada aktifis Papua merdeka melahirkan berbagai kontro versi dikalangan masyarakat Internasional. Secara umum ada tiga sikap muncul menyikapi stigmatisasi itu, yakni: ada orang yang pro stigmatisasi artinya mendukung stigmatisasi RI, dan ada juga orang yang kontra stigmatisasi artinya menolak stigmatisasi RI. Dan ada orang yang mengambil sikap netral (tidak juga pro, tidak juga kontra). Selain itu ada pula masyarakat internasional yang sangat tidak tahu (buta) dengan penindasan yang terjadi di Tanah Papua oleh Negara Indonesia.

Mengambil sikap pro dan kontra serta sikap netral untuk menyikapi suatu hal dalam dinamika kehidupan umat manusia di dunia adalah wajar dan biasa. Masing-masing sikap dan tindakan: pro, kontra, dan netral yang ditampilkan itu tentu memiliki latar-belakang pemahaman atas masalah dan gerakan perjuangan bangsa Papua yang berbeda-beda.

Ada orang yang mendukung stigmatisasi kepada aktifis Papua merdeka karena memang watak dan karakternya anti penegakkan kebenaran, keadilan, kejujuran, kedamaian, kebebasan, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. Ada pula orang mendukung stigmatisasi RI kepada aktifis Papua merdeka, walaupun ia tidak memahami baik latar belakang berbagai masalah di Tanah Papua, tetapi karena dipengaruhi oleh Negara Indonesia melalui berbagai kampanye dan lobi dalam forum-forum resmi dan non resmi di negara-negara dan dalam forum PBB.

Mereka yang berhasil dipengaruhi oleh RI, tentu memainkan peran ganda, di lain sisi mereka mempengaruhi masyarakat dan negara asalnya untuk tidak mendukung perjuangan penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua dan lain sisi mereka mempengaruhi masyarakat Internasional di negara-negara di dunia melalui jaringan kerja atau media cetak atau elektonik untuk tidak mendukung perjuangan bangsa Papua untuk berdaulat penuh. Ada pula pendukung stigmatisasi tertentu memberikan dukungan penuh kepada Negara Indonesia untuk menumpas gerakan pembebasan Nasional Papua Barat.

Bagi masyarakat Intenasional tertentu yang mendukung stigmatisasi kepada aktifis Papua merdeka oleh Negara Indonesia yang dilegalkan melalui produk hukum Indonesia, mereka itu secara sadar atau tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung telah mendukung penuh upaya sistematis dan terencana yang dipraktekkan oleh Indonesia untuk memarginalisasi, mendiskriminasi, membuat ketidak-adilan, membuat orang Papua menjadi minoritas di Tanah Papua, dan etnis Papua menjadi punah secara perlahan tetapi pasti (slow motion genocide).

Sedangkan bagi masyarakat Internasional yang kontra stigmatisasi (menolak stigmatisasi) kepada para aktifis Papua merdeka adalah mereka yang memahami baik tentang akar permasalahan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat pribumi bangsa Papua serta memahami baik tentang nilai-nilai universal dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB serta menegakkannya. Mereka bukan hanya menolak stigmatisasi tanpa tindakan, tetapi diantara mereka, ada pula yang mengorbankan tenaga, waktu, moril dan materilnya untuk mendukung perjuangan rakyat bangsa Papua. Mereka ini masuk dalam kategori sayap keempat, yakni sayap simpatisan. Mereka memperkuat tiga sayap perjuangan Papua, yakni sayap sipil, militer dan diplomat.

Para simpatisan melakukan berbagai bentuk aktifitas untuk menaikan publikasi internasional dan mendesak pemerintahan asalnya serta PBB, juga Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah kongkrit guna menyelesaikan masalah-masalah di Papua Barat. Keterpanggilan mereka dalam mendukung perjuangan bangsa Papua adalah murni keterpanggilan kemanusiaan. Tidak ada kepentingan lain, kecuali kepentingan untuk menyelamatkan rakyat bangsa Papua dari diskriminasi, marginalisasi, ketidak-adilan, minoritas dan kepunahan etnis Papua secara perlahan tetapi pasti. Mereka bekerja tanpa pamrih, bekerja tanpa upah. Satu hal yang tidak dapat diambil dari mereka yang menaruh hati bagi penderitaan rakyat pribumi Papua adalah melalui sikap dan tindakan solidaritas itu, mereka menaburkan benih-benih kebaikan dalam kebun kehidupannya masing-masing.

Sementara itu ada pula masyarakat Internasional yang memilih sikap netral. Sikap itu diambil karena ada beberapa pertimbangan, antara lain: 1) Mungkin mereka tidak mau ambil resiko karena setiap sikap pro atau kontra yang diambil tentu ada pengorbanan (pengorbanan berupa materil maupun moril); 2) Mungkin tidak mau ambil pusing karena tidak simpati dengan penindasan yang terjadi di Tanah Papua; 3) mungkin juga tidak mau hubungan kerja sama antara mereka dan RI tidak terganggu, artinya lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dan politik mereka, ketimbang mendukung gerakan Papua yang tidak memberi manfaat secara langsung dalam kehidupan mereka; 4) mungkin juga karena ada alasan lain.

Masyarakat Internasional yang tergolong dalam kategori keempat yang tidak tahu tentang masalah darurat kemanusiaan terselubung di Tanah Papua itu tentu terjadi karena mereka tidak mengikuti dinamika kehidupan masyarakat global melalui media cetak maupun elektonik. Dan ini tentu dilatar belakangi oleh beberapa faktor, antara lain: 1) mungkin karena segala waktu difokuskan pada pekerjaan dan rutinitas harian mereka; 2) Mungkin tidak tersedianya sarana komunikasi, media cetak dan elektronik; 3) mungkin karena ada alasan lain, seperti lanjut usia, cacat fisik, dan lain sebagainya.

Berikut ini saya menampilkan beragam tanggapan masyarakat internasional terhadap stigmatisasi kepada aktifis Papua merdeka oleh Negara Indonesia.

Stigmatisasi: makar, separatis, teroris, dan sebagainya yang telah dilegalisasi dalam suatu produk hukum Indonesia telah menuai kontro versi. Masyarakat Internasional yang kontra stigmatisasi, baik secara individu atau lembaga, seperti Amnesti Internasional, ETAN, HRW, Group-group pendukung di dunia, dan Dewan HAM PBB telah berkali-kali mengecam Pemerintah Indonesia untuk menghentikan stigmatisasi makar, separatis, teroris dll, menghentikan kekerasan dan meminta pemerintah Indonesia menyelesaikan masalah-masalah Papua dengan demokratis dan bermartabat.

Salah satu kampanye yang menguat di masyarakat Internasional adalah terkait penerapan hukum makar di Indonesia. Mereka medesak Negara Indonesia segera mencabut hukum tertentu seperti hukum makar yang melegalkan tindakan sewenang-wenang oleh aparat keamanan dan militer Indonesia terhadap rakyat sipil karena sikap dan tindakan RI itu: 1) Mengabaikan nilai-nilai universal yang dijunjung tinggi oleh umat manusia di dunia, seperti: demokrasi, kebenaran, keadilan, kejujuran, kedamaian, Hak Asasi Manusia dan kebebasan; 2) Melanggar prinsip-prinsip Dasar Deklrasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB dan kovenan-kovenan Internasional lainnya, seperti Deklrasi Hak-Hak Dasar Masyarakat Pribumi, Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik; dan Kovenan Internasional tentang hak-hak sosial budaya, ekonomi dan politik.

Salah satu kasus tuduhan makar yang dijerat kepada tuan Filep J. S. Karma di mana beliau dipenjara selama 15 tahun menjadi kasus yang sangat diseriusi oleh masyarakat solidaritas Internasional. Para simpatisan melalui beberapa pengacara hukum Internasional membawa kasus tuan Filep ke arbitrasi Internasional di PBB. Sesuai keterangan dari tuan Filep bahwa gugatan ke arbitrasi internasional itu dimenangkan oleh Filep pada tahun 2011 dengan keputusan: Penahanan Filep J. S. Karma oleh Negara Indonesia adalah penahanan sewenang-wenang (penahanan illegal) maka Pemerintah Indonesia harus segera bebaskan tanpa syarat. Namun, sampai saat ini keputusan itu tidak dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Tuan Filep masih di dalam penjara Abepura.

Selain itu salah satu Pidato yang menuai kontro versi adalah: Separatisme Papua vs Teroris Jihad: Dilema-Dilema Kebijakan Indonesia. Pidato ini disampaikan oleh Ibu Sidney Jones dalam program Kebijakan Internasional di Universitas Stanford Amerika Serikat pada tanggal 05/12/2012 dan diperbaiki pada 22/01/2013 serta dipublikasikan lewat internet: http://www.crisisgroup.org/en/publication-type/speeches/2013/jones-papuan-separatists.aspx

Dalam pidato ibu Jones itu membandingkan dua gerakan di Indonesia: pertama gerakan Papua, yang beliau sebut: Separatis Papua; dan kedua, gerakan jihad teroris. Jones mengatakan: kedua gerakan yakni Jihad teroris dan gerakan orang Papua yang sedang berjuang untuk merdeka membuat tindakan jahat yang mirip, walaupun mereka selalu dituduh dengan pandapat berbeda. Dalam pidato itu ia berusaha menggali informasi dari berbagai sumber untuk berusaha menyamakan aktifitas Pejuang Papua ke dalam ranah teroris.

Berikut ini kutipan pidato dari ibu Jones: Setahu saya, hingga sekarang belum ada upaya sistemnya untuk mempromosikan kelepasan dari ikatan kekerasaan di Papua, walaupun mungkin KAPOLDA akan baru memulai suatu program seperti itu nanti.

Pernyataan ibu Jones di atas, secara terselubung beliau mendukung upaya tudingan teroris yang diungkapkan oleh Kapolda baru, Tito Karniavan kepada aktifis KNPB. Sebaiknya Ibu Jones tidak secara langsung menuduh gerakan Papua semirip teroris.

Ibu Jones tidak tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan kekerasan di Tanah Papua. Berikut ini tanggapan Ed McWilliams: Khususnya di Papua Barat di mana rivalitas polisi militer tentang akses pada sumber alam dan pemerasan sangat terkenal. Sebaiknya Jones tahu pula bahwa militer, polisi dan aparat-aparat inteligen Indonesia sudah lama sekali berperan sebagai pelaku yang menimbulkan dan merekayasa tindakan kekerasaan untuk mencapai tujuan-tujuan terselubung, demikian komentarnya.

Pernyataan ibu Jones seolah-olah pihak TNI dan POLRI tidak melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap orang asli Papua, padahal justru TNI dan POLRI menjadi dalang dan pemicu kekerasan yang berkepanjangan di Tanah Papua hanya demi mencapai kepentingan politik dan ekonomi semata. Untuk mencapai kepentingan-kepentingan itu, berbagai skenario secara teratur, rapih dan sistematis dimainkan oleh kaki tangan RI di Tanah Papua, seperti yang terjadi dalam demonstrasi damai pada tanggal 16 Maret 2006 di Abepura yang berakhir bentrok dengan aparat polisi.

Kasus ini murni didalangi dan dimainkan oleh aparat polisi dan intelijen Indonesia bekerja sama dengan pihak tertentu yang menjadi mitra kerja mereka. Di pihak polisi kasus ini mengakibatkan tiga brimob dan satu militer TNI angkatan udara tewas serta beberapa polisi mengalami luka berat dan ringan. Dan di pihak warga sipil, beberapa orang mengalami luka tembak, selanjutnya polisi/brimob menggelar penyisiran brutal di Abepura dan sekitarnya. Akibat penyisiran membabi buta oleh polisi itu mengalami: pengrusakan fasilitas dibeberapa asrama mahasiswa, teror intimidasi terhadap warga sipil, penangkapan sewenang-wenang, disertai penyiksaan brutal akibatnya banyak orang mengalami luka berat dan ringan.

Tragedi kelabu 16 Maret 2006 itu adalah skenario tingkat tinggi yang dikemas secara teratur dan rapih oleh pihak aparat dan intelijen Indonesia hanya untuk mencapai empat kepentingan, yakni: 1) Untuk meredam demonstrasi damai yang meluas dan menggema di negara-negara dunia dengan tuntutan sentral: tutup PT Freeport Indonesia di Timika- Papua, dan AS, RI dan Papua mengadakan dialog atau perundingan; 2) Bagi pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung untuk meredam demonstrasi itu mendapatkan imbalan atau balas jasa, antara lain berupa uang; 3) Untuk menaikan pangkat dan jabatan bagi aparat Indonesia yang terlibat dalam meredam demonstrasi damai yang meluas dan menggema itu; 4) Untuk membangun mosi tidak percaya dan mendegragasikan perjuangan pembebasan bangsa Papua.

Pasca tragedi itu, untuk mengelabui publik Internasional, aparat polisi dengan sewenang-wenang menangkap seratus lebih orang Papua yang mayoritasnya adalah mahasiswa. Dan hanya 24 orang saja dipenjara di Abepura dengan hukuman berat paling tinggi 15 tahun. Mereka itu sebenarnya bukan pelaku pembunuhan brimob dan militer dalam tragedi 16 Maret 2006 itu. Tetapi demi melindungi dan menyembunyikan permainan aparat Indonesia, 24 orang itu divonis bersalah dan dipenjara.

Jones sebagai senior aktifis HAM sudah tahu bahwa selama ini Negara Indonesia tidak memberikan akses bagi wartawan asing dan pekerja kemanusiaan asing masuk ke Papua Barat untuk melihat dan mendengar langsung penderitaan dan harapan hidup orang asli Papua. Ibu Jones mestinya bertanya: Kenapa tidak memberikan akses bagi wartawan asing dan pekerja kemanusiaan asing masuk ke Papua Barat, seperti tidak memberi ijin bagi pelapor khusus PBB yang membidangi kebebasan berekspresi untuk datang ke Papua Barat dan Ambon pada bulan Januari 2013? Jawabannya: Negara Indonesia takut terbongkar segala bentuk penindasan terhadap orang asli Papua dan orang Ambon-Maluku.

Nampaknya ibu Jones belum memahami baik tentang latar belakang sejarah bangsa Papua yakni distorsi sejarah yang menjadi akar permasalahan di Papua Barat. Ibu Jones juga belum melihat secara langsung bagaimana orang Papua hidup dalam tekanan, intimidasi dan teror dari TNI dan POLRI, ia pun belum melihat secara langsung bagaimana orang asli Papua semakin dimarginalisasi, semakin didiskriminasi, menjadi minoritas, mengalami ketidak-adilan, dibantai oleh TNI dan POLRI melalui operasi militer terbuka maupun tertutup; akibat dari penindasan RI dan para sekutunya itu, orang asli Papua saat ini sedang menuju kepunahan etnis secara perlahan, tetapi pasti. Karena ibu Jones belum melihat langsung dan belum mengalami betapa pahitnya penindasan RI kepada orang asli Papua, maka itu dalam pidatonya ia berusaha memojokkan perjuangan bangsa Papua untuk penentuan nasib sendiri dan berusaha menyamakan gerakan pembebasan bangsa Papua dengan gerakan jihad teroris di Indonesia.

Dalam pidatonya, ibu Jones tidak mengangkat segala bentuk pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara Indonesia kepada rakyat pribumi Papua sejak tahun 1962 sampai saat ini. Dari isi pidatonya, kami tahu bahwa ibu Jones berusaha menyembunyikan segala bentuk penindasan RI dan berusaha membangun mosi tidak percaya terhadap perjuangan rakyat bangsa Papua. Ibu Jones sebagai senior dalam bidang HAM semestinya dengan jujur mengungkapkan fakta-fakta penindasan dari Negara Indonesia dan para sekutunya yang dialami oleh orang asli Papua. Dengan demikian saya menilai bahwa dalam pidato itu ibu Jones memposisikan diri bukan sebagai aktifis HAM, bukan juga sebagai ilmuwan, tetapi memposisikan diri sebagai mitra kerja dari Negara Indonesia dan secara tidak langsung ibu Jones mendukung segala bentuk penindasan RI kepada rakyat pribumi Papua Barat.

Pidato yang dibuat Jones ini tergolong seruan atau memotifasi kepada Negara Indonesia untuk meningkatkan penumpasan aktifis Papua merdeka, yaitu dari penerapan hukum makar /separatis ditingkatkan ke penerapan hukum anti terorisme, dan dengan demikian membunuh penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua. Pidato itu ditanggapi juga oleh Ed McWilliams, berikut ini kutipan tanggapannya: Seruan Jones untuk Indonesia mendefinisikan seperatisme sebagai terorisme akan mengeraskan usaha menargetkan suara para aktifis/kelompok yang menyampaikan dengan damai tidak disetujui dan sekaligus meningkatkan intimidasi terhadap orang Papua secara umum, demikian komentarnya.

Dalam pidato itu ada sisi lain yang penting dihargai. Saya selaku tahanan politik Papua yang saat ini berada dalam Penjara Abepura, saya memberikan apresiasi kepada ibu Jones karena melalui pidato itu memberikan peringatan dini kepada para aktifis Papua Merdeka untuk menghindari skenario besar secara terselubung yang didorong oleh RI untuk menumpas gerakan pembebasan Papua Barat dengan meningkatkan dari status separatis ke status teroris. Selain itu, di sisi lain pidato ibu Jones juga memberikan masukan bagi Indonesia untuk tidak menggunakan hukum anti terorisme. Berikut ini komentar ibu Jones: Salah satu solusinya adalah untuk tidak menerapkan hukum anti-terorisme di Papua, dan juga untuk berhenti menggunakan hukum itu terhadap para jihad yang membuat kejahatan yang pada pokoknya tidak merupakan tindakan dengan sengaja yang bertujuan menciptakan ketakutan, yaitu berbagai tindakan yang bisa dihukum dengan menerapkan hukum lain termasuk kode hukum kriminal untuk kejahatanseperti pembunuhan, perampokan dan sergapan, demikian pernyataannya.

IV. DAMPAK STIGMATISASI YANG DILEGALKAN DALAM HUKUM RI.

Berbagai stigmatisasi oleh RI kepada aktifis Papua merdeka yang dilegalkan dalam produk hukum Indonesia telah melemahkan perjuangan bangsa Papua, namun pada saat yang sama pula mengobarkan semangat perjuangan Pembebasan Papua Barat dan meningkatkan dukungan solidaritas masyarakat Internasional.

Stigmatisasi yang dilegalisasi melalui produk hukum seperti hukum makar itu di lain sisi dapat membunuh psikologis orang asli Papua untuk berjuang, berusaha membungkam suara kebebasan, berupaya mendegradasikan gerakan perlawanan dan menumpas aktifis Papua merdeka, banyak orang Papua dibunuh, banyak orang Papua menderita, banyak materi korban, banyak orang Papua mengungsi ke negara-negara lain, penangkapan sewenang-wenang, pemenjaraan, membangun mosi tidak percaya kepada masyarakat internasional agar menurunkan dukungan mereka atas Papua, tetapi pada sisi lain menumbuhkan nasionalisme kebangsaan Papua, membangkitkan keberanian untuk memperjuangkan pembebasan Papua dan meningkatkan simpati masyarakat internasional. Negara Indonesia berpikir bahwa dengan melakukan tindakan sewenang-wenang, orang asli Papua akan berhenti berjuang, namun anggapan ini tidak berhasil dan Negara Indonesia telah gagal total meng-indonesia-kan orang asli Papua.

Dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa di dunia yang sudah berdaulat penuh (merdeka), yang namanya ideologi pembebasan nasional itu tidak pernah musnah. Ideologi itu mengalir dalam darah nadi dari generasi ke generasi. Sepanjang generasi penerus ideologi itu masih ada, maka selama itu pula ideologi pembebasan nasional itu tetap mengalir dalam darah nadi setiap generasi penerus. Karena itu istilah para penguasa Negara mana pun untuk menumpas ideologi sampai ke akar-akarnya tidak pernah berhasil. Ideologi itu akan musnah, apabila tidak ada generasi yang dapat meneruskan ideologi para pendahulunya.

Demikian pula perjuangan bangsa Papua untuk berdaulat penuh (merdeka). Sepanjang masih ada penerus ideologi pembebasan nasional Papua, maka selama itu pula ideologi Papua merdeka terus mengalir dalam darah nadi orang asli Papua. Ideologi Pembebasan Nasional itu musnah, apabila etnis Papua musnah dari muka bumi ini. Negara Indonesia melalui sistemnya dapat membunuh orang Papua satu persatu melalui berbagai operasi terbuka dan tertutup, tetapi RI tidak akan pernah membunuh ideologi Pembebasan Nasional Papua Barat. Negara Indonesia melalui TNI dan POLRI menangkap dan memenjara orang asli Papua satu persatu, tetapi RI tidak akan pernah memenjara semangat nasionalisme. Negara Indonesia dapat memaksa menerapkan Paket Politik Undang-undang Otonomi Khusus di Tanah Papua sebagai tawaran untuk tetap berada dalam NKRI, tetapi Otonomi Khusus itu tidak akan pernah menawarkan hati dan tidak melemahkan orang asli Papua untuk berjuang kebebasan total. Berbagai operasi militer ditempuh untuk meredam perjuangan bangsa Papua, tetapi moncong senjata polisi dan militer Indonesia tidak pernah meredam suara kebebasan bangsa Papua.

Dari sejak tahun 1962 sampai tahun 1998 rakyat bangsa Papua berada dibawah kekuasaan tangan besi (rejim Soekarno di jaman orde lama dan rejim Soeharto di jaman orde baru) dilarang untuk melakukan aktifitas Papua Merdeka apa pun; mengucapkan kata Papua saja ditumpas dengan tangan besi. Tetapi di era itu pun nasionalisme kebebasan nasional Papua tumbuh subur, apalagi mulai era reformasi sejak tahun 1998 bersamaan dengan penggulingan resim tangan besi (alm Soeharto), nasionalisme kebebasan Papua yang disumbat, krans itu terbuka dan kini nasionalisme kebebasan itu telah mengalir ke berbagai penjuru dunia. Nasionalisme kebebasan Bangsa Papua itu tumbuh subur di atas air mata darah, nasionalisme itu terbangun kokoh di atas tulang belulang para pejuang pendahulu Bangsa Papua, dan jalan setapak menuju kebebasan nasional Papua Barat yang dirintis para pejuang pendahulu itu, kini makin meluas dan semakin hari semakin permanen.

V. KIAT-KIAT MENGHADAPI STIGMATISASI.

Tidak ada cara lain untuk menghadapi stigmatisasi RI yang dilegalkan dalam produk hukum jikalau orang asli Papua tidak menempuh dengan jalan perlawanan apa pun resiko. Apa pun jenis stigma yang dilabelkan pada orang Papua, apa pun hukum yang mengekang kebebasan berekspresi, apa pun tindakan sewenang-wenang yang membatasi kebebasan berpendapat orang asli Papua, apa pun produk hukum yang melarang kebebasan berorganisasi dan berkumpul, apa pun hukum yang melegalkan untuk menumpas perjuangan penentuan nasib sendiri bangsa Papua, saya katakan tidak ada jalan lain, kecuali orang asli Papua tempuh melalui jalan perlawanan. Ingat: jangan sampai orang asli Papua lupa bahwa dalam kongres bangsa Papua kedua pada tahun 2000 rakyat pribumi Papua telah memutuskan bahwa mengawal perjuangan kebebasan bangsa Papua dengan JALAN DAMAI (non violent).

Camkanlah bahwa tidak ada kata menyerah dan tidak ada kata tunduk kepada rejim penjajah mana pun dalam kamus revolusi pembebasan nasional. Slogan yang terukir dalam kamus revolusi pembebasan bangsa adalah: maju pantang mundur, maju tak gentar untuk menghalau rejim penjajah guna menegakkan keadilan, kebenaran, kejujuran, demokrasi, Hak Asasi Manusia dan menciptakan damai sejahtera di bumi seperti di Surga.

Ada banyak cara perlawanan yang kita dapat tempuh sesuai dengan jalan yang kita pilih melalui jalan damai, selain itu kita juga menghargai jalan yang ditempuh oleh sayap militer (TPN PB). Karena pilihan utama jalan politik kita melalui jalan damai, maka itu kita harus memanfaatkan dan memaksimalkan kekuatan-kekuatan yang ada pada kita.

Kekuatan utama kitaadalah berada pada kedaulatan rakyat bangsa Papua. Kekuatan itu kita belum bangkitkan secara menyeluruh di bawah satu komando untuk satu tujuan, di bawah satu wadah politik yang menjadi kendaraan politik bersama, dan dibawah satu konsep ideologi perjuangan serta agenda-agenda strategis dan program kerja bersama. Melalui kendaraan politik bersama dibawah satu kepemimpinan politik sentral dapat mengkoordinasikan ketiga sayap yang ada, yakni sayap sipil, sayap militer, sayap diplomat; dan juga mengembangkan jaringan solidaritas atau kata lain mitra kerja dengan para simpatisan solidaritas masyarakat internasional sebagai sayap keempat.

Melalui organisasi yang tertata rapi dan jaringan solidaritas yang ada, kita meningkatkan kerja-kerja politik untuk memutuskan mata rantai penindasan RI dan para sekutunya melalui dua solusi final, yakni pilihan pertama dan terutama adalah pengakuan kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua secara de jure; dan pilihan kedua adalah refrendum ulang.

Posisi tawar tertinggi bangsa Papua berada pada hasil Kongres Bangsa Papua ketiga. Kenapa saya katakan demikian? Saya hanya melihat dari sisi kekuatan demokrasi, kekuatan politik dan kekuatan hukum yang lahir dalam Kongres Bangsa Papua ketiga. Rakyat bangsa Papua yang datang mensukseskan kongres itu adalah kekuatan demokrasi. Kongres itu adalah sarana untuk berkumpul, berdiskusi, menyampaikan pendapat dan menyepakati serta memutuskan apa yang dikehendaki bersama; itulah kekuatan demokrasi. Dan apa saja yang dilahirkan dalam Kongres Bangsa Papua ketiga sebagai forum demokrasi tertinggi bangsa Papua itulah kekuatan politik dan kekuatan hukum. Maka itu mari kita kompromi politik internal bangsa Papua untuk bersatu dalam satu konsep ideologi perjuangan, agenda strategis-program kerja bersama, bersatu dalam satu organisasi sentral yang menjadi kendaraan politik bersama, dan bersatu dalam kepemimpinan sentral yang diterima dan diakui bersama agar kita menjadi kuat menuju mekanisme internasional. Ketika kita bersatu, maka kita akan kuat untuk menuju kemenangan akhir.

Sesungguhnya Negara Indonesia secara politik sudah kalah, karena dalam Kongres Bangsa Papua ketiga kita sudah tutup dengan JOKER yaitu Deklarasi pemulihan kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua dan berdirinya Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) pada tanggal 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus Padang Bulan – Abepura – Jayapura – Papua Barat. Kekuatan demokrasi, politik dan hukum telah terpenuhi dalam hasil Kongres Bangsa Papua ketiga, maka itu sekarang mari kita kompromi politik internal bangsa Papua dan mengawal itu untuk mendapatkan pengakuan secara de jure dan peralihan kekuasan adminitrasi pemerintahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB). Ini hanyalah bersifat tawaran saja, saya tidak memaksa siapa pun; dan pada prinsipnya saya menghormati posisi Anda masing-masing dan menghargai semua upaya yang ditempuh oleh semua komponen bangsa Papua untuk memutuskan mata rantai penindasan RI dan para sekutunya. Jika kita tidak kompromi politik internal bangsa Papua, maka silahkan kita mencari jalan lain yang terbaik, yang dikehendaki oleh semua komponen bangsa Papua.

Camkanlah bahwa banyak orang asli Papua menderita, banyak orang Papua dibantai, dimarginalisasi, orang Papua menjadi minoritas, didiskriminasi, banyak orang Papua mengungsi ke negara lain, banyak orang Papua ditangkap dan dipenjara, jadi jangan kita bertahan pada posisi masing-masing yang mengakibatkan menunda kemerdekaan kedaulatan penuh bagi bangsa Papua di negeri Papua Barat dan akhirnya memperpanjang penindasan oleh RI dan para sekutunya kepada orang asli Papua Barat.

Terkait dengan tudingan teroris, kita tidak perlu takut, tetapi kita waspada dan menghindari tindakan-tindakan tertentu yang melegitimasi RI untuk meningkatkan operasi dari status separatis menjadi status teroris. Untuk itu kita tingkatkan kampanye dan lobi melalui jaringan yang ada untuk meyakinkan kepada masyarakat Internasional bahwa tudingan teroris kepada aktifis Papua merdeka itu adalah upaya NKRI untuk meredam perjuangan luhur bangsa Papua. Perlu kita tahu bahwa cara-cara lain untuk menghadapi perjuangan bangsa Papua sudah gagal total seperti penerapan hukum makar, maka kini Negara Indonesia sedang berancang-ancang meningkatkan penerapan hukum anti terorisme di Tanah Papua.

Selama ini RI menggunakan slogan: Perang Melawan Separatis Papua, dan ternyata itu sudah gagal total, maka RI hendak mau ganti dengan slogan: Perang Melawan Teroris Papua. Tetapi kasihan, upaya RI bagaikan menyaring angin, pasti akan gagal total sampai Negara Indonesia akan angkat kaki dari tanah Papua dengan kepala tertunduk malu, sama seperti Negara Indonesia mengangkat kaki dari Tanah Timor Timur pasca kemenangan refrendum bagi rakyat Timor Timur, di mana pada saat itu polisi dan militer Indonesia dipukul mundur oleh pasukan PBB yang dipimpin pasukan/tentara elit dari Australia pada tahun 1999. Sebaliknya, jika Negara Indonesia dengan lapang dada mengakui kemerdekaan kedaulatan bangsa dan Negara Papua dengan bermartabat dan selanjutnya mengatur kerja sama di antara dua bangsa dan dua negara yang setara, maka negara Indonesia akan mengangkat kaki dari tanah Papua dengan kepala terangkat dan akan mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya dari masyarakat Internasional; dan saya yakin rencana pemberian Nobel Perdamaian dunia pasca perjanjian damai RI dengan Aceh di Helsingky kepada presiden RI (SBY) yang telah tertunda akan terwujud. Dengan demikian, nama Indonesia menjadi harum dan terhormat di dunia Internasional.

PESAN PENUTUP.

Akhir dari tulisan ini, saya menyampaikan berapa pesan kepada beberapa pihak, antara lain:
1). Kepada Negara Indonesia, saya mengucapkan selamat berjuang mempertahankan Tanah Papua dalam bingkai NKRI dengan cara-cara kotor dan tidak beradab, tetapi saya ingin katakan bahwa segala upaya Negara Indonesia bagaikan menyaring angin ( tidak akan pernah berhasil); karena perjuangan bangsa Papua adalah perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, perjuangan untuk menegakkan jati diri setiap pribadi dan jati diri bangsa Papua sama seperti bangsa-bangsa merdeka lain di dunia, maka itu saya yakin bahwa perjuangan kebenaran dan keadilan bangsa Papua itu akan keluar sebagai pemenang akhir.

2). Kepada siapa pun para simpatisan masyarakat Internasional yang memberi perhatian bagi penderitaan rakyat pribumi Papua, Anda semua adalah bagian dari hidup kami, dan bagian dari sejarah perjuangan Papua Barat. Segala pengorbanan Anda terukir abadi dalam jejak langkah perjalanan bangsa Papua dari generasi ke generasi. Anda semua adalah sahabat dan saudara-saudari kami. Pengorbanan Anda semua adalah bentuk dukungan solidaritas secara nyata untuk menciptakan damai sejahtera di bumi seperti di Surga, khususnya di Tanah Papua. Anda adalah pencinta kebenaran dan keadilan untuk semua; Anda adalah pencinta kedamaian dan kebebasan untuk semua. Tidak ada kata terindah yang kami dapat mengukirkan pengorbanan para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional di mana saja Anda berada, tidak ada barang terindah dan termahal yang dapat membalas kebaikan Anda kepada rakyat pribumi Papua. Hanyalah rasa terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam yang kami ucapkan kepada setiap para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional yang menaruh hati dan yang mendukung kami secara langsung dan tidak langsung bagi pembebasan bangsa Papua dari kemelut penindasan RI dan para sekutunya. Dengan rasa hormat yang amat mendalam dan dari lubuk hati yang paling dalam, kami pesan kepada Anda semua teruslah menaburkan benih-benih kebaikan dalam kebun kehidupan Anda dengan jalan mendukung kami dengan sumbangan moril dan materil menuju penyelesaian status politik dan hukum bagi bangsa Papua di negeri Papua Barat melalui: jalur perundingan; jalur hukum atau jalur dekolonisasi/politik untuk mencapai dua solusi final yaitu pilihan pertama dan terutama adalah pengakuan secara de jure dan atau pilihan kedua: refrendum ulang.

3). Saya mohon Anda dapat menyebarkan artikel ini kepada sesama aktifis Papua Merdeka dan para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional di manca negara melalui email, face book, dan media sosial lainnya agar dapat memahami isinya dan ditindak-lanjuti agar tidak terjebak dalam skenario besar yang dikemas rapi dan sistematis yang sedang dibangun oleh NKRI melalui mesin-mesin pertahanannya dan dengan atas kerja sama para sekutunya diberbagai manca negara untuk mengiring perjuangan bangsa Papua ke ranah teroris, yang akhirnya dapat berdampak buruk pada perjuangan luhur bangsa Papua menjadi musuh dunia dan masuk dalam kotak alias tidak mendapat simpati masyarakat internasional. Kita intropeksi diri dan kita mengawal perjuangan bangsa Papua dengan arif, bijaksana, cerdas, bermartabat dan bertanggung jawab untuk mencapai ke tujuan utama perjuangan kita, yakni kebebasan total.

Sekian dan terima kasih.

Persatuan Tanpa Batas Perjuangan Sampai Menang.

* Ketua Umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat, juga sebagai tahanan politik di Penjara Abepura – Jayapura – Papua Barat

| March 10, 2013 | 18:48, TJ

Leut. Gen. Amunggut Tabi: “Dialogue NKRI – West Papua?”

Menanggapi berbagai isu dan fenomena yang berkembang di tanah Papua terkait “Dialogue” antara NKRI dan West Papua yang dimotori Jaringan Damai Papua dan simpatisannya, PMNews menyisihkan waktu sedikit bertanya kepada Tentara Revolusi West Papua (TRWP) tentang isu dan fenomena dimaksud.

Menurut Leut. Gen. TRWP Amunggut Tabi bahwa “dialogue” terjadi karena ada masalah, dan masalah yang di-dialogue-kan harus jelas dan tegas, kita bukan bangun para-para honai adat untuk bicara apa saja yang kita mau omong seperti diajukan Jaringan Damai Papua (JDP) dengan promotor Muridan dan Neles Tebay”, kata Tabi.

Berikut petikan wawancara per telepon seluler:

Papua Merdeka News (PMNEWS): Selamat pagi, Jenderal, kami dari Papua Merdeka News ada perlu tanya satu hal, menyangkut “dialogue NKRI – West Papua”

Tentera Revolusi West Papua – Leut. Gen. Amunggu Tabi (TRWP): Selamat pagi juga, Salam hormat, “Merdeka Harga Mati!”, silahkan, kami siap.

PMNews: Indonesia sekarang sudah mencari dukungan atas kedaulatannya atas tanah Papua dan sekarang ini melancarkan kampanye untuk merangkul semua pihak dalam sebuah dialogue inclusive, lewat sebuah wadah baru yang dibentuk menggantikan UU Otsus 2001 bernama UP4B, bagaimana pendapat TRWP?

TRWP: Adoo, jangan tanya tentang satu orang tanya kepada orang lain tentang dia punya diri sendiri. Misalnya, “Muka saya bagus ka?”. “Saya punya muka ganteng atau cantik ka?” begitu. Jangan tanya orang lain tentang diri kita sendiiri, karena yang tahu diri kita sendiri ialah diri kita sendiri. Pertanyaan tadi tentang NKRI tanya kepada negara asing jadi. Itu pertanyaan orang tidak tau diri, makanya dia harus tanya orang lain tentang diri dia sendiri.

PMNews: Ya, A.S. menolak Papua Merdeka, Australia tolak Papua Merdeka, Inggris tolak Papua Merdeka, itu yang dibilang media di Indoneisa tentang perjuangan Papua Merdeka.

TRWP: Media yang menyiarkan berita itu harus tanya kepada orang Papua: “Apakah kamu maru merdeka atau bergabung ke dalam NKRI?” Itu suara demokrasi, karena demokrasi artinya pemerintahan dari rakyat untuk rakyat. Jadi, bukan tanya kepada negara lain. tentang kemauan rakyat lain.

Kalau saya sebagai pejuang Papua Merdeka tanya kepada orang-orang yang ditanya sama Menlu dan Presiden NKRI, maka saya akan dilarang oleh Panglima Tertinggi Komando Revolusi saya. Alasannya jelas, yang mau merdeka bukan orang atau rakyat Amerika Serikat atau orang Aborigine atau orang Nasionalis Inggirs, tetapi yang mau merdeka itu orang Papua, jadi pertanyaannya ditujukan kepada orang Papua bukan kepada orang asing.

PMNews: Kami masih tetap kembali kepada pengakuan dan pengukuhan dari dunia luar. Bagaimana?

TRWP: Pengakuan dan pengukuhan dunia luar itu nomor dua, nomor satu ialah apakah orang Papua mau merdeka atau tidak? Yang harus diakui itu kan suara rakyat, bukan kemauan politik. Demokrasi menyatakan suara rakyat, jadi, rakyat mau apa itu yang dikonsultasikan, bukan kemauan negara lain terhadap negara lain.

PMNews: Tetapi selama ini semua pihak, baik NKRI maupun TRWP dan OPM hanya menggunakan angka-angka tidak pasti, tidak jelas dan tidak pernah dibuktikan secara ilmiah tentang berapa orang mau merdeka atau tidak?

TRWP: Kasih tahu NKRI, mereka mau jajak pendapat atau tidak? Itu kuncinya, kalau tidak, semua pihak pasti berspekulasi.

PMNews: Kalau banyak negara asing tidak mendukung Papua Merdeka?

TRWP: Biarkan mereka mendukung atau tidak mendukung. Itu hak mereka, kita tidak punya kuasa mengontrol mereka. Kita tidak tahu apakah mereka bicara mewakili opini rakyat mereka atau sebaliknya. Menurut prinsip demorkasi universal, suara rakat ialah suara Tuhan, dan suara Tuhan bukan suara politisi, tetapi suara rakyat jelata, yang terhina dan terjajah. Sekarang suara rakyat Papua ingin melepaskan diri dari NKRI, tetapi NKRI sendiri tidak mau memberikan peluang kepada bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, jadi persoalannya bukan kepada orang asing mendukung atau menolak, tetapi kepada bangsa Papua sendiri yang tidak diberikan peluang untuk menentukan nasibnya sendiri.

PMNews: Ada orang Papua yang menerima Otsus sebagai solusi final.

TRWP: Itu bukan orang Papua, tetapi mereka kita sebut kaum Papindo, bangsa baru tercipta dalam hubungan NKRI-West Papua, yaitu orang Papua berhati Indonesia, atau orang Papua takut Indonesia, yang dalam jiwanya tidak punya percaya diri, yang dirinya tidak bermartabat, yang dipenuhi oleh rasa takut mati dan tidak tahu apa yang harus dia perbuat untuk bertahan hidup.

Orang Papua menerima Otsus bukan karena mau, tetapi karena terpaksa. Tanya kepada Fransalbert Joku dan Nicolaas Jouwe. Mereka tahu mengapa orang Papua terima Otsus atau membiarkan Otsus diberkalukan. Itu bukan karena orang Papua setuju dengan pendudukan NKRI, tetapi karena orang Papua mengharapkan ada peluang yang tercipta di dalam Otsus untuk akhirnya mencapai kemerdekaannya. Dengar apa kata-kata mereka, apa yang mereka ucapkan, dalam Pilkada Bupati ataupun dalam pernyataan pers, mereka masuk ke Tanah Papua karena ini tanah leluhur mereka, ini tanah yang mereka bela dan karena itu mereka harus pulang. Mereka bukan datang menyerah ke NKRI, tetapi datang ke kampung untuk membangun cara-cara di dalam Otsus untuk terus memuluskan jalan ke Papua Merdeka. Itu pasti!

PMNews: Dengan demikian Anda menyatakan Fransalbert Joku dan Nicolaas Jouwe bukannya menyerah, tetapi merubah strategi perjuangan Papua Merdeka?

TRWP: Tanya kepada mereka, dengar apa yang mereka katakan dalam berbagai kesempatan.

PMNews: Kita kembali ke soal dialogue, “Apakah orang Papua yang minta dialogue dengan NKRI sekarang termasuk ke dalam orang-orang yang tidak percaya diri?”

TRWP: Mereka itulah tidak percaya diri bahwa mereka sanggup merdeka dan berdaulat seperti NKRI. Tetapi soal pengusung dialogue Jakarta-NKRI kelihatannya  terlalu banyak membaca buku dan belajar, sehingga tidak paham atau lebih tepat tidak mau terima real-politik dari perjuangan Papua Merdeka. Mereka tidak salah, tetapi mereka terlalu jauh dari kenyataan lapangan. Ilmu yang ada dalam studi resolusi konflik harus disesuaikan dengan realitas konfilk, bukan sebaliknya kita paksakan konflik yang ada ke dalam ilmu resolusi konflik.

PMNews: Anda sudah menyurus ke “Dialogue NKRI – West Papua?”

TRWP: Ya, betul. Tetapi masalahnya “Dialogue NKRI – West Papua” punya sejumlah kekurangan. Pertama, dialogue ini didorong tanpa “Road-Map” yang jelas. saya tahu Muridan S. Widjojo melakukan beberapa pertemuan dan diskusi dengan pemuda dan tokoh dari West Papua lalu membuat kesimpulan-kesimpulan bahwa perlu ada sejumlah hal dibereskan dalam dialgoue Papua – NKRI, tetapi apakah kedudukan Muridan sebagai seorang akademisi LIPI murni ataukah ia bias sebagai seorang manusia Indonesia? Ini pertanyaan. Lalu Neles Tebay, ia seorang akademisi, calon Uskup Jayapura, tetapi dari ilmu resolusi konflik yang dia pelajari di Roma, Italia tidak diterapkan secara kontekstual dengan realitas dan dinamika politik NKRI-West Papua sehingga ia ngotot menuntut teori dia dipenuhi oleh orang Papua dan NKRI tanpa memperhatikan dimamika politik dan sosial yang ada di lapangan.

Dari “Road-Map” yang ada terlihat jelas, apa yang dibicarakan ialah apa saja yang dianggap sebagai penghalang dan penghambat. Ini sebuah pandangan “naif”, karena perancang sendiri sudah tahu apa penghalang dan penghambatnya. “Apakah NKRI percaya bahwa Neles Tebay berbicara jujur sebagai seorang manusia untuk berdialogue?” Pasti mereka percaya Neles Tebay bermaksud memuluskan jalan ke Papua Merdeka. “Apakah mereka percaya Muridan S. Widjojo itu seorang nasionalis Indonesia yang membela NKRI?” Ini juga menjadi pertanyaan kedua belah pihak yang hendak diajak berdialogue.

PMNews: Maksudnya dialogue yang diusung Jaringan Damai Papua percuma?

TRWP: Tidak percuma, tetapi tidak sesuai dengan reaalitas sosial-politik NKRI-West Papua.

PMNews: Lalu apa yang tepat?

TRWP: Yang tepat ialah Jaringan Damai Paupa (JDP) tidak membuka pintu kosong, tetapi pintu yang jelas, apakah JDP ingin NKRI membereskan sejarah aneksasi West Papua ke dalam NKRI ataukah JDP ingin berbicara tentang uneg-uneg kehidupan di dalam NKRI.

JDP harus mencaritahu dan memberitahukan secara gambang dan manusiawi tentang apa yang menyebabkan ada “dead-lock” dan apa yang dapat menjembatani “dead-lock” dimaksud. JDP tidak bisa melempar batu sembunyi tangan dengan mengatakan, “Apa yang terjadi dalam dialogue kita serahkan kepada mekanisme yang ada selanjuntnya”, karena semua pihak yang terlibat akan bertanya, “Apa untungnya buat saya terlibat?”

PMNews: Kalau begitu menurut TRWP, apakah dialogue NKRI-West Papua realistis?

TRWP: Tidak realistis karena road-map yang dibuat tidak jelas, dan peluang kemungkinan yang disediakan menurut road-map yang ada menurut Tebay dan Murindan S. Widjojo tidak tegas. Kita harus bertanya, “Apakah dialogue ini untuk memuluskan jalan kepada Papua Merdeka ataukah memuluskan jalan bagi NKRI untuk terus menjajah tanah dan bangsa Papua?”

PMNews: Maksudnya dalogue ini tidak akan menghasilkan sesuatu yang berarti buat Papua?

TRWP: Tidak! Sekali lagi TIDAK! Sebab yang pertama sudah disebutkan. Sebab kedua, karena pihak-pihak yang mau berdialogue sendiri sudah dihabisi NKRI. Simak saja berita penangkapan dan penyisiran di Tanah Papua. Itu bukti bahwa NKRI sedang menghabisi pihak dan organisasi yang dapat berdialogue dengan NKRI. Kedua karena NKRI sendiri tidak jelas dalam sikapnya, apakah mau berdialogue atau mau melakukan komunikasi konstruktiv.

TRWP tidak ada dalam kelompok itu. TRWP ialah sayap militer perjuangan Papua Merdeka, yang bekerjasama dengan OPM, yang sebentar lagi akan diumumkan Kantor Pusatnya dan fungionarisnya.

TRWP tidak pernah diajak, tidak pernah didekati. Apalgi TRWP tidak diakui oleh NKRI. Jadi biarlah NKRI berdialogue dengan orang-orang yang mereka akui dan mereka dekati, dan akan kita lihat apa hasilnya.

PMNews; Apakah Anda menolak berbagaiu paya tentang TPN/OPM menyerah dan mau berdialogue dengan NKRI?

TRWP: TPN/OPM itu buatan NKRI. Buatan orang Papua ialah OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan sayap militer yang waktu silam terbagi dalam faksi PEMKA (Pembela Keadilan) versi Jacob Prai dan faksi Victoria dibawah komando Seth. J. Roemkorem kini telah tergabung menjadi Tentara Revolusi West apua.

Kedua basis telah disatukan ke dalam komando TPN/OPM GEN. TPN PB Mathias Wenda, yang kini membentuk sayap militer dengan nama TRWP dan sayap politik OPM. Oleh karena, itu, semua pihak agar tidak hilang jejak dalam Jalan Menuju Papua Merdeka.

“Dialogue” terjadi karena ada masalah, dan masalah yang di-dialogue-kan harus jelas dan tegas, kita bukan bangun para-para honai adat untuk bicara apa saja yang kita mau omong seperti diajukan Jaringan Damai Papua (JDP) dengan promotor Muridan dan Neles Tebay”

PMNews: Berarti sebenarnya Anda menolak Dialogue NKRI – West Papua yang digagas Jaringan Damai Papua?

TRWP: Kami tidak menolak dan kami tidak menerima. Yang harus menentukan sikap ialah Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang pada saat ini belum terbentuk fungsionaris dan organisasinya, yang sementara dalam proses persiapan.

PMNews:Berarti OPM tidak siap berdialogue?

TRWP: OPM siap berdialogue dengan setan ataupun malaikat, apalagi manusia. Yang penting dalam seuah dialogue ialah agenda dan antisipasi konsenkuensinya. Dan itu tidak ditunukkan dengan jelas oleh Jaringan Damai Papua.

Oleh karena itu Tentara Revolusi West Papua (TRWP) dari Markas pusat Pertanahan di bawah Komando Gen. TRWP Mathias Wenda MENOLAK DENGAN TEGAS segala upaya perdamaian NKRI-West Papua dalam rangka memuluskan Otsus NKRI bagi tanah Papua.

TRWP tidak bertugas mengurus politik. TRWP mengurus perlawanan bersenjata. Yang bicara dialogue itu organisasi politik, namanya OPM.

PMNews: Dialgue bukan jalan demkratis?

TRWP: Dialogue antara siapa dengan siapa? Demokrasi artinya apa? Kita harus bangun sebuah format dan peluang yang memperlakukan orang Pupua dan orang Indonesia sebagai manusia menyampaikan pendapatnya, bukan sebagai pelaku dan korban. Keduanya harus berbicara sebagai sesama manusia, tanpa embel-embel politk NKRI ataupun West Papua Merdeka. Dan itu yang tidak jelas dalam tawaran Jaringan Damai Papua.

PMNews: Kalau begitu TRWP menolak Jaringan Damai Papua dan segala upayanya?

TRWP: Jelas, itu pasti, dan jangan sampai Neles Tebay dan Muridan S. Widjojo tidak paham.

 

Catatan PMnews:

Dari pembicaraan dan wawancara ini kami tidak temukan titik temu, maka kami akhiri wawancara ini. Demikian dan harap maklum. Kami akan teruskan kali berikut kalau ada waktu dan kesempiatan.

Leut. Gen. Amunggut Tabi: NKRI Silahkan Berdialogue, tetapi “Papua Merdeka” Harus Harga Mati

PMNews VANIMO – Menanggapi upaya NKRI untuk membungkam aspirasi dan perjuangan bangsa Papua meluruskan KEBENARAN, maka dengan ini dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua, panglima terginggi Komando Revolusi lewat kantor Sekretariat-Jenderal dengan ini menyatakan bahwa;

1. Otsus NKRI untuk West Papua telah gagal total;
2. Rakyat Papua telah berulang-kali mengembalikan Paket Otsus dalam keadaan Mayat, jadi tidak perlu diutak-atik barang yang sudah menjadi Mayat tanpa rasa malu;
3. Bagi Jaringan Damai Papua dan jaringan pemuas hati pencari makan di Tanah Papua silahkan terus saja dengan kampaney “Papua Zona Damai” alias “Papua Kalian Terima Hasil Sejarah entah Manis atau Pahit”;
4. Utusan NKRI silahkan berdialogue dengan TPN PB dan TPN/OPM, tetapi kelihatannya kalian terlambat, lambat dalam mendayung ikut arus zaman ini, perjuangan Papua Merdeka kini dalam komando Panglima Tertinggi Koamndo Revolusi Gen. Mathias Wenda telah mengambil langkah strategis sejak tahun 2000, dan melakukan restrukturisasi dan reorganisasi semua lembaga perjuangan Papua Merdeka, dan memisahkan organisasi sayap politikd ari sayap militer sehingga saat ini tidak ada TPN/OPM, tetapi yang ada ialah OPM dan TRWP. Kalau ada oknum yang saat ini masih menggunakan kartu TPN/OPM atau TPN PB berarti jelas itu kaki-tangan NKRI dan patut diwaspadai oleh bangsa Papua;
5. General TRWP Mathias Wenda dan Leut. Gen. TRWP Amunggut Tabi bukan orang baru di lapangan perjuangan Papua Merdeka, tetapi tidak berarti semua orang Paua harus ikut mereka. Semua orang Paua harus dan patut membaca permainan NKRI dan sekutunya dalam menentang perjuangan Papua Merdeka.
6. Jaringan Damai Papua dan Papua Zona Damai ialah gagasan Gereja Katolik di Tanah Papua yang bertujuan MEMBNGKAM dan MEMATIKAN aspirasi Paua Merdeka. Dr. Neels Tebay secara khusus disekolahkan di Roma dengan tujuan Gereja Katolik untuk membungkam perjuangan Papua Merdeka, bertolak belakang dengan peran gereja Katolik di TImor Leste yang mendukung kemerdekaan orang Melanesia di sana;
7. Gereja Katolik di Tanah Papua TIDAK ETIS dan TIDAK SOPAN kalau berpura-pura alim dan mengurus Tuhan, sementara tanggannya KOTOR dan KEJI di ranah politik NKRI dengan mendukung Papua Zona Damai dan upaya Pastor Neles Tebay yang sejauh ini mendapat dukungan banyak dari kalangan NKRi karena tujuannya jelas memuluskan jalan bagii NKRI di Tanah Papua;
8. Gereja Baptis di Tanah Papua, Gereja Kemah Injil di Tanah Papua dan Gereja Injili di Indonesia telah memiliki sikap yang jelas tentang nasib bangsa Papua di Tanah Papua, tetapi Gereja Katolik secara khusus memainkan politik Kotor ala NKRI, oleh karena itu semua orang Papua patut mewaspadai permainan para Uskup dan Uskup Agung serta para Pastor yang ada di dalam Gereja Katolik di Tanah Papua, yang notabene ialah Kaki-Tangan NKRI, bukan Kaki-Tangan Tuhan Yesus Kristus karena YESUS KRISTUS bukan NKRI tetapi Dia datang untuk membebaskan semua bangsa yang tertindas dan terbelenggu, terutama oleh kuasan Iblis. Oleh karena itu, bagi yang menggunakan Gereja Katolik sebagai titik-tolak kegiatan untuk mendamaikan NKRI dengan bangsa Papu aialah sebuah perbuatan terkutuk dan tidak sejalan dengan misi Pembebasan Tokoh Revolusioner Seunia Spanjang Masa: Yesus Kristus. Yesus sebagai Raja Damai melakukan Revolusi, tidak berdamai dengan kejahatan dan tipu-muslihat, tidak membela tipu-daya dan gelagat membunuh manusia lain. Otoritas Yesus sebagai Raja Damai dibatasi dalam pendamaian antara Allah dengan manusia, sementara otoritas Yesus sebagai tokoh Revolusioner satu-satunya sepanjang masa di dunia ialah membela “Kebenaran” menentang serta memusuhi “tipu-daua” seperti yang telah terjadi di saat Pepera 1969.

Demikian catatan peringatan dan pernyataan sikap ini kami sampaikan untuk diketahui NKRI dan atnek-anteknya yang berjubah hitam dan berjubh putih.

Dikeluarkan di: Secretariat-General Markas Pusat Pertahanan TRWP
Pada Tanggal: 10 September 2012

Atas Nama markas Pusat Pertahanan,

Amunggut Tabi, Leut. Gen TRWP
BRN: A.001076

MASYARAKAT ADAT KOTEKA PAPUA MENOLAK KLEIM NKRI DI TANAH PAPUA

SURAT TERBUKA UNTUK HIMBAUAN UMUM

Kepada:
1. Almarhum Presiden RI ke I, Ir. Soekarno
2. Kepala pemangku Adat Tanah Jawa Sri Sultan Hameng Kubuwono X
3. Pemangku adat Tanah Sumatra
4. Pemangku Adat Tanah Borneo
5 . Pemangku Adat Tanah Sulawesi
6. Presiden RI, Dr. Bambang Yudoyono
7. LMA dan Kepalasuku di Tanah Papua
8. Masyarakat Adat Papua Melanesia dan Melayu Indonesia

Kami masyarakat Adat Pewaris dan Penghuni Tanah Leluhur Papua, menyatakan bahwa Kleim Presiden Pertama NKRI dan Pemerintahan Melayu indonesia bahwa Tanah dan Bangsa Papua adalah bagian dari NKRI secara hukum Alam dan Adat Papua tidak dibenarkan dan kedudukan indonesia di Papua tidak sah dan benar.

Kami menghimbau kepada seluruh masyarakat adat dan pemerintah Republik Indonesia degan penuh harga diri dan manusiawi menghargai hak apa yang menjadi milik kami, antara lain mendirikan suatu negara yang berdiri diatas tanahnya sendiri dan tidak digabungkan dengan suku bangsa Melayu di tanah lain dari tanah lain.

Kami menghimbau kepada bangsa Melayu Indonesia bahwa, biarkanlah kami degan keadaan kami sebagaimana telah ada sebelumnya dan sekarang jagan lagi mengatasnamakan Negara Kesatuan Republik Indonesia merampas, menindas, melecehkan hak dan kehidupan kami sebagai makluk manusia yang layak hidup seperti bangsa dan masyarakat adat lain di kepulauan melayu Indonesia.

Kami menghimbau masyarakat melayu tidak lagi merajalelah degan sembarangan diatas tanah adat kami degan memakai berbagai trik dan politik yang dikemas dalam PEMBAGUNAN karena hanya untuk merusak dan mengambil kekayaan yang terkandung dalam tanah kami, tetapi biarkanlah kami hidup di masing-masing tempat diman asal mula kita agar dunia ini penuh kedamainan.

Kami sebagai manusia yang memiliki akal pikiran dan budi pekerti serta berbudaya yang tinggi dan luhur, hidup saling menghargai bukan dalam konteks kesatuan negara NKRI tetapi di masing-masing tempat sesuai menurut suku bangsa kita masing-masing, dan juga tidak tergabung dan lalu-lalang seperti hewan liar yang mencari nafka tanpa memikirkan batas-batas wilayah, daerah pencarian dan tidak saling meguasai, merampas, membunuh, menindas sesama manusia yang lain.

Papua New Guinea shares the island of New Guin...
Papua New Guinea shares the island of New Guinea, world’s second largest, with two Indonesian provinces (Photo credit: Wikipedia)

kami sebagai manusia tidak inggin dibuat seperti binatang, biarkanlah kami degan bangsa yang ada sisa ini untuk bangkit dan menentukan masa depan sendiri degan mendirikan suatu negara tersendiri sebagaimana layaknya bangsa melayu memiliki negara Indonesia, karena degan penuh kesadaran yang tinggi, kami sangat menghargai apabilah bangsa melayu degan benar-benar menyadari bahwa bangsa Papua diintegrasi degan paksaan melalui kekuatan Militer yang dikenal degan Nama TRIKORA.

kami harus jujur kepada bangsa Melayu Indonesia bahwa dalam hati kami yang sebenarnya, kemi tidak merasa bagian dari NKRI dan tidak berintegrasi melainkan diitegrasi degan menggunakan kekuatan militer, jagan karena ketakutan unsur ekonomi dan NKRInya, bangsa melayu mempertahankan mati-matian degan mengakatan NKRI harga mati, itu benar bagi bangsa Melayu karena bangsa melayulah yang memiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mana dibentuk dari semua gabungan pulau-pulau milik bangsa Melayu di Asia tenggara. Tetapi bukan untuk bangsa Papua melanesia yang jauh sekali di kepulauan pasifik. kami masyarakat Adat menilai ini bentuk perampasan, tanah wilayat masyarakat adat yang memiliki entintas suku bangsa yang berbeda.

Bentuk -bentuk ini merupakan bagian dari rentetan PENJAJAHAN maka kami tetap mengakakan kedudukan Negara indonesia di tanah Papua merupakan bentuk perampasan berdasarkan ambisi keserahkaan yang dikemas degan politik, maka bentuk dan praktek ini merupakan PENJAJAHAN MODEL MUTAKHIR/NEO-KOLONIALISME sebagai pelanggaran dan Dosa besar untuk bangsa melayu terhadap bangsa Melanesia di tanahnya sendiri.

Perlu kita manusia sebagai makluk berbudaya luhur tahu dan sadar bahwa segala sesuatu yang dimulai degan cara yang tidak jujur, tidak benar akan dan tetap hancur apapun kekuatanya, bagaimanapun caranya jika kebenaran ditutup tetap akan membela dirinya sendiri degan cara dan gayanya sendiri bahkan manusia sendiri tidak dapat dibendung.

Kami masyaraka pewaris dan penghuni tanah Papua dari Sorong sampai Samarai menghimbau kepada bangsa melayu Indonesia yang menduduki pulau New Guinea secara hukum adat suda tidak benar karena permulaan masuknya degan cara-cara tidak sopan kepada penghuni pulau New Guinea bahkan mencuri dan merampok sebagaian dari kami dan dibawa pergi dan dipenjarahkan, maka dalam kesempatan ini kami sebagian dari Penghuni dan pewaris tanah ini menghimbau untuk segerah pulang dari tempat dimana anda disembunyikan bahkan keluar dari setiap kurungan dan penjara dimana anda dikurung dan dibawa pergi.

Kami juga menghimbau kepada setiap anak bangsa Papua yang ingin menjadi dan paksakan diri menjadi bagian dari NKRI dan mebelah dan degan membunuh saudaranya adalah tidakan menyerahkan hak wasisan hanya karena kebutuhan sesaat secara hukum Alam dan Adat Papua tidak dapat dibenarkan dan ditolerir karena hukum adat dan alam akan membelah dirinya degan cara tersendiri baik kepada pribadinya sampai kepada keluarganya dimana lingkungan dia berada.

Semua upaya dan bentuk integrasi degan cara menteror, membunuh dan degan cara politik secara hukum Alam dan Adat tidak benar maka kami menolak semua bentuk kemasan apapun adalah TIPU MUSLIHAT maka kami menolak keluar dari tanah Papua.

Atas Perhatian Kami Ucapkan Banyak Terima Kasih.
Dikeluarkan di : Sekretariat Dewan Allah, Alam dan Adat Tanah Leluhur Papua

Etarugwe Munni
Sekretaris General Dewan A3

Enhanced by Zemanta

NKRI Sudah Final, Jangan Coba-coba Ganggu Keutuhan NKRI

Bigman Lumban Tobing, Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Erfi Triassunu dan tokoh-tokoh masyarakat memberikan keterangan pers terkait pelaksanaan KRP III di ruang kerja Penjabat Gubernur, Jumat [21/10]”]JUMPA PERS: Kapolda Papua Irjen [Pol] Bigman Lumban Tobing, Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Erfi Triassunu dan tokoh-tokoh masyarakat memberikan keterangan pers terkait pelaksanaan KRP III di ruang kerja Penjabat Gubernur, Jumat [21/10]JAYAPURA [PAPOS] – Silahkan saja berkumpul dan menyampaikan pendapat, tetai jangan mengganggu keutuhan NKRI. Sebab NKRI mulai dari Sabang sampai Merauke sudah final. NKRI sudah harga mati. Jadi siapa saja yang mencoba mengganggu keutuhan NKRI maka seluruh warga Negara Indonesia akan menghadangnya.

Demikian disampaikan Penjabat Gubernur Papua, Dr.Drs. Syamsul Arief Rivai, MS kepada wartawan diruang kerjanya, Jumat [21/10] usai melakukan pertemuan dengan sejumlah FORKOMPIMDA, tokoh agama dan tokoh masyarakat.’’ Jadi pemerintah tidak melarang masyarakat berkumpul dan menyampaikan aspirasinya, termasuk pelaksanaan Kongres Rakyat Papua [KRP] III,asalkan tidak bertentangan dengan aturan atau norma-norma hukum yang berlaku di NKRI,’’ tandasnya.

Untuk menyikapi gejolak yang terjadi di Tanah Papua saat ini, Penjabat Gubernur Provinsi Papua melakukan pertemuan tertutup dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah [FORKOMPIMDA] diantaranya Kapolda Papua, Pangdam XVII Cenderawasih, tokoh Masyarakat serta tokoh agama di ruang kerja Gubernur, Jumat [21/10] kemarin.

Menurut Penjabat Gubernur, NKRI adalah final, wilayahnya mulai dari Sabang sampai Merauke. Itu komitmen nasional. Untuk itu, siapapun dia warga negara dimuka bumi ini, tentu mempunyai komitmen yang sama untuk menjaga keutuhan negara Indonesia yang dicintai ini.

Oleh karena itu, tegas Gubernur, karena wilayah NKRI sudah final, sehingga jika ada kelompok atau orang yang mencoba memberikan statmen lebih dari pada itu, bukan saja warga Papua yang akan bertindak, tetapi seluruh rakyat Indonesia pasti akan menghadapinya.

“Jika ada kelompok atau orang yang ingin membangun negara di atas negara, bukan saja masyarakat di Papua yang akan bertindak menghadangnya, tetapi seluruh rakyat yang ada di Indonesia pasti akan melakukan hal yang sama,”tukasnya.

Lanjut Rivai, berkaitan dengan Kongres Rakyat Papua [KRP] III, sebenarnya pemerintah dan aparat keamanan sudah memberikan tolerasi cukup tinggi untuk pertemuan itu. Dimana sudah mempersilahkan untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat, asal tidak menyinggung NKRI.

Sayangnya, dalam pertemuan yang berlangsung dari Senin [17/10) hingga Rabu (19/10) ada yang melanggar. Karena telah melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan, maka aparat keamanan terpaksa harus mengamankan beberapa orang untuk dimintai keterangan terkait kongres itu. “Dinamika di lapanganlah yang menyebabkan adanya ekses sehingga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,”ujarnya.

Namun pihak aparat keamanan baik dari TNI dan Polri sudah berusaha sedemikian rupa dengan bertindak sesuai dengan [SOP] dalam penanganan persoalan. “Memang ada beberapa orang yang ditangkap pihak kepolisian, namun yang tidak berkaitan dengan persoalan sudah dilepaskan kembali. Tetapi bagi mereka yang secara nyata diduga mempunyai pengaruh terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan itulah yang sementara ditangani oleh pihak Polda untuk selanjutnya di proses secara hukum,” jelasnya.

Syamsul Arief mengajak seluruh masyarakat Papua untuk bersama-sama mendudukan masalah ini secara proposional.”Mari kita memberikan dukungan kepada aparat keamanan dalam mengambil langkah untuk menyelamatkan bangsa, bukan untuk kepentingan perseorangan melainkan untuk keselamatan penjagaan wilayah NKRI. Dengan demikian kita sepakat bahwa Indonesia itu final. Kalau kemudian ada ekses, saya meminta agar ditangani juga secara profosional,” ujarnya.

Untuk itu, ia berharap, kejadian yang terjadi pada Kongres Rakyat Papua III hendaknya kejadian yang terakhir dan tidak akan terulang lagi dimasa-masa yang akan datang. “Pada masayarakat Papua, mari kita bersama-sama membangun daerah ini dan menjaga ketertiban serta keamanan di provinsi tertimur di Indonesia ini, apalagi kita akan melaksanakan Pemilihan Gubernur Papua,” katanya.

Ditempat yang sama, Kapolda Papua Irjen Pol Bigman Lumban Tobing menegaskan bahwa kongres rakyat Papua III tidak dihentikan, meskipun pada awal pembukaan sudah terjadi penyimpangan dan melanggar aturan yang ada. Inilah toleransi terbesar yang diberikan aparat keamanan.

“Kami tidak menghentikan kongres tersebut, meskipun pada saat mau berlangsung ada pengibaran bendera bintang kejora. Meskipun sudah melanggar aturan yang ada, aparat keamanan memilih menunggu hingga berakhirnya pertemuan itu. Kalau ada ekses itu dinamika dilapangan,” tegasnya.

Menyinggung soal adanya tiga orang yang ditemukan tewas pasca penutupan kongres, Kapolda mengatakan, pihaknya saat ini masih melakukan penyelidikan lebih lanjut. Apalagi kata Kapolda, pihak kepolisian tidak menerima permintaan izin penyelenggaraan KRP III tersebut. Karena, salah satu syarat pelaksanaan kongres adalah harus jelas tempat pelaksanaannya. ‘’Jadi sampai saat ini tidak ada permintaan izin, tapi inilah toleransi kita terbesar walaupun pada pembukaan sudah ada pengibaran bendera, tapi kita tunggu sampai selesai pelaksanaan kongres,’’ tandasnya.

“Kalau ada masyarakat termasuk rekan-rekan media, atau siapapun yang memiliki bukti penyebab tewasnya tiga orang tersebut silahkan sampai ke kepolisian, jangan cuma katanya-katanya silahkan sampaikan kepada kita. Kami akan menindaklanjutinya,’’tukasnya.

Lebih lanjut dikemukakan Kapolda, ke enam pelaku KRP IIIyang sementara ditahan akan diproses secara hukum. Sedangkan yang lainnya sudah dikembalikan oleh pihak kepolisian. Pada kesempatan tersebut.’’Sekali lagi saya klarifikasi bahwa Kongres tidak dihentikan. Karena, jika dihentikan mengapa tidak dari awal dihentikan,’’ katanya.

Sementara ketua DRPRP John Ibo membantah secara tegas adanya isu bahwa setiap anggota dewan gajinya dipotong untuk pendanaan KRP III. Isu itu tidak benar karena DPRP adalah suatu lembaga karena merupakan lembaga harus ada kebijakan yang merupakan keputusan. “Kami tidak pernah mempunyai keputusan atau kebijakan setiap anggota menyumbangkan dana terhadap kongres, bila memang ada akan ditemukan,” pungkasnya.[tho]

Written by Thoding/Papos
Saturday, 22 October 2011 00:00

Penjabat Gubernur Provinsi Papua: Silakan Berpendapat, Tapi Jangan Singgung NKRI

JAYAPURA – Penjabat Gubernur Provinsi Papua, Syamsul Rivai menegaskan, setiap warga Negara Indonesia bebas menyampaikan aspirasi dan berpendapat di depan umum, asalkan sesuai dengan aturan dan UU yang berlaku.

‘’Silahkan berkumpul, mengeluarkan pendapat itu sah-sah saja, tapi jangan menyinggung NKRI, jangan melenceng dari aturan yang berlaku, apalagi mencoba mendirikan negara dalam negara. Jika itu yang terjadi maka akan ditindak tegas,’’ujar Syamsul Rivai kepada wartawan di ruang kerjanya, Jumat 21 Oktober, menyikapi aksi pembubaran paksa Kongres Rakyat Papua III oleh aparat keamanan. Dalam pertemuan menyikapi pasca Kongras III itu, juga hadir Kapolda Papua Irjen Pol BL Tobing,Ketua DPR Papua Drs John Ibo MM, Pangdam XVIII/Cenderawasih Mayjen TNI Erfi Triassunu, tokoh masyarakat, tokoh adat .

Kata dia, NKRI sudah final dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapa dan pihak manapun. Dan, bukan hanya aparat keamanan yang bertugas menjaga keutuhan negaranya, tapi juga seluruh rakyatnya. ‘’NKRI wilayahnya dari Sabang sampai Merauke, jika ada yang mencoba mengganggunya, seluruh rakyat Indonesia akan menghadang, dan tentu yang berada di Papua menjadi front pertama yang menghadangnya,’’tegas dia.

Menurut dia, pemerintah sebenarnya sudah sangat toleran dengan pelaksanaan kongres rakyat Papua III, namun, karena sudah melenceng yakni mengibarkan bendera bintang kejora dan mendeklarasikan Negara dan pemerintahannya, tentu, pemerintah tidak tinggal diam. ‘’Pemerintah sangat menghargai kebebasan berpendapat, tapi jika sudah melenceng jauh tidak mungkin diam saja,’’paparnya.

Lanjut Gubernur, langkah aparat gabungan Polisi dan TNI membubarkan paksa kongres, sudah sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). ‘’Mereka yang ditangkap dan saat ini diproses adalah yang diduga memiliki pengaruh dalam kongres, melanggar aturan dan perundang-undangan, jadi tindakan aparat sudah sesuai ketentutan yang berlaku,’’singkatnya.

Mengenai jatuhnya korban jiwa, kata Gubernur, itu hanya ekses dari sebuah penanganan kasus. ‘’Jatuhnya korban yang tidak diinginkan, hanya dinamika lapangan saat penanganan,’’imbuhnya.

Kapolda Papua Irjen Pol BL Tobing yang juga hadir di ruang kerja Gubernur mengatakan, pembubaran paksa kongres, karena sudah melenceng dan mencoba merongrong NKRI. ‘’Kami sudah memberikan toleransi, kongres berjalan tanpa ada surat izin,kemudian hari pertama terjadi pengibaran bintang kejora, lantas kemudian malah mencoba mendirikan sebuah Negara, ini kan jelas melanggar, tentu harus ditindak,’’tandasnya.

Mengenai jumlah korban jiwa mencapai enam orang sesuai dengan klaim Komnas HAM, Kapolda menadaskan, silahkan memberikan keterangan yang sesuai dengan fakta. ‘’Kalau memang ada 6 orang menjadi korban, dan diduga ditembak silahakn serahkan datanya, jangan hanya katanya-katanya. Kalau memang itu ditembak, tunjukan bukti itu dilakukan aparat, nanti oknumnya akan diproses,’’tukasnya.

Enam tersangka kasus Kongres Rakyat Papua (KRP) III tetap diproses hukum. Mereka adalah, Forkorus Yaboisembut, Selpius Bobbi, Edison Gladius Waromi, August Makbrawen Sananay Kraar, Dominikus Sorabut dan Get Wenda

Kapolda Papua menandaskan, ratusan peserta KRP III yang diamankan pada Kamis (20/10) telah dilepas dan dikembalikan kepada masyarakat.

Sementara menurut Wakil Ketua Perwakilan Komnas HAM Papua, Matias Murib, tim Komnas HAM pusat akan turun melakukan investigasi terkait aksi pembubaran dan tewasnya sejumlah warga dan peserta kongres. ‘’Minggu depan, komnas HAM pusat akan turun melakukan penyelidikan,’’ucap dia.

Nama-nama 6 orang korban tewas, James Gobay 25, Yosaphat Yogi (28), Daniel Kadepa (25), Maxsasa Yewi (35), Yacob Samnsabra (53), Pilatus Wetipo (40). Sedangkan yang luka-kula akibat dipukul dan dipopr aparat, Ana Adi (40), Miler Hubi (22), Matias Maidepa (25). (jir/mdc/don/l03)

Menhan Tegaskan Prinsip NKRI

JAKARTA – Bumi Papua tengah menjadi sorotan. Setelah dua insiden berdarah yang terjadi dalam rentang waktu dua hari, Konferensi International Lawyers for West Papua (ILWP) dihelat di London menuntut kemerdekaan bagi Papua Barat. Sekelompok massa di Papua mendukung pelaksanaan konferensi tersebut.

Menanggapi hal itu, pemerintah menegaskan bahwa prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi harga mati. “Prinsip kita bahwa NKRI itu harus dipertahankan. Tidak ada alasan, tidak ada kemungkinan terbuka bagi mereka untuk menaikkan Bintang Kejora,” kata Menhan Purnomo Yusgiantoro di sela acara buka puasa bersama di Istana Negara, kemarin (3/8).

Dia justru mengkritik bahwa mereka yang mendukung tidak menyadari bahwa konferensi itu tidak mendapatkan atensi dari dunia internasional. “Jadi yang dilakukan di London untuk referendum dan sebagainya itu tidak ada respon dari dunia internasional,” kata Purnomo.
Mantan menteri ESDM itu mengatakan, pemerintah tetap melakukan proses hukum. Termasuk jika ada indikasi perbuatan makar. “Ini belum sampai di situ (makar, Red), tapi ini kita tetap kita waspadai,” ujarnya.

Menurut dia, saat ini aparat mewaspadai beberapa titik. Antara lain di Paniai dan Abepura. Selain lokasi yang terdapat persoalan politik, juga terdapat Bintang Kejora. “Upaya kita itu tidak harus dipublikasikan, kadang upaya persuasif,” katanya.

Sementara Menko Polhukam Djoko Suyanto menolak anggapan adanya pelanggaran HAM oleh pemerintah di Papua. Alasannya, pemerintah justru menjadi sasaran. “Bukan mengada-ada pemerintah. Memang ada seperti itu,” katanya.

Sehingga, jika aparat melakukan tugasnya dalam koridor penegakan hukum, tidak bisa dipersepsikan sebagai bentuk pelanggaran HAM. “Jangan salah dipersepsikan seolah kita melakukan pelanggaran HAM,” tegas Djoko. (fal)

Kamis, 04 Agustus 2011 , 17:04:00
http://www.cenderawasihpos.com/index.php?mib=berita.detail&id=2677

Berulangkali Pemerintah Kolonial NKRI berkilah: Pelanggaran HAM di West Papua hanyalah Cerita Sejarah Kelam di Era Orde Baru, Betulkah?

Dalam berbegai kesempatan dan tempat, berulangkali NKRI selalu berkilah: “Papua lebih baik ada di dalam NKRI, karena NKRI sudah berkomitmen membangun Provinsi Papua dalam Otsus,” “Pelanggaran HAM yang dilaporkan pejuang Papua Merdeka dan advokat HAM hanyalah merupakan bagian dari riwayat kelam regime Orde Baru,” “Indonesia sedang memasuki tahapan penting dalam proses demokratisasi, dan pembangunan di West Papua sudah memperhatikan dan melindungi HAM,”. Tiba-tiba saja mulut yang mengeluarkan kata-kata manis berbulu domba itu ditampar dengan keras sampai babak-belur oleh aparat NKRI sendiri dengan bukti kuat pelanggaran HAM itu BUKAN bagian dari sejarah West Papua di dalam NKRI dalam era Orde Baru, tetapi pelanggarn HAM dan penderitaan bangsa Papua yang selalu dikeluhkan dan dilaporkan pejuang dan pendukung Papua Merdeka itu terbukti benar. Memang betul pelanggaran HAM di Tanah Papua tidak pernah berhenti, era Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi. Hanya sekejab saja kebebasan dan kelegahan dirasakan saat Alm. KH Abdurrahman Wahid berkuasa dirasakan oleh bangsa Papua. Terutama dengan pembebasan semua TAPOL/NAPOL Papua dan izin pengibaran Bendera Bintang Kejora serta penyelenggaraan KRP II 2000 (Kongres Rakyat Papua) merupakan langkah berani dan berperikemanusiaan Gus Dur waktu itu selain merubah nama Irian Jaya menjadi Papua.

SBY dan pasukannya selalu bermulut manis dan menebar senyum dengan jamu-jamu buatannya menghibur pemimpin dunia den membantah segala kleim pejuang Papua Merdeka selama ini dengan mengatakan, “Saya perduli dan saya cintai orang Papua sebagai saudara-saudara sebangsa-setanah air. Saya pejuang HAM dan tokoh demokrasi Indonesia. Tidak ada pelanggaran HAM di Papua. Saya memperhatikan hak mereka dan bertekad membangun Tanah Papua.”

Buktinya?

Jangan lupa, ketika Wasior tenggelam oleh banjir, SBY hanya bisa datang setelah seminggu lamanya, dengan alasan bencana di Wasior tidak sehebat bencara lain di Indonesia. Hanya setelah Menlu AS menyampaikan keprihatinan dan belasungkawa atas bencana Wasior lalu SBY tersentak membuat pernyataan pers seolah-olah ia cinta manusia di Tanah Papua.” Kleim Ali Murtopo saat Pepera, “Kami tidak perlu manusia Papua, kami perlu Tanah Papua. Kalau orang Papua mau merdeka, minta Amerika carikan tanah di bulan, atau minta tuhan ciptakan tanah bagimu,” itu memang semakin terbukti dan ternyata.

Bukan cerita baru dan tidak juga kaget melihat mengapa SBY harus secepatnya bereaksi atas kematian orang Papua yang merupakan calon-calon mangsa NKRI-TNI itu. Daripada dibunuh dengan menghabiskan peluru NKRI, lebih baik alam Papua menghabiskan mereka saja. Malahan doa ucapan syukur yang dinaikkan.

Saat Video pelanggaran HAM muncul merajalela di semua media utama (mainstream media) di dunia, termasuk BBC dan CNN, Presiden SBY seolah-oleh bersikap tersentak memimpin rapat khusus menyikapi soal itu. Tertamparlah wajah pemerintahan Orde Reformasi di bawah SBY, bahwa kleim perlindungan dan penegakkan HAM dalam Otsus itu tidak terbukti. Ada pepatah jitu, “Perbuatan berteriak, dan perkataan hanya sekeras bisikan,” atau “Perbuatan berbicara lebih keras daripada perkataan.”

Kini pelanggaran HAM di West Papua ssudah tidak perlu dibuktikan lagi karena telah terbukti. Kini orang Papua harus bertanya, “Mau tinggal dengan NKRI dan selalu dibunuh dan dilanggar hak-haknya?”

Bangsa terjajah bermental budaklah yang akan berkata, “Itu kan perlakuan oknum TNI, nanti akan dihukum, dan kita terus membangun Papua di dalam bingkai NKRI!” Bangsa yang tahu diri dan punya martabat akan mengatakan, “Cukup sudah penderitaan ini! NKRI keluar dari tanah airku, WEST PAPUA!” Merdeka Harga Mati!!!

Otonomi Khusus, Pemekaran dan Penolakan rakyat Papua dalam Kaitannya dengan Boikot Pemilu NKRI 2009: Sebuah Catatan Lepas per Agustus 2008

Oleh Sem Karoba

Dalam tiga buku saya, berujudul PAPUA MENGGUGAT: (1) Praktek, (2) Teori , dan (3) Politik serta Politisasi Otonomi Khusus NKRI di Papua Barat (2004a, 2004b dan 2005) terbitan Galang Press Yogyakarta telah berulang kali disebutkan dengan jelas dan tegas, menantang kleim NKRI dan Gubernur Jaap Solossa (waktu itu), bahwa Otonomi Khusus BUKANLAH SOLUSI, seperti kleim kaum Papindo (Papua Pendukung NKRI: Papua – Indonesia), tetapi adalah sebuah penumpukan masalah baru di atas masalah lama yang sudah akut dan kumat dalam hubungan NKRI – Papua Barat.

Keakutan dan kekumatan penyakit dalam Pangkuan Ibutiri Pertiwi itu disampaikan dengan gamblang dalam ketiga buku ini bahwa entah berapapun dananya, entah berapa lamapun pemberlakuannya, entah kapanpun diterapkan, entah siapapun yang menerapkannya (Solossa ataupun Suebu, atau malaikat siapapun), Otsus bukan diberikan dengan ketulusan hati karena orang Papua sesama warga negara Indonesia yang patut dan berhak mendapatkan perhatian ‘khusus’, tetapi justru karena orang Papua dianggap ‘lain’ dari sisi etnis, budaya, wilayah, dan terutama pandangan politik serta statusnya dalam kedudukan segenap penduduk NKRI. Diskriminasi yang ada di sini bukanlah diskriminasi positiv, tetapi diskriminasi negative, diskriminasi yang dianggap tabu dalam pandangan politik global dan demokrasi modern yang menopang pluralisme dan multikulturalisme. Otonomi yang khusus itu ada bukan “karena bangsa Papua itu berbeda suku-bangsa dan etnik daripada kebanyakan penduduk NKRI,” tetapi ia diberikan “karena bangsa Papua itu tidak sama dalam suku-bangsa dan etniknya daripada kebanyakan penduduk NKRI.” Dengan kata lain, “Anak kandung berbeda statusnya dengan anak tiri”, biar sebesar apapun, seberapa piringpun anak tiri diberi makan, sang ibu tiri tetap memandangnya dan meperlakukannya sebagai anak-tiri. Sah-sah saja si anak-tiri memberontak, meminta perhatian ekstra, meminta bagian yang layak, menolak pemberian sang ibutiri dan seterusnya, tetapi sepanjang sang ibutiri memandang dan memposisikan anaktirinya itu sebagai anak tiri, tetapi saja ia menjadi nomor dua atau ke sekian dalam perhatian dan perlakuannya.

Apalagi kalau anak kandungnya sendiri dilanda berbagai persoalan, musibah, penyakit sosial, budaya dan fisik seperti yang kita lihat terjadi di Pulau Jawa-Sumatra. Lumpur yang berbau muncul di mana-mana di kedua pulau, tak pernah ada ujung pangkal penyelesaiannya. Pembunuhan misterius dan berantai terjadi di mana-mana, tanpa ada ujung-pangkalnya. Organisasi dan kelompok milisi serta semi-militer bertebaran dan beraksi di sana-sini, saling mengancam dan menyerang. Korupsi kekayaan negara secara besar-besaran terjadi mulai dari tingkat tertinggi sampai ke tingkat terbawah. Harga kebutuhan bahan pokok terus-menerus melambung, dan pelambungan itu terjadi dalam hitungan minggu, bukan bulan apalagi tahun. Rakyat yang melarat sulit mendapatkan makanan dan tempat tinggal selayaknya sebagai manusia. Banyak orang Jawa-Sumatra minum air dari kotorannya sendiri, dari tempat mereka membuang kotorannya sendiri, dan banyak pula yang harus menempuh berkilo-kilo jauhnya untuk hanya menimba air se-ember. Untuk makan sesuap nasipun harus dengan cara halal (meminta-minta) dan kebanyakan dengan cara haram (memperdagangkan dirinya serta membunuh orang kaya dan mencuri serta merampok).

Ini hanya sedikit masalah ekonomi dan fenomena penegakkan hukum alam yang berimbas kepada kehidupan sosial dan budaya. Belum kita singgung tumpukan masalah politik, hukum dan hak asasi manusia secara utuh. Kalau kita berhitung semuanya, jelas isu “kemiskinan dan kebodohan” yang dijadikan sebagai dasar persoalan peluncuran paket Otsus menjadi tidak bermakna sama sekali. dalam kasak mata, Kebodohan dan kemiskinan tidak nampak di Papua Barat. Pantas karena rumus mengukur kaya-miskin mereka gunakan dari stangar Bank Dunia, yaitu hitungan sebuah bank, yang berarti berdasarkan peredaran uang masuk-keluar dari saku-saku manusia. Jelas saja orang Papua tidak secara seratus persen tergantung atas uang, seperti orang di Pulau Jawa, Sulawesi, Bali, dan Sumatera. Apakah ukuran kaya-miskin benar harus diukur dari jumlah uang yang keluar-masuk saku-saku manusia? Bukan begitu! Itu patokan modernisme, yang kini sudah mulai tidak laku lagi, walaupun orang Papua yang baru keluar dari zaman batu itu menganggap modernisme sebagai Injil bagi hidupnya dan masa depannya. Pantas saja karena ia tidak tahu kepahitan modernsime. Modernisme lebih diwarnai dengan kepahitan hidup daripada kebahagiaan. Itu yang tidak dikenal orang Papua. Pantas saja begitu, karena mereka belum tahu apa artinya modernisasi dan pembangunan.

Teori-teori modernisme mulai mentah kembali, dan manusia sudah mulai putar otak untuk memformat ulang atau mensampahkan segala teori lama, terutama teori pembangunan (modernisme), terutama karena penegakkan hukum alam (bencana, musibah) yang melanda segenap kehidupan di Planet Bumi. Manusia mulai bangkit seolah-olah mereka pintar dan sudah benar, berbicara tentang Pemanasan Bumi, Perubahan Iklim Global dengan berbaga terorika dan pertemuan politik. Gubernur Papua-pun tidak ketinggalan, walaupun di satu sisi ia memberi izin penebangan pohon, ia juga tampil di pentas global seolah-olah sebagai penyelamat bumi Cenderawawasih, Hutan Papua. Persoalan bukan kepada gelagat atau taktik atau pendekatan yang diluncurkan, tetapi paradigma berpikir, bahwa modernisme dan pembangunan dapat mengendalikan kehancuran di muka Bumi.

Pembangunan lewat Otsus, Pemekaran
Pertanyaan sekarang adalah “Apakah Otonomisasi NKRI di Papua Barat telah berhasil?” “Berhasil lakukan apa?” dan “Berhasil untuk Siapa?”

Tentu saja NKRI akan menjawab, ya, sudah berhasil, karena (1) Sudah ada trilyunan rupiah dikuncurkan ke saku pejabat dan departemen di Tanah Papua; (2) Sudah ada banyak Kabuptan dan Dua Provinsi di Tanah Papua degan sudah banyak Batalion, Polres, Polsek, Korem, Yonif dan Pegawai Negeri dari Jawa-Sumatera sudah banyak didrop kesana untuk membangun Papua Barat; (3) Sudah banyak pesawat Pemda yang dibeli oleh Pemda sendiri untuk dipakai demi melancarakan akses TNI/Polri ke pelosok Tanah Papua; (4) Sudah banyak jalan raya yang dibangun menghubungkan berbagai wilayah untuk mendrop pasukan TNI/Polri dalam mengejar dan membunuh rakyat Papua; (5) Sudah bayak pejabat Papua mengenal Tanah Jawa dan merumahkan banyak isteri di Jawa yang selama ini perlu duit dari Tanah Papua, dan seterusnya.

Dari berbagai demo Penolakan Otsus di Tanah Papua sejauh ini dapat dipetik sejumlah point yang mereka jadikan sebagai alasan. Pernyataan yang lebih sering mengemuka adalah “Kondisi hidup orang Papua sebelum Otsus lebih baik daripada setelah Otsus”, atau “Otsus tidak membawa dampak apa-apa bagi masyarakat asli Papua.” Artinya “Otus telah gagal!” Memang setelah mereka menolak Otsus itu sering disertai dengan berbagai tuntutan, terutama tuntutan untuk mengembalikan hak kedaulatan bangsa Papua. Rupanya tuntutan untuk dialogue dengan pemerintah NKRI semakin menghilang dengan kehilangan wajah dan peran PDP. Apakah bangsa Papua sudah kehilangan harapan bahwa Indonesia akan bakalan bersedia untuk berdialogue? Mengapa NKRI bisa berdialogue dengan bangsa NAD, tetapi dengan bangsa Papua tidak bisa? Bukanlah itu merupakan wujud nyata dari diskriminiasi positiv tadi? Bangsa Papua itu apa sih, sehingga mampu memaksa orang Melayu berdialog hanya gara-gara hak kamu wong ireng yang setengah hewan setengah manusia itu? Berpuluh tahun menuntut dialogue, berpuluh tahun pula tak ada tanggapan. Bukanlah itu sebuah wujud nyata diskriminiasi politik NKRI?

Mengapa ada perbedaan penilaian atas kiprah Otsus di Tanah Papua? Mengapa ada yang bilang gagal, ada yang bilang sudah berhasil?

Seperti saya sudah banyak dan berulangkali sebutkan dalam buku-buku saya, persoalannya bukan terletak kepada jumlah uang yang dikeluarkan atau berapa lama ia diterapkan. Bukan juga kepada pihak yang mengatakan Otsus gagal atau Otsus berhasil. Persoalan pokoknya terletak kepada “Titik berangkat dan paradigma berpikir dalam memandang dan menilai Otsus.”

Seperti berulangkali disampaikan dalam berbagai kesempatan, orang Papua merasa dan mengetahui pasti bahwa Otsus digulirkan bukan karena mereka kurang makan dan kurang minum, sama seperti orang Jawa-Bali-Sumatera-Sulawesi, tetapi justru karena bangsa Papua menuntut kemerdekaannya. Wacananya jelas, minta merdeka, maka diredam dengan Otsus. Tetapi di tengah jalan, ada kelompok kelas menengah Papua, mulai dari Gubernur sampai Menteri orang Papua diserta para staff ahli di Departemen Dalam Negeri NKRI dan DPRP serta DPRRI memberikan nasehat kepada Jakarta bahwa tuntutan itu karena kecemburuan sosial. Maka paradigma pemberian Otsus justru dibelokkan dari esensi yang sebenarnya, Merdeka digantikan oleh Otsus menjadi Penderitaan, kemiskinan, kebodohan, diupayakan untuk digantikan oleh kebahagiaan dan kesetaraan lewat Otsus.

Yang berulang kali juga saya tanyakan dalam buku-buku ini adalah, “Orang Papua mau dijadikan setara dengan “apa” atau “siapa”? Apakah setara dengan penderitaan yang melanda di Pulau-Pulau NKRI? Hendak disamakan dalam tingkat kejahatan, kemiskinan, kemelaratan dan penderitaan seperti yang dialami kebanyakan penduduk NKRI? Siapa yang sebenarnya menderita saat ini: Orang Papua atau orang Indonesia? Maka, kalau mau disamaratakan, maka apakah penderitaan yang ada di Pulau Jawa-Bali-Sulawesi-Sumatera mau dibagi-rata dengan orang Papua di Pulau New Guiena bagian Barat itu? Kalau kebahagiaan, di mana sarang kebahagiaan itu di Pulau Jawa-Bali-Sulawesi-Sumatera? Sama sekali tidak nampak???

Yang sudah terjadi di Tanah Papua hingga tahun ini (per Agustus 2008) adalah sama psersis, tanap ada yang meleset dari apa yang telah digambarkan hampir 5 tahun silam dari ketiga buku ini: militerisasi, devide et impera alias pecah bela antara keluarga, marga dan suku, pendropan pasukan, penambahan Yonif, Korem, Polres, Poslsek, dan penambahan jumlah pasukan TNI dan Polri, yang berakibat intensifikasi dan ekstensifikasi operasi militer/polri, yang berdampak peningkatan jumlah orang mati misterius di jalan-jalan, entah dengan alasan karena miras ataupun karena mati tanpa identitas, penyebaran penyakit di mana-mana dan kematian yang merebak tanpa tahu sebab-musababnya, pelacuran yang marak (seperti sekarang sudah marak di Kota Numbay dan kota-kota lainnya di Tanah Papua), yang semuanya BELUM PERNAH ADA sebelum Otsus diluncurkan. Di kelas atas, banyak pejabat sudah memiliki banyak isteri dan rumah dan kendaraan ditempatkan di mana-mana. Bisnis Otus sudah merebak.

Kalau MAsyarat Papua Menilai Otsus Gagal, Jalan Terbaik Bukan Menuntut Kembalikan Kedaulatan, tetapi Memboikot Pemilu 2009
NKRI dan Ibutiri Pertiwi menganggap sudahlah berkelebihan memparhatikan sang anak-tiri itu, bahkan menyesal sudah memperlakukan seolah-olah Papua itu anak kandungnya. Sementara Papua sendiri tidak merasa puas dengan perlakuan ibutiri Pertiwi. Ia tetap saja menuntut.

Kalau begitu apa yang harus dilakukan?

Pertama, orang Papua harus sadar, entah kaum Papindo ataupun nasionalis, keduanya berasal dari dan hidup untuk Tanah Papua. Keduanya harus sadar penuh dan betul-betul bahwa penjajahan adalah penjajahan. Tidak pernah ada bangsa yang memanfaatkan penjajahan untuk kebahagiaan dan kemakmuran bangsanya. Itu impian siang bolong. Bangsa sehebat manapun di muka bumi, tak pernah ada yang mengoptimalkan sumberdayanya untuk kebahagiaan dan kemakmurannya di dalam bingkai kolonialisme yang ada. Tetap saja, tujuan akhir kedaulatan politik di luar penjajahan menjadi target.

Ada saja orang Papua yang berteori, “Kita isi perut dulu, kita kembangkan ekonomi dulu, kita bangun darerah dulu, baru kita merdeka. Otsus merupakan jalan untuk mempersiapkan kemerdekaan.” Ini juga teori kosong, tak pernah ada buktinya. Memang ini sebuah idealisme yang sudah diinginkan bangsa-bangsa terjajah di muka bumi, tetapi sayang, dari semua bangsa yang pernah dijajah dan yang sudah pernah merdeka, tidak ada satupun dari mereka yang melewati alur pemikiran ini. Walaupun mereka pernah mencita-citakan, sama seperti orang Papindo, tetapi maaf saja, itu sebuah teori yang tidak pernah ada buktinya dalam sejarah hidup manusia dan sejarah modernisasi (kolonialisme dan dekolonisasi). Kita hanya sedang menantikan Skotlandia dan Welsh untuk membuktikan teori itu, kalau keduanya bisa. Selain itu tidak ada. Apakah orang Papua mau membuktikannya dahulu sebelum Skotlandia dan Welsh? Sebuah mimpi siang bolong!

Yang dibutuhkan sekarang adalah agar bangsa Papua memperhatikan apa saja haknya dan apa saja kewajiban negara. Lalu mulai berhitung berapa banyak hak bangsa Papua yang belum pernah ia manfaatkan atau dijamin oleh NKRI dan berapa banyak kewajiban NKRI yang belum pernah ia penuhi atau ia langgar?

Salah satu dari sekian hitungan itu adalah “Hak yang melekat dan tak dapat diganggu-gugat untuk TIDAK MENGIKUTI PEMILU” sebuah negara. Untuk mengikuti Pemilu atau tidak mengikuti Pemilu bukanlah merupakan sebuah kewajiban, tetapi adalah HAK. Itu artinya, negara tidak berhak untuk memaksa penduduk siapapun untuk mengikuti Pemilu, apalagi Partai Politik yang tak ada artinya apa-apa dalam politik modern itu?

Dalam berhitung antara hak dan kewajiban itu, maka begitu bijak dan jitu, kalau mulai saat ini bangsa Papua, secara masal dan secara keseluruhan, mempersiapkan langkah-langkah untuk MEMBOIKOT PEMILU NKRI 2009.

Kalau Anda berdemo, pasti ada Polisi mengawal, pasti harus ada izin untuk itu, pasti Anda dipenjarakan karenanya dan pasti ada KUHP tentang pelanggaran apapun yang Anda lakukan. Tetapi kalau Anda menolak ikut Pemilu, TAK ADA HUKUM APAPUN MEWAJIBKAN ANDA, apalagi menghukum Anda. Itu berlaku di manapun di seluruh dunia dan di seluruh Indonesia. Mantan Presiden RI. Aburrahman Wahid-pun sudah mengumumkan dirinya sebagai “Golongan Putih alias Golput” dalam Pemilu 2009.

Orang Indonesia asli, WNI asli, mantan Presiden saja sudah menyatakan diri sebagai Golput. Apalah artinya seorang anak-tiri bagi ibuturinya? Apalah artinya meminta-minta berlebihan sementara tahu persis bahwa anak-kandungnya lebih dinomrsatukan daripada anak tiri? Sekalian saja, tunjukkan sikapmu bahwa “Kau orang Papua punya ayah dan ibu kandung, yang belum mati sampai detik ini. Dan untuk kembali ke pangkuannya, Anda menolak ikut Pemilu NKRI 2009!”

Kalau itu yang Anda buktikan, dalam jarak waktu hitungan bulan ini, maka selanjutnya sebenarnya Anda tak perlu berkeluh-kesah turun ke jalan dan harus dikawal polisi, harus meminta izin dan harus berbicara sambil melirik kiri-kanan siapa tahu Anda ditangkap atau dikejar karena “Tolak Otsus dan minta kembalikan kedaulatan.” Dengan memboikot Pemilu, Anda sudah melakukan segala-galanya. Dan hal itu bukan sebuah kewajiban, tetapi sekali lagi, SEBUAH HAK, yak HAK ANDA, SEPENUH-PENUHNYA.

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny