Nicholas Jouwe, Tokoh Fenomenal Papua Tutup Usia

Jakarta, PAPUANEWS.ID – Nicholas Jouwe, seorang tokoh Papua yang sempat menjadi sorotan meninggal dunia pada Sabtu (16/9) sekitar Pkl. 03.15 WIB di rumah Duka Jl. Kedondong 16 Komp. Kalibata, Jakarta Selatan.

Sebagian besar pihak keluarga Nikholas Jouwe menginginkan jenazah dimakamkan di Jayapura (tempat kelahirannya).

Mantan tokoh pro-kemerdekaan papua ini meninggal di usia 94 tahun. Nicholas Jouwe lahir pada 24 November 1923 di Jayapura.

Nama Nicholas Jouwe tidak bisa dilepaskan dari sejarah pergerakan papua merdeka. Ia adalah tokoh pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM). Nicholas Jouwe oleh Belanda pernah diperintahkan untuk membuat Bendera Kebangsaan Bintang Kejora.

Sejak tahun 1960 -2008, ia tinggal di Belanda dan selama itu dimanfaatkan oleh elemen Separatis di luar negeri untuk minta Kemerdekaan Papua ke PBB. Nicholas Jouwe dibawa oleh penjajah Belanda dan dijanjikan akan diberikan Kemerdekaan namun tak kunjung terealisasi.

Setelah beberapa puluh tahun menetap di Belanda, Nicholas Jouwe merasa hanya menjadi kambing hitam dan memutuskan untuk kembali ke Indonesia serta menghabiskan sisa hidupnya di tanah air.

Baca juga :   Pemprov Akan Pecat ASN yang Kedapatan Mabuk

Sekilas Perjalanan Hidup Nicholas Jouwe

Nicolaas Jouwe adalah pemimpin Papua yang terpilih sebagai wakil presiden dari Dewan Nugini yang mengatur koloni Belanda, Nugini Belanda. Sementara itu yang bertindak sebagai presiden dari Dewan Nugini adalah seorang pegawai negeri Belanda, Frits Sollewijn Gelpke.

Jouwe adalah politisi Papua yang mendapat jabatan tertinggi di koloni tersebut. Setelah koloni tersebut diserahkan ke UNTEA pada Oktober 1962 dan enam bulan kemudian diserahkan ke Indonesia, Jouwe meninggalkan Papua dan pergi ke Belanda, disana ia menetap di kota Delft. Dia bersumpah tidak akan pernah kembali ke tanah kelahirannya jika masih diduduki oleh Indonesia, namun pada tahun 2010 ia kembali ke Papua Barat dan kembali menjadi WNI. Pada saat itu Jouwe berubah dari seorang yang pro-kemerdekaan Papua menjadi pro-Indonesia.

Alasannya kepulangan Jouwe ke Indonesia secara lengkap terdapat dalam sebuah buku karya Nicolaas Jouwe bertajuk: Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran dan Keinginan.

Melalui penuturan Jouwe lewat buku ini, terungkap serangkaian fakta-fakta yang membuktikan adanya konspirasi internasional di balik gagasan menginternasionalisasikan Papua sebagai langkah awal menuju Papua Merdeka, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Buku ini memulai dengan satu pernyataan menarik dari Jouwe, sebagai bentuk rasa bersalah sekaligus pertobatan atas langkah yang diambilnya kala itu.

“Saya pribadi menilai pelarian saya ke Belanda merupakan pilihan yang patut disesali. Namun kini, saya menyadari bahwa Papua merupakan bagian dari NKRI,” begitu tukas Jouwe.

Pada bulan Oktober 2008, sebuah film dokumenter ditayangkan di televisi Belanda berisi tentang kehidupan Jouwe. Dalam film dokumenter itu, Jouwe menegaskan sikapnya untuk tidak kembali ke Papua Barat yang diduduki Indonesia. Namun pada bulan Januari 2009, ia diundang oleh pemerintah Indonesia untuk mengunjungi tanah leluhurnya. Jouwe merespon positif, dan ia akhirnya mengunjungi Papua dan Indonesia pada Maret 2009. Tentang kunjungannya itu, sebuah film dokumenter lanjutan dibuat oleh sutradara yang sama. (dw)

Sengkarut Diplomasi Pasifik Selatan

23 June 2016, Angelo Wake Kako, Harian Indoprogress

NDONESIA membuat terobosan baru dalam membangun hubungan kerjasama antar negara. Jikalau pola kerjasama selama ini lebih fokus dengan negara-negara besar, atau negara Utara, maka kali ini Indonesia mencoba menjajaki negara-negara di kawasan Pasifik Selatan. Papua Timur (PNG), Fiji, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan sejumlah negara pasifik lainnya menjadi target kerjasama yang hendak dibangkitkan. Sebagai realisasinya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM langsung melakukan lawatan (Kompas, 13/2/2016). Salah satu misi yang dibawa adalah persoalan Papua. Pasifik Selatan menjadi penting ketika berbicara mengenai Papua. Bagaimanapun, rumpun bangsa penghuni negara-negara Pasifik Selatan merupakan bangsa Melanesia yang sama dengan suku bangsa di Papua, Maluku dan juga Nusa Tenggara Timur. sebagaimana diketahui bahwa Organisasi negara-negara Melanesia (Melanesian Spearhead Group) atau MSG telah memberikan tempat kepada Papua sebagai peninjau, dan isu pelanggaran HAM di Papua menjadi isu utama yang menjadi perjuangan MSG di dunia internasional. Pada titik inilah, diplomasi Pasifik Selatan dipandang mendesak.

Pertanyaan reflektifnya adalah manakah yang lebih penting antara diplomasi Pasifik Selatan sebagai ancaman eksternal keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ataukah pembangunan yang berkemanusiaan di Papua, sebagai masalah internal terhadap ancaman disintegrasi bangsa? Ibarat api dan asap, riakan di wilayah Pasifik Selatan tidak akan pernah berhenti tatkala api di Papua tidak mampu dipadamkan. Singkatnya, pemerintah harus fokus pada penyelesaian masalah Papua. Pendekatan diplomasi Pasifik Selatan sedang menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia menjadikan masalah Papua sebagai propaganda dari negara lain yang ingin merongrong keutuhan NKRI. Hemat penulis, tanpa adanya kesadaran dan kejujuran dari pemerintah tentang permasalahan Papua, niscaya pendekatan apapun yang diakukan di Papua, ibarat membuang garam di laut.

Nasionalisme Papua

Pemerintah Indonesia sudah saatnya harus menyadari bahwa nasionalisme Papua itu ada. Dalam diri orang Papua terdapat nasionalisme ganda, yakni nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Papua berbasis pada ras Melanesia yang berkulit hitam dan berambut keriting, sementara nasionalisme Indonesia mengacu pada Bhineka Tunggal Ika. Penyemaian Nasionalisme Papua telah dilakukan oleh pemerintah Belanda sejak tahun 1925 melalui pendidikan formal berpola asrama, sementara penyemaian keindonesiaan baru dimulai sejak tahun 1945 (Bernarda: 2012). Nasionalisme Papua berawal dari munculnya sikap anti – amberi (orang bagian Timur yang membawa budaya Melayu) akibat kebrutalan perlakuan tentara jepang dan orang Maluku dan Sulawesi Utara pada saat itu. Selain itu, lambannya pembangunan dan sikap pemerintah belanda di Batavia yang mengabaikan masalah Papua memberikan kontribusi bagi kebangkitan nasionalisme Papua (Penders,2002)

Berangkat dari latar sejarah seperti itu, masih relevankah pengerahan pasukan ke wilayah Papua dalam jumlah yang besar dan memunculkan kekacauan dan keresahan bagi warga sipil Papua? Bukankah segala penindasan dan pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Papua semakin menumbuhkan nasionalisme Papua?

Perjumpaan penulis dengan beberapa mahasiswa Papua beberapa waktu lalu di Jayapura, semakin menguatkan asumsi bahwa aparat keamanan menjadi biang kerok kemarahan masyarakat Papua. Rupanya, sakit hati ketika sanak keluarganya yang meninggal tertembak timah panas aparat keamanan kian hari kian membatu. Apakah Otsus (otonomi khusus) dan janji pembangunan yang dikampanyekan Jokowi dapat mengobati sakit hati mereka?

Otsus dan Janji Damai

Berbicara tentang Otsus, pasti hanya ada satu hal yang terlintas, yakni membanjirnya uang dalam jumlah besar ke wilayah Papua. Besaran dana yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, malah melahirkan berbagai masalah seperti korupsi para elit lokal Papua. Lagi-lagi hasil diskusi dengan beberapa mahasiswa Papua, masih meyakini bahwa dana Otsus tidak lebih ibarat permen yang diberikan bagi anak Papua yang sedang merengek nasibnya. Besaran dana akhirnya menjadi tidak efektif untuk dikelola demi pembangunan masyarakat Papua, lantaran masyarakat memilih apatis. Apatisme tersebut sungguh beralasan, karena yang mereka butuhkan adalah kedamaian. Apa artinya segepok uang yang diterima tangan kanan, di saat bersamaan tangan kiri harus melepas kepergian sanak saudara yang harus meninggal karena hujaman peluru para serdadu? Apalah artinya sejumlah uang yang diperoleh sementara hidup hanya menunggu mati karena HIV AIDS menjadi “peluru lunak” yang mematikan lapisan generasi? Di sinilah, letak masalah pembangunan Papua. Papua harus dibangun dengan hati agar kedamaian senantiasa dirasakan oleh segenap insan penghuni cendrawasih.

Mengenai kedamaian di tanah Papua, sebenarnya pemerintah Indonesia sudah jauh hari memikirkannya sebelum melahirkan Otonomi Khusus bagi Papua. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua sudah mendorong dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dengan harapan untuk memperkuat integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komisi ini diharapkan dapat mempersempit kesenjangan interpretasi antara pihak Papua dan Jakarta, khususnya dalam aspek kesejarahan dan penyelesaian berbagai pelanggaran HAM yang terjadi. Sudah 15 tahun Undang-Undang ini berjalan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi masih menjadi mimpi. Parahnya, di tengah penantian hadirnya komisi tersebut guna menyelesaikan aspek kesejarahan dan pelanggaran HAM di Papua, sejak Otsus berlaku, perilaku aparat keamanan semakin menjadi liar, seakan sedang berada di medan perang. Ratusan nyawa manusia Papua hilang di ujung senapan tanpa penyelesaian yang jelas. Ribuan warga Papua kehilangan kebebasan, mereka ditangkap, dipenjara atas nama “Makar”.

Pendekatan Kesejahteraan Berbasis Rekonsiliatif

Rekonsiliasi menjadi urgen. Rekonsiliasi tentu hanya bisa dilakukan apabila semua pihak berkomitmen untuk menghentikan seluruh gejolak berdarah yang sering terjadi di tanah Papua. Konsekuensi dari rekonsiliasi adalah tidak lagi terdengar berita hilangnya nyawa manusia Papua di ujung senapan tentara, Polisi ataupun orang tidak dikenal seperti yang selama ini sering terjadi. Hal yang paling ekstrim untuk dilakukan adalah dengan menarik pasukan bersenjata yang semakin banyak dikerahkan ke Papua. Pengerahan pasukan mengindikasikan bahwa negara masih menggunakan security approach dalam menangani masalah Papua yang sejauh ini dinilai gagal. Pendekatan keamanan tentu akan melahirkan berbagai masalah turunan yang tidak akan pernah menyelesaikan persoalan.

Semangat rekonsiliasi sebenarnya bertalian dengan pendekatan kesejahteraan dalam artian kesejahteraan batiniah. Untuk apa sejahtera kalau tidak mencakupi aspek lahiriah dan batiniah? Untuk apa memobilisasi pembangunan dengan sejumlah instrumen didalamnya tanpa memberikan rasa aman bagi masyarakat setempat? Sejumlah gebrakan pembangunan yang sudah dilakukan pemerintah patut diapresiasi. Kita menunggu kiranya pembangunan yang difokuskan untuk Papua, sekali lagi, tidak hanya menjadi “permen”, sebagai pemanis bibir belaka. Gebrakan pembangunan dengan mengedepankan semangat rekonsiliatif antara pemerintah Indonesia dan Masyarakat Papua adalah sebuah kemendesakan. Tanpa menghabiskan energi untuk berjibaku dengan pergolakan yang terjadi di Pasifik Selatan ataupun negara lainnya. Karena masalah sesungguhnya adalah bagaimana membangun Papua dengan hati. Bukan terjebak dengan gejolak yang terjadi di luar negeri. Mari wujudkan Papua sebagai tanah damai. Tunjukkan kepada pihak luar bahwa Indonesia mencintai Papua sebagai sesama saudara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.***

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Kajian Ketahanan Nasional UI/Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Periode 2016-2018

Berita Sekilas: Militar Indonesia atas Komando Kol. Siagian Beroperasi di Vanimo dan Sekitarnya

Dari Mabes Pusat Pertahanan Tentara Revolusi Papua Barat melaporkan bahwa Operasi Intelijen dan propaganda shock therapy lancar dilakukan aparat dan alater terorisme negara kolonial NKRI di Papua Barat, di kampung dan kota, di rimba dan bahkan di luar wilayah kedaulatan NKRI.

Satu minggu belakangan ini Kol. Burhanuddin Siagian dan 8 orang anggotanya sekarang beroperasi secara khusus dengan sejumlah individu yang menamakan dirinya anggota TPN/OPM (masih menggunakan nama TPN/OPM) dengan tujuan membujuk para anggota TPN/OPM itu (bukan anggota TRPB atau OPM menyerahkan diri ke pangkuan Ibutiri Pertiwi yang kejam itu. Keberadaan Siagian terkait erat dengan pekerjaan para penghianat Papua dan penjilat tempat kotoran NKRI, Messet-Joku Cs, dipimpin Ibu Penghianat I. Joku, Ketua Barisan Merah-Putih Papua bergerak di bidang diplomasi untuk membujuk dan membawa pulang para pencari suaka orang Papua di luar negeri. Ada beberapa berita dilansir Cepos, yang konon milik TNI/NKRI Kodam di Papua tentang rencana Markas Victoria an. Yor Kogoya dan rombongan berniat menyerahkan diri dan seterusnya.

Burhanuddin Siagian berhasil dengan tugas-tugasnya di Acheh, dan dianggap sangat sukses, maka ia dipindah-tugaskan ke Papua Barat. Hubugnan Acheh-Papua Barat kini sedang dipasang atas nama Papua Merdeka oleh Kolonel Burhanuddin Siagian. Tujuannya untuk menggali jaringan pejuang Papua Barat Merdeka, mengenal siapa di balik semua gerakan, dan akhirnya mematikan jaringan dan individu yang menggerakkan perjuangan Papua Merdeka. Ibu Papindo I. Joku sedang memakai seorang Papua lain bernama Al.M., berasal dari Kabupaten Jayapura, sementara Ibu Papindo Joku ada di baliknya, di belakangnya lagi Kol. Siagian, di belakangnya NKRI, dan sedang keluar-masuk ke pos-pos pertahanan TRPB dan melakukan pembicaraan-pembicaraan seputar persiapan senjata dan pemantapan organisasi.

Hingga belakangan ini pasukan Siagian bergerak terbuka di wilayah PNG, Vanimo, menimbulkan reaksi keras dari Somare dan Belden Namah (Seorang kapten Tentara PNG, PNGDF, Komandan operasi perbatasan PNG dengan NKRI, yang kini anggota legislativ di Vanimo sementara tetap memegang jabatan militer dimaksud, memiliki hubungan bisnis dengan Kopassus-NKRI dalam bidang pembalakan hutan).

Lebih dari 10 masyarakat tak berdosa juga dibawa melintas batas dan akhirnya tertangkap di Vanimo, dipenjarakan. Mereka dibawa dengan tujuan melakukan Latihan bersama Angkatan Bersenjata TPN/OPM, atas komando Gen. TRPB Mathias Wenda. Setelah dikonfirmasi., kami atas nama Mabes Pusat Pertahahan Komando Revolusi Tertinggi TRPB menyatakan korban penahanan ini telah berada di Vanimo, dan akan dipulangkan menurut waktu yang ditentukan oleh aparat kepolisian PNG. Secara resmi tidak ada program pelatihan. Program tunggal yang kita sedang galakkan sekarang ini adalah konsolidasi internal dan restrukturisasi organisasi, tidak ada agenda lain”. demikian dari SekJend TRPB Leut Gen. A. Tabi.

Menurut Tabi, “Untuk itu, kali berikutnya, semua langkah, seumpama mobilisasi dana, perang, latihan militer, apa saja, harus ada Surat Perintah dalam bentuk SPO atapun Surat Mandat dari Panglima Tertinggi. Ini zaman pascamodern, jadi semua berita tanpa bukti tertulis sebenarnya TIDAK USAH masyarakat ikut. Kita sedang urus negara, sebuah bangsa sedang menentang sebuah negara untuk membentuk negara, jadi tidak bermartabat kalau semua perintah Panglima Tertinggi dibawa dari mulut ke mulut. Orang Papua juga harus pintar dan sudah harus belajar setelah ditipu bertubi-tubi selama 45 tahun lebih. Kenapa masih juga mau ditipu?”

Somare di Jakarta Sekarang?

Saat ini Capt. PNGDF Belden Namah dan Somare dikabarkan ada di Indonesia membicarakan ketegangan dimaksud, disuguhi paha putih dan menutup mulut mereka dengan hidangan ala Jawa:suap, sogok, dan diam.

Ada sejumlah kasus yang perlu dicermati dan disikapi secara bijak oleh masyarakat dan bangsa Papua, di seluruh dunia:
1. Penangkapan 42 orang di Fak-Fak setelah mereka mengibarkan Bintang Kejora;
2. Kekacauan terbuka di Kota Vanimo oleh Pasukan Kopassus;
3. Pengiriman sejumlah aktivis Papua Merdeka ke Pulau Jawa dan lainnya dengan alasan untuk membeli seragam buat TPN/OPM, melobi senjata, dan sebagainya;
4. Memberikan Surat Panggilan kepada sejumlah Kepala Suku dan/atau Tokoh Adat di Papua Barat, dengan topik Undangan Melakukan Konsultasi Umum demi keamananan;
5. Pemekaran 5 kabupaten Baru di Pegunungan Tengah dan rencana Pemekarang Provinsi Papua Tengah dengan Ibukota di Timika;
6. Memberikan tekanan kepada para Kepala Suku dan politisi di Vanimo, PNG mengatasnamakan Somare untuk mengusir para pejuang dari Rimba Papua di wilayah perbatasan;
7. Melakukan operasi dan propagandan teror di wilayah perbatasan, atas nama penertiban dan pengamanan wilayah perbatasan.

Langkah Antisipasi Bangsa Papua

Yang harus dilakukan para pejuang dan rakyat di Papua Barat Merdeka adalah:
1. Membiarkan mereka cari makan, mereka makan dan mati karena kenyang, sama dengan sikap kami bersama terhadap anak bangsa Papua yang kini menjabat di kursi pemerintahan NKRI;
2. Agar rakyat Papua tidak terpancing dengan isu-isu seperti:
2.1 Latihan bersama pasukan TPN/OPM di wilayah perbatasan dalam rangka mempersiapkan pasukan TPN/OPM (Tidak ada pasukan TPN/OPM di perbatasan sekarang. Yang ada adalah Pasukan TRPB, dan OPM kini bermarkas pusat di Port Vila, Republik Vanuatu);
2.2 Tidak terpancing dengan isu-isu “OPM akan menyerang” atau “melakukan serangan” di mana saja, baik di perbatasan ataupun di kampung-kampung atau terutama di wilayah sekitar Tembagapura dan Bintuni, di mana ada perusahaan asing, dengan alasan meminta dana tambahan untuk makan-minum mereka kepada pemerintah asing;
2.3 Dengan sepenuhnya mendukung gerakan dan langkah Majelis Rakyat Papua (MRP), memboikot Pemilu 2009. Sekarang masa untuk operasi secara politik, bukan militer lagi, maka rakyat Papua yang dijadikan sebagai bagian dari NKRI, sebaiknya membuktikan diri “Tidak Setuju” itu dengan memboikot Pemilu 2009.
2.4 Agar semua berita dari mulut ke mulut mengatasnamakan Gen. TRPB Mathias Wenda tidak diterima dengan begitu lugu/polos. Semua berita itu harus dibuktikan dengan Surat Resmi, dengan Kop: “Tentara Revolusi Papua Barat (TRPB), Markas Pusat Pertahanan Komando Revolusi Tertinggi”, atau Surat Langsung dari Panglima Tertinggi dengan Kop Surat “Panglima Komando Revolusi Tertinggi – Tentara Revolusi Papua Barat”. Komando Pertahanan Sayap militer untuk Papua Merdeka sekarang TIDAK MENGGUNAKAN nama TPN/OPM lagi, Kantor Pusat OPM berada di Port Vila, Vanuatu, Markas Pusat TRPB berada di Timba Papua (Timur dan Barat).

Demikian dan harap menjadi pengetahuan umum,

SPMNews Crew
Seperti disampaikan langsung ke Crew SPMNews

Pemekaran Kabupaten Muyu

Pemekaran Kabupaten Muyu

“Awal Dari Pemusnaan Suku Bangsa Muyu”

Oleh : Firmansyah. S

Dengan adanya Daerah Muyu dimekarkan menjadi Kabupaten Muyu, apakah ini solusi untuk mensejahterakn Suku Bangsa Muyu dari berbagai Masalah…?, sekiranya justru ini suatu “Bom Waktu” yang dibuat dan diberikan oleh Pemerintah NKRI dan oknum-oknum yang ingin menghancurkan dan memusnakan Suku Bangsa Muyu dari muka Bumi ini. Namun orang Muyu sendiri menginginkan juga untuk menghancurkan dan memusnahkan Suku Bangsanya, maka mereka dengan semangat memperjuangkan pemekaran kabupaten Muyu, jikalau pemekaran ini terbentuk, maka disinilah “Awal Penghancuran dan Pemusnaan Suku Bangsa MUYU ”.

Dengan adanya Kabupaten Muyu ini, akan menjadi lahan Bisnis besar-besaran bagi, TNI/Polri, Kapitalis, Orang Pendatang, dan berbagai kaki Gurita, mereka akan menguasai seluruh aspek ekonomi dan segalah kekayaan Suku Bangsa Muyu. Ini fakta di dinia mana saja, dan pada khususnya di Papua seluruhnya terjadi pengalihan “HAK”. Jangan heran dan kaget jika kedepan Suku Bangsa Muyu ”Tersingkir” dan “Menyungkur” keluar dari tempat yang sebenarnya Hak Sulungnya,” jika terjadi demikian, maka demikian pula akhir dari “Riwayat Hidup Suku Bangsa Muyu” di muka Bumi ini, dan inilah yang diinginkan oleh para pejuang sejati pemekaran kabupaten Muyu dan kaum Kolonialis.

Pejuang sejati yaitu, pejuang yang ingin menyelamatkan orang dari, Intimidasi, Teror, Penindasan, Pemerkosaan, dan Pembunuhan, tanpa memikirkan kepentingan individu. Bukan memperjuangkan hak individu dan mencinptakan “Maut” bagi orang lain yang pada akhirnya akan “Mati”, maka kaum Intelektual dan Elite Politik Suku Bangsa Muyu haruslah berpikir Kritis dalam menciptakan sesuatu hal yang baru, harus berpikir pakai “Otak” bukan pakai “Pantat” karena pantat itu bukan bagian dari indera berpikir tapi itu bagian untuk mengeluarkan kotoran yang bauhnya “Busuk”. Maka akan demikian pula jika mereka yang mempunyai indera berpikirnya memakai “Pantat” .

Orang Suku Bangsa Muyu suatu ketika jangan menyesal dan merasa rugi jikalau Hak Sulung Suku Bangsa Muyu dirampas dan dikuras habis oleh Kaum Penjajah. Jikalau Suku Bangsa Muyu merasa bahwa Tanah tempat tinggal itu adalah Warisan Nenek Moyang’ dan disitulah tempat dimana Suku Bangsa Muyu itu di Nubuatkan, maka hargailah Leluhur Mu dan ingatlah Tujuh keturunan Suku Bangsa Muyu Kedepan. Dan juga jangan merasa aneh perubahan yang akan terjadi setelah pemekaran kabupaten Muyu, karena Nuansanya akan jauh berbeda kejahatannya dibanding sebelum terjadinya pemekaran kabupaten Muyu.

Harus diingat bahwa, Suku Bangsa Muyu adalah Suku yang mempunyai karakteristik yang berjiwa Militan, sejak diciptakan oleh “Sang Pencipta” yang kemudian diberi tempatnya untuk hidup di Bumi ini. Sifat Militan ini telah terpatri disetiap individu Manusia Suku Bangsa Muyu, sehingga ketidak cocokan dalam segalah keputusan pasti ada, walaupun telah disepakati namun belum bisa juga terselesaikan selama masih ada kontra pikiran, ini fakta dan akan terjadi terus-menerus setiap generasi ke generasi tak akan perna ada kata habis, justru hanya konflik yang akan tetap berkepanjangan di Tanah Suku Bangsa Muyu.

Kebebasan di Indonesia Masih Buruk

[JAKARTA] Kebebasan yang mulai dirasakan sejak era reformasi, kenyataannya terus memburuk. Kondisi seperti itu terlihat antara lain dari kebebasan masyarakat untuk mendirikan partai lokal, kebebasan beragama, dan kebebasan untuk mendapatkan akses publik terhadap pandangan media.

Demikian hasil survei ulang yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Demokrasi Demos yang disampaikan kepada wartawan di Jakarta, Senin (5/5). Survei pertama dilakukan pada 2003-2004 dengan mewawancarai Continue reading “Kebebasan di Indonesia Masih Buruk”

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator

Fast, Pray, and Praise

to Free Melanesia and Melanesian Peoples from Satanic Bondages