OPM MELAHIRKAN ULMWP DAN ULMWP MELAHIRKAN PEMERINTAHAN SEMENTARA BANGSA PAPUA BARAT

Fakta: Persoalan Papua Barat sudah Go Internasional

“Pemerintah Indonesia mengatakan Pemerintahan Sementara bangsa Papua Barat adalah ilusi. TETAPI, yang jelas dan pati, saya mengatakan, BAYI sudah lahir, bayi ini sedang bertumbuh dan berkembang. We WAIT dan SEE dalam proses pertumbuhan bayi ini.”

Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman

Mari, kita jangan berlari-lari atau jalan di tempat. Kita tidak tinggal dalam tempurung kelapa. Kita mau maju dan bergerak ke depan dalam mengikuti dinamika era globalisasi. Kita bukan kodok yang melompat-lompat di tempat. Kita makhluk manusia berpikir, melihat, dan melangkah maju ke depan.

Dengan tepat Hon. Benny Wenda membuat pusing dan gelisah penguasa Indonesia dengan membentuk Pemerintahan Sementara bangsa Papua Barat. Hon. Benny Wenda tahu, mengerti dan sadar apa yang ia kerjakan untuk bangsanya.

Tepat dan benar apa yang dikatakan Dr. Ibrahim Peyon, Ph. D..

“Icon Bangsa Papua. Hanya dia (Benny Wenda) yang mampu menggoyangkan Jakarta dan Dunia. Jakarta takut hanya dia (Benny Wenda)”.

Saya satu-satunya dan orang pertama yang menyampaikan Ucapan Selamat kepada Hon. Benny Wenda atas deklarasi Pemerintahan Sementara bangsa Papua Barat pada 1 Desember 2020 di Oxford, Inggris.

DI SINILAH, letak diginity dan karakter saya sebagai bangsa Papua Barat yang merdeka dan berdaulat sejak leluhur. Saya tidak perduli apa kata orang. Saya sudah menjadi diri saya sendiri. Saya menerima diri saya apa adanya.

Saya mendukung wadah politik resmi ULMWP sebagai rumah bersama bangsa Papua Barat dan saya juga mendukung Pemerintahan Sementara bangsa Papua Barat dan organ perjuangan lainnya.

Saya harap, rakyat dan bangsa Papua Barat dari Sorong sampai Merauke jangan bingung.

Perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat merdeka sudah jelas tentang proses, dinamika, dan progres/kemajuannya dari waktu ke waktu.

Pemerintahan Sementara bangsa Papua Barat itu ibarat seorang bayi. Seorang bayi tidak selamanya berada dipelukkan ibunya, tidak selamanya berada di tempat tidur, tidak selamanya dia merangkak jatuh dan bangun. Bayi pasti belajar berdiri dan jatuh dan bangun lagi. Akhirnya bayi itu berdiri tegak dan berjalan dengan sempurna dan dia menjadi remaja, pemuda dan dewasa.

OPM lahir pada 26 Juni 1965 di rumah Kepala Suku Besar Arfak Mayor Tituler Lodewijk Mandacan dan Kapten Tituler Barens Mandacan di Fanindi, Manokwari.

Setelah enam tahun, keberadaan OPM diperkuat pada 1 Juli 1971 di Kampung Waris dikenal Markas Victoria (Marvic) dengan nama Tentara Nasional Papua (TNP) dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Seth Jafet Rumkorem, Jacob Prai dengan beberapa tokoh OPM.

Ada tiga langkah maju dalam proses perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk pengakuan kemerdekaaòn 1 Desember 1961 yang lengkap dengan simbol-simbol negara dan parlemennya.

1. OPM melahirkan ULMWP

Saya setuju dengan dua pengakuan ini.

Rex Rumakiek mengakui: “ULMWP adalah roh baru dari OPM.”

Victor Mambor mengatakan: “Dulu OPM, sekarang namanya ULMWP…”

(Sumber: Kami Bukan Bangsa Teroris: 2022:57).

ULMWP didirikan pada 7 Desember 2014 di Vanuatu dan didirikan oleh Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB), Koalisi Pembebasan Nasional Papua Barat (WPNCL), Parlemen Nasional Papua Barat (NPWP).

2. ULMWP melahirkan Pemerintahan Semetara Bangsa Papua Barat

Hon. Benny Wenda pada saat menjabat Ketua ULMWP membentuk dan mengumumkan Pemerintahan Sementara bangsa Papua Barat pada 1 Desember 2020 di Oxford, Inggris.

Dalam deklarasi ini dihadiri oleh Pendeta Dr. James Bhagwan Sekretaris Jenderal Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC) yang berkedudukan di Fiji.

Pendeta Dr. James Bhagwan adalah pendukung kuat Perjuangan Kemerdekaan rakyat dan bangsa Papua Barat.

Pemerintah Indonesia mengatakan Pemerintahan Sementara bangsa Papua Barat adalah ilusi. TETAPI, yang jelas dan pati, saya mengatakan, BAYI sudah lahir, bayi ini sedang bertumbuh dan berkembang. We WAIT dan SEE dalam proses pertumbuhan bayi ini.

Karena, yang mendirikan OPM, ULMWP dan Pemerintahan Sementara bangsa Papua Barat dibentuk oleh manusia yang sedang berfikir dengan berbagai dinamikanya dalam mengikuti untuk meraih impian, cita-cita dan harapan masa depan bangsa yang lebih baik, damai dan bermartabat.

Yang jelas dan pasti: BAYI sudah lahir, yaitu Pemerintahan Sementara bangsa Papua Barat.

Anjing menggonggong, kafila berjalan terus….Hon. Benny Wenda pikullah penderitaan, tulang belulang, tetesan air mata dan cucuran darah bangsamu. Anda tidak akan kecewa. Berjuanglah dengan jujur dan berkata benar kepada lawan.

Hon. Benny Wenda, Ingatlah, jagalah dan peganglah PESAN dari Brigjen Pol Raziman Tarigan kepada Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman pada Juni 2002 di Ruang Kerja Wakapolda Papua.

“Pak Socratez, saya minta, tolong jaga Benny Wenda. Dia pemimpin sejati. Ketenangannya tidak dibuat-buat. Ketenangannya lahir dari hatinya. Dia pemimpin Papua yang hebat.”

Hon. Benny Wenda Presiden Sementara bangsa Papua Barat, saya punya harga diri atau signity, saya sudah mengucapkan Selamat atas Deklarasi Pemerintahan Sementara bangsa Papua Barat. Karena itu, saya jaga kata-kata saya itu dari Ita Wakhu Purom, teruslah berjalan ke depan bersama semua kekuatan yang ada dalam ULMWP (NRFPB, WPNCL, NPWP, TPNPB, KNPB dan organ perlawanan lainnya).

Doa dan harapan saya, tulisan kecil ini memberikan wawasan tersendiri atau memberikan perspektif baru, meneguhkan, menguatkan yang ragu, bimbang dan takut.

Terima kasih. Tuhan memberkati.

Ita Wakhu Purom, 22 September 2023

Penulis:

1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.

2. Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).

4. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC).

4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).

++++++

Kontak: 08124888458/08128888712

PGI Menilai Jakarta Tak Ingin Dialog Damai dengan Papua

Penulis: Bob H. Simbolon 21:14 WIB | Rabu, 05 Oktober 2016

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Eksekutif bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Henri Lokra, menilai pemerintah Indonesia tidak memiliki keinginan menyelesaikan permasalahan di Papua dengan jalan damai dan dialog damai.

“Jalan Damai, Dialog Damai yang diusulkan oleh LIPI dan lembaga advokasi masalah Papua atau pelanggaran HAM di Papua sampai hari ini tidak dilaksanakan pemerintah Indonesia. Hal terlihat pemerintah tidak ingin menyelesaikan persoalaan dengan dialog damai ,” kata dia di Grha Oikoumene, Jakarta pada hari Rabu (5/10).

Menurut dia, pelanggaran HAM telah terjadi di Papua. Pertama, tahun 1977 dengan membumi hanguskan puluhan desa di Wamena, dengan melakukan pembunuhan dan pengeboman. Kedua, ada sepuluh ribu masyarakat Papua mengungsi di PNG menyusul pembunuhan Antropolog Universitas Cendrawasih padatahun 1984. Ketiga, kasus pembunuhan Paniai yang juga belum selesai di era Presiden Joko Widodo.

“Pemerintah Joko Widodo harus melakukan dialog damai dalam menyelesaikan permasalahan damai di Papua karena sudah ada roadmap yang disusun LIPI,” kata dia.

Dia mengatakan PGI memandang HAM merupakan masalah universal. Karena itu, kata dia, Indonesia tidak bisa menutup mata terhadap perhatian negara lain termasuk tujuh negara terhadap masalah keamanan di Papua.

“Kerja-kerja advokasi yang kami lakukan di Papua bertujuan membangun trust tetapi kalau setiap hari orang melihat ada pembunuhan, orang berkumpul mendapat penjagaan ketat dengan polisi dan tentara bersenjata lengkap, hal itulah membuat masyarakat Papua tidak percaya kepada Indonesia.” kata dia.

Editor : Eben E. Siadari

Sofyan Yoman: Biarkan Rakyat Papua Berjuang Dengan Cara Mereka

“Pertarungan” Indonesia dan ULMWP “berlanjut” di Papua Lawyer Club (PLC), Rabu malam (10/8/2016), dalam satu dialog yang disiarkan TV Swasta, di Kota Jayapura, Papua. Setidaknya itulah yang coba disajikan oleh Jaringan Damai Papua (JDP) dalam dialog yang bertema Pertarungan Pemerintah Indonesia versus United Liberation Movement West Papua (ULMWP).

Hadir dalam acara tersebut wakil-wakil dari masing-masing pihak yang “bertarung”. Wakil ULMWP, seperti Victor Yeimo dan Edison Waromi, juga tokoh gereja Pdt. Sofyan Yoman, serta pemerintah Indonesia, diwakili oleh Asisten Deputi Bidang Otonomi Khusus Menkopolhukam, Brigjen Herwin Suparjo. Wakil LIPI, Adriana Elizabeth dan JDP, Septer Manufandu, berperan sebagai jembatan dari kedua belah pihak. dilansir dilaman tabloidjubi.com.

Dalam acara lewat siaran televisi langsung Papua Lawyers Club (PLC) tersebut Sofyan Yoman mengakatan dalam pidatonya, Mentri Polhukam Luhut Binsar Panjahitan pernah berjanji didepan pemimpin gereja, Bapak Pdt. Albert Yoku, Presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikbo, Ketua Sinode KINGMI di tanah Papua Pdt. Dr. Benny Giay dan saya sendiri Ketua Gereja Persekutuan Baptis Papua, bahwa beliau (Mentri Polhukam Luhut B. Panjahitan) sendiri bilang begini, Bapak-bapak dalam waktu singkat saya akan menyelesaikan kasus Paniai, ia sangat berbohong kepada kami, itu pemerintah sudah berbohong kepada pemimpin Gereja!, ini luar biasa dia bilang dikantor sinode GKI, dalam waktu singkat saya akan kastau kepada presiden Jokowi bahwa kami akan selesaikan kasus Paniai dalam waktu singkat bulan ini, ini satu penipuan yang besar negara lakukan terhadap umat Tuhan di tanah Papua, kami sangat menyesal Pdt-Pdt seperti itu, kebohongan seperti itu, lalu kita lihat kasus di Tolikara, Tolikara itu, kasusnya itu yang terbakar Mushola, sementara itu, itu sebenarnya terbakar bukan dibakar, itu bukan mushola, itu tempat rumah tinggal, “rumah” dijadikan tempat ibadah terbakar, sekarang Presiden diam, kasus Paniaipun diam, kepala mentrinya diam, tapi seketika kasus Tolikara mushola terbakar, Panglima TNI, Kapolri, tiga mentri langsung kunjungi kesana urus mushola.

Sementara 11 orang ditembak hari itu satunya meninggal yang lain luka-luka dibiarkan tidak diselediki, ini bagaimana, urus mushola atau urus kemanusiaan Papua? Hanya ada omong kosong, kalau pemerintah mau bangun, “bangun” itu kewajiban anda selama 54 tahun dan akan datang ” bangun”.

“Tapi perjuangan bangsa Papua untuk menentuan nasip sendiri biarkan mereka berjuang dengan cara mereka” itu bukan mereka berjuang dihutan-hutan, bukan dipingir jalan, berjuang dalam forum-forum resmi, biarkan mereka berjuang, mereka tidak membunuh orang, menculik, menangkap orang seperti pemerintah lakukan terhadap rakyat Papua, menculik, menangkap, membunuh dengan stigma separatisme.

Saya pemimpin gereja bicara, saya bukan politisi, saya bukan bagian dari pemerintah, cukup lama umat Tuhan ini mederita, jangan alasan ini alasan itu, otonomi khusus gagal, itu sudah gagal. Pemerintah Amerika juga bilang gagal, itu berbau politik seketika orang Papua mau merdeka, jangan selalu bilang nilai uang, orang Papua tidak bisa diukur dengan nilai uang.

Orang Papua punya uang, Freeport punya uang, Tipi punya uang, Sorong minyak, kayu disini ada banyak, bisa mereka bangun, mereka punya uang banyak. Saya sampaikan selama ini pemerintah selalu bilang bicara dengan siapa, oh salah sekarang sudah membentuk ULMWP, perdana bilang ULMWP untuk siapa, pemerintah segerah bicara dengan ULMWP.

Minta maaf saya ini gereja bicara, jadi saya kastau itu umat Tuhan tidak boleh menderita. Terimakasih Tuhan Memberkati, diakhiri pidatonya. (*)

Papua: Saatnya Dialog Setara RI-ULMWP

Penulis: Pdt Socratez Sofyan Yoman 07:15 WIB | Rabu, 25 Mei 2016

JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Rakyat Papua, para pemimpin agama, gereja-gereja, para akademisi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), politisi, pekerja kemanusiaan, bahkan beberapa pemerintah negara sahabat menyampaikan tawaran kepada pemerintah Indonesia supaya mengadakan dialog damai dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk mengakhiri konflik politik yang berkepanjangan antar rakyat Papua dan pemerintah Indonesia. Dalam menyikapi penawaran ini, pemerintah merasa kesulitan mengakomodasi rakyat Papua untuk berdialog karena banyak kelompok antara rakyat Papua yang berjuang untuk tujuan politik.

Untuk memudahkan pemerintah Indonesia berdialog yang setara dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), rakyat Papua dengan cerdas dan inovatif membentuk satu payung politik perjuangan formal yang dinamakan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Wadah politik rakyat dan bangsa Papua ini dikonsolidasikan dan dibentuk resmi pada tahun 2014 di Vanuatu. ULMWP yang mengakomodasikan seluruh kelompok perjuangan dan kepentingan perjuangan rakyat Papua ini disambut luas oleh seluruh rakyat Papua. Persatuan dari seluruh kelompok perjuangan merupakan pergumulan doa seluruh rakyat Papua. Rakyat dan bangsa Papua sekarang dengan sepenuh hati mendukung ULMWP walaupun pemerintah Indonesia tidak mengakui keberadaan ULMWP.

Orang-orang yang menakhodai ULMWP juga sangat representatif dari seluruh rakyat Papua dari Sorong-Merauke. Octovianus Mote sebagai Sekretaris Jenderal, Benny Wenda sebagai Spokeperson, Leoni Tanggahma (anggota mewakili) perempuan, Rex Rumakiek (anggota) dan Jakob Rumbiak (anggota).

Pemerintah Indonesia bereaksi keras bahwa lima orang ini bukan perwakilan rakyat dan bangsa Papua tetapi hanya kumpulan kelompok kecil yang berdiaspora di luar negeri. Walaupun demikian, rakyat dan bangsa Papua menerima dan percaya penuh bahwa lima orang itu sudah merupakan perwakilan resmi rakyat dan bangsa Papua.

Dasar yang dipegang rakyat Papua adalah lima orang itu dipilih resmi dalam Konferensi Perdamaian Papua pada 5-7 Juli 2011 di Auditorium, Jayapura. Konferensi ini dibuka dan sekaligus menjadi KeyNote Speaker adalah Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM pada masa pemerintahan Hj. Bambang Susilo Yudoyono. Para pembicara yang hadir dalam konferensi itu juga mewakili pemerintah, aparat keamanan, dan juga para pemimpin agama. Gebernur Papua, Pangdam VXII Cenderawasih, Kapolda Papua, Uskup Leo Laba Ladjar, Dr. Tonny Wanggai dan saya (Socratez Yoman) sebagai pembicara dalam konferensi itu.

Lima orang ini dipilih resmi oleh peserta Konferensi Perdamaian Papua yang terdiri dari 1.350 orang yang merupakan utusan perwakilan seluruh rakyat Papua. Tidak ada alasan bagi pemerintah Indonesia bahwa lima orang itu mewakili orang-orang Papua yang ada di luar negeri. Kita juga harus jujur bertanya, mengapa lima orang itu ada di luar negeri yang meninggalkan tanah air dan keluarga mereka.

Belakangan ini rakyat Papua semakin solid and kuat. Karena, selama bertahun-tahun, dunia membisu atas pembantaian rakyat Papua atas nama keamanan nasional. Namun demikian, dunia tidak selamanya membisu ketika nilai-nilai kemanusiaan, martabat manusia terus dilecehkan dan direndahkan oleh Negara. Pemerintah, rakyat dan Gereja Vanuatu, pemerintah, rakyat dan Gereja Kepulauan Salomon, rakyat dan Gereja dan Kaledonia Baru, rakyat, Gereja, dan pemerintah Tonga, tidak selamanya membisu, menutup mata dan telinga atas penderitaan rakyat Melanesia dan Pasifik di Papua Barat.

Adapun utusan Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM, Luhut B. Panjaitan berangkat mengadakan pertemuan dengan Lord Richard Harries, mantan Uskup Oxford, pendukung Papua Merdeka di Parlemen Inggris. Kunjungan itu juga sekaligus mengajukan protes atas pernyataan dukungan Papua Merdeka dari Tuan Jeremy Corbyn, Ketua Partai Buruh Inggris pada 3 Mei 2016 pada pertemuan Parlemen Internasional untuk Papua Barat di London.

Dalam tulisan ini saya mau sampaikan kontribusi pemikiran bahwa substansi masalahnya bukan ada pada Lord Harries, Tuan Jeremy Corbyn, Pemerintah Vanuatu, Pemerintah Kepulauan Salomon, Pemerintah Kanaki dan Pemerintah Tonga. Persoalan sesungguhnya ada pada terjadinya kejahatan kemanusiaan terhadap Papua. Masyarakat internasional, siapapun dia, tidak setuju dengan pembunuhan manusia ciptaan dan gambar Allah atas nama dan kepentingan nasional.

Saya secara pribadi pun mempunyai hubungan yang sangat baik dan kuat dengan Tuan Lord Richard Harries selama 12 tahun sejak 2015 sampai 2016. Tuan Lord Harries sudah mengundang saya tiga kali dan kami berdua bertukar pikiran tentang perbaikan dan perdamaian untuk masa depan rakyat Papua. Pemimpin dan rakyat Papua sudah ada dimana-mana yang sedang membagikan penderitaan mereka kepada sesama manusia di setiap pelosok seluruh dunia. Intinya rakyat Papua telah memenangkan hati masyarakat Internasional dari akar rumput sampai pada pemerintah.

Karena itu, demi kehormatan dan kredibilitas pemerintah Indonesia di mata masyarakat Internasional, saran saya kepada pemerintah, sudah saatnya dialog setara antara Pemerintah Republik Indonesia dan United Liberation Movement for West Papua. Karena dunia ini sudah menjadi seperti sebuah kampung kecil sehingga tidak ada ruang untuk berpura-pura dan tidak ada tempat untuk kebohongan-kebohongan.

Lagi pula satu-satunya provinsi di Indonesia yang dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia melalui persetujuan masyarakat internasional adalah Provinsi Papua. Maka, Pemerintah Indonesia jangan berpandangan keliru dalam proses sejarah ini.

Penulis adalah Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua beralamat di Jln. Ita Wakhu Purom, Numbay (Jayapura) Papua.

Editor : Eben E. Siadari

Socratez: Diplomasi Rakyat Papua Menangi Hati Dunia

Penulis: Eben E. Siadari 11:09 WIB | Jumat, 20 Mei 2016, satuharapan.com

Socratez Sofyan Yoman (Foto: unpo.org)
Socratez Sofyan Yoman (Foto: unpo.org)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, Socratez Sofyan Yoman, mengatakan, rakyat Papua sudah memenangi hati komunitas internasional dari berbagai level. Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan diplomasi meredam isu Papua bergerak di level G to G. Sedangkan rakyat Papua bergerak dari akar rumput.

“Indonesia kalah diplomasi bermartabat, jujur, tulus, benar dan berintegritas. Rakyat Papua dipercaya dan dihormati,” kata Socratez lewat pesan pendek kepada satuharapan.com.

Dalam beberapa pekan terakhir, Socratez diundang oleh anggota parlemen Selandia Baru ke negara itu. Dalam rangkaian perjalanannya di sana, ia menjelaskan perkembangan terbaru tentang konflik Papua kepada berbagai pihak di negara itu.

Ia mencontohkan kunjungan Menkopolhukam Luhut B. Pandjaitan, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dan Kepala BNPT Tito Karnavian, kepada tokoh politik dan gereja Inggris pendukung Papua merdeka, Richard Douglas Harries, atau yang lebih dikenal sebagai Lord Harries of Pentregarth pada 11 Mei lalu. Kunjungan ini digambarkan sebagai upaya memberikan penjelasan akan kekeliruan pandangan tokoh politik dan gereja Inggris itu tentang Papua.

“Lord Harries mantan Uskup Oxford pendukung Papua merdeka adalah teman saya sudah 12 tahun sejak 2005. Beliau sudah undang saya tiga kali, dan terakhir tahun 2010. Kalau saya kunjungi UK, kami biasa ada percakapan masa depan bangsa Papua,” kata Sofyan.

“Supaya Indonesia tidak kehilangan muka, lebih baik dialog damai dengan ULMWP,” tutur Socratez. ULMWP adalah singkatan dari United Liberation Movement for West Papua, organisasi yang mewadahi berbagai kelompok pro-penentuan nasib sendiri di Papua.

Ia meyakini ULMWP akan diterima sebagai anggota penuh oleh Melanesian Spearhead Group (MSG) tahun ini. “Berarti bangsa-bangsa anggota MSG, Karibia dan Afrika akan bawa masalah West Papua ke Komisi 24 PBB tentang Dekolonisasi,” ujar dia.

“Dialog damai itu jalannya. Pemerintah RI dan ULMWP harus duduk berunding dijembatani pihak ketiga,” tambah dia.

Sementara itu pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan aktivis Papua Itu Kita, Veronica Koram, dalam sebuah artikelnya di The Jakarta Post, mengatakan bahwa sudah selayaknya Jakarta berdialog dengan ULMWP, wadah bagi banyak organisasi di seluruh Papua dan memiliki mandat politik dan budaya yang sah untuk mewakili rakyat Papua.

Menurut dia, ULMWP memegang status pengamat di MSG sedangkan pemerintah Indonesia berstatus anggota asosiasi di MSG. “Jika pemerintah merongrong dan mengkriminalisasi ULMWP, itu tidak menghormati MSG sebagai forum diplomatik,” kata dia.

“Namun jika pemerintah serius berkomitmen untuk MSG, harus mengambil tawaran MSG untuk memediasi dialog damai antara pemerintah dan ULMWP,” ia menulis.

Ia mengutip pernyataan Presiden Jokowi yang mengaku tidak ada masalah di Papua. Namun, kata dia, tindakannya pekan lalu ketika mengirimkan utusan untuk melakukan pendekatan kepada Lord Harries untuk mencoba meredam pembicaraan tentang masalah Papua justru menggambarkan ada masalah.

Apalagi bulan lalu Luhut juga pergi ke Fiji dan PNG untuk membahas Papua.

“Mengirim tokoh senior ke luar negeri dalam misi menyelamatkan muka, dan mengirimkan proxy seperti mantan presiden Timor Leste José Ramos-Horta ke Papua hanya menghindar dari akar masalah,” kata Veronica.

Padahal, menurut Veronica, akar masalahnya adalah pelanggaran HAM di Papua serta pelurusan sejarah dan kebebasan berekspresi yang dilanggar. Untuk itu, menurut dia, pemerintah harus membuka dialog dengan ULMWP.

Di abad lalu, kata Veronica, mantan menteri luar negeri Ali Alatas menggambarkan Timor Timur sebagai “kerikil dalam sepatu” diplomasi bangsa Indonesia. Papua, kata dia, akan terus menjadi duri dalam daging sampai Indonesia akhirnya mendengarkan secara mendalam dan terlibat dalam dialog tentang aspirasi Papua, termasuk penentuan nasib sendiri.

Editor : Eben E. Siadari

Socratez: RI Tolak PM Solomon Justru Percepat Papua Merdeka

JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Tokoh Papua, Pendeta Socratez Sofyan Yoman, menilai penolakan Presiden Indonesia Joko Widodo terhadap permintaan pertemuan dengan Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare, untuk membahas masalah Papua Barat justru dapat mempercepat Papua Merdeka.

“Kalau Ketua Melanesian Spearhead Group (MSG) ditolak, untuk apa Indonesia menjadi anggota MSG? Dengan alasan-alasan seperti ini Indonesia semakin memberikan legitimasi dan kekuatan lobby-lobby ULMWP di dunia Internasional. Akibatnya, Indonesia sendiri mempercepat Papua Merdeka,” kata Socratez dalam pesan singkat yang dikirim ke satuharapan.com, hari Jumat (26/2).

Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGGBP) itu juga menilai, bahwa “memang sangat berat dan rumit bagi pemerintah Indonesia menghadapi masalah Papua.”

Dia mencontohkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua merupakan awal kemenangan bagi Pemerintah Indonesia. “Tapi sayang, pasal demi pasal dan ayat demi ayat yang dalam UU Otsus itu tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh bahkan kenyataannya Otsus telah gagal total.”

Untuk memperbaiki itu, kata Socratez, pemerintah provinsi Papua sudah mengajukan Otsus Plus tapi itu juga ditolak pemerintah.

“Permintaan untuk smelter dibangun di Papua juga tidak digubris Jakarta. Lebih parah lagi penembakan 4 siswa di Paniai 8 Desember 2014, yang dilakukan aparat keamanan tidak ditangkap dan diadili pelakunya.”

Lebih lanjut, Socratez yang berada di Jayapura, menilai lebih fatal lagi bagi pemerintah Indonesia yang menolak Tim Pencari Fakta dari Pasific Island Forum (PIF) ke Papua dan menolak menerima kunjungan ketua MSG PM Salomon Islands untuk pertemuan dengan Indonesia sebagai anggota MSG.

“Pemerintah Indonesia jangan persalahkan rakyat Papua tapi introspeksi diri baik-baik demi kebaikan Indonesia,” katanya.

Jokowi Tolak Bertemu PM Solomon

Sebelumnya, Presiden Indonesia Joko Widodo telah menolak permintaan pertemuan dengan Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare, untuk membahas masalah Papua Barat.

Hal itu diungkapkan Sogavare di Noumea, New Caledonia, pada hari Jumat (19/2), dalam pertemuan dengan para pejabat dari Front de Liberation Nationale Kanak et Sosialis (FLNKS). Ini merupakan perjalanan 13 hari Sogavare sebagai Ketua MSG di ibu kota MSG. Sedangkan FLNKS merupakan anggota MSG.

“Perjalanan saya saat ini ke ibu kota MSG seharusnya telah berakhir di Jakarta,” kata Sogavare kepada rekan-rekan FLNKS seperti dikutip solomonstarnews, hari Senin (22/2).

“Ini adalah untuk membahas kemungkinan mengatur pertemuan antara Indonesia dan anggota United Liberation Movement of West Papua (ULMWP), yang menginginkan kemerdekaan bagi Papua Barat.”

Tapi Sogavare mengatakan: “presiden Indonesia telah mengindikasikan dirinya tidak tertarik untuk membahas masalah Papua Barat.”

Keputusan dari presiden Indonesia menimbulkan banyak pertanyaan, mengapa Indonesia menjadi anggota MSG jika tidak mau bekerja sama dalam menangani isu-isu yang menjadi perhatian MSG.

“Namun demikian, pemerintah Kepulauan Solomon di bawah kepemimpinan saya dan MSG di bawah pimpinan saya akan terus mengejar isu Papua Barat,” kata Sogavare.

Editor : Eben E. Siadari

Pater Nato Gobay : Orang Papua Bukan Binatang Buruan!

Nabire, Jubi – Sekretaris Jenderal keuskupan Timika, Pater Nato Gobay, dihadapan ribuan umat Katolik yang hadir dalam acara pentabisan 10 imam di lingkungan keuskupan Timika, Selasa (6/1), mengatakan, orang Papua adalah manusia.

Bukan kus-kus yang selalu diburu oleh manusia. “Pemerintah dan aparat militer baik TNI mapun Polri, tolong jangan lakukan penembakan terhadap umat saya. Tidak lama ini aparat sudah menembak mati lima anak muda yang menjadi harapan bangsa ini. Itu terjadi di kampung saya. Saya minta jangan lagi melakukan penembakan terhadap umat saya,” tegasnya di gereja Kristus Sahabat Kita (KSK) Bukit Meriam, Nabire.

“Saya tidak mau lihat lagi. Saya tidak mau dengar lagi kamu (aparat-red) tembak lagi umat saya di tanah Papua ini kedua kalinya. ‘Me wagi kouko daa’ tidak boleh membunuh. Manusia Papua itu bukan kus-kus yang harus diburu terus.

Harus menciptakan damai di tanah Papua. Bukan menciptakan konflik,” tegas Pater Nato. Sementara itu, Yones Douw, aktivis HAM di Nabire menatakan, penembakan yang baru-baru terjadi di Enarotali, Paniai oleh aparat gabungan TNI/Polri Itu murni pelanggaran HAM berat. “Saya minta aparat hentikan penembakan brutal ke warga sipil di tanah Papua. Jangan lagi terulang, kasus seperti yang terjadi di Enarotali, Paniai, Papua,” tegas Yones saat dihubungi Jubi melalui selularnya dari Nabire.

Selain itu, lanjut Yones, Presiden Jokowi jangan hanya kasih janji. Tetapi kasus yang dilakukan oleh aparat gabungan TNI/Polri di Paniai itu harus segera dituntaskan.

“Karena itu aparat juga kami minta supaya jangan sembunyi-sembunyi. Jokowi harus bentuk KPP HAM untuk menyelesaikan persoalan tersebut,” ungkap Yones. (Arnold Belau)

Sumber JUBI

Pelaku Mengelak, TPN-OPM Dituding

JAYAPURA – Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua, Pdt. Benny Giay mengungkapkan, kekerasan dan perlakuan terhadap masyarakat Papua yang dilakukan Negara sejak tahun 1960-an dalam berbagai bentuk (terakhir di Paniai, 8 Desember 2014) sudah lama terjadi.

Kekerasan itu dalam berbagai wujud telah membentuk watak, filsafat dan orientasi hidup orang Papua. Seperti, watak orang Jawa dan Sumatera dalam tahun 1920-an yang dibentuk oleh kebijakan Belanda dalam jaman penjajahan.

Dalam keterangan pers, Pdt. Benny Giay mengatakan, yang dilakukan di Tanah Papua sebagai Pimpinan Gereja beberapa tahun terakhir ini tidak lebih dari apa yang telah dilakukan para pimpinan agama di Jawa dan Sumatera dalam tahun 1920-an berhadapan dengan kolonialisme Belanda.

Terbukti, kata Pdt Benny, pihak TNI yang diduga merujuk mobil rush milik komandan Timsus TNI yang dipakai pada saat penganiayaan seorang anak di pondok natal pada subuh, 8 Desember 2014 sebagai pelaku terus mengelak dan menuding berbagai pihak lain, seperti TPN-OPM dan Pemda Kabupaten, sementara TPN-OPM telah mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya tidak terlibat dalam penembakan.

Dengan berbagai permasalahan yang terjadi itu, maka pihaknya menilai bahwa Presiden Jokowi sebagai Panglima tertinggi belum juga mengeluarkan pernyataan terkait penembakan terhadap para pelajar oleh TNI-POLRI di Paniai.

“Kami menilai Pak Presiden “cepat kaki ringan tangan” menyatakan kesetia-kawanannya terhadap para korban bencana di Banjarnegara, JawaTengah dua hari lalu, tetapi diam seribu bahasa ketika umat kami/anak sekolah yang sedang mengikuti lomba kandang natal ditembaki aparat TNI / POLRI,”

katanya di Kantor Sinode Kingmi di tanah Papua, Rabu (17/12).

Untuk itu, kepada seluruh masyarakat, mengajak untuk melihat masalah Papua, termasuk penyerangan Paniai 8 Desember 2014 secara utuh, karfena sejarah dan perkembangan pemikiran/jati diri Papua tidak lepas dari sepak-terjang negara dan rakyat Indonesia sejak awal tahun 1960-an.

“Kami menyesal bahwa selama ini pemerintah dan rakyat Indonesia lipat tangan dan menolak semua masalah ke pihak Papua. Karena itu melalui pernyataan pers ini, kami ajak semua pihak untuk mengambil tanggung jawab terhadap masalah Papua. Tidak hanya bermasa bodoh dan menilai penyebab konflik Papua secara sepihak seperti yang terja di selama ini,”

ajaknya.

Pada kesemaptan itu juga, pihaknya menghimbau supaya tidak hanyut dalam permainan elit yang sedang memancing di air keruh. Akan tetapi meminta untuk mengambil waktu dalam bulan suci ini untuk periksa diri dan perilaku yang sudah kita tunjukkan dalam satu tahun yang lewat.

“Tinggalkan perilaku dan bahasa yang merusak. Mari ambil waktu dalam bulan ini untuk berbaikan di dalam keluarga, kampong dan gereja, doakan anak-anak kita yang lahir dalam suasana kekerasan ini supaya mereka selamat. Mari wujudkan “papua damai sejahtera” dengan menebar benih-benih kebaikan,”

imbuhnya. (Loy/don)

Sabtu, 20 Desember 2014 07:21, BP

Presiden Jokowi Akan Bicara Apa dengan Orang Papua?

JAYAPURA – Pro-kontra soal rencana kedatangan Presiden Jokowi Dodo (Jokowi) pada perayaan natal Nasional bersama rakyat Papua tanggal 27 Desember mendatang, masih terus bergulir. Di satu sisi, banyak pihak mendukung, namun di pihak lain ada yang justru menolak kedatangan orang nomor satu di negeri ini. Kedua kelompok ini baik, yang pro maupun kontra masing-masing punya argumen yang menyakinkan.

Kali ini penolakan rencana kedatangan Presiden Jokowi ke Papua, datang dari seorang anak Adat Asal Paniai, Ev. Yonatan Bunai, S.Th. Ia mengatakan, rakyat Papua tidak bisa berharap banyak akan kedatangan Presiden Jokowi ke Jayapura (Papua). “ Memang tujuan presiden ke Jayapura jelas yaitu dalam rangka natal bersama rakyat Papua, tapi yang jadi pertanyaan, kira-kira apa yang mau disampaikan Presiden Jokowi bagi orang Papua dalam pesan-pesan atau sambutan di acara natal itu?”jelas Ev. Yonatan Bunai yang sehari-harinya bertugas sebagai Kabintal di Korem 172/PWY ini.

Sebab kita dia, jika Presiden Jokowi mau berbicara masalah HAM, maka jelas itu tidak nyambung, karena sejak tahun 1961 sampai tahun 2014 (sekarang) kasus pelanggaran HAM di Papua masih terjadi. Bahkan kasus penembakan warga sipil yang terjadi tanggal 8 Desember di Enarotali, Paniai. Kasus yang menewaskan 4 warga dan 27 orang korban luka, terkesan tak direspon presiden, buktinya sampai saat ini Presiden Jokowi belum pernah memberikan komentar apa-apa soal kasus tersebut, padahal itu diduga ada pelanggaran HAM. Sikap ‘diam’ dan tak responsif yang ditunjukkan presiden ini, beda dengan penangan musibah Tanah Longsor di Banjar Negara, dimana sejak kejadian itu Presiden langsung ke lokasi kejadian.

Ia juga minta semua pihak, untuk tidak mempolotisir kasus penembakan di Enarotali. Menurut dia, sesuai komentar-komentar yang berkembang selama ini, kasus Enarotali sudah dipolitisir dengan kepentingan tertentu.

Pengungkapan kasus itu seakan-akan dibuat menjadi ruwet, padahal terjadinya di kota ada banyak saksinya. “Sesuai laporan dari keluarga saya yang juga menjadi korban, penembakan massa yang datang menanyakan keberadaan temannya itu terjadi di depan Koramil yang bersebelahan Polsek dan juga ada Pos Kopassus. Sehingga siapa yang menembak dan menggunakan peluru apa, sebenarnya itu sudah jelas datang dari aparat, tetapi kenapa harus dibuat bertele-tele. Jadi sebaiknya diungkap saja pelakunya untuk diproses hukum,”katanya.

Secara khusus juga dirinya berharap kepada Pdt. John Gobay selaku dewan Adat untuk tidak mempolitisir kasus ini. “Sebaiknya diserahkan ke proses hukum saja,”jelasnya

Selain masalah HAM, Presiden Jokowi juga jelas tidak bisa bicara soal ekonomi di Papua. Sebab kenyataan, ekonomi rakyat Papua jika dibanding dengan pendatang di Papua sangat jauh, rakyat Papua tidak bisa bersaing dengan pendatang, termasuk di era Otsus ini.

Begitu juga bidang sosial budaya dan komuniaski sosial, jelas tidak nyambung. Para pejabat daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat punya kepentingan yang berbeda-beda, bermasa bodoh, cuek-cuek dengan keadaan masyarakat.

Beberapa alasan inilah yang seakan membuatnya jadi pesimis bahwa kedatangan Presiden ke Papua ini tidak akan berdampak apa-apa .

Namun demikian ia mengajak Rakyat Papua harus optimis atas segela sesuatu yang kita kerjakaan dengan segenap hati akan suskses, seperti pendidikan,usaha eknomi, termasuk aspirasi Papua merdeka, semua itu kalau Tuhan yang Maha Kuasa berkenan akan sukses.

Dikatakan, situasi Papua merdeka yang sedang menyebar dan memanas di kalangan masyarakat suku-suku Melanesia di Papua Indonesi ini, karena adanya masalah Papua merdeka masuk agenda PBB tanggal 13 September 2013 dan praksi-praksi perjuangan Papua merdeka bersatu di Vanuatu tanggal 6 Desember 2014, itu boleh saja optimis Papua merdeka, tapi ingat bahwa jika Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan baru akan merdeka, jadi sebaiknya kerja yang baik, sekolah baik, beribadah, berdoa yang baik sambil menunggu waktu Tuhan. “Dan jangan terprovokasi dengan isu Papua merdeka tersebut,”harapnya. (don/don)

Sabtu, 20 Desember 2014 07:34, BP

Tidak Ada Kaitan Politik Papua Merdeka

Jayapura – Ketua Sinode GKI Papua Pdt. Albert Yoku menegaskan, aksi penembakan yang menewaskan sejumlah warga sipil di Enarotali, Ibu Kota Kabupaten Paniai, tidak ada kaitan dengan politik Papua merdeka. Tapi, hanya insiden yang terjadi antara pihak keamanan dengan warga. ”Masalah penembakan di Enarotali yang menewaskan warga sipil, sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik Papua Merdeka, itu hanya insiden antara warga dengan aparat,”ujar Ketua Sinode GKI Papua, Albert Yoku, Rabu 10 Desember.

Menurutnya, karena peristiwa itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik, maka aparat keamanan harus bertanggung jawab atas jatuhnya korban, dengan melakukan investigasi guna mengetahui pelaku penembakan. “Harap secepatnya dilakukan investigasi, Polisi dan TNI harus segera turun tangan, untuk mengungkap pelaku penembakan,”ujarnya.

Aparat keamanan semestinya harus antisipatif, persuasif dan komunikatif, sehingga peristiwa penembakan itu tentu bisa dihindari. “Kalau aparat mampu membangun relasi yang baik di lapangan dengan mengedepankan langkah komunikatif dan persuasif dengan rakyat, hal seperti ini tidak perlu terjadian atau tidak bisa diminimalisir,” tukasnya.

Ia melanjutkan, Sinode GKI juga sudah membentuk tim untuk melakukan investigasi atas peristiwa Paniai. “Kami sudah bentuk tim keadilan dan kedamaian untuk mengungkap kasus penembakan itu,”jelasnya.

Sinode GKI meminta, agar aparat mampu menciptakan rasa aman di Papua terutama menjelang kedatangan Presiden Jokowi merayakan Natal bersama warga Papua. “Kami minta Pangdam dan Kapolda menghindari yang namanya citpa kondisi, semua harus bisa tahan diri dan selalu menjaga keamanan menjelang kedatangan Presiden Jokowi,”paparnya.

Albert Yoku melanjutkan, peristiwa penembakan di Paniai dipicu adanya pemukulan terhadap anak kecil penjaga Pondok Natal, yang diduga dilakukan anggota Yonif 753 AVT. Lalu kemudian berkembang, dimana, warga mempertanyakan aksi pemukulan itu. Lantas, aksi penembakan meletus. “Sesuai laporan dari warga di sana, aparat yang langsung menembaki sehingga korban jatuh tidak terhindarkan,” terangnya.

Sementara dari informasi yang diperoleh dari Enarotali ibukota Paniai, massa masih berkonsentrasi di lapangan Karel Gobai, dengan 4 korban yang tewas. Bahkan proses acara pemakaman terhadap jenazah warga yang tewas sedang dilakukan di halaman Markas Koramil Paniai tepat dibawa tiang bendera.

Juru Bicara Kodam 17 Cenderawasih Kolonel Rikas Hidayatullah saat dikonfirmasi, belum bersedia memberikan keterangan tentang proses pemakaman di halaman Markas Koramil Paniai.

Imparsial Kutuk Penembakan di Paniai

Sementara itu LSM Pemerhati Hak Azasi Manusia Imparsial, mengutuk keras aksi penembakan warga sipil di Paniai, yang berbuntut tewasnya 4 warga. Dikatakan, seharusnya, aparat keamanan bertindak hati-hati dalam menggunakan senjata api, terutama saat berhadapan dengan masyarakat.

“Dalam memperingati Hari HAM sedunia yang jatuh pada 10 Desember ini, Imparsial mengutuk jatuhnya korban jiwa anak-anak siswa SMU serta belasan orang terluka dalam tragedi Enarotali. Aparat TNI dan Polri seharusnya berhati-hati dalam menggunakan senjata api. Apalagi jika digunakan untuk membubarkan massa yang berunjuk rasa,”

ujar Direktur Eksekutif Imparsial Poengki Indarti dalam siaran Persnya yang dikirim melalui pesan elektroniknya, Rabu 10 Desember.

Peristiwa itu semakin, menunjukkan banyaknya daftar kekerasan yang terjadi di Papua. “ Jatuhnya korban jiwa dan luka-luka, telah menambah panjang daftar kekerasan di Papua,”ucapnya.

Atas kejadian yang diindikasikan sebagai pelanggaran HAM, Imparsial mendesak segera dilakukan investigasi secara mendalam. “Kami mendesak Komnas HAM untuk segera melakukan investigasi untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat dalam kasus ini,”ucapnya.

Dengan bertambahnya daftar kekerasan di Papua, Imparsial juga menolak rencana penambahan Komando Teritorial di Papua. Kami menolak rencana penambahan Kodam baru di Papua dan Papua Barat, serta menolak massifnya pembangunan yang tidak pro rakyat dan merusak lingkungan hidup, antara lain proyek penambangan emas di Timika (Freeport) dan di Paniai, MIFEE & MP3EI,”ucapnya.

Pemerintahan Jokowi sebaiknya segera menyelesaikan sejumlah pelanggaran HAM berat di Papua. “Kami mendesak Pemerintah Jokowi untuk mengutamakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua, menghukum para pelaku dan berjanji agar peristiwa serupa tidak terulang kembali, melindungi hak-hak rakyat di Papua untuk bebas berpendapat dan berekspresi, serta segera mempersiapkan dialog damai Jakarta-Papua,”tegasnya. (jir/don)

Kamis, 11 Desember 2014 11:59, BP

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny