Jayapura, 11/8 (Jubi) – Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Persekutuan Gereja-gereja (Ketum BPGG) Baptis Papua, Pdt. Socratez Sofyan Yoman menuding TNI/Polri sebagai biang penyebab konflik di tanah Papua.
“Kami mengutuk berbagai aksi kekerasan yang dilakukan oleh TPN/OPM maupun TNI/Polri sejak 2012 hingga saat ini di Kabupaten Lanny Jaya,” ungkap Pdt. Socratez yang juga penulis buku ini dalam jumpa pers di kediamannya di Padangbulan, Jayapura, Senin (11/8).
PGG Baptis Papua juga mendesak Pangdam VXII Cenderawasih, Majen (TNI) Christian Zebua dan Kapolda Papua, Brigjen (Pol) Yotje Mende bersama Pemerintah Kabupaten Lani Jaya untuk segera menarik kembali seluruh aparat TNI/Polri yang sedang bertugas di Kabupaten Lani Jaya.
“Kami juga mendesak TPN/OPM, Enden Wanimbo dan Purom Wenda untuk tidak menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan aspirasi Papua Merdeka. OPM berjuang untuk Merdeka bukan dengan jalan membunuh orang,”
desak Pdt. Socratez.
Pdt. Socratez juga meminta pemerintah dan aparat keamanan menghentikan kriminalisasi perjuangan damai TPN/OPM di Tanah Papua. Dirinya menolak juga stigmatisasi GPK, GPL, KSB dan KKSB kepada gerakan bersenjata di Tanah Papua. TNI/POLRI harus segera menghentikan penjualan senjata dan amunisi kepada TPN/OPM.
“Pemerintah Kabupaten Lani Jaya dan Pemerintah Provinsi Papua harus dapat memastikan untuk dapat memberikan rasa aman kepada masyarakat sipil tidak bersenjata, terutama ibu dan anak yang saat ini terpaksa mengungsi mencari tempat yang lebih aman,”
kata Pdt. Socratez.
Menurut Pdt. Socratez, aktivitas masyarakat dan pemerintah masih lumpuh total di Kabupaten Lani Jaya hingga hari ini dan situasi ini sangat memprihatinkan. Pemerintah harus merehabilitasi dan membangun kembali semua fasilitas seperti rumah atau honai yang dirusak selama konflik dan kontak senjata.
“Saya mengajak semua umat untuk bersolidaritas demi rasa keamanusiaan, terutama terhadap korban pengungsi di Lani Jaya dengan cara memberikan dukungan moril dan materil, seperti bahan makanan dan obat-obatan,”
pinta gembala jemaat ini.
Seperti direlease tabloidjubi.com sebelumnya, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) Wilayah La-Pago, Kelly Tabuni menyatakankan, peristiwa baku tembak yang terjadi di Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua merupakan ‘permainan’ aparat keamanan untuk menciptakan konflik di wilayah itu.
“Sebelum 28 Juli 2014, ada anggota Brimob di Lannya Jaya yang tawar senjata dan amunisi kepada kami. Mereka minta kami halau aparat Brimob yang akan datang dari luar Lanny Jaya,”
kata Kelly kepada tabloidjubi.com melalui telepon selulernya, Minggu (3/8) siang. (Jubi/Aprila)
Socrates Sofyan YomanJAYAPURA— Draf RUU Pemerintahan Otsus masih di meja Gubernur untuk dilihat apakah ada hal-hal yang perlu ditambahkan atau dikurangi dalam Draf itu, ditanggapi Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua Socrates Sofyan Yoman, ketika menghubungi Bintang Papua, Minggu (5/1) malam.
Dikatakan, upaya gubernur dengan Tim Asitensinya patut diapresiasi, karena Lukas Enembe sebagai Gubernur berjuang untuk memikirkan kemajuan rakyat Papua kearah yang lebih baik.
Namun demikian, ujar Socrates,perlu diingat bahwa Otsus Plus bukan solusi substansi masalah Papua, karena Otsus 2001 ditawarkan karena rakyat Papua ingin merdeka dan berdiri sendiri sebagai bangsa berdaulat .
Menurutnya, jadi kalau Otsus sudah gagal total berarti jalan penyelesaian akar masalah Papua adalah dialog damai yang setara antara pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral dan juga di tempat netral.
Socrates menandaskan, pemerintah Indonesia jangan berputar-putar dengan berbagai bentuk rekayasa.
Masalah sudah jelas, ujar Socrates, waktu 4 pimpinan Gereja bertemu Presiden SBY pada 16 Desember 2011 di Istana Cikeas. Presiden SBY menyampaikan ada kemauan untuk menyelesaikan masalah Papua sebelum berakhir masa jabatannya pada 20 Oktober 2014.
Dalam beberapa kali pidato HUT RI 17 Agustus disampaikan niat baik SBY untuk selesaikan masalah Papua dengan dialog damai dan dengan hati. Walaupun begitu SBY pernah sampaikan bahwa ada hard liner atau kelompok garis keras menekan SBY supaya tak boleh menyelesaikan masalah Papua.
“Kami bertanya siapa kelompok garis keras yang menekan Presiden. Apakah kelompok TNI atau kelompok Muslim fundamentalis? Presiden tak pernah sampaikan kepada kami,” kata Socrates.
Karena itu, lanjut Socrates, pihaknya juga bertanya apakah yang dipilih oleh 200 Juta jiwa rakyat Indonesia atau SBY atau kelompok garis keras. Mengapa SBY tak menggunakan kekuatan legitimasi 200 Juta suara untuk bertindak tegas? Ataukah SBY dan kelompok garis keras bersandiwara dan membiarkan orang Papua musnah atau lenyap dari tanah leluhur mereka dengan kekerasan negara yang terjadi hampir 50 tahun.
“Saya sangat prihatin karena pemusnahan etnis Papua terjadi dengan sistimatis dan terstruktur yang dilakukan negara, memang harus diakui jujur bahwa rakyat Papua tidak ada masa depan dalam Indonesia. SBY akan tinggalkan kenangan untuk rakyat Papua adalah hanya janji—janji kosong,”
Pendeta Benny Giay, Ketua Sinode KINGMI Papua (Foto: majalahselangkah.com)
Jayapura — Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua menyatakan keprihatinannya terkait ruang kebebasan berekspreasi yang semakin ditutup, serta sepak terjang aparat keamanan di Papua yang semakin tidak berubah dari waktu ke waktu.
“Kami sebagai Gereja dan pimpinan umat menyatakan keprihatinan kami, mengamati sepak terjang petinggi keamanan Negara dewasa ini yang belum berubah, dan masih menutup ruang kebebasan bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat seperti yang terus dipertontonkan di Tanah ini,”
kata Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua, Pendeta Dr. Benny Giay, dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi suarapapua.com, Selasa (25/6/2013) siang.
Menurut pendeta Giay, semua sepak terjang lembaga keamanan, yakni TNI/Polri telah menunjukan bahwa kehadiran mereka sedang bermain di ruang bebas.
“Ini persis seperti zaman orde baru yang menggunakan kekuasaannya untuk menggagahi masyarakat sipil, khususnya orang asli Papua. Aparat TNI/Polri juga secara meyakinkan terus menyuburkan aspirasi Papua merdeka dengan tidak memberi ruang untuk mengeluarkan pendapatnya.”
“Yang pada gilirannya, TNI/Polri akan menggunakan kekuasaannya untuk menghabisi orang asli Papua dengan pasal-pasal makar. Atau, justru dijadikan sebagai momentum untuk menggunakan senjata modern yang telah dibeli dengan uang rakyat Papua, sehingga ‘The winner takes it all’,”
pungkasnya.
Menjelang 1 Juli mendatang, Gereja Kigmi Papua juga mengeluarkan himbauan, pertama, agar Kapolda Papua dan jajarannya merubah citranya di depan publik di tanah Papua.
“Kesempatan 1 Juli ini kami harap bisa Polisi jadikan sebagai momentum untuk menyatakan bahwa pihaknya memang ‘polisi yang demokratis’ yang benar-benar mengedepankan toleransi, toh nasionalisme Papua, yang menurut TNI/Polri separatisme tidak bisa dihadapi dengan memenjarakan atau menembak dan menculik aktivis dan ideologinya sebagaimana yang dilakukan TNI/Polri selama ini,”
ujar Giay.
Menurut Giay, kiat-kiat yang dipakai TNI-Polri menghadapi nasionalisme Papua seperti ini hanya dipakai oleh aparat yang tidak berpendidikan, karena nasionalisme tidak bisa dihapus dengan otot. Ia hanya bisa diatasi oleh otak dan hati (nurani yang humanis dan bukan otoriter).
Kedua, Gereja Kigmi Papua juga melihat aparat yang dilakukan TNI/Polri hanya merupakan pengulangan dari perilaku aparat keamanan penjajah Belanda terhadap gerakan nasionalis Jawa dan Sumatera tahun 1919-1930an.
“Perilakunya sama dengan watak aparat keamanan dewasa ini di Tanah Papua terhadap Nasionalis Papua, sehingga melalui media kami serukan dan menghimbau agar pihak TNI-Polri membuktikan dirinya bahwa TNI-Polro tidaklah sama dengan tentara dan Polisi Belanda di Jawa atau Sumatera “tempo doeloe”, dengan mengedepankan dialog dan memberi ruang untuk orang Papua bisa mengemukakan pendapatnya, sebagai pemenuhan dari salah satu hak asasi manusia, asalkan tidak tidak menimbulkan tindakan-tindakan anarkhis,”
tambah pendeta Giay.
Ketiga, kepada masyarakat Papua, Gereja Kingmi Papua juga menghimbau agar mawas diri, dan dapat menyampaikan tuntutan dan aspirasi supaya tetap menggunakan cara dan pendekatan dalam koridor adat, iman, HAM dan demokrasi.
“Sekali lagi lewat media ini kami menghimbau agar masyarakat Papua lewat kesempatan-kesempatan seperti 1 Juli atau 1 Desember atau momen sejarah lainnya supaya bangkit menunjukkan kepada para pihak bahwa kami bangsa Papua adalah bangsa yang beradab dan bahwa “di atas langit masih ada langit”,dan bahwa kekerasan dan rasisme (seperti yang ditunjukkan oleh masyarakat Indonesia terhadap Papua selama ini dan saat Persipura bermain di Jawa) sudah seharusnya ditinggalkan karena ia sudah ketinggalan jaman,”
SOCRATEZ SOFYAN YOMAN, KETUA UMUM PGBP ((FOTO: BAPTISPAPUA.BLOGSPOT.COM)
Pada 15 Mei 2013 dalam seminar 50 tahun Papua dalam Indonesia yang diselenggarakan Univesitas Indonesia, Sultan Hemengku Buwono X melalui sambutan tertulisnya menyatakan:
“Otonomi Khusus Papua terbukti gagal mensejahterakan rakyat Papua. Terjadi pelanggaran HAM dan kekerasan Negara di Papua. Negara hadir di Papua dalam bentuk kekuatan-kekuatan militer. Konflik yang terjadi di Papua saat ini, bukanlah konflik horizontal, melainkan konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat. Indonesia gagal meng-Indonesia-kan orang Papua”.
Pernyataan tadi kalau disampaikan dari orang Papua, dengan pasti pemerintah Indonesia menyerang dengan pernyataan stigma separatis. Namun demikian, sebaliknya, pernyataan tadi disampaikan dari Sultan, orang Jawa Asli dan dari bukan orang asli Papua.
Maka pernyataan Sultan dapat membenarkan dan mendukung apa yang disuarakan oleh rakyat Papua selama ini. Ini bukan suara separatis, bukan juga suara anggota OPM. Suara ini merupakan ungkapan hati nurani seorang Sultan yang melihat kompleksitas dan realitas masalah Papua dengan mata iman dan mata hati.
Pernyataan mengagumkan dan luar biasa di atas merupakan pengakuan jujur dan terbuka tentang kejahatan negara, pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara, konflik vertikal antara Negara dan rakyat Papua, kegagalan pemerintah Indonesia dalam membangun rakyat Papua selama 50 tahun.
Wajah kegagalan pemerintah Indonesia selama 50 tahun dengan mudah dapat diukur dari realitas kehidupan Penduduk Asli Papua. Kemiskinan penduduk Asli Papua sangat nyata dan telanjang di depan mata kita.
Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Tanah Papua sangat melimpah. Emas, perak, ikan, hutan, rotan, minyak ada di Tanah Papua. Papua memberikan sumbangan terbesar kepada Indonesia setiap tahun. Contoh: PT Freeport milik perusahaan Amerika ini memberikan sumbangan pajak kepada Indonesia (Jakarta) Rp 18 Triliun setiap tahun. Belum termasuk, sumbangan pajak dari British Petrolium (BP) perusahaan milik Inggris di Bintuni, Manokwari dan pajak minyak milik perusahaan Cina yang diproduksi di Sorong.
Sementara rakyat Papua pemilik dan ahli waris Tanah yang kaya raya ini dikejar, ditangkap, disiksa, dipenjarakan dan dibunuh seperti hewan dengan stigma separatis, makar dan anggota OPM. Dan juga dibuat tak berdaya dan dimiskinkan permanen secara struktural, sistematis oleh penguasa Pemerintah Indonesia.
Freddy Numbery dalam Analysis pada SindoWeekly, 8 Mei 2013 dengan topik “50 Tahun Penindasan” mengatakan:
“ Walaupun Tanah Papua sangat kaya sumber daya pertambangan, tapi ironisnya masyarakat Papua masih hidup dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, malahan mengalami kekerasan”.
Numbery dalam sambutan 50 tahun Papua dalam Indonesia suatu refleksi dan renungan suci pada 15 Mei 2013 menyatakan:
“Kita juga patut bertanya, apakah Negara telah berhasil meng-Indonesia-kan orang Papua dan apakah Pemerintah sudah berhasil merebut hati dan pikiran orang Papua dalam konteks kebangsaan Indonesia”.
Numbery dalam opini di Kompas, 6 Mei 2013 dengan topik: Papua, Sebuah Noktah Sejarah mengatakan:
“Kita tidak sadar bahwa pola kekerasan kolonial itu telah menjadi budaya dalam sistem kita, kita gunakan atas nama kedaulatan negara, mengabaikan HAM, dan akhirnya menghancurkan rakyat Papua. Orang Papua sering menggugat. Katanya kita bersaudara dan merdeka dari penjajahan, tetapi apa bedanya Indonesia dengan Belanda jika cara-cara kekerasan yang sama dipakai untuk menghancurkan bangsa sendiri.”
Dari realitas dalam kehidupan sehari-hari tergambar jelas bahwa pemerintah Indonesia menganeksasi, menduduki dan menjajah rakyat Papua dengan empat agenda pokok di Tanah Papua, yaitu: kepentingan ekonomi, kepentingan politik, kepentingan keamanan, kepentingan pemusnahan etnis Papua.
Untuk mencapai empat agenda besar ini, Pemerintah, TNI dan POLRI dan Hakim selalu menggunakan berbagai bentuk kekerasan untuk menyembunyikan kebohongan mereka. Melalui proses pembohongan dan ruang rekayasa Pemerintah berhasil mengintegrasikan ekonomi, politik dan keamanan ke dalam Indonesia dan menindas dan memperlakukan orang asli Papua seperti hewan.
Seperti Dominggus Sorabut menyatakan:
” Saya menolak pemeriksaan polisi atas dakwaan kami berlima, dikarenakan pemeriksaan saya dengan keempat terdakwa lainnya ditodong senjata serta kami diludahi seperti binatang.”
Sementara, Agustinus M.Kraar Sananay menyatakan imannya:
” …saya sudah muak mengikuti persidangan serta tak mau lagi memberikan keterangan.” (Bintang Papua: Sabtu, 03 Maret 2012).
Perilaku dan watak kasar dan tidak manusiawi dan biadab seperti ini menyebabkan Pemerintah Indonesia gagal meng-Indonesia-kan dan mengintegrasikan orang asli Papua ke dalam wilayah Indonesia. Maka Manusia Papua, orang Melanesia ini benar-benar berada di luar bingkai dan kerangka serta konstruksi integrasi NKRI”.
Dalam rangka mempertahankan dan mengkekalkan ideologi penjajahan, pemerintah Indonesia selalu menggunakan semua instrumen hukum, Undang-Undang, kekuatan politik dan keamanan untuk membunuh Penduduk Asli Papua dengan label separatisme.
Memang, ironis, nasib dan masa depan Penduduk Asli Papua dalam Indonesia. Pemerintah dengan tangan besi, kejam dan brutal, benar-benar menghancurkan harkat, martabat, hak-hak dasar dan masa depan Penduduk Asli Papua di atas Tanah leluhur mereka.
Pemerintah mendatangkan penduduk Indonesia yang miskin dipindahkan ke Papua yang dikemas dengan Program Transmigrasi dan di tempatkan di lembah-lembah subur di seluruh Tanah Papua. Perampokan Tanah milik Penduduk Asli Papua dan menyingkirkan (memarjinalkan) mereka bahkan penduduknya dibunuh secara kejam atas nama pembangunan nasional. Penduduk asli Papua dimusnahkan (genocide) dengan stigma Separatisme, OPM dan berbagai bentuk pendekatan kejahatan kemanusiaan.
Presiden SBY tanpa rasa malu dan dengan gemilang mengkampanyekan bahwa Separatisme harus dihentikan. Tujuan Presiden RI, SBY, mengkampanyekan isu separatisme di Papua adalah:
Pertama, untuk menyembunyikan kejahatan dan kekerasan terhadap kemanusiaan, kejahatan ekonomi, kegagalan melindungi dan membangun penduduk Asli Papua. Kedua, untuk menyembunyikan kemiskinan Penduduk Asli Papua yang menyedihkan di atas kekayaan sumber daya alam yang melimpah.
Ketiga, untuk membelokkan akar masalah Papua yang dipersoalkan Penduduk Asli Papua tentang status politik, sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui PEPERA 1969 yang cacat hukum, dan pelanggaran HAM yang kejam. Seperti disampaikan Paskalis Kossay:
“sumber permasalahan dari konflik di Papua bukan hanya sekedar masalah ketidaksejahteraan masyarakat ataupun kegagalan pembagunan. Kenyataan yang ada di Papua sebenarnya persoalan sejarah politik yang berkelanjutan. Orang Papua merasa proses integrasi Papua ke NKRI itu tidak adil dan tidak demokratis”
(Papua Pos, Sabtu, 14 Juli 2012).
Keempat, membelokkan atau mengalihkan perhatian dari rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tentang kegagalan Otonomi Khusus. Kelima, pemerintah berusaha membelokkan dukungan kuat untuk dialog damai antar rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia ke isu separatisme.
Keenam, persoalan pelik dan kompleks yang berdimensi vertikal antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang sudah berlangsung lima dekake sejak 1 Mei 1963- sekarang ini mau dialihkan atau direduksi ke masalah orizontal dengan mengkriminalisasi gerakan dan perlawanan moral seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Ketujuh, reaksi keras pemerintah Indonesia atas dibukanya kantor OPM di Oxford 26 April 2013 hanya upaya Negara untuk pengalihan masalah kejahatan Negara terhadap kemanusiaan dan kegagalan pembangunan selama 50 tahun yang disoroti dunia internasional belakangan ini. Reaksi keras itu juga bagian dari ketakutan pemerintah Indonesia atas kejahatannya telah diketahui publik.
Freddy Numbery, dalam opini Kompas, Jumat, 6 Juli 2012, hal. 6 dengan topik: “Satu Dasawarsa Otsus Papua” menyatakan:
“ Sumber-sumber agraria milik masyarakat adat dieksploitasi dalam skala besar tanpa menyejahterakan pemiliknya. Sebaliknya marjinalisasi berlangsung di mana-mana. Pelurusan sejarah yang juga diamanatkan Undang-Undang Otsus tidak pernah disentuh. Persoalan kekerasan oleh Negara tidak diselesaikan, malah bereskalasi. Penambahan pasukan dari luar terus berlangsung tanpa pengawasan. Kebijakan demi kebijakan untuk Papua sudah diterapkan Jakarta, tetapi tak bertaji menyelesaikan masalah”.
Sementara Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar pada Kompas, Jumat, 8 Juni 2012, menyatakan:
“Polisi dan pemerintah tidak hanya gagal menjamin rasa aman masyarakat, tetapi juga tidak pernah memberikan kepastian hukum, seperti menangkap pelaku penembakan gelap dalam tiga tahun terakhir. Khawatir terjadi pengambinghitaman kelompok seperatis melalui tuduhan-tuduhan semata dan diikuti dengan penangkapan rakyat sipil yang tak bersalah. Pertanyaan mendasar adalah siapa yang mampu melakukan kekerasan, teror, dan pembunuhan misterius secara konstan? Peristiwa demi peristiwa ini merendahkan kehadiran aparat keamanan di Papua”.
Sedangkan Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti pada Suara Pembaruan, Jumat, 8 Juni 2012 mengatakan:
“Para pelaku penembakan misterius adalah orang atau kelompok terlatih. Motif politik semakin kuat, mengingat stigma yang selalu dilabelkan pada Papua adalah daerah separatis. Akan tetapi mengingat kelompok-kelompok tersebut berada di tengah hutan, tidak terkonsolidasi, adalah sangat janggal jika kelompok tersebut yang selalu dituding Pemerintah sebagai pelaku penembakan misterius yang terjadi di Papua selama ini”.
Cornelis Lay, dosen Ilmu Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menilai, ada inkonsistensi pemerintah dalam mendekati persoalan di Papua. Pemerintah mengaku melakukan pendekatan kesejahteraan untuk meredam bara konflik. Namun, misalnya, saat terjadi persoalan di Papua, yang datang adalah Menko Polhukam bersama Panglima TNI dan Kepala Polri. Ini wajah pendekatan keamanan, bukan kesejahteraan”. (Kompas, Rabu, 4 Juli 2012, hal. 15).
Pemerintah dengan sukses mengkekalkan, mengabadikan, dan melegalkan secara permanen stigma separatis, makar dan anggota OPM terhadap Penduduk Asli Papua. Semua stigma itu menjadi instrumen permanen dan surat ijin untuk menjastifikasi tindakan-tindakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap Penduduk Asli Papua. Ruang ketakutan diciptakan sengaja, dipelihara oleh aparat keamanan dengan stigma Separatis dan OPM supaya: (a) Penduduk Asli Papua dibungkam dan tidak berani melakukan perlawanan untuk mempertahankan martabat, demi masa depan yang penuh harapan, lebih baik, damai di atas Tanah leluhurnya; (b) Aparat keamanan mendapat dana pengamanan.
Kemiskinan Penduduk Asli Papua bukan merupakan warisan nenek moyang dan leluhur rakyat Papua. Karena sejarah membuktikan bahwa sebelum Indonesia datang menduduki dan menjajah Penduduk Asli Papua, Orang Asli Papua adalah orang-orang kaya, tidak bergantung pada orang lain, mempunyai sejarah sendiri, hidup dengan tertip dengan tatanan budaya yang teratur, tidak pernah diperintah oleh orang lain. Penduduk Asli Papua adalah orang-orang yang merdeka dan berdaulat atas hidup, dan hak kepemilikan tanah dan hutan yang jelas secara turun-temurun. Orang Asli Papua sudah ada di Tanah ini (Papua) sebelum namanya Indonesia lahir. Kemiskinan Penduduk Asli Papua adalah merupakan hasil (produk) dari sistem pemerintahan dan penjajahan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan sengaja, sistematis dan jangka panjang atas nama pembagunan nasional yang semu.
Solusi dan keputusan politik yang legal Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus yang disahkan melalui lembaga resmi DPR RI dan didukung komunitas Internasional dan juga diterima sebagian kecil rakyat Papua dan sebagian besar dipaksa menerima Otsus. Sayang, Otonomi Khusus itu dinyatakan oleh banyak pihak, termasuk Negara Asing Pemberi donor dana bahwa telah gagal . Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang lebih rendah dari UU No. 21 Tahun 2001. UP4B adalah instrumen Pemerintahan SBY untuk memperpanjang dan meng-kekal-kan pendudukan, penjajahan, kejahatan, kekerasan Negara, penderitaan, kemiskinan, ketidakadilan dan marjinalisasi Penduduk Asli Papua. Setelah Otonomi Khusus dan UP4B dinyatakan gagal, sekarang Pemerintah Indonesia menyatakan Otsus Plus.
Pemerintah Indonesia berusaha dan bekerja keras untuk mencuci tangan, melempar tanggungjawab dan menyembunyikan diri atas kegagalan, kejahatan terhadap penduduk Asli Papua (pelanggaran HAM) yang kejam dan brutal, mengalihkan kemiskinan struktural dan permanen yang diciptakan Negara terhadap Penduduk Asli Papua selama ini dengan mengkampanyekan Separatisme harus dihentikan. Pemerintah Indonesia berlindung dibalik stigma separatisme. Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa memanggil “menyerang” Duta Besar Inggris, Mark Canning dengan protes keras atas dibukannya kantor OPM di Oxford, Inggris 2013 merupakan bagian dari upaya Indonesia untuk mengalihkan masalah kegagalan di Papua.
Pemerintah sudah lama memperlihatkan wajah kekerasan dan anti kedamaian. Pemerintah gagal mengintegrasikan rakyat Papua ke dalam Indonesia tapi hanya berhasil mengintegrasikan Papua secara politis dan ekonomi. Penduduk Asli Papua berada diluar dari integrasi ideologi dan nasionalisme ke-Indonesia-an. Selama 50 tahun Pemerintah Indonesia gagal total melindungi dan menjaga integritas manusia Papua”
Penulis Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
Sentani, 4/4 (Jubi) – Gereja Kingmi di Tanah Papua melakukan refleksi terhadap kekerasan yang terjadi selama tiga bulan terakhir di Tanah Papua. Apakah ada skenario dibalik kekerasan ini?
“Ada dua perkembangan yang membuat kita harus mengadakan refleksi pada hari ini. Pertama, kekerasan yang terjadi tiga bulan terakhir, sejak Januari hingga Maret 2013 dimana pelaku dari sekian puluh kasus itu adalah TNI/Polri, lainnya OTK (Orang Tidak Dikenal). Saya pikir OTK ini juga jual beli senjata dari perdagangan ilegal,” kata Benny Giay, Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua kepada tablodjubi.com di Aula STT Walter Post di Pos 7 Sentani, Kabupaten Jayapura, Kamis (4/4).
Untuk hal yang kedua menurut Giay, jumlah orang yang meninggal di Papua sudah terlalu tinggi dan pada saat kekerasan terjadi, jumlah warga jemaat yang mati pada tiga bulan terakhir ini terhitung luar biasa.
“Terakhir itu kita dikagetkan dengan wabah yang terjadi di Kabupaten Tambrauw. Jadi, dua perkembangan ini membuat kami mencoba untuk mengajak kita duduk dan bahas ini sebagai orang beriman yang menjalani masa-masa paskah,” ungkap Giay.
Cukup banyak data yang sudah diambil pihak Giay dari media. Intinya menurut Giay, ada kekerasan dan jumlahnya lebih dari dua puluh kasus dan pihaknya mengadakan refleksi setiap tahun.
“Jadi kita sebagai manusia, kita bertanya. Kejadian ini terlepas begitu saja? Tidak ada hubungan satu dengan lain? Atau ada skenario di balik kekerasan ini? Kita musti cari referensi atau membuat pemetaan dan melihat rentetan kejadian kekerasan ini karena kalau dilihat dari Sejarah Papua, ini pengulangan dari apa yang terjadi di Papua pada abad dua belas,”
Pdt. Benny Giay -kanan- bersama Pdt. Socratez (Jubi/Musa)
Sentani – Gereja Kingmi di Tanah Papua melakukan refleksi terhadap kekerasan yang terjadi selama tiga bulan terakhir di Tanah Papua. Apakah ada skenario dibalik kekerasan ini?
“Ada dua perkembangan yang membuat kita harus mengadakan refleksi pada hari ini. Pertama, kekerasan yang terjadi tiga bulan terakhir, sejak Januari hingga Maret 2013 dimana pelaku dari sekian puluh kasus itu adalah TNI/Polri, lainnya OTK (Orang Tidak Dikenal). Saya pikir OTK ini juga jual beli senjata dari perdagangan ilegal,”
kata Benny Giay, Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua kepada tablodjubi.com di Aula STT Walter Post di Pos 7 Sentani, Kabupaten Jayapura, Kamis (4/4).
Untuk hal yang kedua menurut Giay, jumlah orang yang meninggal di Papua sudah terlalu tinggi dan pada saat kekerasan terjadi, jumlah warga jemaat yang mati pada tiga bulan terakhir ini terhitung luar biasa.
“Terakhir itu kita dikagetkan dengan wabah yang terjadi di Kabupaten Tambrauw. Jadi, dua perkembangan ini membuat kami mencoba untuk mengajak kita duduk dan bahas ini sebagai orang beriman yang menjalani masa-masa paskah,”
ungkap Giay.
Cukup banyak data yang sudah diambil pihak Giay dari media. Intinya menurut Giay, ada kekerasan dan jumlahnya lebih dari dua puluh kasus dan pihaknya mengadakan refleksi setiap tahun.
“Jadi kita sebagai manusia, kita bertanya. Kejadian ini terlepas begitu saja? Tidak ada hubungan satu dengan lain? Atau ada skenario di balik kekerasan ini? Kita musti cari referensi atau membuat pemetaan dan melihat rentetan kejadian kekerasan ini karena kalau dilihat dari Sejarah Papua, ini pengulangan dari apa yang terjadi di Papua pada abad dua belas,”
Jayapura – Konferensi Majelis Umum Gereja Pasifik Ke-Sepuluh (PCC 10th General Assembly) yang berlangsung di Honiara, Kepulauan Salomon, 3-10 Maret 2013 telah menyetujui adanya sebuah program yang dilaksanakan oleh gereja-gereja Pasifik untuk membahas pelanggaran hak asasi manusia dan kemerdekaan di Papua Barat.
Konferensi yang diikuti oleh Gereja-Gereja se Pasisik ini telah memutuskan untuk mendokumentasikan advokasi efektif terhadap keadilan dan penghormatan pada hak asasi manusia dalam kolaborasi dengan mitra oikumenis, masyarakat sipil dan pemerintah.
“Ini akan menggabungkan situasi hak asasi manusia di Papua Barat sebagai titik fokus yang kuat dari kerja program PCC terhadap penentuan nasib sendiri bagi bangsa dan wilayah yang belum pemerintahan sendiri serta masyarakat dan rakyat yang ingin bebas.”
demikian disebutkan dalam siaran pers PCC 10th General Assembly yang diterima tabloidjubi.com, Kamis (14/03) malam.
Para Delegasi yang hadir, disebutkan mengakui hak asasi manusia semua orang, khususnya hak untuk menentukan nasib sendiri dari semua masyarakat adat yang tertindas dan terjajah di dunia sesuai dengan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
Melalui siaran pers ini, PCC dikemukakan telah meminta Perancis, PBB, negara Kepulauan Pasifik dan masyarakat internasional untuk mendukung penentuan nasib sendiri di Maohi Nui (Tahiti). Delegasi yang hadir mengatakan dekolonisasi adalah salah satu tema lama yang diusung PCC. Dukungan terhadap permintaan dari Etaretia Porotetani Maohi (Maohi Gereja Protestan) telah diserukan dalam PCC 10th General Assembly untuk kembali mencatatkan Tahiti ke daftar dekolonisasi PBB.(Jubi/Victor Mambor)
Jayapura, 14/03 (Jubi) – Konferensi Majelis Umum Gereja Pasifik Ke-Sepuluh (PCC 10th General Assembly) yang berlangsung di Honiara, Kepulauan Salomon, 3-10 Maret 2013 telah menyetujui adanya sebuah program yang dilaksanakan oleh gereja-gereja Pasifik untuk membahas pelanggaran hak asasi manusia dan kemerdekaan di Papua Barat.
Konferensi yang diikuti oleh Gereja-Gereja se Pasisik ini telah memutuskan untuk mendokumentasikan advokasi efektif terhadap keadilan dan penghormatan pada hak asasi manusia dalam kolaborasi dengan mitra oikumenis, masyarakat sipil dan pemerintah.
“Ini akan menggabungkan situasi hak asasi manusia di Papua Barat sebagai titik fokus yang kuat dari kerja program PCC terhadap penentuan nasib sendiri bagi bangsa dan wilayah yang belum pemerintahan sendiri serta masyarakat dan rakyat yang ingin bebas.” demikian disebutkan dalam siaran pers PCC 10th General Assembly yang diterima tabloidjubi.com, Kamis (14/03) malam.
Para Delegasi yang hadir, disebutkan mengakui hak asasi manusia semua orang, khususnya hak untuk menentukan nasib sendiri dari semua masyarakat adat yang tertindas dan terjajah di dunia sesuai dengan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
Melalui siaran pers ini, PCC dikemukakan telah meminta Perancis, PBB, negara Kepulauan Pasifik dan masyarakat internasional untuk mendukung penentuan nasib sendiri di Maohi Nui (Tahiti). Delegasi yang hadir mengatakan dekolonisasi adalah salah satu tema lama yang diusung PCC. Dukungan terhadap permintaan dari Etaretia Porotetani Maohi (Maohi Gereja Protestan) telah diserukan dalam PCC 10th General Assembly untuk kembali mencatatkan Tahiti ke daftar dekolonisasi PBB. (Jubi/Victor Mambor)
Jayapura — Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja Gereja Baptis Papua (PGGBP) dan Sinode Kingmi Papua mengeluarkan rekomendasi guna menyikapi konflik bersenjata di Papua.
Pendeta Socrates Sofyan Yoman mengaku prihatin dengan intensitas konflik di Papua setelah insiden penembakan yang terjadi di Sinak, Kabupaten Puncak dan Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya pada Kamis (21/02). Diketahui, pada peristiwa naas tersebut, delapan anggota TNI dan empat warga sipil tewas seketika.
“Menyadari fakta dan pengalaman hidup penduduk asli Papua yang memprihatinkan seperti ini, kami pimpinan gereja Papua merekomendasikan tujuh hal kepada pemerintah dan pihak terkait,”
kata Pendeta Socrates Sofyan Yoman, sat menggelar jumpa pers di toko buku Yoman Ninom, di Kota Jayapura, Papua, Rabu (06/02).
Ketujuh rekomendasi itu diantaranya, pertama, pihak gereja meminta pemerintah dan aparat keamanan Indonesia mengungkap, mengawasi dan menghentikan peredaran senjata dan amunisi ilegal.
Kedua, Socrates melanjutkan, pemerintah Indonesia seharusnya dapat membuka diri terhadap pesan-pesan gereja, 11 rekomendasi MPR pada 9-10 Juni 2010, serta seruan anggota PBB dalam Sidang HAM pada 23 Mei 2012. Ketiga, pihak gereja mendesak pemerintah Indonesia untuk menggelar kegiatan dialog damai guna menangkap aspirasi rakyat Papua.
Khusus di point ini, Socrates menjelaskan, pihak gereja menginginkan agar dialog damai ini dilakukan secara setara, tanpa syarat dan difasilitasi pihak ketiga yang netralitasnya diakui. Seperti mediasi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia kala itu.
Keempat, pihak gereja meminta agar pemerintah Indonesia membebaskan seluruh tahanan politik (tapol) di Papua tanpa syarat dan membuka akses untuk delegasi PBB, wartawan asing, dan pekerja kemanusiaan yang ingin melakukan kunjungan. Socrates juga berharap agar pemerintah menghentikan upaya kriminalisasi terhadap perjuangan politik rakyat Papua.
Kelima, pihak gereja meminta pemerintah Indonesia untuk melihat peristiwa penembakan kepada anggota TNI yang terjadi di Sinak Kabupaten Puncak dan Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya tidak sepotong-potong.
Rekomendasi keenam, Socrates menegaskan bahwa Kapolda Papua Irjen Tito Karnavian telah gagal mengungkap pelaku-pelaku kekerasan di Papua.
“Ada kesan membiarkan penjualan senjata secara ilegal,”
kata Socrates.
Terakhir, Socrates menghimbau kepada seluruh warga Papua dan unsur terkait lainnya untuk mempelajari secara seksama tentang UU TNI/Polri sekaligus mengawasi praktik kejahatan yang dilakukan pemerintah setempat dan aparat di Papua. (ali)
Jayapura — Forum Kerja Pimpinan Gereja Papua (FKPGP), Pendeta Sokratez Sofyan Yoman, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Baptis di Papua dan Benny Giyai, Ketua Sinode Kingmi Papua meminta Pemerintah Indonesia segera membuka akses pelapor khusus, wartawan asing, dan pekerja kemanusiaan asing untuk berkunjung ke Papua.
Hal itu disampaikan FKPGP pada Jumpa Pers di toko buku Yoman Ninom Jalan Tabi Tobati Kota Raja, Jayapura, Papua Rabu, (06/03).
Dinilai, negara dengan sengaja mengisolasi Papua selama kurang lebih 50-an tahun (1963-2013). Kami minta negara harus perlakukan Papua sama dengan orang asing datang ke Jawa, datang Sumatera, datang ke Manado dan bagian lain di Indonesia, kata Benny kepada majalahselangkah.com.
Benny Giyai meminta janji Marty Natalegawa, Mentri Luar Negeri Indonesia untuk meninjau kembali akses jurnalis asing di Papua itu benar-benar dilakukan.
Selama ini, kata dia, beberapa jurnalis asing telah dideportasi karena dilarang melakukan kerja jurnalistik di Papua.
Kita tahu, jurnalis ABC masuk Papua dengan cara menyamar sebagai turis. Inikan mestinya tidak terjadi. Kita hargai kebebasan dan demokrasi yang ada, kalau demokrasi Indonesia itu termasuk Papua,tegasnya. (MS)