SEKLDA: Dana Otsus Tidak Sebesar yang Diperkirakan Banyak Orang

Jayapura, 9/5 (Jubi) – Sekretaris Daerah (Sekda) Papua Hery Dosinaen mengytakan,jumlah dana Operasinal Khusus (Otsus) yang dikucurkan pemerintah pusat untuk Papua tidaklah sebesar seperti yany selama ini diperkirakan banyak orang.

“Salah ketika orang mengatakan dana Otsus besar. Dana Otsus itu kecil sekali. Saya mau kasih gambaran untuk semua. Kalau pernah lihat media massa, itu ada intervensi politik tertentu. Dana Otsus mulai 2003 dikucurkan berdasarkan Undang-Undang 21 tahun 2001, tetapi finansialnya baru dikeluarkan tahun 2003. Dana Otsus itu menjadi kewenangan pemerintah provinsi ketika itu turun satu tahun sekitar Rp2,5 triliun pertama sampai dengan 2014 ini Rp4 trilliun 700 milliar di 2013,”

ujarnya.

Dari 2003 sampai dengan 2013 fresh money dari dana otsus yang dikucurkan ke kabupaten/kota. Satu kabupaten/ kota rata-rata bergerak dari 10-16 milliar setiap tahun. Artinya dari 2003 sampai 2013 sisanya dalam bentuk program yang telah diprogramkan oleh Pemrov dan di dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan ada di tangan Provinsi 10-15 milliar dalam bentuk fresh money diserahkan ke kabupaten/kota.

“Kabupaten-kabupaten di perdalaman membangun satu jembatan menghabiskan dana bisa sampai 30-50 milliar. Pertanyaanya adalah, apakah Rp15 milliar satu tahun dana Otsus bisa mengakomodasi semua aspek dalam penyelenggaraan pemerintahan pembangunan? Banyak hal-hal lain ketika orang mengatakan, dana otsus itu besar itu hanya wacana politik yang disampaikan oleh elite-elite pusat termasuk elit lokal yang mempunyai kepentingan tertentu karena realitanya memang begitu,”

tukasnya.

Ditambahkannya, ketika orang mengatakan otonomi kusus gagal kita harus melihat dana alokasi umum untuk satu kabupaten rata-rata bergerak 300-400 milliar. Sementara dana otsus hanya bergerak dari Rp10 sampai 15 milliar satu kabupaten dan dana alokasi umum lebih pada aparatur sekitar 50 persen.

“Perlu diingat, pemekaran daerah otonomi baru di Papua lebih didominasi oleh pertimbangan politis ketimbang pertimbangan dari jumlah penduduk, sumber daya manusia, dan pendapatan asli daerah. Sangatlah tidak mungkin merupakan indikator untuk menjadi satu kesatuan, inilah akan jadi daerah otonom baru, inilah sangat tidak mungkin tapi ketika kita mengedepankan pertimbangan politis maka di Papua banyak daerah otonom baru itulah menjadi catatan kita semua,”

katanya.

Sementara itu, soal masa kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur Lukas Enembe dan Klemen Tinal, Sekda mengklaim bahwa semua program pembangunan di Papua bermuara pada kesejahteraan masyarakat.

“Pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur semua menjadi fokus Pemprov Papua. Visi-misi Gubernur adalah Papua bangkit mandiri dan sejahtera. Untuk itu, semua penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus bermuara pada kesejahteraan masyarakat,”

kata Sekda Papua, Hery Dosinaen kepada wartawan, di Jayapura, Papua, Jumat (9/5).

Sebelumnya, Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan, untuk mengubah Tanah Papua yang bangkit, mandiri dan sejahtera tak cukup dilakukan hanya dalam waktu setahun atau 100 hari. Perubahan menurutnya tidak mungkin dilakukan secara instan, namun harus melalui proses panjang yang butuh keseriusan semua pemangku kepentingan.

“Satu tahun kepemimpinan saya ini bukan merupakan suatu keberhasilan, karena Papua tidak bisa diubah hanya dengan waktu satu tahun atau 100 hari. Karena itu saya berterima kasih kepada masyarakat Papua dan seluruh pemangku kepentingan yang bersama-sama dengan kami memikirkan tanah Papua untuk menuju kesejahteraan,”

kata Lukas Enembe.

Untuk itu, Gubernur mengajak seluruh masyarakat Papua yang ada di atas tanah ini agar memberikan dukungan kepada pemerintah untuk mewujudkan kemajuan pembangunan Papua yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat.

Ada berbagai kebijakan pemerintah yang tentu saat ini sementara dilaksanakan, dan itu jelas harus mendapat dukungan dari semua pihak,” ujar Gubernur. (Jubi/Alex)

DPR Papua Minta Swiss Jadi Pihak Ketiga Dialgoue Papua – Jakarta

Jayapura, 7/5 (Jubi) – DPR Papua meminta Swiss menjadi pihak ketiga dan menfasilitasi terwujudnya dialog Papua-Jakarta.

Ketua Komisi A DPR Papua bidang Politik, Hukum dan HAM, Ruben Magay mengatakan, ketika Wakil Duta Besar (Dubes) Swiss, Daniel Dersic mengunjungi Papua, Senin (5/5) lalu, pihaknya tak hanya menyampaikan Otonomis Khusus (Otsus) yang dinilai gagal, namun juga masalah dialog Papua-Jakarta.

“Kami meminta Swiss membantu. Jika Papua memang bagian dari NKRI, hak-hak masyarakatnya harus diperhatikan. Baik hak politik, hak perekonomian serta hak demokrasi. Pemerintah pusat jangan melihat Papua lewat isu politik saja,”

kata Ruben, Rabu (7/5).

Selain itu ia menurutnya, masalah lain yang disampaikan DPR Papua adalah pemekaran. Ia menilai, Undang-undang pemekaran penyebab jumlah penduduk fiktif di Papua.

“Pemekaran ini yang menjadi masalah di Papua. Daerah yang dimekarkan selalu di terima pemerintah pusat. Daerah yang dimekarkan itu kemudian menjadi daerah imigran yang membuat masyarakat asli tersisih,” ujarnya.

Sementara Ketua Fraksi Golongan Karya (Golkar) DPR Papua, Ignasius W Mimin mengatakan, tanpa dijelaskan pun, pemerintah Swiss pasti tahu apa yang terjadi di Papua. Termasuk pelanggaran HAM yang terjadi sejak puluhan tahun lalu hingga kini.

“Mengenai Otsus, kami di DPR Papua juga sepakat Otsus gagal. Semoga saja Otsus Plus yang kini digagas Pemprov Papua bisa menjawab keinginan masyarakat. Tapi untuk pelanggaran HAM, kami mau itu diungkap. Kalau dialog Papua dengan Pemerintah RI, tentu akan terus diupayakan,”

kata Ignasius Mimin. (Jubi/Arjuna)

Otsus Plus Bukan untuk Balas Dendam

Ktua Komisi D DPR Papua, Yan Mandenas
Ktua Komisi D DPR Papua, Yan Mandenas (Foto: Jack/SULPA)

Setelah di Sahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dalam siding Paripurna DPR Papua senin (20/1/2014) malam, Rencana Undang-Undang Pemerintahan Papua (RUUPP) selasa (21/1/2014) diantar ke Jakata oleh Gubernur Papua, Ketua MRP dan Ketua DPR Papua untuk diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyon.

Namun dalam RUUPP tersebut terdapat pasal yang dianggap bersifat tidak berpihak dana tidak tepat berada dalam Undang-Undang Pemerintahan Papua, hal tersebut di ungkapkan direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Chistian Warinusi kepada Suluh Papua selasa (21/1/2014) melalu via telepon selulernya.

Wakil Ketua DPR Papua Barat, Jimmy Demianus Ijie
Wakil Ketua DPR Papua Barat, Jimmy Demianus Ijie. (Foto: Jack/SULPA)

Menurut Warinusi pasal yang dianggap tidak ada dan harus di hapus pasal 115 ayat 1 butir c dan pasal 57 ayat 1 butir c yang mana pasal ini menyatakan DPRP and MRP bersifat Imunitas (kebalhukum).

Pasal ini seharusnya tidak ada, karena siapapun di Republik Indonesia tidak ada yang kebal hukum, semua sama di mata hukum, “Selaku advokad senior saya menolak keberadaan pasal tersebut, karena merupakan malapeta besar bagi penegakan hukum” kata Warinusi.

Pasal Imunitasi berlaku untuk anggota korps diplomatik yang bertugas di Negara lain, jika di bersalah secara hukum, maka orang tersebutakan di pulang di kenegaranya dan di menjalani proses hukum di negaranya.

Terkait dengan tidak adannya pasal 299 yang menyatakan bila RUU ini tidak dapat di laksanakan oleh pemerintah secara konstitusional dan konsekwen dalam peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan orang asli Papua, maka atas prakasa MRP dapat diselenggarakan referendum.

Advokad senior Yan Warinusi menyatakan pasal ini bersifat abivalensi, karena dalam punyusunan RUUPP sudah terjadi pelanggaran yang di lakukan oleh Gubenur Papua, Gubernur Papua Barat, DPRP dan DRPB, MRP dan MRPB.

Hal ini bisa terjadi, karena penyusunan draf RUU ini tidak melibatkan masyarakat asli Papua sebagai penerima UU tersebut, pertanyaannya sejauhmana keterlibatan masyarakat di dalam penyusunan RUUPP tersebut, kata Warinusi.

“Majelis Rakyat Papua (MRP) bukan refrentasi rakyat, mereka refrentasi kultural,” tuturWarinusi.

Seharusnya setiap pasal dalam UU Otonomi khusus di evaluasi dengan melibatkan masyarakat asli Papu, hasil evaluasi tersebut yang kemudian dipakai untuk menyusun RUU Pemerintahan Papua, itu baru kuat, kalau tidak landasannya lemah.

Semantara itu dihapusnya pasal yang berbicara tentang orang asli Papua dari garis keturua ibu atau orang non papua yang sudah di terima secara adat dan di akui sebagai orang Papua karena sudah hidup turun temurun di Papua juga disasalkan, Warinusi.

Menurut Warinusi, pasal 1 butir p, r dan t UU nomor 21 tahun 2001 sudah jelas menterjemahkan tentang orang asli Papua dan orang Papua yang di terimadan diakui sebagai masyarakat Papua oleh orang asli Papua.

Mereka yang lahir dari kandungan mama asli Papua seharusnya mempunyai hak yang sama dengan orang asli Papua, dan juga mereka yang hidup lahir dan besar di Papua sejak lama juga harus di akomodir dalam RUUPP ini.

Ada orang non Papua yang orang tuanya berjasa di Papua seperti guru dan penginjil, kemudian mereka sudah hidup bertahun-tahun di Papua hingga anak cucu mereka perlu di akomodir dalam RUUPP tersebut.

“Namun jika tidak di akomodir, secara tidak langsung akan menimbulkan konflik sosial,” kata Warinusi.

Hal senada juga dikatakan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Jimmy Demianus IJie menuturkan sejarah merupakan hal yang tidak bisa dilupakan, namun dibalik semua itu ada hikma yang harus di ambil dan dimaknai secara bersungguh-sungguh untuk mencapai sebuah kesuksesan.

Menurut Jimmy Ijie, apa yang dialami oleh orang Papua sama dengan apa yang di rasakan oleh saudara kita yang ada di Afrika dan Amerika Serikat.

Namun di balik perjuangan menentang kekebasan dan menuntut kesamaan dan keadilan dalam hak hidup tidak mendiskriminasihkan dan munghukum mereka yang di anggap bersalah.

Marhen Luther King dan Nelson Mandala dalam perjuangan kekebasan tidak harus melakukan balas dendam, tetapi memaafkan dan merangkul semua pihak untuk membangun bersama menuju sebuah kemajuan bersama.

Lanjut Jimmy Ijie, belajarlah dari Nelson Mandela, dalam pesannya kepada masyarakat di Afrikan, “tidak ada yang lahir untuk membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau agamanya”.

Orang harus belajar untuk bisa menghilangkan kebencian terhadap orang lain. Jika mereka dapat belajar untuk meninggalkan kebencian, dendam dan sakit hati, mereka pasti dapat belajar untuk mencintai karena cinta datang lebih alami ke dalam hati manusia.

“Kita harus mencintai perdamai, karean damai itu membuat kebahagian yang diharapkan oleh semua orang,” ungkap Jimmy Ijie

Sementara itu Ketua komisi D DPR Papua Yan Mandenas menilai RUU RI tentang Pemerintahan Papua atau yang dikenal Otonomi Plus yang disahkan bersamaan dengan APBD tidak sangat tidak tepat. Seharusnya pengesahan UU Otsus plus harusnya dipisahkan dalam sidan paripurna khusus atau paripurna istimewa.

”disebut paripurna istimewa, karena kita berbicara perubahan draf UU yang menjadi harapan seluruh rakyat Papua” kata Yan Mandenas.

Lanjut Yan juga Ketua Partai Hanura Papua, jika itu istimewa perlu juga dikemas mekanisme sidang yang memberikan bobot yang baik, dalam mengambil landasan hukum yang baik pula.

Menurut Yan Mandenas DPR Papua belum melakukan pemeriksaan secara terperinci pasal per pasal, sehingga sangat penting kami melihat visi dari UU itu, bahkan mengkritisi atau memberikan masukan untuk perbaikan pasal per pasal agar tidak bertabrakan dengan konstitusi Negara.

Kata Yan Mandenas, yang perlu dianggap penting pasal yang mengokomodir kepentingan masyarakat dalam rangka pembangunan masyarakat Papua secara menyeluruh itu yang sangat penting.

Namum kesempatan itu sangat tertutup bagi kami (DPR) sehingga kami meminta pada Gubenur dan Wakil Gubernur pasca sidang ini harus dilakukan harmonisasi draf rancangan UU itu sebelum dibawa ke Jakarta, tuturnya

Pada waktu harmonisasi, hal – hal yang bertentangan dengan konstitusi negara itu harus diperbaiki dan hal – hal yang tidak mengakomodir kepentingan rakyat maka perlu dimasukan dalam draf tersebut.

Wednesday, 22-01-2014, SulPa

Enhanced by Zemanta

Penetapan Draft Otsus Plus Terkesan Dipaksakan

Ketua Komisi D DPRP, Yan Permenas Mandenas (BintangPapua.com)
Ketua Komisi D DPRP, Yan Permenas Mandenas (BintangPapua.com)

JAYAPURA– Penetapan draft Undang-Undang Pemerintah Provinsi Papua yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPRP, Senin (20/1/2014) tengah malam, terkesan dipaksakan. Penilaian itu dilontarkan Ketua Komisi D DPRP, Yan Permenas Mandenas yang ditemui usai sidang pleno malam 20/1. Ia menilai pembahasan draft Otonomi khusus (otsus) plus yang berisi revisi UU Nomor 21 Tahun 2001, yang dibahas di Majelis Rakyat Papua (MRP) terkesan tertutup dan dipaksakan.

“Seharusnya sebelum ditetapkan dalam rapat paripurna, draft ini harus dibahas khusus bersama Gubernur Papua dengan tim. Setelah disetujui bersama baru dibawa ke persidangan. Ini kan hanya dibahas oleh MRP, kemudian saya boleh katakan hanya numpang lewat di DPR untuk mendapat legitimasi,”

ungkap Mandenas.

Mandenas menilai, draft undang-undang ini harus dibahas khusus dalam sidang paripurna istimewa karena membahas rancangan undang-undang yang berisi harapan dari sebagian besar rakyat Papua.

Menurut anggota badan legislasi DPRP, draft otsus plus ini perlu dikaji lebih mendalam pasal per pasal sehingga tidak bersinggungan dengan konstitusi negara dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum serta diterima oleh semua pihak di Papua.

“Dalam rapat pembahasan tadi sore, sempat terjadi perdebatan dan kami meminta sidang di skors. Kami meminta draft undang-undang ini dikritisi terlebih dahulu, namun kesempatan itu tertutup. Karenanya kami meminta kepada gubernur Papua, agar dilakukan harmonisasi terlebih dahulu sebelum mengajukan draft ini kepada pemerintah pusat,”

jelas Mandenas.

Terkait salah satu pasal yang berisi ancaman akan melakukan referendum jika draft otsus plus ini ditolak, menurut Mandenas sebaiknya dihilangkan karena akan menjatuhkan wibawa pemerintah Provinsi Papua di mata pemerintah pusat.

“Kalau irama kita dalam konsep kesejahteraan maka marilah kita bermain dalam konsep kesejahteraan. Posisi bargaining itu harus kita lakukan bersama-sama. Tapi dengan mengeluarkan statement tersebut bukan sebuah hal yang berwibawa dari pemerintah daerah sehingga perlu dihindari sama sekali,”

kata Mandenas sebagaimana dikutip dari media onlien kompas.com.

Sementara itu, Gubernur Papua, Lukas Enembe dalam sambutannya mengatakan otsus plus tersebut diharapkan akan mengangkat harkat dan martabat orang Papua karenanya ia meminta semua pihak khususnya DPR RI mengesahkan menjadi undang-undang untuk mengganti undang-undang terdahulu.

Penetapan draft undang-undang pemerintahan Provinsi Papua atau yang dikenal dengan otsus plus ditetapkan bersama Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Propinsi Papua tahun anggaran 2014 dalam sidang paripurna di DPRP, Senin malam.

Sidang paripurna yang dipimpin Ketua DPRP, Deerd Tabuni bersama Gubernur Papua, Lukas Enembe juga dihadiri perwakilan pemerintah Provinsi Papua Barat dan DPR Papua Barat. Selain itu hadir pula ketua MRP Papua dan Papua Barat serta muspida plus provinsi Papua.

Setelah ditetapkan rombongan pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat, DPR Papua dan Papua Barat, serta MRP dan MRPB akan membawa draft tersebut kepada Presiden selanjutnya ke DPR RI. (binpa/don)

Rabu, 22 Januari 2014 09:00, BinPa

RUU Pemerintahan Papua Anti Non Papua ?

Wakil Ketua DPR Papua Barat Jimmy Demianus Ijie. (Foto: Jack/SULPA)
Wakil Ketua DPR Papua Barat Jimmy Demianus Ijie. (Foto: Jack/SULPA)

Jayapura (SULPA) – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua Barat menyesalkan sikap Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Papua yang tidak melibatkan dan memasukkan masyakat non Papua (urban) dalam isi RUU Pemerintahan Papua.

Hal ini katakan Wakil Ketua DPR Papua Barat Jimmy Demianus Ijie kepada wartawan di Jayapura Senin (20/’1/2014) kemarin.

Menurutnya draf RUU Pemerintahan Papua yang akan di serahkan oleh pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat ke pemerintah pusat pada 22 Januari untuk di paripurnakan di DPR RI menjadi UU tidak mengakomodir atau mengakui keberadaan kaum pendatang (urban) sebagai orang Papua.

“Apa kita melupakan jasa misionaris, guru-guru dan saudara kita lainnya dari luar Papua yang telah datang membawa masyarakat kita menuju lebih baik dan cerdas seperti kini. Contohi Marten Luther King dan Nelson Mandela,”

keluh Jimmy Ijie.

Menurutnya dari sisi filosofis, yuridis dan lainnya saya melihat semua sudah sangat baik untuk orang asli Papua kedepan. Namun ia sangat menyesalkan mengapa tak akomodir keberdaan kaum urban di tanah Papua sebagai orang Papua, agar mereka punya rasa memiliki tanah ini,” tegasnya.

Jimi menilai RUU Otsus Plus yang disusun seluruh pemerintah provinsi Papua, Legislatifnya serta Majelis Rakyat Papua dan diberikan lagi pada pemerintah provinsi Papua Barat untuk melihat, menambah atau mengurangkan isi RUU tersebut, oleh pihak di Papua masih berlandaskan atas semangat dendam yang tinggi.

Dia akui, selama 50 tahun Papua bergabung dengan NKRI, orang asli Papua masih minoritas di tanahnya sendiri. Namun, itu tak boleh membuat orang Papua menutup diri sampai ada dendam sampai tak mengakui saudara yang juga ikut bangun tanah Papua selama ini.

“Saat draf itu sampai ke tangan kami di Papua Barat, kami berdebat untuk memasukan ada definisi tentang orang asli Papua dan siapa orang Papua. Orang asli Papua tak bisa diperdebatkan lagi. Tapi harus diakui juga saudara kita kaum urban sebagai orang Papua sehingga mereka juga merasa memiliki tanah ini. Tapi justru dalam RUU hasil paripurna yang kami terima saat hadir di sidang paripurna DPR Papua tadi, pasal itu sudah dihapus,”

ujar Jimmy Ijie.

Menurut dia, kata pendatang secara psikologis membuat orang merasa tak nyaman, sehingga harus ada definisi orang asli Papua dan orang Papua.

Aturan itu akan berdampak luar biasa bagi kaum urban dalam perannya membangun tanah Papua. Dirinya yakin jika kaum urban dirangkul sebagai bagian tanah Papua, maka mereka akan dengan penuh hati membangun Papua.

Dia mencontohkan ketakutan orang pendatang membangun permanen dengan bagus dan menyimpan uangnya di Papua dalam jumlah banyak karena selalu dianggap pendatang akan lenyap dan menjadi sebaliknya.

Sementara itu Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib menuturkan Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) telah menerima Draft UU Otsus Plus dari Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe beberapa waktu lalu.

Seperti di lansir tabloi jubi.com Senin (20/1)setelah menerima draf RUU Pemerintahan Papua, MRP dan MRPB telah melakukan pemantapan bobot dari draf tersebut.

Menurut Murid, sebelum disahkan DPR Papua draf ini telah melewati beberapa tahapan seperti ibadah guna meminta pertolongan dan penyertaan Tuhan dalam proses pengajuan aspirasi yang tertuang dalam UU Otsus Plus itu.

Setelah melewati beberapa tahapan, draf ini di sidangkan oleh DPRP dan kemudian akan di bawah ke Jakarta untuk diserahkan langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian di serahkan ke DPR RI untuk di sahkan menjadi Undang-Undang.

Berdasarkan jadwal, Draf Otsus plus rencana akan dibawa Gubernur, beserta bupati dan walikota se – provinsi Papua dan ketua MRP papua Timotius Murib, ketua MRP Papua barat Vitalis Yumte ke Jakarat selasa 21/01 hari ini.

Sementra Draf OTSUS plus secara resmi di tandatangani dengan nota kesepahaman dan persetujuan antara Gubernur Papua lukas enembe dan ketua DPR Papua Deerd Tabuni serta pemerintah Papua barat yang diwakili asisten satu DRS Haji Musa Kamudi

Dalam sidang ada tiga nota kesepahaman yang ditanda tangani oleh Gubernur, ketua DPR, wakil ketua 1 dpr dan seluruh anggota DPR dan SKPD lingkungan pemerintah Papua.

Pemerintah Pusat Harus Hargai Kinerja Rakyat Papua

Deerd Tabuni, Ketua DPRP
Deerd Tabuni, Ketua DPRP

Deerd TabuniJAYAPURA – Statemen Gubernur Provinsi Papua di beberapa media lokal terkait draft Otsus Plus yang dibuat oleh MRP ke Pemerintah Pusat, mendapat tanggapan serius dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua, Deerd Tabuni.

“Draft Otsus plus ini kan merupakan kerja daripada lembaga rakyat Papua melalui MRP, sehingga Pemerintah Pusat harus menghargai rakyat Papua dan menyetujui ketika draft otsus plus ini diserahkan,” kata Deert Tabuni wartawan di ruang kerjanya usai sidang paripurna RAPBD 2014, Kamis (17/1) malam.

Dia mengakui, bahwa pernyataan Gubernur di media karena keinginan rakyat Papua dari MRP sehingga seaindanya draft rancangan undang-undang ini tidak disetujui oleh pemerintah pusat, maka apa yang dikerjakan oleh rakyat Papua melalui MRP dan apa yang disampaikan oleh Gubernur di media massa, bahwa jikalau draf Otsus plus ditolak maka aka nada permintaan referendum.

Sebab,melihat pelaksanaan Undang-undang Otsus selama di Provinsi Papua menjadi satu regulasi perubahan UU 32 dan UU pemerintahan yang tidak pernah ada kompromi tanpa ada permintaan masukan masukan dari Provinsi Papua, baik itu MRP, DPRP sehingga menyimpulkan hasil Otsus itu merupakan suatu kekecewaan bagi rakyat Papua.

Untuk itu, pihaknya selaku perwakilan rakyat di Provinsi Papua mendorong jalan yang terbaik dan kalau MRP ada perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Pemerintah pusat maka hal ini akan terjadi dan rakyat Papua dengan meminta suatu referendum seperti yang ditanggapi oleh Gubernur beberapa hari ini.

“Saya tegaskan, bahwa Draft Otsus Plus itu mendorong warga Papua sehingga bukan mendorong sesuatu yang disampaikan dalam media, tapi itu benar-benar disampaikan dari hati rakyat agar pemerintah pusat menanggapi serius tentang UU Otsus Plus tersebut,”

tegasnya.

Mengenai dampak lahir Otsus di Papua hanya beberapa persen dampak yang menghasilkan kepada masyarakat namun hasilnya kurang maksimal sehingga membuat rakyat Papua meminta untuk pengembalian Otsus, dan evaluasi Otsus karena mereka menilai Otsus tidak menyentuh di masyarakat.

Namun pihaknya juga meminta agar Otsus plus, pemerintah Provinsi Papua benar-benar memahami konsep agar dalam membangun Papua selalu ada kesepahaman antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi kepada masyarakat Papua.

“Jadi, soal setuju atau tidak setuju tidak ada masalah tapi yang kita pikirkan sekarang bagaimana pemerintah harus mengakui dan menghargai apa yang sudah dikerjakan oleh MRP, DPRP, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Provinsi Papua Barat dan DPRPB MRPB,”

ujarnya (loy/don/l03)

Sabtu, 18 Januari 2014 09:21, BinPa

Enhanced by Zemanta

“Ke Depan, Jangan Lagi Bicara Papua Merdeka”

Yunus WondaJAYAPURA – Bupati Kabupaten Puncak Jaya Henock Ibo mengklaim, ratusan aktivis Organisasi Papua Merdeka dibawah pimpinan Goliat Tabuni, yang selama ini bergerilya di Pegunungan Papua tepatnya di Tingginambut, saat ini sudah turun gunung atau kembali bergabung dengan masyarakat. DPRP Papua sangat menyambut baik kembalinya kelompok yang selama ini berseberangan, bahkan sangat mengapresiasi langkah Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya.

“DPRP sangat menyambut baik kembalinya saudara-saudara kita yang selama ini berseberangan, langkah Bupati Puncak Jaya yang terus membangun komunikasi dengan mereka, sehingga memilih kembali ke tengah-tengah masyarakat, patut di apresiasi,”

ujar Wakil Ketua DPR Papua, Yunus Wonda, Kamis 19 Desember.

Dengan kembali dan membaurnya ratusan aktivis yang selama ini berseberangan, langkah selanjutnya adalah memberdayakan mereka, serta melibatkannya dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung.

“Mereka harus mendapat perhatian dari pemerintah, dengan memberdayakan mereka dalam berbagai aspek pembangunan,”

ucapnya.

Langkah ratusan aktivis Papua Merdeka kelompok Goliat Tabuni itu juga, dengan sendirinya akan mampu menciptakan situasi yang aman dan kondusif di Puncak Jaya. “Citra yang selama ini melekat tentang Puncak Jaya yang tak aman, secara perlahan akan terkikis dengan kembalinya mereka ke tengah-tengah masyarakat,”papar dia.

Yang pasti, kedepan jangan lagi membicarakan tentang Papua Merdeka, tapi mari membangun daerah Puncak Jaya untuk lebih maju dan rakyatnya sejahtera.

“Kita jangan lagi bicara NKRI harga mati atau Papua Merdeka harga mati tapi bagaimana membangun Papua ke arah yang jauh lebih baik, kita harus berkaca dengan daerah lain yang sudah maju, sekarang mari kita bangun Puncak Jaya agar sejajar dengan daerah lain,”

imbuhnya.

Setelah bergabungnya kelompok itu, DPR Papua juga meminta aparat keamanan khususnya yang di tempatkan dari luar Papua, untuk lebih memahami budaya atau kultur masyarakat. Agar kedepannya tidak lagi muncul kekerasan atau apapun yang mengganggu ketentraman masyarakat. “Kami minta aparat keamanan lebih banyak belajar tentang budaya dan karakter orang Papua di setiap daerah, agar bisa terbangun sinergitas dan paling utama tidak saling mencurigai,”imbuhnya.

DPR Papua juga meminta Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat juga memahami adat dan budaya Papua. Supaya dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur tidak mengalami kendala atau benturan. “Jangan kedepankan kekuasaan, jika ada masalah, selesaikan dengan baik dengan membangun komunikasi,”tandasnya.

Masalah hak ulayat masyarakat juga harus dihormati dalam membangun infrastruktur. “Hak ulayat masyarakat harus dihormati semua pihak, karena itu juga hak dasar orang asli Papua sebagai pemilik tanah,”ucapnya.

Sebelumnya Henock Ibo mengklaim, ratusan OPM pimpinan Goliat Tabuni turun gunung dan bergabung dengan masyarakat. Mereka selama ini merasa telah dibohongi Goliat Tabuni tentang janji kemerdekaan Papua, sehingga memilih keluar dari hutan.

Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya kemudian menyambut kembalinya mereka, lalu melibatkannya dalam proses pembangunan dengan mendidik sebagian dari mereka menjadi Pamong Praja.

Pemerintah juga membangun puluhan unit rumah di sekitar Distrik Tingginambut yang selama ini dikenal sebagai Markas OPM pimpinan Goliat Tabuni. (jir/don/l03)

Jum’at, 20 Desember 2013 06:27, BinPa

Enhanced by Zemanta

LMA Papua: Polda Sudah Bertindak Sesuai Adat

Lenis Kogoya
Lenis Kogoya

Beberapa waktu terakhir, keamanan dinilai belum maksimal. Terjadi gangguan di sejumlah tempat yang berujung pada kontak fisik.

Menurut Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua Lenis Kogoya kepolisian daerah (Polda) Papua sudah bertindak sesuai prosedur adat dalam melindungi masyarakat.

“Kepolisian hanya melaksanakan tugasnya yaitu melindungi rakyat jadi mereka sudah bertindak sesuai dengan adat, kasih dan budaya,”

katanya kemarin.

Menurut dia, tindakan kepolisian dalam mengamankan oknum pengganggu kemanan sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Mereka (polisi: red) hanya ingin melindungi warga dari kelompok yang ingin merusak atau menggangu keamanan masyarakat.

“Itulah pekerjaan mereka. Jadi, tidak bisa kita salahkan,”

katanya.

Pemerintah, kata Ketua LMA, tidak menjalankan perannya . sedianya pemerintah merangkul masyarakat yang ingin memisahkan diri, membangun komunikasi dengan kelompok-kelompok yang beseberangan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (D/CR5/R5)

Selasa, 03-12-2013, SuluhPapua.com

Enhanced by Zemanta

Pemprov Didesak Lantik 11 Anggota DPRP Jatah Orang Asli Papua

JAYAPURA—Meski keanggotaan DPRP periode 2009-2014 masih tersisa beberapa bulan lagi, namun Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua terus-menerus didesak segera melantik 11 anggota DPRP jatah orang asli Papua, sebagaimana Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi (judicial review) pada 1 Pebruari 2010, 11 kursi DPRP adalah hak politik orang asli Papua.

Demikian disampaikan Ketua Umum DPP Barisan Merah Putih (BMP) Tanah Papua Ramses Ohee di kediamannya di Waena Kampung, Distrik Heram, Kota Jayapura, Jumat (17/5). Dikatakan, pengangkatan anggota 11 kursi DPRP ini bisa melalui Peraturan Gubernur (Pergub) sebagaimana dinyatakan dalam UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua Gubernur mempunyai wewenang membuat peraturan yang belum diatur dalam UU.

“Jadi sebelum masuk ke Pemilu 2014 seharusnya anggota DPRP jatah orang asli Papua sudah dilantik keputusan MK mulai berlaku tahun 2009-2014. Nanti tahun 2014 kedepan pengangkatan 11 kursi DPRP melalui Perdasus,” tukas Ondoafi Kampung Waena ini.

Karenanya, lanjutnya, menindaklanjuti putusan MK tersebut, Mendagri Gamawan Fauszi secara resmi menyurati Gubernur, MRP dan DPRP segera adakan pelantikan 11 kursi DPRP. Tapi ironisnya, mereka tak gubris surat perintah dari Mendagri dan seolah-olah mereka menyusahkan kita semua yang ada di Tanah Papua terlebih kepada orang asli Papua.

“Bukan pejabat pusat yang merugikan Papua melalui keputusan MK ini. Tapi orang Papua yang merugikan orang Papua, khususnya wakil rakyat di DPRP. Padahal dia tak sadar hak kita yang diakui oleh negera sesuai pasal 18 b UUD 1945 negara masih mengakui orang-orang adat,” katanya. (mdc/don)

Sumber: Sabtu, 18 Mei 2013 06:47, Binpa

Enhanced by Zemanta

Jonah Wenda Desak Pemerintah Indonesia Buka Ruang Perundingan

JONAH WENDA (JUBI/APRILA)
JONAH WENDA (JUBI/APRILA)

Jayapura – Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) melalui Juru Bicaranya Jonah Wenda mendesak pemerintah Indonesia untuk segera membuka ruang perundingan dengan wakil Bangsa Papua Barat.

“Perjuangan nasional bangsa Papua Barat telah memakan korban jiwa dan harta benda dan juga telah menyebabkan penyiksaan, penangkapan, pemenjaraan, pelarian keluar negeri, penembakan serta pembubuhan yang tidak berperikemanusiaan,”

tutur Jonah Wenda kepada wartawan di Lobi Hotel Matos Square Abepura, Jayapura, Senin (6/5).

Menurut Wenda, sejak terbentuknya West Papua National for Liberation (WPNCL) pada 2005 lalu, secara resmi telah menyurat Pemerintah Indonesia untuk membuka ruang perundingan dengan wakil Bangsa Papua.

“Sejalan dengan ini maka TPN-PB secara tegas telah member dukungan untuk menyelesaikan masalah status politik Papua Barat dengan jalan damai. Lebih lanjut, Pemerintahan SBY telah mengirim utusan khusus untuk bertemu dengan TPN-PB di Markas Pusat TPN-PB pada 11 September 2012 telah melahirkan Agenda Sebelas-sebelas yang diwakili dr. Farid Husein,”

ungkap Wenda lagi.

Selanjutnya Wenda menyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang tidak memegang komitmen yang telah dibuat bersama tersebut. Dua tahun telah berlalu sejak kesepakatan tersebut dibuat tetapi Pemerintah Indonesia justru membentuk Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B) dimana semua proyek ini ditangani militer dan konco-konconya.

Mengenai penembakan dan penangkapan yang terjadi menjelang dan sesudah 1 Mei 2013 misalnya di Sorog, Timika dan Biak, Wenda menegaskan bahwa ada amunisi dan rakitan yang ditemukan dan itu belum tentu milik anggotanya.

“Jadi, TNI/Polri jangan mengadakan penipuan public dalam hal ini,”

demikian tegas Wenda di hadapan wartawan. (Jubi/Aprila Wayar)

May 6, 2013,19:20,TJ

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny