Yona Wenda Nyatakan Mendukung Dialog Jakarta – Papua

Yona Wenda (Jubi/Mawel)
Yona Wenda (Jubi/Mawel)

Jayapura – Menurut Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM), Yona Wenda, masukanya wilayah Papua Barat melalui Pepera 1969 ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi akar masalah di Papua.

“Cara Papua masuk ke dalam wilayah NKRI menjadi persoalan besar. Tahun 2013 ini genap aneksasi dan kekerasan RI di Papua yang ke 50 tahun,”

ujar Yona Wenda di Abepura, Kota Jayapura, Papua, Selasa (23/4).

Konflik yang sudah menelan 50 tahun ini, belum pernah ada solusi yang tepat. Solusi yang diambil malah menambah masalah yang hendak diselesaikan. Solusi pendekatan keamanan melahirkan korban berjatuhan. Penegakan hukum mengiring banyak orang ke penjara. Situasi ini berlangsung di masa pemerintahan orde baru.

Di jaman reformasi, pemerintah Jakarta berbenah diri atas desakan keinginan orang Papua keluar dari NKRI dengan menerapkan UU Otonomu Khusus (Otsus) Papua. Otsus Papua belum mampu menjawab persoalan. Penolakan pun terjadi pada tahun 2005 dan kemudian pada tahun 2011 melalui musyawarah MRP dengan masyarakat adat Papua.

Secara tersirat, pemerintah Indonesia mengakui kegagalan itu dengan menggulirkan UP4B. UU ini kemudian mendapat sorotan banyak orang. Banyak orang kuatir sama nasibnya dengan Otsus.

“Implemtasi UP4B pasti sama dengan Otsus,”

kata ujar almarhum Mako Tabuni dalam satu orasi di halaman kantor MRP.

Sambil menolak dengan satu kekuatiran, banyak orang Papua bertanya-tanya solusi selanjutnya.

“Apa solusi kalau semua ini gagal?”

tanya drg. Aloisius Giay, Ketua LMA Pengunungan Tengah Papua dalam acara peluncuran buku berjudul Mati atau Hidup karya Markus Haluk, Senin (23/4) lalu.

Namun ada satu solusi yang ditawarkan, yakni ada yang menginginkan ruang dialog antara Jakarta dan Papua. Keinginan dialog itu makin jelas dengan menunjuk lima juru ruding orang Papua melalui Konfersi Dialog Jakarta-Papua yang dimotori Jaringan Damai Papua di Auditorium Uncen di Tahun 2012 lalu. Kini lima juru ruding itu mendapat dukungan penuh dari TPN-OPM.

“Kami sudah sepakati dan kami dukung,”

tegas Yona.

Menurut Yona, pihak TPN-OPM mendukung penuh karya Jaringan Damai Papua untuk terselenggarakannya dialog Jakarta Papua.

“Kita mau perudingan atau dialog itu pegertian dalam bahasa Inggris. Bedanya istilah saja. Kalau dialog yang diperjuangkan itu demi adanya ruang dialog, kami mendukung. Sehingga harap pemerintah Indonesia buka ruang dialog. Jakarta perlu membuka ruang dialog  dengan lima juru ruding yang ditunjuk orang Papua,”

katanya.

Tapi kata Yona, jika pemerintah Indonesia membuka ruang dialog, pihak TPN-OPM tidak akan pernah terlibat.

“TPN-OPM menyerahkan semua itu kepada lima juru ruding. Kami ini keamanan sifatnya hanya pemantau saja. Saya juga menolak dialog yang diwacanakan Gubenur Papua, Lukas Enembe. Mau dialog dengan OPM ini harus jelas, OPM yang mana? OPM ini kan bisa diciptakan,”

tegasnya.(Jubi/Mawel)

 April 24, 2013,21:02,TJ

Lukas Enembe : Dialog Jakarta – Papua Soal Kesejahteraan

Jayapura – Terkait aspirasi dari berbagai pihak untuk melanjutkan upaya dialog Jakarta-Papua, Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe dalam program 100 hari kerja pemerintahannya akan terus mewujudkan aspirasi itu. Salah satunya, dengan berkomunikasi secara langsung ke Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Menurut Lukas, dialog yang ditawarkan pemerintah Provinsi Papua bersama dengan pemerintah pusat, lebih khusus mengenai masalah kesejahteraan. Sehingga dirinya juga berharap, agar sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dapat mengganti makna kata dialog dengan kata lain, agar bisa lebih diterima pemerintah pusat.

“Kata dialog itu kan sesungguhnya yang saya ikuti, Jakarta merasa telinganya panas kalau bicara kata dialog. Mungkin kita bisa perhalus kah? Negara juga tidak melihat dialog sebagai suatu untuk penyelesaian masalah Papua. Negara lebih mementingkan soal kesejahteraan. Tujuannya baik, tapi nama dialog itu yang harus diperhalus, bisa kita katakan duduk di para-para kah, duduk bersama kah, atau mungkin kata itu dihaluskan dulu,”

kata Lukas ke wartawan di Kota Jayapura, Selasa (16/4).

Lukas menambahkan, pihak Jaringan Damai Papua (JDP) dan sejumlah LSM akan dilibatkan dalam pembahasan kesejahteraan bagi rakyat Papua, setelah pihaknya bersama dengan DPR Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan sejumlah perguruan tinggi bertemu dengan Presiden SBY pada 29 April 2013 nanti.

Menurut Lukas, rumusan tentang kesejahteraan rakyat Papua terus digodok. Sebab menurutnya, permasalahan di Papua ada, karena pemerintah tak serius untuk mengurus tentang kesejahteraan tersebut.

Sebelumnya JDP dan sejumlah LSM lainnya mendesak dalam program 100 hari pemerintahan pasangan Gubernur Papua Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal atau yang dikenal sebagai Lukmen, mengupayakan tentang dialog Jakarta-Papua. (Jubi/Levi)

April 16, 2013,19:07,TJ

“Jenderal Jangan Baku Ancam”

Jayapura -Terkait pernyataan Kapolda Papua Tito Carnavian yang akan menjadikan  OPM pimpinan Goliath Tabuni Dalam Daftar Pencarian Orang, karena diduga terkait kasus penghadangan dan penembakan 8 prajurit TNI dan 4 warga Sipil di Sinak Puncak Papua, mendapat tanggapan dari Goliath Tabuni. Ia berang dan mengancam memerintahkan anggotonya menembak Kapolda. Situasi itu mendapat perhatian DPR Papua dan meminta kedua belah pihak saling menahan diri dan tidak saling mengancam.

“DPRP minta Jenderal Tito dan ‘Jenderal’ Goliath tidak saling baku ancam, sebaiknya menahan diri. Sebab, kondisi itu bisa memperkeruh situasi yang bisa menimbulkan konflik,,”ujar Ketua Komisi A DPR Papua Ruben Magai, Senin 8 April.

Lanjutnya, bila kedua belah pihak saling berkeras, masyarakat akan menjadi korban. Untuk itu, sebaiknya dicari solusi menghindari potensi konflik. “Kalau Polisi bersikeras dengan sikapnya, OPM juga demikian,  maka situasi akan kacau, dan ujung-ujungnya masyarakat yang akan jadi korban,”terangnya.

Sebaiknya, sambung Ruben Magai, Kapolda jangan langsung menetapkan Goliath Tabuni sebagai DPO, tanpa memiliki bukti hukum yang konkrit dia terlibat dalam tindak kriminal. “Mestinya Polisi mengungkap fakta dulu, bukan langsung tetapkan DPO tanpa punya bukti kuat,”singkatnya.

Ruben menambahkan, hal aneh juga jika Polda langsung menetapkan Goliat Tabuni sebagai DPO, tanpa bukti hukum yang kuat namun hanya dengan asumsi. “Goliath kan memperjuangkan ideologinya yakni Papua Merdeka, jadi ini kasus politik bukan tindak kriminal,”imbuhnya.

Karena ini kasus Politik seharusnya yang dikedepankan cara dialog daripada angkat senjata yang buntutnya hanya melahirkan kekerasan . “Kalau berkaitan dengan Politik ya selesaikan dengan dialog seperti yang selalu didorong Jaringan Papua Damai,’’tandasnya.

Ia juga meminta Polisi jang terlalu mudah menuding seseorang bertanggung jawab pada sebuah peristiwa kekerasan tanpa mengusut secara tuntas. “Ungkap dulu secara terbuka, kalau memang ada bukti, baru tetapkan sebagai pelaku kriminal bukan main tuduh,’’tandasnya.

Sikap main tuduh, akhirnya hanya akan membuat orang Papua selalu mencurigai Negara selalu merekayasa setiap peristiwa yang terjadi. “Kalau terus main tuding, orang Papua jadi sadar, situasi politik sengaja diciptakan Negara. Dan tentu mereka tidak akan tinggal diam, karena siapapun kalau haknya dirampas pasti melawan,’’kata dia.
Anggota DPR RI Diaz Wijanggen menadaskan hal senada, semestinya pemerintah pusat dalam menyelesaiakn persoalan Papua harus mengedepankan dialog, bukan asal tuding dan mengancam. ‘’Duduk bersama dialog bahas apa masalahnya dan cari solusinya, bukan malah main tuduh dan ancam,’’pungkasnya.

Diaz sangat menyayangkan Kapolda Papua yang berencana menetapkan Jenderal Goliath Tabuni dalam Daftar Pencarian Orang tanpa memiliki bukti yang akurat. ‘’Sangat sayangkan Kapolda langsung tetapkan DPO, jelas nanti aka nada perburuan. Apa kalau nanti Goliath dibunuh persoalan akan selesai,’’tanya dia..(jir/don/l03)

Rabu, 10 April 2013 16:56, Binpa

Baltazar Kambuaya: Papua Masih Dinilai “Merah”

Sentani,10/4 (Jubi) – Mentri Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Baltazar Kambuaya menilai, tak ada keseriusan selama ini dalam menangani situasi sosial ekonomi, politik, pendidikan dan kesehatan di Papua. Sebanya, orang asli Papua didokma berada di lokasi ‘merah.’

Hal ini dikemukakan Baltazar saat menyampaikan pernyataannya dalam pertemuan Menkopolhukam dan para mentri lainnya serta penentu kebijakan se Papua, di Hotel Travellers Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (10/4).

Menurutnya, rakyat Papua akan terus berada di area berbahaya jika masalah yang melilit wilayah tertimur ini tak ditangani secara khusus dan serius. “Kalau masalah di Papua tidak diseriusi, maka kita akan terus berada di area merah,” katanya.

Lanjut dia, orang Papua tidak boleh terus berada di area merah. Sebaliknya, harus keluar dari itu. “Kita harus mengahiri,” tegasnya di depan para menteri, Panglima TNI, Kapolri, Gubernur dan wakil Gubernur Papua dan Bupati dan Walikota se Papua.

Bagi dia, solusi untuk mengatasi masalah Papua adalah otonomi khusus. “Kita seharusnya keluar dari area merah, karena sejak otonomi khusus diberikan, semua kewenangan dan uang berada dalam kendali penentu kebijakan di daerah,” ujarnya.

Sekarang menjadi pertanyaan, otonomi khusus yang memberikan kewenangan khusus itu tidak membawa orang Papua keluar dari masalah. “Mengapa hari ini kita terus berada di area merah? Sementara, penentu kebijakan dan pembuat semua keputusan adalah orang Papua,” tuturnya.

Dia menuturkan, kewengan melalui otonomi khusus inilah yang merupakan peluang emas bagi orang Papua untuk mengahiri penderitaan yang dialami selama ini. “Kita bisa akhiri keberadaan kita di area merah dengan kewenagan yang ada,” tuturnya lagi.

Untuk mengahiri semua itu, kata dia, para pemimpin birokrasi Pemerintah baik pusat maupun daerah, harus duduk bersama dan mengambil tindakan yang tepat. “Mari kita ambil keputusan dan tindakan yang tepat untuk keluar dari area merah,”ujarnya. “Kalau masalah tidak selesai, kita seperti apa? ”tanya Kambuaya. “Solusi pa? Bagi kami Referendum adalah solusi terbaik untuk Papua,” tegas Wim Medlama. (Jubi/Mawel)

Penulis : Benny Mawel | April 10, 2013 | 20:13, TabloidJubi
Editor : MUSA ABUBAR

Bunuh Pejuang Papua, Tidak Selesaikan Masalah

Jayapura, 8/4 (Jubi) – Anggota DPR RI asal Papua, Diaz Gwijangge menegaskan dirinya tak setuju jika pimpinan tertinggi OPM, Goliat Tabuni dinyatakan DPO. Membunuh para tokoh pejuang Papua tak akan menyelesaikan masalah.

“Saya tak setuju jika Goliat Tabuni dikatakan DOP agar dia bisa dibunuh, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah. Beberapa tokoh pejuang Papua Merdeka seperti They Eluay, Keli Kwalik hingga Mako Tabuni dibunuh, tapi masalah tidak selesai. Meski para pejuang ini meninggal, isu Papua merdeka tetap ada,”

kata Diaz Gwijangge, Senin (8/4).

Menurutnya, tidak ada yang memaksa orang Papua berteriak merdeka. Itu adalah ideologi politik orang Papua sendiri, sehingga penyelesaiannya juga harus dengan cara politik. Lewat dialog atau apapun namanya yang penting kedua pihak duduk bersama.

“Kita tidak usa baku tipu. Kita sudah melihat apa yang terjadi di Timor Leste. Jika Aparat melalukan hal-hal tersebut, maka bisa dikata ada genoside di Papua. Jadi saya pikir Kapolda harus jeli melihat masalah ini. Jangan langsung menuding dan menjadikan sesorang DPO. Ada prosedur yang harus dilakukan. Negara harus menjamin hak hidup setiap orang. Yang bisa mengambil nyawa manusia hanya Tuhan, bukan manusia,” ujarnya.

Dikatakan, menyelesaikan masalah Papua harus tuntas. Tidak hanya sepotong-sepotong. Apalagi sudah ada etika yang baik dari orang asli Papua untuk selesaikan masalah Papua. Jaringan Damai Papua (JDP) sudah mendorong dialog, itu harus segera direspon baik oleh pemerintah RI dan melibatkan mereka yang dikatakan OPM untuk dialog.

“Aceh dan Papua statusnya sama. Tidak ada bedanya. Bahkan GAM Aceh bisa dikatakan peralatan dan struktur mereka tertata baik. Lalu kenapa Aceh bisa diselesaikan lewat perjanjian Helsinkin. Lalu Papua tidak bisa? Berarti ada diskriminasi,”

kata dia lagi.

Selain itu dikatakan, ada dua kebijakan pemerintah yang keliru di Papua. Orang Papua diberikan Otsus tapi ternyata dalam penerapannya pusat tidak konsisten. Pusat juga memberikan pemekaran seenaknya untuk Papua dan ini kerap menimbulkan konflik antara sesama orang asli Papua.

“Jadi harusnya pemerintah dan orang asli Papua duduk bersama untuk dialog. Bahkan jika perlu ada pihak ketiga seperti GAM lalu. Kenapa Papua tidak bisa begitu, sementara Aceh bisa? Pemerintah seolah tidak serius menyeselesaikan masalah Papua sehingga terus terjadi kekerasan,”

ujar Diaz Gwijangge. (Jubi/Arjuna)
Penulis : Arjuna Pademme | April 8, 2013 | 17:30, TabloidJubi.com
Editor : CUNDING LEVI

Sejak Kecil, Keluarga Gubernur Papua Bicara Merdeka

Jayapura, 17/8 (Jubi) – “Keluarga saya banyak yang meninggal karena bicara merdeka. Ada yang lari ke PNG, Manokwari dan ke mana-mana. Dari saya kecil, orang bilang besok merdeka. Sampai saya jadi gubernur, mana buktinya?”

Demikian dikatakan gubernur Papua, Lukas Enembe dalam kunjungannya ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas II A  di Abepura, Kota Jayapura, Papua, Sabtu (17/8).

Karena itu, dia mengimbau agar masyarakat Papua berbicara soal membangun Papua dan kesejahteraan rakyat; berbicara soal hak-hak dan kewajiban pada relnya. “Seperti Freeport misalnya, itu yang saya sedang tuntut. Kenapa orang minta merdeka? Karena kesejahteraan,” katanya lagi.

“Bagi saya, sehebat apapun seseorang, tidak ada yang kebal hukum, apalagi untuk kasus korupsi. Kami tidak mengkategorikan mereka sebagai yang jahat. Untuk mereka yang berbicara kasus makar, saya cuma bilang saya ini dari kecil, keluarga bicara merdeka,” lanjut mantan Bupati Puncak Jaya ini.

Kepada Lapas Abepura, gubernur Papua memberi apresiasi atas remisi 800-an warga binaannya pada HUT kemerdekaan RI ke-68 tahun. Ia juga berterima kasih kepada pemerintah, selain kepada petugas Lapas yang selama ini membina. Gubernur Lukas berharap, tahanan dan narapidana yang keluar, memperbaiki kelakuannya, dan bertobat. (Jubi/Timoteus Marten)

Timoteus Marten
Editor : MUSA ABUBAR
Sumber :
COPYRIGHT JUBI 2016

Walikota Jayapura: Jujur Saya Tidak Melihat Hasil Otsus yang Nampak

Jayapura, 12/3 (JUBI)- Walikota Jayapura, Benhur Tommy Mano mengaku jujur dan bingung untuk membawa hasil pelaksanaan Otsus di Kota Jayapura ke Expo Otsus yang akan diselenggarakan beberapa hari mendatang.

Pasalnya, hingga kini dirinya secara pribadi tidak melihat program yang dilaksanakan oleh bidang perencanaan dengan dana Otsus, yang berhasil membawa dampak atau manfaat bagi masyarakat Kota Jayapura.

“Jujur saya katakan, saya tidak melihat hasil yang nampak atas pelaksanaan Otsus di Kota Jayapura, tidak ada,”

tegas Walikota Jayapura di ruang kerja walikota.

Kemungkinan rencana evaluasi Otsus yang akan diselenggarakan, Kota Jayapura mungkin akan membawa gambar atau foto saja, bahkan grafik. Sebab tidak ada seperti pembangunan rumah atau pemberian fasilitas  di Kota Jayapura menggunakan dana Otsus. “Kita akan bawa apa ke pameran di Jakarta nanti, mungkin grafik-grafikkah dibawa kesana,” lanjutnya.

Salah satu kendala, yang didapatinya adalah akibat perencanaan yang belum bisa menjabarkan visi dan misi dengan baik membuat banyak program yang tidak sesuai dengan harapan. Dan membuat dana Otsus sebesar 53 miliar yang seharusnya dapat memberikan manfaat menjadi tidak kelihatan.

Sehingga konsep pelaksanaan pada tahun 2014 mendatang, dirinya akan intervensi khusus ke kampung-kampung untuk menjawab keinginan masyarakat secara khusus.

“Salah satu contohnya dengan memberikan keramba, jaring ikan, bibit babi, motor tempel dan perahu sesuai dengan keinginan masyarakat kampung tersebut. Ini bisa menggunakan dana DP2K atau dana Otsus,”

tukas Mano (Jubi/Sindung)

Penulis : Sindung Sukoco | March 12, 2013 | 22:08, TabloidJubi.com
Editor : dominggus a mampioper

Paulus Sumino : Penembakan di Papua Pengaruhi Rencana Dialog

Peti jenazah dan krans bunga delapan anggota TNI di Makodam XVII/Cenderawasih. (Jubi/Levi)
Peti jenazah dan krans bunga delapan anggota TNI di Makodam XVII/Cenderawasih. (Jubi/Levi)

Jayapura — Salah satu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Papua, Paulus Sumino mengatakan, kasus penembakan yang terjadi pada Kamis, 21 Februari 2013 di Tinggi Nambut, Kabupaten Puncak Jaya dan di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, telah menciderai proses ke arah dialog Jakarta-Papua yang akan dilaksanakan di tahun 2013 ini.

“Padahal dialog damai Jakarta-Papua ini telah disetujui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat ini proses ke arah dialog itu tinggal menunggu kapan akan dilaksanakan nantinya. Bahkan proses ini juga sedang menyusun siapa-siapa dan unsur mana saja yang akan dilibatkan, serta agenda apa yang akan dibicarakan,” katanya,”

kata Paulus yang juga anggota Kaukus Papua ke wartawan di Jayapura, Jumat (22/2).

Menurut Paulus, pihak Kaukus Papua juga mendesak pemerintah daerah ikut ambil bagian dalam penyelesaian penembakan yang terjadi di Tingginambut dan Sinak.

“Gubernur Papua bersama dengan DPR Papua harus proaktif berkoordinasi dengan aparat keamanan dalam mengambil tindakan pasca penembakan ini,”

katanya.

Diduga Terkait Pemilukada

Paulus menduga, penembakan di dua tempat yang berbeda, dipicu masalah pemilukada yang terjadi di daerah itu.

“Masalahnya momentum yang dipakai menyangkut tentang pemilukada, baik itu pemilukada di kabupaten yang sebenarnya hari ini kan pleno di Kabupaten Puncak, tapi ini tak bisa tercapai juga. Juga pemilukada di tingkat provinsi yang masih menimbulkan soal yang masih mau ke Mahkamah Konstitusi,”

katanya.

Menurut Paulus, pihaknya mengharapkan pemerintah daerah setempat untuk tidak membiarkan TNI/Polri mengambil langkah sendiri pasca penembakan.

“Apalagi jika TNI/Polri telah melakukan penyisiran yang dikuatirkan akan ada ekses di masyarakat. Tapi saya yakin dan berharap, aparat TNI/Polri dapat memelihara suasana aman terhadap warga setempat,”

katanya.

Sedangkan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Papua akan mencoba berkoordinasi dengan pelaku penembakan di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya dan Distrik Sinak, Kabupaten Puncak lewat forum gereja setempat. Ketua FKUB Papua, Pendeta Herman Saud mengatakan, komunikasi akan dilakukan untuk menghentikan segala proses kekerasan yang terjadi di
dua tempat itu.

FKUB Papua mengklaim pesan damai yang diserukan selama ini tak sampai ke warga, akibat banyaknya kepentingan dari pihak lain. Juga kemungkinannya diduga akibat kekecewaan warga terhadap kesejahteraan yang belum meraka rasakan.

“Ya sebenarnya tidak sampai karena kebanyakan kepentingan kan. Kalau ada kepentingan satu untuk kita membangun negara ini dimanapun kita ada, tapi kita ada orang Indonesia dan kita membangun negara ini tentu dengan kekurangan, kelemahan di manapun di dunia ini ada itu. Tapi tak perlu dengan kekerasan seperti ini yang korbankan orang lain. Dari pihak agama, kami menyesalkan kejadian ini,”

katanya.

Sebelumnya, Kamis, 21 Februrai 2013, sebanyak delapan anggota TNI tewas tertembak kelompok bersenjata. Kasus ini terjadi di dua lokasi berbeda, yakni di Disrik Sinak, Kabupaten Puncak dan di Tinggi Nambut di Kabupaten Puncak Jaya. Pihak Kodam XVII/Cenderawasih menuding pelakunya diduga kelompok Goliath Tabuni dan Militer Murib.

Dalam kasus ini, selain delapan anggota TNI tewas, tapi juga ada empat warga sipil tewas dan satu orang lainnya kritis akibat aksi penembakan di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak. Lima warga sipil ini sebelumnya ikut jalan bersama rombongan anggota TNI yang akan ke Bandara Sinak, tapi di tengah perjalanan, mereka ditembaki oleh kelompok bersenjata. (Jubi/Levi)

Saturday, February 23rd, 2013 | 03:02:51, TJ

Agustinus Waipon : HUT OPM 1 Desember Tak Punya Landasan Hukum

Bukan 1 Desember tapi 1 Juli

JAYAPURA – Momen 1 Desember yang setiap tahunnya diperingati  sebagai HUT Organisasi Papua Merdeka (OPM) ditanggapi berbeda oleh Agustinus Waipon yang mengaku sebagai Kepala Kantor Sekretariat Negara Republik Papua Barat. Menurutnya, peringatakan itu tidak mempunyai/memiliki landasan hukum konstitusional.  Ditegaskan demikian, karena kemerdekaan bangsa Papua Barat atau yang kini menjadi Negara Repoblik Papua Barat (NRPB) bukan pada 1 Desember 1961 melainkan pada 1 Juli 1971.

“Peringatan 1 desember adalah sebuah pembohongan politik bagi rakyat Papua,”

tegasnya kepada Bintang Papua, Rabu, (21/11).

Untuk itulah, dirinya mengajak semua komponen masyarakat Papua Barat untuk tidak melakukan perayaan peringatan kemerdekaan NRPB pada 1 Desember 2012 mendatang, karena hal itu sama saja mengkhianati perjuangan yang selama ini dilakukan para pejuangan rakyat Papua sejak dulu hingga sekarang.

“Janganlah berjuang dengan tindakan anarkis yang akhirnya merugikan diri sendiri, dan rakyat Papua serta menodai cita-cita luhur pejuangan kemerdekaan kita menjadi sebuah Negara yang berdaulat,”

tukasnya. Dijelaskannya, sesuai dengan dokumen kenegaraan, bahwa perjuangan TPN-OPM bersama rakyat bangsa Papua Barat dengan landasan dan ideologi Papua Merdeka yaitu tertanggal 1 juli 1971 diumumkan Proklamasinya di Waris-Keerom, dengan lahirnya Undang-Undang Dasar (UUD) nya itu . Dimana pada kesempatan itu menolak dengan tegas hasil Pepera 1969 itu karena cacat hukum dan pelanggaran HAM tinggi di Tanah Papua Barat.

Menurutnya, UU konstitusi NRPB yakni 1 Juli 1971 yang menyangkut didalamnya terdapat 343 pasal sudah lengkap dan pemerintahan secara ‘devacto’ bangsa dan negara sudah ada, tinggal menunggu pengakuan secara penuh (pengakuan secara ‘dejure’ atau hukum) dari NKRI dan dunia internasional.

“Kami menyampaikan kepada organisasi sipil yang tergabung dalam perjuangan kelompok-kelompok lain yang tidak punya hak sedikitpun kewenangan untuk membentuk negara atau umumkan pemerintahan, segera bubarkan diri karena tidak mempunyai legalitas hukum yang kuat,”

tegasnya.

Ditandaskan seperti itu, karena mengkotori perjuangan murni dari rakyat Papua untuk merdeka secara berdaulat, sebab NRPB sudah ada dalam konstitusi undang-undang 1 Juli 1971 dimaksud yang menyatakan adalah Organisasi Papua Merdeka merupakan organisasi induk.

“Kepada pihak-pihak yang selama ini di luar OPM yang mengklaim dirinya memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat, sebaiknya jangan hanya beradu mulut, tapi harus beradu konsep yuiridis yang nyata yang mempunyai kekuatan hukum, sebab masalah Papua adalah masalah hukum,”

pungkasnya.(nls/don/l03)

Kamis, 22 November 2012 09:23, www.bintangpapua.com

“Rakyat Papua Sangat Kecewa Kepemimpinan di Papua”

Kamis, 01 November 2012 08:48

Pdt.Lepius Biniluk,S.Th saat diwawancarai wartawan usai menyampaikan khotbahnya pada HUT MRP yang ke-7 Selasa (31/10), kemarin.
Pdt.Lepius Biniluk,S.Th saat diwawancarai wartawan usai menyampaikan khotbahnya pada HUT MRP yang ke-7 Selasa (31/10), kemarin.

JAYAPURA—Sejarah perjalanan UU No 21 Tahun 2001 yang turut melahirkan lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP), yang kemudian anggaran otsus dalam jumlah trilyunan digelontorkan pemerintah pusat ke Papua, ternyata tidak berjalan sesuai yang diharapkan, yakni membawa damai sejahtera di hati rakyat Papua.

Menurut Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Tanah Papua (PGGP), Pdt.Lipius Biniluk,S.Th bahwa kondisi itu disebabkan karena para pemimpin di tanah Papua mulai dari MRP, DPRP dan Pemerintah Provinsi Papua. bahkan pemerintah kabupaten/kota berjalan sendiri-sendiri dengan egonya.

Hal lainnya adalah karena terkesan para pemimpin dan masyarakat di tanah Papua telah menghancurkan adat istiadat dan budayanya sendiri, sebagaimana hal itu terjadi pada budaya Yerusalem pada jamannya Nabi Yehemia.

Akibatnya, rakyat masih berada dalam kemiskinan, keterbelakangan, bahkan rakyat bebas saling bunuh membunuh (termasuk perang antar suku), sementara aparat keamanan tidak bisa berbuat banyak dalam menghentikan pertumpahan darah yang terjadi. “Impian rakyat asli Papua belum dilaksanakan secara murni dan konsukwen. Cukup sudah sikap saling menghancurkan satu sama lain, jangan lagi menghancurkan adat istiadat dan budaya rakyat di Papua. Rakyat Papua sudah sangat kecewa dengan leadership para pemimpin di tanah Papua ini,” ungkapnya kepada wartawan usai membawa Firman Tuhan pada Ibadah Syukur HUT Majelis Rakyat Papua (MRP) ke-7 di Kantor MRP, Rabu, (31/10).

Dijelaskannya, rakyat Papua membutuhkan pemimpin seperti Nabi Nehemia, yaitu orang yang birokrasi sejati, pemimpin adat sejati, budayawan sejati, dan rohaniwan sejati, yang tidak menyombongkan dirinya, tapi sangat takut dan pada perintah Tuhan.

Dimana, saat Nabi Nehemia menjadi Gubernur Yerusalem, ia tidak menyombongkan dirinya, tetapi setiap harinya berdoa dan berpuasa meminta pengampunan dari Tuhan atas dosa-dosa dan kejahatan rakyat Yerusalem, yang akhirnya melalui Nabi Nehemia Yerusalem dipulihkan secara total, yang akhir ada shaloom (damai sejahtera) Allah terwujud di Yerusalem.

“Kembalilah dan berdoa pada Allah mu, maka Allah mu pasti memulihkan semuanya. Kalau anda berperkara dengan Allah, maka Allah akan berperkara dan memberkati hidup anda. Nehemia tampil dikehancuran budaya bangsanya dan memulihkannya, karena kemurahan Tuhan,” imbuhnya.

Untuk itulah, para pemimpin di tanah Papua harus seperti Nabi Nehemia, jangan suka menipu-nipu rakyat dengan uang dan lainnya, karena hal itu hanya menghancurkan rakyat Papua dan tidak ada kedamaian.

Soal keberadaan Majelis Rakyat Papua (MRP), dirinya menyatakan dengan usia yang ke-7 tahun ini, MRP masih berjalan tertatih-tatih, dan diibaratkan MRP seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Pasalnya, MRP mempunyai kewenangan, hanya saja kewenangan itu dibungkam oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggungjawab, apalagi MRP tidak memiliki anggaran.

Sebagaimana diketahui, HUT MRP Ke 7 yang jatuh pada 31 Oktober 2012, diperingati dalam sebuah perayaan resepsi bersama yang dihadiri semua unsur pimpinan dan anggota MRP Papua dan undangan lainnya diantaranya hadir juga Wali Kota Jayapura Benhur Tommy Mano, perwakilan DPRD Kota Jayapura, Gubernur Papua yang diwakili Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Papua, Wilem. C.H Rumbino unsur pimpinan TNI dan POLDA yang diwakili Brigjen. Paulus Waterpauw dan undangan lainnya.

Acara resepsi sendiri diawali dengan ibadah yang dipimpin Ketua PGGP, Pdt. Lipius Biniluk. Dalam khotbah kenabiannya, Pendeta Lipius Biniluk menyampaikan, 7 tahun keberadaan Majelis Rakyat Papua di tengah tengah perubahan sistim kemasyarakatan yang radikalisme trasformasi, dimana masyarakat kita butuh seorang figur pemimpin radikal, namun tanpa kekerasan dan mau belajar dari tokoh Nehemia dalam Kitab Perjanjian Lama yang bergumul kepada Tuhan tentang nasib bangsa dan tanah airnya.

Nehemia dalam menghadapi situasi masyarakatnya yang hancur, tak mengeluh kepada manusia, dia tak memberontak melakukan perlawanan, meski struktur struktur budaya masyarakatnya telah dihancurkan, ia merendahkan diri dihadapan Tuhan dan berdoa, karena keyakinannya, hanya Tuhalah yang mampu membawa perubahan dan pembaharuan dalam masyarakatnya itu.

Pendeta Biniluk menyampaikan pesan Nehemia yang dapat dijermahkan, Papua saat ini butuh pemimpin di tengah krisis kepemimpinan di Tanah Papua. Masyarakat di Papua butuh pemimpin radikal yang dapat menterjemahkan keradikalan itu dalam spirit seorang tokoh Nehemia, jangan MRP dibiarkan sendiri, ajak MRP duduk bersama sama untuk bicara masa depan Papua ditengah krisis kepemimpinan di Papua saat ini. Bukti nyata tentang adanya krisis kepemimpinan di Papua dapat dilihat dari belum adanya kepala Daerah, Gubernur yang dipilih dan pelaksanaan Pilgub terulur ulur terus. Hal ini jelas menunjukan adanya krisis kepemimpinan, Papua butuh pemimpin baru yang leandhership.

Namun menjadi pemimpin bukan menggunakan radikalisme semu, melainkan radikalisme pemimpin yang dengan cara keradikalannya itu membawa perubahan di tengah masyarakat Papua. Demikian pesan kenabian singkat yang disampaikan Pendeta Lipius Biniluk dalam ibadah resepsi Hut MRP ke 7. ( nls/Ven/don/LO1)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny