DPRP Dukung Kampus di Papua Bukan Sarang Teroris

Yohanes Sumarto
Yohanes Sumarto
JAYAPURA—Koalisi Mahasiswa dan Pemuda Papua Peduli Rakyat (KMP3R) selaku wadah mahasiswa Papua telah mengambil sikap tepat dan benar dalam menghadapi situasi keamanan di Papua, Kampus di Papua adalah tempat mengasa ketrampilan dan intelektual, bukan sarang teroris sebagai dituduhkan ketika menyampaikan keterangan pers di Jayapura, Selasa (23/10).

Demikian disampaikan Anggota Komisi A DPRP dr. Yohanes Sumarto, Rabu (24/10). Dia mengatakan, pihaknya mengingat pada saat yang lalu Uncen sebagai satu-satunya Universitas di Papua adalah tempat perjuangan untuk mengangkat derajat SDM di Papua menjadi manusia intelek, bermartabat dan bermoral serta mempunyai wawasan nasional serta integritas yang tinggi.

Namun demikian, kata dia, adanya oknum-oknum mahasiswa yang tak bertanggungjawab perlu dilakukan dialog internal mahasiswa dan pemerintah difasilitasi pemerintah. Dengan demikian pepatah yang mengatakan karena nila setitik rusak susu sebelanga tak ada alasan untuk menggeneralisasi mahasiswa Papua dengan stigma makar, separatis dan teroris.

“Mahasiswa perlu saling menyarankan kepada teman-temannya untuk berpartisipasi pada pembangunan dan pendidikan dan lain-lain” tandasnya.
Sedang untuk masalah keamanan lanjut politisi Partai Gerindra ini, KMP3R perlu menghadap Kapolda untuk mohon petunjuk agar kampus dapat bersih dari faktor-faktor yang mengganggu ketertiban dan keamanan. (mdc/don/LO1)

Kamis, 25 Oktober 2012 08:01, BP.com

Dialog Minta Merdeka itu, Imposible

Prof.DR.Dirk Veplum,MS
Prof.DR.Dirk Veplum,MS

JAYAPURA – Persoalan Papua yang kian berlarut-larut, terus memunculkan persoalan baru. Ada-ada saja aspirasi yang berkembang belakangan ini. Milsalnya saja ada pihak yang meminta jangan lagi dilaksanakan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Papua (Pilgub) dengan alasan Papua sudah merdeka dan berdaulat, serta adanya pembentukan kerajaan baru di tanah Papua yang ditandai dikukuhkannya Alex Mebri selaku raja di Tanah Papua Tehadap sejumlah masalah ini, mendapat tanggapan serius dari Dekan FISIP Uncen Jayapura yang juga Pengamat Politik di Papua, Prof.DR.Dirk Veplum,MS.

Untuk menyikapi hal itu, sebaiknya Pemerintah Pusat membukan ruang dialog untuk memecahkan akar permasalahan yang sudah mengakar selama ini di tanah Papua, demi mencari solusi yang terbaik dalam menyelesaikannya.

“Kalau ada masalah kan harus ada dialog untuk menyelesaikannya,” tandasnya kepada wartawan di ruang kerjanya, Senin, (15/10).
Menurutnya, jika dialog dilaksanakan dalam rangka mencari solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di tanah Papua, masalah ketidakadilan itu pasti pemerintah pusat mau melaksanakannya, tapi jika dialog untuk meminta referendum atau Merdeka itu imposible (tidaklah mungkin). Ditandaskan demikian, sebab sebagaimana sebelumnya telah dinyatakan bahwa Negara Republik Indonesia (NKRI) meliputi Sabang sampai Merauke. Sehingga itu merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar oleh siapapun.

“Dialog untuk meminta kemerdekaan, itu tidaklah mungkin, karena itu bukan menyelesaikan masalah, tapi malah menambah persoalan baru. Kalau dialog ini kan menjadi bagian yang memecahkan soal artinya semua orang Papua menjadi bagian dari pemecahan persoalan dan itu yang terbaik untuk Papua didalam NKRI,” tukasnya.(nls/don/l03)

Selasa, 16 Oktober 2012 06:29, BintangPapua.com

Uskup Jayapura Uskup Leo Laba Ladjar Sampaikan Klarifikasi

Catatan PMNEWS:

Kemunafikan gereja telah merajalela di muka bumi sejak lama, berjalan tanpa disentuh kemanusiaan karena kedok gereja sebagai wakil Allah, padahal manusia di dalam gereja itu tidak sepenuhnya dan tidak selamanya mewakili Allah. Tanpa diluruskan semua sudah tahu, apalagi setelah diluruskan

Minggu, 26 Agustus 2012 16:47

Jayapura – Pemberitaan Bintang Papua edisi 23 Agustus 2012, sebagai berita utama di halaman depan dengan: “Perlu Ada Perundingan RI-PNG, dan Sub judul: Uskup: Untuk Bisa Menangkap Lambert Pekikir, mendapat klarifikasi dari Uskup Leo Laba Ladjar, OFM.

Melalui suratnya tanggapannya tertanggal 25 Agustus yang ditujukan ke redaksi Bintang Papua, Uskup Leo Laba Ladjar mengklarifikasi, baik isi berita maupun waktu pemuatan berita tersebut.

Menurutnya, isi berita tersebut yang mengatakan bahwa, Uskup Leo Laba Ladjar, OFM, mendesak Polisi untuk segera menangkap Lambert Pekikir, karena diduga mengganggu ketertiban dan keamanan khususnya di Kabupaten Keerom dan diduga menembak mati Kepala Kampung Sawyatami, adalah tidak benar diungkapkan Uskup Jayapura.

Begitu juga dalam berita itu ditulis bahwa desakan Uskup ini disampaikan ketika acara tatap muka bersama Wakapolda Papua Brigjen Pol Drs Paulus Waterpauw di Aula Gereja Katedral, Jayapura. Kapan? Hanya ditulis “belum lama ini”.

Berikut tanggapan sekaligus penjelasan Uskup Jayapura secara lengkap: · Memang ada pertemuan, dan itu terjadi pada tgl 19 Juli 2012. Jarak waktu dengan pemuatan beritanya di Koran Anda lebih dari sebulan, maka bukan “belum lama ini”.

· Pertemuan di atas inisiatif Bpk Wakapolda. Yang hadir bersama Wakapolda adalah beberapa Kepala Bagian Polda dan juga Kapolres Jayapura Kota. Dari pihak kami hadir Uskup dan semua pastor paroki di Kota Jayapura serta Sentani. Bpk Wakapolda menyampaikan bahwa ia memang ingin bertemu dengan pastor pastor Katolik, karena sampai sekarang yang sering bertemu dia hanya “hamba-hamba Tuhan” (dari Gereja-gereja Protestan).

· Bpk Wakapolda memberikan informasi mengenai situasi keamanan belakangan ini. Lalu ada tanggapan dan pernyataan dari hadirin, antara lain menyangkut OTK, siapa itu sebenarnya. Diharapkan Polisi cepat mengungkapkan agar masyarakat tak tambah resah dan saling curiga. Juga diusulkan dibentuk Tim Independen untuk menyelidiki kasus tertentu seperti terbunuhnya Mako Tabuni, karena versi Polisi tidak sama dengan versi orang yang menjadi saksi.

· Percakapan di sekitar pokok itu: keresahan masyarakat karena kekerasan yang meningkat, dan tidak jelas siapa pelaku dan apa motivasinya. Diharapkan ada kerjasama dari seluruh masyarakat dan pastor-pastor dalam menjaga keamanan kita bersama. Saya sebagai tuan rumah memberikan kata penutup pendek yang intinya bahwa kami, sebagai pemimpin Gereja bertugas membina umat untuk berprilaku baik, sesuai dengan ajaran agama, agar segala tindakan kekerasan dan kejahatan dijauhkan dari masyarakat. Sama sekali tak ada pembicaraan khusus mengenaiu Lambert Pekikir, apalagi desakan kepada Polisi untuk segera menangkapnya.

Diakui, akibat dari pemberitaan Anda ini a.l.: Saya dihujani berbagai pertanyaan dan ungkapan kekecewaan. Lebih dari itu timbul keresahan dalam kelompok kelompok tertentu dan hubungan Uskup dengan umatnya menjadi terganggu.

Untuk itu, terkait dengan pemberitaan tersebut, maka pihak Bintang Papua menyatakan mencabut berita berjudul “Perlu Ada Perundingan RI-PNG…”yang dimuat dalam Bintang Papua 23 Agustus 2012.(don/don/l03)

Peu Ada Perundingan RI-PNG

Rabu, 22 Agustus 2012 17:18, http://bintangpapua.com

JAYAPURA—Polisi didesak segera menangkap Koordinator TPN/OPM Lambert Pekikir yang bermarkas di Camp Victory, wilayah perbatasan RI-Papua New Guinea (PNG). Pasalnya, kelompok Lambert selama ini diduga mengganggu ketertiban dan keamanan khususnya di Kabupaten Keerom. Bahkan diduga menembak mati Kepala Kampung Sawiyatami Yohanes Yanupron di Sawiyatami, Distrik Wembi, Kabupaten Keerom pada saat HUT TPN/OPM 1 Juli 2012 silam.

Desakan ini disampaikan Uskup Jayapura Mgr.Leo Laba Ladjar, OFM ketika acara tatap muka bersama Wakapolda Papua Brigjen Pol Drs Paulus Waterpauw di Aula Gereja Katedral, Jayapura, belum lama ini.

Ironisnya, Uskup Laba Ladjar mengutarakan, pasca tertembaknya Kepala Kampung tersebut, mereka melarikan diri ke Camp Victory untuk mempersiapkan amunisi baru lagi. Hal ini membuat Polisi kesulitan menangkap kelompok mereka.

Karena itu, kata dia, perlu adanya suatu perundingan antara pemerintah RI-PNG menyerahkan Lambert Pekikir agar yang bersangkutan segera mempertanggungjawabkan perbuatannya sekaligus diproses hukum di Indonesia. Alasannya, lanjut Uskup pabila Lambert Pekikir tak segera ditangkap, maka umat tak berdaya dan dikwatirkan seluruh umat yang berdiam di Keerom sejak tahun 1970-an hingga kini terus menerus memedam kecemasan dan traumatis tinggi.

Dijelaskan, sebelum peringatan HUT TPN/OPM 1 Juli 2012 silam, kelompok Lambert Pekikir masuk keluar Kampung dan membagi-bagikan bendera Bintang Kejora, simbol perlawanan bangsa Papua Barat untuk memisahkan diri dari pemerintah RI. Tak hanya itu, yang bersangkutan memaksa masyarakat setempat mengibarkan Bintang Kejora selama tiga hari berturut turut.

Senada dengan itu, Wakapolda Papua Brigjen Pol Drs Paulus Waterpauw menandaskan, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat membutuhkan persamaan pandangan dari pelbagai pihak, termasuk stakeholders terutama para tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat dan lain lain yang memiliki umat ini.

Karenanya, tukas dia, bila terjadi masalah di masyarakat, maka para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat berkenan menyampaikan kepada umat atau masyarakat.

“Hal ini secara otomatis terbangun sebuah komunikasi atas bawah, kanan kiri dan sebagainya didalam masyarakat,” tandasnya.

Sedangkan Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Letkol (Inf) Jansen Simanjuntak yang dihubungi terpisah menegaskan, pihaknya mengalami kendala ketika hendak menangkap Lambert Pekikir dan kelompoknya. Sebab, yang bersangkutan bersembunyi di hutan belantara di Bawen atau Selatan Wutung yang merupakan wilayah PNG.

“Kami tak ingin serta merta mengejar Lambert Pekikir sampai ke Bawen,” tukas dia. Namun, siapanpun Warga Negara Indonesia, termasuk kelompok separatis yang melakukan teror otomatis harus diberantas sembari menghormati HAM.

“Bukan berarti kita takut, tapi HAM sebagai pedoman untuk melakukan tindakan tegas di lapangan,” ujarnya. (mdc/don/l03)

Diaz Gwijangge: “DPR Pelaku Pelanggaran HAM di Papua”

TabloidJubi, Created on 15 August 2012 Written by Musa Abubar Category: Jayapura

Jayapura (14/8)—Diaz Gwijangge dari kaukus Papua Dewan Perwakilan Rakyat Repulik Indonesia mengaku, Dewan Perwakilan Rakyat baik RI maupun Papua juga merupakan pelaku pelanggaran HAM di Papua dimasa lalu dan masa kini. Mereka terlibat secara langsung maupun tidak langsung.

Hal ini dikemukakan Gwijangge saat menyampaikan apresiasinya kepada Elsham Papua dan International Center for Transition Justice (ICTJ) yang meluncurkan laporan bertajuk ‘Masa Lalu yang Tak Berlalu di Aula kantor Majelis Rakyat Papua, Selasa (14/8). “Dewan penyambung lidah rakyat juga pelaku pelanggaran HAM di Papua. Kebanyakan mereka melakukannya secara tidak langsung,” ungkapnya.

Kata dia, pelanggaran HAM secara tidak langsung yang dilakukan adalah tak mengupayakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan komisi Ham Adhoc yang mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM di wilayah paling timur ini. Padahal, kedua lembaga ini sudah diamanatkan dalam undang-undang otonomi khusus Papua tahun 2001. “Kedua lembaga yang dimuat dalam UU Otsus ini tak diperjuangkan. Secara tidak langsung, penyambung lidah rakyat di Papua dan Jakarta sudah melakukan pelanggaran HAM,” ujarnya.

Salah satu anggota DPR RI ini mengatakan, selanjutnya, membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM baik di masa lalu dan masa kini di Papua, tenggelam dimakan waktu. “Kebanyakan kasus-kasus pelanggaran HAM dibiarkan. Negara dan Dewan kelihatan tidak mau ambil pusing,” ujarnya lagi.

Gwijangge menilai, laporan tersebut ditulis oleh orang-orang yang mengalami kasus-kasus pelanggaran HAM. Tulisan yang tertera dalam laporan itu adalah kebenaran. Dengan demikian, bagi siapa saja, dapat mengambilnya untuk memepelajarinya dan menggunakannya untuk mengadvokasi dirinya. Dia mengatakan, cerita-ceita yang ditoreh dalam laporan itu adalah segudang pelanggaran biadap yang pernah dibuat negara terhadap rakyat Papua. “Bagi saya, tulisan-tulisan ini tidak sembarang ditulis oleh teman-teman. Merekamengalami dan merasakan pelanggaran HAM dari negara,” tuturnya.

Terkait KKR dan komisi HAM Adhoc juga dikiritisi oleh wakil ketua I Majelis Rakyat Papua, Hofni Simbiak. Menurutnya, kedua lembaga itu harusnya dibentuk. Namun, sampai saat ini tak terealisasi. “Ini satu kegagalan dari UU Otsus,” ungkapnya. Seharusnya, komisi HAM Adhoc dibentuk di Papua untuk memproses dan menyidangkan sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Demikian juga dengan KKR. Komisi ini juga perlu ada untuk mengadvokasi dan melanjutkan kasus-kasus pelanggaran HAM untuk disidangkan. (Jubi/Abubar)

Integrasi Papua ke NKRI Perlu Ditulis Kembali

Selasa, 14 Agustus 2012 22:25, http://bintangpapua.com

JAYAPURA—Integrasi  Papua  ke dalam pangkuan  Negara Kesatuan Republik  Indonesia (NKRI)  perlu  ditulis  kembali.

Hal  ini  dimaksudkan  agar  tidak menimbulkan  sejumlah  interpretasi,  baik di kalangan  masyarakat  Papua maupun masyarakat  internasional.   Pasalnya,  ketidakpahaman sejarah integrasi  Papua ke pangkuan NKRI  menyebabkan  makin berlarut -larutnya  penyelesaian masalah  Papua,  serta mempengaruhi   pelaksanaan  pemerintahan, khususnya di Papua.

Demikian  disampaikan Anggota  DPD  RI   Dapil  Papua  Drs  Paulus  Sumino di  Jayapura,  Selasa  (14/8).

Dikatakan,  penulisan  kembali  integrasi Papua kedalam NKRI sebaiknya  didahului  agenda  dialog  apapun  namanya dialog, rekonsiliasi  serta  komunikasi konstruktif  antara pemerintah  dengan masyarakat Papua .

Namun  demikian, agenda  dialog  antara pemerintah  dengan masyarakat Papua, tandas dia, perlu  melibatkan  sembilan kelompok,  termasuk  TPN yang  masih  berjuang  di hutan  belantara Papua  dan  diplomat  OPM  di  luar negeri yang aktif  melakukan diplomasi   untuk Papua  merdeka.  “Apabila  kedua  kelompok ini  tidak  dilibatkan  tetap menjadi masalah  yang  tidak  pernah  tuntas,” ujarnya.

Namun, kata dia,  khusus  untuk diplomat  OPM  yang  berada di luar negeri diharapkan agar  mereka  berlaku  jujur  sudah sejauhmana  hasil  selama 40 tahun melakukan diplomasi     dalam rangka perjuangan Papua Merdeka.  “Hasilnya itu dilaporkan kepada masyarakat  Papua  perlu   dibawa ke PBB atau   tidak perlu,” tutur dia seraya menambahkan,  apabila   tidak perlu  sebaiknya berhenti.”

Bupati Yahukimo: Pemekaran Yalimek Atas Rekomendasi Siapa?

JAYAPURA – Munculnya isu tentang rencana pemekaran daerah otonom baru dari Kabupaten Yahukimo yaitu rencana pembentukan Kabupaten Yalimek sangat disayangkan oleh Bupati Yahukimo Dr. Ones Pahabol,SE,MM.

“Secara prosedur administrasi dan prosedur hukum, saya sebagai bupati sama sekali tidak tahu dengan rencana pemekaran Yalimek itu. Dari saya menjabat bupati periode pertama tahun 2005-2010 dan periode kedua 2010-2016, saya belum pernah memberikan rekomendasi untuk pemekaran Yalimek ini,” tegas Bupati Yahukimo Dr. Ones Pahabol,SE,MM kepada Cenderawasih Pos, Selasa (17/7) kemarin.

Bupati merasa heran, mengapa muncul isu bahwa pemekaran Yalimek itu dalam waktu dekat akan disetujui oleh DPR RI dan Depdagri, sedangkan secara prosedur administrasi saja tidak lengkap, karena pihaknya selaku bupati tidak pernah mengeluarkan rekomendasi untuk pemekaran Yalimek itu.

“Pemekaran Yalimek itu atas rekomendasi siapa? Kalau tidak ada rekomendasi dari saya selaku bupati, maka sangat tidak mungkin DPR RI maupun Depdagri akan menyetujui pemekaran itu, sebab tidak sesuai dengan prosedur administrasi maupun prosedur hukum yang berlaku di negara ini,”

tandas bupati.

Bupati menjelaskan, rencana pemekaran Kabupaten Yalimek dari Kabupaten Yahukimo ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) 78 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.

“Dalam PP 78 Tahun 2007 itu disebutkan bahwa untuk membentuk daerah otonom baru (pemekaran) harus ada rekomendasi bupati, DPRP, gubernur dan tahapan itu semua harus diketahui bupati. Harus ada pula kajian ilmiahnya, kemudian ada hak inisiatif dari DPRD untuk mengajukan itu dan ada pula presentasi di Komisi II DPR RI. Kalau semua syarat sudah terpenuhi, DPR RI maupun Depdagri juga akan memanggil bupati. Tapi hingga saat ini, saya sebagai Bupati Yahukimo tidak pernah membuat surat rekomendasi itu dan tidak mengetahui tahapan-tahapan yang dilakukan untuk upaya pemekaran Yalimek itu,”

terangnya.

Pihaknya menjelaskan, pemekaran daerah otonom baru dari Kabupaten Yahukimo yang sudah diusulkan secara resmi ke Pemerintah Pusat ada lima calon kabupaten pemekaran.

“Ada lima calon kabupaten yang sudah saya usulkan secara resmi dan sesuai prosedur, yaitu calon kabupaten Yahukimo Timur dengan ibu kota di Seredala yang terdiri dari suku Kemial dan Unaukam, kemudian Kabupaten Yahukimo Utara dengan ibu kota di Anggruk yang meliputi suku Yali dan Anggruk, selanjutnya Kabupaten Yahukimo Barat Daya dengan ibu kota di Suru-suru yang meliputi suku Ngalik dan Momuna, berikutnya Kabupaten Pegunungan Seir dengan ibu kota di Kurima yang meliputi suku Upla, dan calon Kabupaten Mamberamo Hulu dengan ibu kota di Emdomen yang meliputi suku Mek,”

paparnya.

Bupati Ones Pahabol menegaskan, usulan pemekaran 5 kabupaten dari Kabupaten Yahukimo ini sudah sesuai dengan peta luasan wilayah dan suku-suku yang ada di Kabupaten Yahukimo. “Usulan ini telah disetujui di DPD RI, kemudian kami juga sudah dua kali presentasi di Komisi II DPR RI dan sudah memenuhi syarat yang diatur dalam PP 78 tahun 2007 itu. Yang belum hanya risalah DPRP saja. Kami hanya tunggu itu. Sudah ada cheklist di tangan kami dan kami hanya tinggal tunggu untuk persetujuan atau pengesahan oleh DPR RI,” tandas bupati.

Pihaknya menegaskan, selain upaya pemekaran yang telah diperjuangkannya itu, adalah suatu pembohongan saja. “Isu pemekaran Yalimek itu diusulkan oleh lembaga yang tidak resmi, maka ini hanya suatu pembohongan. Mereka ini hanya cari popularitas saja untuk mencari peluang politik kepada masyarakat. Untuk itu saya sebagai penanggungjawab pemerintahan di Kabupaten Yahukimo menegaskan bahwa upaya untuk pemekaran Yalimek itu jelas tumpang tindih dengan wilayah yang sudah kita ajukan ke pusat,” tegasnya lagi.

Bupati juga menyayangkan dengan upaya yang dilakukan oleh tim pemekaran Yalimek itu, karena pihaknya mendengar bahwa tim ini meminta sumbangan dari masyarakat, dari para pejabat, dan lainnya untuk upaya pemekaran itu. “Stop meminta sumbangan dengan alasan untuk pemekaran. Itu hanya untuk kepentingan pribadi, sebab kalau persyaratan administrasi itu tidak lengkap, mana mungkin pengajuan pemekaran itu akan disetujui,” ujarnya.

Ones Pahabol mengajak kepada orang-orang yang mengatasnamakan tim pemekaran Yalimek ini untuk berhenti melakukan aksinya. “Kita tinggal menunggu dan berdoa supaya moratorium pemekaran oleh presiden itu segera dihentikan, sehingga pemekaran lima kabupaten di Yahukimo ini bisa segera terwujud,” harapnya.

Dikatakannya, kalau nanti pemekaran lima kabupaten itu disetujui, maka pihaknya selaku Bupati Yahukimo akan membagikan 4 hal, yaitu pembagian luasan wilayah, pembagian personel (SDM), pembagian dana hibah dan pembangunan di titik-titik pemekaran itu. “Kalau pemekaran sudah disetujui, nanti saya akan bagi empat hal itu dan akan saya serahkan ke masyarakat. Jadi bukan masyarakat yang disuruh kumpul-kumpul uang untuk upaya pemekaran itu,” ucapnya.

Bupati Ones Pahabol kembali mengajak untuk sama-sama menunggu dengan satu hati sampai ada persetujuan dari pemerintah pusat, sehingga masyarakat di Yahukimo nantinya akan merasakan kebahagiaan dengan lahirnya pemekaran daerah otonom baru dan masyarakat bisa membangun daerahnya sendiri.

Bupati sempat berprasangka buruk, seandainya orang-orang yang mengatasnamakan tim pemekaran Yalimek itu sampai memalsukan tandatangannya selaku Bupati Yahukimo untuk sebuah surat rekomendasi pemekaran, maka pihaknya tidak akan segan-segan membawa oknum-oknum itu ke proses hukum.

“Seandainya DPR RI akhirnya juga menyetujui pemekaran Yalimek itu, maka saya juga akan tuntut mereka, karena saya selaku Bupati Yahukimo tidak pernah memberikan tanda tangan untuk rekomendasi itu. Itu kan namanya tidak sesuai prosedur hukum, dan seandainya itu terjadi, maka itu adalah hal yang sangat aneh,” pungkasnya. (fud)

Rabu, 18 Juli 2012 , 17:50:00, Cepos.com

Papua Butuh Pemimpin yang Lebih dari Gubernur

Thaha Al Hamid
Thaha Al Hamid
JAYAPURA—Ada pernyataan menarik dilontarkan Sekjen Presidium Dewan Papua (PDP) Thaha Al Hamid soal kepemimpinan di Papua. Menurutya, Papua ini sebenarnya tak memerlukan seorang Gubernur, melainkan seorang pemimpin yang bisa keluar dari sekedar ruang ruang kewenangan Gubernur. “Saya tidak bilang Papua memerlukan seorang Presiden. Tapi anda membayangkan apa yang bisa dilakukan oleh seorang Gubernur kalau dia tetap ada di dalam ruanganya, tetap dengan ketidakmampuan mengembangkan komunikasi politik,”katanya diplomatis. Hal itu disampaikan Thaha Al Hamid usai acara diskusi buku Paradoks Papua di Aula STFT Fajar Timur, Padang Bulan, Sabtu (5/5) pekan kemarin.

Lanjutnya, “Jadi saya pikir kalau memang terlalu mahal kita bikin Pilgub coba kita pikir untuk kontrak Arnold Swazenger. Misalnya dia sudah selesai dari California. Kita kontrak saja dia. Pakai pola itulah Persipura pakai pelatih kontrak, bagus koq,”katanya.
Dikatakan, siapa bisa jamin Gubernur yang dipilih oleh rakyat ini tidak bermasalah. Bupati dipilih oleh rakyat, Gubernur dipilih oleh rakyat. DPRP dipilih oleh rakyat. DPRD dipilih oleh rakyat. Semua punya sumber legitimasi sama siapa mau dengar siapa.

Ini yang terjadi komunikasi politik tak jalan. Yang terjadi adalah jalan sendiri sendiri . Dimasa lalu Bas Suebu jalan sendiri, MRP jalan sendiri, DPRP jalan sendiri. Papua kacau. Rakyat juga jalan sendiri. “Saya kira terlepas dari sekedar sebuah proses formal Pilgub semua stake owner di Papua gereja, birokrasi, rakyat sipil, kekuatan kekuatan civil society, intelektual harus duduk bersama dan melihat apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan kita.

Apakah ini bisa selesai hanya dengan Pilgub. “ Saya khawatir Pilgub justru akan melahirkan konflik. Pilgub ini uang besar, mahal (hight cost). Terus dapat uang dari mana. Kalau dapat uang dari pengusaha, ya tapi itu kan sistim yang menjustifikasi ketika engkau menjadi pejabat engkau boleh korupsi. Yang terjadi kan begitu to. Jadi jangan terlalu berharap banyak. Tambahnya, wartawan juga punya tanggungjawab untuk kasi tahu rakyat jangan terlalu berharap kepada elit e elite politik lebih baik tekuni pekerjaan masing masing. (mdc/don/l03)

Otsus Gagal, Bikin ‘Papua Marah’

JAYAPURA—Terjadinya berbagai konflik dan kekerasan yang belakangan ini di Papua, dianggap sebagai akibat dari gagalnya pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Otsus Papua dinilai gagal lantaran sejak diberlakukan selama 10 tahun lebih, ternyata pemerintah pusat tak menyertakan Peraturan Pemerintah (PP). Pasalnya, Peraturan Pemerintah adalah acuan untuk menyusun Perdasi dan Perdasus. Tanpa ada Peraturan Pemerintah tak mungkin dibuat Perdasus dan Perdasi. “Ini bukan kesalahan daerah saja. Tapi itu juga kesalahan pemerintah pusat yang sengaja mengulur ngulur—seakan akan melepas kepala, tapi pegang ekor,” tukas Ketua Tim Komisi VIII DPR RI Manuel Kaisiepo disela sela pembahasan masalah masalah sosial, agama, perlindungan perempuan dan penanggulangan bencana alam bersama Pemerintah Provinsi Papua serta stakeholder (pemangku kepentingan) di Aula Sasana Karya, Kantor Gubernur Provinsi Papua, Jayapura, Senin (31/10).

Namun demikian, dia mengatakan masih ada kesempatan bagi pemerintah daerah Papua untuk mengambil inisiatif duduk bersama antara tiga komponen ini masing masing Gubernur, MRP dan DPR Papua. “Saya kira mereka bisa mencari jalan keluar dari situ,” kata mantan wartawan Kompas ini.

Ditanya pembentukan Badan Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (BP4B), menurut dia, rakyat Papua boleh berharap tapi terlebih dahulu harus dilihat sebab pihaknya khawatir banyak badan yang dibentuk tapi belum tentu bisa bekerja.

Karena itu, kata dia, pihaknya menyarankan BP4B tetap jalan tapi dia harus koordinasi dengan pemerintah daerah. Pasalnya, amanat UU Otsus memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah bukan ada badan badan baru, termasuk BP4B.

Menurutnya, apabila kini dianggap institusi pelaksana di daerah masih kurang tatap harus ada supervisi bukan campur tangan dari pemerintah pusat.

“Kita lihat soal badan baru itu kita anggap sebagai niat dan komitmen baik dari Presiden. Tapi kita belum lihat hasil kerjanya. Kita tunggu,” ungkapnya.

Dia menandaskan, Tim DPR RI membentuk Tim Pemantau Pengawasan Otsus di Aceh dan Papua. Tapi pihaknya belum sampaikan hasil final karena saat ini sedang bekerja.
“Terus terang kami melihat di Aceh jauh lebih baik. Ketika UU Otsus lahir pemerintah daerah cepat merespons membuat peraturan daerah atau yang disebut KANON,” ungkapnya. Dia mengatakan, spirit dari KANON apabila di Papua adalah Perdasi dan Perdasus adalah keberpihakan yang nyata.

“Sangat kelihatan affirmatifnya itu. Kami berharap Papua juga seperti itu dengan adanya UU Otsus ini lahir beberapa Perdasi dan Perdasus memperlihatkan semangat keberpihakan itu,” cetusnya.

Menurut dia, semua gejolak, kekerasan dan konflik yang terjadi khususnya di Papua (baca; Bikin Papua Marah) pada dasarnya adalah ekspresi ketidakpuasan dan kekecewaan rakyat akibat tak terlaksananya UU Otsus secara konsekwen dan konsisten. Padahal ketika sebelumnya UU Otsus dirancang dan ketika jadi isinya sangat baik. Semua pihak berharap ia mampu memberi dampak yang signifikan jika dilihat dari tingkat kesejahteraan.

UU Otsus itu, lanjutnya, semacam konsensus politik yang akan mengakhiri konflik konflik yang terjadi pada masa lampau sekaligus ia akan memberikan keberpihakan yang nyata untuk peningkatan kesejahteraan secara sosial ekonomi, harkat dan martabat bagi rakyat Papua. “Itu intisari dari UU Otsus itu,” tutur dia.

Tapi setelah 10 tahun lebih berjalan dan kita lihat dengan pengucuran anggaran yang begitu besar dia belum memberi dampak yang signifikan jika dilihat dari tingkat kesejahteraan. Bahkan kini angka kemiskinan paling tinggi di Papua ini mencapai 34 persen. “Jadi ada yang salah bukan di UU-nya itu. UU Otsus baik dan bagus tapi implementasi berarti ada miss manajemen,” tuturnya.

Karena itu, kata dia, kedepan diharapkan ada perbaikan karena UU Otsus telah memberikan kewenangan dan anggaran yang besar seharusnya itu sesuatu yang bisa mendorong percepatan peningkatan kesejahteraan, percepatan pembangunan di pelbagai sektor bukan saja secara sosial ekonomi tapi harkat dan martabat. Harkat dan martabat akan muncul sendiri sendirinya ketika orang punya pendidikan, ekonomi, dan kesehatan yang baik,” ucapnya.

“Saya kira sekarang Presiden juga sudah menyadari ada upaya untuk melakukan evaluasi bukan di UU, tapi tingkat diimplementasi,” sebutnya. (mdc/don/l03)

Ramses Ohee : Negara Federasi Hanya Khayalan

BIAK – Hasil Kongres Rakyat Papua III yang ‘mendeklarasikan’ negara Feredasi Papua Barat mengundang beragam pandangan. Jika sebelumnya seorang Anggota DPR Papua Tonny Infandi menilai negara Federasi Papua Barat bentukan Kongres 3 harus dipandang sebagai bentuk aspirasi rakyat Papua, namun lain halnya dengan Ketua Umum Barisan Merah Putih Papua Ramses Ohee. Ramses lebih tegas mengatakan negara Federasi Papua Barat hanyalah sebuah khayalan yang tidak akan pernah terwujud. Dikatakan hasil Kongres Rakyat Papua (KRP) III dinilai telah mengatasnamakan rakyat Papua atau menyalahgunakan kesucian adat rakyat Papua. Sebab hasil kongres yang telah mendeklarasikan terbentuknya Negara Federasi Papua Barat jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bahkan pembentukan Negara tersebut dinilai sebagai bentuk khayalan sekelompok elite yang berada di Dewan Adat Papua (DAP). “Negara Federasi Papua Barat sebagai KRP III hanya mainan sekelompok elite Dewan Adat Papua. Dan itu jelas khayalan. Serta tidak disetujui mayoritas masyarakat adat Papua dan Papua Barat,” kata Ketua Umum Barisan Merah Putih Papua, Ramses Ohee via telepon yang saat ini berada di Jakarta kepada Bintang Papua, Jumat (21/10).

Kata Ohee, Dewan Adat telah dipermainkan dan disalahgunakan oleh kepentingan politik. Pejuang Papua Indonesia ini juga menolak tegas keputusan KRP III yang mendeklarasikan Negara Federasi Papua Barat. Pendirian Negara Papua Barat adalah khayalan dari sekelompok orang saja, dan tidak bisa mewakili seluruh rakyat di tanah Papua.

Katanya, pendirian suatu negara dengan Presiden, Perdana Menteri, dan struktur kabinetnya adalah jelas-jelas tindakan makar yang berlawanan dengan tujuan hukum NKRI. Menyelesaikan persoalan Papua harus dengan cara dan pola komunikasi yang sesuai dengan aturan hukum yang ada.

Ia menyadari masih ada persoalan kemiskinan, ketidakadilan, dan ketertinggalan masyarakat Papua saat ini. “Kami mengajak semua komponen masyarakat di Tanah Papua mencari format pembangunan yang tepat dalam menegakkan hak-hak dasar rakyat Papua,” katanya.

Ramses menghormati dan mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menata kembali pembangunan Papua di dalam kerangka otonomi khusus. “Kami juga mengharapkan aparatur pemerintah pusat dan di daerah menjalankan otonomi khusus yang konsisten dan menyeluruh,” ujarnya.

Ia menyerukan dukungan penuh bagi komitmen Presiden SBY untuk membangun Papua. “Kini, rakyat Papua menaruh harapan kepada Presiden SBY untuk mendorong perubahan yang lebih baik bagi Papua di dalam wilayah NKRI,” ucap Ramses. (pin/don/l03)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny