Seminar Transformasi Papua, Dinilai Alat Jitu Membunuh OAP

Baliho promosi Seminar Transformasi Papua (Jubi/Benny Mawel)

Jayapura, 2/1 (Jubi) – Rencana Pemerintah provinsi Papua menyelengarakan Seminar Transformasi Papua pada Juli tahun ini dengan menghadirkan Pastor Benny Hinn dari USA dinilai membawa agenda terselubung pemerintah. Diduga, seminar ini untuk membuat Orang Asli Papua tidak lagi menolak rencana busuk pemerintah Jakarta melalui pemerintah Papua.

“Rencana itu untuk meredakan gejolak hati orang Papua yang lagi tidak puas atas kinerja pemerintah,”

tutur Fr. Kris Dogopia Pr kepada tabloidjubi.com (2/1) di Abepura, Kota Jayapura. Seminar itu akan berisi siraman-siraman rohani yang membuat orang Papua terlena dengan kata-kata manis pengkotbah nanti.

“Gula-gula untuk menyenangkan rakyat agar menerima Otsus Plus sebagai berkat,”

tutur mantan ketua Senat Mahasiswa ST FT Fajar Timur ini.

Penilaian lebih keras datang dari Fr. Yulianus Pawika. Yulianus menilai seminar itu menjadi indikasi gereja-gereja tertentu di Papua menyetujui korban umat Tuhan yang tidak berdosa terus berjatuhan.

“Satu alat jitu untuk membunuh orang asli Papua dengan kampanye Yesus di Papua.”

“Kampanye itu menjadi legitimasi gereja kepada penguasa untuk membasmi OAP dan melemahkan perjuangan,”

tegas Yulianus. Karena itu, alumnus STFT Fajar Timur ini, mengajak orang Papua tidak terjebak dalam rencana otopia gereja-gereja yang tidak memberikan keselamatan itu.

“Umat harus tidak tergoda dengan agenda-agenda yang tidak jelas, yang ada di Papua.”

sarannya.

Agenda Kebangkitan Kebangunan Rohani (KKR) akbar model ini pernah dilakukan di Papua pada 1-16 November tahun 2001 yang dikenal dengan Festival Papua. Pembicara utamanya adalah Ev. Peter Youngren. Benny Giyai menyebut KKR ini sebaga agenda sebelum penculikan dan pembunuhan Theys Eluay, 10 November 2001.

Rencana itu, sebelumnya disampaikan, Bupati Puncak Jaya, Henock Ibo. Ibo menuturkan persekutuan gereja-gereja di Papua, sebanyak 42 denominasi gereja se-Papua telah sepakat dan didukung pemerintah Provinsi Papua bersama bupati se-tanah Papua untuk melaksanakan kegiatan itu.

“KKR ini diberi judul KKR Transformasi Papua, dikaitkan dengan visi misi pemerintah daerah yaitu Papua bangkit mandiri sejahtera,”

katanya ke wartawan di Horison Hotel, sebagaimana yang dilansir media ini, Sabtu (16/11) malam. (Jubi/Mawel)

Author :  on January 2, 2014 at 20:07:35 WP,TJ

Líderes papúes indignados exigen disculpas al Pulitzer Jared Diamond

El señor Diamond no menciona la brutalidad y la opresión sufrida por los pueblos de Papúa Occidental a manos de la ocupación indonesia.

Benny Wenda, un líder indígena papú, dice que lo que Jared Diamond escribe sobre su pueblo es engañoso. foto © freewestpapua.org / Survival
Benny Wenda, un líder indígena papú, dice que lo que Jared Diamond escribe sobre su pueblo es engañoso. foto © freewestpapua.org / Survival

Líderes indígenas de toda Papúa Occidental han pedido que el polémico autor Jared Diamond les pida disculpas por describirlos en su nuevo libro como proclives a la guerra y reforzar la idea de que los pueblos indígenas están “atrasados”.

Los líderes de Papúa Occidental atacan los argumentos centrales de Diamond de que “la mayoría de sociedades a pequeña escala [están] atrapadas (…) en ciclos de violencia y guerra” y que los habitantes de Nueva Guinea “apreciaron los beneficios de la paz garantizada por el estado, que habían sido incapaces de alcanzar por sí mismos y sin el Gobierno estatal”.

El señor Diamond no menciona la brutalidad y la opresión sufrida por los pueblos de Papúa Occidental a manos de la ocupación indonesia desde 1963, que ha causado la muerte de, al menos, 100.000 indígenas papúes a manos de los militares indonesios.

Benny Wenda, un líder indígena papú, dijo a Survival International: “Lo que él [Jared Diamond] ha escrito sobre mi pueblo es engañoso (…) No cuenta lo que los militares indonesios están haciendo (…) yo he visto cómo los soldados asesinaban a mi gente y violaban a mi tía ante mis ojos. Indonesia dijo al mundo que esto era una ‘guerra tribal’: pretendían hacer creer que nosotros éramos los violentos y no ellos. Este libro hace lo mismo. Él debería disculparse”.
Markus Haluk, un miembro principal del Consejo Tradicional de Papúa, añadió: “El total de víctimas danis por las atrocidades indonesias cometidas durante un período de 50 años es mucho mayor que aquellas resultantes de las guerras tribales de los pueblos danis durante cientos de miles de años”.

Matius Murib, director de la publicación de Papúa Baptist Voice, condenó la aseveración de Diamond de que los pueblos indígenas y tribales viven en “el mundo hasta ayer”. Dijo: “Este libro difunde prejuicios sobre los papúes (…) acerca de que los indígenas de Papúa aún viven como hace cientos de años. Esto no es cierto y refuerza la idea de que los pueblos indígenas son ‘atrasados’, ‘viven en el pasado’ o son ‘de la Edad de Piedra’”.
El reverendo Socratez Yoman, líder de la Iglesia Bautista de Papúa Occidental, también ha exigido una disculpa por parte del señor Diamond a los pueblos de Papúa.

Dominikus Surabut, actualmente encarcelado por traición al haber declarado pacíficamente la independencia de Papúa Occidental, describió la relación entre los indígenas de esta zona y el estado indonesio como un “apartheid” político. En una declaración filtrada desde su celda, dijo: “Este es el carácter paradigmático de una ocupación colonial de pueblos indígenas, en la que ellos son tratados como ciudadanos de segunda clase cuya opresión se justifica al dibujarlos como atrasados, arcaicos, tribus guerreras, tal y como sugiere Jared Diamond en su libro sobre pueblos indígenas”.
Survival International y TAPOL recibieron mensajes de indignación tras la crítica a la versión inglesa del libro a principios de año y durante la visita de Jared Diamond al Reino Unido se desató un intenso debate.

Bangsa Papua Korban Konspirasi Kepentingan

Oleh: Selpius Bobii

|| Penjara Abepura, 05 Juli 2013 ||

Selpius Bobi, salah tahanan politik Papua (Foto: Ist)
Selpius Bobi, salah tahanan politik Papua (Foto: Ist)

Papua Barat semakin terkenal di Manca Negara bahkan tercatat dalam dokumen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) karena adanya “Konspirasi Kepentingan” dari berbagai pihak. Konspirasi Kepentingan, baik skala Internasional, nasional dan lokal makin tumbuh subur di tanah Papua. Berbagai Konspirasi Kepentingan dari skala terbesar sampai terkecil dapat terjadi karena ada daya tarik khusus yang dimiliki di tanah Papua Barat.

Daya tarik itu terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu. Pertama, tanah air Papua Barat yang alamnya subur dan indah. Tanah Papua memiliki panaroma alam yang indah menawan. Memiliki dataran lembah dan bukit membentang hijau, deretan gunung menjulang tinggi nan hijau, pantai pasir dihiasi nyiur pantai melambai lambai dihempas angin, lautan biru membentang dan ombak memecah di bibir pantai.  Tanah Papua juga memiliki banyak marga satwa khusus, diantaranya burung Cenderawasih (bird paradise) serta burung mabruk (bird victoria).

Orang Papua terpesona dengan keindahan alam Papua. Banyak lagu diciptakan untuk melukiskan keindahan alam Papua. Seperti  syair lagu berikut ini: “Tanah Papua bagai Surga yang jatuh ke bumi”. Keindahan alam Papua Barat yang asri itu menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai orang dari luar Papua datang dan pergi serta menetap di tanah Papua.

Kedua, menyimpan sumber daya alam yang tiada bandingnya dengan pulau pulau dan benua-benua lain di dunia. Tanah Papua terkenal karena kekayaan alamnya, diantaranya adalah kandungan emas dan tembaga, serta minyak bumi. Bergunung-gunung emas dan tembaga tersimpan dalam ibu bumi Papua. Dan masih banyak sumber daya alam lainnya diam membisu dalam tanah air Papua Barat.

Sumber Daya Alam Papua Barat itu menjadi daya tarik bagi berbagai pihak dari luar Tanah Papua berdatangan dengan tujuan mengambil kekayaan alam dengan cara legal dan illegal.

Ketiga, dihuni oleh sekitar 273 suku yang memiliki kebudayaan yang khas dan unik. Suku suku bangsa Papua Barat tersebar dalam tujuh wilayah adat. Pembagian tujuh wilayah adat itu dibagi atas pertimbangan kesamaan karakteristik suku-suku pribumi Papua Barat. Pembagian itu dilakukan pada jaman kekuasaan pemerintahan Belanda, dengan tujuan jangka panjang yaitu pemetaan wilayah adminitrasi pemerintahan dan rencana pengembangan pembangunan, yang berorientasi sesuai dengan karakteristik suku suku di tujuh wilayah adat.

Tujuh wilayah adat memiliki kebudayaan yang amat khas dan unik. Di antara suku-suku, ada tradisi yang hampir serupa tetapi tak sama. Kekhasan budaya suku suku di Tanah Papua yang unik itu memberi ketertarikan bagi para pengunjung, baik lokal, nasional dan internasional.

Dari tiga kategori ketertarikan di Tanah Papua, daya tarik yang paling utama dan terutama adalah daya tarik kategori kedua yaitu “ketertarikan pada kekayaan alam Papua”. Tanah Papua dilirik oleh berbagai negara, khususnya Belanda, Amerika, Inggris, dan Jepang serta Indonesia.

Bangsa Papua Barat menjadi korban konspirasi kepentingan dari pangkuan ke pangkuan. Dari Pangkuan Belanda ke Pangkuan United Nation Temporary Executive Autority (UNTEA), dan dari Pangkuan UNTEA ke Pangkuan NKRI. Sejarah mencatat bahwa Papua Barat menjadi Zona Konspirasi berbagai Kepentingan.

Untuk menguasai tanah air dan merampas kekayaan alam Papua yang terkandung di dalamnya, timbul berbagai persaingan konspirasi kepentingan ekonomi dan politik semata. Perebutan Tanah Papua oleh pihak pihak asing dan Indonesia dengan rakyat bangsa Papua telah memakan korban materi, waktu, tenaga dan bahkan korban manusia yang tidak sedikit.

Tanah Papua terkenal di manca negara bukan saja karena PT Freeport di Timika menjadi dapur tambang tembaga dan emas urutan ketiga di dunia, tetapi juga Papua Barat terkenal di dunia karena menjadi Dapur Konflik. Sejak kedaulatan bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI (1 Mei 1963) sampai detik ini Papua Barat terus membara dengan berbagai konflik.

Konflik yang berkepanjangan ini terjadi akibat dari berbagai konspirasi kepetingan itu. Untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik, Negara Indonesia dan Amerika Serikat bersekongkol untuk merebut Tanah Papua Barat dari pangkuan Belanda ke pangkuan NKRI. Kepentingan Amerika Serikat berfokus pada penguasaan ekonomi dan keamanan kawasan. Sedangkan kepentingan Indonesia adalah berfokus pada kekuasaan politik (perluasan wilayah), artinya ketertarikan pada tanah air Papua Barat dan sumber daya alamnya (kepentingan ekonomi).

Kepentingan Amerika Serikat terpenuhi ketika tanda tangan MoU tentang Operasi Tambang Freeport di Timika antara RI dan AS pada tahun 1967. Dengan adanya tanda tangan perjanjian ini, maka langkah ini memuluskan klaim atas Papua Barat oleh RI melalui refrendum yang tidak bebas dan tidak sesuai dengan hukum Internasional (cacat secara moral dan hukum) yang digelar pada tahun 1969.

Tanda tangan MoU antara AS dan RI untuk pembukaan tambang Freeport di Timika – Papua Barat sudah terbukti bahwa motivasi awal Amerika Serikat membantu Negara Indonesia menganeksasi bangsa Papua ke dalam NKRI adalah kepentingan ekonomi.

Ada pula kepentingan lain yaitu mengamankan kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia dan Pasifik dari pengaruh Negara Komunis (Rusia). Intervensi Amerika Serikat atas sengketa antara Indonesia dan Belanda terjadi karena adanya upaya RI untuk memanfaatkan perang dingin antara Rusia dan Amerika Serikat. RI memulai kerja sama dengan Rusia, khususnya dalam bidang pertahanan keamanan dengan membeli peralatan perang dari Rusia untuk menghadapi Belanda merebut tanah Papua Barat.

Strategi politik RI memang berhasil. Amerika Serikat tidak mau membiarkan musuhnya (Rusia) menguasai kawasan Asia dan Pasifik. Amerika Serikat mengintervensi sengketa Papua Barat antara RI dan Belanda. Intervensi AS dilakukan dengan tujuan RI memutuskan hubungan kerja sama dengan Rusia karena AS ambil alih secara politik untuk menyelesaikan sengketa atas Papua Barat. Dengan jalan itu, AS mempertahankan kawasan Asia dan Pasifik terbebas dari pengaruh komunis (Rusia) dan dengan itu dapat menyelamatkan kepentingan ekonomi serta keamanan AS.

Strategi Politik yang digunakan AS adalah bersekongkol dengan RI. Kemudian AS menekan Ratu Belanda melalui misi utusan presiden J. F. Kennedy dan menunjuk mantan Duta Besar AS untuk PBB (Bunker) untuk mempersiapkan sebuah proposal sebagai Road Map (peta jalan) bagi penyelesaian sengketa antara Belanda dan RI soal Papua Barat. Dalam waktu yang bersamaan, Amerika Serikat juga mempengaruhi PBB untuk mengintervensi sengketa itu.

Belanda sebelumnya mengharapkan dukungan dari Australia, Inggris dan khusus Amerika Serikat untuk mempertahankan Papua di bawah kekuasaan Belanda, ternyata Amerika Serikat melakukan manufer politik yang tidak pernah dibayangkan oleh Belanda. Inggris dan Australia pun tidak ada reaksi.

Akhir dari babak sengketa antara RI dan Belanda itu, menggelar pertemuan yang dimediasi oleh PBB atas skenario Amerika Serikat. Dalam pertemuan itu, AS meloloskan proposal yang disiapkan oleh Bunker dan diterima sebagai Road Map bagi penyelesaian sengketa atas Papua Barat. Proposal itu ditingkatkan menjadi suatu perjanjian antara RI dan Belanda. Dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak (Belanda – RI) yang disaksikan oleh PBB, tanpa melibatkan wakil rakyat bangsa Papua. Kemudian peristiwa itu dikenal dengan sebutan New York Agreement 15 Agustus 1962. Dengan adanya perjanjian itu, maka Belanda tidak memiliki kekuasaan untuk mempertahankan Papua Barat dan dengan demikian tidak akan dapat menjawab janji Belanda untuk Papua berdaulat penuh.

Belanda menyerahkan kekuasaan adminitrasi pemerintahan kepada badan PBB (UNTEA) dan pada 01 Mei 1963, UNTEA menyerahkan kekuasaan adminitrasi pemerintahan Papua ke RI untuk mempersiapkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) bagi orang Papua untuk menentukan masa depan hidup dan bangsanya. Namun, Penentuan Pendapat Rakyat Papua dengan sistem satu orang satu suara (one man one voice) diubah oleh RI dengan sistem perwakilan. Untuk itu dibentuklah sebuah badan yang diberi nama Dewan Musyawarah PEPERA.

Hanya 1026 orang Papua yang dipilih RI untuk menentukan nasib bangsa Papua mewakili 800.000 lebih orang Papua. Sebelumnya, para wakil orang Papua dibawa ke Jawa. Di sana mereka tinggal di hotel hotel berbintang dan RI mempersiapkan Wanita Seks Komersial (WSK). Para wakil orang Papua itu terbuai dengan kenikmatan sesaat dan pada saat pulang, mereka diberi sejumlah uang dan peralatan, seperti radio.

Setelah kembali, mereka ditampung di kamp khusus untuk mendoktrin dan memaksa mereka untuk menyatakan Papua bergabung ke dalam NKRI. Pada puncaknya, di bawah pemaksaan teror dan intimidasi, para wakil orang Papua yang berjumlah 1026 diberi kesempatan untuk menyatakan pilihannya.

Dari 1026 orang Papua, satu orang tidak sempat hadir karena sakit, sementara satu orang di Fak Fak menyatakan menolak NKRI dan memilih Papua merdeka penuh. Pemerintah Indonesia kecolongan dengan kejadian itu, maka para pemilih selanjutnya diintimidasi dan didoktrin secara keras dan dengan pengawasan ketat oleh militer, 1024 orang Papua sisanya memilih menyatakan Papua menjadi bagian dari teritorial Indonesia.

Kemenangan NKRI dalam PEPERA itu bukan kemenangan atas penegakan supremasi hukum, demokrasi, keadilan, kebenaran, kejujuran, hak asasi manusia dan kedamaian; tetapi kemenangan atas kekerasan (cacat moral) dan sewenang-wenang/rekayasa (cacat hukum/illegal).

Kegagalan Indonesia dalam melaksanakan Perjanjian New York, dilaporkan oleh wakil khusus PBB, Ortisan dalam sidang umum PBB. Walaupun sekitar 15 Negara anggota PBB menolak dan keluar dari ruang sidang, namun hasil PEPERA itu, PBB mencatat bahwa perjanjian New York 15 Agustus 1962 telah selesai dilaksanakan.

Dalam proses aneksasi Papua ke dalam NKRI, terbukti bahwa Amerika Serikat memainkan peranan yang luar biasa. Tanpa adanya bantuan AS, RI pasti mengalami hambatan melawan Belanda yang memiki peralatan perang modern. Namun, kepentingan ekonomi dan keamanan di kawasan Asia – Pasifik diutamakan dan menjadi paling penting bagi Amerika Serikat. Dua kepentingan inilah yang ditegakkan dan diwujudkan, sedangkan nilai nilai luhur, seperti menegakkan supremasi hukum Internasional, demokrasi, Hak Asasi Manusia, keadilan, kebenaran, kejujuran dan kedamaian diabaikan dan dikalahkan untuk mencapai kepentingan AS dan RI.

Itulah yang disebut Konspirasi Kepentingan Internasional atas aneksasi Bangsa Papua ke dalam NKRI secara sepihak melalui invasi politik dan militer. Untuk mengamankan kedua kepentingan Amerika Serikat itu, maka hak asasi politik Bangsa Papua (kemerdekaan Papua Barat) dikorbankan dan secara sepihak bangsa Papua digadaikan kepada Negara Indonesia.

Setelah bangsa Papua Barat dipaksakan bergabung dengan NKRI, konspirasi kepentingan Internasional semakin kokoh di Tanah Papua. Konspirasi itu diwujudkan dalam kerja sama bilateral dan multi-lateral. Kerja sama dalam bidang pertambangan dan perdagangan menjadi benteng pertahanan Papua Barat dalam bingkai NKRI.

Misalnya, PT Freeport di Timika – Papua Barat adalah perusaan tambang emas dan tembaga terbesar urutan ke tiga di dunia. Pemilik PT Freeport adalah J. B Mofet, pengusaha terbesar di Amerika Serikat. Puluhan negara-negara telah menanam saham di perusahaan raksasa ini. PT Freeport di Timika memberi penghasilan terbesar bagi gedung putih di Amerika Serikat dan sisanya terbagi-bagi di negara-negara pemilik saham di PT Freeport Timika. Perusahaan tambang lainnya adalah tambang minyak di Bintuni dan di Sorong (LNG Tangguh). Dua tambang terbesar ini dikelolah oleh Inggris atas kerja sama RI. Ada pula negara-negara lain menanam saham di dua perusaan tambang minyak ini. Selain tambang tambang ini, masih banyak perusahaan berskala sedang dan kecil berinventasi di Papua Barat.

Papua Barat menjadi dapur dunia. Kerja sama Inventasi dibidang tambang, perdagangan serta energi menjadi posisi tawar Indonesia untuk mempertahankan Papua Barat dalam bingkai NKRI.

Kampanye dan lobi-lobi agar Papua Barat berdaulat penuh, terhalang karena negara-negara di dunia lebih memilih mementingkan kerja sama bilateral dan multi-lateral dalam berbagai bidang dengan Negara Indonesia. Khususnya untuk di Tanah Papua menjadi wilayah yang sangat menjanjikan bagi investasi  tambang Internasional. Maka dampaknya bangsa Papua terus menjadi korban konspirasi kepentingan internasional.

Selain itu, Bangsa Papua Barat menjadi korban konspirasi Nasional Indonesia. Tujuan menganeksasi bangsa Papua Barat ke dalam NKRI, hanya karena tertarik pada tanah air dan kekayaan alam Papua. Demi mengambil Emas, Mas (orang Papua) dimarginalisasi, didiskriminasi, diminoritasi, dibunuh secara langsung maupun tidak langsung dan akibatnya sedang menuju kepunahan etnis.

Penerapan Undang-undang (UU) nomor 12 tahun 1969 tentang Otonomi Luas dan Real , yang selanjutnya diubah dalam UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, dan kini sedang diubah ke dalam UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua adalah konspirasi kepentingan Nasional yang berdimensi multi nasional karena paket-paket politik Jakarta ini didukung oleh negara-negara di dunia. Bahkan ada pula negara di dunia yang menjadi donatur untuk mendukung paket paket politik Jakarta untuk diterapkan di tanah Papua Barat, walaupun bangsa Papua menolak semua paket politik ini.

Bangsa Papua Barat juga menjadi korban Konspirasi Kepentingan Lokal. Kategori konspirasi ini dibagi ke dalam dua yaitu dibuat oleh masyarakat migrant dan orang Papua tertentu. Masyarakat pendatang dari luar Papua yang bermukim di tanah Papua memainkan peran untuk bekerja sama dengan RI dan negara lain melalui berbagai bidang kehidupan. Selain itu, pusat-pusat kota dan perekonomian di Tanah Papua telah di kuasai oleh masyarakat migrant. Masyarakat setempat berjualan di pinggir jalan dan di dekat pinggir tokoh, serta di pinggir pasar yang dibangun Pemerintah.

Ada pula orang Asli Papua tertentu menjadi agent konspirasi kepentingan lokal yang berdimensi konspirasi kepentingan nasional dan internasional, hanya untuk memenuhi kenikmatan sesaat. Orang asli Papua tertentu yang menjadi agent konspirasi ini bermain di berbagai bidang kehidupan, antara lain ada yang menjadi perintis jalan untuk membuka investasi tambang, ada yang bertindak sebagai agent mata mata (BIN), mereka menyusup masuk dalam organisasi perlawanan (musuh dalam selimut), ada yang menyusup masuk dalam LSM dan PNS, ada yang masuk dalam tubuh Gereja, ada yang menyusup masuk dalam akademisi, ada pula yang mendirikan organisasi untuk mempertahankan Papua dalam bingkai NKRI (seperti Barisan Merah Putih).

Masih banyak peran konspirasi kepentingan berskala internasional, nasional dan lokal diterapkan secara rapi dan sistematis, yang bertujuan untuk mempertahankan penjajahan NKRI dan para sekutunya, guna memperpanjang penindasan terhadap rakyat bangsa Papua Barat.

Konspirasi kepentingan internasional, nasional dan lokal itu melahirkan berbagai konflik yang berkepanjangan yang tidak ada ujung pangkalnya. Aktor pertama yang melahirkan konflik berkepanjangan adalah Negara Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB, yang secara sepihak tanpa melibatkan orang asli Papua menganeksasi bangsa Papua ke dalam NKRI.

Akibat dari aneksasi kemerdekaan bangsa Papua ke dalam NKRI itu, telah melahirkan dua masalah turunan yakni pelanggaran HAM dan ketidak-adilan dalam berbagai dimensi bidang pembangunan, akibat turunannya adalah menciptakan marginalisasi, diskriminasi, minoritasi dan pemusnahan etnis Papua.

Untuk menyelamatkan bangsa Papua dari darurat kemanusiaan terselubung yang sangat mengerikan, maka kami meminta para aktor (RI, AS, Belanda dan PBB) harus bertanggung jawab. Keempat aktor ini terlibat penuh dalam aneksasi Papua ke dalam NKRI, maka keempat aktor ini harus bertanggung jawab untuk mengakhiri penjajahan dari NKRI dan para sekutunya di Tanah Papua Barat.

Untuk itu, segera menggelar perundingan tanpa syarat antara bangsa Indonesia dan Bangsa Papua, yang dimediasi oleh PBB, Belanda, Amerika Serikat dan atau negara lain yang netral untuk membahas tuntas semua masalah Papua dan menemukan solusi alternatif yang bermartabat.

Selpius Bobii adalah Ketua Umum Front PEPERA PB, juga sebagai Tawanan Politik Papua Merdeka di Penjara Abepura, Jayapura, Papua Barat.

Tuesday, July 09, 2013,SP

Mengenal Lagu Kebangsaanku

Oleh  Paulus Petege*

Lagu Kebangsaan Papua: Hai Tanahku Papua, ciptaan Issac Samuel Kijne.
Lagu Kebangsaan Papua: Hai Tanahku Papua, ciptaan Issac Samuel Kijne.

Sejak lahir, saya mulai perjalanan panjang ini: hidup. Hari, minggu, bulan dan tahun lewat, silih berganti. Aku kini telah menyelesaikan pendidikanku di bangku SMA.

Tahun 2001, saya masuk SD. SMP, kemudian SMA. Sekarang, saya telah telah menjadi calon mahasiswa. Telah banyak hal yang aku lakukan. Baik di sekolah, juga di luar; lingkungan masyarakat, gereja, dan dengan teman-teman main.

Ada satu kegiatan yang selalu selalu saya lakukan sebagai suatu kewajiban pada setiap hari Senin di sekolah, dari SD sampai SMA; upacara bendera, dimana bendera Merah Putih dikibarkan, dan menyanyikan Indonesia raya, lagu kebangsaan Indonesia.

Lagu tersebut telah aku  hapal dari SD kelas 1. Ketika itu,  pak guru paksa aku untuk  menghapal lagu tersebut.  Saya baru tahu setelah tamat SMA, bahwa ada lagu kebangsaanku yang lain. Dan saya baru sadar, bahwa  Indonesia Raya bukan lagu kebangsaan saya. Lagu kebangsaan saya adalah HAI TANAHKU PAPUA.

Sekarang, saya menyesal. Menyesal, juga marah. Mengapa di SD  saya tidak dikenalkan lagu kebangsaan saya, HAI TANAHKU PAPUA? Mengapa aku dipaksa menghafal Indonesia Raya, dan setiap Senin membuat upacara bendera di sekolah, bahkan dengan cara memaksa?

Saat ini, di radio, saya dengar lagu kebangsaanku: HAI TANAHKU PAPUA. Aku coba nyanyikan lagu itu. Namun nada suaraku berbeda dengan  nada lagu kebangsaanku. Akh, tapi itu tidak apa. Setidaknya, aku kini tahu lagu kebangsaanku yang sesungguhnya.

Namun aku tetap  malu pada teman-teman Papuaku yang telah menghafal lagu kebangsaan HAI TANAHKU PAPUA. Hanya sekedar mengingatkan, sobat Papua, apakah kau telah mengenal lagu kebangsaanmu, HAI TANAHKU PAPUA? Kalau anda mengenalnya, kau lebih beruntung dariku.

Bila belum, anda tidak terlambat, juga sama dengan saya. Mari kita mengenal identitas ke-Papua-an Kita. Kita Papua, bukan Indonesia. Salam Papua!

)* Penulis adalah calon mahasiswa Papua, tamat tahun 2013 dari SMA YPPK Adhi Luhur, Kolese Le Cocq d’Armandville Nabire – Papua.

Senin, 08 Juli 2013 11:36,MS

RUU Ormas Tidak Akan Bisa Mematikan Gerakan Papua Merdeka

Oleh : Roy Karoba

Dengan disahkannya Rancangan Undang – Undang Ormas (RUU Ormas ) Oleh  DPR RI beberapa waktu lalu di Jakarta, tentunya ini akan mematikan seluruh gerakan – gerakan Organisasi yang berbasis massa di seluruh Indonesia dan terlebih khusus di Papua Barat. Hal ini dikarenakan, dengan adanya RUU Ormas, maka seluruh Organisasi – Organisasi di seluruh Indonesia termaksud di Papua, diwajibkan untuk mendaftarkan Oraganisasinya ke KESBANGPOL, agar dapat dianggap sebagai organisasi legal di Negara ini.

Pengesahan RUU Ormas ini sebenarnya telah mendapat kecaman dari berbagai macam Organisasi Massa yang ada di Indonesia, namun sayangnya kecaman yang dilontarkan ini tidak mendapatkan perhatian yang berarti dari pihak pengambil keputusan yang ada di DPR RI. Hal ini tentu akan memancing kemarahan Ormas – Ormas yang ada di Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia, karena dengan disahkannya UU Ormas ini, tentu rakat Indonesia akan merasa kembali berada di jaman Orde Baru, yang dimana kekuatan Militer akan digunakan untuk membungkam Ruang Demokrasi di Indonesia.

Dengan di sahkannya RUU Ormas oleh DPR RI, sebenarnya DPR RI dan Pemerintah Indonesia telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD 1945 ) yang merupakan Konstitusi Negara Indonesia ini sendiri, sebab susungguhnya dalam pasal 28 UUD 1945 sendiri, telah menjamin kebebasan bagi setiap warga Negara untuk berkumpul, berserikat dan ber organisasi, serta menjamin kebebasan warga Negara untuk bebas menyampaikan pendapat dan aspirasi di depan Publik. Namun dengan disahkannya RUU Omas ini, tentu telah mencoreng apa yang telah tertera dalam Konstitusi Negara Indonesia ( UUD 1945 ) dan juga hal ini tidak sesuai dengan sistem yang di anut oleh Indonesia sendiri, yaitu sistem Demokrasi.

Jika pengesahan RUU Ormas ini kita kaitkan dengan situasi di Papua Barat saat ini, maka kita dapat melihat bahwa sebenarnya RUU Ormas dan Kamnas ini sebetulnya telah diberlakukan  jauh sebelum dilakukannya pengesahan oleh DPR RI, sebab dilihat dari beberapa peristiwa sebelum disahkannya RUU Oramas, dimana Ruang Demokrasi di Papua Barat itu telah di Bungkam oleh Pemerintah Indonesia lewat kekuatan militernya ( TNI-POLRI ) dan jajaran Pemerintahan yang ada di Papua Barat, seperti yang kita ketahui bersama bahwa, dalam beberapa kali aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh Rakyat Papua Barat di Papua, selalu dibubarkan secara Paksa oleh Aparat Militer Indonesia, bahkan mereka ( TNI-POLRI ) tidak segan – segan mengeluarkan tembakan kea rah massa aksi hingga menewaskan beberapa Rakyat Papua Barat. Pembubaran secara paksa yang dilakukan oleh Militer Indonesia ini di beberapa daerah di Papua barat pada beberapa bulan terakhir, seperti yang terjadi di Sorong, Timika, Serui dan Jayapura pada tanggal 1 Mei 2013, hal ini terjadi ketika Rakyat Papua hendak melakukan peringatan 50 Tahun hari Anegsasi, kejadian serupa kembali terjadi di tanggal 10 Juni 2013, militer Indonesia melakukan pembubaran aksi Rakyat Papua secara paksa di beberapa kota di Papua Barat.

Dengan berbagai macam rentetan peristiwa yang terjadi di Papua Barat sebelum di sahkannya RUU Ormas ini, dan dengan disahkannya RUU Ormas ini,  maka sudah Pemerintah Indonesia akan lebih memperkuat kekuatan Militernya di Papua Barat guna membungkam Ruang Demokrasi di Papua Barat, demi menutup akses informasi dunia luar terkait permasalahan di Papua Barat dan demi mematikan ruang gerak Pejuang Papua Merdeka di seluruh Tanah Papua.

Namun upaya apapun yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mematikan gerakan Perjuangan Rakya Papua Untuk Menentukan Nasib Sendiri, itu tidak akan pernah berhasil, sebab sejarah penjang Perjuangan Papua Barat yang telah mendara daging di seluruh sanubari Rakyat Papua Barat, sudah tidak dapat lagi di Padamkan dengan cara apapun, sebab sebelum RUU Ormas di sahkanpun ruang Demokrasi di Papua Barat telah dibungkam dan yang paling penting yang harus diketahui bahwa, Perjuangan Papua Merdeka bukanlah Perjuangan soal Makan dan Minum, ataupun Persoalan Kesejahteraan dan Pembangunan seperti yang selama ini dibicarakan oleh kaki tangan Pemerintah Indonesia yang ada di Papua. Persoalan Papua Merdeka Adalah Persoalan Sejarah dan Harga Diri Rakyat dan Bangsa Papua, jadi upaya apapun itu tidak akan pernah melemahkan perjuangan Papua Merdeka, apa lagi jika dilihat saat ini permasalahan Papua Barat mulai menjadi perhatian Internasional dan situasi ini sangat baik jika kita mulai padukan seluruh Gerakan Perjuangan Papua Merdeka yang ada, guna membuat suatu gebrakan-gebrakan yang baru bersama – sama, demi mewujudkan Kemerdekaan Sejati Bagi Bansa Papua.

Penulis adalah Ketua Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Komite Kota Yogyakarta

Orang Asli Papua Memiliki Hak Menentukan Nasib Sendiri

Free West Papua (Foto: ist)
Free West Papua (Foto: ist)

Manokwari Orang Asli Papua, sebagai salah satu rumpun ras Melanesia, sebagai warga dunia dan masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination).

Demikian penegasan Yan CH Warinussy, salah satu aktivis hak asasi manusia di Tanah Papua, dalam siaran pers yang dikirim kepada redaksi suarapapua.com, Rabu (26/6/2013) siang, dari Manokwari, Papua Barat.

Menurut peraih penghargaan John Humphrey Freedom Award dari Canada ini, hal itu sejalan dengan isi Deklarasi Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, serta Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, serta deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat.

“Saya mengingatkan semua pihak otoritas di Tanah Papua, dan Indonesia umumnya bahwa persoalan yang sangat mendasar saat ini di Tanah Papua bukanlah soal kesejahteraan dan ekonomi, tapi soal perbedaan pandangan tentang sejarah politik dalam konteks integrasi Papua ke dalam NKRI yang secara hukum internasional belum selesai.”

“Hal itu telah menjadi sebab hingga soal Papua dibawa untuk terus dibahas dalam forum-forum internasional seperti halnya Melanesian Spearhead Group (MSG) belum lama ini di Kanaky, New Caledonia,”

kata pengacara senior ini.

Di dalam forum MSG Summit ke-19, lanjut Warinussy, telah jelas-jelas para pemimpin MSG menyatakan bahwa mereka mengakui pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua, dan perlu disorot untuk memajukan aplikasi rakyat Papua melalui West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL).

“Satu hal yang luar biasa dan membenarkan pernyataan saya diatas adalah bahwa para pemimpin MSG setuju sepenuhnya mendukung hak-hak asasi rakyat Papua Barat terhadap Penentuan Nasib Sendiri sebagaimana ditetapkan dalam mukadimah konstitusi MSG,”

tegasnya.

Itu artinya, kata Direktur Eksekutif LP3BH ini, bahwa hak rakyat Papua Barat yang adalah Orang Asli Papua berdasarkan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2008, adalah bagian dari masyarakat adat di dunia, yang juga memiliki hak menentukan nasib sendiri.

“Segenap proses ke arah penentuan nasib sendiri tersebut seharusnya direspon secara positif oleh semua pihak termasuk Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pemerintah daerah di Tanah Papua.”

“Tentu mekanisme hukum internasional dan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang berlaku secara universal dapat diterapkan pada kesempatan tersebut dengan adil dan benar, serta di bawah pengawasan PBB sekaligus,”

tutup Warinussy.

Senada dengan Warinussy, menurut Dorus Wakum, salah satu aktivis HAM di tanah Papua, diterimanya aplikasi WPNCL oleh MSG menunjukan bahwa peluang hak menentunan nasiba sendiri bagi Papua Barat akan semakin terbuka lebar.

“Kami yakin dan percaya, masalah Papua Barat sekarang tentu akan diajukan ke PBB untuk selanjutnya dibahas. Ini satu kemajuan diplomasi rakyat Papua, dan harus didukung,”

tutupnya.

 Wednesday, June 26, 2013,SP

PNG Dinilai Bermuka Dua

JAYAPURA – Masuknya isu Papua dalam Fotum Malanesian Spearhead Group (MSG) Summit di Nomea New Caledonia yang digerlar 18-21 Juni 2013 mendatang karena adanya proposal dari Liberation (WPNCL) pada Maret 2013 lalu yang didukung oleh Negara Vanuatu dan tuan rumah Kaladonia baru dan hampir semua pemimpin Negara baik Perdana Menteri maupun Menteri Luar Negeru Negara-negara yang tergabung dalam MSG di forum ini, hanya PNG yang tidak hadir.

“Perdana Menteri PNG, Piter O’Neil dan Menteri Luar Negeri PNG, Rumbink Pato, bersama rombongan delegasi memilih untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia untuk bertemu Presiden SBY. Inilah sikap politik bermuka dua atau politik standar ganda dalam isu Papua yang ditujukan PNG. Itulah sikap politik PNG saat ini terhadap Indonesia dan Papua Barat,”

ungkap Dosen Jurusan Hubungan Politik FISIP Uncen Jayapura ini kepada Bintang Papua di kediamannya, Kamis, (20/6) lalu.

Dirinya mengatakan dengan tidak hadirnya PNG di forum MSG ini, seakan-akan PNG ingin menunjukan kepada Pemerintah Indonesia bahwa PNG menolak masuknya Papua Barat dalam keanggotaan MSG. Negara Protektorat Inggris ini ingin meyakinkan Indonesia bahwa untuk soal isu Papua Merdeka, PNG tetap mengambil posisi yang sama dengan Indonesia.

“pada sisi yang lain, PNG telah hadir dalam MSG senior officiels and foreign miniters meeting pada minggu lalu, forum yang diadakan sebelum diadakannya forum MSG summit, dan PNG telah menentukan sikap politiknya,”

ujarnya.

Apa sikap politik PNG? sikapnya adalah bahwa dalam pidato di forum MSG senior officiels and foreign miniters, Menteri Luar Negeri Fiji, Ratu Inoke Kabuabola menyatakan, Fiji, PNG dan kepulauan Salomon memiliki posisi dan sikap yang sama untuk masalah Papua.

“Mereka (Fiji, PNG dan kepulauan Salomon) menyetujui perlu bagi masyarakat Papua untuk diberikan kesempatan melakukan slf determination bagi dirinya sendiri,”

ujarnya.

Keinginan WPNCL untuk terdaftar sebagai anggota MSG perlu mendapat perhatian serius dari semua peserta pertemuan. Dan politik standart ganda PNG dalam isu Papua di forum MSG perlu dibaca baik oleh pemerintah Indonesia.

Lanjutnya, PNG akan memanfaatkan isu Papua sebagai alat bargaining politik dengan Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Dalam kunjungan kali ini bertemu dengan Presiden SBY perlu ingat bahwa politik luar negeri PNG masih sepenuhnya dibawah kendali Ratu Elisabeth II dari Inggris sebagai Kepala Negara.

“Dengan demikian, soal isu Papua, Pemerintah PNG masih mengikuti Pemerintah Inggris yang hampir pasti mendukung WPNCL untuk di daftar sebagai anggota MSG. Inggris juga tidak mau kehilangan pengaruh dalam blok ekonomi dan perdagangan MSG yang sebagian besar Negara-negara anggota MSG adalah bagiaan dari Negara-negara persemakmuran Inggris,” ujarnya.

Meminta Dukungan PNG

Sementara pada pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Perdana Menteri PNG Peter O’neill, Gubernur Papua, Lukas Enembe,SIP,MH, dan Gubernur Papua Barat, Abraham Atururi, serta sejumlah delegasi PNG dan Menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, nampaknya ada hal yang menarik. Dimana, sesuai dengan keterangan dari Gubernur Papua, Lukas Enembe,SIP,MH, salah satu point yang turut disampaikan oleh Presiden SBY kepada Pemerintah PNG melalui Perdana Menteri PNG adalah meminta PNG senantiasa mendukung Papua tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKR).

“Presiden SBY menyampaikan bahwa lebih baik hidup berdampingan dengan saling menguntungkan dibanding hidup saling bermusuhan dan tidak saling menguntungkan,” ungkapnya kepada Bintang Papua, di Istana Negara Kepresidenan RI beberapa waktu lalu.

Dijelaskannya atas permintaan Presiden SBY tersebut, Perdana Menteri PNG Peter O’neill menyatakan bahwa tetap mendukung Papua dalam integrasi Indonesia. Apalagi di wilayah Pasifik, PNG menjadi Top Leader bagi Negara di kawasan Pasifik.

“Presiden menganggap kerjasama ini penting, sehingga para delegasi PNG diterima secara upacara kenegaraan,”

paparnya.(nls/achi/l03)

Sumber: Jum’at, 21 Jun 2013 07:46, Binpa

Enhanced by Zemanta

Otsus Papua Plus Dinilai Inkonstitusional

BIAK[PAPOS]- Adanya kebijakan pusat dan pemerintah Provinsi Papua untuk mendorong lahirnya kebijakan dadakan yang disebut “Otonomi Khusus Plus” dinilai sebagai sebuah langkah politik yang bersifat inskonstitusional.

Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy dalam tanggapan adanya otsus plus, ia katakan bahwa jelas-jelas langkah politik yang diambil pemerintah pusat dan pemerintah provinsi untuk melahirkan otsus plus di Papua telah menciderai amanat UUD 1945 khususnya pasal 5 ayat (1), pasal 18, pasal 18A, pasal 18B, pasal 20 ayat (1) dan ayat (5), pasal 21 ayat (1), pasal 26 dan pasal 28. “Adanya kebijakan untuk melahirkan otsus plus ini kan amburadul dan jelas menciderai amanat UU yang terbesar di Negara ini,” katanya kepada Papua Pos, Minggu (9/6).

Selain itu, langkah kebijakan untuk melahirkan otsus plus juga sudah melanggar amanat Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1988, Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000, Ketetepan MPR Nomor V/MPR/2000 dan juga Ketetapan

MPR Nomor VIII/MPR/2000. Dimana kelima TAP MPR tersebut telah merupakan landasan hukum dari dilahirkannya kebijakan tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi provinsi Papua dahulu. “Sehingga menurut saya dari sisi hukum bahwa keinginan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi papua dalam membentuk kebijakan Otsus Plus yang nyata sebagai Undang Undang Pemerintahan Papua adalah inkonstitusional,” ujarnya.

Adanya rancangan kebijakan otsus plus ini disebabkan karena mereka para petinggi negara telah melanggar hak-hak rakyat Papua untuk melakukan terlebih dahulu evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanan otsus berdasarkan pasal 67, pasal 77 dan pasal 78 dari Undang Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi provinsi Papua. Kemudian telah diberlakukan di provinsi Papua Barat dengan Undang Undang Nomor 35 tahun 2008.

Terkait otsus plus itu, ia juga mengajak semua rakyat Papua untuk segera mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan class action dan mempersiapkan langkah hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang Undang Pemerintahan Papua yang sedang dirancang saat ini. “Rakyat Papua harus segera mengambil langkah hukum ke MK untuk mengajukan gugatan class action terhadap rancangan UU pemerintah Papua tentang otsus plus,”

Pihak LP3BH juga sarankan, agar ada kebijakan dari Universitas Cenderawasih dan Universitas negeri papua melalui kedua Rektornya untuk segera membuat kajian akademik terhadap rencana perumusaan kebijakan otsus plus yang tidak lain dari pada undang undang pemerintahan Papua tersebut.

Menurutnya, adalah sangat penting jika hasil kajian akademik kedua lembaga ilmiah

tersebut digunakan kelak sebagai bahan penting dalam merancang langkah hukum dan politik terhadap pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Papua yang bisa dikategorikan sebagai pelaku perbuatan melawan hukum terhadap hak-hak rakyat Papua sebagai warga negara Indonesia secara konstitusional.[opin]

Sumber: Minggu, 09 Jun 2013 23:20, Ditulis oleh Opin/Papos

Enhanced by Zemanta

PERJUANGAN HAK POLITIK PAPUA BARAT MENDAPAT PENGAKUAN “DUNIA”

(Yan Christian Warinussy)
(Yan Christian Warinussy)

Yan Christian Warinussy Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humhprey Freedom Award Tahun 2005 dari Canada/Advokat Hak Asasi Manusia/Pembela HAM di Tanah Papua/Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri DPP PERADIN/Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari.

 

Perjuangan rakyat Papua untuk memperoleh pemenuhan atas hak-hak sipil dan politiknya selama hampir 20 tahun terakhir ini cukup mendapat perhatian dari berbagai pihak di dunia internasional, baik dari jajaran pemerintah lokal dan nasional maupun masyarakat internasional.

Hal ini terbukti dengan diundangnya West Papua National Coalition for Liberation [WPNCL] atau Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan oleh Front de Liberation National Kanak Socialiste [FLNKS] atau Front Nasional untuk Pembebasan Masyarakat Kanak di Kaledonia Baru.

WPNCL dalam hal ini diundang oleh FLNKS sebagai penyelenggara Konperensi Tingkat Tinggi Melanesia Sparehead Group [KTT MSG] untuk hadir dalam MSG Summit tersebut yang akan diselenggarakan di Noumea – Kaledonia Baru bulan Juni 2013 ini.

Sebagai Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award Tahun 2005 dari Canada dan Sebagai Salah satu Advokat Senoir di Tanah Papua, saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada MSG serta sekaligus  dukungan penuh atas diterimanya rakyat Papua Barat yang diwakili oleh WPNCL dalam MSG.

Dukungan saya didasari pada pandangan bahwa sudah saatnya masalah status politik Papua Barat dan implikasinya pada berbagai pelanggaran hak asasi manusia orang Papua secara struktural dan sistematis sejak tahun 1961 dibawa dan dibicarakan untuk memperoleh keputusan melalui mekanisme internasional.

Friday, 07 June 2013 08:28, Elsham Papua

Apa Dasar Hukum Otsus Plus

Jayapura HoldNews.- Kebijakan Otsus Plus yang diusung Gubernur dan Wagub Papua Lukas Enembe dan Klemen Tinal (LUKMEN), diantaranya, pemberian grasi atau pengampunan dari Presiden SBY kepada sekitar 40-50 Tapol-Napol Papua merdeka yang masih menjalani hukum di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan di Tanah Air menuai kritik pedas dari Sekjen Dewan Presidium Papua/PDP Thaha Alhamid ketika dikonfirmasi Bintang Papua via Email Rabu (29/5) malam.

Dikatakan Thaha Alhamid, Otsus yang berlaku di Tanah Papua sejak 2001, adalah desentralisasi asimetris berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001. Sesuai amanah UU itu sendiri, setiap perubahannya mesti dilakukan atas usul rakyat Papua melalui MRP dan DPRP.

“Nah, kalau sekarang ada lebel Otsus Plus, pertanyaan kita kebijakan ini dasar hukumnya, apa? Undang-Undang atau sekedar mengikuti selera politik saja. Negara ini, tidak diboleh dikelola berdasarkan selera orang per orang atau kelompok politik tertentu, tapi harus berdasarkan hukum,”

tegas Thaha Alhamid.

Pertama, menurut Thaha Alhamid, Pemerintah harus menjelaskan kepada masyarakat, apa dasar hukum munculnya Otsus Plus itu. Kapan usul perubahan dilakukan, rakyat Papua terlibat atau tidak? serta apa saja yang menjadi substansi dari Otsus Plus itu ?

“Kalau pijat plus-plus, saya kira banyak orang tahu, apa suguhan substansinya, lalu bagaimana dengan Otsus Plus ini. Jujur, Kita dengar kata Otsus Plus ini baru sebatas dari media dan retorika politik saja. substansinya kita masih buta,” tukasnya.

Memang, adalah fakta bahwa tahun 2008, tambah Thaha Alhamid, sesungguhnya Pemerintah sudah merubah UU Otsus ini dengan keluarnya Perpu No 1 Tahun 2008. Lalu muncul Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang percepatan pembangunan Papua yang terkapar sebelum berjalan, muncul kemudian Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) sebagai intervensi kebijakan percepatan, karena pemerintah sadar betapa Otsus belum efektif menjawab masalah Papua.
“Nah kalau sekarang tiba-tiba ada Otsus Plus, jelas ini langkah politik yang bikin rakyat bingung dan bertanya tanya. Tugas Pemerintah adalah menjelaskan arah serta substansi dari kebijakan plus ini,” ujar dia.

Kedua, Tapol/Napol Filep Karma Cs menolak grasi yang ditawarkan. Pihaknya merasa penolakan ini sangat masuk akal, terutama karena tidak pernah diinisiasi dengan benar. Tahun 1999, Pemerintah Pusat waktu itu mengeluarkan pembebasan seluruh Tapol-Napol Papua. Itu berdasarkan tuntutan rakyat Papua, bukan sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit tanpa komunikasi politik yang bermartabat.

“Bagi kawan-kawan, grasi itu adalah pengampunan. Artinya, sesorang mengaku bersalah, diadili dan dihukum lalu karena belas kasihan Presiden SBY mereka lalu diberi grasi atau pengampunan,” tutut Thaha Alhamid.

“Ini memang hak prerogatif Presiden, tapi kan ada mekanismenya. Saya rasa ini, salah satu ganjalan psiko-politiknya. Para ahli hukum dan pengacara di Papua, saya rasa lebih kompeten mengelola soal ini. Kita harus membiasakan diri, menyerahkan suatu pekerjaan kepada ahlinya. Sebab kita ini bukan kunci Inggris yang bisa buka semua mur dan baut.”

Ketiga, Pemerintah harus lebih membuka diri, kalau mau memberi nilai plus kepada Otsus Papua, Kenapa tidak buka pintu dialog saja? “Toh selama ini, dialog sudah menjadi point tuntutan rakyat. Jalan ini malah berpotensi menjawab berbagai soal dan jauh lebih elegan,” ujarnya

Sumber: BintangPapua.com

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny