Belajar Dari Pengalaman Perwakilan OPM Di Senegal

Fileb Jacob Semuel Karma, salah seorang pejuang Papua Merdeka memberi dukungan bagi perwakilan di MSG. Semua pejuang Papua membagi tugas dan peran masing-masing.(Jubi/ist)
Fileb Jacob Semuel Karma, salah seorang pejuang Papua Merdeka memberi dukungan bagi perwakilan di MSG. Semua pejuang Papua membagi tugas dan peran masing-masing.(Jubi/ist)

Jayapura –– Aktivis pejuang Papua Merdeka Filep Jacob Semuel Karma yang akrab dipanggil Jopie Karma  telah mengingatkan agar pengalaman perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Senegal jangan sampai terulang lagi. Peringatan ini penting dalam menjalin kerja sama dengan Persaudaraan Ujung Tombak Negara Negara  Melanesia di Pasifik Selatan.

Namun yang jelas Karma mendukung upaya yang dilakukan West Papua National Coalition for Liberation(WPNCL)untuk perjuangan Papua Merdeka sebagai wakil bangsa Papua di MSG. Lebih lanjut  kata Karma dalam perjuangan Papua Merdeka, semua kelompok dalam faksi-faksi membagi-bagi peran dan tugas masing-masing untuk mencapai kemerdekaan.

Mendiang Ben Tanggahma mantan Kepala Perwakilan Organisasi Papua Merdeka(OPM) di Senegal pernah bertugas selama beberapa tahun di sana dan mendapat dukungan dari pemerintah Senegal. Sayangnya beberapa tahun kemudian pihak pemerintah Indonesia dengan kekuatan modal melakukan pendekatan dan kerja sama ekonomi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Senegal. Akibatnya kantor Perwakilan OPM di Senegal ditutup karena kekuatan modal yang dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kondisi ini diperparah lagi dengan munculnya faksi-faksi dalam perjuangan Papua Merdeka, sehingga memperlemah perjuangan Papua Merdeka.

Ben Tanggahma mengatakan sebagai sesama bangsa kulit hitam memang banyak negara-negara Afrika sangat mendukung Papua Merdeka tetapi negara-negara Afrika yang miskin dan butuh dukungan kerja sama ekonomi. Kondisi inilah yang terkadang mengenyampingkan kesamaan kulit dan ras demi kepentingan kepentingan politik yang lebih besar.

Prof Dr Nazaruddin Sjamsoddin dalam bukunya berjudul, Integrasi Politik di Indonesia menyebutkan  secara umum bisa dikatakan OPM sebagai sebuah organisasi perjuangan terbagi atas dua jenis gerakan yang masing-masingnya mengkoordinasikan kegiatan politik dan militer.

Dalam penelitiannya tentang Integrasi Politik di Indonesia, Nazaruddin menulis ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya gerakan politik dan militer bekerja sama dengan baik dalam perjuangan Papua Merdeka.

Faktor yang pertama tentu saja keterbatasan ruang gerak yang disebabkan oleh operasi-operasi militer dan tindakan-tindakan lain yang diambil oleh Pemerintah Indonesia.

Belakangan setelah reformasi di Indonesia 1998, salah satu  pemimpin Papua  alm Theys Hiyo Elluay lebih memilih perjuangan damai dalam sopan santun politik. Soalnya bagi Theys kemerdekaan Papua sudah ada pada 1 Desember 1961 dan tinggal mengembalikan hak-hak politik.

Kedua, adanya latar belakang suku yang berbeda di antara sesama pemimpin OPM baik di kalangan militer maupun politiknya yang sering menimbulkan perbedaan interpretasi atas sasaran-sasaran perjuangan dan perbedaan kepentingan.

Ketiga adanya perbedaan iedologi di antara sesama pemimpin OPM; di antara mereka ada yang berorientasi ke kanan dan ada pula yang kekiri. Keempat, kekurangan dana membatasi kegiatan pemimpin-pemimpin politik OPM, termasuk hubungan mereka dengan pemimpin gerakan militer. Kelima pembatasan-pembatasan yang dikenakan pemerintah Papua New Guinea(PNG).

Kegiatan-kegiatan Papua Merdeka di luar negeri pertama kali berpusat di Negeri Belanda di mana terdapat dua pentolan pemimpin Papua masing-masing alm Markus Kaisiepo dan Nicolas Jouwe. Belakangan Nicolas Jouwe , Frans Alberth Yoku dan Nicolash Meset kembali ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia

Selain di Negeri Belanda ada juga kelompok yang tinggal di Stockholm Swedia pada 1972 sudah membuka perwakilan OPM di sana. Bahkan mendapat dukungan dari sekolompok akademisi senior beraliran Marxis di Universitas Stockholm, Swedia. Kantor ini ditutup pada 1979 ini karena kekurangan dukungan dana. Begitupula perwakilan OPM di Dakar, Senegal didirikan pada 1976 dan mendapat dukungan-dukungan  dari negara-negara Afrika selama beberapa tahun.

Markus Kaisiepo lebih percaya kepada kekuatan militer untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga bekerja sama dengan Door de eeuwen trouw, sebuah Yayasan yang menjadi tulang punggung pemerintahan dalam pengasingan RMS dibawah kepemimpinan Ir Manusama beberapa waktu lalu.

Pemimpin OPM di Dakar dan Stockhol lebih banyak dikuasai oleh pemimpin muda seperti alm Ben Tanggahma.Perwakilan OPM di Dakar didukung sepenuhnya oleh Presiden Senegal Senggor antara lain dengan menyalurkan dana-dana swasta. Ben Tanggahma juga dibantu oleh beberapa negara kelompok Brazzaville 13 yang memang tidak mendukung Indonesia dalam pembahasan masalah Irian Barat di PBB sejak 1960 an.

Sedangkan dukungan di Pasifik Selatan, terutama negara-negara Melanesia Vanuatu membuka perwakilan di sana pada 1983. Vanuatu yang mendorong agar sesama negara Melanesia saling membantu dalam perjuangan dan kepentingan politiknya. Agaknya pemerintah Papua New Guinea (PNG) akan mempunyai posisi yang sulit karena berbatasan langsung dengan Indonesia (Provinsi Papua). Apalagi  Perdana Menteri (PM) pertama PNG  Michael Somare telah menegaskan tidak mendukung OPM di dalam perjuangan Papua Merdeka.

Namun yang jelas letak geografis antara sesama negara Melanesia bisa menjadi salah satu faktor pendukung guna menjalin kerja sama antar persaudaraan Melanesia. Pesan Filep Karma soal perjuangan dan dukungan negara-negara sesama Melanesia sangat penting tetapi jangan sampai pengalaman di Senegal terulang lagi. Pasalnya perbedaan pendapat dalam perjuangan politik dan juga dukungan dana bisa menjadi penghambat.

Apalagi pendekatan politik dan ekonomi pemerintah Indonesia bisa menjadi  posisi tawar bagi negara-negara Ujung Tombak Persaudaran Melanesia. Perjuangan Papua Merdeka juga akan mendapat tekanan dari tiga negara penting di Pasifik Selatan masing-masing Papua New Guinea(PNG), Selandia Baru dan Australia. Ketiga negara ini mempunyai hubungan politik dan ekonomi yang sangat baik dengan pemerintah Indonesia.(Jubi/Dominggus A Mampioper)

May 26, 2013,22:39,TJ

TPN PB Sambut Baik Rencana Grasi Bagi Tapol/Napol

JAYAPURA – Keinginan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan memberikan grasi atau pengampunan kepada tahanan politik maupun narapidana politik (Tapol/Napol) “Papua Merdeka” yang kini sedang menjalani hukuman di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia, mendapat sambutan yang baik dari Tentara Pembebasan Nasional – Papua Barat (TPN-PB).

“Niatan dari SBY itu sudah sangat bagus sekali dan kami sambut baik. Akan tetapi yang harus kita tegaskan adalah jangan hanya pikirkan hal itu saja, bahwa melainkan pemberian grasi juga harus membebaskan seluruh Tapol/Napol tanpa syarat dan buka ruang dialog,” jelas Juru Bicara (Jubir) TPN-PB, Jonah Wenda, ketika menghubungi wartawan Koran ini melalui telepon sellulernya, kemarin siang Kamis (23/5).

“Jadi, kalau soal SBY ingin memberikan grasi atau pengampunan terhadap Tapol/Napol Papua Merdeka pada Bulan Agustus mendatang itu kami nilai sudah dikatakan kebijakan ini pemberian pengampunan kepada Tapol /Napol tersebut sangat bagus, karena beberapa waktu lalu pihaknya selalu bicara di media agar membebaskan seluruh Tapol/Napol Papua Merdeka yang selama ini mendekam di penjara Republik Indonesia (RI). “Terkait grasi ini kan, kami pernah menuntut kepada SBY segera membebaskan Tapol/Napol tanpa syarat, sehingga dengan adanya semua itu juga kami mendesak kepada SBY agar membuka ruang dialog untuk berunding dengan perwakilan dari Bangsa Papua Barat guna status politik Papua Barat tersebut,”

tegas Jonah.

Jonah menghimbau kepada Pemerintah RI agar jangan hanya mau memberikan grasi kepada Tapol/Napol pada Bulan Agustus mendatang karena pihaknya menilai itu hanya sebagai lagu lama yang kembali didengungkan oleh SBY selaku kepala negara dari RI ini. “Jadi, masalah untuk status politik Bangsa Papua Barat adalah Jakarta (Pemerintah RI) harus serius membuka ruang perundingan dengan perwakilan Bangsa Papua Barat,” himbau Jonah.

Pendapat yang berbeda dilontarkan Semuel Yeru, salah-seorang Tapol/Napol Papua merdeka secara tegas menolak janji Presiden SBY untuk memberikan grasi kepada sekitar 40-50 Tapol/Napol Papua merdeka yang tengah menjalani hukuman di seluruh Lembaga Pemasyarakatan diseluruh Tanah Air.

Semuel Yeru ketika dikonfirmasi Bintang Papua di Jayapura, Kamis (23/5) mengatakan, pihaknya mendesak Pemerintah Indonesia untuk membuktikan pelanggaran pidana yang telah dilakukan sejumlah Tapol/Napol, karena pihaknya menyampaikan aksi demo menuntut pemerintah Indonesia memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada rakyat Papua Barat berdasarkan HAM dan sebagaimana UU No 9 Tahun 1998 tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. “Tapi kami justru ditangkap dan dijebloskan ke penjara bertahun-tahun, tanpa bukti-bukti hukum kami telah melakukan tindakan pidana makar dan merugikan pemerintah Indonesia,”katanya.

Ditambahkan, “Saya tak punya beban moril pernah menolak grasi yang diberikan mantan Presiden Soeharto ketiika bersama teman-teman didalam Lapas Abe pada tahun 2011. Sampai kini sikap saya tetap menolak pengampunan dari Presiden,” katanya.

Dia menegaskan, pengampunan yang diberikan Presiden kala itu disertai tawaran politik yakni grasi bisa diberikan Presiden, apabila Tapol/Napol kembali ke NKRI.

Dikatakan, Tapol/Napol seperti Filep Karma, Forkorus Yaboysembut dan lain-lain juga mengambil sikap yang tak beda dengan dirinya yakni secara tegas tetap menolak pengampunan dari pemerintah Indonesia, sebelum bisa membuktikan pelanggaran yang dilakukan Tapol/Napol.

Dijelaskan Semuel Yeru, ketika berada setahun di Lapas Abe pihaknya sempat menyampaikan kasus makar yang dituduhkan pemerintah Indonesia kepada Tapol/Napol kepada Amnesty International di Negeri Belanda. Tapi tak pernah muncul hingga ia bebas murni dari penjara.

Sedangkan terkait grasi terhadap Tapol/Napol menjadi agenda penting Otsus Plus yang diusung pemerintahan LUKMEN, pembersihan nama Tapol/Napol yang terlanjur distigmatisasi makar dan janji fasilitas pekerjaan dan perumahan, apabila Tapol/Napol bergabung kembali ke NKRI, lanjut Semuel Yeru, itu tak lain adalah “gula-gula politik” yang juga pernah ditolak Tapol/Napol ketika Presiden SBY menjanjikan akan memberikan grasi beberapa tahun silam. (mir/mdc/don/l03)

Sumber: Jum’at, 24 Mei 2013 06:35, Binpa

Enhanced by Zemanta

Yunus Wonda : Bukan Masalah NKRI Harga Mati Atau Papua Merdeka Harga Mati

Waket I DPR Papua, Yunus Wonda. (Jubi/Arjuna)
Waket I DPR Papua, Yunus Wonda. (Jubi/Arjuna)

Jayapura – Beragam tanggapan terkait Otsus Plus yang akan diberikan pemerintah pusat untuk Papua usai pertemuan Presiden SBY dengan Gubernur Papua, Ketua MRP dan pimpinan DPR Papua lalu medapat respon DPR Papua.

Wakil Ketua I DRP Papua, Yunus Wonda mengatakan, tujuan Otsus plus adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup orang Papua agar lebih baik. Otsus plus yang dimaksud adalah pemerintah Provinsi Papua diberikan kewenangan seluas-luasnya.

“Kami sama sekali tidak bicara ranah poltik. Kami tidak bicara NKRI harga mati atau Papua Merdeka harga mati. Tapi kami bicara bagaimana rakyat Papua sejahtera, itu tujuan kami. Bukan hal lain. Jadi semua kewenangan ada di pemerintah Papua,”

kata Yunus Wonda, Rabu (22/5).

Menurutnya, saat pertemuan dengan SBY lalu, ada 20 item yang disampaikan Gubernur Papua, DRP Papua dan MRP diantaranya membuka penerbangan internasional ke Papua guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tidak hanya transportasi udara tapi juga laut. Item lainnya adalah MoU kontrak karya dengan Freeport harus melibatkan Gubernur, MRP dan DPR Papua dimana pembahasannya dilakukan di Papua, bukan di Jakarta.

“Kami mau Freeport tidak hanya memberikan dana kepada kabupaten tapi juga membangun infrastruktur di Papua. Kami mau Freeport ikut membuka keteriosialisaian di Papua. Apa yang Freeport ambil jauh lebih besar daripada yang dibuat di Papua. Item lain adalah Gubernur Papua bisa melakukan kerjasama dengan negara-negara Pasific,”

ujarnya.


Dikatakan Yunus Wonda, pihaknya juga meminta kepada Presiden SBY agar semua Tapol/Napol dibebaskan atau atau diberikan grasi dan presiden sendiri mengaku tidak keberatan untuk membahas itu. 

“Juga Papua jadi tuan rumah PON 2020 mendatang. Dari 20 item yang kami sampaikan, Presiden sangat merespon karena bagi beliau itu sangat masuk akal. Kami akan kembali ketemu presiden untuk mendapatkan jawababan atas 20 item yang kami serahkan 1 Juni dan Juli mendatang,”

kata Yunus Wonda. (Jubi/Arjuna)

May 22, 2013,18:19,TJ

Ruben Magay : Larang Demo, Polisi Tidak Profesional

Jayapura – Tindakan aparat yang melarang rakyat Papua demo ke Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) dan berujung ditangkapnya beberapa aktivis, serta sejumlah lainnya luka-luka, Senin (14/5) direspon Komisi A DPR Papua yang membidangi Pemerintahan, Hukum dan HAM.

Ketua Komisi A DPR Papua, Ruben Magay menilai aksi aparat kepolisian itu masih menggunakan cara lama dan menggambarkan ketidak profesionalan mereka.

“Ini citra lama yang terjadi. Polisi tidak profesional mendorong jalannya demokrasi di Papua. Saat peristiwa terjadi kan massa ingin minta tanggungjawab polisi terkait kasus di Sorong. Tapi polisi menghadang massa saat akan mengadu ke MRP. Padahal MRP ini lembaga persentatif orang asli Papua,”

kata Ruben Magay, Selasa (14/5).

Menurutnya, sejumlah kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian di Papua membuat orang Papua semakin trauma. Padahal tugas polisi seharusnya mengayomi dan melindungi, namun yang terjadi justru sebaliknya. Motto melindungi dan mengayomi tak ada lagi. Untuk itu ia berharap Kapolda dan Wakapolda Papua segera membenahi hal ini.

“Tindakan persuasif tidak jalan, tapi sudah dengan dh pendekatan represif. Ini yang membuat rakyat semakin tidak percaya polisi. Bahkan kalau bisa Kapolda dan Wakapolda diganti, karena belakang ini penembakan terjadi dimana-mana. Beberapa aktivis ditembak dan ini menggambarkan mereka tidak bisa mengatasi masalah. Saya pikir jika terus ada korban, dua orang ini lebih baik dipindahkan. Tugaskan orang yang lebih mengedepankan kemanuasian,”

ujarnya.

Dikatakan, serangkain kejadian di Papua justru mengundang simpati dunia luar. Papua bukan lagi seperti tahun 60an dimana saat itu masyarakat selalu diintimidasi. Saat ini apapun yang terjadi di Papua diikuti dunia internasional.

“Binatang saja punya hak hidup apalagi manusia. Jangan aparat yang ada di Papua melakukan tindakan anarkasi, pembunuhan dan lain-lain, karena pemerintah pusat akan pusing saat dunia luar menekan Indonesia dari sudut HAM dan demokrasi. Jadi reformasi Polisi harus dievaluasi,”

ujar Ruben Magay. (Jubi/Arjuna)

May 14, 2013,16:35,TJ

 

Sebby Sambom : Perundingan Solusi Krisis Kemanusiaan Di Papua

Sebby sambom (Ist)
Sebby sambom (Ist)

Jayapura – Sejak pendudukan Indonesia di Papua, krisis kemanusian melanda seluruh wilayah Papua. Hal itu dinyatakan salah satu aktivis HAM Papua, Sebby Sambom melalui pers realesnya, yang dikirim ke tabloidjubi.com, Kamis (9/5).

“Indonesia tak pernah mengahargai harkat dan martabat manusia asli Papua. Manusia Papua menjadi binatang di mata Indonesia. Indonesia gampang saja mengatakan apa saja kepada orang Papua. Krisis kemanusian ini sudah mencapai 50 tahun,”

kata Sebby.

Selama 50 tahun, dalam kurung waktu 1963 hingga 2013, menurut Sebby, manusia Papua terus dicurigai, diintimidasi, dikejar, ditangkap, disiksa, diadili, dipenjarahkan hingga ada yang ditembak mati.

Menurut Sebby, hal itu bisa dilihat dari kasus penembakan yang baru saja terjadi saat perayaan peringatan aneksasi Papua atau integerasi Papua ke Indonesaia pada 1 Mei 2013 lalu. “Saat itu, aparat TNI/Polri menembak mati tiga orang yang dicurigai anggota TPN-OPM, yakni Abner Malagawak  (22 tahun),  Thomas Blesia (28 tahun) dan seorang ibu bernama Salomina Kalaibin (42 tahun),” kata Sebby dalam realeasnya.

Menurut Sebby, tiga hari pasca 1 Mei 2013, tepatnya pada 4 Mei 2013, dirinya mendapat laporan yang menyatakan pasukan Polda Papua yang dipimpin Wakapolda Papua Irjen Polisi, Paulus Waterpau menangkap tujuh warga yang dicurigai Anggota TPN-OPM. Mereka itu, diantaranya, Obed Kamesrar (L), Yordan Magablo (L), Hengki Magamis (L), Burningsi (P) istri Yordan, Antho Sarup (L), Klemes Kodimko (L),  dan Dorsela Klemes (P).

Menurut Sebby, peristiwa itu menyisahkan trauma bagi rakyat Papua.

“Rakyat Papua berada dalam ketakutan. Artinya Indonesia sedang melakukan kekerasan terhadap orang Papua. Aparat Keamanan Pemerintah Colonial Republik Indonesia, yang mana telah dan sedang melakukan Pelanggaran terhadap Kemanusiaan,”

paparnya.

Lebih dari itu, menurut Sebby, pembunuhan dan penangkapan ini tak menyelesaikan persoalan.

“Penangkapan dan pembunuhan hanya melahirkan rasa balas dendam, maupun meradikalisasi ideologi Papua merdeka. Sehingga pemerintah Indonesia harus menghentikan kekerasan terhadap Papua. Indonesia harus memadang dan memperlakukan orang Papua sebagai manusia,”

katanya.

Salah satu solusi terbaik, menurut Sebby, pemerintah membuka ruang perudingan.

“Perundingan menjadi solusi orang Papua duduk bersama pemerintah Indonesia membahasa persoalan Papua. Pemerintah Republik Indonesia, agar segera hentikan tindak keji yang tak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Kemudian segera membuka ruang perundingan segi tiga, guna menjelesaikan masalah status Politik Papua secara menyeluruh dan tuntas,”

jelasnya. (Jubi/Mawel)

May 9, 2013,21:08,TJ

Thaha : Prilaku Politik Jakarta Sangat Aneh

Panik, Kebakaran Jenggot dan Marah-marah Ketika Benny Wenda dan Kolega Buka Kantor OPM di Oxford

JAYAPURA— Sekjen Presidium Dewan Papua (PDP) Thaha Alhamid menilai prilaku politik pemerintah Indonesia atau Jakarta sangat aneh, terkait Beny Wenda dan koleganya membuka Kantor Perwakilan OPM di Oxford, Inggris.

“Jakarta panik dan kebakaran jenggot dan marah-marah. Tapi setiap hari rakyat Papua menghadapi sejumlah masalah, justru Jakarta tak terganggu. Tapi mereka justru panik, kebakaran jenggot dan marah-marah bila terjadi sebuah dinamika politik Papua di luar negeri. Prilaku politik anak negeri yang sangat aneh,”

tegas Thaha Alhamid yang dikonfirmasi Bintang Papua via ponsel, Selasa (7/5) malam.

Dikatakan Thaha, pihaknya juga menilai kegelisaan Jakarta terkait pembukaan Kantor OPM di Oxford bukan sesuatu yang benar dan bukan pendekatan yang tepat. “Harus diingat perkembangan sejarah Papua ini dilakukan dalam diplomasi tak boleh dijawab dengan operasi militer dan sebagainya,” tandasnya.

Karenanya, ujar Thaha Alhamid, pemerintah Indonesia dihimbau jangan panik, tapi segera datang menyelesaikan sejumlah persoalan di Papua seperti kegagalan Otsus, pendidikan amburadul, pelayanan kesehatan tak maksimal dan infrastruktur morat-marit dan lain-lain.

Menlu Marty Natalegawa seharusnya melakukan pola- pola diplomasi dengan pemerintahan Ratu Elisabeth terkait dibukanya Kantor OPM di Oxford. Tapi jangan lupa semua akar masalah ada di Papua bukan di luar negeri, sehingga datang selesaikan di Papua.

“Papua itu bukan di London, New York atau Oxford. Tapi Papua ada di ujung timur Nusantara datang, duduk, bicara dengan rakyat selesaikan soal jangan panik seperti itu,”

tandas dia. (mdc/don/l03)

Sumber: Rabu, 08 Mei 2013 07:38, Binpa

Enhanced by Zemanta

Dua Pihak Dijadikan Indikasi Pelaku Penembakan Di Papua

Ilustrasi Penembakan (google.com)
Ilustrasi Penembakan (google.com)

Jayapura –  Sejumlah kasus penembakan di Papua yang menelan banyak korban bisa terindikasi pada dua pihak sebagai pelakunya, yaitu diduga pertama kalau bukan TNI/Polri berarti ddugan selanjutnya dari kelompok TPN/OPM.

“Pelaku penembakan mempunyai motif dan tujuan berbeda. Selama ini TPN selalu menyatakan sikap bertanggungjawab jika penembakan dan jelas sasaran mereka siapa. Tapi kalau ada penembakan dan tidak ada pihak yang bertanggung jawab, itu merupakan skenario,”

kata Rinto Kogoya, Ketua Aliansi Mahasiswa Papua kepada tabloidjubi.com di Jayapura,  Jumat (5/4).

Tapi, lanjut dia, ketika itu merupakan skenario berarti bermuatan kepentingan.

“Yang punya kepentingan dari skenario adalah dugaan  TNI/POLRI dengan tujuan mendapatkan dana operasional karena keterbatasan dana yang dianggarkan pemerintah,”

ujar Rinto.

Menurutnya, tidak hanya supaya mendapat kucuran dana dari suatu skenario penembakan, tapi ada target yang diincar dari skenario yaitu menjadi sasaran individu atau kelompok organisasi.

Sejauh ini opini publik menyangkut sejumlah kasus penembakan di Papua ibarat bola liar, sasaran tuduhan kepada TPN/OPM, kalau bukan TNI atau Polri. Tapi kenyataannya tidak melakukan investigasi independen secara mendalam untuk mengungkap pelaku penembakan. Puluhan nyawa jadi korban akibat peristiwa penembakan misterius belakangan ini.

“Sekarang butuh keberanian media untuk memberitakan pelaku kasus penembakan sesuai fakta. Media dapat mendukung opini publik,”

katanya.(Carol/Jubi)

April 5, 2013, 20 : 24, TJ

SAFANPO : Pemekaran Mengkotak – Kotakan Generasi Muda Papua

Ilustrasi Pemekaran (IST)
Ilustrasi Pemekaran (IST)

Jayapura, 1/4 (Jubi) – Apolo Safanpo, Ketua Ikatan Cendekiawan Awam Katolik Papua (ICAKAP) mengatakan, pemekaran telah mengkotak-kotakan Generasi Muda Papua.

“Pemekaran baik Provinsi maupun kabupaten serta pembangunan asrama-asrama yang dibangun berdasarkan suku telah mengkotak-kotakan Anak-anak Muda Papua,”

kata Apolo Safanpo kepada wartawan di halaman SMU Taruna Bhakti Waena, Jayapura seusai menghadir Misa Paskah Nuansa Papua, Senin (1/4). Menurut Safanpo, pihaknya tetap ingin agar Generasi Muda Papua tetap berada dalam semangat kebersamaan dan kekeluargaan.

Sementara itu terkait ICAKAP, Aloysius Giay mengatakan, pertama pihaknya menyampaikan terima kasih kepada pengurus harian ICAKAP dan generasi mudanya yang sungguh luar biasa melaksanakan Misa Paskah Nuansa Papua.

“Kedua, barangkali harus dievaluasi untuk ke depan, terutama intelektual-intelektual Katolik harus betul-betul dilibatkan dalam tahapan pekerjaan dan terkhir, sangat menarik di dalam khotbah tadi disampaikan Pastor Frans bahwa apakah itu mempertahankan jati diri atau memperbaharui jati diri atau kembali pada jati diri. Ada tiga hal penting. Contoh, umat di kampung sekarang bukan makan dari kebun, bukan dari hasil jerih payahnya sendiri tetapi sekarang makan dari dana Otsus, raskin, beli sarden dan mie di toko,”

tutur Giay.

Menurut Giay, Ini adalah salah satu pergumulan pemimpin umat untuk melihat hal ini. Bagi dia, ini sudah berubah arah iman sehingga hal-hal ini juga termasuk dalam kehidupan ekonomi umat yang harus diperhatikan ke depan.

“Saya harap ICAKAP melakukan identifikasi umat saat ini. Mana yang harus dipertahankan iman dalam budaya kita, mana yang harus diperbaharui dan mana yang harus kembali ke jati diri awal,”

ujarnya.

Dia menambahkan, contohnya, Suku Mee di Paniai. Di dalam budaya maupun agama mengajarkan, kalau seorang yang mau menikah haruslah bisa membuat kebun, pagar dan perahu.

“Kalau belum bisa berarti dia belum bisa menikah. Hal-hal budaya seperti ini yang menyatu (inkulturasi) dengan iman Katolik harus benar-benar kita kaji kembali dan di perbaharui kembali,”

harap Giay. (Jubi/Aprila Wayar)

 April 1, 2013,21:19,TJ

Hugo Chaves dan West Papua

Hugo Chaves
Hugo Chaves

Hugo Chaves, Pemimpin  kharismatik yang penuh kontroversial itu telah tiada sejak  5 Maret 2013 lalu. Rintihan pilu masih terdengar, bukan saja rakyat Venezuela, Amerika Latin dan Timur Tengah, namun juga di berbagai belahan dunia, terutama rakyat tertindas di dunia yang terinsipirasi dari sosok Chaves yang berani melakukanperubahan yang revolusioner di Venezuela dan merubah wajah kapitalisme global di Timur Tengah dan Amerika Latin.

Di West Papua, wilayah yang selama hampir setengah abad masih digerogoti gurita imperialisme Amerika Serikat (AS), sosok Hugo Chaves dan kiprahnya tidak begitu ramai untuk menjadi perhatian, terutama dalam perspektif perjuangan pembebasan nasional West Papua. Bukan karena tidak penting, namun pemahaman akan pergulatan kepentingan ekonomi politik global masih ditutupi oleh kabut tebal yang bernama neokolonialisme Indonesia.

Asia Pasifik, terutama Indonesia dan West Papua dalam sejarahnya pernah menjadi wilayah yang diperebutkan oleh kekuatan Blok Barat dan Timur. Kini, watak ‘lonte’ yang diterapkan Indonesia dalam politik luar negeri, serta militer Indonesia yang menjadi germo bagi ‘perempuan jalang’ yang bernama pemerintah Indonesia dan kebijakannya dalam kanca luar negeri, seakan-akan membuat ‘anak haram’ yang bernama Pemerintah Provinsi dan Kabuputen di wilayah West Papua kehilangan identitas, harga diri, apalagi untuk berpikir dan memaknai gebrakan Hugo Chaves dalam melakukan perubahan yang nyata diatas tanah West Papua.

Semua orang yang menginginkan perubahan diatas tanah West Papua harus sepakat bahwa Negara Republik Indonesia di West Papua adalah neokolonialisme. Perusahaan Multinasional, mulai dari PT. Freeport Indonesia dan perusahaan asing lainnya diatas tanah Papua adalah kapitalisme global. Bahwa dua kekuatan itu sedang menjadi akar penindasan dan eksploitasi diatas tanah West Papua. Hanya dengan pemahaman itu, kita akan mampu memahami esensi Hugo Chaves dan sosialisme abad 21 di Venezuela. Pemahaman mengenai faktor Hugo Chaves dan tindakan revolusionernya bagi rakyat Venezuela dapat memberi makna bahwa perjuangan rakyat tertindas harus memiliki format dan arah tentang apa yang diperjuangkan.

Dan bukan dalam NKRI. Bagi saya, Indonesia telah menjadi negara tanpa makna alias negara tak bermakna atau tak berguna. NKRI telah gagal dan digagalkan ulah bangunan nation state yang tak memiliki kuat ideologi (kabur), apalagi pemimpinnya yang tidak bisa seperti Soekarno. Oleh karena itu, tidak ada gunanya membahas perubahan dalam bangunan NKRI. Bahwa rakyat tertindas di Indonesia, dan lebih khusus untuk rakyat West Papua, Sosialisme Demokratik dalam praktek perubahan di Venezuela dibawah komando comandante, Hugo Chaves, sang anti American Fighter itu meyakinkan kita bahwa paham itu tidak sekedar “sampah’ abad 19, yang hanya ilmiah dari seorang Karl Marx dan Friedrich Engels.

Infiltrasi AS dalam misi ekonomi politik AS dan sekutunya yang begitu kuat di Indonesia hingga ke West Papua, menjadi peringatan bahwa ketegasan perlawanan harus diarahkan secara sadar dalam praktek sosialisme demokratik. Bagi saya, semangat Papua Merdeka harus memiliki makna pembebasan yang jelas menuju sosialisme demokratik, sebuah ide yang tidak sekedar paham filosofi luar, tetapi secara nyata dapat diartikulasikan diatas tanah West Papua.

Perjuangan bangsa Papua untuk merdeka bukan hanya sebuah keinginan kosong, tetapi merupakan kebutuhan dalam rangka membebaskan bangsa Papua dari kekuatan global yang menindas dan mengeksploitasi West Papua. Karena itu, manuver dari gerakan-gerakan perjuangan yang tidak memiliki persepektif pembebasan hendaknya ditinggalkan, karena tidak melambangkan watak pembebasan nasional. Justru, kondisi ambur adul dalam perjuangan akan menyuburkan watak kapitalisme yang sudah berakar dalam masa kolonoliasme Indonesia.

Hugo Chaves mempertahankan kedaulatan negara Venezuela dan mampu mempengaruhi negara-negara Amerika Latin dan Timur Tengah bukan semata-mata  karena kekuatan militer, namun karena sikap revolusionernya dalam mengubah wajah kapitalisme di Venezuela yang kaya akan minyak itu menjadi sosialisme yang berhasil. Papua Merdeka, secara politik diperjuangkan oleh rakyat West Papua, tetapi lebih penting dari itu rakyat Papua Barat harus terus berjuang bagi kedaulatan bangsa Papua, sebuah kedaulatan tanpa kolonialisme Indonesia, tanpa kapitalisme global, dengan membentuk pemeritahan Sosialisme demokratik sebagai senjata perlawanan merebut pembebasan nasional.

*Penulis adalah Ketua Umum KNPB

March 29, 2013,KNPBnews

Filep Karma Prihatin Demokrasi di Papua

Filep Karma, Tahanan Politik Papua. Foto:Ist
Filep Karma, Tahanan Politik Papua. Foto:Ist

Jayapura — Filep Karma, Tahanan Politik (Tapol) Papua mengungkapkan keprihatinannya atas terbungkamnya demokrasi di tanah Papua sejak tahun 1969. Kata dia, ketika sebuah wilayah diisolasi apa saja bisa terjadi dan dunia lain tidak tahu.

Salah satu contoh besar menurut dia adalah pemilihan gubernur pada 29 Januari 2013 lalu tanpa pemantau independen baik dari Papua, Jakarta maupun dari dunia internasional. Selain itu, kata dia, tidak ada media asing yang memonitor pelaksanaan Pilkada.

“Saya melihat pengawasan lemah sejak proses awal karena  tidak ada pengawas independen dari Papua, nasional maupun internasional. Juga,tidak ada LSM atau jurnalis internasional yang meliput proses ini,”

kata Filep Karma beberapa waktu lalu di Lapas Klas IIA Abepura, Jayapura.

Ia menilai, proses demokrasi di Papua tidak semakin baik. Agenda negara saja berjalan tidak demokratis, bagaimana dengan agenda-agenda protes rakyat atas carut-marutnya kondisi Papua saat ini.  Rakyat Papua benar-benar terisolasi dari pemberitaan media di Indonesia dan media asing sejak Papua dipaksakan bergabung dengan Indonesia.

Kata dia, dalam proses demokrasi yang tidak ada pemantau independen baik LSM maupun jurnalis, tidak akan ada pendidikan demokrasi. Masyarakatnya tidak akan berkembang baik.

Ini adalah cara pembunuhan dalam bentuk lain yang pelan tetapi pasti. Masyaralat tetap dibuatnya tidak berkembang secara demokrasi.

Kata dia, mestinya cara-cara Orde Baru mulai harus ditinggalkan. Ini adalah cara-cara Orde baru, kata  Karma yang mengaku tidak mendukung proses Pilgub yang baru saja berlalu karena baginya itu memilih budak-budak yang memperpanjang kolonialisme Indonesia di Tanah Papua. (Aprila Wayar/MS)

Senin, 25 Maret 2013 22:08, MS

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny