Jayapura — Dialog damai antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Indonesia yang sedang diusung oleh Pater Neles Tebai dan kawan-kawan menurut Filep Karma, Tahanan Politik (Tapol) Papua dapat saja dilaksanakan, tergantung pada Presiden Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Menurut saya, proses dialog damai tidak tergantung siapa yang menjadi pemimpin atau gubernur Papua saat ini. Dialog itu tergantung pada Presiden Indonesia, SBY,”
demikian tutur Karma kepada tabloidjubi.com yang berkunjung ke Lapas Klas IIA Abepura belum lama ini.
Bagi Karma, dialog bukanlah sebuah wacana baru Orang Papua karena Tom Beanal bersama Tim 100 juga pernah ke Jakarta untuk berdialog dengan Pemerintah Indonesia.
“Sekarang tinggal itikad baik dari Pemerintah Pusat saja. Istilahnya begini, Orang Papua siap berdialog tetapi Jakarta yang tarik ulur atau cari-cari alasan. Kalau Jakarta bingung, mau bicara dengan siapa karena banyak faksi seharusnya Jakarta tahu bahwa yang mau berunding adalah orang atau pihak yang selalu bermasalah dengan Pemerintah Indonesia atau yang beroposisi dengan pemerintah yaitu TPN-OPM, Tapol dan diplomat Papua yang berada di luar negeri saat ini,”
ungkap Karma lagi.
Jadi menurut Karma, kalau mau bilang tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan yang menjadi wakil dalam dialog tersebut itu hanyalah omong kosong belaka.
“Saat kami buat aksi lalu ditangkap dan dibungkam setelah itu baru mereka mulai bicara mengatasnamakan kami atau Rakyat Papua. Bila dialog memang akan terlaksana maka dialog harus dilakukan di luar negeri, di negara yang netral karena kami perlu bicara dengan bebas tanpa intimidasi, teror, penculikan, penghilangan dan pembunuhan. Saya menilai bahwa wakil dalam dialog juga harus ditentukan oleh tiga pihak yang beroposisi dengan pemerintah tadi,”
demikian harap Karma pada proses dialog. yang masih terus berproses ini. (Jubi/Aprila Wayar)
Jayapura — Tahanan Politik (Tapol) Papua, Filep Karma menilai ada rekayasa dalam proses pemilihan gubernur (pilgub) yang baru saja berlangsung 29 Januari 2013 lalu. Hal ini disampaikan kepada tabloidjubi.com beberapa waktu lalu saat berkunjung ke Lapas Klas IIA, Abepura, Jayapura.
“Saya juga tidak percaya bila pada akhirnya proses Pilgub yang diikuti oleh enam pasang calon itu menang dengan suara lebih dari lima puluh persen, ini adalah rekayasa,”
demikian kata Karma yang ‘dituding’ negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas Kasus Biak Berdarah ini.
Menurutnya, seperti Joko Widodo (Jokowi) pada Pilgub DKI Jakarta lalu misalnya, hanya mencapai empat puluh persen. Logikanya, pilgub seharusnya dilakukan dua putaran karena jumlah suara otomatis terbagi ke enam calon gubernur ini.
“Saya bercerita dengan banyak orang tentang pilgub, ternyata banyak Orang Papua yang tidak ke TPS untuk ikut memilih pada Tanggal 29 lalu. Bukan hanya Orang Asli Papua tetapi juga Orang Non Papua dengan alasan tidak mendapat undangan,”
ungkap Karma lagi kepada tabloidjubi.com
Sementara itu, Yuliana S. Kowi, warga Uncen Bawah mengatakan dirinya mengikuti proses pilgub tetapi kelihatannya tidak terbuka dan tidak jujur.
“Yang kami tahu sebenarnya, di sini kan Pak Habel Melkianus Suwae (HMS) yang menang tapi kan tidak. Jadi pokoknya sudah tidak jujurlah. Kami waktu pemilihan waktu itu tahu saja pasti HMS tapi tahunya malah kalah begitu,”
tutur Kowi pada tabloidjubi.com beberapa waktu lalu. (Jubi/Aprila Wayar)
Jayapura — Sejumlah kasus penembakan di Papua yang mengakibatkan berjatuhan korban, dinilai berkepentingan dua ideologi yang berbeda, yakni ideologi mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Papua dan mempertahankan Papua sebaga suatu negara dari sudut sejarah.
“Papua adalah ladang konflik dua ideologi dari pihak yang berkepentingan. Kasus penembakan yang menelan korban jiwa baik aparat maupun sipil di Papua merupakan bagian dari perang ideologi,”
kata Nomensen Mambraku, Akademisi Universitas Cenderawasih, Sabtu (16/3) di Jayapura.
Sejumlah kasus penembakan di Papua sejauh ini belum terungkap secara rinci pelakunya sehingga menjadi pertanyaaan dari berbagai pihak. Sebab itu, label penembak misterius masih berlansung hingga sekarang.
“Pihak berwenang mesti mengungkap siapa yang menembak baik aparat maupun sipil di Papua,”
tambah Nomensen.
Terkait itu, Nomensen mengatakan perlu adanya pelurusan sejarah bangsa Papua integrasi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Sejarah bangsa Papua yang kabur justru mempunyai alat politik yang jitu bagi Pemerintah Pusat. Sebab itu, pemerintah Pusat duduk bersama rakyat Papua membicarakan masalah sejarah masa lalu. Sebab Papua memiliki dasar sejarah bahwa sudah pernah mengalami sebuah Negara,”
katanya.
Menurutnya, kasus-kasus penembakan di Papua masuk dalam ranah politik, yakni dua pihak yang berideologi berbeda. Kasus penembakan belakangan ini yang menewaskan sejumlah TNI belum diungkap tuntas siapa pelakunya. Tapi, tuduhan diarahkan kepada kelompok militan TPN/OPM sebagai pelaku.
Juru Bicara TPN/OPM, Jonah Wenda mengatakan tidak benar kalau yang melakukan sejumlah kasus penembakan adalah dari pihak TPN/OPM.
“Kita belum melakukan investigasi internal apakah anggota kami yang melakukan penembakan. Sebab wilayah Papua ini terlalu luas. Tapi, ada yang lebih ironis bahwa diantara anggota TPN/OPM mendapat penyusupan dari aparat keamanan untuk penyusupan proyektil. Dan tentu ini membahayakan anggota kami sendiri,”
Tanah dalam struktur Masyarakat Adat Papua, khusus Komunitas Suku Sentani di Kabupaten Jayapura merupakan lambang kehidupan, tanahpun kerap dimaknai sebagai susu ibu, susu Ondofolo, hingga semua orang dapat melakukan aktifitas apa saja di atas tanah adat dalam pengawasan Ondoafi Keret.Berikut bincang-bincang Ondofolo Besar Demas Tokoro.
Veni Mahuze, Bintang Papua
Tanah dalam komunitas masyarakat adat Sentani dikelola secara komunal, artinya tanah adat itu milik bersama, miliknya persekutuan masyarakat keret tertentu dalam suku sentani, pengaturannyapun diatur dalam struktur struktur adat mulai dari Kosee, Kepala suku, Ondoafi dan Ondofolo.
Masing masing kepala suku Sentani menguasai bidang bidang tanah tertentu dalam keretnya. Contohnya, Ondoafi bertugas menjaga tanah ulayat keretnya, menjaga tanah yang didiami kelompok masyarakatnya, termasuk tanah adat yang didiami komunitas lain di luar komunitas adat suku Sentani.
Pada saat tertentu ondoafi keret harus memberikan pertangung jawaban atas tanah ulayat yang jadi bidang pengawasannya ke orang yang dituakan seperti Ondoafi Sentani. “ Jadi kalau ada saudara- saudara dari luar yang mau beli tanah harus berhubungan dengan tua tua adat, salah satu tua adat akan berikan petunjuk.”katanya.
“Bila sudah ada persetujuan di Rumah Ebee, tanah bisa dilepas untuk dijual, pribadi jual itu masalah, ujar Ketua Pokja Adat MRP dan Ondofolo Besar Suku Sentani, Jumat( 15/3/2013).
Demikian ada sebuah mekanisme aturan adat yang dilalui dalam mengambil keputusan pelepasan tanah adat dalam suku sentani. Bila seorang pendatang luar mendatangi seatu kawasan dalam tanah adat suku sentani dan bertemu dengan sesorang yang kebetulan bikin kebun disitu, lantas terjadi tawar menawar,
“Bapa saya mau beli tanah ini, dia tidak berwenang jual tanah, kalau mau bertani bercocok tanam, bikin apa saja boleh karena tua tua adalah yang mengizinkan tanah digunakan untuk apa saja. Untuk jual tidak boleh”, sambungnya.
Ondofolo yang sering menyidangkan kasus kasus tanah adat suku sentani ini mengisahkan, “Sering dibelakang layar, tanah itu disepakati dua orang secara sepihak. Orang yang menempati tanah adat hanya untuk bikin kebun menerima pendatang dari luar, lantas dia mengantarkan pendatang itu kepada seorang Ondoafi, yang notabene bukan perwakilan represntatif dari seluruh ondoafi keret, tanpa musyawarah di Rumah Ebee, pelepasan terjadi, Ondo langsung menerima orang pendatang yang mendatanginya lengkap dengan amplop”.
“ Bawa ke Ondo, Ondo lihat amplop, langsung tandatangan, nah ini jadi masalah. Padahal masyarakat punya hak atas tanah ulayatnya, karena sistim komunal berlaku, yang terjadi kelompok kecil masyarakat yang bermukim dalam kawasan ulayat tidak berwenang atas tanah adat, mereka hanya boleh mendiami, bikin rumah disitu, bertani, bercocok tanam dan aktifitas lain, bukan menjadi penghubung sepihak untuk jual tanah”,
kisahnya lebih lanjut.
Ondofolo Tokoro menjelaskan, bila ia selalu berhubungan dengan masalah masalah ini bila, kasusnya dibawa ke Dewan Adat Sentani padahal bila ditelisik, Tanah itu Ibu atau Mama yang memberikan susu kepada ondoafi, ia memberikan kehidupan bagi orang sentani. Artinya Ondofolo/ Ondoafi itu harusnya melindungi, mengayomi masyarakat sedemikian rupa dalam sebuah kawasan tertentu, termasuk menjaga melindungi Tanah dan Air serta masyarakat disekitarnya.
Tanah dalam sistim Keondofoloan Suku Sentani melambangkan kekuasaan, otoritas Ondofolo, Semua yang hidup dan bergerak di ada dalam otoritas Ondofolo, jadi Ondofolo itu harus dihargai dalam seluruh keberadaannya sebagai pengayom dalam persekutuannya dengan tanah yang dibagikan kepada Ondoafi kerek dan Kosee. Kalau Kosee mau jual tanah harus koordinasi dengan Ondofolo terlebih dahulu. “ Bagaimana tanah ni, sa mau jual, harus ada persetujuan”, terangnya.
Realitas justru terbalik memicu timbulnya masalah dan konflik atas tanah saat ini, kerab tak dapat dihindari. Pengalaman jual beli tanah bersertifikat ganda, tanah dijual tanpa persetujuan oleh orang tertentu, terbitlah sertifikat dan dijual lagi tanah, munculah sertifikat, masalah atas masalah tanah. Sertifikat tanah itu tidak saha hingga secara adat Suku Sentani menyebutnya, “Sertifikat Tanah Rumput”. Analoginya, tanah tak punya mama, tak melalui prosedur sebenarnya.
Realitas ini menjadi pertanyaan bagi para Ondofolo komunitas masyarakat adat suku Sentani, atas dasar apakah BPN mengeluarkan sertifikat tanah yang kami sebuat ‘Tanah Tak Punya Mama”. Hal ini jadi pertanyaan tak habis habisnya dalam komunitas adat suku Sentani khususnya para Ondofolo. Padahal tak ada pelepasan terjadi bila musyawarah di rumah Ebee tak terjadi sebagai solusi melepaskan tanah adat ke pihak lain.(*/don/l03)
“Kami heran bahwa Kapolda Papua baru menjabat langsung tuduh KNPB adalah teroris, nah ini bagian dari pengacau keamanan, ini sangat keterlaluan, komentar Socratez S. Yoman, Ketua Umum Persekutuan Gereja- Gereja Baptis Papua. (Sumber: Bintang Papua, Jumat, 25 Januari 2013, hal. 3).
Tanggapan tokoh Gereja Papua, Socratez S. Yoman, S.Th. M.A menyikapi tudingan teroris oleh Kapolda Papua kepada aktifis Papua (Komite Nasional Papua Barat) adalah merupakan suara gereja menolak tegas tudingan teroris oleh Negara Indonesia melalui Kapolda Papua. Tanggapan tokoh Gereja itu juga menyatakan kepada Negara Indonesia dan negara-negara di dunia serta Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa orang Papua bukan teroris, orang Papua bukan Makar, orang Papua bukan separatis, orang Papua bukan pengacau keamanan, orang Papua tidak merong-rong keutuhan NKRI.
Dalam artikel ini, saya menyoroti beberapa pertanyaan fundamental yaitu: 1). Mengapa Negara Indonesia menstigmatisasi perjuangan bangsa Papua dengan tudingan: separatis, makar, pengacau keamanan, teroris, dll?;
2). Mengapa orang Papua bukan teroris, orang Papua bukan Makar, orang Papua bukan separatis, orang Papua bukan pengacau keamanan, orang Papua tidak merong-rong keutuhan NKRI?
3). Bagaimana tanggapan masyarakat Internasional atas tudingan Pengacau Keamanan, Makar / Separatis, teroris, dll kepada orang asli Papua?
4). Apa dampak stigmatisasi Pengacau keamanan, makar / separatis, teroris oleh RI terhadap perjuangan rakyat bangsa Papua?
5). Bagaimana siasat menghadapi stigmatisasi terhadap orang Papua yang digencarkan oleh Negara Indonesia melalui sistemnya?
Kelima pertanyaan mendasar ini, saya uraikan satu persatu dalam artikel ini.
I. PEMBUNGKAMAN PERJUANGAN BANGSA PAPUA MELALUI STIGMATISASI.
Strategi dan taktik politik stigmatisasi yang digencarkan oleh Negara Indonesia melalui sistemnya terhadap aktifis Papua Merdeka adalah merupakan suatu langkah menutupi segala bentuk kejahatan kemanusiaan terhadap orang Papua dan sebagai langkah pembenaran untuk menumpas orang asli Papua yang berjuang untuk kedaulatan Papua Barat.
Ada tiga bentuk kejahatan kemanusiaan, yakni: Aneksasi kemerdekaan kedaulatan suatu bangsa; Kejahatan Perang, dan Pemusnahan etnis. Negara Indonesia telah dan sedang melakukan tiga kategori kejahatan kemanusiaan ini. Setelah Negara Indonesia berhasil menganeksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua melalui invasi politik dan militer yang dimulai dengan Maklumat Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI (Soekarno), 19 Desember 1961, Negara Indonesia masih terus menerus menerapkan operasi militer, baik secara terbuka dan terselubung (perang terbuka dan tertutup), yang berdampak pada pemusnahan etnis Papua secara pelan tapi pasti (slow motion genocide).
Salah satu stigmatisasi yang muncul pada akhir-akhir ini adalah tudingan teroris kepada para aktifis Papua Merdeka, khususnya kepada aktifis Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Berikut ini tingkatan stigmatisasi dari Negara Indonesia kepada orang asli Papua yang berjuang untuk berdaulat penuh, yaitu: pertama-tama RI menyebut Organisasi Papua Merdeka (OPM), Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) / Gerakan Pengacau Lingkungan (GPL), Separatis atau Makar, Orang Tak Kenal (OTK), Sipil bersenjata, dan Teroris.
Sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dilabelkan oleh Negara Indonesia kepada orang Papua yang mengambil sikap untuk berjuang kemerdekaan Papua Barat. Menurut tuan Forkorus Yaboisembut S.Pd orang asli Papua menerima sebutan OPM setelah mempertimbangkannya dan ternyata sebutan OPM itu tepat dan benar. Kini OPM telah menjadi sebuah organisasi perlawanan yang menyatu dalam wadah TPN PB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) yang struktur dan manajemen telah ada, walaupun belum ada komando terpusat.
Sebutan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) / GPL adalah sebutan kedua yang dimunculkan Negara Indonesia. Dengan adanya sebutan ini membenarkan tindakan penumpasan (operasi militer)terhadap orang asli Papua yang berjuang untuk berdaulat penuh. Juga melalui berbagai forum resmi dan non resmi Republik Indonesia (RI) meyakinkan kepada masyarakat Internasional bahwa di Papua ada Gerakan Pengacau Keamanan. Dengan demikian meredam dukungan masyarakat Internasional soal status politik bangsa Papua.
Stigmatisasi berikutnya adalah Makar atau Separatis kepada aktifis Papua Merdeka oleh Negara Indonesia. Stigmatisasi itu dilegalisasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yakni pasal 106 – 110 KUHP. Produk Hukum yang ditinggalkan oleh Kerajaan Belanda ini, dalam penerapannya telah memakan korban nyawa rakyat sipil dan materi dalam jumlah sangat banyak.
Pasal-pasal makar dalam KUHP ini sebagai upaya pembenaran dan melegalkan operasi-operasi militer secara terbuka dan tertutup untuk menumpas gerakan pembebasan nasional Papua Barat, penangkapan dan pemenjaraan sewenang-wenang oleh RI. Pengorbanan moril dan materil yang dialami oleh rakyat bangsa Papua tidak dapat dibayangkan dan tak dapat dilukiskan dalam tulisan ini. Dan lebih mengerikan adalah pengorbanan nyawa rakyat bangsa Papua dalam jumlah banyak akibat operasi militer terbuka dan tertutup, serta operasi sipil. Singkatnya, stigmatisasi makar atau separatis yang dilegalkan dalam KUHP adalah sebagai tameng untuk melindungi diri dari berbagai kecaman dari masyarakat Internasional atas tindakan kejahatan kemanusiaan kepada orang asli Papua hanya demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Orang Tak Kenal (OTK) adalah istilah yang dimunculkan aparat polisi dan militer Indonesia untuk menunjuk pelaku penembakan yang tidak diketahui identitasnya. Menurut Agus Sananay Kraar (Tahanan Politik Papua di penjara Abepura) bahwa istilah OTK ini melahirkan multi tafsir, apakah dilakukan oleh pihak Papua atau pihak Indonesia; dan dapat mengarah pada kambing hitam kepada orang Papua, saling tuduh menuduh pun terjadi. Selain itu, ada istilah lain yang digunakan adalah kelompok sipil bersenjata dan juga manusia bertopeng.
Stigmatisasi kepada aktifis Papua Merdeka yang paling terakhir adalah tudingan Teroris. Tudingan ini bukan tiba waktu tiba akal, tetapi ini sebuah skenario besar Negara Indonesia yang sudah lama dirancang untuk menterorisasi perjuangan bangsa Papua dalam upaya membunuh nasionalisme Papua Merdeka, dengan demikian memperpanjang penindasan dan gerakan aktifis Papua Merdeka menjadi musuh dunia. Upaya terorisasi perjuangan bangsa Papua oleh Negara Indonesia melalui sistemnya adalah langkah Indonesia untuk meningkatkan status operasi-operasi militer, baik secara terbuka dan tertutup karena upaya-upaya lain yang selama ini diterapkan oleh RI di Papua Barat tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Berbagai rekayasa dilakukan Negara Indonesia untuk membuat mosi tidak percaya kepada masyarakat Internasional. Dengan jalan ini membunuh dukungan masyarakat Internasional terhadap perjuangan bangsa Papua. Berikut ini saya mengutip pernyataan Ed McWilliams: Tuduhan tindakan-tindakan kriminal oleh beberapa anggota KNPB tidak dibenarkan dengan kuat dan biasanya RI berupaya untuk menjelekkan nama organisasinya. KNPB dan banyak organisasi lain di Papua maupun setiap pribadi memang sedang mendorong untuk hak orang Papua diakui, khususnya hak menentukan nasib sendiri yang sudah sangat lama tidak diakui. Tetapi semua usaha ini secara umum dilakukan tanpa kekerasaan, demikian komentarnya. Artikel tuan Ed McWilliams lengkapnya silahkan Anda kunjungi: http://www.westpapuamedia.com artikelnya dinaikan pada tanggal 2 Februari 2013.
II. ORANG PAPUA BUKAN MAKAR, BUKAN TERORIS, DLL.
Akar masalah Papua Barat bukan masalah makan minum artinya bukan masalah kejahteraan, bukan masalah pendidikan, bukan juga masalah kesehatan, tetapi akar masalah Papua adalah hak kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang telah dianeksasi ke dalam NKRI secara sepihak melalui invasi politik dan militer atas dukungan penuh Amerika Serikat. Rakyat bangsa Papua berjuang hanya untuk memulihkan kembali kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang dianeksasi ke dalam NKRI dengan sewenang-wenang.
Fakta membuktikan bahwa justru negara Indonesia dapat dikategorikan ke dalam pengacau keamanan (pengacau lingkungan), makar/separatis, mendirikan negara dalam negara, merong-rong kedaulatan Papua Barat dan sarang teroris. Berikut ini penjelasan ku untuk membuktikan pernyataan di atas:
1). Siapa yang sebenarnya pengacau keamanan? Justru yang mengacaukan keamanan di Tanah Papua adalah negara Indonesia yang telah menganeksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI melalui Maklumat Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI, Soekarno, pada tanggal 19 Desember 1961, yang selanjutnya diwujudkan melalui invasi militer dan politik, yang berpuncak pada Penentuan Pendapat Rakyat Papua pada tahun 1969 yang kita sebut Cacat Hukum dan Moral. Dalam proses aneksasi itu didukung penuh oleh Amerika Serikat hanya untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik semata. Justru negara Indonesia melalui mesin-mesinnya mengacaukan keamanan di Tanah Papua untuk mempertahankan Tanah Papua dalam bingkai NKRI yang telah dianeksasi dengan cara-cara kotor dan tidak beradab.
2). Siapa pembuat makar sesungguhnya? Justru Negara Indonesia yang melakukan makar atas kemerdekaan kedaulatan bangsa dan Negara Papua. Sejak tahun 1962 Negara Indonesia meningkatkan Invasi politik dan militer untuk mewujudkan Maklumat Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI. Aneksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI adalah tindakan makar yang dilakukan oleh Negara Indonesia. Karena itu tudingan makar dari RI kepada orang Papua yang berjuang untuk pembebasan bangsa Papua tidak dapat dibenarkan.
3). Siapa sebenarnya yang mendirikan negara dalam negara? Yang mendirikan negara dalam negara adalah justru Negara Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dalam maklumat Tri Komando Rakyat oleh Prisiden RI, Soekarno dalam point pertama menyatakan: Bubarkan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda. Dalam point ini mengandung tiga hal penting, yakni: a). Negara Indonesia telah mengakui adanya negara Papua Barat; b). Tapi Negara Papua Barat itu dihina sebagai negara boneka; c). Negara Papua Barat itu harus dibubarkan. Camkanlah bahwa pengakuan presiden Indonesia adanya negara Papua dalam maklumat TRIKORA itu sah dan mengikat. Dan di sisi lain maklumat TRIKORA itu adalah bukti outentik adanya aneksasi Negara dan Bangsa Papua ke dalam NKRI.
4). Siapa sebenarnya yang merong-rong kedaulatan? Tudingan merongrong kedaulatan NKRI oleh Negara Indonesia sangat tidak tepat ditujukan kepada rakyat bangsa Papua yang sudah dan sedang serta akan berjuang untuk memulihkan hak-hak dasarnya, terutama hak fundamental yakni hak kesulungan rakyat bangsa Papua (kemerdekaan kedaulatan) yang telah dianeksasi ke dalam NKRI dengan sewenang-wenang. Jusrtu negara Indonesia telah berhasil merong-rong kedaulatan Papua Barat dan berhasil aneksasi bangsa Papua Barat ke dalam NKRI. Camkanlah bahwa orang asli Papua berjuang bukan untuk menganeksasi atau mencaplok tanah Jawa, Tanah Sulawesi, Tanah Madura, dan lain lain, tetapi bangsa Papua berjuang untuk tanah leluhurnya berdaulat penuh (merdeka) sama seperti bangsa-bangsa merdeka lain di dunia. Jadi orang asli Papua tidak sama sekali merong-rong kedaulatan Tanah-Tanah lain di Indonesia. Orang asli Papua berjuang untuk hak-hak dasarnya diakui dan dikembalikan, seperti hak kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua, yang dijamin oleh konstitusi NKRI pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pragraf pertama dan hukum Internasional.
5). Siapa penganut teroris sesungguhnya? Istilah teroris tidak ada dalam perjalanan hidup bangsa Papua. Nenek moyong bangsa Papua tidak pernah mempraktekkan dan mengajarkan kepada anak cucuhnya untuk meneror disertai dengan pembunuhan warga sipil dengan sewenang-wenang. Walaupun ada perang suku di Papua, tetapi kedua belah pihak tunduk dan taat pada tata cara perang suku yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Bukan perang dengan sewenang-wenang seperti yang dilakukan oleh militer dan polisi Indonesia di mana dalam operasi militer memperkosa, mencuri, membakar rumah-rumah warga sipil, mengusir warga sipil dari perkampungan, membunuh anak-anak dan istri dari pihak lawan dengan brutal; serta mengadu domba suku-suku setempat untuk saling membunuh dan hal itu digunakan oleh Negara Indonesia sebagai bahan kampanye bahwa itu adalah perang suku.
Dalam perjuangan bangsa Papua pun, para aktifis Papua Merdeka tidak pernah menerapkan tindakan teror kepada warga sipil. Yang ada adalah gerakan perjuangan pembebasan nasional Papua dengan menempuh cara-cara damai dan tentang hal ini ditetapkan dalam Kongres Bangsa Papua pada tahun 2000. Aktifis Papua merdeka tidak pernah menggunakan bom untuk menarik simpati internasional atau menakuti warga sipil.
Aksi perlawanan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) dirimba raya Papua yang seringkali kontak senjata dengan Polisi dan militer Indonesia adalah hal yang biasa dalam perjuangan pembebasan nasional di mana pun di dunia yang pernah berjuang untuk merdeka. Dengan adanya kontak senjata itu, TPN PB menunjukkan eksistensi nasionalisme pembebasan bangsa Papua dan menolak pendudukan pemerintahan Indonesia di Tanah Papua. Sama seperti bangsa Indonesia memerdekakan dirinya dari penjajahan Belanda dengan perlawanan senjata dari Tentara Indonesia, TPN PB sebagai sayap militer melaksanakan fungsinya. Sasaran TPN PB adalah kepada Polisi dan TNI, bukan kepada warga sipil. Wacana selama ini bahwa TPN PB menembak warga sipil adalah tidak benar dan itu hanyalah rekayasa aparat Indonesia untuk membangun mosi tidak percaya kepada masyarakat Internasional. Kalaupun ada, itu dilakukan oleh oknum (pribadi) mungkin karena alasan atau kepentingan tertentu atas permainan pihak tertentu, bukan perintah pimpinan TPN PB. Karena itu sangat tidak masuk akal dan tidak dapat dipertanggung jawabkan jika dari pihak Negara Indonesia dapat beranggapan bahwa TPN PB atau aktifis Papua Merdeka itu identik dengan teroris.
Camkanlah bahwa hukum anti terorisme itu baru saja dilahirkan bersamaan dengan ancaman-ancaman terhadap fasilitas umum dan menakuti warga sipil, seperti pemboman terhadap gedung raksasa di Amerika Serikat yang disebut kantor pusat perekonomian dunia (WTC). Pasca pemboman gedung pencakar langit itu, Amerika Serikat menyerukan perang terhadap terorisme. Disaat yang sama pula Indonesia mendevinisikan terorisme sesuai kehendaknya hanya sebagai tameng untuk kepentingan menjaga teritorial NKRI dan ancaman keamanan serta ketertibaan umum.
Berikut ini saya mengutip devinisi teroris menurut satuan Densus 88 yang dimuat dalam pidato ibu Sidney Jones; ada dua macam kategori terorisme, yaitu pertama, orang Islam radikal; kedua, orang separatis / nasionalis etno (www.crisisgroup.org/en/publication-type/speeches/2013/jones-papuan-separatists.aspx).
Devinisi teroris kategori kedua ini sangat aneh dan memalukan. Dengan adanya devinisi kategori ke dua ini dapat melegitimasi Densus 88 dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sedang berusaha untuk menumpas aktifis Papua merdeka yang sudah berjuang lama sebelum devinisi teroris itu dilahirkan. Ironis memang, tapi nyata bahwa langkah ini ditempuh RI setelah metode-metode lain yang diterapkan selama ini gagal menumpas gerakan pembebasan bangsa Papua. Tetapi apakah upaya RI untuk menerapkan hukum anti terorisme di Papua akan berhasil?
Sesungguhnya Negara Indonesia mengintropeksi diri sebelum menerapkan hukum anti terorisme di Papua. Jika itu diterapkan di Papua, maka tindakan itu hanyalah menuai kritik dan memalukan nama Indonesia dikancah masyarakat Internasional. Mengapa saya katakan demikian? Masyarakat internasional telah tahu dan paham bahwa perjuangan bangsa Papua itu bukan mengacaukan keamanan, bukan makar/ separatis, bukan teroris yang menakuti warga sipil, tetapi perjuangan bangsa Papua adalah untuk memulihkan kembali kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang dianeksasi secara sepihak ke dalam NKRI pada tahun 1960 – an.
Masyarakat Internasional sudah tahu bahwa sarang teroris itu hanya ada di wilayah-wilayah Indonesia tertentu dibagian barat dan tengah yang berpenganut Islam Radikal yakni jihad.
III. TANGGAPAN MASYARAKAT INTERNASIONAL ATAS STIGMATISASI.
Taktik politik stigmatisasi Negara Indonesia kepada aktifis Papua merdeka melahirkan berbagai kontro versi dikalangan masyarakat Internasional. Secara umum ada tiga sikap muncul menyikapi stigmatisasi itu, yakni: ada orang yang pro stigmatisasi artinya mendukung stigmatisasi RI, dan ada juga orang yang kontra stigmatisasi artinya menolak stigmatisasi RI. Dan ada orang yang mengambil sikap netral (tidak juga pro, tidak juga kontra). Selain itu ada pula masyarakat internasional yang sangat tidak tahu (buta) dengan penindasan yang terjadi di Tanah Papua oleh Negara Indonesia.
Mengambil sikap pro dan kontra serta sikap netral untuk menyikapi suatu hal dalam dinamika kehidupan umat manusia di dunia adalah wajar dan biasa. Masing-masing sikap dan tindakan: pro, kontra, dan netral yang ditampilkan itu tentu memiliki latar-belakang pemahaman atas masalah dan gerakan perjuangan bangsa Papua yang berbeda-beda.
Ada orang yang mendukung stigmatisasi kepada aktifis Papua merdeka karena memang watak dan karakternya anti penegakkan kebenaran, keadilan, kejujuran, kedamaian, kebebasan, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. Ada pula orang mendukung stigmatisasi RI kepada aktifis Papua merdeka, walaupun ia tidak memahami baik latar belakang berbagai masalah di Tanah Papua, tetapi karena dipengaruhi oleh Negara Indonesia melalui berbagai kampanye dan lobi dalam forum-forum resmi dan non resmi di negara-negara dan dalam forum PBB.
Mereka yang berhasil dipengaruhi oleh RI, tentu memainkan peran ganda, di lain sisi mereka mempengaruhi masyarakat dan negara asalnya untuk tidak mendukung perjuangan penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua dan lain sisi mereka mempengaruhi masyarakat Internasional di negara-negara di dunia melalui jaringan kerja atau media cetak atau elektonik untuk tidak mendukung perjuangan bangsa Papua untuk berdaulat penuh. Ada pula pendukung stigmatisasi tertentu memberikan dukungan penuh kepada Negara Indonesia untuk menumpas gerakan pembebasan Nasional Papua Barat.
Bagi masyarakat Intenasional tertentu yang mendukung stigmatisasi kepada aktifis Papua merdeka oleh Negara Indonesia yang dilegalkan melalui produk hukum Indonesia, mereka itu secara sadar atau tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung telah mendukung penuh upaya sistematis dan terencana yang dipraktekkan oleh Indonesia untuk memarginalisasi, mendiskriminasi, membuat ketidak-adilan, membuat orang Papua menjadi minoritas di Tanah Papua, dan etnis Papua menjadi punah secara perlahan tetapi pasti (slow motion genocide).
Sedangkan bagi masyarakat Internasional yang kontra stigmatisasi (menolak stigmatisasi) kepada para aktifis Papua merdeka adalah mereka yang memahami baik tentang akar permasalahan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat pribumi bangsa Papua serta memahami baik tentang nilai-nilai universal dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB serta menegakkannya. Mereka bukan hanya menolak stigmatisasi tanpa tindakan, tetapi diantara mereka, ada pula yang mengorbankan tenaga, waktu, moril dan materilnya untuk mendukung perjuangan rakyat bangsa Papua. Mereka ini masuk dalam kategori sayap keempat, yakni sayap simpatisan. Mereka memperkuat tiga sayap perjuangan Papua, yakni sayap sipil, militer dan diplomat.
Para simpatisan melakukan berbagai bentuk aktifitas untuk menaikan publikasi internasional dan mendesak pemerintahan asalnya serta PBB, juga Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah kongkrit guna menyelesaikan masalah-masalah di Papua Barat. Keterpanggilan mereka dalam mendukung perjuangan bangsa Papua adalah murni keterpanggilan kemanusiaan. Tidak ada kepentingan lain, kecuali kepentingan untuk menyelamatkan rakyat bangsa Papua dari diskriminasi, marginalisasi, ketidak-adilan, minoritas dan kepunahan etnis Papua secara perlahan tetapi pasti. Mereka bekerja tanpa pamrih, bekerja tanpa upah. Satu hal yang tidak dapat diambil dari mereka yang menaruh hati bagi penderitaan rakyat pribumi Papua adalah melalui sikap dan tindakan solidaritas itu, mereka menaburkan benih-benih kebaikan dalam kebun kehidupannya masing-masing.
Sementara itu ada pula masyarakat Internasional yang memilih sikap netral. Sikap itu diambil karena ada beberapa pertimbangan, antara lain: 1) Mungkin mereka tidak mau ambil resiko karena setiap sikap pro atau kontra yang diambil tentu ada pengorbanan (pengorbanan berupa materil maupun moril); 2) Mungkin tidak mau ambil pusing karena tidak simpati dengan penindasan yang terjadi di Tanah Papua; 3) mungkin juga tidak mau hubungan kerja sama antara mereka dan RI tidak terganggu, artinya lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dan politik mereka, ketimbang mendukung gerakan Papua yang tidak memberi manfaat secara langsung dalam kehidupan mereka; 4) mungkin juga karena ada alasan lain.
Masyarakat Internasional yang tergolong dalam kategori keempat yang tidak tahu tentang masalah darurat kemanusiaan terselubung di Tanah Papua itu tentu terjadi karena mereka tidak mengikuti dinamika kehidupan masyarakat global melalui media cetak maupun elektonik. Dan ini tentu dilatar belakangi oleh beberapa faktor, antara lain: 1) mungkin karena segala waktu difokuskan pada pekerjaan dan rutinitas harian mereka; 2) Mungkin tidak tersedianya sarana komunikasi, media cetak dan elektronik; 3) mungkin karena ada alasan lain, seperti lanjut usia, cacat fisik, dan lain sebagainya.
Berikut ini saya menampilkan beragam tanggapan masyarakat internasional terhadap stigmatisasi kepada aktifis Papua merdeka oleh Negara Indonesia.
Stigmatisasi: makar, separatis, teroris, dan sebagainya yang telah dilegalisasi dalam suatu produk hukum Indonesia telah menuai kontro versi. Masyarakat Internasional yang kontra stigmatisasi, baik secara individu atau lembaga, seperti Amnesti Internasional, ETAN, HRW, Group-group pendukung di dunia, dan Dewan HAM PBB telah berkali-kali mengecam Pemerintah Indonesia untuk menghentikan stigmatisasi makar, separatis, teroris dll, menghentikan kekerasan dan meminta pemerintah Indonesia menyelesaikan masalah-masalah Papua dengan demokratis dan bermartabat.
Salah satu kampanye yang menguat di masyarakat Internasional adalah terkait penerapan hukum makar di Indonesia. Mereka medesak Negara Indonesia segera mencabut hukum tertentu seperti hukum makar yang melegalkan tindakan sewenang-wenang oleh aparat keamanan dan militer Indonesia terhadap rakyat sipil karena sikap dan tindakan RI itu: 1) Mengabaikan nilai-nilai universal yang dijunjung tinggi oleh umat manusia di dunia, seperti: demokrasi, kebenaran, keadilan, kejujuran, kedamaian, Hak Asasi Manusia dan kebebasan; 2) Melanggar prinsip-prinsip Dasar Deklrasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB dan kovenan-kovenan Internasional lainnya, seperti Deklrasi Hak-Hak Dasar Masyarakat Pribumi, Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik; dan Kovenan Internasional tentang hak-hak sosial budaya, ekonomi dan politik.
Salah satu kasus tuduhan makar yang dijerat kepada tuan Filep J. S. Karma di mana beliau dipenjara selama 15 tahun menjadi kasus yang sangat diseriusi oleh masyarakat solidaritas Internasional. Para simpatisan melalui beberapa pengacara hukum Internasional membawa kasus tuan Filep ke arbitrasi Internasional di PBB. Sesuai keterangan dari tuan Filep bahwa gugatan ke arbitrasi internasional itu dimenangkan oleh Filep pada tahun 2011 dengan keputusan: Penahanan Filep J. S. Karma oleh Negara Indonesia adalah penahanan sewenang-wenang (penahanan illegal) maka Pemerintah Indonesia harus segera bebaskan tanpa syarat. Namun, sampai saat ini keputusan itu tidak dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Tuan Filep masih di dalam penjara Abepura.
Selain itu salah satu Pidato yang menuai kontro versi adalah: Separatisme Papua vs Teroris Jihad: Dilema-Dilema Kebijakan Indonesia. Pidato ini disampaikan oleh Ibu Sidney Jones dalam program Kebijakan Internasional di Universitas Stanford Amerika Serikat pada tanggal 05/12/2012 dan diperbaiki pada 22/01/2013 serta dipublikasikan lewat internet: http://www.crisisgroup.org/en/publication-type/speeches/2013/jones-papuan-separatists.aspx
Dalam pidato ibu Jones itu membandingkan dua gerakan di Indonesia: pertama gerakan Papua, yang beliau sebut: Separatis Papua; dan kedua, gerakan jihad teroris. Jones mengatakan: kedua gerakan yakni Jihad teroris dan gerakan orang Papua yang sedang berjuang untuk merdeka membuat tindakan jahat yang mirip, walaupun mereka selalu dituduh dengan pandapat berbeda. Dalam pidato itu ia berusaha menggali informasi dari berbagai sumber untuk berusaha menyamakan aktifitas Pejuang Papua ke dalam ranah teroris.
Berikut ini kutipan pidato dari ibu Jones: Setahu saya, hingga sekarang belum ada upaya sistemnya untuk mempromosikan kelepasan dari ikatan kekerasaan di Papua, walaupun mungkin KAPOLDA akan baru memulai suatu program seperti itu nanti.
Pernyataan ibu Jones di atas, secara terselubung beliau mendukung upaya tudingan teroris yang diungkapkan oleh Kapolda baru, Tito Karniavan kepada aktifis KNPB. Sebaiknya Ibu Jones tidak secara langsung menuduh gerakan Papua semirip teroris.
Ibu Jones tidak tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan kekerasan di Tanah Papua. Berikut ini tanggapan Ed McWilliams: Khususnya di Papua Barat di mana rivalitas polisi militer tentang akses pada sumber alam dan pemerasan sangat terkenal. Sebaiknya Jones tahu pula bahwa militer, polisi dan aparat-aparat inteligen Indonesia sudah lama sekali berperan sebagai pelaku yang menimbulkan dan merekayasa tindakan kekerasaan untuk mencapai tujuan-tujuan terselubung, demikian komentarnya.
Pernyataan ibu Jones seolah-olah pihak TNI dan POLRI tidak melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap orang asli Papua, padahal justru TNI dan POLRI menjadi dalang dan pemicu kekerasan yang berkepanjangan di Tanah Papua hanya demi mencapai kepentingan politik dan ekonomi semata. Untuk mencapai kepentingan-kepentingan itu, berbagai skenario secara teratur, rapih dan sistematis dimainkan oleh kaki tangan RI di Tanah Papua, seperti yang terjadi dalam demonstrasi damai pada tanggal 16 Maret 2006 di Abepura yang berakhir bentrok dengan aparat polisi.
Kasus ini murni didalangi dan dimainkan oleh aparat polisi dan intelijen Indonesia bekerja sama dengan pihak tertentu yang menjadi mitra kerja mereka. Di pihak polisi kasus ini mengakibatkan tiga brimob dan satu militer TNI angkatan udara tewas serta beberapa polisi mengalami luka berat dan ringan. Dan di pihak warga sipil, beberapa orang mengalami luka tembak, selanjutnya polisi/brimob menggelar penyisiran brutal di Abepura dan sekitarnya. Akibat penyisiran membabi buta oleh polisi itu mengalami: pengrusakan fasilitas dibeberapa asrama mahasiswa, teror intimidasi terhadap warga sipil, penangkapan sewenang-wenang, disertai penyiksaan brutal akibatnya banyak orang mengalami luka berat dan ringan.
Tragedi kelabu 16 Maret 2006 itu adalah skenario tingkat tinggi yang dikemas secara teratur dan rapih oleh pihak aparat dan intelijen Indonesia hanya untuk mencapai empat kepentingan, yakni: 1) Untuk meredam demonstrasi damai yang meluas dan menggema di negara-negara dunia dengan tuntutan sentral: tutup PT Freeport Indonesia di Timika- Papua, dan AS, RI dan Papua mengadakan dialog atau perundingan; 2) Bagi pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung untuk meredam demonstrasi itu mendapatkan imbalan atau balas jasa, antara lain berupa uang; 3) Untuk menaikan pangkat dan jabatan bagi aparat Indonesia yang terlibat dalam meredam demonstrasi damai yang meluas dan menggema itu; 4) Untuk membangun mosi tidak percaya dan mendegragasikan perjuangan pembebasan bangsa Papua.
Pasca tragedi itu, untuk mengelabui publik Internasional, aparat polisi dengan sewenang-wenang menangkap seratus lebih orang Papua yang mayoritasnya adalah mahasiswa. Dan hanya 24 orang saja dipenjara di Abepura dengan hukuman berat paling tinggi 15 tahun. Mereka itu sebenarnya bukan pelaku pembunuhan brimob dan militer dalam tragedi 16 Maret 2006 itu. Tetapi demi melindungi dan menyembunyikan permainan aparat Indonesia, 24 orang itu divonis bersalah dan dipenjara.
Jones sebagai senior aktifis HAM sudah tahu bahwa selama ini Negara Indonesia tidak memberikan akses bagi wartawan asing dan pekerja kemanusiaan asing masuk ke Papua Barat untuk melihat dan mendengar langsung penderitaan dan harapan hidup orang asli Papua. Ibu Jones mestinya bertanya: Kenapa tidak memberikan akses bagi wartawan asing dan pekerja kemanusiaan asing masuk ke Papua Barat, seperti tidak memberi ijin bagi pelapor khusus PBB yang membidangi kebebasan berekspresi untuk datang ke Papua Barat dan Ambon pada bulan Januari 2013? Jawabannya: Negara Indonesia takut terbongkar segala bentuk penindasan terhadap orang asli Papua dan orang Ambon-Maluku.
Nampaknya ibu Jones belum memahami baik tentang latar belakang sejarah bangsa Papua yakni distorsi sejarah yang menjadi akar permasalahan di Papua Barat. Ibu Jones juga belum melihat secara langsung bagaimana orang Papua hidup dalam tekanan, intimidasi dan teror dari TNI dan POLRI, ia pun belum melihat secara langsung bagaimana orang asli Papua semakin dimarginalisasi, semakin didiskriminasi, menjadi minoritas, mengalami ketidak-adilan, dibantai oleh TNI dan POLRI melalui operasi militer terbuka maupun tertutup; akibat dari penindasan RI dan para sekutunya itu, orang asli Papua saat ini sedang menuju kepunahan etnis secara perlahan, tetapi pasti. Karena ibu Jones belum melihat langsung dan belum mengalami betapa pahitnya penindasan RI kepada orang asli Papua, maka itu dalam pidatonya ia berusaha memojokkan perjuangan bangsa Papua untuk penentuan nasib sendiri dan berusaha menyamakan gerakan pembebasan bangsa Papua dengan gerakan jihad teroris di Indonesia.
Dalam pidatonya, ibu Jones tidak mengangkat segala bentuk pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara Indonesia kepada rakyat pribumi Papua sejak tahun 1962 sampai saat ini. Dari isi pidatonya, kami tahu bahwa ibu Jones berusaha menyembunyikan segala bentuk penindasan RI dan berusaha membangun mosi tidak percaya terhadap perjuangan rakyat bangsa Papua. Ibu Jones sebagai senior dalam bidang HAM semestinya dengan jujur mengungkapkan fakta-fakta penindasan dari Negara Indonesia dan para sekutunya yang dialami oleh orang asli Papua. Dengan demikian saya menilai bahwa dalam pidato itu ibu Jones memposisikan diri bukan sebagai aktifis HAM, bukan juga sebagai ilmuwan, tetapi memposisikan diri sebagai mitra kerja dari Negara Indonesia dan secara tidak langsung ibu Jones mendukung segala bentuk penindasan RI kepada rakyat pribumi Papua Barat.
Pidato yang dibuat Jones ini tergolong seruan atau memotifasi kepada Negara Indonesia untuk meningkatkan penumpasan aktifis Papua merdeka, yaitu dari penerapan hukum makar /separatis ditingkatkan ke penerapan hukum anti terorisme, dan dengan demikian membunuh penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua. Pidato itu ditanggapi juga oleh Ed McWilliams, berikut ini kutipan tanggapannya: Seruan Jones untuk Indonesia mendefinisikan seperatisme sebagai terorisme akan mengeraskan usaha menargetkan suara para aktifis/kelompok yang menyampaikan dengan damai tidak disetujui dan sekaligus meningkatkan intimidasi terhadap orang Papua secara umum, demikian komentarnya.
Dalam pidato itu ada sisi lain yang penting dihargai. Saya selaku tahanan politik Papua yang saat ini berada dalam Penjara Abepura, saya memberikan apresiasi kepada ibu Jones karena melalui pidato itu memberikan peringatan dini kepada para aktifis Papua Merdeka untuk menghindari skenario besar secara terselubung yang didorong oleh RI untuk menumpas gerakan pembebasan Papua Barat dengan meningkatkan dari status separatis ke status teroris. Selain itu, di sisi lain pidato ibu Jones juga memberikan masukan bagi Indonesia untuk tidak menggunakan hukum anti terorisme. Berikut ini komentar ibu Jones: Salah satu solusinya adalah untuk tidak menerapkan hukum anti-terorisme di Papua, dan juga untuk berhenti menggunakan hukum itu terhadap para jihad yang membuat kejahatan yang pada pokoknya tidak merupakan tindakan dengan sengaja yang bertujuan menciptakan ketakutan, yaitu berbagai tindakan yang bisa dihukum dengan menerapkan hukum lain termasuk kode hukum kriminal untuk kejahatanseperti pembunuhan, perampokan dan sergapan, demikian pernyataannya.
IV. DAMPAK STIGMATISASI YANG DILEGALKAN DALAM HUKUM RI.
Berbagai stigmatisasi oleh RI kepada aktifis Papua merdeka yang dilegalkan dalam produk hukum Indonesia telah melemahkan perjuangan bangsa Papua, namun pada saat yang sama pula mengobarkan semangat perjuangan Pembebasan Papua Barat dan meningkatkan dukungan solidaritas masyarakat Internasional.
Stigmatisasi yang dilegalisasi melalui produk hukum seperti hukum makar itu di lain sisi dapat membunuh psikologis orang asli Papua untuk berjuang, berusaha membungkam suara kebebasan, berupaya mendegradasikan gerakan perlawanan dan menumpas aktifis Papua merdeka, banyak orang Papua dibunuh, banyak orang Papua menderita, banyak materi korban, banyak orang Papua mengungsi ke negara-negara lain, penangkapan sewenang-wenang, pemenjaraan, membangun mosi tidak percaya kepada masyarakat internasional agar menurunkan dukungan mereka atas Papua, tetapi pada sisi lain menumbuhkan nasionalisme kebangsaan Papua, membangkitkan keberanian untuk memperjuangkan pembebasan Papua dan meningkatkan simpati masyarakat internasional. Negara Indonesia berpikir bahwa dengan melakukan tindakan sewenang-wenang, orang asli Papua akan berhenti berjuang, namun anggapan ini tidak berhasil dan Negara Indonesia telah gagal total meng-indonesia-kan orang asli Papua.
Dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa di dunia yang sudah berdaulat penuh (merdeka), yang namanya ideologi pembebasan nasional itu tidak pernah musnah. Ideologi itu mengalir dalam darah nadi dari generasi ke generasi. Sepanjang generasi penerus ideologi itu masih ada, maka selama itu pula ideologi pembebasan nasional itu tetap mengalir dalam darah nadi setiap generasi penerus. Karena itu istilah para penguasa Negara mana pun untuk menumpas ideologi sampai ke akar-akarnya tidak pernah berhasil. Ideologi itu akan musnah, apabila tidak ada generasi yang dapat meneruskan ideologi para pendahulunya.
Demikian pula perjuangan bangsa Papua untuk berdaulat penuh (merdeka). Sepanjang masih ada penerus ideologi pembebasan nasional Papua, maka selama itu pula ideologi Papua merdeka terus mengalir dalam darah nadi orang asli Papua. Ideologi Pembebasan Nasional itu musnah, apabila etnis Papua musnah dari muka bumi ini. Negara Indonesia melalui sistemnya dapat membunuh orang Papua satu persatu melalui berbagai operasi terbuka dan tertutup, tetapi RI tidak akan pernah membunuh ideologi Pembebasan Nasional Papua Barat. Negara Indonesia melalui TNI dan POLRI menangkap dan memenjara orang asli Papua satu persatu, tetapi RI tidak akan pernah memenjara semangat nasionalisme. Negara Indonesia dapat memaksa menerapkan Paket Politik Undang-undang Otonomi Khusus di Tanah Papua sebagai tawaran untuk tetap berada dalam NKRI, tetapi Otonomi Khusus itu tidak akan pernah menawarkan hati dan tidak melemahkan orang asli Papua untuk berjuang kebebasan total. Berbagai operasi militer ditempuh untuk meredam perjuangan bangsa Papua, tetapi moncong senjata polisi dan militer Indonesia tidak pernah meredam suara kebebasan bangsa Papua.
Dari sejak tahun 1962 sampai tahun 1998 rakyat bangsa Papua berada dibawah kekuasaan tangan besi (rejim Soekarno di jaman orde lama dan rejim Soeharto di jaman orde baru) dilarang untuk melakukan aktifitas Papua Merdeka apa pun; mengucapkan kata Papua saja ditumpas dengan tangan besi. Tetapi di era itu pun nasionalisme kebebasan nasional Papua tumbuh subur, apalagi mulai era reformasi sejak tahun 1998 bersamaan dengan penggulingan resim tangan besi (alm Soeharto), nasionalisme kebebasan Papua yang disumbat, krans itu terbuka dan kini nasionalisme kebebasan itu telah mengalir ke berbagai penjuru dunia. Nasionalisme kebebasan Bangsa Papua itu tumbuh subur di atas air mata darah, nasionalisme itu terbangun kokoh di atas tulang belulang para pejuang pendahulu Bangsa Papua, dan jalan setapak menuju kebebasan nasional Papua Barat yang dirintis para pejuang pendahulu itu, kini makin meluas dan semakin hari semakin permanen.
V. KIAT-KIAT MENGHADAPI STIGMATISASI.
Tidak ada cara lain untuk menghadapi stigmatisasi RI yang dilegalkan dalam produk hukum jikalau orang asli Papua tidak menempuh dengan jalan perlawanan apa pun resiko. Apa pun jenis stigma yang dilabelkan pada orang Papua, apa pun hukum yang mengekang kebebasan berekspresi, apa pun tindakan sewenang-wenang yang membatasi kebebasan berpendapat orang asli Papua, apa pun produk hukum yang melarang kebebasan berorganisasi dan berkumpul, apa pun hukum yang melegalkan untuk menumpas perjuangan penentuan nasib sendiri bangsa Papua, saya katakan tidak ada jalan lain, kecuali orang asli Papua tempuh melalui jalan perlawanan. Ingat: jangan sampai orang asli Papua lupa bahwa dalam kongres bangsa Papua kedua pada tahun 2000 rakyat pribumi Papua telah memutuskan bahwa mengawal perjuangan kebebasan bangsa Papua dengan JALAN DAMAI (non violent).
Camkanlah bahwa tidak ada kata menyerah dan tidak ada kata tunduk kepada rejim penjajah mana pun dalam kamus revolusi pembebasan nasional. Slogan yang terukir dalam kamus revolusi pembebasan bangsa adalah: maju pantang mundur, maju tak gentar untuk menghalau rejim penjajah guna menegakkan keadilan, kebenaran, kejujuran, demokrasi, Hak Asasi Manusia dan menciptakan damai sejahtera di bumi seperti di Surga.
Ada banyak cara perlawanan yang kita dapat tempuh sesuai dengan jalan yang kita pilih melalui jalan damai, selain itu kita juga menghargai jalan yang ditempuh oleh sayap militer (TPN PB). Karena pilihan utama jalan politik kita melalui jalan damai, maka itu kita harus memanfaatkan dan memaksimalkan kekuatan-kekuatan yang ada pada kita.
Kekuatan utama kitaadalah berada pada kedaulatan rakyat bangsa Papua. Kekuatan itu kita belum bangkitkan secara menyeluruh di bawah satu komando untuk satu tujuan, di bawah satu wadah politik yang menjadi kendaraan politik bersama, dan dibawah satu konsep ideologi perjuangan serta agenda-agenda strategis dan program kerja bersama. Melalui kendaraan politik bersama dibawah satu kepemimpinan politik sentral dapat mengkoordinasikan ketiga sayap yang ada, yakni sayap sipil, sayap militer, sayap diplomat; dan juga mengembangkan jaringan solidaritas atau kata lain mitra kerja dengan para simpatisan solidaritas masyarakat internasional sebagai sayap keempat.
Melalui organisasi yang tertata rapi dan jaringan solidaritas yang ada, kita meningkatkan kerja-kerja politik untuk memutuskan mata rantai penindasan RI dan para sekutunya melalui dua solusi final, yakni pilihan pertama dan terutama adalah pengakuan kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua secara de jure; dan pilihan kedua adalah refrendum ulang.
Posisi tawar tertinggi bangsa Papua berada pada hasil Kongres Bangsa Papua ketiga. Kenapa saya katakan demikian? Saya hanya melihat dari sisi kekuatan demokrasi, kekuatan politik dan kekuatan hukum yang lahir dalam Kongres Bangsa Papua ketiga. Rakyat bangsa Papua yang datang mensukseskan kongres itu adalah kekuatan demokrasi. Kongres itu adalah sarana untuk berkumpul, berdiskusi, menyampaikan pendapat dan menyepakati serta memutuskan apa yang dikehendaki bersama; itulah kekuatan demokrasi. Dan apa saja yang dilahirkan dalam Kongres Bangsa Papua ketiga sebagai forum demokrasi tertinggi bangsa Papua itulah kekuatan politik dan kekuatan hukum. Maka itu mari kita kompromi politik internal bangsa Papua untuk bersatu dalam satu konsep ideologi perjuangan, agenda strategis-program kerja bersama, bersatu dalam satu organisasi sentral yang menjadi kendaraan politik bersama, dan bersatu dalam kepemimpinan sentral yang diterima dan diakui bersama agar kita menjadi kuat menuju mekanisme internasional. Ketika kita bersatu, maka kita akan kuat untuk menuju kemenangan akhir.
Sesungguhnya Negara Indonesia secara politik sudah kalah, karena dalam Kongres Bangsa Papua ketiga kita sudah tutup dengan JOKER yaitu Deklarasi pemulihan kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua dan berdirinya Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) pada tanggal 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus Padang Bulan – Abepura – Jayapura – Papua Barat. Kekuatan demokrasi, politik dan hukum telah terpenuhi dalam hasil Kongres Bangsa Papua ketiga, maka itu sekarang mari kita kompromi politik internal bangsa Papua dan mengawal itu untuk mendapatkan pengakuan secara de jure dan peralihan kekuasan adminitrasi pemerintahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB). Ini hanyalah bersifat tawaran saja, saya tidak memaksa siapa pun; dan pada prinsipnya saya menghormati posisi Anda masing-masing dan menghargai semua upaya yang ditempuh oleh semua komponen bangsa Papua untuk memutuskan mata rantai penindasan RI dan para sekutunya. Jika kita tidak kompromi politik internal bangsa Papua, maka silahkan kita mencari jalan lain yang terbaik, yang dikehendaki oleh semua komponen bangsa Papua.
Camkanlah bahwa banyak orang asli Papua menderita, banyak orang Papua dibantai, dimarginalisasi, orang Papua menjadi minoritas, didiskriminasi, banyak orang Papua mengungsi ke negara lain, banyak orang Papua ditangkap dan dipenjara, jadi jangan kita bertahan pada posisi masing-masing yang mengakibatkan menunda kemerdekaan kedaulatan penuh bagi bangsa Papua di negeri Papua Barat dan akhirnya memperpanjang penindasan oleh RI dan para sekutunya kepada orang asli Papua Barat.
Terkait dengan tudingan teroris, kita tidak perlu takut, tetapi kita waspada dan menghindari tindakan-tindakan tertentu yang melegitimasi RI untuk meningkatkan operasi dari status separatis menjadi status teroris. Untuk itu kita tingkatkan kampanye dan lobi melalui jaringan yang ada untuk meyakinkan kepada masyarakat Internasional bahwa tudingan teroris kepada aktifis Papua merdeka itu adalah upaya NKRI untuk meredam perjuangan luhur bangsa Papua. Perlu kita tahu bahwa cara-cara lain untuk menghadapi perjuangan bangsa Papua sudah gagal total seperti penerapan hukum makar, maka kini Negara Indonesia sedang berancang-ancang meningkatkan penerapan hukum anti terorisme di Tanah Papua.
Selama ini RI menggunakan slogan: Perang Melawan Separatis Papua, dan ternyata itu sudah gagal total, maka RI hendak mau ganti dengan slogan: Perang Melawan Teroris Papua. Tetapi kasihan, upaya RI bagaikan menyaring angin, pasti akan gagal total sampai Negara Indonesia akan angkat kaki dari tanah Papua dengan kepala tertunduk malu, sama seperti Negara Indonesia mengangkat kaki dari Tanah Timor Timur pasca kemenangan refrendum bagi rakyat Timor Timur, di mana pada saat itu polisi dan militer Indonesia dipukul mundur oleh pasukan PBB yang dipimpin pasukan/tentara elit dari Australia pada tahun 1999. Sebaliknya, jika Negara Indonesia dengan lapang dada mengakui kemerdekaan kedaulatan bangsa dan Negara Papua dengan bermartabat dan selanjutnya mengatur kerja sama di antara dua bangsa dan dua negara yang setara, maka negara Indonesia akan mengangkat kaki dari tanah Papua dengan kepala terangkat dan akan mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya dari masyarakat Internasional; dan saya yakin rencana pemberian Nobel Perdamaian dunia pasca perjanjian damai RI dengan Aceh di Helsingky kepada presiden RI (SBY) yang telah tertunda akan terwujud. Dengan demikian, nama Indonesia menjadi harum dan terhormat di dunia Internasional.
PESAN PENUTUP.
Akhir dari tulisan ini, saya menyampaikan berapa pesan kepada beberapa pihak, antara lain:
1). Kepada Negara Indonesia, saya mengucapkan selamat berjuang mempertahankan Tanah Papua dalam bingkai NKRI dengan cara-cara kotor dan tidak beradab, tetapi saya ingin katakan bahwa segala upaya Negara Indonesia bagaikan menyaring angin ( tidak akan pernah berhasil); karena perjuangan bangsa Papua adalah perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, perjuangan untuk menegakkan jati diri setiap pribadi dan jati diri bangsa Papua sama seperti bangsa-bangsa merdeka lain di dunia, maka itu saya yakin bahwa perjuangan kebenaran dan keadilan bangsa Papua itu akan keluar sebagai pemenang akhir.
2). Kepada siapa pun para simpatisan masyarakat Internasional yang memberi perhatian bagi penderitaan rakyat pribumi Papua, Anda semua adalah bagian dari hidup kami, dan bagian dari sejarah perjuangan Papua Barat. Segala pengorbanan Anda terukir abadi dalam jejak langkah perjalanan bangsa Papua dari generasi ke generasi. Anda semua adalah sahabat dan saudara-saudari kami. Pengorbanan Anda semua adalah bentuk dukungan solidaritas secara nyata untuk menciptakan damai sejahtera di bumi seperti di Surga, khususnya di Tanah Papua. Anda adalah pencinta kebenaran dan keadilan untuk semua; Anda adalah pencinta kedamaian dan kebebasan untuk semua. Tidak ada kata terindah yang kami dapat mengukirkan pengorbanan para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional di mana saja Anda berada, tidak ada barang terindah dan termahal yang dapat membalas kebaikan Anda kepada rakyat pribumi Papua. Hanyalah rasa terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam yang kami ucapkan kepada setiap para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional yang menaruh hati dan yang mendukung kami secara langsung dan tidak langsung bagi pembebasan bangsa Papua dari kemelut penindasan RI dan para sekutunya. Dengan rasa hormat yang amat mendalam dan dari lubuk hati yang paling dalam, kami pesan kepada Anda semua teruslah menaburkan benih-benih kebaikan dalam kebun kehidupan Anda dengan jalan mendukung kami dengan sumbangan moril dan materil menuju penyelesaian status politik dan hukum bagi bangsa Papua di negeri Papua Barat melalui: jalur perundingan; jalur hukum atau jalur dekolonisasi/politik untuk mencapai dua solusi final yaitu pilihan pertama dan terutama adalah pengakuan secara de jure dan atau pilihan kedua: refrendum ulang.
3). Saya mohon Anda dapat menyebarkan artikel ini kepada sesama aktifis Papua Merdeka dan para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional di manca negara melalui email, face book, dan media sosial lainnya agar dapat memahami isinya dan ditindak-lanjuti agar tidak terjebak dalam skenario besar yang dikemas rapi dan sistematis yang sedang dibangun oleh NKRI melalui mesin-mesin pertahanannya dan dengan atas kerja sama para sekutunya diberbagai manca negara untuk mengiring perjuangan bangsa Papua ke ranah teroris, yang akhirnya dapat berdampak buruk pada perjuangan luhur bangsa Papua menjadi musuh dunia dan masuk dalam kotak alias tidak mendapat simpati masyarakat internasional. Kita intropeksi diri dan kita mengawal perjuangan bangsa Papua dengan arif, bijaksana, cerdas, bermartabat dan bertanggung jawab untuk mencapai ke tujuan utama perjuangan kita, yakni kebebasan total.
Sekian dan terima kasih.
Persatuan Tanpa Batas Perjuangan Sampai Menang.
* Ketua Umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat, juga sebagai tahanan politik di Penjara Abepura – Jayapura – Papua Barat
Rezim militer Orde Baru Soeharto menjadikan Papua sebagai daerah kekuasaan militer, terutama Angkatan Darat (AD). Kesan seperti itu sangat terasa karena instansi militer dan para petinggi militer di Kodam dan jajarannya mendominasi ranah politik dan jalannya pemerintahan di Papua. Cengkraman AD atas Papua kian kuat karena adanya dwifungsi ABRI dan dijadikannya Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Dengan semangat berdwifungsi, obsesi utama semua pimpinan militer Indonesia, khususnya di jajaran Kodam Trikora dan di Pemda Papua menghancurkan apa yang mereka sebut gerombolan bersenjata OPM. Obsesi penghancuran OPM itu juga dimotivasi oleh kepetingan ekonomi dan politik. Secara politik petinggi AD, seperti Pangdam, Danrem, dan Dandim adalah juga Ketua Pembina Golkar di wilayahnya. Secara ekonomi, semua perusahaan besar di Papua dikategorikan sebagai objek vital nasional. Artinya perusahaan-perusahaan itu berada di bawah naungan militer untuk keamanannya. Untuk itu, perusahaan-perusahaan harus menyetor sejumlah uang.
Dalam setiap kepala pimpinan dan anggota ABRI, semua orang Papua adalah separatis, kecuali orang itu bisa menunjukkan dirinya bukan separatis. Untuk motivasi ini, OPM yang selalu kecil kekuatannya selalu dikampanyekan sebagai ancaman serius bagi NKRI. Obsesi itu tumbuh dari cara pandang yang melihat gerakan menuntut pengakuan identitas politik Papua sekadar masalah “bom waktu yang ditinggalkan Belanda” atau bush dari hasutan kelompok separatis, bukan merupakan persoalan mendasar yang berkaitan dengan rasa keadilan dan harga diri orang Papua. Maka dari itu untuk mengenyahkan “hantu OPM” itu, kebijakan yang diambil di Papua adalah menghancurkan OPM secara fisik (membunuh) dengan menggelar operasi militer berkesinambungan (DOM) dari tahun ke tahun.
Dr. Benny Giyai seorang rohaniwan dan intelektual Papua mencatat bahwa pengalaman di bawah cengkraman militer itu merupakan pengalaman pahit yang tak akan pernah terlupakan oleh orang-orang Papua. Benny menuliskan bahwa dalam seluruh pengalaman pahit itu, orang Papua merasa diperlakukan bukan sebagai manusia, melainkan hanya sebagai objek, yaitu objek operasi militer.
Sejarah sebagai objek kekerasan itulah yang selalu diingkari oleh Indonesia sampai hari ini. Pihak-pihak militer atau aparat keamanan di Papua sama sekali tidak pernah merasa melakukan kejahatan terhadap siapa pun di Papua, karena operasi-operasi militer yang mereka lancarkan, atau penangkapan-penangkapan serta penyiksaan atau pembunuhan dengan segala bentuknya di Papua hanyalah dalam rangka menjalankan tugas sebagai pelindung NKRI dari rongrongan organisasi yang disebut sebagai OPM.
Dalam pandangan orang-orang Papua, ABRI yang berpataka “Praja Ghupta Kra” (Ksatria Pelindung Masyarakat) adalah alih-alih menjadi pelindung, malah menjadi seperti pagar makan tanaman. Operasi-operasi militer mendatangkan kesengsaraan lahir dan batin bagi orang-orang Papua. Pandangan orang Papua itu masih bertahan sampai saat ini sehingga mendorong mereka menuntut merdeka karena rendahnya kepercayaan terhadap TNI/POLRI dan instansi pemerintah yang ada di Papua.
Dengan latar sejarah dan posisi politik seperti itu, militer di Papua merasa dan melihat dirinya sebagai satu-satunya institusi yang menjaga keutuhan Indonesia di Papua. Militer di Papua selalu bertindak represif terhadap segala bentuk gerakan atau opini yang mempertanyakan atau memprotes keadaan yang dirasakan kurang adil oleh tokoh-tokoh dan mahasiswa Papua. Dalam menjaga keutuhan NKRI, militer Indonesia di Papua sangat mudah memvonis seluruh bentuk protes orang Papua sebagai gerakan separatis.
Ketika cap separatis sudah dialamatkan oleh militer kepada seseorang di Papua maka orang itu akan bisa menjadi korban dalam sekejap. Seperti penangkapan terhadap tokoh-tokoh dan mahasiswa Papua. Baik menjadi korban penculikan, penyiksaan, bahkan pembunuhan. Aksi kekerasan itu berlangsung bertahun-tahun, dengan ribuan korban jiwa. Para korban dan keluarganya inilah bersama-sama dengan kalangan mudah dan mahasiswa serta tokoh-tokoh terpelajar Papua di era reformasi menyuarakan perlunya Indonesia mempertanggungjawabkan seluruh kekerasan itu. Untuk meminta pertanggung-jawaban itu, wacana Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi wacana yang paling dominan di dalam dan luar Papua.
Sejumlah rangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di bumi Cendrawasih merupakan luka bagi OPM dan Rakyat Papua. Hal ini, yang kemudian membangkitkan semangat OPM untuk mempertahankan harga dan jati diri sebagai kulit hitam dan rambut keriting. Sehingga dengan tidak ragu-ragu OPM tampil ke permukaan secara terbuka untuk melakukan perlawanan. Salah satu aksi yang terjadi adalah dengan menembak mati 8 prajurit TNI, (21/02) di Tinggi nambut Puncak Jaya (Sumber : MetroTV). Sungguh ironis, Indonesia sebagai negara hukum dan menjunjung tinggi HAM malah menimbulkan berbagai konflik yang tak kunjung selesai. Dari tahun ke tahun TNI/PILRI Vs OPM kian menjadi-jadi. Menggores luka lara bagi rakyat hitam. Kapan Bumi Hitam akan menjadi Zona Damai untuk Rakyat hitam ?
Jayapura — Setelah melakukan klarifikasi pemberitaan di media mengenai penyerahan diri Daniel Kogoya, Kepala Staf Umum TPN-OPM, Teryanus Sato menilai jurnalis Indonesia di Papua ikut memainkan propaganda politik kolonial Indonesia. Propaganda itu terlihat dari pemberitaan media tentang infomasi yang tidak benar dan tidak jelas.
“TPN-OPM Markas Pusat menegaskan bahwa semua jurnalis yang pernah muat berita tentang Daniel Kogoya menyerah kepada NKRI atau Dany Kogoya cs insaf, segera memberitakan kembali bahwa Daniel Kogoya ini Kepala Staf dari Komando Pertahanan mana? Mengapa? Karena semua wartawan yang telah menulis artikel tentang Daniel Kogoya belum menyebutkan Keasatuan dan Kepala Staf dibawah Komando siapa,”
tulis Teryanus Satto dalam releasenya yang dikirim kepada tabloidjubi.com, Kamis (31/1).
TPN-OPM, menurut Sato akan menilai oknum wartawan tertentu ikut memainkan propaganda politik.
“Jika semua wartawan belum memberitakan dua hal ini kepada publik melalui media, maka TPN-OPM menilai bahwa wartwan-wartawan Indonesia di Papua ikut bermain dalam propaganda media yang tidak sehat dan primitif. Sebab propaganda murahan seperti ini mengerdilkan jiwa dan semangat wartawan itu sendiri.”
Selain media, TPN-OPM menurut Sato juga meminta kejelasan status Daniel Kogoya.
“Pemerintah Prov Papua, Pangdam dan Kapolda pun harus segera memberikan keterangan pers atas status Daniel Kogoya yang benar. Jika tidak ada keterangan Pers, maka propaganda murahan yang diskenariokan oleh Pangdam dan Kapolda telah nyata,”
Upacara Pembukaan KTT TPN-OPM di Biak (www.wpnla.net/mawel)
Jayapura — Kepala Staf Umum, TPN-OPM, Mayjen Terianus Satto mengklarifikasi pemberitaan media mengenai penyerahan Daniel Kogoya kepada NKRI beberapa waktu lalu. Sato mengatakan pemberitaan itu hanyalah propaganda TNI bersama media Indonesia di Papua. Karena Danny Kogoya kini berada di LP Abepura untuk menjalani proses hukum kasus Nafri satu dan dua. Nama Daniel Kogoya itupun tidak ada dalam struktur TPN-OPM.
Teriyanus Satto menyampaikan klarifikasi itu melalui press releasenya kepada tabloidjubi.com, Kamis (31/1). Klarifikasi pertama dalam press release bertanggal 29 Januari 2013 itu, mengenai nama diri dan kesatuan Daniel Kogoya.
“Jika Daniel Kogoya ini benar TPN-OPM, maka TNI-POLRI dan wartawan harus memberikan data yang lengkap. Artinya, bahwa Daniel Kogoya ini dari Kesatuan mana dalam organisasi OPM-TPN,”
tegasnya dalam release.
Menurut Satto, dalam Organisasi TPN-OPM secara struktural nama Daniel Yudas Kogoya hanya seorang, yaitu Komandan Kompi Batalyon Mapenduma dari Kodap III Kali Kopi Timika, dibawah Komando Kelly Kwalik. Sedangkan Danny Kogoya juga hanya seorang, dalam organisasi TPN-OPM. Danny Kogoya memang benar Anggota TPN-OPM dibawah Komando Lambert Pekikir, sebagaimana disampaikan oleh Lambert Pekikir melalui Bintang Papua edisi 6 Desember 2012. Source:http://www.bintangpapua.com/headline/29379-lambert-tak-mau-persulit-dany-kogoya
Kalau tidak ada kejelasan dalam pemberitaan, menurut Satto, penyerahan itu hanyalah sekelompok orang yang diberdayakan demi kepentingan kelompok tertentu. Lebih dari itu, menurut Sato, itu merupakan propaganda pemerintah Indonesia melalui media. Propaganda itu tidak akan pernah mempegaruhi sikap TPN-OPM sejati.
“TPN-OPM sejati belum pernah menyerah kepada pemerintah kolonial Republik Indonesia,”
tegasnya.
Klarifikasi kedua mengenai dugaan jaringan dari kelompok Danny Kogoya. Penyerahan itu, menurut Satto, diduga dilakukan anggota jaringan Danny Kogoya yang kini berada di LP Abepura. Namun Kogoya membatahnya.
“TPN-OPM mengarahkan pelurunya kepada Danny Kogoya dan menduga bahwa yang menyerah itu adalah anggota jaringannya. Namun ternyata KNPB News melangsir berita pada tanggal 27 Januari 2013 bahwa Danny Kogoya mengaku belum pernah mengeluarkan pernyataan menyerah kepada NKRI dan Danny Kogoya mengaku dia belum menyerah dan sedang menjalani hukuman (http://knpbnews.com/blog/archives/1375) “Indonesia merekayasa Penyerahan 810 anggota OPM Gadungan”,”
tulis Sato dalam releasenya.
Klarifikasi Ketiga, pemberitaan media cetak beberapa waktu lalu itu benar-benar propaganda murni. Sebelumnya, tulis Sato, Cenderawasih Pos per November 2012 melansir berita bahwa Danny Kogoya merasa menyesal atas perbuatannya dan ingin kembali bergabung kepada Pemerintah NKRI dan membangun Papua bersama Pemerintah Indonesia.” Menurut Satto, pemberitaan-pemberitaan ini menunjukan bahwa telah dan sedang terjadi suatu propaganda media atas kepentingan pihak-pihak tertentu, yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
“TPN-OPM memberitahukan kepada publik dan Aparatur Pemerintah Indonesia serta Aparat Keamanan Indonesia dan juga kepada semua Jurnalis bahwa dalam struktur TPN-OPM, nama Daniel Kogoya ini tidak ada. Jabatan Kepala Staf yang telah dikatakannya itu pun TPN-OPM belum tahu,”
Jayapura – Forum Kerja sama (Foker) LSM Papua memprediksi tahun 2014 mendatang, produk hukum ataupun gagasan-gagasan untuk kemajuan pembangunan di Bumi Cenderawasih akan jalan di tempat.
Ketua Starring Comitte Foker LSM Papua, Sefter Manufandu mengatakan, gagasan berupa dialog Jakarta-Papua dan terutama pemberlakukan UU Otsus plus tidak akan terjadi di tanah Papua. Ini dikaitkan dengan 2014, adanya dua agenda penting pemilihan umum, diantaranya pemilihan calon anggota legislatif dan pemilihan presiden.
Pihaknya mengklaim yang hanya diperlukan Papua saat ini adalah kebijakan politik yang baik.
“Ide-ide dan produk hukum, seperti UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua dan juga gagasan tentang dialog Jakarta-Papua yang dicetuskan untuk melahirkan harapan baru, mustahil dapat dilakukan pada tahun mendatang,”
jelasnya kepada wartawan dalam keterangan persnya di Kantor Foker LSM, Senin (30/12).
Khususnya Otsus Plus yang saat ini berada di pintu gerbang, menurut Sefter, sebenarnya itu adalah proyek Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun hingga saat ini, plus yang dimaksudkan belum jelas.
“Papua hanya membutuhkan political will yang baik, untuk mempercepat proses-proses kapasitas tertentu. Hari ini yang lemahnya adalah berkaitan dengan bagaimana jangkauan pelayanan pemerintah yang maksimal. Dari sisi kesehatan, pendidikan maupun ekonomi kerakyatan,”
ujarnya.
Proyek lain yang dilakukan untuk kemajuan di Papua oleh Presiden SBY adalah Keberadaan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), yang mengklaim akan melakukan percepatan di tanah Papua. Namun sepanjang UP4B berjalan di Papua dan Papua Barat sejak 2011 silam, belum juga membawa perubahan yang berarti untuk masyarakat setempat.
“Dari sisi komparatif, Papua memiliki anggaran yang luar biasa dan ststus kewenangan khusus serta jumlah penduduk 1,8 juta. Dari sisi komparatif itu, dibutuhkan political will untuk mempercepat pembangunan Papua. Misalnya masalah kesehatan, dimana-mana terjadi pandangan tentang kesehatan Papua yang sangat buruk sekali. Mungkin ada satu atau dua rumah sakit yang berada di beberapa kabupaten yang dapat menjadi contoh yang baik. Ada juga bupati yang cerdas menjalankan aspek sosial,”
akunya.
Lebih gamblang Foker Papua mendesak Provinsi Papua dan Papua Barat melakukan suatu grand design untuk dapat memproteksi orang asli Papua beserta sumber daya alamnya (SDA), walaupun Papua masuk dalam koridor VI untuk MP3E yakni percepatan pembangunan ekonomi.
Misalnya saja di Teluk Cenderawasih sudah blok migas oleh Repsol, di Fakfak area wilayah Bomberai akan dibangun Minapolitan, didaerah Merauke dan sekitarnya telah ada MIFEE.
“Namun pada kenyataannya pendekatan lebih kepada eksploitasi sumber daya alam dan meminggirkan rakyat pemilik hak ulayat tanah dan menimbulkan aspek bencana sosial yang lain,”
bebernya.
Sementara itu Program Manajer Foker LSM, Abner Mansai menambahkan, perkembangan kehidupan masyarakat di tanah Papua sepanjang 2013, diwarnai dengan berbagai permasalahan, baik politik, HAM, pengelolaan SDA, masyarakat adat, isu Perempuan dan lain sebagainya.
“Hampir sebagian permasalahan ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Permasalahan-permasalahan ini juga sebenarnya merupakan akumulasi dari persoalan yang sama yang dari tahun ke tahun tidak tertangani dengan baik. Sebagai contoh adalah; pelanggaran HAM diberbagai daerah di tanah Papua masih saja terjadi, penyelesaian masalah Papua melalui dialog damai yang terus didorong oleh masyarakat Papua tidak mendapatkan respon positif dari Jakarta, pembabatan dan konversi hutan untuk kepentingan bisnis skala besar seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan masih marak terjadi, eksploitasi Sumber daya alam (SDA) masih terus dilakukan baik legal maupun ilegal bahkan terjadi secara massif,” urainya.
Dari sisi lingkungan hidup, sambungnya, komitmen pemerintah daerah dalam mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim justru terjadi sebaliknya. Ini bisa dilihat dari semakin tingginya ijin investasi diberbagai daerah yang berpotensi merusak hutan, hanya dengan alasan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Disisi lain, perampasan terhadap tanah dan sumber-sumber hidup milik masyarakat adat, juga semakin marak terjadi. Sebagai contoh; perampasan tanah milik masyarakat adat Malind Anim di Merauke untuk kepentingan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), penambangan emas ilegal di Degeuwo (Paniai) belum dilesaikan dengan baik. Pendulangan pasir laut di pulau Panjang Fakfak, eksplorasi minyak dan gas alam di blok Domberai, pencurian kayu dihampir seluruh Tanah Papua, sama sekali tidak terkontrol bahkan seakan-akan dibiarkan begitu saja.
“Dari sisi politik dan pengelolaan pemerintahan daerah, muncul keinginan perubahan terhadap UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua dengan UU Pemerintahan Papua, atau apapun namanya nanti, ternyata menyebabkan pertentangan baru berbagai kalangan antara yang setuju (pro) dan yang tidak setuju (kontra) terhadap keinginan tersebut. Dan mungkin masih banyak lagi permasalahan sosial dimasyarakat yang tidak muncul dipermukaan, atau bahkan terpendam karena tidak menjadi perhatian,”
Buchtar Tabuni di depan Lapas Abepura (JUBI-Aprila)
Jayapura — Gustav Rudolf Kawer, pengacara Buchtar Tabuni mengatakan Buchtar Tabuni adalah korban ketidakadilan. Hal ini diungkapkan kepada tabloidjubi.com hari ini, Sabtu (19/1) di halaman Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Abepura sehubungan dengan berakhirnya masa tahanan Buchtar Tabuni dengan bebas bersyarat.
“Buchtar Tabuni adalah korban dari ketidakadilan untuk kepentingan negara yang lebih besar,”
kata Kawer kepada tabloidjubi.com seusai mendampingi Buchtar Tabuni hingga keluar dari pintu Lapas Abepura.
Menurut Kawer, Buchtar Tabuni tidak harus bebas hari ini. Dia seharusnya bebas dua puluh satu hari lagi dari hari ini karena fakta di persidangan itu, dia tidak terbukti melakukan pengeroyokan.
“Untuk sebuah kasus pengeroyokan seperti yang dituduhkan kepada Buchtar Tabuni, pembuktiannya itu pelakunya harus lebih dari satu orang sedangkan ini pelakunya hanya satu orang yaitu Buchtar Tabuni,”
ungkap Kawer lagi.
Buchtar Tabuni disambut massa Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang dipimpin langsung oleh Victor Yeimo, Ketua KNPB. Massa aksi berjumlah kurang lebih dua ratus orang. Buchtar Tabuni sempat menitikkan air mata saat dirinya disambut dengan iringan lagu Tanah Papua oleh massa yang menyambutnya.
Di tempat yang sama, Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Abepura, Nuridin mengatakan jadi Buchtar Tabuni masih harus melapor setiap satu bulan selama menjalani cuti bersyaratnya. Masa tahanan yang bersangkutan adalah delapan bulan, masih tersisa kurang lebih satu bulan lagi. Nanti yang bersangkutan selesai masa percobaannya setelah melapor di Bapas. Setelah itu, dia akan bebas setelah masa percobaannya dilalui dengan baik.
Bapas singkatan dari Balai Pemasyarakatan. Bapas adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI selain Rutan (Rumah Tahanan Negara) dan LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan).
“Selama menjalankan cuti bersyarat itu, Buchtar Tabuni masih wajib lapor,”
demikian kata Nuridin kepada tabloidjubi.com hari ini, Sabtu (19/1) di halaman Lapas Abepura.(JUBI/Aprila Wayar)