Diaz Gwijangge : Dialog Adalah Solusi Penyelesian Masalah Papua

DiazJayapura Anggota DPR-RI, Diaz Gwijangge menilai jalan terbaik penyelesain sejumlah konflik yang masih melilit Papua adalah dialog. Bagi Diaz, dialog adalah solusi terbaik penyelesaian masalah di wilayah paling timur Indonesia ini.

“Dialog adalah jalan terbaik bagiu negara untuk selesaikan masalah di Papua. Dua belah pihak yang bertikai harus duduk bersama untuk mencari solusi,”

kata Diaz kepada wartawan di Abepura, Rabu (19/12). Menurutnya, melalui jalan dialog kedua belah pihak yang sementara bertikai mengungkap segala persoalan yang dihadapi. Selanjutnya, menyepakati solusi.

Lanjut dia, jika dialog tak dilakukan maka berbagai kasus akan terus terjadi dan menerpa warga sipil serta aparat kemanan yakni TNI/Polri. Karena, tak ada jalan keluar. Hal serupa juga disampaikan koordinator Monitoring dan Investigasi ELSHAM Papua, Daniel Randongkir. Daniel mengatakan, masalah Papua harus diselesaikan melalui dialog.

“Penyelesaian masalah Papua harus melalui jalan dialog,”

tuturnya.

Menurut Daniel, konflik Papua selama ini terjadi secara horizontal tapi juga secara vertikal. Secara horizontal seperti perang warga sipil yang selama ini dikenal dengan perang suku. Perang ini sering terjadi Mimika. Selanjutnya, secara vertikal adalah perang terjadi diantara kelompok-kelompok tertentu dengan negara. Semisal dari TPN-OPM, TNI dan Polri.

“Konflik vertikal ini yang mesti diselesaikan dengan jalan dialog,”

tuturnya. Kata dia, dialog adalah cara efektif.

Melalui siaran pers dari ELSHAM Papua menyatakan, pemerintah Indonesia beserta kelompok-kelompok anti pemerintah diminta agar menempuh dialog sebagai cara untuk mengakhiri konflik dan kekerasan yang terus berlangsung di Tanah Papua. TNI dan Polri harus menghormati prinsip-prisip HAM Universal yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia. (Jubi/Musa)

Wednesday, December 19th, 2012 | 19:55:37, TJ

Penyelesaian Kasus HAM Versi Elsham Papua

Jayapura –– Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua mengemukakan solusi penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di wilayah tertimur ini. Berikut solusi yang dikemukakan lembaga itu.

Solusi tersebut disampaikan oleh koordinator Advokasi ELSHAM Papua, Sem Rumbrar kepada pers di Abepura, Rabu (19/12). Pertama, untuk menyelesaikan kasus HAM maka perlu ada KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).

“Kalau ada lembaga ini, pasti ada pengungkapan kebenaran dari para korban kasus HAM,”

katanya.

Kedua, pengadilan adhoc yang khusus menyidangkan kasus HAM. Melalui persidangan tersebut, negara perlu bertanggung jawab terhadap korban pelanggaran kasus pelanggaran hak asasi manusia. Ketiga, rehabilitasi nama baik para korban.

“Perlu ada rehabilitasi nama baik dari para korban HAM,”

ungkapnya.

Terakhir yakni keempat, perlu pelayanan kesehatan kepada para korban HAM. Sem menambahkan, selain itu, perlu juga ada reformasi restitusi penegak HAM.

“Pengadilan harus fair. Pengungkapan kasus harus prosedural,”

ujarnya. (Jubi/Musa)

Wednesday, December 19th, 2012 | 20:28:30, TJ

Pemerintah Terkesan Lindungi Pelanggar HAM di Papua

JAYAPURA – Sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, dinilai oleh Kontras Papua dan para korban Abepura Berdarah yang tergabung dalam Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) adalah tidak ada tanggungjawab dan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikannya. Malah pemerintah terkesan berupaya melindungi para pelaku dan institusi yang melakukan pelanggaran HAM. Salah satunya kasus pelanggaran berat Abepura berdarah yang terjadi 7 Desember 2000 silam.

Pelaksana Harian BUK Papua, Nehemia Yarinap, mengatakan, kasus pelanggaran HAM di Papua dari tahun 1969 sampai saat ini, begitu banyak tertumpuk tanpa diproses hukum, yang hanya ada di hati korban dan orang Papua secara umum adalah rasa ketidakadilan, trauma dan luka yang sangat mendalam.
Dari sekian banyak kasus, hanya 3 kasus yang dikategorikan sebagai Kasus Pelanggaran HAM berat, yakni Kasus Abepura 2000, Kasus Wasior 2001 dan kasus Wamena 2003. Dari 3 (tiga) kasus tersebut, hanya 1 (satu) kasus yang dibawa ke proses pengadilan HAM permanen di Makassar, pada tahun 2005, namun penyelesaiannya tidak memberikan kedamaian bagi para korban pelanggaan HAM, malah para pelaku dibebaskan murni dari segala tuntutan..

Sebagai mana diketahui, kasus Abepura terjadi pada 7 Desember 2000, dimana, yaitu penyerangan pukul 01.30 Wit pada malam hari terhadap Mapolsekta Abepura dengan pembakaran Ruko Abepura karena tindakan Orang Tak Dikenal (OTK), mengakibatkan 1 (satu) anggota polisi meninggal dunia (Bribka Petrus Eppa), dan 3 orang lainnya mengalami luka-luka, disertai pembakaran ruko yang berjarak 100 meter dari Mapolsek Abepura. Terjadi juga penyerangan dan pembunuhan Satpam Kantor Dinas Otonom Kotaraja. Pada hari yang sama sekitar pukul 02.30 Wit pasca penyerangan ke Mapolsek Abepura, AKBP Drs. Daud Sihombing, SH setelah menelpon Kapolda Brigjen Pol Drs. Moersoertidarno Moerhadi . Untuk langsung melaksanakan perintah operasi. Dalam pengejarannya diarahkan ke tiga asrama mahasiswa, yakni di Asrama Ninmin, Asrama Yapen Waropen, dan Asrama IMI (Mahasiswa Ilaga) dan tiga pemukiman penduduk sipil.

Dalam operasi dimaksud, anggota Brimob melakukan pengrusakan, pemindahan paksa (Involuntary displace persons), ancaman, makian, pemukulan dan pengambilan hak milik (right to property) mahasiswa. Mahasiswa digiring ke dalam truk dan di bawa ke Mapolsek. Pemukulan, penangkapan dan penyiksaan (Persecution) berulang-ulang kali terhadap masyarakat yag tidak tahu menahu di pemukiman penduduk sipil Kampung Wamena di Abe Pantai, Suku Lani asal Mamberamo di Kotaraja dan Suku Yali di Skyline. Dalam penyerangan di Skylane, terjadi pembunuhan kilat oleh anggota Brimob terhadap Elkius Suhuniap. Sedangkan 2 mahasiswa dari asrama Ninmin meninggal akibat penyiksaan dalam tahanan Polores Jayapura yakni Jhoni Karunggu dan Orry Dronggi.

Pada tahun 2001, Komnas HAM membentuk KPP HAM Abepura dan dan berdasarkan fakta, peristiwa pengejaran dan penangkapan itu telah dinyatakan sebagai pelanggaran kejahatan kemanusiaan. Namun dalam proses penyelidikan, dari 25 pelaku, Jaksa Agung MA Rachman dengan komisi II DPR, hanya menetapkan dua pelaku yaitu Komisaris Besar Polisi Drs, Johny Wainal Usman sebagai Komandan Satuan Brimob Polda Irian Jaya (waktu itu) dan Ajun Komisaris Besar Polisi Drs. Daud Sihombing Sebagai pengendali dan pelaksana perintah operasi.

“Namun dalam proses mendorong kasus tersebut dalam sidang perdana HAM Pertama, dalam berkas perkara sama sekali tidak mencantumkan secara detail bagaimana kondisi para korban dan bagaimana kerugian-kerugian para korban,” tandasnya dalam keterangan persnya di Kantor Kontras Papua, Jumat, (7/12).

Akibatnya berkas perkaranya persis pada berkas pidana, tanpa ada soal rehabilitasi, restitusi dan keadilan bagi korban. Korban tidak mendapakan hak yang sangat substansi karena berkas pengadilan yang diajukan oleh Jaksa, Hakim tidak bisa diambil dari kiri dan kanan (dari konteks budaya, mental, dan situasi para korban) tetapi hanya berdasarkas berkas murni yang diajukan oleh Jaksa.

Selain itu mengulurnya waktu adalah ketidakadilan, padahal KPP HAM telah menyelesaikan berkasnya dengan cepat, tetapi bolak balik berkas perkaranya terjadi, pada hal tidak substansial namun hanya dalam hal administrasi; dan yang kedua proses penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan, selain mengulur-ulur waktu juga proses politik bonsite (meperkecil perkasa) yakni peristiwanya ada banyak namun dikurang hingga tiga sampai satu, pelakunya ada 25 namun dikurang menjadi 2, kemudian korbannya 105 hanya dijadikan 17 korban yang dijadikan sebagai saksi.

Dengan latar belakang dan cara berpikir para Hakim masih mengunakan jaman Kolonial Belanda yakni pertama, Masih menggunakan kiriminal bukan pelanggaran HAM, dan kedua Kejaksaan tidak independen dan tidak berdasarkan nilai-nilai Universal (pelanggaran HAM) tetapi lebih mementingkan kepentingan Negara. Hari ini kita bisa simpulkan bahwa ada lobi-lobi yang menghasilkan berkas perkara itu tidak sebagaimana yang terjadi terhadap para korban (mengkorbankan korban). Kasus Abepura dalam proses peradilan, ada terjadi banyak catat hukum. Peradilan HAM hanya menjadi kuburan dan tidak mengakui harga diri dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh para korban dan rakyat Papua.

Para korban Kasus Abepura justru tidak diakui sebagai Korban dan kondisi korban saat ini mengalami trauma yang masih membekas dan mendalam. Sampai saat ini, enam (6) korban kekerasan Kasus Abepura telah meninggal akibat penyiksaan yang menimpa mereka saat Kasus Abepura terjadi. Para korban sama sekali tidak percaya dengan Hukum dan Sistim Peradilan Indonesia. Karena merasa tidak ada keadilan bagi orang Papua. Yang ada hanya kekerasan tanpa keadilan, dan kekerasan yang terjadi saat ini hanya menyusuk luka-luka lama yang tidak pernah disembuhkan.

Kemudian, pada 8 dan 9 Sebtember 2005, Majelis Ad Hoc HAM kasus Abepura di Makassar memvonis bebas Brigadir Jenderal (Bridjen) Polisi Johny Wainal Usman dan Kombes Polisi Drs. Daud Sihombing, SH dengan mengatakan bahwa tidak terbukti secara sah bersalah melakukan pelanggaran HAM Berat di Abepura, Papua. Pertimbangan yang dipakai dalam keputusan hakim menunjukkan bahwa pemahaman dan pengetahuan Hakim terkesan mengunakan prinsip klonial yang jauh dari rasa keadilan korban.

Para korban dan orang Papua telah melakukan upaya Hukum dan berjuang membuktikan secara serius kepada pemerintah Indonesia dan juga bangsa-bangsa di dunia bahwa nilai dan martabat orang Papua juga sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dan sampai ini karena hukum di Indonesia sangat tidak percaya sehingga tindakan orang Papua selalu dijerumuskan ke dalam makar, kekerasan, pembungkaman, penangkapan dan sebagainya.

Untuk itu, pihaknya dan KontraS Papua mendesak kepada pemerintah Indonesia, pertama, Presiden RI dan Komnas HAM RI segera tindak lanjuti kasus pelanggaran HAM berat Wasior dan Wamena, karena proses hukum masih tidak jelas di kejaksaan Agung dan Komnas Ham Jakarta, dan menjelaskan kepada Kedua, mendesak kepada gubernur papua, dprp dan mrp untuk mendorong evalusi resmi atas kebijakan keamanan di papua dan menolak pasukan organik dan nonorganik serta rasionalisasi jumlah tni/polri di tanah papua yang akan mengakibatkan korban-korban baru di tanah Papua. Ketiga, segera hentikan segala macam upaya dan bentuk kekerasan, baik penembakan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembungkaman demokrasi dan lainya.

Di tempat yang sama, Koordinator KontraS, Olga Hamadi SH, M.Sc mengatakan, pelanggarna HAM di Papua tidak hanya seperti yang dipaparkan, akan tetapi masih banyak kasus lainnya kini masih ditutup oleh Aparat Kepolisian, bahkan pelaku di Papua sekan-akan dipelihara. “Terbukti, pelaku pelanggaran HAM tidak dihukum berat, hanya hukuman ringan. Anehnya lagi, ketika dibebaskan langsung naik pangkat setelah dipindahkan dari jabatannya,” tegasnya.

Olga menilai, ketika pelangaran HAM di tanah Papua tidak ditindaklanjuti sampai ke proses hukum, maka ditakutkan akan semakin banyak kasus pelanggaran HAM lainnya di tahun-tahuna yang akan datang.

Untuk itu, pihak tidak akan pernah berhenti untuk menyampaikan hal ini kepada Pemerintah, karena masyarakat menginginkan keadilan. “Jangan hanya sudah melakukan pelanggaran HAM lalu tidak di proses, itu yang tidak kita inginkan. Ini lemah penegakan hukum, ini hanya mengingatkan pemerintah megenai kasus HAM yang tidak dituntaskan ,” bebernya.(nls/don/l03)

Sabtu, 08 Desember 2012 09:12, Binpa

Fadel: Pelaku Pelanggaran HAM Tak Tersentuh Hukum

JAYAPURA – Masih banyak kasus kasus pelanggaran HAM di Papua yang dilakukan aparat negara hingga kini tidak tersentuh hukum, mengakibatkan tak terputusnya impunitas , bahkan impunitas terus terjadi, karena para pelanggar HAM sama sekali tak tersentuh hukum.

Hal itu diungkapkan Fadel Al Hamid, Sekertaris Dewan Adat Papua, Kamis( 6/12).

Menurut Fadel, tak terselesaikannya kasus kasus pelanggaran HAM di Papua seperti Kasus Biak Berdarah, Kasus Wasior, Abepura 2000, Wamena berdarah, penembakan di Paniai menujukkan impunitas terus terjadi.

“ Saya pikir meningkatnya kasus pelanggaran HAM di Papua membuat kita semakin disadarkan bahwa, memang Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya atau kurang ataupun tidak semasekali menujukkan itikat baik menyelsaikan masalah HAM di Papua,”

ujarnya.

Jika berbicara kasus HAM dalam konteks Papua seiring bergantinya tahun demi tahun dilihat bukan semakin membaik atau ada penurunan kasus, justru semakin meningkat. Menurut Fadel, Impunitas tak akan terjadi di negeri ini bila hukum ditegakkan.

Ia melihat, setiap pihak yang melakukan pelanggaran, diperiksa, dilakukan penyelidikan, penyidikan kemudian dibawah ke pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka, tetapi juga dilihat dalam seluruh proses pengadilan sebenarnya harus benar benar menjunjung rasa keadilan masyarakat. Belajar dari kasus Abepura Tahun 2000 yang kemudian disidangkan di Makassar justru bukan memberikan rasa keadilan bagi korban namun semakin melukai hati orang Papua karena dari sidang yang dilakukan itu tak ada satupun pelaku dikenakan sanksi, melainkan pelaku bebas sementara realitas menunjukkan ada korban, ada orang yang dipukul dan kemudian tewas.

Ia melihat persidangan kasus Abepura berdarah di Makassar sangat jelas menunjukkan negara sedang memperlihatkan kesombongannya kepada rakyat di Papua, termasuk juga menujukkan kebebalannya terhadap rakyat sipil.

Ia justru melihat keadaan berbalik, rakyat yang tak bersalah yang justru diadili secara sewenang wenang, mereka orang orang yang kemudian menyampaikan aspirasinya secara damai dan bermartabat. Kita lihat kasus Filep Karma yang dipenjarakan sampai hari ini, kemudian mereka yang terlibat dalam kongres III. Mereka itu menyampaikan aspirasi mereka tapi kemudian merekah yang diadili, padahal mereka tak membunuh siapa siapa ataupun melukai siapa siapa, atau sedang mempersiapkan sesuatu yang kemudian mengancam keselamatan negara ini, sambungnya.

“ Mereka itu hanya menyamapikan aspirasi dan pandangannya secara damai dan pandangan itu memenuhi hakikat Hak Asasi Manusia. Namun mereka yang kemudian disolimi”. Menurut Fadel kasusnya sama seperti kasus penembakan dan kasus kasus pelanggaran HAM lainnya, sampai saat inipun kita tak melihat adanya suatu kemajuan atau upaya Pemerintah pusat membangun HAM di Papua dengan membawa pelakunya. Contoh lain yang menujukkan tak terselesaikannya kasus HAM diranah Politik adalah kasus Mako Tabuni. Penembakan Mako Tabuni itu sekan akan dengan pernyataan yang diklaim sebagai suatu pembuktian hingga Mako ditembak. “Ini sesuatu yang aneh,”

katanya.

Padahal nyawa seorang manusia itu harusnya dipertanggung jawabkan, sekalipun ia seorang pejabat negara atau teroris sekalipun, akan diproses hukum sesuai hukum yang berlaku apakah dia dihukum mati atau ada konsekuensi hukum lainnya. Ia melihat kondisi berbeda dengan Mako Tabuni yang langsung dihilangkan. “ Realitas lain yang saya lihat ada semacam kejenuhan dari para pekerja HAM di Papua yang kehilangan cara bagaimana menuntut Keadilan di Negeri ini,”katanya.

Berbagai kasus yang ditangani para pekerja HAM yang diadvokasi, diajukan dengan segala macam cara namun pada akhirnya menemui sebuah fakta bahwa, mereka tak mendapatkan Keadilan di negeri ini. Tapi para pekerja HAM ini dengan sisa tenaga yang dimiliki masih tetap tegar, konsisten dalam meriakan ketidakadilan di Tanah Papua.

Dalam seluruh kasus HAM Papua itu, ia melihat dari sisi posisi Presiden SBY termasuk peran UP4B yang dinilainya masih banyak ditemui problematika dan pro kontra di kalangan masyarakat yang menilai kebijakan UP4B tak akan menolong dan memperbaiki situasi HAM di Papua selama kasus kasus HAM masa lalu tak terselesaikan, justru membuka lapangan baru yang kemudian membuka jendela peluang terhamburnya uang.

“ Saya mau soroti suatu aspek atau langkah yang seharusnya sudah bisa dilakukan UP4B terhadap pelanggaran HAM. Termasuk kasus sama dipertanyakan kembali kepada Presiden SBY soal komitmennya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM melalui UP4B selanjutnya diproses lewat Kejaksaan hingga KOMNAS HAM terkait dengan Wasior yang sementara ini masih dalam proses dan mengantung. Ia bertanya mengapa dari kasus kasus lampau ini belum ada suatu langkah yang diambil segera dari Negara ini, kemudian Oke Pemerintah mulai menujukan keseriusannya untuk selesaikan khususnya menyelesaikan kasus Wasior yang sudah mendapatkan rekomendasi untuk ditindaklanjuti”

Seharusnya Pemerintah SBY sudah berpikir untuk mulai melakukan pembangunan penegakan HAM di Papua dalam sebuah kebijakan pembangunan HAM di Papua yang jelas apalgi diakhir masa jabatannya. Presiden diminta mengambil suatu kebijakan yang berani, kalau kemudian presiden masih berpikir soal popularitas, sengsi dan harga dirinya untuk tak diserang lawan lawan politiknya, saya pikir dalam konteks ini, Presiden tak perlu kuatir karena bagaimana mungkin ia berusaha untuk menegakan HAM, mengobati luka hati orang Papua, bukan menjadi bumerang politk atau hal ynag mengada ada.

Fadel berpilir tak ada alasan mendasar bagi Presdien SBY untuk tak melakukan sesuatu, sebab ia harus bisa melakukan sesuatu apalgi diakhir masa jabtannya yang kedua karena untuk periode berikut ia tak akan maju lagi, pikir Fadel.

Sebagai Kepala negara, Presiden bertanggung jawab penuh terhadap penegakan hukum di Indonesia. Kita tak bisa andalkan keberadaan Perwakilan KOMNAS HAM Papua dengan keterbatasannya saat ini. Komnas HAM Papua juga dilihat menampakan kelelahan dengan kondisi yang memprihatinkan ini, karena KOMNAS HAM Papua sendiri tak dapat bebuat banyak hidup enggan matipun tak mau, ia tak mendapatkan perhatian dari Pemerintah, meski dengan dana trilyunan dalam APBD, ia hanya mendapatkan nol koma sekian persen saja.

Menurut Fadel kondisi demikian mengakibatkan kemudian kita tak punya harapan dan berharap sesuatu pada KOMNAS HAM, Namun toh kemudian ada amanat dalam Undang undang Otsus sebuah harapan s kalau kita masih mau berharap agar Presiden masu dikenang oleh orang orang Papua diakhir masa jabatannya ini, setidaknya memberikan harapan pada rakyat Papua bahwa didalam negara ini masih ada keadilan untuk orang Papua, bahwa di negara ini Hak Asasi Manusia masih mendapat tempat untuk dihargai.

“Saya pikir itu menjadi harapan kita tetapi sebenarnya mengandung desakan dan tantangan kita kepada presiden untuk bertindak bagi penegakan Hak Asasi Manusia karena orang Papua ini adalah rakyat dia maka dia mestinya melakukan sesuatu untuk sedikit mengobati hati orang Papua , apa yang dibuatnya mengandung harapan dan makna mendalam bagi momentum Hari HAM 10 Desember 2012 ini”,

sambunya.

Warga Papua Diajak Peringati HAM

Sementara itu, Ketua Forum Anti Pelanggaran Ham di Papua, Septi Megdoga, mengajak seluruh komponen masyarakat Papua untuk turut terlibat dalam kegiatan peringatan Hari Pelanggara Hak Asasi Manusia (HAM) se-dunia yang jatuh pada 10 Desember 2012.

Dijelaskannya, salah satu bentuk peringatannya adalah melaksanakan kegiatan demonstrasi damai, yang berisikan seruan-seruan kepada pemerintah pusat untuk segera menyelesaikan berbagai persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua.

Sebut saja sejumlah pelanggaran HAM seperti permasalahan politik Papua yang disunat oleh pemerintah Indonesia hingga kini, dan kasus pelanggaran HAM lainnya seperti pembunuhan dan lain sebagainya, sampai pada masuk dibungkamnya ruang demokrasi di Tanah Papua.

Menurutnya, hingga kini masalah Papua silih berganti, dan nasib rakyat Papua terus terkatung-katung tanpa penyelesaian yang jelas, meskipun berbagai kebijakan pembangunan maupun regulasi aturan terus diperbaharui (Salah satunya lahirnya UU No 21 Tahun 2001 tentang otsus), tapi kenyataannya belum mampu menyentuh apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, sehingga sampai saat ini masyarakat masih hidup miskin, terbelakang di atas kekayaannya sendiri.

“Mari kita semua bergabung untuk peringati dan suarakan HAM yang selama ini belum dituntaskan pada hari peringtatan HAM se-dunia pada 10 Desember 2012 mendatang,” tegasnya dalam press releasenya kepada Harian Bintang Papua, Kamis, (6/12),

Pelanggaran HAM yang tanpa pertanggungjawabkan aparat keamanan dan pemerintah khususnya Jakarta. Pertanyaan besar rakyat Papua tentang status politik Papua yang terus menerus dijawab dengan tindak kekerasan oleh aparat keamanan.

Lanjutnya, belum tuntasnya penyelesaian pelanggaran HAM dan timbulnya kasus pelanggara HAM yang baru, tidak lain juga diakibatkan oleh melemahnya otoritas-otoritas sipil. Lihat saja lembaga eksekutif dan legislatif di Papua yang selama ini diam membisu ketika dihadapkan dengan realitas masyarakat Papua yang semakin memburuk dan memprihatikan derajat dan martabatnya di segala aspek kehidupan.

“Sampai saat ini banyak cerita instrument politik bagi semua masyarakat Papua yang mengingat beberapa para sang pejuang penegakan HAM ditembak mati hingga menjadi cerita pahiy bagi masing-masing kelyarga korban pelanggaran HAM,” tandasnya.(ven/nls/don)

Sabtu, 08 Desember 2012 09:08, Binpa

Ketua MRP : Jangan Terprovokasi 1 Desember

JAYAPURA- Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan, masyarakat tak perlu resah atau terganggu dengan segala aksi yang akan dilakukan jelang peringatan 1 Desember.

Menurut Murib momen 1 Desember bukan momen yang perlu ditakutkan sebab itu hanya diperingati kelompok tertentu. Untuk itu diingatkan bagi seluruh masyarakat di Tanah Papua jangan terprovokasi dengan hal hal yang pada akhirnya mengorbankan masyarakat sendiri. “Entah momen 1 Desember atau 14 Desember janganlah ditanggapi berlebihan atau merangkul massa untuk melakukan aksi yang akhirnya mengorbankan diri sendiri karena terbentur dengan aparat,” ujar Murib

Pesan Ketua MRP ini disampaikan ini kepada Bintang Papua, Senin( 26/11). Ia mengatakan masyarakat asli Papua jangalah terhasut oleh hal hal yang bersifat provokatif yang dilakukan sekelompok orang untuk kepentingan tertentu dengan memanfaatkan kedua momen ini, karena kedua momen ini dilakukan oleh kelompok tertentu dua pihak yang sama sama memperingati sebuah hari yang dimaknai sendiri dengan caranya sendiri dan pasti mereka juga tak menginginkan terjadi suasana yang tidak diinginkan. Untuk itu, Ketua MRP mengajak semua masyarakat di Papua khusus kaum Nasrani untuk lebih memfokuskan diri pada Perayaan Natal yang merupakan Hari raya Suci, Hari yang berbahagia, dari pada memikirkan hal hal yang tak mungkin hingga melupakan masa- masa Adven menuju Pesta Natal yang suci ini.” Sangat baik masyarakat kita memfokuskan diri pada persiapan Natal sehingga Bulan Desember 2012 ini makna Natal itu dapat dirasakan, sebab dari pengalaman tahun sebelumnya memasuki Natal selalu diwarnai situasi tak nyaman di masyarakat yang berpengaruh pada seluruh persiapan umat Kristen menyambut Natal. (Ven/don/l03)

Rabu, 28 November 2012 08:22, Binpa

Perempuan Papua Juga Mampu

Sabtu, 13 Oktober 2012 06:56, BintangPapua.com

Rode Ros Muyasin, Am.Pd
Rode Ros Muyasin, Am.Pd

Jayapura – Berbicara Sumber Daya Manusia (SDM) perempuan asli Papua, sebenarnya tidak kalah dengan kaum adam, hanya saja peluang tidak diberikan, sehingga kesan yang ada Perempuan asli Papua tidak mampu. Salah satu contoh, adanya kuota 30 % kursi yang diberikan di legislative, tapi kenyataannya tidak terealisasi dengan baik.

Demikian diungkapkan Ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP), Ibu Rode Ros Muyasin, AM.Pd kepada Bintang Papua, Jumat (12/10), kemarin.
Dikatakan, karena peluang dibatasi, akibatnya perempuan asli Papua masih sangat jarang menduduki posisi yang strategis, baik di bidang pemerintahan maupun bidang lainnya, termasuk politik. Padahal lanjutnya, jika saja kesempatan itu diberikan seluas-luasnya, maka pasti perempuan Papua juga mampu.

Selain itu lanjutnya, ada factor lain yang membuat mereka tidak dapat bersaing yakni adanya permainan-permainan kotor dan menjatuhkan. Untuk itulah, pihaknya mendorong semua pihak agar ke depan keterlibatan perempuan Papua jangan lagi dibatasi, sebaliknya harus diberikan ruang untuk bisa berkompetisi di berbagai bidang kehidupan. Sebab ini adalah bagian dari tiga amanat UU Otsus, perlindungan, keberpihakan dan pemberayaan asli Papua. Menyoal adanya kuota 30 % kursi untuk perempuan di legislative, dikatakan jika berbicara masalah keadilan, semestinya harus porsinya sama-sama 50:50 persen. Tapi kenyataannya 30 persen saja yang diberikan masih juga ada masalah. Termasuk 11 kursi di DPRD yang diperuntukkan bagi orang asli Papua sampai sekarang tidak jelas. Karena itu, melalui Pokja Perempuan MRP mendorong semua pihak, saatnya perempuan Papua diberikan porsi yang sama dengan laki-laki. “ Jangan lagi ada diskriminasi masalah gender, dan stigmatisasi bahwa perempuan Papua tidak mampu, perempuan Papua juga bisa,”kata Rode Ros Muyasin, AM.Pd sedikit ‘menantang’. (don/don/l03)

MODEL DAN POLA PEJUANG PAPUA MERDEKA DALAM BERPOLITIK MASA KINI

( Atas Nama Moyang Pencipta Alam dan Manusia Papua, Atas nama Pahlawan yang telah gugur di medang perjuagan yang telah mendahului kita, Atas nama korban tulang-belulang rakyat oleh karena Papua Merdeka yang telah mati diculik, ditangkap, dipenjarakan, dibunuh, diperkosa, disiksa, dan dihina, Atas Nama yatim piatu, Janda duda yang ditinggalkan oleh karena perjuangan bangsa Papua untuk Merdeka, Atas Nama generasi sekarang, generasi yang telah lahir dan yang akan lahir:; Izinkanlah saya untuk menyampaikan pendapat saya atas refleksi dan perenungan saya dalam catatan ini hanya untuk dan demi Tanah airku, bangsaku Papua untuk Merdeka sebagai Negara West Papua)

Perjuagan bangsa Papua untuk mendirikan suatu Negara yang berdaulat dimulai sejak tahun 1960 an sebelum Indonesia bermaksud untuk mengintegrasikan Papua kedalam NKRI, jika kita merefleksi kembali model dan perjuagan yang dilakukan oleh generasi pendahulu di parlemen New Guinea Raad. Saya melihat model perjuangan yang dilakukan lewat bentuk-bentuk partai politik dalam parlemen itu sendiri untuk mencoba merumuskan bentuk suatu Negara, untuk itu dalam proses pembentukan partai – partai politik, berdasarkan berbagai kepentingan golongan dan kelas dimana pada saat itu terjadi tingkatan-tingkatan ada yang ingin berafiliasi degan model gaya hidup sistem pemerintahan kerajaan Belanda, ada yang bermaksud untuk berafiliasi degan Negara yang baru merdeka pada saat itu adalah Indonesia dan ada yang memang benar-benar ingin berdiri sendiri degan model sistem dari keaslian bangsa Papua dalam bentuk Negara moderen.

Dalam proses pembentukan negara West Papua telah disahkan nama Negara dan atribut Negara seperti bendera, lambang Negara, dan lagu kebangsaan yang telah dirumukan oleh suatu badan Komite Nasional Papua Barat untuk merumuskan bentuk dan Nama Negara bangsa Papua dan disahkan oleh parlemen New Guinea Raad, tetapi ada kelompok atau partai-partai yang memiliki tujuan lain yang tersebut diatas, melancarkan misinya sehingga kekompakan dari bangsa Papua sendiri tidak bertekat dan bersatu untuk tujuan mendirikan suatu Negara mandiri dari NKRI maupun Belanda. Dari sisi lain oleh karena bentuk partai-partai yang telah disebut diatas berpencar untuk melakukan niat dan motiv tersebut sehingga sering kita degar degan ada beberapa orang Papua yang dijuluki sebagai pahlawan Nasional Indonesia.

Hal ini yang dilakukan generasi tua kita pada saat itu, dan dalam hal ini saya tidak menyinggung peran Belanda, karena dia juga sebagai posisi penjajah untuk mencoba memberikan ruang demokarasi hanya oleh karena desakan zaman dan situasi politik pada erah itu, dan mencoba menjadi malaikat penyelamat, tetapi sayang tidak tercapai tujuanya sehingga nasip sebuah bangsa sebagai bekas koloninya dan pemerintahanya telah diabaikan sampai saat ini.
Jika generasi sekarang merefeleksi dan perenungan dari beberapa catatan dan cerita dari pada pelaku sejarah perjuagan di Papua barat waktu itu, kita dapat mengkaitkan degan model dan gaya perjuangan sekarang sama persis dan tidak jauh beda dari pada generasi pendahulu kita.

Pengaruh model pembentukan berbagai partai politik pada saat itu oleh beberapa faktor yang mepengaruhi antara lain; pengaruh dan pandagan terhadap pola berpolitik modern yang kebanyakan mendapat pandagan bernegara dari pemerintahan Negara Belanda, kemudian melihat gaya berpolitik Indonesia pada saat itu. Saya yakin karena pada masa itu apa yang terjadi pada situasi politik diluar negeri dan dalam negeri pada erah itu telah dibaca dalam berbagai surat kabar berbahasa Belanda oleh generasi tua kita yang suda mengenjam pendidikan tinggi, sehingga semua berita dan model- model berpolitik dipengaruhi oleh gaya pandang saat mereka untuk berpolitik, sehingga motiv ini turut mempengaruhi model dan gaya berpolitik kita pada generasi sekarang.

Model dan gaya berpolitik ini saya menilai sebenarnya sangat menghambat dan merugikan nasip bangsa besar di Pulau New Guinea, karena warisan dari pada gaya berpolitik ini turut mewarnai dalam kaitanya degan proses Papua merdeka pada saat ini. Pandagan berpolitik ini turut mempengaruhi dalam proses PEPERA I pada saat itu, karena ada beberapa partai politik degan motiv afiliasi politiknya kepada Indonesia, Belanda dan Papua sendiri, maka ketiga bentuk motiv itu saling bertabrakan karena keadaan terdesak pada saat itu sehingga sebagian partai politik turut mempengaruhi dalam mobilisasi masa degan militer Indonesia untuk melakukan PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT PAPUA di Papua barat ( Act of Free Chose ). Dari beberapa partai yang didiriakan oleh sebagian orang Papua telah berkompromi politik degan Indonesia sehingga aspirasi murni dan niat murni sebagian besar rakyat Papua barat pada saat itu telah diabaikan yang akhirnya sebagian partai politik yang memperjuangkan murni untuk merdeka mulai bergejolak dan mengarah pada pembentukan suatu organisasi perjuangan secara gerilya OPM dan sebagian besar yang telah meninggalkan tanah air Papua ke pengasingan untuk melanjutkan sayap politiknya untuk upaya diplomasi.

Model yang sama telah saya menyaksikan degan mata kepala saya sendiri sebagai generasi sekarang ketika proses politik untuk menentukan nasip sendiri mulai dari Mubes Papua sampai kepada Kongres Rakyat Papua II tahun 2000 di Port Numbay, dan hasil kinerjanya tidak jelas sampai sekarang, bentuk Visi dan Misi tidak Jelas, bagaimana hasil Resolusinya? Bagaimana penaganan menejemen organisasinya yang dibentuk PDP untuk menjangkau Visi dan Misi berdasarkan keputusan atau suatu resolusi dari Pada Kongres II itu sendiri ?, Ataukah buntutnya lahir Otonomi khusus? Ini adalah model dan gaya berpolitik kita yang terus mewarisi dari pendahulu kita akibat dari mofiv dan bentuk kompromi politik yang berlainan warna-warni.

Model politik ini saya menilai bahwa bangsa Papua masih mewarisi model dan gaya serta motiv berpolitik dari generasi tua kita. Saya menilai dalam proses politik Papua Merdeka masih ada pengaruh dari pola dan gaya berpolitik generasi tua dalam bentuk afiliasinya degan model kompromi politik oleh berbagai partai dan kelompok, padahal seharusnya gaya dan pola berpolitikan harus dimulai dari akar budaya bangsa Papua sendiri.

Cara berpolitik yang sama kembali berputar lagi pada putaran ke III pada kompetisi berpolitik degan bentuk kongres Papua III di lapangan Zakeus dengan mendeklarasi Negara Feleral Republik Papu barat, jika kita menilai sebenarnya itu bentuk demokrasi atau pola tatanan Negara bukan sebuah nama Negara, secara jujur dari generasi tua sampai generasi sekarang gaya berpolitik sama dari dulu sampai sekarang ibarat bangsa Israel yang berputar-putar di padang gurun zahara untuk keluar dari Mesir. Bukan berarti saya mau samakan nasip kita sama sepeti bangsa Israel tetapi perlu kita belajar dari contoh itu; karena yang melihat negeri yang dijanjikan Tuhan kepada mereka adalah generasi Yosua dan Kalep, berarti kita tidak mengharpkan seperti generasi Yosua dan kalep pada saat itu karena situasi mereka pada saat itu beda degan situasi kita sekarang, oleh karena itu jagan sampai generasi sekarang yang suda sekolah pintar ini kembali lagi kepada model dan gaya politik yang berputar-putar dengan mengabaikan akar budaya bangsa Papua sendiri.

Jika memang generasi yang sama terus berputar -putar degan model politk yang sama nanti kita tunggu waktunya degan modela dan gaya politik yang berjudul DIALOG DAMA Papua yang telah di kerakan oleh kelompok Jaringan Damai Papua ( JDP ) apakah pola dan berpolitik yang sama atau sedikit berbeda nanti kita menunggu dan melihat gaya dan pola main mereka dalam kanca politik Papua Merdeka, jika upaya tersebut degan pola dan gaya politik yang sama juga tidak membawahkan hasil kemauan rakyat untuk merdeka dari neo-kolonial Indonesia, apalagi yang akan direncanakan orang Papua untuk berpolitik mungkin Kongres IV atau KTT dan sebagainya? seterusnya atau apalagi? pola berpolitik yang sama dipertahankan kemungkinan orang Papua siap untuk berputar degan irama gaya berpolitik yang sama berputar sepeti kita dansa dan goyang lemonipis degan lingkarang yang sama irama patokan paten yang sama.

Saya secara jujur ingin katakan bahwa; model dan gaya ini Indonesia sebagai Negara kolonial suda mengetahuinya, sehingga pantas dan wajarlah mereka sering mengatakan terhadap usaha dan perjuangan kita; “PAPUA MERDEKA USAHA MENJARING ANGIN ATAU MIMPI DI SIANG BOLONG” julukan kalimat diatas ini perlu kita renungkan degan merefleksi diri, sebenarnya menurut saya kalimat tersebut diatas jika ditanggapi degan positif adalah penguatan dan pembelajaran buat usaha dan perjuangan kita degan modifikasi model dan gaya berpolitik kita di zaman super modern berpijak dari dasar kita keluar bukan dari luar kedalam.

Saya juga berpikir bahwsanya sebagian Inteletual orang Papua juga ingin merdeka tetapi harus degan akal sehat bahwa bagaimana penataan politik dari dalam keluar secara sistem menejemen modern dan memposisikan diri pada tinkat modern, gaya berpolitik warisan kita sebagai pejuang Papua merdeka mempengaruhi pandagan sebagian kalagan intelektual Papua, jelas karena kita semua berasal dari generasi pendahulu kita dan sama-sama bangsa Papua, wajar juga masih berpikiran atas pola dan gaya berpolitik warisan turut mempengaruhi dalam Perjuangan Papua merdeka, oleh karena bentuk dan motiv dari landasan politik suda terkontaminasi degan tiga model tadi, pola dan yaga pandang model berpolitik versi Indonesia, pola gaya pandang model politik versi Belanda ( barat ) dan pola dan gaya pandang pola berpolitik berdasarkan akar budaya bangsa Papua.

Ketika pola ini saling bergesekan sehingga pengaruh sangat dominasi terhadap model pendekatan politik dalam perjuagan Papua merdeka, saya menilai sebenarnya jika orang Papua melepaskan pandagan dan gaya berpolitik import dan seharusnya berpolitik berpatokan dari akar budaya bangsa Papua sendiri, karena tujuan mendirikan Negara bukan seperti Otonomi, melanjutkan atau memasukan program pesan sponsor dari luar bangsa Papua. Lagipula bangsa Papua yang mau merdeka, berdikari, diatas pandagan politik sendiri, diatas tanah sendiri, karena orang Papua yang mau mendirikan Negara yang berdikari atas dasar falsafa akar budaya bangsa.

Orang Papua yang harus mempengaruhi politiknya keluar Papua, tetapi ini yang terjadi justru terbalik dari luar memasukan gaya berpolitik baru kedalam budaya berpolitik bangsa Papua, akibat dari gaya berpolitik dari luar masuk kedalam kita rujuk pada Contoh; Kepala Suku Besar Forkorus Yaboisembut, dimasukan kedalam rel politik dari luar akibatnya gaya yang seharusnya orang Papua berpolitik secara budayanya justru di matikan oleh pengaruh gaya dan model politik yang dianut oleh kita sebagai orang Papua yang terkontaminasi degan gaya berpolitik penjajah.
Gaya model politik ini jika kita melihat hampir sama persis degan pegalaman perjuangan bangsa Indonesia sebagian pendiri Negara RI berpatokan dari budaya bangsa mereka sendiri, sebagian dari mereka dipengaruhi oleh gaya dan politik kebarat-baratan penjajah ( Belanda ) akhirnya keadaan Negara Indonesia sekarang tidak berdikari sendiri diatas kaki sendiri malah berdiri mengantungkan kepada pengaruh politik Negara orang lain artinya Negara ikut-ikutan mendukung kemauan Negara orang lain dalam rangka membagun bilateral dan kita harus belajar juga dari pengalaman perjuangan Indonesia dari Belanda. Jika orang Papua yang berurusan degan politik Papua Merdeka harus hati-hati dan bijaksana karena jagan sampai usaha keluar dari mulut Singga masuk ke mulut buaya degan model dan gaya berpolitik kita.

Saya mau katakan degan jujur bahwa saya sebagai orang Papua harus memiliki ego dan ego ini harus diarahkan untuk kepentingan bangsa Papua bahwsanya; Saya adalah orang Papua, memiliki tanah air yang luas, saya tuan tanah, dan saya berhak menentukan nasip politik saya degan gaya dan cara saya sendiri, sehingga bangsa lain dapat dipengaruhi oleh gaya dan model politik yang saya terapkan tetapi degan catatan harus tekat dan komitmen degan nurani yang bersih dan bebas dari kepentingan cari pamor Nama, Pangkat dan jabatan tetapi harus memiliki kerendahan hati dan menghormati pemimpin yang ada entah itu dihutan rimba maupun di dalam kota untuk membebaskan rakyat dari Neo – kolonialisme indonesia.

Menurut penilaian pribadi saya bahwa pola perjuangan Papua merdeka saat ini persis seperti perjuangan Pemekaran kabupaten, melalui pembentukan TIM sukses, kelompok pengurus Pemekaran kabupaten atau Tim Sukses Pemilukada Gubernur/Bupati, kenyataan ini model dan gaya berpolitik Indonesia yang turut mempengaruhi dalam bentuk politik Papua Merdeka. Karena dalam tim itu ada lebih dari satu dua tim karena memiliki mofiv tertentu, bukan karena murni untuk kepentingan rakyat di daerah tersebut, model ini persis sedang terjadi dalam pola dan gaya berpolitik Papua merdeka entah di dalam Negeri atau diluar Negeri.

Menurut pemahaman dan pengetian saya atas pembebasan dan kemerdekaan harus dimulai dari pembenahan gaya paradikma kita yang suda terkontaminasi dari luar, tetapi seharusnya berpatokan dari pandagan akar budaya bangsa Papua artinya menilai apa yang ada pada kita dan mulai menata degan sistem modern keluar agar lewat sistem penataan politik itu dapat diterima oleh bangsa lain yang suda mendirikan Negara modern, dalam kaitan ini saya tidak bersedia menjelaskan maksud “dari dalam keluar” secara terperinci tetapi sebagai garis besar saya suda katakan berpatokan dari akar budaya bangsa Papua.

Dalam kaitan ini saya melihat dan menilai pola dan gaya berpolitik berbagai Negara di zaman modern sekarang ini hanya karena manusia mengalami perobahan evolusi gaya politik untuk menemukan keistabilan bentuk dan gaya model politiknya, karena dalam hal ini setiap Negara membagun hubungan berpolitik lewat diplomatiknya terhadap bangsa lain jika dinilai secara tersirat hanya untuk kepentingan imperialis yang dikemas halus dalam berbagai bentuk dan isu-isu global. Untuk itu penting bagi bangsa Papua yang memperjuangkan Papua merdeka harus menilai diri dan mulai berpatokan dari diri kita dan menata diri untuk memposisikan diri dalam kanca politik global agar tidak terbawa kedalam jurang imperialisme karena saya menilai jika kita berpatokan berpolitik dari diri kita pasti pelan tetapi akan lebih baik dan matang untuk berdiri degan ciri dan identitas bangsa Papua, karena nama Negara kita diambil dari nama suatu etintas bangsa yaitu Negara Republik West Papua, maka gaya dan warna gaya berpolitik harus berpatokan dari akar budaya bansa Papua.

Catan ini hanya sekedar untuk perenungan kita bersama dan sebagai bahan pemikiran sekeda membuka wacana untuk mencari dan kembali kepada jati diri kita dalam proses berpolitik demi pembebasan bangsa Papua diatas tanah air sendiri.

Salam Perjuangan

Posted by: Etarugwe Yoretnda

PAPUA AKAN TERUS ADA KONFLIK

Minggu, 02 September 2012 15:48, http://bintangpapua.com

JAYAPURA—Masih terus terjadinya konflik dan kekerasan di Papua, mengundang komentar dari Sekjen Presidium Dewan Papua (PDP) Thaha Alhamid. Ia mengatakan, sangat sulit untuk meredam konflik di Papua selama ketidakadilan itu masih ada dimana-mana, serta penegakan hukum tidak dijalankan dengan baik.
Dikatakan, semua pihak yang ada harus membuka komunikasi sosial politik, agar tak semua kasus harus berujung pada aksi kekerasan sebagaimana peristiwa aksi penembakan konvoi kendaraan pengangkut logistik dan melukai seorang sopir truk bernama Tilu alias Kasera (26) di Jembatan Besi, Distrik Tingginambut, Puncak Jaya, Rabu (29/8
“Untuk Papua saya lihat seperti itu, penegakan hukum penting dan ketikadilan sosial harus segera diatasi. Selama ada ketidakadilan sosial konflik terus terjadi. Apalagi penegakan hukum lemah,” ujar Thaha Alhamid ketika dihubungi via ponsel, Minggu (2/9).

Dia mengatakan, aparat penegak hukum d Papua hanya sibuk kalau ada aksi unjukrasa tentang referendum atau pengibaran bendera Bintang Kejora, tapi jika ada kasus dugaan korupsi uang rakyat mereka cenderung lambat penanganan. “Itu yang saya sebut penegakan hukum di Papua cenderung diskriminatif,”katanya.
Ditambahkan, “Kita harus jujur halaman rumah Polisi masih kotor. Didalam masih ada intrik-intrik, like and dislike. Artinya bagaimana mereka bisa efektif mengawasi kepentingan Kamtibmas,” ujar dia. (mdc/don/l03)

“Mereka Warga Papua yang Lari ke Hutan”

JAYAPURA—Adanya keinginan 6.000 lebih (6.675) warga Papua New Guinea (PNG) di wilayah perbatasan untuk bergabung ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena alasan tidak mendapat perhatian dari pihak PNG sebagaimana disampaikan Anggota DPRD Keerom Isack Yunam , direspon baik Pemerintah Kabupaten Keerom.

Melalui Asisten I Bidang Pemerintahan Umum dan Kesejahteraan Rakyat Setda Kabupaten Keerom, Drs.Syaharuddin mengatakan, adanya keinginan 6000 lebih warga PNG bergabung ke NKRI ini, pemerintah tetap menerima. Pasalnya, mereka yang ingin gabung tersebut adalah warga negara Indonesia sendiri, bukan warga PNG.

Dikatakan, mereka dulunya pada zaman Belanda lari ke PNG, karena saat itu akan ditangkap tentara Belanda tetapi warga melawan dan memanah Polisi Belanda yang akhirnya meninggal dunia. Karena takut dibunuh, warga tersebut melarikan diri ke hutan yang hingga saat ini menjadi berkembang biak di hutan belentara. Setelah lama kelamaan, mereka meminjam panci untuk memasak, karena selama ini yang digunakan memasak adalah Batu. “Jadi mereka berpikiran untuk bergabung kembali ke Indonesia, dan mereka juga bukan orang dari PNG mereka hanya masyarakat biasa dulunya berdiam di daerah kerom (Arso,Waris dan sekitarnya ) karena kehadiran pemerintah belanda degan Pemerintah indonesia mulai lari kehutan karena dianggap hadirnya orang asing di wilayah mereka mereka mengembara ke hutan hidup sebagai nomaden di hutan-hutan, kehidupan itu suda biasa di Papua dan bagi kami bukan hal baru.

hanya saja mereka hidup di kedua wilayah politik yang berbeda maka bisa saja dikatakan warga PNG dan sebenarnya warga PNG dan Warga Papua tidak dibedakan sama saja, mereka tidak mengenal yang namanya batas wilayah politik dan kapan saja mau pergi sebrang sana dan datang kemari itu hal yang biasa bagi masyarakat kerom.”ceritanya saat ditemui di ruang kerjanya,Selasa (15/5).

Dr. John Otto Ondawame kepada Mr. WWW.: Rumus 3-C Perlu bagi Pejuang Papua Merdeka

Suatu waktu saya bercakap dengan Dr. John Ottow Ondawame, waktu itu di tahun 2004, ketika kantor WPROO (West Papuan Peoples’ Representative Office) masih sunyi, masih banyak orang Papua tidak tahu atau kalau tahu tidak menganggap penting kehadiran dua tokoh OPM, Mr. Andy Ayamiseba dan Dr. Ondawame. Waktu itu tidak ada orang Papua yang mau berbicara dengan mereka, jangankan mendengarkan apa yang mereka katakan dan perlukan.

Sejak pertemuan itu, sayapun berturut-turut mengikuti jejak langkah kedua politisi yang telah lama bergulat dalam politik Papua Merdeka. Terlepas dari berbagai hal yang melilit di sana, kami temukan kedua orang ini memang memiliki komitmen. Saya sengaja memancing dari sisi cerita biasa, mengulas tentang kepastian nurani saya bahwa Fransalbert Joku dan yang lainnya pasti akan pulang. Waktu itu dokumen rahasia BIN berbasis di Port Moresby telah terbongkar, di mana Fransalbert Joku telah bekerja untuk BIN selama puluhan tahun, jauh sebelum Kongres Rakyat Papua III, 2000. Dokumen itu menunjukkan dengan jelas tugas dan tanggungjawab pace Joku, lengkap dengan laporan-laporan yang ia pernah sampaikan. Di dalamnya terdapat nama kedua tokoh Papua Merdeka ini.

Dengan senyum dan santai saja, Dr. Ondawame menjawab, [news]”Ade, dalam perjuangan ini ada tiga prinsip utama yang perlu kita pegang, yaitu rumus TIGA -C: Concern, Commitment, dan Consistent.[/news]

Apa artinya “Concern”?

Concern” yang dimaksudkan di sini bukan berarti “aku konsen lho” (di-melayu-kan menjadi  ‘konsen’, seperti yang kita tahu dipakai oleh orang Indonesia yang mencoba-coba berbahasa Inggris). Yang di-melayu-kan ini sebuah kalimat deng an artikata pembodohan atau karena kebodohan. Konsen, atau “concern”, artinya “memperdulikan” atau lebih tepat “prihatin”. Menaruh rasa prihatin dan perduli.

Masalah penderitaan dan perjuangan rakyat Papua haruslah menjadi sebuah “concern” dari seseorang. Lawan dari “concern” ialah asal-asalan, oleh karena terpaksa, memang dalam keadaan memaksa, karena tidak ada pekerjaan lain, oleh karena disuruh, karena kebetulan. Jadi, tidak didasarkan kepada ‘panggilan’ tetapi sebab hanya karena …

Perjuangan untuk sebuah bangsa dan Tanah Air tidak bisa dilakukan dalam rangka mencari muka, dalam rangka mengalahkan sesama, dalam rangka menonjolkan ego. Perbuatan sedemikian hanya menambah-rumit masalah yang ada. Tidak mengurangi untuk menyelesaikan.
Pejuang yang punya “concern”, dia akan selalu fokus kepada persoalan yang diketahuinya, dan ia fokus dalam mencari jalan menyelesaikan agar yang memprihatinkan itu menjadi menggembirakan di kemudian hari.
Kepribatinan inilah yang melahirkan “commitment.” Tanpa “concern” jarang sekali ada “commitment.”

Lalu arti “Commitment”?

Anda berkomitmen berarti Anda mempertaruhkan semuanya dan segalanya. Anda sendiri berkeputusan untuk mengambil amanat penderitaan rakyat dan bangsa Papua ke dalam jalan kehidupan Anda. Tidak perduli dengan apapun yang dapat dilakukan NKRI terhadap Anda. Tidak perduli juga dengan apapun yang dikatakan orang Papua sendiri. Apapun kondisinya di Tanah Air, apapun kondisinya di Indonesia, apapun kondisinya di dunia ini, Anda punya suatu keputusan, suatu kebulatan hati dan tekad, suatu prinsip: “Lahir Sekali, Hidup Sekali, Mati Sekali!” seperti dikisahkan dalam Facebook ini.
Sebuah “concern” mendatangkan “decision”, yaitu keputusan. Dan keputusan itu menyangkut apa yang dapat dan hendak Anda lalukan.
Banyak orang Papua memang memiliki “concern” terhadap kondisi tanah, bangsa, suku dan diri mereka sendiri. Mereka tahu bahwa memang kita harus berbuat sesuatu untuk merubah kondisi saat ini. Semua setuju bahwa pendudukan dan penjajahan NKRI ini sangat kejam dan mematikan, baik mematikan secara mental, nalar, pandangan hidup, etnis, ras, agama, suku-bangsa, … Dari berbagai aspek telah diketahui sangat merugikan selama berada bersama NKRI. Akan tetapi belum tentu semua orang ber’komitmen’ untuk mengambil tindakan, atau langkah untuk mengubah kondisi yang memprihatinkan itu.
Dalam Editorial sebelumnya telah disinggung 10 Jenis orang Papua. Dari antara mereka itu, orang Papua yang tidak perjuang karena concern dengan commitment akan Anad kenal dengan mudah saja.
Lalu yang terakhir ialah “Consistent”

Apa artinya “Consistent”?

Consistent memang kata yang banyak dipakai dalam bahasa Melayu, yaitu “tetap teguh”, “tidak berubah-ubah”, “tidak bergeser”.
Pejuang yang “konsisten” biasanya akan kelihatan. Limapuluh Tahun lalu Anda bertemu dia, Sepuluh Tahun lalu, Lima Tahun lalu, Setahun lalu, Sebulan lalu, Seminggu lalu, sejam lalu, ia tetap sama, sama sebagai seorang Papua, sama sebagai seorang pejuang, sama sebagai seorang yang berkomitmen untuk kemerdekaan West Papua berdasarkan “concern” yang sejak lama ia miliki.
Konsisten juga tidak hanya dalam hal pendirian pribadi, tetapi juga dalam hal menganut ideologi politiknya dan dalam hal mengikuti organisasi yang memperjuangkan misi dan visinya.
Bangsa Papua selalu disuguhi dengan isu faksi, pecah-belah, saling mengkleim, saling menyalahkan dan bahkan saling membunuh. Kebiasaan saling kleim terus saja berlanjut. Makanya tidak heran tanah dan bangsa Papua punya banyak sekali Presiden, banyak organisasi, banyak nama negara, banyak Perdana Menteri, banyak Panglima Tertinggi, dan seterusnya dan sebagainya.
Mengapa ini semua terjadi?
Kalau bukan karena orang Papua tidak tahu berjuang secara “consisten”, alasan apa lagi?
Mungkin karena kita terbiasa dalam mengarungi sungai dan laut, selama beberapa jam kita biarkan perahu ikut arus, sekali-sekali kita dayung ke arah tujuan kita, sebentar lagi kita lepas mendayung, memberi waktu kepada arus atau ombak untuk mencermati, lalu kita mendayung lagi. Mungkin itu sebabnya orang Papua menjadi mirip dengan bangsa “bunglon,” di mana saja dia berada, dia menjadi sama dengan keadaan tempat dia berada.
Kita sudah banyak menyaksikan tanah dan bangsa ini punya nama Negara dan Bendera Negara bermacam-macam. Kita juga disuguhkan dengan berbagai trik dan gelagat saling merebut. Inilah yang disebut penulis Papua sebagai “politik buru-pungut” (hunter-gathering-politics], kita hanya pungut apa yang ada di alam semesta. Kita pungut apa yang disediakan orang barat, yang disediakan NKRI, yang disediakan alam-semesta, yang disediakan malaikat, yang disediakan setan, semuanya kita buru dan pungut.
Semuanya terjadi karena perjuangan ini tidak dijalankan dengan “comitment” yang terfokus dan terkonsentrasi. Orang Papua yang berkonsentrasi dia tahu apa yang dilakukannya, apa yang harus dilakukannya, apa yang telah dilakukan, dan apa yang belum dilakukan, apa yang dapat dilakukan dan apa yang harus dilakukan. Apapun wacana NKRI, apapun ancaman TNI/Polri, apapun dukungan yang diberikan dunia internasional, apapun itu, dia tetap terfokus kepada “bidikannya”, karena dia tidak mau tergantu konsentrasinya gara-gara gangguan yang datang dari berbagai pihak  dengan segudang kepentingannya.
***

Para pejuang yang terlibat dalam perjuangan Papua Merdeka tanpa “3-C” ini akan nampak jelas dalam perilakunya, antara lain misalnya:

  • Dengan mudah ia dipengaruhi orang
  • Banyak sekali kegiatan sampigannya, selain kegiatan perjuangan Papua Merdeka;
  • Bahan pembicaraan di mulutnya seperti makan pinang, “ada kapur, ada sirih, ada pinang” dan juga “ada biji pinang, ada kulit pinang”. Yang keluar dari mulutnya, karena isi mulutnya bercampuran tadi, warna merah, bukan warna kapur lagi, bukan warna sirih lagi, bukan warna pinang lagi.Demikianlah orang-orang yang berjuang atas nama Papua Merdeka, tetapi sebenarnya mereka melakukan itu hanya karena …. Tidak ada “concern” atas penderitaan, amanat dan kondisi bangsa dan Tanah Papua.

Apakah Anda bagian dari orang Papua, pejuang Papua Merdeka dengan pangkat “III-C” atau “I-C” atau “II-C” atau “O-C”? Kalau Fransalberti Joku yang saya singgung waktu bercakap dengan Dr. Ondawame berpangkat “I-C”.

 

 

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny