Kritikan Ketua DAP, Dianggap Biasa

JAYAPURA—-Sorotan Ketua Dewan Adat (DAP) Forkorsus Yoboisembut yang menilai Komnas Ham penakut, ditanggapi suatu hal yang biasa oleh Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua Mathius Murib, SH. DIkatakan, kritikan Ketua DAP tersebut, sebagai suatu kriktik membangun dan juga motivasi atau dorongan untuk lebih konsisten dan serius mengungkap fakta fakta yang berkaitan dengan kasus HAM di Papua.Demikian disampaikan ketika dikonfirmasi Bintang Papua di Jayapura, Sabtu (5/12). Ia dimintai tanggapannya terkait pernyataan Ketua DAP Forkorsus Yoboisembut yang menyoroti bahwa selama ini Komnas HAM takut mengungkap sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terus menerus terjadi di Papua sebagaimana dilansir Bintang Papua, Kamis (2/12).

Menurutnya, pihaknya juga menyampaikan kepada semua pihak termasuk DAP bahwa Komnas HAM mempunyai kewenangan mengungkap fakta fakta atau peristiwa peristiwa yang diduga melanggar HAM. Sedangkan terkait proses hukum adalah kewenangan aparat penegak hukum sesuai fungsinya masing masing. “Komnas HAM membatasi pada pengungkapan fakta,” katanya. Dia menambahkan, pihaknya mengakui beberapa kasus pelanggaran HAM justru Komnas HAM belum mengungkapnya tapi secara umum semua fakta fakta yang terjadi Komnas HAM sudah sering mengungkapnya.

Jadi prinsip yang dianut Komnas HAM, ujarnya, sebagai lembaga mandiri, independen, netral dan tak memihak. Dalam pengungkapan fakta atau rekomendasi rekomendasi Komnas HAM kepada siapapun atau pihak manapun baik aparat maupun masyarakat yang dari fakta menunujukkan mereka bertanggungjawab pihaknya merekomendasikan.“Lalu proses berikutnya kalau dia diduga kuat terlibat dan bertanggungjawab yakni proses berikut sesuai dengan kewenangan masing masing,” ungkapnya. (mdc/don/03)

Sebut Pepera Final, Meset Dinilai Keliru

JAYAPURA—Pernyataan Mantan Tokoh OPM, Nicholas Meset yang menyebutkan Papua final dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Mahkamah Internasional, mulai mengundang kontra, kali ini datang dari rekan-rekan seperjuangnya. 

Kepada media ini, Selasa (27/7) malam kemarin, Juru Bicara Political West Papua Saul Bomoy kepada Bintang Papua mengatakan, pernyataan Nicholas Meset merupakan pembohongan terhadap perjuangan rakyat Papua Barat yang dilakukan, karena berada dalam tekanan dan keterpaksaan.

Menurutnya, Pepera 1969 itu belum final dan Mahkamah Internasional maupun badan keamanan dunia (PBB) sejak tahun 1969 hingga saat ini tidak pernah mengeluarkan pernyataan ataupun keputusan yang menyebutkan bahwa Papua merupakan bagian dari NKRI.

“Papua dalam NKRI itu karena hasil rekayasa Pepera 1969, hasil rekayasa bukan murni,” tegasnya mengulang.

Oleh karena itu pihaknya, lanjut Bomoi, menyarankan kepada Nicolas Meset untuk menghentikan manuver politiknya yang selalu menyebutkan bahwa Papua sudah final dalam NKRI , karena hal tersebut adalah pembohongan, sebaiknya Nicholas Meset memilih diam dan tidak banyak berkomentar soal masalah Politik Papua.

“Jangan terus menutupi kebenaran, kau sebaiknya pasimaut, (tutup mulut) dan kau sudah kalah dalam berpolitik bagi Papua Barat, yu tipu dan yu, tutup mulut dan diam-diam di Papua kita berdosa terhadap rakyat Papua Barat,” ungkapnya.

Bomoy yang juga merupakan korban Daerah Operasi Militer (DOM) menegaskan bahwa ferendum rakyat Papua Barat merupakan satu-satunya cara paling demokratis di dunia.
“Ini mekanisme demokrasi, hukum dan humanisme (HAM) untuk penentuan nasib sendiri, sesuai dengan declaration of humanisme and united nation,” terangnya.

Dia juga menuding bahwa manuver politik yang dilakukan Nicholas Meset karena yang bersangkutan telah buat kontrak politik dengan Pemerintah Indonesia sehingga hal itu bisa dimaklumi.

“Dialog antara pemerintah RI dengan Rakyat Indonesia juga harus dihentikan karena itu bukan solusi, itu memperumit serta memperpanjang konflik di Papua Barat,” singgungnya.(hen)

Mengapa Polisi Sulit Tumpas OPM di Papua

Amril Amarullah
Jum’at, 2 Juli 2010, 08:34 WIB

VIVAnews — Aksi teror, penembakan dan pembunuhan selama dua tahun terakhir kerap dilakukan kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua. Namun, aparat keamanan belum berhasil menumpasnya.

Ada sejumlah kendala yang dihadapi polisi sehingga sulit menumpasnya. Selain medan yang sulit ternyata juga minimnya peralatan yang dimilliki.

"Di sini semua gunung, dan OPM tinggalnya di sana. Kalau kami hendak melakukan penyergapan, mereka dengan mudah memantau dari atas ke bawah, lalu melakukan penyerangan," kata Kapolres Puncak Jaya, Alex Korwa kepada wartawan, Jumat 2 Juli 2010.

Tidak hanya itu, suhu yang ekstrim dengan oksigen tipis, tentu membuat personel kewalahan. "Kami benar-benar kesulitan jika melakukan penyergapan," paparnya.

Sementara, kata Alex, peralatan yang dimiliki personel yang ditugaskan mengejar dan menangkap gerombolan itu sangat terbatas. "Personel tidak dilengkapi perlengkapan yang memadai," tuturnya.

Menurutnya, jika personel yang melakukan pengejaran dilengkapi helikopter dan teropong malam, akan lebih mudah untuk mengejar dan menangkap OPM. "Keterbatasan perlengkapan membuat personil kesulitan melakukan pengejaran," tandasnya.

Kapolres mengklaim, pada 1 juli yang kerap dirayakan sebagai hari Ulang Tahun OPM, sama sekali tidak ada pengibaran bendera bintang kejora. "Situasi 1 juli di Puncak Jaya aman terkendali, meski sebelumnya kami menetapkan status siaga satu," ungkapnya.

Laporan: Banjir Ambarita | Papua
http://www.vivanews.com
http://nasional.vivanews.com/news/read/161756-alasan-polisi-sulit-tumpas-opm-di-papua
Dipublikasikan : Jum’at, 2 Juli 2010, 08:34 WIB
©VIVAnews.com

Pendekatan Dialog Kasus Makar

Papua ternyata masih menyimpan bara api. Kemunculannya dari berbagai aspirasi dan sikap yang dilakukan terhadap aspirasi yang timbul. Entah bersinggungan dengan “sebutan makar” atau sekedar menegakkan demokrasi, aspirasi sering bermunculan di tengah-tengah kita. Mulai dari penegakan HAM, hukum yang berkeadilan, sampai bunyi “merdeka.” Perlu kehati-hatian menyikapi aspirasi ini.

Tak selamanya aspirasi itu jahat. Tak selalu juga aspirasi itu bisa memperbaiki semuanya. Perlu memilah, mana aspirasi yang menjadi ungkapan kekecewaan yang dalam, mana pula yang hanya sekedar mengikuti tren. Perlu juga memilih, mana aspirasi yang mewakili kebanyakan orang, mana pula aspirasi yang hanya mewakili kelompok. Jika sudah memilah dan memilih, pendekatan aspirasi bisa dilakukan.

Aspirasi adalah bagian dari bentuk demokrasi. Ia merupakan keinginan yang tersimpan di benak kebanyakan orang, atau di benak sebagian orang yang berkelompok.

Aspirasi memiliki saluran yang bermacam-macam. Penggalangan massa untuk melakukan demo adalah salah satu penyaluran aspirasi. Aksi yang dilakukan Buchtar Tabuni adalah salah satu bentuk penyaluran aspirasi. Sayangnya, pendekatan sikap terhadap aspirasi ini ditempeli dengan “aksi makar.”

Memang, makar adalah bentuk yang tidak kita inginkan sebagai orang Indonesia. Karena tidak diinginkan, lantas pendekatannya menggunakan hukum. Cara ini bisa ampuh, bisa juga malah jadi bumerang yang menuai celaka.

Ampuhnya: bila pendekatannya memang mampu meredam keinginan banyak orang untuk tidak makar. Celakanya: bila ternyata dihukum satu malah tumbuh seribu orang yang berteriak “makar.”

Aksi yang dilakukan pendukung Buchtar Tabuni dengan mendatangi Pengadilan Tinggi Papua menjadi sinyal bahwa pendekatan “hukum makar” untuk kasus Buchtar Tabuni tidak ampuh. Malah justru diprotes. Memang, kalau sudah pendekatan hukum, protes tidak akan mempan. Hanya bisa melalui pembelaan kuasa hukum di depan hakim.

Sebenarnya ada cara lain yang bisa ditempuh. Yakni: pendekatan dialog. Aspirasi dibalas dengan aspirasi. Bila dilakukan dengan cara ini: bukan perangkat hukum yang bergerak. Polisi hanya bisa membantu. Sementara yang garis depan adalah perangkat pemerintah. Bisa wakil rakyat atau juga dinas pemerintah terkait.

Sudah saatnya aspirasi makar didekati dengan cara-cara dialog. (***)

Penambahan Pasukan ke Puja Dinilai Menambah Masalah

Pasukan Brimob Sap Dierjunkan ke Puncak Jaya
Pasukan Brimob Sap Dierjunkan ke Puncak Jaya

JAYAPURA [PAPOS] -Rencana penambahan pasukan sebanyak 1 SSK ke Puncak Jaya (Puja), pasca kasus penembakan yang diduga dilakukan anggota OPM hingga menewaskan satu anggota Brimob, Senin (14/6)lalu.

Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua dinilai hanya sebagai masalah baru di wilayah tersebut, dan bukan menyelesaikan masalah.“Penambahan pasukan seperti yang sudah diberitakan, sama sekali tidak menjawab keinginan masyarakat setempat, tetapi penambahan pasukan hanya menambah masalah baru di daerah Puncak Jaya,” kata Ketua Komisi A DPR Papua Ruben Magai kepada wartawan di kantor DPRP, Jumat [18/6].

Kasus yang terjadi di Puncak Jaya, lanjut Ruben, bukan masalah politik, sehingga penyelesaiannya mengaandalkan senjata atau kekuatan, tetapi kasus masyarakat setempat adalah bagaimana masalah ekonomi bisa teratasi di daerah tersebut.

“Untuk itu, Kapolri harus mencabut pernyataannya menambahan pasukan ke Puncak Jaya, karena jika tidak maka akan timbul masalah baru lagi, dan korban akan terus berjatuhan,” ujar Ruben.

Menurut dia, masyarakat Puncak Jaya, saat ini tidak membutuhkan kekuatan atau senjata guna menyelesaikan masalah yang terjadi diantara mereka, tetapi alangkah baiknya pemerintah pusat maupun pemda setempat duduk bersama-sama membahas masa depan masyarakat Papua, yang terlantarkan akibat kegagalan dari pada Otsus.[lina]

Ditulis oleh lina/Papos
Sabtu, 19 Juni 2010 00:00

Hubungan PNG-NKRI yang Akrab dan Mesra, Begitu Kah?

Sejak Papua New Guinea diberikan status “Independent State”, bukan republik atau sebuah negara merdeka dan berdaulat seperti dicita-citakan bangsa Papua di bagian barat Pulau New Guinea, maka sejak itu bangsa Papua di Timur Pulau New Guinea mulai membangun dirinya dan bangsa Papua mulai dari titik peninggalan penjajah Inggris-Jerman dan Australia. Persiapan kemerdekaan sebenarnya sudah dimulai di West Papua sepuluh tahun mendahului Papua Timur, tetapi mengalami kendala di tengah perjalanan.

Sejak pemberian kedaulatan kepada PNG, negara berbangsa Papua itu menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai negara kawasan, termasuk dengan Indonesia (NKRI). Dalam menjalin hubugan-hubungannya itu, bangsa Papua di PNG selalu menempatkan dirinya sebagai “bangsa yang belajar”, “bangsa yang mengikuti dari belakang”, “bangsa yang terkebelakang”, “bangsa yang tidak sanggup memimpin”, sampai-sampai harga diri bangsanya-pun dijadikan “mengikuti jejak orang putih.” Di samping merendahkan dirinya sendiri, penduduk PNG juga dibentuk sedemikian rupa sehingga mereka tidak memiliki jiwa ‘kebangsaan’ seperti kita miliki di bagian Barat. Rasa kebangsaan mereka hanyalah mencakup kampung dan desa mereka, menyangkut suku dan wilayah mereka, menyangkut makan dan minum hari ini, menyangkut bikin anak dan beristeri lebih dari satu. Nasionaisme Papua di PNG tidak-lah sejelas dan secanggih yang ada di West Papua. Tidak ada isu harga diri dan martabat, tidak ada topik wawasan kebangsaan Melanesia. Tidak juga memikirkan masa depan bangsa Papua dan ras Melanesia 10-100 tahun ke depan, apalagi tahun depan saja tidak pernah terlintas di pikiran.

Yang terlihat dalam kampanye politik setiap empat-lima tahun adalah pembagian uang kepada setiap kampung dan para Councilors (Kepala Suku) terima uang untuk memimpin pawai dan menghadiri kampanye politik orang-orang yang mau menduduki jabatan politik atau birokrasi. Topik kampanye-pun tidak pernah menyangkut Papua, Papua New Guinea apalagi Melanesia. Yang mereka sebut adalah jalan raya, biaya sekolah, biaya rumah sakit, pertandingan-pertandingan dan kasus-kasus orang lain menjadi bahan serangan mereka. Tidak ada politisi yang berpikiran nasionalis Papua.

Ditambah lagi, dalam hubungan dengan NKRI, politik “fear-factor” telah menjadi senjata ampuh yang dimainkan NKRI di hadapan seluruh penduduk negara-negara di Melanesia, terutama PNG. NKRI ditampilkan sebagai negara adikuasa di Pasifik, yang buas dan ganas, yang dapat mengamuk kalau diganggu, yang dapat menumpas dan memakan dengan tamak kalau disinggung dan dikorek sedikit saja, yang akan membunuh di siang bolong kalau ada yang bermacam-macam dengannya, apalagi mendukung West Papua Merdeka. Fear-factor merupakan senjata yang sudah ampuh digunakan terutama di Provinsi East Sepik dan Sandaun. Penduduknya begitu ketakutan melihat orang putih (wait man), kong-kong man (orang Asia). Apa akibatnya? Orang-orang sebangsa dan setanah air dari West Papua yang hendak mencari perlindungan karena dikejar oleh NKRI malahan dijauhi, ia malahan tambah lari darinya ketakutan diapun menjadi sasaran buruan NKRI.

Bercerita tentang West Papua, apalagi menceritakan West Papua Merdeka menjadi sesuatu yang terlarang di dua provinsi terbarat dari PNG. Cerita-cerita pelanggaran HAM dibuat sekejam mungkin tidak membuat bulu roman orang-orang sebangsa kita berdiri dan menantang NKRI. Mereka malahan bilang,

“Adooooh, saya takut saya kena musibah yang sama. Kamu orang-orang West Papua jangan tinggal di sini, jangan bicara dengan saya, jangan bilang saya kenal kamu, jangan, ohhh jangan. Kamu jauh dari saya. Kamu nanti bikin saya celaka. Saya biasa bebas, jadi kamu bikin saya terikat.”

Bandingkan saja cerita pengalaman ini dengan apa yang dilakukan Michael Somare saat SBY dan rombongan mengunjungi PNG baru-baru ini. Keduanya berjabatan-tangan, keduanya tersenyum mesrah, seolah sahabat karib, sebangsa-setanah air, satu nenek-moyang. Yang sebenarya begini: Yang terpencar dari Michael Somare adalah, “Oh Indonesia, saya orang baik, jangan bunuh saya, saya baik-baik sambut-sapa dan berjabatan-tangan. Kalau mau bunuh, bunuh saja orang-orang pendukung Papua Merdeka. Saya sih mendukung NKRI.”

Perasaan takut yang sama juga sebenarnya menghantui politisi Republik Vanuatu. Cuman Vanuatu tidak memiliki bos negara barat yang dapat mendiktenya dan menakut-nakutinya. Sekaligus juga Vanuatu memilik basis dukungan rakyat yang begitu kuat, sehingga pemerintah tidak dapat menunjukkan rasa takutnya secara terbuka. Mereka lebih takut kepada desakan rakyat mereka yang dapat menurunkan mereka dari jabatan kalau mereka menolak dukungan terhadap Papua Merdeka.

Pada suatu saat nanti kondisi seperti ini akan terbangun di Papua New Guinea, di mana justru rakyat sendiri yang menuntut supaya West Papua harus merdeka. Memang perasaan itu sudah ada, tetapi selalu dimatikan oleh fear-factor tadi. Yang akan terjadi adalah dorongan dan banjir serta badai dukungan kuat akan menghembus harapan dan kekuatan bagi ombak dari laut dan aliran sungai-sungainya ke laut akan bertambah deras sehingga dukungan itu tidak dapat dibendung lagi. Dalam kondisi terpaksa politisi di Port Moresby harus menyanyikan syair yang disuarakan badai itu. Kalau tidak, ia sendiri akan terbawa arus dan terhempas ke lautan Pasifik yang luas dan tenang itu.

Fear-factor itu harus dimatikan dengan berbagai upaya para pejuang Papua Merdeka. Salah satu cara adalah melakukan pencerahan-pencarahan, menerbitkan situs dan buku-buku dalam Tok Pisin dan Bahasa Inggris dan dibagikan ke seluruh Melanesia, mengajarkan mereka tentang Nasionalisme Papua, bukan hanya nasionalisme West Papua, memberitahu mereka masa depan Melanesia sebagai bangsa dan sebagai wilayah menghadapi globalisasi dan global-warming serta climate change. Para pejuang West Papua Merdeka haruslah menempatkan perjuangan Papua Merdeka di dalam konteks perjuangan bangsa Papua dari Pulau New Guinea sebagai “Kakak dari ras Melanesia”, yang harus bangkit membela ras dan identitasnya terhadap ekspansi dan pendudukan Asia dan Melayu.

Kita harap pada titik itu, kiranya keakraban dan kemesrahan itu berbalik arah, dan berpaling kepada dirinya sendiri, di dalam dirinya sendiri dan untuk bangsanya sendiri, bukan untuk para pembunuh, penjarah, pencuri dan penjajah. Karena mereka datang dan bermuka domba, padahal serigala itu datang untuk membunuh, dan memangsa, bukan sebaliknya.

Bintang Kejora Lambang Kultural atau Simbol Kedaulatan

BIAK [PAPOS] – Ada yang menafsirkan Bendera Bintang Kejora adalah sebagai lambang kultural masyarakat adat Papua, tetapi ada pula yang memposisikannya sebagai symbol dari sebuah kedaulatan. Hal inilah yang sering menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat adat Papua yang seharusnya sesegera mungkin harus dijawab oleh Pemerintah provinsi Papua melalui sebuah Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua.

Hal itu disampaikan ketua DPRD Kabupaten Biak numfor, Nehemia Wospakrik,SE.Bsc usai menerima aspirasi masyarakat yang menamakan diri Solidaritas Hak Asazi Manusia Papua yang menyampaikan aspirasinya melalui demo damai yang berlangsung di Kantor DPRD Biak Numfor (11/3) kemarin.

PERPECAHAN INTERNAL MEMPERLAMBAT KEMAJUAN WEST PAPUA

Written by Kummeser

West Papua dalam decade 2000- 2010 selalu menjadi bola panas dalam pertemuan Forum Kepulauan Pasifik ( Pasific Islands Forum) sebagai salah satu isu keamanan regional, tetapi perpecahan internal dalam gerekan kemerdekaan membuat diskusi-diskusi dalam forum tersebut tanpak kurang menjadi penting.

Tidak seperti tahun 2000, ketika bangsa West Papua terwakili dalam pertemuan Forum Kepulauan Pasifik di Kribati. Nauru — salah satu pendukung teguh gerakan kemerdekaan West Papua sebagai penyelenggara pertemuan tahun 2001, menolak visa bagi empat orang aktivis West Papua , termasuk juru bicara Presidium Dewan Papua Frans Alberth Yoku. Tak cuma itu Dirk Kereway, aktivis West Papua yang beroposisi dengan PDP, juga ditolak visanya untuk memasuki Nauru . Rene Harris mengatakan visa mereka ditolak sebab dia khawatir mereka akan berselisih paham tentang siapa utusan gerekan Kemerdekaan West Papua yang seharusnya diijinkan menghadiri Forum Kepulauan Pasifik. Rene Harris juga tak ingin menyaksikan kentaranya perpecahan di antara orang West Papua dalam Forum Kepulauan Pasifik.

Harris menyeruhkan kepada para pimpinan West Papua untuk membereskan dulu rumah tangga mereka. Ia juga menambahkan bahwa

KAPAN PAPUA DAMAI ?

PENDAHULUAN

Banyak pertanyaan orang Papua, misalnya ;”Kapan Papua Damai, Kapan Papua Merdeka atau “Kapan Kita Merdeka” dll. Pertanyaan fundamental tapi juga maha penting ini belum sanggup dijawab oleh kita semua. Tulisan ini parsial tidak menjawab secara konprehenshif sekaligus hanya mencoba menggagas dan menggugah kesadaran bersama guna mencari format perjuangan dan kiat apa yang sebaiknya dipikirkan rakyat Papua. Disini penulis mengajak berfikir untuk mencari solusi (jalan keluar) dari masalah maha berat tapi amat penting karena menyangkut hak bereksistence. Untuk itu pertanyaan, kita ini bangsa apa, ras apa, atau saya siapa, darimana, benarkah kita berbangsa Indonesia? Karena kenyataan bangsa Papua dan segala isi buminya di “rampok” penjajah asing. Tulisan ini tidakmencoba mempertajam pertanyaan agar menyadari betapa kewajiban mulia ini harus dipikul secara bersama-sama adalah jawaban pertanyaan ‘Kapan Papua Damai’. Kewajiban memperjuangkan Papua Damai tidak മേഞ്ഞവാബ് തപി hanya kewajiban satu dua orang atau lembaga, gerakan Papuanisasi adalah mengoptimalkan potensi tanpa egoisme primordial. Tulisan ini perspektif pemikiran, elaborasi lanjut diharapkan inovation gerakan mewujudkan impian Papua Damai, Papua Baru.

B. KELEMAHAN

Menyadari kelemahan diri, Bangsa Papua Barat, amatlah penting, agar tidak melulu menyalahkan kesalahan pada pada orang lain yang pada akhirnya kita sendiri prustasi dan lari dari kenyataan ketidakmampuan kita sendiri, mesianisme, alcohol adalah pelarian dari tanggungjawab. Agar kesadaran kesalahan dalam bangsa sendiri dapat membangkitkan Nasionalisme Papua Barat dalam artian yang sesungguhnya. Untuk itu untuk mengetahui kesalahan Bangsa Papua Barat, sebagai bagian dari insropeksi amatlah penting. Mengetahui kelemahan harus dirumuskan apa kekurangan-kekurangan itu. Ilmu logika dan ilmu kritis menyediakan pertanyaan : Apa, Bagaimana dan Mengapa, perlu dimunculkan lebih dulu. Pertanyaan seperti “Mengapa Kita di jajah? Kenapa Kita tidak berdaulat? Apa saja kekurangan kita? Bagimana Papua Barat dapat Berdaulat? Apa yang harus dilakukan orang Papua Barat? Adalah pertanyaan penting menjawab semua kekurangan dan kelemahan untuk mengetahuinya. Kita menyadari bahwa sumber segala sumber kesengsaraan Rakyat Papua ada pada (mereka/penjajah) Indonesia, Amerika dan Belanda atau bangsa-bangsa lain didunia, terutama tatkala PEPERA tahun 1963 itu karena tidak memenuhi aspek one man one voot. Tapi penting juga menyadari bahwa kelemahan juga ada pada diri kita sendiri. Kalau begitu apa saja kelemahan itu? Kelemahan kita banyak tapi pentingnya disini adalah menyadari kelemahan masa lalu itu sebagai semangat untuk bangkit kembali merebut hak kemerdekaan kita yang dirampas. Bagaimana caranya kita rebut kemerdekaan kita yang konon di Proklamasikan 1 Desember 1961 itu? Cara agar kita dapat berdaulat kembali dari kenyataan sekarang para mencuri, membunuh, merampok, memperkosa semua sumber daya alam dan manusia Papua Barat yang terus secara tidak waras alias gila dengan semakin memprihatinkan berlansung kini caranya bagaimana? Bagaimana caranya kita membebaskan diri menuju Papua Damai, Papua Merdeka dari penindasan diatas Tanah Air sendiri ? Adalah suatu pertanyaan yang senantiasa untuk dikerjakan bukan diam tanpa usaha.

C. HAMBATAN

1. Sosial-Budaya

Sumber utama penjajahan yang berlangsung secara sangat gawat saat ini adalah hegemoni sosial budaya. Berbagai aspek kehidupan rakyat Papua dikuasai oleh dominasi nilai-nilai jajahan (koloni) baik melalui lembaga resmi maupun terselubung. Budaya yang dicekoki pada bangsa kita adalah budaya penjajah, tapi kita tidak menyadari hal ini, misalnya cara bertindak, berfikir, bertingkahlaku kita, bukan sebagai orang Papua. Kita sebagaimana dikatakan Pendeta Phil Erari menjadi manusia yang aneh, karena berbicara bukan dengan bahasa sendiri, bertindak kemauan sendiri, berfikir bukan pikiran sendiri. Tapi semua adalah semua kehendak lain yang terkuasai dalam diri kita yang sesungguhnya asing dalam diri kita. Tapi terkuasai hegemoni budaya lain. Kita tidak menentukan kebebasan kita sendiri dalam budaya sebagai orang Papua. Tapi semua sudah dipaketkan untuk kita anut oleh penjajah. Disinilah esensi atau hakekat dari penjajahan tapi kita tidak menyadarinya bahkan larut didalamnya. Kita menjadi manusia aneh dimuka bumi. Kelemahan lain kita miliki sekarang adalah gap antara kultur budaya Papua yang umumnya berdomisili di pegunungan tengah dan kultur Pulau atau dekat laut. Hal kontras dalam gerakan perjuangan sehingga untuk menyatukannya menjadi satu payung adalah hanya pernah ada dalam kongres ke II tahun 2001 yang kemudian melahirkan PDP dengan satu tokoh Nasional Theys Hiyo Eluay. Sejak kematian tokoh ini Papua kini ibarat bayi kesakitan. Kita krisis pemimpin yang sekharismatik dan sekelas Theys untuk saat ini. PDP dibawah Tuan Thom Beanal sangat rapuh dan lemah ibarat hidup segan mati tak mau, demikian kondisi PDP saat ini. Disinilah letak kelemahan kita saat ini. Adapun kelemahan lain kita adalah mudah percaya pada orang lain, dan tidak memiliki kepercayaan diri, budaya kita mulai rapuh, adat kita sudah kita ganti dengan agama adalah sumber segala sumber yang paling dominant kelemahan krisis kepercayaan diri kita dari sisi budaya. Karena itu kita lebih yakin dan percaya pada orang lain daripada orang Papua sendiri. Kita mengabaikan kebaikan dan kebenaran diri sendiri, ini sangat berbahaya bagi self of confident (kepercayaan diri) sendiri sesungguhnya mampu dan lebih bisa dari orang luar berangkat dari mengagung-agungkan budaya agama lain. Musibah krisis kepercayaan diri bermula disini. Papua Pegunungan tidak diakui sebagai kebenaran dan kebaikan hanya lantaran istilah kanibal, primitif dan akhinya pedalaman. Stigma demikian terinternalisasi sejak kehadiran pihak asing menjadi melekat dan terus berlangsung.

2. Pendidikan Politik Lemah

Dalam masyarakat manapun penjajah tidak mau penduduk negeri jajahannya memberi pendidikan. Kondisi ini terjadi juga di Papua. Penjajah tidak pernah membangun infrastruktur serta suprastruktur yang memadai untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang baik dan bermutu bagi anak Papua. Kenyataan didaerah pegunungan Tengah Papua menjadi saksi bahwa dalam era abad ke 21 yang super modern ini masih primitif tanpa pernah mengenyam pendidikan. Sekalipun ada lembaga pendidikan, secara kualitas tidak memenuhi standar pendidikan bermutu. Mengingat kembali tahun 1960-an-1970-an keadaan sangat memperihatinkan generasi kala itu. Mungkin Alex Hesegem (Wakil Gubernur) bisa seperti sekarang bukan menamatkan pendidikannya di Kurima tempat kelahirannya. Tahun 70-an seorang siswa SD YPPK/YPK (lembaga pendidikan kristen yang dibangun para missionaris), untuk melanjutkan SMP jaraknya antar propinsi di Jawa. Apalagi SMA belum ada kecuali harus ke Jayapura, ukuran di Jawa antar negara, sebanding ke Singapura atau, ke Malaysia atau mungkin ke Brunei Darussalam. Perbandingannya jika SD Kurima terdaftar 100 orang siswa, melanjutkan tingkat SMP jarak sekolah jauh tidak terjangkau. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan watak dari pemerintahan kolonialis dimana-mana karena merasa takut dan khawatir penduduk negeri jajahannya kalau tahu hak dan kewajibannya akan berontak pada pemerintahan kolonialis yang sah. Maka untuk itu biasanya penjajah berusaha membuat bodoh penduduk anak negeri jajahan. Hal demikian juga dilakukan Belanda pada bangsa Indonesia selama 300 tahun penjajahannya di Hindia Belanda. Disini kita semua rakyat Papua menjadi maklum jika kualitas dan pelayanan pendidikan buruk dan tidak memenuhi standar pendidikan semata-mata disengaja oleh penjajah dan bagian alat politik pendidikan dengan tidak menyediakan pendidikan lanjutan, sehingga anak negeri jajahan menjadi terbelakang dan tetap bodoh tanpa menuntut apa-apa dari kejahatan terselubung dengan kedok kebaikan memajukan dan membangun penjajah agar lebih beradap sesuai standar dan selera budaya penjajah. Karena itu misal kasus di Pegungungan Tengah tadi siswa yang menamatkan SD katolik di Kurima tidak dapat melanjutkan pendidikan tingkat lanjutan kecuali mereka harus pindah ke Mulia yang belum samasekali ada kenalan. Namun dari sampel 100 siswa kalau ada juga yang menempuh jarak ratusan kilometer untuk melanjutkan tingkat lanjutan SMP, maka perbandingannya dari 100 siswa hanya dua-tiga orang siswa, tapi jika mau melanjutkan SMU/SMA dimana? Sekolahnya tidak ada, alias pemerintah tidak menyediakan tingkat lanjutan untuk tiga anak tadi agar bisa melanjutkan tingkat lanjutannya, otomatis gugur semua. Belum lagi bias hegemoni budaya asing dalam budaya Papua. Dalam salah satu penelitian yang dilakukan LP3S, menemukan kasus kebingungan anak-anak SD Papua dengan kurikulum dipaketkan dari Jakarta. Siswa SD di Papua bingung tatkala guru membacakan dan siswa secara bersama harus mengikuti dalam pelajaran latihan membaca. Tatkala guru membaca : INI BUDI, INI WATI, siswa Papua, mengira BUDI dan WATI itu makluk seperti apa, hewan kah, sapi, atau barang seperti apa, sebab nama-nama itu begitu asing ditelingga mereka dan dalam lingkungan budaya mereka sehari-hari sendiri. Belum lagi kualiats tenaga guru, buku-buku, kurikulum, buku pedoman, hingga tulisan ini ditulis kondisi ini masih berlangsung disejumlah daerah terpencil di seluruh Papua. Ini artinya apa? Bahwa untuk menuju Papua Merdeka atau Papua Damai, kenyataan kita hadapi dengan mayoritas penduduk dengan angka hampir 90 % penduduk Papua tidak dapat baca tulis alias buta aksara. Logikanya jika dalam era tahun 70-an kalau benar bisa kita merdeka kala itu sekarang sudah bagus atau seperti apa, kita belum pernah dapat membayangkannya, namun kondisi itu masih berlanjut hingga dewasa ini tanpa ada perubahan yang significant. Kita sulit membayangkan juga kualitas para aparat yang mengisi jabatan instansi pemerintahan kala itu, kira-kira seperti apa? Persis seperti Indonesia dulu, banyak korupsi. Jangankan zaman itu, di zaman ini saja, Contoh kala kita terima otonomi khusus dalam era ini banyak sekali ijazah palsu atau mereka yang menyelesaikan pendidikannya dengan ijazah persamaan setelah menjadi pejabat publik yang bergengsi. Kita jangan lupa Gubernur kita sekarang pelantikannya berlarut-larut hanya masalah ijazah walaupun secara kaulitas kita tahu bahwa Bas Suebu adalah salah satu sedikit orang Papua yang genius kita miliki saat ini. Kita belum punya data kepastian ada tidak PNS kita di Papua yang buta huruf, tapi banyak dugaan ada terutama Kabupaten pemekaran baru. Kita kembali kesoal pendidikan, bahwa penjajah sering menerapkan kebijakan ganda, pada negeri jajahan mereka agar penduduknya tidak berpendidikan untuk menutupi kedok kejahatan kolonialisme mereka yang sangat mematikan masa depan negeri jajahan. Upaya kecerdasan rakyat dimatikan dengan membiarkan orang-orang jajahan hidup tanpa pendidikan. Anak-anak negeri jajahan paling tinggi berpendidikan sampai SMA atau kalau mengeyam perguruan tinggi dengan kurikulum dan pengajaran serta buku standar di paketkan pihak penguasa. Hal ini terus berlangsung di Papua. Apalagi MKDU, antropologi, sebagai mata kuliah wajib semua jurusan yang diajarkan di Uncen karangan Koenjraningrat, bahwa orang Papua pernah berkeliaran di daerah Jawa Timur, untuk apa ini semua dengan kedok ilmiah? kelanggengan kolonisasi. Mengemukakan semua kelemahan ini bukan semata-mata membuka kedok sendiri tapi memenuhi tujuan judul tulisan tentang beberapa kelemahan bahwa esensinya, kelemahan itu ada diseputar pendidikan. Artinya masyarakat kita dalam banyak laporan menunjukkan tingginya angka buta aksara. Tujuan menyinggung soal pendidikan disini untuk membuktikan bahwa kelemahan orang Papua sebagai diutarakan diatas nyata adanya. Sehingga ada perhatian semua pihak terutama pemerintah daerah untuk menuju Papua damai, soal pendidikan adalah amatlah mendasar. Rekomendasi penulis para Bupati, dan Gubernur, bahwa dalam era Otsus dengan kelimpahan banyak rupiah yang mengalir ke Papua lebih banyak di alokasikan pada sektor pendidikan, dengan memberi beasiswa, baik didalam negeri maupun di luar negeri. Jika Papua mau keluar dari kelemahan bahwa lembaga pendidikan dengan fasilitas lengkap, dan guru adalah faktor utama peserta didik dapat berhasil guna mempersiapkan anak-anak Papua kelak untuk membangun diri, negeri dan bangsanya penting dikerjakan sekarang oleh para Bupati. Masing-masing Bupati secara periodik dapat mengirim anak-anak Papua disejumlah negara Eropa, Amerika dan Australia, Jepang dan Korea. Sepulangnya mereka sudah dapat melakukan berubahan besar ditanah air adalah harapan dan kepastian jika investasi pendidikan ini diperhatikan. Gubernur dapat mengumpulkan para Bupati dan mengintruksikan agar masing-masing Kabupaten dapat mengirimkan putra-putri terbaiknya di sejumlah negara Eropa, Australia dan Asia atau Amerika/Latin. Bagian ini saya sudahi dengan rekomendasi untuk diperhatikan oleh Gubernur dan segera mengintruksikan para Bupati agar sesegera mungkin mengutus duta pelajar anak-anak Papua di berbagai negara dalam berbagai jurusan keluar negeri. Penyebab utama sikap dependensi (ketergantungan) pembebasan datang dari langit, mesianisme, kargoisme dan hedonisme atau mudah tergoda kenikmatan sesaat adalah kurangnya moralitas dan pendidikan di Papua. Kebijakan nasional penjajah menyebabkan rakyat kita di Papua Barat menjadi buta politik, dan implikasinya sikap dependence dan harapan datangnya dewa pembebas dari diluar dirinya, misalnya Tuhan. Karena itu polityic education, oleh berbagai lembaga keagamaan, dan organisasi kepemudaan lainnya penting terus di lakukan terutama Front Pepera, AMP, BEM, HMPJ, AMPTPI dan lain-lain harus terus di lakukan di lapisan masyarakat bawah (grass root). Sektor lain kita juga selama ini kurang menyadari, tapi ini harus diketahui bahwa ada kebijakan tidak populer penjajah menerapkan kebijakan nasionalnya untuk membuat sikap kita merasa butuh terus kehadiran penjajah adalah dengan cara semua sarana produksi dan indus
tri kebutuhan bahan-bahan pokok dibuat di negeri seberang. Kondisi saat ini belum ada induntri atau pabrik pakaian, makanan atau minuman, kita bisa mendapatkannya dengan biaya yang sangat mahal. Hal ini diperparah lagi dengan kolonisasi para kolonialis dengan membuat kebijakan nasionalnya dengan penyediaan bahan-bahan pokok semua didatangkan dari negeri penjajah diseberang lautan adalah bagian dari usaha sistematis menjauhkan anak negeri dari aspek lalulintas pergaulan dunia. Kebutuhan pokok misalnya sandang, papan, dan pangan tidak dicoba disediakan oleh anak negeri, semua di sediakan diluar adalah upaya-upaya yang kita maksudkan dengan upaya pembosaian atau pengkerdilan suatu daerah dari pergaulan lalulintas manusia lain di wilayah jajahan. Mentalitas kita menjadi dan dibuat oleh penjajah sesuai dengan rencananya menjadi ketergantungan yang berlebihan (dependent) kepada penjajah. 3. Moralitas Orang Papua Soal moralitas adalah kekurangan dan kelemahan paling utama mau ditempatkan disini, bukan karena orang Papua jarang pergi ke Gereja, atau ke Masjid, bukan pula karena orang Papua kurang percaya pada Tuhan. Orang Papua banyak yang berdo’a baik pagi maupun menjelang malam hari, orang Papua banyak yang sembayang dan puasa tetapi yang tidak sedikit pula orang Papua minum, main perempuan (bukan isterinya sendiri), anak-anak remaja bergaul bebas (free sex). Bukan ini yang mau dimaksudkan disini dibawah judul kecil ini. Walaupun soal ini adalah soal penting juga namun tugas untuk menyampaikan ini adalah para Pendeta, Pastor, dan Ulama. Dan yang paling penting adalah upaya pembinaan sejak dini dari dalam keluarga sendiri itu lebih penting dalam soal yang dimaksudkan diatas. Kalau berbicara soal moralitas selain yang di sebutkan diatas banyak lain lagi yang harus menjadi tugas rutin para pendeta, pastor dan ulama, diantaranya, korupsi para pejabat, perselingkuhan para ulama sendiri, pemerkosaan para ustadz sendiri, korupsi oleh para pendeta dan para pastor sendiri yang menduduki jabatan publik bukan hal baru bagi kita. Tapi Moralitas yang dimaksudkan disini lebih pada budaya malu pada diri sendiri. Kita harusnya malu kalau tidak percaya pada diri sendiri, pada budaya sendiri, pada orang sendiri, bukan percaya pada orang asing. Karena itu saling tidak percaya pada orang sendiri adalah kerendahan moral. Kita menghianati kesepakatan bersama dengan menerima Otonomi khusus Papua, kita mau menerima menjadi atau mencalonkan diri sebagai pejabat yang dipromosikan oleh penjajah, yang sesungguhnya itu sebagai alat memecah belah semangat juang kesatuan dan persatuan untuk menuju Papua Damai, Papua Merdeka. PDP meninggalkan posnya dengan menerima komisaris PT Freeport, Wakil ketua PDP, meninggalkan posnya dengan menerima jabatan sebagai MRP, buatan kolonialis, Yap salossa (Gubernur era Otsus Papua Pertama, Almarhum 2006) menjalonkan diri jadi Gubernur Papua dengan meninggalkan PDP sebagai anggota Panel. Yoris Raweyai meninggalkan posnya dan berkampanye NKRI dari Jakarta setelah menjadi anggota DPR RI dari Golkar, kembali mencalonkan diri disaat rakyat dan beberapa organ perjuangan masih menentang pembentukan Propinsi IRJABAR, malah mencalonkan diri sebagai Gubernur dengan menghkianati rakayat Papua. Singkatnya semua anggota DPRD dan DPR RI DPD RI, Bupati pemekaran Papua dewasa ini adalah mantan anggota PDP. Mau menerima dan mencalonkan diri dalam jabatan apapun di era Otsus Papua adalah kelemahan moralitas yang dimaksudkan disini. Inilah sesungguhnya kita tidak patuh pada hati nurani kita sendiri tapi gampang percaya orang lain dengan mudah menerima tawaran orang, kemauan orang, perintah orang asing. Kita mudah terima dan membiarkan hati nurani kita adalah kelemahan moralitas bangsa Papua Barat. Kita bahkan mudah percaya mulut manis dengan iming-iming semua fasilitas dari kolonialis dengan mengabaikan kehendak diri sendiri untuk berdaulat, Papua Merdeka. Inilah yang mula-mula terjadi pada para tokoh pemimpin Papua pada masa sebelum dan setelah Pepera tahun 1940-an dan 1960-an. Beberapa kepala suku di bawa keliling Indonesia oleh Soekarno, diberi minum beer, ada paha ayam ( perempuan WTS), dan jalan-jalan keliling Indonesia. Kita tahu ini tapi kita mengulanginya dan terus akan mengulangi adalah kelemahan moralitas orang Papua. Mentalitas kita adalah mentalitas budak. Karena itu mentalitas kita rapuh, tidak kokoh, mudah diintervensi, gampang dibujuk, lemah terhadap tawaran nilai baru dan gampang diatur-atur orang asing, mudah diperintah-perintah orang lain dan kita mau juga melaksakan perintahnya dengan kemasan tawaran menggiurkan, wanita, uang, dan jabatan. Ini semua adalah kelemahan dan bobroknya moralitas manusia Papua yang berlangsung pada masa lalu, kini dan akan datang (?). Kita tidak memiliki prinsip sendiri, tapi menganut dan menerima prinsip para penjajah dengan mengabaikan keutamaan nilai sendiri tidak menghargai budaya sendiri. Sumber: http://ismail-asso.blogspot.com/2009/05/kapan-papua-damai.html?zx=a078a9a14e637fbb

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny