Ancaman Goliat Tabuni Cs, Bentuk Propaganda

JAYAPURA—Ancaman siap perang melawan TNI/Polri yang dilancarkan Panglima Komando Revolusioner Nasional Papua Barat TPN/OPM ‘Jenderal’ (TPN) Goliat Tabuni dari markas di Tingginambut, Puncak Jaya melalui suratnya, ternyata ditanggapi sebagai hal biasa oleh Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Erfi Triassunu . Pangdam, bahkan menilai surat ancaman OPM itu hanya sebatas suatu isu dan bentuk propaganda Goliat Tabuini CS yang tidak perlu dirisaukan oleh TNI sebagai alat pertahanan dan keamanan negera. “Itu isu dan propaganda mereka. Kita hanya melaksanakan sesuai tupoksi TNI secara profesional saja. Masyarakat yang menilai,” tukas Pangdam dalam SMS (Short Message Service) menjawab Bintang Papua, Senin (8/8), kemarin. Saat itu Pangdam, dikonfirmasih terkait beredarnya surat ancaman milik OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang mengancam akan siap berperang melawan TNI-Polri jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.

Secara lebih lanjut, ketika ditanyai himbauannya bagi masyarakat, Pangdam menuturkan bahwa masyarakat diharapkan tetap tenang dan dapat bekerja sama dengan aparat TNI dan waspada. “Saya harap kita dapat mempertahankan suasana yang kondusif. Kasih dan damai itu indah,” tandasnya dalam SMS Pangdam selanjutnya yang juga mengakhiri pembicaraan.
Soal pertanyaan apakah dengan ancaman ini, mungkin saatnya TNI melakukan operasi militer di sekitar lokasi yang dianggap Markas OPM, Pangdam tidak menjawabnya.

Sebelumnya, Panglima Komando Revolusioner Nasional Papua Barat (TPN/OPM) ‘Jend’ (TPN) Goliath Tabuni dari markasnya di Tingginambut Puncak Jaya dengan seorang perantara seorang kurirnya Jumat (07/08) mengirimkan surat terbuka dan pernyataan resminya ke email Redaksi Bintang Papua. Dalam suratnya itu, Goliat menebar ancaman siap angkat senjata melawan TNI/Polri jika sejumlah permintaan mereka tidak dipenuhi.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi A DPR Papua yang membidangi masalah politik dan HAM Ir Weynand B Watori menegaskan, ancaman dari Goliath Tabuni Cs tersebut adalah bagian dari akumulasi tidak terbukanya ruang dialog antara orang asli Papua dan pemerintah Indonesia.

“Jadi akhirnya orang kemudian merasa terancam ya dia juga melakukan ancaman karena ruang dialog itu tak ada,” katanya.
Karena itu, lanjutnya , ancaman siap angkat senjata melawan TNI/Polri jika sejumlah permintaan mereka tak dipenuhi bukan hanya dilakukan Goliath Tabuni Cs, tapi ada kelompok atau orang lain akan melakukan ancaman serupa, apabila dia merasa tak adanya ruang dialog untuk menyelesaikan suatu masalah.

Menurutnya, di era demokrasi ini setiap orang boleh menyampaikan pendapat termasuk Goliath Tabuni.

“Jadi bagi saya silahkan saja kalau beliau berpendapat seperti itu. Itu kan pandangan dan pikirannya bahwa beliau akan mengancam perang melawan TNI/Polri apabila tuntutan mereka tak dipenuhi,” katanya. Mathius Murib berpendapat munculnya ancaman Goliat Tabuni CS ini dilatari beberapa hal. Pertama, ia semakin berani mengkampanyekan niat dan rencana serta strateginya secara terbuka di media massa, setelah membisu puluhan tahun lalu. Di era demokrasi ini memang setiap orang bisa dan berhak menyampaikan pendapat, termasil aspirasi politiknya.

Kedua, perjuangan apapun seharusnya masuk dalam mekanisme hukum nasional dan internasional, secara bermartabat dan simpatik. Ketiga, keputusan angkat senjata dan perang tentu berpotensi melanggar HAM itu tentu ada mekanismenya, dan tak relevan dan tidak simpatik untuk saat ini.

Untuk itu ia menyarankan kepada TPN/OPM segera gencatan senjata lalu harus bisa berdialog atau gelar perundingan dengan pemerintah Indonesia secara damai. (dee/mdc/don/l03)

Senin, 08 Agustus 2011 23:33

Tuntutan Referendum Papua (Antara Problem Domestik & Kepentingan Asing)

Oleh : Harits Abu Ulya, Direktur The CIIA -Community Of Ideological Islamic Analyst-

Papua kembali memanas, dua peristiwa terpisah telah meletup. Pertama, bentrokan berdarah di kabupaten Puncak yang dipicu masalah Pilkada, hampir 20 orang tewas sia-sia.

Kedua, serangan yang diduga dilakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka). Pertama di wilayah Pinai, kedua di wilayah Nafri (1/8) akibatnya, empat orang tewas, tiga luka berat dan dua luka ringan. Peristiwa kedua diduga terkait seminar di London oleh ILWP (International Lawyer for West Papua).

Penyerangan itu diduga sebagai dukungan terhadap seminar yang diselenggarakan oleh ILWP, dengan targetnya untuk mengangkat masalah kemerdekaan Papua pada tingkat internasional (internasionalisasi). Dan hingga kini, sikon sosial politik cukup rentan kontraksi melalui riak-riak kecil kekerasan.

Sementara itu pada 1 Agustus di beberapa kota di Papua seperti di Jayapura, Nabire, Timika dan Manokwari terjadi demontrasi mendukung kemerdekaan Papua yang konon diikuti oleh ribuan orang dari berbagai kota itu.Komite Nasional untuk Papua Barat (KNPB) yang mengkoordinasikan demonstrasi itu menyatakan dengan jelas bahwa demonstrasi itu dimaksudkan sebagai dukungan terhadap konferensi yang dilakukan di London oleh ILWP. Konferensi itu sendiri diselenggarakan di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford. Tema yang diusung tentang kemerdekaan Papua: “West Papua ? The Road to Freedom”. Diantara pembicaranya adalah John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku “Autonomy of Betrayal”, Benny Wenda pemimpin FWPC yang tinggal di Inggris, Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu, saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 Clement Ronawery dan Anggota Ahli Komite PBB untuk Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan Frances Raday. Sementara dari Provinsi Papua telah diundang untuk berbicara melalui video-link di konferensi tersebut yaitu Dr. Benny Giay dan Pendeta Sofyan Yoman.

Jika diklaim bahwa konferensi itu dilakukan untuk mencari formula penyelesaian masalah Papua, terkesan timpang. Sebab yang diundang hanya pembicara yang pro kemerdekaan. Sementara tokoh yang berbeda pendapat seperti Franz Albert Joku dan Nick Messet di Papua yang jelas-jelas mempunyai perhatian yang besar terhadap kedamaian dan kesejahteraan masyarakat di Papua dan lainnya malahan tidak diberi kesempatan untuk bicara.

Internasionalisasi Paket Referendum

Upaya Internasionalisasi masalah Papua bukan kali ini saja tapi sudah berlangsung lama. Konferensi oleh ILWP itu diadakan seiap tahun. Tahun lalu juga diadakan di Inggris. Misalnya pada 25 Oktober 2000, Direktur Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua, John Rumbiak menandatangani Momerandum of Understanding (MoU) dengan Greg Sword, anggota parlemen tingkat negara bagian Melbourne dari Partai Buruh. Sejak tahun 2000, Bob Brown dari partai Hijau dan senator aktif memotori terbentuknya Parliamentary Group on West Papua. Ada juga Senator Kerry Nettle dari Partai Hijau terlibat memperjuangkan suaka politik bagi 42 warga Papua. Bahkan, pada 2 April 2006 Nettle mendapatkan penghargaan “Mahkota Papua” dari kelompok pro-separatis di Sydney. Selain itu ada juga, Senator Andrew Barlet dari Partai Demokrat Australia, ia mendukung kampanye penentuan nasib (self determination) bagi rakyat Irian Jaya. Barlet juga pernah mengirimkan surat kepada Sekjen PBB untuk meninjau kembali keabsahan Pepera 1969.

Parliamentary Group on West Papua yang dimotori oleh Bob Brown juga didukung oleh organisasi internasional seperti Asia Pacific Human Rights Network (APHRN), West Papua Action Australia (WPA-A), Action in Solidarity With East Timor (ASIET), Australian Council for Overseas Aid (ACFOA), East Timor Action Network (ETAN) dan The Centre for People and Conflict Studies The Unversity of Sydney. Lembaga yang terakhir itu memiliki proyek yang disebut West Papua Project (WPP) dan dipimpin oleh Prof Stuart Rees, seorang peneliti dan penulis tentang Indonesia.

Kalau kali ini pemerintah juga mensinyalir ada pihak asing yang bermain (melalui Menhan Purnomo), bisa jadi data mereka benar. Kalau kita kaji, langkah internasionalisasi masalah Papua oleh sebagian pihak memiliki substansi; mendorong PBB atau dunia internasional untuk meninjau kembali bergabungnya Papua dengan Indonesia. Dan harus menyatakan Pepera 1969 sebagai sesuatu yang tidak sah. Berikutnya, jika hal itu diterima oleh PBB dan dunia internasional, konsekuensinya adalah rakyat Papua harus diberikan hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan itu artinya harus dilaksanakan referendum.

Pemerintah RI Masih Ambigu?

Pemerintah RI seharusnya harus cepat bergerak dan mengambil sikap kongkrit. Kasus Papua tidak membutuhkan retorika, bahkan yang lebih picik di jadikan kosumsi politik untuk kepentingan partai dan kelompok tertentu. Orang yang melek politik akan membaca, betapa Demokrasi yang dianut dan diagung-agungkan sangat niscaya mempersembahkan buah simalakama yang kesekian kalinya untuk Indonesia; dengan lepasnya Papua dari NKRI. Kenapa tidak?, variable-variabel yang menjadi stimulant ke arah sana lebih dominant dibanding tindakan dan kebijakan riil politik pemerintah RI yang bisa mengikat Papua dalam kesetaraan (ekonomi, politik, social budaya, hukum dan pendidikan) sebagaimana bagian dan wilayah yang ada di pulau Jawa.

Referendum adalah metode yang efektif dan mampu meminimalisir resiko korban untuk meraih “kemerdekaan” dalam ruang dan koridor demokrasi. Langkah internasionalisasi, di dukung langkah soft strategi di lokal Papua seperti stimulus kepada masyarakat dalam bentuk aksi damai, kemudian dewan perwakilan rakyat Papua atau semisalnya mengakomodir dan mendorong lahirnya regulasi yang memayungi “referendum”. Di sisi lain, isu tentang penegakkan HAM dan demokrasi akan terus di kumandangkan oleh para penjaganya (LSM-LSM komprador), di tambah opini dilevel internasional dan keterlibatan negara Asing dalam isu Papua, maka inilah jalan lempang kepada tatanan NKRI dalam geografis yang lebih sempit lagi.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah RI dengan menggelontorkan dana Otsus besar-besaran tidak merubah kondisi apapun. Karena suntikan dana ada di cawan yang bocor sana-sini. Korupsi juga sudah membudaya diberbagai level, kondisi masyarakat Papua selama bergabung dengan Indonesia yang 65 tahun lebih merdeka ternyata juga belum merdeka dari “keterbelakangan” diberbagai sektor dan aspek. Pendekatan-pendekatan militeristik oleh RI makin menambah luka dan luka disekujur tubuh masyarakat Papua. Pendekatan yang tidak memanusiakan manusia Papua, tanpa berusahan intropeksi diri dengan memperketat pembenahan infrastruktur dan kinerja struktur pemerintahan daerah yang betul-betul mampu melahirkan dampak riil pada perubahan nasib kehidupan ekonomi, social, politik, pendidikan dan budayanya.Bahkan yang lebih krusial adalah pengelolaan SDA yang wajib mencerminkan pemerintah RI bukan lintah penghisab kekayaan masyarakat Papua, atau bukan hanya sebagai broker dengan secuil keuntungan dan membiarkan para perampok (pihak Asing) dengan tamaknya mengeksploitasi habis-habisan kekayaan Papua. Fakta berbicara sebaliknya, sangat memprihatinkan, bahkan semua legal dibawah Undang-Undang.

Belajar dari Eksistensi Freeport (PT FI)

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kontrak Karya atau Contract of Work Area yang ditangani pemerintah Orba yang serbakorup telah mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Sejak awal kehadiran PT FI di Mimika (Kontrak Karya I, 7 April 1967) telah memicu konflik-konflik baru, utamanya dengan masyarakat adat setempat (Suku Amungme dan Komoro).

Perlakuan yang tidak akomodatif dari pemerintah dan PT FI terhadap tuntutan masyarakat setempat mengakibatkan protes-protes yang terus-menerus baik dilakukan secara terbuka maupun secara laten. Freeport beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani pada tahun 1967 berdasarkan UU 11/1967 mengenai PMA. Dan di tahun 2041, barulah PT FI kembali menjadi “milik” NKRI.

Lalu siapa yang menikmati hasil dari PT FI selama ini? Negara tidak memiliki kontrol sama sekali atas kegiatan operasional perusahaan. Negara hanya memperoleh royalty yang besarnya ditentukan dalam KK tersebut.

Untuk tembaga, royalty sebesar 1,5% dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% dari harga jual (jika harga US$ 1.1/pound). Sedangkan untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1% dari harga jual.

Lalu siapa yang mendapat keuntungan lebih besar dari semua itu? Tentu saja yang mendapat “kue raksasa” ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pengeleolaan pertambangan ini. Menurut kantor berita Reuters (“PR”, 18/3 2006) dinyatakan bahwa empat Big Boss PT FI paling tidak menerima Rp 126,3 miliar/bulan. Misalnya Chairman of the Board, James R Moffet menerima sekira Rp 87,5 miliar lebih perbulan dan President Director PT FI, Andrianto Machribie menerima Rp. 15,1 miliar per bulan.
Sementara PTFI sendiri mendapat sepuluh kali lipat dari jumlah bagian deviden yang diterima pemerintah RI. Jika sebagai pemegang saham 9,36% saja pemerintah mendapatkan deviden Rp 2 Triliun, maka Freeport McMoran sebagai induk dari PTFI (pemegang 90,64% saham PTFI) akan mendapat deviden +/- Rp 20 Triliun di tahun 2009.

Lalu apa yang diperoleh masyarakat Papua? Keberadaan PTFI ternyata tidak membawa berkah bagi masyarakat Papua, sebaliknya banyak mendatangkan petaka. Sejak awal keberadaan PTFI, penguasaan tanah adat oleh masyarakat Papua terancam. Dalam satu klausul KK nya, Freeport diperkenankan untuk memindahkan penduduk yang berada dalam area KK nya. Itu artinya, Freeport dibenarkan untuk menguasai tanah adat dan memindahkan penduduk yang ada di area yang dikuasainya. Padahal ketentuan itu bertentangan dengan UU No 5/1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria. Namun nyatanya ketentuan KK itu lah yang dilaksanakan.

Masalah berikutnya dalah masalah lingkungan. Diataranya, “tanah adat 7 suku, diantaranya amungme, diambil dan dihancurkan pada saat awal beroperasi PTFI. Limbah tailing PT FI telah menimbun sekitar 110 km2 wilayah estuari tercemar, sedangkan 20 – 40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur. Saat periode banjir datang, kawasan-kawasan suburpun tercemar Perubahan arah sungai Ajkwa menyebabkan banjir, kehancuran hutan hujan tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa. Para ibu tak lagi bisa mencari siput di sekitar sungai yang merupakan sumber protein bagi keluarga. Gangguan kesehatan juga terjadi akibat masuknya orang luar ke Papua. Timika, kota tambang PT FI , adalah kota dengan penderita HIV AIDS tertinggi di Indonesia” (www.jatam.org).

Masalah lain adalah masalah HAM. Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah kerja Freeport yang ditengarai dilakukan untuk menjamin keberlangsungan operasional perusahaan.

Pages: 1 2 3 4

Penyelesaian Papua Bukan Referendum

akarta (ANTARA News) – Ketua Komisi I DPR RI Mahfud Siddiq menyatakan, ‎​penyelesaian Papua bukan dengan cara referendum atau konflik bersenjata yang didesain ke arah referendum karena pokok persoalan sesungguhnya adalah masalah keadilan dan kesejahteraan.

Ia mengatakan, UU Otsus sudah memberikan hak-hak pengelolaan khusus kepada Papua. “Namun belum hasilkan kesejahteraan yang memadai, hanya dinikmati elit,” kata Mahfud.

‎Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera itu, ada tiga hal prinsip yang harus dilakukan berkaitan dengan soal kesejahteraan. Pertama, meningkatkan efektifitas Pemerintah Daerah yang masih rendah dan masih terjadinya kebocoran angggaran masih tinggi.

Kedua, Pemerintah Pusat harus memiliki roadmap yang jelas tentang akselerasi pembangunan di Papua. Ketiga, eksistensi perusahaan asing harus kontributif bagi pembangunan Papua. “Sebab, mereka hanya peduli jaga kepentingan mereka saja,” kata Mahfud.
(zul)
Editor: Bambang

COPYRIGHT © 2011

Menhan Tegaskan Prinsip NKRI

JAKARTA – Bumi Papua tengah menjadi sorotan. Setelah dua insiden berdarah yang terjadi dalam rentang waktu dua hari, Konferensi International Lawyers for West Papua (ILWP) dihelat di London menuntut kemerdekaan bagi Papua Barat. Sekelompok massa di Papua mendukung pelaksanaan konferensi tersebut.

Menanggapi hal itu, pemerintah menegaskan bahwa prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi harga mati. “Prinsip kita bahwa NKRI itu harus dipertahankan. Tidak ada alasan, tidak ada kemungkinan terbuka bagi mereka untuk menaikkan Bintang Kejora,” kata Menhan Purnomo Yusgiantoro di sela acara buka puasa bersama di Istana Negara, kemarin (3/8).

Dia justru mengkritik bahwa mereka yang mendukung tidak menyadari bahwa konferensi itu tidak mendapatkan atensi dari dunia internasional. “Jadi yang dilakukan di London untuk referendum dan sebagainya itu tidak ada respon dari dunia internasional,” kata Purnomo.
Mantan menteri ESDM itu mengatakan, pemerintah tetap melakukan proses hukum. Termasuk jika ada indikasi perbuatan makar. “Ini belum sampai di situ (makar, Red), tapi ini kita tetap kita waspadai,” ujarnya.

Menurut dia, saat ini aparat mewaspadai beberapa titik. Antara lain di Paniai dan Abepura. Selain lokasi yang terdapat persoalan politik, juga terdapat Bintang Kejora. “Upaya kita itu tidak harus dipublikasikan, kadang upaya persuasif,” katanya.

Sementara Menko Polhukam Djoko Suyanto menolak anggapan adanya pelanggaran HAM oleh pemerintah di Papua. Alasannya, pemerintah justru menjadi sasaran. “Bukan mengada-ada pemerintah. Memang ada seperti itu,” katanya.

Sehingga, jika aparat melakukan tugasnya dalam koridor penegakan hukum, tidak bisa dipersepsikan sebagai bentuk pelanggaran HAM. “Jangan salah dipersepsikan seolah kita melakukan pelanggaran HAM,” tegas Djoko. (fal)

Kamis, 04 Agustus 2011 , 17:04:00
http://www.cenderawasihpos.com/index.php?mib=berita.detail&id=2677

INGGRIS TIDAK MENDUKUNG GERAKAN PAPUA BARAT

 marty natalegawa
marty natalegawa

Jakarta, FaktaPos.com – Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa menegaskan, gerakan sejumlah orang di Inggris yang berusaha mengembangkan isu berbagai permasalahan Papua Barat tidak pernah mendapat dukungan dari masyarakat dan pemerintah Inggris.

“Orang-orangnya itu-itu juga, saya kan dulu pernah di Inggris sebagai duta besar, jadi saya tahu siapa orang-orangnya. Upaya-upaya mereka selama ini tidak memperoleh dukungan luas dari masyarakat dan pemerintah Inggris,” kata Marty ketika ditemui di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (02/08).

Marty menyatakan hal itu ketika diminta komentar tentang konferensi yang sedang digelar oleh International Lawyers for West Papua (ILWP) di Oxford, Inggris. Berdasarkan informasi dari laman ILWP, konferensi itu diselenggarakan di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford.
Konferensi itu mengangkat tema tentang kemerdekaan Papua Barat, yakni “West Papua ? The Road to Freedom”.

“Papua Barat telah diambil alih secara ilegal selama 40 tahun oleh Indonesia. Sebagai bagian dari kampanye kemerdekaan yang sedang berjalan, ‘The Free West Papua Campaign’ dan ‘The International Lawyers for West Papua’ merasa terhormat untuk mengundang anda hadir dalam konferensi khusus: ‘West Papua ? The Road to Freedom’,” demikian tertulis dalam laman itu.

Laman itu juga menyebut nama sejumlah orang sebagai pembicara konferensi, yaitu pemimpin kemerdekaan masyarakat Papua Barat Benny Wenda, ahli Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 John Saltford, dan saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 Clement Ronawery.

Marty menjelaskan, gerakan tentang Papua di Oxford memang ada. Menurut dia, sejumlah orang di kawasan itu memang berupaya untuk terus menghidupkan masalah Papua di Inggris.

Namun, kataya, masyarakat dan pemerintah Inggris tetap menyatakan dukungan terhadap Indonesia.

“Jadi pemerintah Inggris senantiasa menggarisbawahi dan menekankan bahwa mendukung NKRI, mendukung kebijakan otonomi khusus di Papua,” katanya.

Pada saat yang bersamaan, katanya, pemerintah Indonesia terus memberikan informasi kepada negara-negara sahabat tentang kebijakan Indonesia.

Sementara itu, ribuan warga yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB), mulai berkumpul di kawasa Expo, Waena, Abepura, untuk siap melakukan aksi demontrasi menuju kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua.

Berdasar pantauan di Jayapura, Selasa (02/08), ribuan warga di bawah pimpinan Ketua KNPB Mako Tabuni itu, membawa spanduk dan poster berukuran besar, yang antara lain bertuliskan “Dukung ILWP” dan “Minta Referendum”.(atr/nov)

http://www.faktapos.com/content/fakta-terkini/10365-inggris-tidak-mendukung-gerakan-papua-barat.html

Marty: Pemerintah Inggris Tak Mendukung Gerakan Papua

Marty Natalegawa
Marty Natalegawa

[JAKARTA] Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa menegaskan, gerakan sejumlah orang di Inggris yang berusaha mengembangkan isu berbagai permasalahan Papua Barat tidak pernah mendapat dukungan dari masyarakat dan pemerintah Inggris.

“Orang-orangnya itu-itu juga, saya kan dulu pernah di Inggris sebagai duta besar, jadi saya tahu siapa orang-orangnya. Upaya-upaya mereka selama ini tidak memperoleh dukungan luas dari masyarakat dan pemerintah Inggris,” kata Marty ketika ditemui di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/8).

Marty menyatakan hal itu ketika diminta komentar tentang konferensi yang sedang digelar oleh International Lawyers for West Papua (ILWP) di Oxford, Inggris. Berdasarkan informasi dari laman ILWP, konferensi itu diselenggarakan di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford.

Konferensi itu mengangkat tema tentang kemerdekaan Papua Barat, yakni “West Papua ? The Road to Freedom”.

“Papua Barat telah diambil alih secara ilegal selama 40 tahun oleh Indonesia. Sebagai bagian dari kampanye kemerdekaan yang sedang berjalan, ‘The Free West Papua Campaign’ dan ‘The International Lawyers for West Papua’ merasa terhormat untuk mengundang anda hadir dalam konferensi khusus: ‘West Papua ? The Road to Freedom’,” demikian tertulis dalam laman itu.

Laman itu juga menyebut nama sejumlah orang sebagai pembicara konferensi, yaitu pemimpin kemerdekaan masyarakat Papua Barat Benny Wenda, ahli Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 John Saltford, dan saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 Clement Ronawery.

Marty menjelaskan, gerakan tentang Papua di Oxford memang ada. Menurut dia, sejumlah orang di kawasan itu memang berupaya untuk terus menghidupkan masalah Papua di Inggris.

Namun, kataya, masyarakat dan pemerintah Inggris tetap menyatakan dukungan terhadap Indonesia.

“Jadi pemerintah Inggris senantiasa menggarisbawahi dan menekankan bahwa mendukung NKRI, mendukung kebijakan otonomi khusus di Papua,” katanya.

Pada saat yang bersamaan, katanya, pemerintah Indonesia terus memberikan informasi kepada negara-negara sahabat tentang kebijakan Indonesia.

Sementara itu, ribuan warga yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB), mulai berkumpul di kawasa Expo, Waena, Abepura, untuk siap melakukan aksi demontrasi menuju kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua.

Berdasar Antara di Jayapura, Selasa, ribuan warga di bawah pimpinan Ketua KNPB Mako Tabuni itu, membawa spanduk dan poster berukuran besar, yang antara lain bertuliskan “Dukung ILWP” dan “Minta Referendum”.

Akibat rencana aksi massa itu, sebagian besar pertokoan di wilayah Abepura, Jayapura, memilih tutup untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.

Aparat kepolisian tampak berjaga-jaga dengan atribut antihuru-hara.

Aksi tersebut membuat arus lalu lintas macet, terutama di jalan raya Abepura-Sentani yang menghubungkan Bandara Sentani.

Hingga tengah hari, massa masih berkumpul untuk menunggu rekan-rekannya yang akan datang dari Sentani, Kabupaten
Jayapura, dan Kabupaten Keerom. [Ant/L-9]

http://www.suarapembaruan.com/home/marty-pemerintah-inggris-tak-mendukung-gerakan-papua/9729

Digerakkan Kelompok Tertentu Penyerang di Nafri dari Kelompok Abu-abu

[JAYAPURA] Peraih Yap Thiam Hien 2009, Pastor John Jonga Pr menilai, para pelaku penyerangan warga sipil di Nafri, Senin (1/8) pagi yang menewaskan empat orang dan melukai 8 orang lainnya berasal dari kelompok abu-abu yang digerakkan oleh kepentingan tertentu untuk meneror kegiatan 2 Agustus 2011 yaitu kongres
ILWP (International Lawyer West Papua) di London. Acara itu mengkritisi pelaksanaan Pepera 1969 lalu.

“Saya sudah berkomunikasi dengan kelompok-kelompok pejuang di Papua dan mereka mendukung perdamaian, mereka mengatakan kelompok yang melakukan penyerangan itu tidak jelas,” kata Jhon Jonga kepada SP melalui telepon di Jayapura, Senin (1/8) siang.

Menurut dia, penyerangan itu juga dibuat untuk mengerdilkan hasil Konferensi Papua Damai yang dilaksanakan di Universitas Cenderawasih 5-7 Juli 2011 lalu. Pada kesempatan itu semua elemen di Papua sepakat untuk melakukan perjuangan secara damai. “Tujuan lain dari aksi penyerangan itu untuk melemahkan dukungan dari Papua terhadap kegiatan 2 Agustus 2011 di London,” ujar pastor asal Manggarai, Flores Nusa Tenggara Timur itu.

Sementara Kapolres Kota Jayapura Imam Setiawan secara terpisah sebelumnya mengatakan, pelaku penyerangan itu diduga berasal dari kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Kejadian kekerasan terhadap warga sipil di Nafri itu terjadi pada sekitar pukul 03.15 WIT dini hari. Pada pukul 04 WIT, Seorang warga bernama Sugiantoro (37) mengalami luka bacok sangat parah. Sementara Putri Mutiara Andin, anaknya, mengalami luka sobek pada punggung dan kaki sehingga mendapat jahitan sepanjang empat sentimeter dan 3 jahitan dan jari telunjuk dan jari tengah kaki kanan.

Kejadian berlangsung di Asrama Bucen 6 Angkasa tepatnya di Masjid An Nadir. Dari info yang diperoleh SP, sekitar Pukul 04.30 WIT, Sugiantoro lagi duduk-duduk saat menunggu adzan subuh masjid.

Saat itu Nadir mendengar orang masuk sebanyak dua orang dengan berambut panjang gimbal, muka bertopeng dan baju panjang tangan hitam, celana panjang hitam, dan kedua Pelaku memegang parang panjang, dan langsung membacok dengan menggunakan parang panjang dari belakang.

Sugiantoro langsung berbalik kanan dan menangkis dengan tangan kiri kemudian membacok lagi, namun Sugiantoro menghindar dan mengenai punggung kiri. Selanjutnya, pelaku membacok lagi dan mengenai kaki putrinya Mutiara Andin (2 tahun 8 bulan). Sugiantoro berteriak minta tolong dan pelaku melarikan diri dan menghilang. [154]

http://www.suarapembaruan.com/home/penyerang-di-nafri-dari-kelompok-abu-abu/9674

OPINI: Penanggulangan Sparatis

Oleh : Aulia Asep Ralla | 26-Apr-2011, 14:50:57 WIB

KabarIndonesia – Dalam mewujudkan kondisi aman dan damai di Indonesia, upaya secara menyeluruh untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan separatisme yang telah terjadi dibeberapa di Indonesia masih menjadi keprihatinan nasional dan internasional. Upaya untuk mengatasi separatis menjadi sangat penting tatkala keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi sebuah harga yang tidak dapat ditawar tawar lagi.

Salah satu penanggulangan separatis yang dianggap berhasil selama ini adalah proses penanggulangan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka diberikan kesempatan untuk ikut proses pemilihan kepala daerah di Provinsi NAD yang dapat berlangsung secara aman, damai, dan demokratis.

Hal ini mengindikasikan bahwa konflik separatisme di Aceh sudah berakhir. Pelaksanaan butir-butir kesepahaman Helsinki secara konsisten menjadikan seluruh komponen masyarakat termasuk tokoh-tokoh yang selama ini memiliki idiologi yang berbeda, saling bahu membahu membangun daerah Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sementara itu, penyelesaian kasus separatisme di Papua secara simultan terus dilakukan dengan intensif. Upaya penarikan pasukan militer (TNI) di Papua telah menunjukkan keberhasilan dengan indikator semakin menurunnya intensitas perlawanan gerakan bersenjata. Namun, kondisi sosial masyarakat dan masih kuatnya dukungan sebagian kelompok masyarakat terhadap perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) perlu diwaspadai dengan baik.

Pada saat ini permasalahan separatis di Papua berupaya menempuh langkah strategis, baik melalui lobi-lobi internasional maupun pendekatan dengan pemangku kepentingan (stake holder) di Papua. Di samping itu, pemerintah juga melakukan counter propaganda guna meluruskan dan meletakkan permasalahan Papua secara jernih dan objektif serta dapat dimengerti masyarakat internasional bahwa penyelesaian masalah Papua melalui Otonomi Khusus dalam kerangka NKRI merupakan solusi terbaik.

Hal ini dianggap berbagai kalangan telah berhasil mengubah pandangan sejumlah anggota parlemen negara-negara Barat, khusunya Amerika Serikat yang selama ini selalu mendiskreditkan Pemerintah Indonesia dan cenderung mendukung gerakan separatis Papua. Karenanya, kita berharap agar penyelesaian Papua harus dilakukan secara menyeluruh.

Sementara itu, penegakan hukum serta penyelesaian pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua, dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu diselesaikan dengan segera. Kekecewaan masyarakat Papua dan masyarakat lainnya yang ada di Indonesia perlu diobati dengan kebijakan yang menyentuh akar permasalahan dan sebanyak mungkin mengakomodasi aspirasi yang berkembang pada masyarakat Papua. (*)

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini…!!! Kunjungi segera:
http://www.kabarindonesia.com

OPINI: Penanggulangan Sparatis

Oleh : Aulia Asep Ralla | 26-Apr-2011, 14:50:57 WIB

KabarIndonesia – Dalam mewujudkan kondisi aman dan damai di Indonesia, upaya secara menyeluruh untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan separatisme yang telah terjadi dibeberapa di Indonesia masih menjadi keprihatinan nasional dan internasional. Upaya untuk mengatasi separatis menjadi sangat penting tatkala keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi sebuah harga yang tidak dapat ditawar tawar lagi.

Salah satu penanggulangan separatis yang dianggap berhasil selama ini adalah proses penanggulangan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka diberikan kesempatan untuk ikut proses pemilihan kepala daerah di Provinsi NAD yang dapat berlangsung secara aman, damai, dan demokratis.

Hal ini mengindikasikan bahwa konflik separatisme di Aceh sudah berakhir. Pelaksanaan butir-butir kesepahaman Helsinki secara konsisten menjadikan seluruh komponen masyarakat termasuk tokoh-tokoh yang selama ini memiliki idiologi yang berbeda, saling bahu membahu membangun daerah Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sementara itu, penyelesaian kasus separatisme di Papua secara simultan terus dilakukan dengan intensif. Upaya penarikan pasukan militer (TNI) di Papua telah menunjukkan keberhasilan dengan indikator semakin menurunnya intensitas perlawanan gerakan bersenjata. Namun, kondisi sosial masyarakat dan masih kuatnya dukungan sebagian kelompok masyarakat terhadap perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) perlu diwaspadai dengan baik.

Pada saat ini permasalahan separatis di Papua berupaya menempuh langkah strategis, baik melalui lobi-lobi internasional maupun pendekatan dengan pemangku kepentingan (stake holder) di Papua. Di samping itu, pemerintah juga melakukan counter propaganda guna meluruskan dan meletakkan permasalahan Papua secara jernih dan objektif serta dapat dimengerti masyarakat internasional bahwa penyelesaian masalah Papua melalui Otonomi Khusus dalam kerangka NKRI merupakan solusi terbaik.

Hal ini dianggap berbagai kalangan telah berhasil mengubah pandangan sejumlah anggota parlemen negara-negara Barat, khusunya Amerika Serikat yang selama ini selalu mendiskreditkan Pemerintah Indonesia dan cenderung mendukung gerakan separatis Papua. Karenanya, kita berharap agar penyelesaian Papua harus dilakukan secara menyeluruh.

Sementara itu, penegakan hukum serta penyelesaian pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua, dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu diselesaikan dengan segera. Kekecewaan masyarakat Papua dan masyarakat lainnya yang ada di Indonesia perlu diobati dengan kebijakan yang menyentuh akar permasalahan dan sebanyak mungkin mengakomodasi aspirasi yang berkembang pada masyarakat Papua. (*)

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini…!!! Kunjungi segera:
http://www.kabarindonesia.com

JE Habibie: RMS dan OPM Sudah Habis

Jakarta, RMOL. Duta Besar Indonesia Untuk Kerajaan Belanda, Junus Effendi Habibie mengatakan, hubungan bilateral dengan pemerintah Belanda berjalan cukup baik.

Ada tiga bidang yang menjadi tolok ukur, yaitu bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dalam hal hubungan bilateral Indonesia-Belanda, di bidang politik bisa dikatakan berjalan lancar, karena Belanda selalu mendukung Indonesia di berbagai forum.

“Di forum-forum internasional kita deal saling bantu. Kita lobby diplomat Belanda untuk saling membantu. You bantu kita, kita Bantu you. Timbal baliklah Misalnya untuk kerjasama internasional mengenai human rights dan lain-lainnya, Belanda selalu berada di pihak kita,” kata Dubes Junus Effendi Habibie dalam Kuliah Umum “Generasi Muda Merespons Perkembangan Politik Luar Negeri Republik Indonesia” di depan mahasiswa Universitas Esa Unggul Jakarta, Rabu siang (28/7).

Menurut Fanny Habibie, demikian panggilan akrab adik kandung mantan Presiden BJ Habibie ini, Belanda memang bersahabat, senantiasa berada di pihak Indonesia. Hubungan kedua negara semakin mesra setelah Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 sesuai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Selama hampir 65 tahun Belanda tidak bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949. Nah, pada 17 Agustus 2005 yang lalu Bot menghadiri Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta .

Diplomat kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, itu mengakui masalah bidang politik adalah masalah RMS (Republik Maluku Selatan) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Dari 15.000 populasi orang Maluku yang ada di Belanda kini sudah mencapai sekitar 40 ribu orang, tetapi tidak semua orang Maluku itu adalah RMS.

“Sekarang kita telah berhasil menetralisir mereka. Ketika saya masuk (menjabat Dubes Indonesia untuk Belanda), saya membawa tim kesenian Indonesia dari Universitas Pattimura, dan ternyata bisa menetralisir mereka. Sejak saya di sana , demonstrasi setiap ulang tahun RMS itu sudah tidak ada lagi,” katanya yang disambut tepuk tangan mahasiswa.

Menurut Dubes Belanda, gerakan mereka kini terpecah menjadi tiga kelompok, yakni kelompok yang pro Indonesia , netral dan menentang. Kelompok yang pro kita pertahankan, sementara kelompok yang netral, sebagian kita tarik menjadi pro Indonesia .

“Sehingga untuk pertama kalinya seorang Dubes Indonesia diundang dalam perayaan Natal oleh RMS. Ketika saya datang, saya lihat mereka memasang bendera RMS, kemudian saya minta mereka untuk menurunkan bendera tersebut, dan mereka bersedia menurunkannya. Sewaktu diminta untuk memberikan sambutan, saya ngomong bak pendeta yang khotbah tentang Yesus Kristus. Inilah hikmahnya saya pernah sekolah (SMP) Kristen dulu. Sudah barang tentu saya uraikan tentang Pancasila dan segala macam tentang NKRI, sehingga mereka mengerti,” kata pria yang fasih berbahasa Belanda ini.

Dikatakan, ruang gerak RMS maupun OPM praktis sudah habis. Apalagi mereka tidak memperoleh dukungan parlemen Belanda. Presiden RMS dalam pengasingan mengakui cita-cita RMS itu sudah pupus dan menginginkan untuk berunding dengan Indonesia .

“Saya katakan kepadanya, anda siapa? Kalau dalam kapasitas sebagai pemimpin RMS, sejak tahun 1950 RMS itu sudah habis, jadi sudah tidak ada. Kalau mau melakukan kerjasama dan sebagainya boleh saja, anda boleh datang ke KBRI tetapi sebagai orang Indonesia. Jadi dalam hal RMS dan OPM ini kita harus tegas, dimana saya melakukan diplomasi budaya. Karena mereka berbicara tentang culture, kampung halaman, orang tua dan sebagainya, dan kebetulan saya fasih berbahasa Maluku jadi mereka merasa bahwa Dubes Indonesia ini adalah orang mereka hahaha,” kata Fanny Habibie tergelak.

Lebih lanjut soal OPM, lanjut Fanny Habibie yang tampak masih enerjik itu, upaya pimpinan OPM selama ini tidak berhasil. Mereka menyadarinya itu sehingga pemimpinnya yang sudah sepuh (tua) meminta berbicara dengan Dubes RI .

“Ya saya undang mereka dan kita hormati sebagai orang tua, dan mereka mengatakan bahwa dirinya sebagai orang Papua, seorang nasionalis dan beragama Nasrani yang memperjuangkan kemerdekaan Papua. Dan saya katakan bahwa saya Dubes RI, seorang nasionalis dan seorang Muslim, dan saya ingin Papua itu sebagai salah satu keluarga saya, dalam satu rumah yang kita angkat sama-sama, NKRI,” katanya.

Dalam pembicaraan saat itu Fanny Habibie menggunakan diplomasi pantun, dan disampaikan bahwa keadaan Papua sekarang ini banyak kemajuan dibandingkan setengah abad lalu. Setelah dia melihat sendiri, kemudian dengan yakin dia, yang notabene adalah sebagai founding father OPM, menyerahkan paspornya dan meminta menjadi Warga Negara Indonesia .

Menurut Dubes Belanda, melalui pendekatan secara emosional, cultural, dan bahkan diplomasi pantun, kita telah berhasil membawa dia kembali ke Indonesia , ini secara politik. Demikian juga dengan RMS, dia mendatangkan tim kesenian dari Unpati (Universitas Patimura, Ambon ) dan juga para pejabat asal Maluku, sehingga mereka kaget bahwa bangsanya juga ada yang menjadi pejabat.

“Kita tahu bahwa ekspor Indonesia ke Belanda dibanding dengan impor kita dari Belanda, kita surplus sekitar 2,7 miliar dolar AS. Komoditi ekspor kita contohnya adalah minyak kelapa sawit, dimana sebagian besar minyak kelapa sawit yang ada di Rotterdam itu berasal dari Indonesia . Kemudian coklat, furnitur dan garmen,” katanya. [ald]

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny