Resep Aceh untuk Papua: Mungkinkah?

Ketika awal Juli lalu sekelompok orang Papua berdemonstrasi di beberapa kota dengan tujuan mengembalikan UU Otonomi Khusus Papua ke pemerintah pusat di Jakarta, orang segera teringat kejadian serupa lima tahun silam.

Tahun 2005 memang sudah pernah berlangsung demonstrasi serupa dengan peserta lebih banyak lagi, sekitar 10 ribu orang. Tapi tidak juga berlangsung dialog antara Jakarta dengan Papua. Lalu bagaimana menangani masalah Papua? Bagaimana kalau menerapkan resep Aceh untuk Papua?

Dengarkan/unduh saja laporan ini dengan mengklik ujung tanda panah berikut:

Pada protes awal Juli lalu, selain mengembalikan otonomi khusus Papua, sekelompok orang Papua ini turun ke jalan juga menuntut supaya dilakukan referendum bagi masa depan Papua. Apakah masih ikut NKRI seperti Aceh, atau cabut saja seperti Timor Leste. Benarkah itu yang diinginkan Papua? Menurut Muridan Widjojo, pakar Papua pada LIPI, orang Papua tahu bahwa Jakarta tidak akan memberi izin referendum.

Kekecewaan dan frustrasi
"Tahun 2010 ini yang menolak tidak hanya unsur masyarakat sipil non pemerintah, tapi juga lembaga negara seperti Majelis Rakyat Papua," demikian Muridan. MRP akhirnya memang menyalurkan suara masyarakat yang menolak otsus. Bahkan lembaga ini semakin terbuka menuntut referendum. Sebetulnya ini ekspresi kekecewaan, frustrasi yang semakin besar, lanjut Muridan. Sehingga referendum itu sebagai suatu aspirasi, sebetulnya merupakan tuntutan tertinggi yang bisa mereka lakukan. Meskipun mereka tahu Jakarta tidak akan memberi referendum. Minimal kalau diminta referendum, mereka akan menerima yang lebih rendah sedikit dari referendum, dengan harapan ada dialog antara Jakarta dengan Papua.

Rakyat Papua kecewa dengan Otonomi Khusus karena hal yang paling prinsip dan menjadi spirit UU ini tidak dihargai. Pertama, demikian Muridan Widjojo menjelaskan, pemekaran Irjabar tahun 2003 telah melangkahi MRP pasal 76. Kemudian pembentukan Majelis Rakyat Papua juga dicurigai, sampai baru terbentuk tahun 2005. Itu juga membuat pelaksanaan otonomi khusus terganggu sekali.

Ketiga, yang menjadi spirit otsus sendiri adalah simbol-simbol kepapuaan itu harus diharga dan dihormati, ternyata malah dilarang oleh PP 77/2007. Dan seluruh kebijakan Jakarta itu justru cenderung menghalangi implementasi otsus secara konsisten, sehingga mereka tidak melihat hal-hal yang menjadi isyu mendasar konflik Jakarta Papua itu ditangani di bawah UU Otsus. Jadi pada dasarnya UU Otsus hanya berikisar padsa soal anggaran trilyunan dan kemudian pemekaran. Sehingga orang tidak melihat sesuatu yang signifikan secara politik. Oleh karena itu orang melihat otsus gagal.

Curiga otsus
Kalau bagi Papua otonomi khusus itu sudah gagal, Jakarta sendiri sebenarnya juga tidak terlalu getol dengan UU ini. Operator politik Jakarta, kebanyakan di Kementerian Polhukam dan Kementerian Dalam Negeri, sejak awal sudah curiga terhadap UU ini. Mereka khawatir otonomi khusus akan memberi peluang kepada Organisasi Papua Merdeka, OPM. Di sini Muridan melihat bahwa aparat pemerintah pusat tidak ingin membuat UU Otsus Papua betul-betul jalan. Kalau Papua tidak suka otonomi khusus, dan Jakarta pun juga demikian, maka mengapa tidak dilangsungkan dialog antara keduanya?

Muridan Widjojo meringkas, ada kalangan Papua yang minta referendum, dan ada juga yang minta revisi otsus. "Ini kelompok moderat yang bilang ya sudah kalau begitu Otsus perlu direvisi kembali," jelas Muridan. Pertanyaannya adalah, siapa yang berhak merevisinya? Ini harus melalui dialog antara Jakarta dan Papua. Jadi akar masalah dibicarakan. Harus ada kesepakatan antara pemimpin Papua yang pro-kemerdekaan dan juga wakil dari Jakarta untuk duduk, kemudian menetapkan sebetulnya akar masalahnya apa, dan bagaimana menyelesaikannya. Sehingga diakui masalahnya.

Sekarang menurut Jakarta masalah Papua adalah kesejahteraan. Sedangkan orang Papua menyangkalnya. Bagi mereka masalahnya adalah sejarah kekerasan negara dan marginalisasi. Jadi, sebetulnya dialog itu baru bisa dilaksanakan kalau presiden menunjuk seseorang yang dipercaya untuk kemudian memulai proses-proses pembicaraan dengan pemimpin Papua. Kalau diharapkan proses normal yang seperti sekarang, pasti tidak akan terjadi apa-apa. Jakarta tidak punya rancangan apapun untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh. Mereka hanya mencoba mempertahankan status quo yang ada saja, dan bagi mereka otsus juga sudah final.

Lain Papua lain Aceh
Sebenarnya sudah ada pola yang bisa dipakai Jakarta untuk juga memberesi masalah Papua, itulah model Aceh. Apa halangan penerapan pola Aceh di Papua? Muridan Widjojo menyangkal pola penyelesaian Aceh bisa diterapkan di Papua. Di Aceh Jakarta bisa langsung bicara dengan Hasan di Tiro. Tapi Papua tidak punya seorang Hasan di Tiro. Dengan begitu cara kerja di Papua lain dengan di Aceh. Untuk Papua dibutuhkan konsultasi publik, para pemimpin setempat juga didekati. Faksi-faksi harus dipersatukan dan didahului dengan dialog internal di kalangan faksi-faksi Papua. Dari situ diharapkan bisa dihasilkan satu rujukan yang berarti pijakan sama tentang agenda politik, tentang apa yang harus dibicarakan.

Inipun harus dibuat secara tertutup, demikian tegas Muridan. Dengan begitu ketika presiden menunjuk seseorang dan siap untuk bicara dengan rakyat pimpinan rakyat Papua, maka orang Papua tahu betul siapa yang akan mewakili dan agenda apa yang akan dibawa. Itulah yang harus dipersiapkan terlebih dahulu, dan itu tidak ada di Papua. Aceh lebih siap, kepemimpinannya sudah siap. Aceh punya struktur kepemimpinan. Pimpinan bilang A, semua yang di bawah juga bilang A.

Terus berlanjut
Kalau Papua tidak bisa, demikian Muridan Widjojo. Di atas A, maka harus diskusi dulu apakah di bawah juga bisa A. Harus ada negosiasi dan diskusi yang menurut pakar Papua LIPI ini adalah proses-proses khusus yang membuat proses politik di Papua lebih lamban dan lebih lama. Walau begitu Muridan melihat tetap mungkin resep Aceh diterapkan di Papua. Semangatnya yang harus diambil, demikian Muridan. Tetapi dengan metoda pendekatan dan persiapan-persiapan yang relatif berbeda dan agak rumit.

Sementara itu, masalah Papua diperumit dengan terus berlanjutnya pelanggaran hak-hak asasi manusia. Selama ini terus terjadi dan selama dialog dengan pusat tidak ada, sulit untuk menemukan titk cerah bagi Papua.

Penanganan Konflik Aceh Beda dengan Papua

Meskipun konflik di Aceh dan Papua memiliki beberapa kesamaan tetapi pendekatan yang diambil pemerintah untuk mengatasi konflik di kedua tempat berbeda. Seperti yang diungkapkan mantan Kepala Badan Intelijen Negara, A.M. Hendropriyono, pemerintah tidak hanya menghadapi Organisasi Papua Merdeka (OPM), melainkan juga persoalan kewarganegaraan dan sumber daya alam. Ia mengungkapkan hal ini dalam simposium nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme” di Jakarta, Selasa sore, 27 Juli 2010.

“Metode dan objeknya berbeda antara GAM dan OPM. Apakah OPM itu betul tidak objek (yang harus dibasmi), atau otonomi khusus, apakah itu menyelesaikan masalah. Juga masalah lingkungan di Papua. Di satu kabupaten di Papua New Guinea (PNG), ada yang mengibarkan bendera merah putih. Tetapi kalau ditanya, dia (mengaku) orang PNG. Ada hukum agraria Indonesia yang mengakui hukum hak ulayat (hak masyarakat adat),” ungkap Hendropriyono.

Sedangkan persamaan antara konflik di Aceh dan Papua adalah tidak ada kekerasan antar kelompok etnis seperti di Sambas, Kalimantan Barat, atau antara warga Kristen dan Islam, seperti di Poso dan Ambon. Selain itu, baik warga Aceh maupun Papua sama-sama mengalami kekerasan akibat konflik vertikal antara gerakan separatisme dengan negara.

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf juga menyampaikan analisanya terhadap konflik yang terjadi di Aceh dan Papua. Menurutnya perbedaan diantara keduanya adalah dalam hal persatuan warga. Tanpa persatuan yang solid antar warga, maka akan semakin mudah bagi pihak-pihak luar untuk melakukan provokasi kemerdekaan.

“Kawan-kawan di Papua secara internal tidak begitu solid, di Aceh punya satu pimpinan dan (warga) tunduk pada pemimpin sipil. Di Papua masih ada perang suku dan tawuran antar kampung. Jika di Papua mereka sudah satu suara, maka akan lebih mudah bagi pemerintah untuk bernegosiasi,” jelas Irwandi Yusuf.

Wikimedia commons
Demonstrasi yang dilakukan oleh para aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua.

Disamping itu, persoalan di Papua tidak sederhana, karena menyangkut pula pengelolaan sumber daya alam oleh pihak asing, seperti Freeport, perusahaan tambang emas yang berkantor pusat di Amerika, yang beroperasi di Timika. Banyak warga Papua mengeluh, kekerasan yang dilakukan aparat TNI dan polisi semakin menjadi-jadi sejak Freeport beroperasi disana.

Menurut Ketua Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yoboisembut, ada dua motif dibelakang terjadinya konflik berlatar belakang separatisme di Papua. Pertama, gerakan yang direkayasa pejabat sipil setempat. Kedua, gerakan separatisme yang memang ingin memperjuangkan nasib rakyat Papua.

“Itu pihak-pihak tertentu, misalnya kurang suka dengan pemerintah pusat, ingin lekas naik pangkat dan jabatan, lalu direkayasa untuk menunjukkan pada Jakarta. Tapi ada yang murni berjuang sebagai bangsa Papua, merasa berhak menentukan nasib bangsanya sendiri, dan ini ada dalam sejarah deklarasi 19 Oktober 1961,” kata Forkorus Yoboisembut.

Pendekatan yang dilakukan pemerintah melalui otonomi khusus ternyata juga tidak memuaskan rakyat Papua. Juni lalu, persatuan warga adat malah meminta Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) mengembalikan otonomi khusus itu kepada pusat

Mencari Solusi Terbaik Untuk Papua

uesday, July 27, 2010
Mencari Solusi Terbaik Untuk Papua

OCTHO- Masalah di Papua sangat kompleks dan perlu dicari solusi penyelesaiaanya. Berbagai fenomena, seperti; status politik dan kemanusiaan serta masalah budaya dan ekonomi yang masih menyisihkan beribu pertanyaan. Dana Otsus dikucurkan triliunan rupiah tiap tahunnya. Mengapa awan gelap masih menggantung di langit Papua?

Wawan H. Purwanto, wartawan senior sekaligus pengamat Intelejen, militer dan hubungan luar negeri di Indonesia menulis secara jelas persoalan-persoalan yang terjadi di Papua beserta solusi yang ditawarkan dalam penyelesaiannya.

Buku ini terdiri dari 11 bagian. Setiap bagian terdiri dari beberapa sub bagian yang semuanya saling berkait satu sama lainnya. Dalam uraiaanya, penulis lebih fokus membahas kehadiran UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, implementasi Otsus, kegagalan Otsus beserta beberapa solusi penyelesaiaanya yang ditawarkan oleh penulis.

Persoalan lain yang turut dibahas adalah, masalah status politik yang tidak jelas, pelanggaran HAM yang begitu tinggi, keberadaan Militer yang turut mempengaruhi siklus kekerasan di Papua, serta keberadaan TPN/OPM di tanah Papua, namun penulis tidak sampai pada memberikan solusi penyelesaiannya.

Pada bagian pertama penulis menggambarkan tentang asal-asal usul Papua. Diantaranya membahas tentang pemberiaan nama pulau Pulau Papua yang awalnya Irian Jaya, keberadaan pulau-pulau besar yang ada di tanah Papua serta kultur masyarakat di tanah Papua.

Yang berikut pada bagian kedua penulis membahas tentang hubungan Papua dengan bangsa-bangsa lain yang ada di dunia, termasuk dengan bangsa Indonesia sendiri. Pada bagian ini juga penulis membahas tentang perdagangan yang terbangun antara penduduk Papua, lebih khususnya pedagang Muslim Gujarat dengan pedagang dari luar Papua.

Tidak berbeda dengan bagian kedua, namun pada bagian ketiga penulis lebih fokuskan membahas tentang pengaruh beberapa kerajaan dan beberapa negara luar terhadap tanah Papua. Penulis juga membahas bagaimana awal mula Papua pernah di klaim menjadi milik raja Spanyol, hal ini bermula ketika Antonio D’abreu menemukan emas di Papua, yang pernah diberi nama negeri emas.

Kemudian pada bagian keempat penulis lebih fokus Papua dan wilayah NKRI. Beberapa sub bagian yang dikemukakan, seperti penyelenggaraan penentuan pendapat rakyat Papua, keberadaan OPM dan PDP, kehadiran para transmigran yang turut meresahkan warga Papua dan pada sub bagian terakhir tentang keberadaan Militer dan siklus kekerasaan yang terus meningkat di tanah Papua.

Pada bagian kelima, penulis membahas tentang pelanggaran hak asasi manusia dan separatisme di Papua. Penulis menggambarkan PT Freeport Indonesia sebagai ikon bisnis kapitalisme modern dan pelanggaran HAM, pada akhir bagian ini penulis lebih menekankan kepada nasib Papua yang menggantung, padahal kekayaan alam Papua begitu banyak beserta panorama alamnya yang akan menjadi pusat perhatian dunia internasional.

Sedangkan pembahasan yang lebih menyeluruh, komplek beserta solusi penyelesaiaannya ada pada bagian keenam. Pada bagian ini membahas tentang Otonomi Khusus dan masa depan Papua. Penulis menggambarkan bagaimana Papua mendapat kewenangan yang besar atau system desentralisasi asemtri namun tidak menyelesaikan masalah di Papua.

Dan pada bagian ketujuh penulis memberikan solusi kongkrit yang dapat dilakukan Pemerintah Provinsi Papua, pemerintah Pusat dan masyarakat Papua dalam melangkah untuk menuju Papua baru dalam bingkai Otsus. Beberapa saran, usulan, serta kebijakan kongkrit diberikan penulis untuk menjadi bahan refrensi kepada semua pihak yang memilki kewenangan.

Kemudian pada bagian kedelapan penulis membahas tentang Papua diera Otonomi Khusus. Selain itu penulis mengkaji tentang kehadiran lembaga respentatif cultural orang asli Papua (red; Majelis Rakyat Papua), peran kerja MRP, Perdasi/Perdasus yang menjadi perdebatan dikalangan rakyat Papua beserta pentingnya memfungsikan kerja MRP.

Dan yang berikut, pada bagian kesembilan penulis membahas tentang sumber daya alam dan akar konflik yang terjadi di tanah Papua. Konflik itu seperti, konflik antar agama, konflik antar suku, konflik antar etnis dan solusi penyelesaiaan konflik di tanah Papua. selain itu penulis mengusulkan pembentukan sebuah badan Otorita yang dapat mengkaji seluruh persoalan Papua sampai pada tingkat pemerintah pusat di Jakarta.

Kemudian pada bagian kesepuluh, penulis membahas tentang suara hati warga asli Papua yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Beberapa pemecahan masalah secara komprehensif ditawarkan oleh pemerintah. Penulis juga menawarkan sebuah kebijakan, langkah-langkah serta strategi serta upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah di Papua dalam menjawab suara hati nurani warga asli Papua.

Pada bagian terakhir, bagian kesebelas penulis membahas tentang babak akhir perlawanan Pimpinan tertinggi TPN/OPM Wilayah Nemangkawi, Timika, Kelly Kwalik. Penulis menguraikan bagaimana Kelly dibunuh, serta antusias warga Papua dalam menyambut kepergiaan beliau. Catatan ini merupakan catatan akihir penulis tentang seluruh prosesi yang berlangsung di tanah Papua pasca kepergiaan Kelly Kwalik.
Pandangan penulis tentang persoalan di Papua cukup baik. Beberapa refrensi yang menjadi acuan penulisan juga cukup lengkap, hal ini menandakan bahwa penulis lebih banyak mengamati persoalan di tanah Papua lewat apa kata media cetak dan media internet.

Masing-masing orang memiliki pandangan yang berbeda terhadap persoalan di Papua. Hal ini juga menandakan bahwa masing-masing orang punya pendapat tentang solusi di tanah Papua juga berbeda. Solusi yang ditawarkan itu intinya untuk menyelesaikan masalah di Papua secara komprensif dan bermartabat.

Beberapa orang Papua mengatakan bahwa solusi untuk penyelesaiaan masalah di papua adalah dialog internal antara orang asli Papua dengan pemerintah pusat. Ada juga yang mengatakan bahwa dialog internasional antara pemerintah Indonesia, Papua dan pemerintah pusat.

Tetapi ada juga yang menawarkan solusi yang lebih berbeda, yakni memberikan kebebasan penuh bagi rakyat Papua tanpa dialog.

Apapun solusi yang ditempuh, sekiranya persoalan di tanah Papua dapat di selesaikan secara bermartabat. Semoga awan gelap di langit Papua dapat kembali cerah.
Akhir kata, buku Papua 100 Tahun ke Depan sangat layak untuk dibaca oleh seluruh kalangan rakyat Papua. buku ini menjadi rerfrensi untuk menambah pengetahuaan tentang Papua dan mengkaji solusi lain yang lebih bermartabat.

*Oktovianus Pogau adalah Aktivis HAM dan Jurnalis lepas, saat ini tinggal di Jakarta. Dapat dihubungi lewat e-mail oktovianus_pogau@yahoo.co.id dan webblog http://pogauokto.blogspot.com

Judul Buku : Papua 100 Tahun Ke Depan
Penulis : Wawan H. Purwanto
Penerbit : Cipta Mandiri Bangsa (CMB Press)
Jumlah Halaman : 336 Halaman
Tahun Terbit : 1 April 2010

Hasil resensi ini baru saja di muat di Tabloid Suara Perempuan Papua di Jayapura
Diposkan oleh Oktovianus Pogau di Tuesday, July 27, 2010

Selama TNI Ada, Papua No Freedom

JAYAPURA—Pangdam XVII/ Cenderawasih Mayjend Hotma Marbun menegaskan, adanya keinginan pihak-pihak tertentu untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak akan terwujud selama TNI masih berada di Papua.

“Tapi selama tentara masih ada di Papua, tidak ada itu Merdeka (baca: No Freedom),” tegas Pangdam kepada media ini seusai mengikuti sidang LKPJ Gubernur di Sekretariat DPR Papua, Selasa (20/7) kemarin.

Jenderal bintang dua ini menegaskan, selama TNI masih tetap ada dan menjalankan tugas kenegaraan sesuai amanah negara, serta mandat rakyat Indonesia untuk mempertahankan keutuhan NKRI, maka wilayah Indonesia akan tetap utuh.

Pangdam mengatakan insiden penembakan terhadap aparat keamanan maupun rakyat sipil di Mulia, Kabupaten Puncak Jaya yang kerap menyebabkan banyak korban jiwa belum sampai pada kriteria makar, sehingga keamanan kawasan tersebut masih menjadi tanggungjawab POLRI, sementara TNI hanya membantu saja. “Kalau dia yang makar, beda lagi kan ada perintah dari pusat kalau dia yang di atas itu bedah, tujuannya apa kita tidak tahu, kalau tujuannya merdeka, tidak ada yang merdeka, kecuali tentara, saya (Pangdam) disuruh Presiden tinggalkan Papua, tentara pulang, polisi pulang, ya terserah saja mau merdeka atau tidak,” ungkap Pangdam yang melakukan kunjungan ke Puncak Jaya beberapa waktu lalu.

Sedangkan masalah keamanan di Puncak Jaya, mantan Asisten Operasi KASAD ini mengungkapkan, kondisi Kabupaten Puncak Jaya terutama di Distrik Tingginambut yang sering disebut-sebut sebagai basis pergerakan kelompok sipil bersenjata ini sudah berangsung aman.

Menyinggung kemungkinan tidak akan ada lagi penembakan di Puncak, Pangdam dengan nada tinggi mengatakan, pihaknya tidak bisa memberikan jaminan bahwa aksi kelompok bersenjata itu sudah berakhir. “Mereka ini hanya sekelompok orang, mereka inikan memegang senjata tanpa ijin, yang boleh pegang senjata di Indonesia hanya TNI dan Polri sedangkan sipil boleh memegang senjata dengan catatan mendapatkan izin,” jelasnya. Pangdam menambahkan, warga negara yang boleh memegang senjata api hanyalah mereka yang telah menggenggam surat izin, sedangkan yang tidak memegang surat izin tapi memiliki senjata api jelas akan ditangkap Polisi. “Hanya tentara, tentara pun tidak boleh membawa senjata keluar, kecuali dinas atau ada kegiatan, yang tidak berhak pegang senjata ditangkap polisi, oleh karena itu Tigginambut masih menjadi wewenang polisi, tentara hanya membantu,” tandas Pangdam. (hen)

Musa’ad : Otsus Kehilang Separuh Nyawa

dr-abud-musaad JAYAPURA [PAPOS]- Kepala Demokratic Center [DC] Uncen Dr. H Mohammad Abud Musa’ad, MSi mengungkapkan Otsus di Papua saat ini bagai kehilangan separuh nyawanya, mengapa tidak? Otsus yang tadinya disahkan dengan satu kepala pemerintahan kini sudah menjadi dua kepala Pemerintahan dengan jumlah dana Otsus yang sama kemudian dibagi dua pula.

Dengan dua kepala pemerintahan tersebut meski UU Otsus sebagai UU tertinggi dari Keputusan Depdagri namun ketika Perda dibuat dan dirancang pemerintah Papua belum tentu atau tidak dapat diterima pemerintah Papua Barat.

“Hal inilah yang menjadikan Otsus bagai kehilangan nyawanya,” kata Musa’ad ketika ditemui Papua Pos usai dialog publik yang berlangsung di Hotel Relat, Rabu [5/5] kemarin.

Selain Perda, kata Musa’ad keputusan MRP juga tidak dapat diterima Papua Barat, ironis memang, untuk itulah perlu diaktifkan kembali perjanjian Mansinam kedua kepala Pemerintahan yakni Gubenur Papua dan Gubernur Papua Barat tentang pernyataan dalam pelaksanaan otsus dua untuk satu dan satu untuk dua, sehingga Otsus bisa berjalan sebagaimana koridornya tanpa ada cacat di satu pihak.

Hari ini, jelas Musa’ad dinamika sosial Politik masyarakat di Papua jika dikoreasikan dengan materi muatan UU Otsus sudah tidak serasi, dimana perkembangan dinamika politik berkembang begitu cepat tetapi aturan hukum yang diarahkan untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan masih bertahan di tempat atau tidak berjalan sesuai dengan koridor hukum yang ada.

Perdasus disusun tidak bisa dijalankan pada dua pemerintahan karena kenyataan Papua sekarang mempunyai dua pemerintahan yaitu Papua dan papua Barat sedangkan awal dibangunnya Otsus di Papua hanya satu pemerintahan yang tertera dalam UU 21 tersebut.

Untuk itu, kata Musa’ad pemerintah perlu membuat Perdasus agar bisa diakomodir di Papua dan Papua Barat serta membentuk UU lainnya yang belum ada dalam UU Otsus untuk dijalankan secara bersama-sama, jika hal itu tidak segera dilakukan maka Otsus seperti kata dia bagai kehilangan separuh nyawanya.[lina]

Sumber : Cepos

Pelaku Penembakan Karyawan PT Modern Kelompok OPM

jayapura [PAPOS]- Sony Timbuat, Korban selamat kasus penembakan di kampung Mewulok, Mulia, kabupaten Puncak Jaya, pada Selasa (13/4) lalu mengatakan, pelaku aksi anarkis yang menewaskan tiga orang rekannya itu adalah kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM). 

"Yang menghadang kami dan menembak mati tiga orang rekan kerja saya adalah OPM," katanya kepada wartawan di Jayapura, Sabtu.

Sony Timbuat yang juga didampingi Reinhart Satya, keluarga dari Ellimus Ramandey Satya dan Hans Ling Satya yang merupakan korban tewas dalam penembakan itu menjelaskan, kronologis kejadian penembakan itu ketika para pekerja PT Modern yang sedang membangun jalan dan jembatan di kampung Mewulok, sedang dalam iringan menggunakan tiga unit truk menuju lokasi pekerjaan.

Tiba-tiba muncul dua orang dari dalam hutan bersenjata busur dan panah, lantas meminta agar rombongan menghentikan mobil, lalu menyuruh semua penumpangnya turun dan duduk di pinggir jalan.

"Setelah kami semua sudah turun dari mobil, muncul dua orang pria lagi dari dalam hutan dengan senjata api standar TNI/Polri dan langsung menembak empat orang rekan saya," ujar Sony Timbuat yang mengaku berhasil melarikan diri setelah melihat para rekannya ditembak, karena ia menumpang di truk yang berada pada barisan paling belakang.

Sony Timbuat lebih tegas dan meyakini kalau pelaku penyerangan dan penembakan yang menewaskan tiga orang rekannya itu adalah OPM, setelah melihat foto yang diberikan keluarga korban tewas yakni Ellimus Ramandey satya dan Hans Ling Satya, yang sebelumnya dikirimkan oleh korban.

Dalam foto itu terlihat Hans Ling Satya tampak akrab dengan beberapa orang yang diduga sebagai gerombolan organisasi Papua Merdeka (OPM).

"Yang menembak rekan-rekan saya adalah dua orang yang memegang senjata dalam foto ini," kata Sony Timbuat, setelah memperhatikan dengan seksama foto bersangkutan.

Sementara menyinggung nama orang dalam foto itu, dirinya mengaku tidak mengetahuinya.

"Mereka ini memang sering meminta uang kepada warga ataupun sopir mobil yang melintasi daerahnya," kata Sony Timbuat.

Seperti diberitakan sebelumnya, tiga orang, masing masing Elianus Ramanday (32) dan Hans Ling Satya (30) dan Asbulah (51), dilaporkan menjadi korban penembakan dan tindak kekerasan oleh kelompok tak dikenal yang diduga OPM pada Selasa (13/4) lalu di kampung Mewoluk, Distrik Mulia, kabupaten Puncak Jaya.

Ketiga korban tewas merupakan karyawan PT Modern yang pada saat kejadian sedang bersama beberapa orang rekannya yang lain (berhasil melarikan diri dari serangan OPM), saat terjadi penembakan.

Kapolres Puncak Jaya AKBP Alek Korwa yang dihubungi wartawan, saat itu mengatakan, dari keterangan dua karyawan PT.Modern, yang berhasil menyelamatkan diri, mereka diserang kelompok bersenjata yang diduga OPM.

"Saat menyerang karyawan PT.Modern yang sedang menuju tempat pengerjaan pembangunan jalan di kawasan itu, OPM bersenjatakan empat pucuk senjata api serta senjata tradisional seperti panah, kampak dan parang," katanya.[ant/agi]

Ditulis oleh Ant/Agi/Papos   
Senin, 26 April 2010 00:00

Kejadian Puja Hanya Kriminal

bersenjata yang terjadi di Kabupaten Puncak Jaya yang sudah menimbulkan banyak korban jiwa dan materiil, dinilai hanya merupakan bentuk kriminalitas biasa. Termasuk kejadian baru-baru ini di Distrik Mewulok, Puncak Jaya yang menewaskan tiga orang sipil karyawan PT. Modern hanyalah kriminal biasa

Dimana menurut Hotma Marbun, untuk kasus itu TNI tidak perlu bergerak, tetapi kalau sudah menyangkut kedaulatan NKRI menjadi tugas TNI untuk bergerak mengejar pelaku yang berasal dari aktivitas Organisasi Papua Merdeka [TPN/OPM].

“ Pembunuhan tiga karyawan kontraktor PT Modern saat melintas di Distrik Mewulok, Puncak Jaya 4 April lalu, hanya merupakan pelanggaran hukum. Kalau Papua Merdeka, ya baru kita yang tangani,” ujar Jenderal Bintang Dua itu kepada wartawan disela-sela Rakerda Bupati dan Walikota Se-Papua, Jumat (23/4) di Sasana Krida kantor Gubernur Papua.

Menanggapi pertanyaan Bupati Puncak Jaya, Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, SE tentang pelaku penembakan itu berasal dari Organisasi Papua Merdeka [TPN/OPM]. Pangdam menandaskan, TNI akan bertindak jika ada aktivitas yang merongrong keutuhan NKRI.

Ia menilai, aktivitas kelompok bersenjata di Puncak Jaya bersifat mengganggu masyarakat dan menyerang aparat TNI dan Polri belum mengarah ke kegiatan memisahkan diri dari NKRI.

Ketika ditanya apakah penyerangan Goliath Tabuni bukan separatis ?, Pangdam berkilah kalau perjuangan pria brewok (Goliath Tabuni-red) itu betul-betul menyuarakan Papua Merdeka (lepas dari NKRI) atau bentuk ketidakpuasan kepada pemerintah, berarti separatis. Namun Pangdam belum melihat bahwa aksi yang dilakukan kelompok Goliath Tabuni belum menyangkut perjuangan ‘merdeka’ hanya melakukan aksi kriminal.

“ Kalau memang pernyataannya (Goliath Tabuni) itu keinginan merdeka, itu berapa orang. Yang pengang senjata api cuma tiga orang,” ucap Pangdam.

Ia menjelaskan, saat ini di Puncak Jaya tersebar sekitar 10 Pos TNI yang tiap posnya diisi satu hingga dua regu pasukan. TNI ditempatkan , untuk membantu Polisi setempat menjaga keamanan wilayah tersebut. “Sekarang kalau tentara menembak, membunuh, juga salah menurut masyarakat. Kecuali perang ya kita ladeni,” tegasnya.

Menyangkut senjata api yang digunakan kelompok sipil bersenjata yang menurut informasi merupakan mereka (asal) AK China, Pangdam mengakui tidak tahu menahu dengan hal itu. “Kalau ada AK China ya itu bisa saja masuk dari seberang sana,” ujarnya singkat . [anyong]

Ditulis oleh Anyong/Papos
Sabtu, 24 April 2010 00:00

Bintang Kejora Lambang Kultural atau Simbol Kedaulatan

BIAK [PAPOS] – Ada yang menafsirkan Bendera Bintang Kejora adalah sebagai lambang kultural masyarakat adat Papua, tetapi ada pula yang memposisikannya sebagai symbol dari sebuah kedaulatan. Hal inilah yang sering menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat adat Papua yang seharusnya sesegera mungkin harus dijawab oleh Pemerintah provinsi Papua melalui sebuah Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua.

Hal itu disampaikan ketua DPRD Kabupaten Biak numfor, Nehemia Wospakrik,SE.Bsc usai menerima aspirasi masyarakat yang menamakan diri Solidaritas Hak Asazi Manusia Papua yang menyampaikan aspirasinya melalui demo damai yang berlangsung di Kantor DPRD Biak Numfor (11/3) kemarin.

JIMMY DEMIANUS MINTA WAPRES FASILITASI DIALOG KEBANGSAAN

Ketua DPRD Papua Barat Jimmy Demianus Itji meminta Wapres HM Jusuf Kalla untuk memfasilitasi dan memediasi penyelesaian masalah Papua melalui dialog kebangsaan.
Makasar, 10/9 (Antara/FINROLL News) – Ketua DPRD Papua Barat Jimmy Demianus Itji meminta Wapres HM Jusuf Kalla untuk memfasilitasi dan memediasi penyelesaian masalah Papua melalui dialog kebangsaan.

“Kami minta Wapres Jusuf Kalla memfasilitasi dan memediasi penyelesaian Papua,” kata Jimmy Demianus Itji sebelum bertemu HM Jusuf Kalla di kediaman Wapres Jl Haji Bau, Makasar, Sulsel, Kamis.

Jimmy menjelaskan, sebelumnya beberapa elit Papua menghadap Wapres Jusuf Kalla dan meminta digelarnya dialog kebangsaan antara pemerintah pusat dengan masyarakat Papua.

Menurut dia, hal itu dipicu oleh kegagalan dalam pelaksanaan otonomi khusus.

Jimmy menilai, Wapres Jusuf Kalla selama ini memiliki peran yang sangat besar dalam penyelesaian masalah Papua. Selain itu, Wapres juga memiliki pengalaman dalam penyelesaian daerah konflik.

Namun, katanya, jadi tidaknya dialog kebangsaan tersebut masih tergantung dua hal yakni; pertama, berkenaan UU 21 tahun 2001 tentang otsus baru ada satu PP 54/2004 tentang Majelis Rakyat Papua. Padahal masih ada sekitar delapan sampai sembilan PP lainnya tentang pengelolaan kekayaan alam, pengaturan tanah, proteksi, adat istiadat dan sebagainya yang ditunggu.

“Kedua, jangan lupa rakyat Papua telah memberikan suara yang signifikan kepada pasangan SBY-Boediono, sehingga pemerintahan baru harus buat terobosan untuk segera menyelesaikan masalah Papua,” katanya.

Menurut Jimmy, jika kedua hal tersebut bisa segera diselesaikan pemerintah baru ada kemungkinan dialog tidak diperlukan lagi.

Jimmy juga menjelaskan, jika harus dilakukan dialog maka para pihak yang dilibatkan setidaknya ada empat komponen yakni pemerintah pusat, pemerintah provinsi (Papua dan Papua Barat), masyarakat yang secara idiologis mendukung NKRI dan masyarakat yang secara idiologis bertentangan dengan pemerintah.

“Kalaupun ada dialog kebangsaan ini, kami minta dilakukan di Malino, Sulsel,” kata Jimmy. (T.J004)

JK Diminta Gelar Malino III untuk Papua

Makassar – Perdamaian Malino I untuk Poso dan Malino II untuk Ambon sukses di tangan Wapres Jusuf Kalla. Ditambah lagi dengan perdamaian Aceh. JK pun diminta untuk menggelar perdamaian Malino III untuk mengatasi konflik Papua.

“Kami berharap setelah pertemuan, Pak Wapres bisa memfasilitasi dan memediasi untuk menggelar dialog. Bisa saja digelar pertemuan Malino III untuk konflik Papua,” kata Ketua DPRD Papua Barat Jimmy Demianus Ijie.

Hal ini disampaikan dia sebelum melakukan pertemuan dengan JK. Jimmy mendatangi kediaman JK di Jl Haji Bau, Makassar, Kamis (10/9). Dituturkan dia, selama ini kerap terjadi konflik antara rakyat Papua, Papua Barat, dan pemerintah pusat.

Diakui dia, JK memang sebentar lagi tidak duduk dalam pemerintahan. Namun JK tetap dipercaya mampu menangani konflik Papua. Sebab selama ini kapasitas JK dalam pemerintahan telah teruji, terutama untuk menangani konflik daerah.

“Selama ini Pak Wapres memiliki peran yang sangat besar dalam penyelesaian masalah Papua. Selain itu juga memiliki pengalaman dalam penyelesaian daerah konflik. Seperti konflik Aceh, Ambon dan Poso,” ujar Jimmy.

Salah satu karya nyata JK dalam menangani konflik Papua yakni dengan keluarnya UU 35/2008 tentang perubahan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Isinya antara lain soal pemberlakuan Otsus di Papua dan Papua Barat bukan hanya di Papua seperti yang dijabarkan sebelumnya dalam UU 21/2001. Dalam UU 35/2008 juga berisi perubahan konsep pemilihan daerah yang awalnya dipilih DPRD, kini diserahkan ke rakyat untuk pemilihan langsung.

Jimmy menjelaskan, sebelumnya beberapa elit Papua menghadap JK dan meminta digelarnya dialog kebangsaan antara pemerintah pusat dengan masyarakat Papua. Hal ini dipicu oleh kegagalan dalam pelaksanaan otsus. “Kalaupun nanti ada dialog kebangsaan ini, kami minta dilakukan di Malino, Sulsel,” pungkasnya. (INILAH)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny