Jimly: Perlakuan Khusus Bagi Papua Diskriminatif Tapi itu Positif

JAYAPURA- Undang- undang Otonomis kusus (Otsus) Papua yang sejumlah pasalnya memberikan perlakuan khusus terhadap orang asli Papua, sesungguhnya merupakan bagian dari hal yang diskriminatif. Hanya saja, diskriminatif tersebut adalah positif yang dibolehkan. Hal itu dikemukakan anggota Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Jimly Asshiddiqie, SH dalam paparannya di depan anggota MRP dan utusan dari berbagai lembaga pada Seminar sehari tentang penerapan UUD 1945 di Tanah Papua serta MRP sebagai mekanisme perlkaukan khusus bagi orang asli Papua.

“Perlakuan khusus yang diberikan terhadap orang asli Papua sebenarnya diskriminatif bagi daerah lain,” katanya. Hanya saja, diskriminatif itu adalah dalam pengertian dan prinsip – prinsip konstitusional yang disepakati. Sebab diskriminatif itu sendiri terdiri dari dua macam, yakni diskriminatif negatif dan diskriminatif positif.

Mantan Ketua MK itu menjelaskan, untuk diskriminatif negatif kalau itu menyangkut agama, suku, ras, gender dan sebagainya. “Diskriminatif yang ini tidak boleh terjadi,” katanya. Sedangkan diskriminatif lainnya adalah diskriminatif positif yakni kalau ada kelompok yang tertinggal atau termarginalkan dan masih hidup dalam kemiskinan. Untuk mengejar ketertinggalannya itu, maka diperlukan suatu perlakukan khusus yang disepakati dengan tujuan untuk menolong kelompok yang termarginalkan tersebut.
“Jadi diskriminitaif positif ini boleh saja, tetapi sifatnya harus sementara (temporal) dan harus diakhiri apabila kelompok yang termarginalkan itu sudah sama dengan kelompok lain yang maju,” terangnya.
Meski begitu, sesuai dengan Undang Undang, prinsip umumnya diskriminatif dalam segala bentuk sebenarnya tidak boleh, sebab setiap warga negara bersamaan kedudukannya memiliki hak dan kewajiban yang sama, karena sudah ada kontrak konstitusi yang menjadi factor pemersatu yakni Pancasila dan UUD 1945.

“Jadi prinsip anti diskriminasi itu adalah setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang dan setiap orang bebas dari perlakuan yang sifatnya diskriminatif,” katanya.
Assiddiqie juga mengaku bahwa selama ini pihaknya cukup banyak membatalkan aturan dan undang – undang yang diajukan karena dinilai melanggar prinsip – prinsip diskriminasi.

Pada kesempatan itu, Assiddiqie dihujani berbagai pertanyaan dari anggota MRP, termasuk dengan berbagai topik actual yang tengah terjadi di Papua, khususnya yang terkait dengan implementasi Otsus, termasuk masalah perlakuan khusus itu.

Menanggapi pertanyaan Abina Wasanggai terkait dengan indigenous people di Indonesia, Assiddikqie mengatakan bahwa pada saat Deklarasi indigenous people dua bulan lalu, sebagai anggota PBB Indonesia ikut menandatangani deklarasi itu. “Jadi, waktu dideklarasikan kita ikut tanda tangan,” katanya. Hanya saja yang harus dipahami disini adalah indigenous itu adalah masyarakat hukum adat seperti yang dijamin dalam UUD 1945. “Kita tidak terima pengertian di luar itu untuk sesuatu yang diskriminatif, misalnya kita bisa mendiskriminatif pendatang dengan pribumi,” katanya.
Ia lalu mencontohkan tentang pendatang China (Tionghoa) di Indonesai yang sudah turun temurun dan menjadi warga negara Indonesia. “Kalau dia didiskriminasi tidak ada gunanya bagi kita. Karena dia menguasai ekonomi dan ekonomi Indonesai, ekonomi semua negara yang terintegrasi dengan ekonomi regional dan ekonomi global yang sebenarnya ini menguntungkan kita. Jadi dia itu tidak merugikan kita, yang ada sebenarnya kita sendiri yang rugi kalau mengusir mereka,” katanya.

Lagi pula, sesuai dengan UU dan konteks indigenous itu maka tidak lagi bisa menggunakan istilah pribumi, sebab semua warga negara punya hak dan kewajiban yang sama baik itu China, Yahudi dan sebagainya. “Jadi indigenous people jangan disalah artikan,” tukasnya serius.
Menjawab pertanyaan lainnya terkait dengan kasus 9 Agustus lalu di Wamena, Assiddiqie mengatakan sesungguhnya kasus HAM tidak ada kaitannya dengan MK, namun ia mencoba mengingat – ingat dan mengatakan bahwa soal kasus yang terkait dengan bendera Bintang Kejora ia menegaskan bahwa hal itu sudah ada yang mengatur.
Untuk kasus Wamena 9 Agustus itu dirinya tidak ngerti, tetapi yang penting bendera dan lambang daerah sudah ada Peraturan Pemerintah yang mengatur. Menurut PP itu harus dilaksanakan secara resmi melalui Perda.

“Di luar itu tidak boleh diperlakukan sebagai lambang daerah sebab lambang daerah sudah ada aturannya. Jadi ikuti saja aturannya, kenapa harus paksakan diri di luar aturan yang ada. Sebab kalau melenceng dari aturan, maka itu akan melanggar hukum. Mana yang sudah diatur oleh negara kita itu yang kita ikuti, kalau kita paksakan diri, jadi repot sendiri jadinya,” katanya.

Menanggapi pertanyaan anggota lainnya apakah MRP boleh menangani peran legislasi, assiddiqie mengatakan bahwa itu boleh saja. “Saya setuju MRP diberikan peran di bidang legislasi tidak usah banyak – banyak, tapi harus ada fungsi – fungsi yang terjkait,” katanya. Misalnya saja bisa mengajukan usul, atau katakanlah MRP itu diberikan peran seperti DPD terhadap DPR. Sehingga MRP tidka hanya menjadi lembaga cultural yang tidak bias membuat apa-apa.

Seminar yang menghadirkan nara sumber Gubernur Barnabas Suebu SH dan Kamala Chandra Kirana dari Komnas Perempuan itu berlangsung alot karena diwarnai berbagai pertanyaan yang cukup kritis terhadap peran dan fungsi lembaga MRP serta perlakuakn khusus terhadap Papua.(ta)

Akbar:Cobalah Duduk Sama-sama – Otsus Belum Maksimal

(Disentil Bupati, Telinga Wartawan Panas)

SENTANI-Mantan Ketua DPR RI, Akbar Tandjung yang kini menjadi Ketua Partai Barisan Indonesia (Barindo) mengakui, implementasi Otonomi Khusus (Otsus) di Papua belum berjalan maksimal. Bahkan dari apa yang diamanatkan Otsus, ternyata masih banyak yang belum bisa direalisasikan di lapangan. Hal tersebut diungkapkannya menjawab pertanyaan wartawan usai acara dialog nasional tentang Otsus dan implementasinya di Hotel Sentani Indah, Selasa (8/9).

Menurut mantan Ketua Umum Partai Golkar ini, stake holder yang ada di Papua seperti pemerintah daerah, DPRP dan MRP diharapkan mampu melakukan perubahan agar implementasi Otsus itu sendiri bisa dipahami masyarakat, akan kemana arah perubahan bagi Papua kedepan. “Ada baiknya stake holder tadi duduk bersama untuk mencari apa yang dibutuhkan agar implementasi Otsus ini bisa dianggap maksimal,” ujar Akbar.

Dengan demikian, para stake holder ini selanjutnya menyampaikan apa hasilnya yang disepakati, baik soal pendidikan, kesehatan infrastruktur, adat dan budaya kepada yang lain mengingat saat ini dikatakan ada sedikit perbedaan visi misi menyangkut, makna implementasi itu sendri.

“Cobalah duduk sama-sama (para stake holder) lalu dijelaskan bahwa Papua ada UU Otsus dan dari UU ini apa yang ingin diwujudkan untuk memenuhi apa yang menjadi aspirasi pokok tentang Otsus,” tambah mantan Ketua DPR RI periode 1999-2004 ini.

Yang terpenting saat ini lanjut pria kelahiran Sibolga adalah bagaimana menyatukan visi, misi dan apa yang diinginkan melalui Otsus baik penghormatan hak-hak adat Papua, hak politik orang Papua, penghormatan mengenai penegakan hukum dan bagaimana otonomi yang berjalan dikaitkan dengan hak diatas tadi.

Hubungan lainnya menurut Akbar adalah bagaimana bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia orang Papua dan bagaimana membuat orang Papua mampu menjadi andalan dengan harapan kedepan untuk mewujudkan cita-cita Papua. Dan cara (terobosan) yang dilakukan harus mendapat dukungan dan apresiasi dari pihak lain. “Dari penyatuan visi misi ini nantinya muncul satu nilai yang bisa diapresiasi oleh peserta yang lain, namun tak lepas dengan komitmen bahwa Papua bagian yang tidak bisa dipisahkan dari NKRI dan ini yang harus diyakinkan ke pusat,” saran Akbar.

Lebih gamblang digambarkan dalam pembahasan itu, perlu komitmen semua pihak bahwa Papua tetap berada dalam frame (bingkai), dimana posisi Papua sejalan dengan bangsa Indonesia yang berlandas pembukaan UUD, mencerdaskan kehidupan rakyat, mensejahterakan kehidupan rakyat dan menciptakan ketertiban dunia. Menyangkut kucuran dana Otsus sejak tahun 2002, Akbar menjelaskan jika dikatakan sebagian besar diperuntukkan untuk daerah kabupaten, maka disinilah peran MRP yang diciptakan dari semangat Otsus itu sendiri, namun tentunya harus berdampingan dengan DPRP.
Disentil Bupati, Telinga Wartawan Panas

Sementara di tengah sejumlah wartawan melakukan wawancara bersama Akbar Tandjung, terdengar selentingan yang kurang mengenakkan dari Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae S.Sos,MM. Ketika itu, bupati berkomentar dengan nada sinis bahwa wartawan (kecuali RRI) kurang profesional dalam bekerja mencari berita.

“RRI boleh yang bertanya,” celetuk Habel. Spontan selentingan tersebut membuat telinga wartawan yang mewawancarai Akbar Tandjung, panas. Barulah diakhir wawancara setelah semua tamu undangan keluar dari ruangan terlihat kekesalan sejumlah wartawan.

“Saya bingung kenapa Bupati berbicara seperti itu, saya jengkel sekali,” ujar salah satu wartawan media cetak Aman Hasibuan dengan nada ketus. Hal senada disampaikan wartawan elektronik Fadly Batubara, sangking jengkelnya ia langsung menyambangi wartawan lain dan menanyakan maksud ucapan Bupati tadi untuk menguatkan apa yang didengarnya. Menurutnya, ucapan tersebut dianggap tidak pantas dilontarkan seorang pejabat daerah di hadapan umum, karena selama ini dikatakan tidak ada permasalahan antara bupati dengan wartawan.

“Ini bukan kali pertama Bupati menyindir seperti itu, ada juga yang disampaikan tidak perlu menanyakan panjang lebar karena nanti yang keluar (ditulis) hanya sedikit (kecil),” ungkap Fadly sambil geleng-geleng kepala.

Terlihat juga salah satu wartawan media cetak Herawarti yang langsung menghubungi pimpinan redaksinya untuk meminta pendapat soal komentar kurang mengenakkan tersebut. Dari sikap ini para wartawan justru berfikir bahwa Bupati telah salah langkah dengan mendiskriditkan wartawan jika ingin maju ke Papua 1 nantinya.(ade)

Siapa peduli masalah HAM di Papua?

Foto: Hina Jilani (kiri) di Jayapura, oleh L. Anum Siregar/ALDP 2007
Foto: Hina Jilani (kiri) di Jayapura, oleh L. Anum Siregar/ALDP 2007

Kalau anda tanya pada tokoh-tokoh terdidik Papua yang sadar politik tentang isu politik paling penting di Papua, maka jawabannya akan bervariasi. Tapi yang pasti masalah pelanggaran HAM menjadi salah satunya. Demikian pula dengan demo politik di Papua, salah satu isu yang diangkat pasti pelanggaran HAM. Bahkan di dalam Konggres Rakyat Papua II pada 2000, para pemimpin Papua memasukkan masalah pelanggaran HAM masa lalu sebagai salah satu agenda terpenting yang harus diselesaikan oleh Presidium Dewan Papua (PDP).

Kalau anda perhatikan kampanye para aktivis Papua Merdeka di forum internasional, isu yang diangkat pasti terkait dengan pelanggaran HAM. Bahkan ada wacana genocide dari Yale University dan Sidney University. Belum lagi perhatian Amnesty Internasional dan Human Rights Watch Group yang selalu membuat laporan khusus tentang masalah HAM di Papua. Dari Amerika sendiri, akhir-akhir ini, 40 anggota Konggres AS menandatangani petisi yang intinya juga mempersoalkan komitmen Presiden RI dalam penegakan HAM sipil dan politik di Papua.

Pada saat Perwakilan Komnas HAM Papua terbentuk pertama kali beberapa tahun yang lalu dan kinerjanya tidak seperti yang diharapkan, banyak orang mengeritiknya dengan keras. Ketika kantor pusat Komnas HAM di Jakarta hendak mengadakan pemilihan anggota baru perwakilan Papua, banyak orang datang ke Komisi F untuk memberikan masukan dan bahkan menuntut dibentuknya Komda HAM Papua dengan harapan bisa lebih berarti untuk penegakan HAM di Papua. Sejumlah pejuang HAM Papua sendiri bahkan memprotes Komnas HAM agar proses seleksi anggota Perwakilan Komnas HAM lebih transparan.

Jadi, luar biasa! Dari segi wacana, ini menunjukkan bahwa masalah HAM dianggap sangat penting di Papua. Tapi, bagaimana kenyataannya?

Pada saat Komnas HAM membuka kesempatan untuk seleksi anggota Perwakilan Komnas HAM Papua, orang-orang yang saya anggap mampu ternyata tidak tertarik mendaftarkan diri. Jumlah pendaftarnya juga sangat sedikit. Bahkan batas pendaftarannya juga kemudian diundur beberapa kali. Belakangan saya memperoleh informasi bahwa beberapa LSM di Papua juga tidak mengijinkan aktivisnya yang potensial untuk mendaftar dengan berbagai alasan, termasuk keterbatasan personel. Calon yang potensial pun mengundurkan diri karena ada posisi yang lebih baik di luar seperti menjadi anggota KPUD, calon bupati, atau posisi di lembaga negara lainnya.

Salah satu soal terbesar Perwakilan Komnas HAM Papua adalah sumber dana. Meskipun sudah menyampaikan komitmennya kepada Komnas HAM, Gubernur Bas Suebu secara konkrit tidak menunjukkan dukungan sedikit pun pada proses seleksi sehingga Komnas HAM sendiri kekurangan dana untuk seleksi. Di DPRP hanya Ketua Komisi F Weynand Watori yang aktif memfasilitasi proses seleksi tersebut.

Pada jaman reformasi ini, kesempatan bagi orang Papua untuk masuk dalam lembaga negara, seperti pemkab, pemkot atau pemprov sangat besar. Selain itu ada lembaga semacam KPUD, Bawaslu, dan lain-lain yang lebih menarik. Dari segi dana dan honorarium, Perwakilan Komnas HAM termasuk yang ‘kering’. Sudah menjadi rahasia umum, Komnas HAM tidak memiliki dana yang besar. Oleh karenanya tidak menjanjikan honor yang layak.

Di sektor advokasi dan penegakan HAM di kalangan LSM masalahnya juga hampir sama. Jika ada kasus politik dan HAM di Papua sekarang ini, siapa yang mau menjadi penasehat hukum? Banyak pengacara mampu yang dulu berperan penting tidak lagi menangani perkara politik dan HAM. Beberapa dari mereka mengatakan sudah jenuh, beberapa lainnya merasa lelah dengan konflik-konflik sesama aktivis HAM. Beberapa lainnya harus menghidupi keluarganya. Regenerasi pun tidak berjalan baik.

Menjadi penasehat hukum untuk kasus politik dan HAM di Papua sangat melelahkan baik dari segi pikiran, dana, maupun perasaan. Selain ‘memiskinkan’, begitu banyak gerakan tambahan baik dari yang didampingi maupun dari pihak-pihak lainnya. Perlu militansi luar biasa dan daya tahan yang kuat untuk bisa bertahan dalam arena ini. Daya tahan lainnya adalah kemampuan untuk menahan ‘kantong’ dalam keadaan ‘kering’, bahkan sangat mungkin nombok uang sendiri.

Kasus penancapan Bintang Kejora di Wamena pada 9 Agustus 2008 yang lalu menjadi contoh yang aktual. Pengacara yang sudi mendamping tinggal Iwan dan Anum (ALDP), LBH Jayapura, dan Hari (KontraS). Untungnya masih ada support dari Poengky Indarti (Imparsial). Selain tidak ada dana, jumlah PH pun terbatas, sehingga tidak bisa berbagi beban. Nafas dan daya tahan orang-orang ini tidak akan panjang jika tidak didukung oleh banyak pihak. Pihak negara seharusnya menyediakan dana untuk memperluas akses terhadap keadilan bagi warga yang miskin…

Siapa lagi yang akan menjadi pekerja HAM terutama PH pada kasus-kasus yang akan datang? Di masa depan, pasti masih banyak lagi kasus-kasus semacam Wamena…

Siapa peduli HAM di Papua? Maksudku, peduli dalam arti konkrit mau terlibat dan bekerja…

Bintang Kejora di Wamena: Nasionalisme Minus Substansi

Foto: Bintang Kejora di Wamena 9 Agustus 2008, oleh Theo Hesegem) (Artikel ini dimuat di Harian Kompas, 22 Agustus 2008
Foto: Bintang Kejora di Wamena 9 Agustus 2008, oleh Theo Hesegem) (Artikel ini dimuat di Harian Kompas, 22 Agustus 2008

Seperti siklus yang melingkar, lagi-lagi selembar bendera Bintang Kejora menelan korban di Papua. Di Wamena seorang peserta demo tewas terbunuh sesaat setelah Bintang Kejora berkibar pada peringatan Hari Pribumi Internasional pada 9/8/2008.

Sebelumnya sudah banyak aktivis Papua yang divonis dengan hukuman berat. Jumlahnya pasti akan bertambah karena pemerintah sudah memasang jerat dengan PP 77/2007 yang melarang simbol-simbol yang berasosiasi dengan separatisme.

Untuk tahun 2008 saja setidaknya ada sekitar 10 kasus pengibaran Bintang Kejora di berbagai kabupaten seperti Manokwari, Timika, Jayapura, Wamena dan bahkan Fakfak. Lebih dari 50 orang sudah pernah ditahan. Lebih dari 10 orang kemudian diadili. Bahkan pada awal tahun ini dua orang ibu Papua sempat ditangkap hanya karena menyulam gambar Bintang Kejora di tas yang dijualnya di pinggir jalan.

Korban Bintang Kejora yang menjadi terkenal akhir-akhir ini adalah Filep Karma yang divonis oleh Pengadilan Negeri Jayapura 15 tahun penjara dan Yusak Pakage 10 tahun penjara pada 2004. Kasusnya menjadi amunisi untuk terus mempersoalkan Papua di fora internasional. Hasilnya, minggu lalu 40 anggota Konggres AS ramai-ramai menekan Presiden RI untuk membebaskan Filep Karma dan Yusak Pakage.

Tekanan Konggres AS ini merupakan penanda kegagalan diplomasi publik dan kegagalan pemerintah Indonesia, seperti janji Presiden SBY, menyelesaikan masalah Papua secara adil dan bermartabat.

Vonis makar, represi yang keras, dan berbagai ancaman sanksi lainnya tidak akan membuat orang Papua berhenti mengibarkan Bintang Kejora. Kelompok aktivis yang serius, individu yang iseng hingga oknum aparat yang bermain-main bisa saja mengibarkan bendera itu atau menyuruh orang lain melakukannya dimana saja dan kapan saja.

Sudah pasti pula bahwa sumber daya polisi akan terhambur untuk terus mengurus kasus-kasus ini. Pengadilan juga akan terus menerus menjatuhkan hukuman berat pada pelakunya. Hasilnya, akar masalah Papua yang nyata dan mendesak terabaikan dan negara ini disandera oleh paham nasionalisme yang simbolistis dan cenderung destruktif pada dirinya sendiri.

Sesungguhnya, ada soal serius dengan rasionalitas politik para nasionalis Indonesia. Selembar bendera dianggap begitu menakutkan. Untuk menghadapi itu ratusan pasukan polisi atau TNI dikerahkan. Seakan-akan republik ini akan runtuh segera kalau bendera itu dibiarkan berkibar. Seakan-akan ratusan orang boleh ditangkap, dihilangkan atau dibunuh demi simbol-simbol NKRI itu.

Mereka percaya bahwa masalah Papua seakan-akan selesai jika Bintang Kejora tidak lagi berkibar. Para nasionalis banal itu tidak menyadari bahwa justru yang bisa mendorong disintegrasi republik ini adalah perspektif nasionalis simbolistis yang terus menghasilkan ketidakadilan di masa lalu dan masa kini.

Jika pemerintah ingin konflik Papua bisa diselesaikan, Bintang Kejora itu seharusnya dipahami sebagai simbol yang mewakili tuntutan orang Papua atas setidaknya empat soal ketidakadilan: 1) marjinalisasi orang asli Papua, 2) kegagalan pembangunan di Papua, 3) pelanggaran HAM oleh aparat negara, dan 4) kontradiksi status politik dan sejarah yang tidak pernah didialogkan.

Para nasionalis Indonesia seharusnya mengubah total perspektifnya dalam melihat Papua. Keindonesiaan tidak bisa dijaga hanya bermain dengan simbol bendera, lagu kebangsaan, atau upacara 17 Agustus. Tuntutan orang Papua harusnya dijawab dengan mengubah cara pemerintah dalam menangani masalah Papua dari perspektif keamanan ke perspektif keadilan. Dari perspektif nasionalis yang simbolistis dan militeristis menjadi perspektif yang substansial dan konkrit.

Nilai keindonesiaan di Papua hanya bisa dibangun dengan kebijakan konkrit yang langsung menyentuh akar persoalan di Papua. Keindonesiaan seharusnya dibangun kembali dengan memberdayakan orang asli Papua sebagai subyek utama perubahan dan menghargai identitas dan kebudayaannya, menata pembangunan warga negara di sana dengan paradigma baru, menyelesaikan hutang pelanggaran HAM oleh aparat negara di masa lalu, serta membuka ruang dialog yang substansial dengan para pemimpin Papua.

Dengan berfokus pada penyelesaian empat isu utama di atas, saya percaya wajah keindonesiaan di Papua masih bisa diubah secara bertahap. Rasa percaya dan optimisme rakyat Papua untuk menegosiasi masa lalu, memperbaiki masa kini, dan menyelamatkan masa depan bisa ditumbuhkan kembali.

Kapolda: Separatis Berpolitik Berbahaya

Anggota POLDA PapuaKemarin, Prasetyo Dilantik Jadi Wakapolda Papua

JAYAPURA-Kapolda Papua, Irjen Pol Drs Max Donald Aer mengakui sampai saat ini, masih ada aktivitas masyarakat yang ingin memisahkan dari NKRI. Dikatakan, meski kegiatan secara fisik atau militer tidak terlihat, namun secara politis masih ada, dengan indikasi munculnya isu-isu penolakan terhadap PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang lambang daerah.
Continue reading “Kapolda: Separatis Berpolitik Berbahaya”

Wacana Konspiratif Intelektual Papua

Jaksa Agung RI melarang buku Tenggelamnya Rumpun Melanesia (Yogyakarta, Galang Press, 2007) karya Sendius Wonda karena kejaksaan menganggapnya bisa ‘mengganggu ketertiban umum’. Kalau kita cermati substansinya, secara eksplisit dan berulang-ulang di dalam bukunya, Wonda berpendapat bahwa penyebaran pesat HIV/AIDS, kegemaran pada minuman keras di kalangan orang asli Papua, kekerasan aparat negara (TNI/Polri), kehadiran OPM, Keluarga Berencana, transmigrasi dan migrasi spontan serta ‘islamisasi’ di Papua adalah hasil program terencana pemerintah RI untuk memusnahkan orang asli Papua (ras Melanesia) yang juga beragama Kristen.

Tren Wondaisme

Tren Wondaisme—diambil dari nama penulisnya—bukanlah hal baru. Cara berpikir dan perspektif yang simplistis dan konspiratif ini bisa dibaca di banyak laman internet, didengar di berbagai diskusi, serta dibaca di beberapa buku yang ditulis oleh intelektual muda Papua. Bagi mereka, segala yang buruk di Papua adalah produk desain politik yang rapi dan sistemik dari Jakarta (bisa dibaca TNI, Pemerintah Pusat, BIN, dll). Jakarta diyakini memiliki kemampuan sistemik dan benar-benar ingin memusnahkan penduduk asli Papua (baca genocide). Dalam konteks wacana politik di Papua, perspektif Wondaisme cenderung klise dan tidak kritis. Bedanya dengan penulis yang lain, Wonda lebih emosional, tegas, dan hitam-putih.

Wondaisme meneguhkan dan merepresentasi suatu budaya teror yang mendalam dan meluas di Papua. Budaya ini merupakan produk khas dari sejarah dan pengalaman kekerasan (intimidasi, teror dan pembunuhan), serta keterpinggiran politis dan ekonomis orang Papua. Meskipun kekerasan fisik oleh aparat negara sudah berkurang, hingga hari ini aktivis Papua atau pun pendatang yang membela hak-hak dasar orang Papua masih mengalami intimidasi dan teror. Dirasakan oleh banyak pihak adanya operasi intelijen besar-besaran di Papua. Sementara itu, kehadiran pendatang yang makin besar dalam kuantitas dan semakin dominan di segala sektor terutama ekonomi, menjadi tekanan sosial tersendiri. Secara budaya, orang asli Papua juga mengalami ketakutan akan terjadinya ketersingkiran dan dalam bentuk yang ekstrim: kepunahan.

Ketakutan, ketakberdayaan dan upaya perlawanan yang dihasilkannya diberi ‘rumah’ dalam bahasa dan diinternalisasi serta dijustifikasi dalam dogma agama, revivalisasi adat, dan ideologi politik, sebagai strategi bertahan hidup. Sintesis ini mewujud dalam bentuk tradisi lisan seperti rumor, mob, doa-doa, cerita-cerita di rumah adat, dan tradisi baru tulisan seperti pesan pendek (sms), selebaran, dan buku seperti yang ditulis oleh Wonda. Dalam perspektif tradisional Papua, segala kejadian buruk, bahaya, dan krisis kehidupan bersumber dari disharmoni antara manusia dan swanggi (kekuatan supranatural). Kini, secara metaforis, swanggi itu bertransformasi menjadi pemerintah NKRI, BIN, TNI, dan sebagainya.

Tradisi baru intelektual Papua

Dari sudut pandang yang lain, kita seharusnya bergembira dengan tumbuhnya tradisi tulisan dan lapisan intelektual baru Papua. Di antara para intelektual itu, pertama, ada yang reflektif seperti Benny Giay dan Phil Erari. Kedua, ada yang menggebu dan berani seperti Socratez Yoman, Sem Karoba, Yafeth Kambai dan Jacobus Dumupa. Sendius Wonda termasuk di kelompok kedua. Di antara yang muda, karya Decki Pigay adalah salah satu yang terbaik: runtut, detil, dan relatif mampu menjaga jarak. Ada kemiripan wacana di antara para penulis ini. Terkecuali Erari, kebanyakan memiliki satu paradigma oposisi politik identitas dalam memahami konflik Papua, yakni: Indonesia, Melayu, Rambut Lurus, Pendatang dan Islam versus Papua, Melanesia, Keriting, pribumi dan Kristen.

Sebagian dari mereka adalah produk pendidikan NKRI yang sering dituduh gagal. Sebagian lagi adalah produk pendidikan dari luar negeri. Semangat menulis dan perspektif politik yang makin berani adalah juga didorong oleh semangat reformasi dan transisi politik di Indonesia, yang dengan segala kekurangannya, semakin liberal dan demokratis. Dengan begitu orang terdorong dan berani menyatakan pikiran dan pendapatnya secara terbuka. Yang positif dari perkembangan ini adalah pemerintah terbantu memahami salah satu sisi kondisi psikologis dan kultural orang asli Papua. Fenomena ini seharusnya menjadi masukan yang berguna untuk memperbaiki kebijakan dan sikap pemerintah pusat di Papua.

Anomali demokrasi

Kejaksaan Agung menggunakan UU No 5/1969 sebagai dasar untuk melarang peredaran buku tersebut. Definisi tentang “mengganggu ketertiban umum” tentu cenderung sepihak dan subyektif serta terbuka untuk diperdebatkan. Kebijakan yang menggunakan ‘pasal karet’ ini, di mata para pendukung demokratisasi di Indonesia, bertentangan dengan semangat reformasi, keterbukaan dan demokratisasi di Indonesia. Secara prinsip, kebijakan itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28, UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.

Sudah banyak buku yang isinya mirip karya Wonda, dan ternyata tidak dilarang dan ‘ketertiban umum’ tidak juga terganggu. Pihak kejaksaan melupakan kenyataan bahwa pembaca umum juga memiliki kecerdasan untuk menilai apakah isi buku tertentu berbobot atau tidak. Kalau isinya tidak berdasar tentu akan segera dilupakan orang. Seperti dalam pengalaman sejarah, pelarangan buku adalah iklan gratis. Publik menjadi penasaran dan memburu buku tersebut. Pasar gelap beroperasi dan buku menjadi laris, mahal dan terkenal. Dalam hal ini, Wonda boleh berterima kasih pada Jaksa Agung RI yang menjadi biro iklan sukarela untuk promosi bukunya.

Pelarangan buku Wonda oleh Kejaksaan Agung adalah kebijakan defisit. Dalam perhitungan politik, kebijakan itu merugikan citra pemerintah RI. Pelarangan buku itu simbol represi dan sikap otoriter yang diwarisi dari Orde Baru. Kebijakan ini bisa menjadi senjata untuk terus menunjukkan pada dunia internasional bahwa Indonesia yang sudah mulai demokratis, bertindak diskriminatif di Papua. (Foto: Cunding Levi, TSPP) (Versi panjang artikel ini dimuat di Tabloid Suara Perempuan Papua, awal Januari 2008)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny