“Dialog Tak Berarti Minta Merdeka“

JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, pendekatan yang biasa pihak kepolisian lakukan dalam penyelesaian konflik di Papua dan dalam menangani gerakan-gerakan sipil di Papua adalah melalui dialog, bukan dengan tindakan kekerasan yang selama ini masih dilakukan aparat.

Menurutnya, aparat keamanan harus membangun kerjasama dengan Jaringan Damai Papua (JDP) untuk mewujudkan dialog damai Papua-Jakarta. Pasalnya Pemerintah Provinsi Papua, DPRP dan MRP sendiri sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk mendukung agenda dialog damai tersebut.

Karena kenyataannya bahwa ada penilaian masyarakat selama ini terkesan baik Pemda Papua, DPRP, dan MRP hanya mencari posisi amannya saja dan posisi yang menguntungkan dirinya sendiri.

“Saya harapkan Polda Papua bangun komunikasi yang intensif dengan JDP untuk mewujudkan dialog damai tersebut. Dialog bukan berarti konotasinya meminta merdeka, tapi dialog untuk rakyat menyampaikan apa yang selama ini dideritanya,”

ungkapnya kepada Bintang Papua di kediamannya, Kamis, (13/6).

Ditegaskannya, selama ini rakyat terus berteriak, karena rakyat dibunuh, dipukul, dianiaya, dan parahnya lagi permasalahan mendasarnya selama ini tidak diperhatikan dengan baik, sehingga rakyat masih hidup dalam keterbelakangan, dan kemiskinan, terutama masyarakat yang ada di kampung-kampung.

Terkait dengan itu, Dosen Jurusan Hubungan Internasional FISIP Uncen Jayapura ini, bahwa, wajah Indonesia seperti apa di mata orang Papua sangat tergantung pada perilaku pihak TNI/Polri di Papua. Kalau pihak TNI/Polri hadir dengan wajah kejam dan penuh kekerasan, maka orang Papua akan melihat Indonesia itu kejam dan penuh kekerasan.

Sebaliknya kalau TNI/Polri hadir dengan wajah penuh rasa hormat, sopan, rasa persahabatan dan menjunjung tinggi dialog sebagai cara penyelesaian masalah, maka orang Papua akan melihat Indonesia sangat baik dalam memperlakukan orang Papua.

“Pandangan orang Papua terhadap Indonesia sangat ditentukan oleh pengalaman masing-masing orang Papua dalam berinteraksi dengan pihak TNI/Polri di lapangan,”

jelasnya.

Ditambahkan, untuk mengubah penilaian negatif orang Papua kepada Indonesia, dimulai dari perubahan perilaku dan pendekatan TNI/Polri dalam kehidupan bersama di tengah-tengah masyarakat Papua.(nls/don/l03)

Sumber: Sabtu, 15 Jun 2013 07:19, Binpa

Enhanced by Zemanta

Papua Dan Indonesia Krisis Kepercayaan

Muridan S. widjojo saat menyampaikan materi (Jubi/Musa)
Muridan S. widjojo saat menyampaikan materi (Jubi/Musa)

Jayapura, 11/6 (Jubi) – Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Universitas Cenderawasih (Fisip-Uncen) Jayapura, Papua menilai, saat ini, krisis kepercayaan sementara terjadi diantara kedua belah pihak yang bertikai yakni Papua dan Indonesia.

Ribka, salah satu mahasiswa program studi HI Fisip Uncen menilai, saat ini, terjadi krisis kepercayaan antara kedua belah pihak yakni antara pemerintah Indonesia dan orang Papua. Bertolak dari krisis kepercayaan itu, Ribka meminta Jaringan Damai Papua (JDP) yang sementara mengusung dialog Jakarta-Papua untuk mengembalikan ketidakpercayaan yang sementara melilit dua belah pihak ini yakni indonesia dan orang Papua.

Menanggapi persoalan itu, Muridan koordinator JDP di Jakarta saat memaparkan materinya dalam sehari bertema : Papua Raod Map, Perspektif Penyelesaian Konflik Papua yang berlangsung di Aula, Fisip Uncen di Kampus Uncen Perumnas III Waena, Abepura, Kota Jayapura, Selasa (11/6), mengaku memang kirisis kepercayaan itu sudah lama terjadi. Tidak hanya masyarakat Papua yang tidak mempercayai orang Jakarta tetapi orang Papua sendiri juga tidak saling percaya. Maka, pihaknya berupaya untuk membangun itu melalui pra dialog. Pra dialog bertujuan, membangun kepercayaan yang sudah lama tidak terjadi.

“Pra dialog dilakukan untuk membangun kepercayaan. Pra dialog juga perlu dibangun kepada warga non Papua agar supaya tidak saling mencurigai. Pra dialog juga perlu dibangun kepada warga non Papua,”

 ujarnya.

Dia menambahkan, kepercayaan itu harus dibangun di berbagai level. Lantaran, para pejabat juga saling tidak percaya. Kepercayaan adalah menumbuhkan rasa kepercayaan yang baik yang dapat bertahan selama bertahun-tahun. Kepercayaan adalah fondasi untuk membangun dialog.

“Dialog itu bisa terlaksana apabila kedua belah pihak saling percaya,”

tuturnya. (Jubi/Musa) 

June 11, 2013,19:55,TJ

Muridann : Dialog Perlu Dilakukan

Buku Dialog Jakarta – Papua (IST)
Buku Dialog Jakarta – Papua (IST)

Jayapura, 11/6 (Jubi) – Dialog yakni dialog Jakarta -Papua yang sementara di dorong, perlu dilakukan di Papua.  Melalui dialog, ada kesepakatan penyelesaian masalah.

Inti dari dialog itu sendiri pertama, pihak-pihak yang berkonflik menyepakati akar masalah. Wakil-wakil dari Papua dan dari Indonesia sama-sama duduk untuk membicarakan dan menyepakati akar masalah Papua.

“Pihak-pihak ini harus duduk bersama-sama untuk bicara soal akar masalah di Papua,”

kata Muridan S. Widjojo saat menyampaikan materinya dalam seminar sehari bertema : Papua Raod Map, Perspektif Penyelesaian Konflik Papua yang berlangsung di Aula, Fisip Uncen di Kampus Uncen Perumnas III Waena, Abepura, Kota Jayapura, Selasa (11/6).

Inti kedua dari dialog, lanjut dia, yaitu, kesepakatan, Jalan keluar yang disepakati bersama. Bukan karena ada tekanan dan paksaan. Tetapi, kesepakatan bersama yang ditaati. Mengapa dialog berlangsung, dialog perlu karena konflik sudah lama terjadi. Yang ada hanyalah kekerasan berganti kekerasan. Dialog yang ideal adalah membuat semua orang merasa terlibat dalam keputusan.

“Kami sudah berusaha sosialisasikan dialog ini disejumlah kabupaten yang ada di Papua,”
ungkapnya.  Namun, tambah dia, sebagian masyarakat Papua belum memahami. Meski demikian, pihaknya dalam hal ini Jaringan Damai Papua (JDP) tak akan mundur. Upaya-upaya  masih akan terus dilakukan. Diantaranya melalui konsultasi.

Sebelumnya, Pastor Neles Tebay, penggagas dialog Jakarta-Papua dari Jaringan Damai Papua (JDP) mengatakan, kalau dialog Jakarta-Papua tidak dapat memastikan hasil jika kedua pihak, yakni konstestan politik dari Papua dan pemerintah pusat belum bertemu. (Jubi/Musa)

June 11, 2013,19:43,TJ

KEHANCURAN INDONESIA TINGGAL MENUNGGU WAKTU

Jakarta – Selain kalangan swasta, politisi adalah pihak yang paling sering menyandang status tersangka kasus korupsi, khususnya yang ditangani KPK. Coba saja tengok kasus proyek Hambalang, kasus sapi impor atau kasus wisma atlet Sea Games. Semua kasus itu melibatkan para politisi.

Sejauh ini, politisi berstatus tersangka korupsi memang selalu diganjar hukuman oleh pengadilan. Lalu, bagaimana dengan partai dimana politisi korup itu bernaung? Praktis, partai-partai politik itu bebas dari hukuman.

Peneliti ICW Abdullah Dahlan mengatakan modus korupsi politik umumnya terencana. Abdullah bahkan melihat ada unsur koordinasi dalam sebuah kasus korupsi politik. Koordinasi itu melibatkan politisi baik itu di legislatif maupun eksekutif.
“Kasus-kasus korupsi ini terlihat terencana, terkoordinasi dan by design dengan baik, hal ini bisa terlihat dari mulai perencanaan yang dilakukan sejak awal, ada komunikasi antara politisi legislatif, birokarasi eksekutif serta juga ada pembicaraan dengan pelaksana tender,” tutur Abdullah dalam sebuah diskusi di Komisi Hukum Nasional (KHN), Rabu lalu (13/2).

Dikatakan Abdullah, korupsi politik di negeri ini semakin merajalela. Terlebih pada tahun 2013 ini, dimana ajang demokrasi terbesar yakni Pemilu 2014 hanya berselang satu tahun lagi. Menurut dia, tahun 2013 potensial terjadi partai-partai politik melegalkan cara-cara korupsi demi kepentingan pemilu.
“Inilah yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus dan serius dari semua kalangan, termasuk partai politik. Jangan sampai wajah politik negeri ini dikotori dengan perilaku koruptif terlebih menghadapi pemilu,” kata dia.

je-sahetapydalam.platmerahDalam acara yang sama, Ketua KHN Prof Jacob Elfinus Sahetapy juga mengutarakan keprihatinan terhadap maraknya korupsi politik. Ekstremnya, menurut Prof Sahetapy, korupsi politik bisa membuat Indonesia hancur. “Tinggal menunggu waktu saja Indonesia akan hancur, jika melihat kelakuan partai politik yang busuk,” ujarnya.

Pakar hukum dari Universitas Airlangga ini berpendapat partai politik seharusnya turut diberikan sanksi hukum jika kadernya terlibat kasus korupsi. Sayangnya, hal tersebut belum bisa diwujudkan karena regulasi yang berlaku saat ini tidak ada yang mengatur secara khusus tentang ancaman sanksi untuk partai politik sebagai dampak dari perilaku koruptif kadernya.

Abdullah Dahlan sepakat dengan Sahetapy. Menurutnya, partai politik sudah sepatutnya diberikan sanksi hukum jika kadernya terbukti melakukan korupsi. Sayangnya, diakui Abdullah, dasar hukumnya belum ada. “Di dalam Undang-undang Partai Politik pun tidak ada klausul satu pun yang menyebabkan partai bisa dibubarkan, atau dibekukan kepesertaannya kalau partai terkait kasus korupsi,” ujarnya.

Berdasarkan penelusuran, UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik serta undang-undang perubahannya, UU No 2 Tahun 2011 memang tidak memuat ketentuan yang spesifik mengatur ancaman sanksi terhadap partai politik terkait kasus korupsi kadernya.

Namun dari total empat pasal dalam Bab Sanksi, terdapat beberapa pasal dan ayat yang sebenarnya bisa digunakan untuk menjerat partai politik terkait kasus korupsi. Meskipun hanya sanksi administratif. Pasal-pasal dan ayat-ayat itu antara lain Pasal 47 ayat (5), Pasal 48 ayat (2), (3), (4), dan (5).

Pasal 47 ayat (5) berbunyi, “Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf e dikenai sanksi administratif yang ditetapkan oleh badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya”. Pasal 40 ayat (3) huruf e tentang larangan partai politik menggunakan fraksi di MPR,DPR, DPD, dan DPRD sebagai sumber pendanaan partai politik.

Dari rumusan Pasal 47 ayat (5), sebuah partai politik bisa saja dikenai sanksi administratif jika penegak hukum dapat membuktikan bahwa kader partai itu di parlemen melakukan korupsi dengan tujuan mendanai partai politiknya. Sayangnya, Pasal 47 ayat (5) mensyaratkan bahwa penetapan sanksi dilakukan oleh “badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya” yang hingga kini belum ada.

 June 07, 2013,platmerahonline

Otsus Plus Bisa Saja Adopsi dari ASEAN Plus

JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional dan Sosial Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih (FISIP Uncen) Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, pernyataan Gubernur Papua, Lukas Enembe,SIP,MH, Wakil Gubernur Provinsi Papua, Klemen Tinal,SE,MM, Wakil Ketua I DPRP, Yunus Wonda, bahwa Agustus 2013 Presiden SBY akan datang ke Papua untuk memberikan hadiah kepada rakyat Papua, salah satunya berupa Otsus Plus, yang diserahkan dalam bentuk draf nantinya sebagai pengganti dari UU No 21 Tahun 2001 tersebut, sangatlah membingungkan, karena kemungkinannya bukan draf Otsus Plus.

“Bacaan politik saya bahwa konsep Otsus Plus Presiden SBY kemungkinan diadopsi dari konsep ASEAN Plus,”

tegasnya kepada Bintang Papua di kediamannya Klofkamp Jayapura, Kamis, (23/5).

Kalau ASEN Plus, artinya penambahan 3 negara anggota Asean yang berada di luar wilayah Asia Tenggara, yang bertujuan merangsang percepatan pertumbuhan ekonomi Negara-negara Asia Tengara dalam satu kawasan pasar bersama.

Dengan demikian, dikuatirkan bahwa implementasi konsep Asean Plus untuk kawasan Timur Indonesia dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal di wilayah Papua. Jadi kemungkinan Presiden SBY akan datang pada Agustus 2013 dengan membawa sejumlah Undang-Undang sektoral yang sifatnya lex spesialis juga atau sejumlah peraturan pemerintah atau instruksi presiden untuk mendukung percepatan pelaksanaan UU No 21 Tahun 2001 demi mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal Papua dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di kampung-kampung.

“Analisa saya Otsus Plus itu lebih kepada munculnya sejumlah regulasi dari pemerintah pusat yang lebih bersifat sektoral khususnya dalam peningkatan percepatan pembangunan ekonomi masyarakat lokal Papua, bukan dalam draf UU baru pengganti UU No 21 Tahun 2001,”

jelasnya.

“Jadi selain UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No 21 Tahun 2001, nanti lagi akan muncul sejumlah regulasi khusus mengatur tentang bidang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Papua. Inilah yang akan disampaikan Presiden SBY dalam konsep plus produksi pemerintah pusat,”

sambungnya.

Menurutnya, apakah berhasil atau tidaknya konsep Otsus Plus ini, semuanya sangat tergantung kepada rakyat Papua. Sepertinya konsep Otsus Plus hanya akan menambah rasa ketidakpercayaan rakyat Papua kepada Pemerintah Pusat. Rakyat Papua minta lain, pemerintah pusat jawab lain. Siapa yang harus disalahkan dalam hal ini, hanya Tuhan saja yang tahu nasib Papua kedepannya dalam NKRI.

Ditambahkannya Dosen Program Studi Hubungan Internasional ini bahwa, konsep Otsus Plus menurut orang Papua (bukan menurut Gubernur, DPRP dan MRP) tapi Cuma satu yakni dialog damai dan terbuka antara Jakarta-Papua tentang persoalan Papua sejak integrasi sampai era otonomi khusus Papua.

“Sayang sekali konsep ini tidak masuk dalam bagian 20 usulan pemerintah Papua dalam pertemuan dengan Presiden SBY pada 29 April 2013 lalu,”

tukasnya.
Dengan tidak adanya usulan dialog damai dalam 20 point yang diusulkan ke Presiden SBY tersebut, dirinya menilai bahwa para elit politik Papua ini diibaratkan macan ompong, dimana hanya berani mengaung dan ganas di kadangnya saja, tapi ketika dibawa keluar dari kandangnya, nyalinya menjadi ciut alias tidak punya taring untuk menggigit.

Peribahasa tersebut tentunya sama dengan para elit politik Papua (terutama di DPRP dan MRP) yang selama ini turut menyuarakan dialog Jakarta-Papua, namun ketika bertemu dan berbicara dengan Presiden SBY tidak berani menyampaikan usulan dialog damai Jakarta-Papua tersebut.

Oleh sebab itu, marilah kita semua (khususnya para elit politik Papua ) bertobat dan kita harus berani bicara jujur suara hati orang Papua yang sebenarnya kepada pemerintah pusat.

“Bapak Gubernur dan semua pemimpin di Papua tidak perlu takut untuk menyuarakan akan kebenaran, kalau mau lihat tanda heran yang satu ke tanda heran yang lainnya di tanah ini dalam masa kepemimpinan kalian,” pungkasnya.(nls/don/l03)

Sumber: Jum’at, 24 Mei 2013 06:32, Binpa

Enhanced by Zemanta

Perlu Referendum Bagi UU Otsus Papua

JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional dan Sosial Politik di Tanah Papua Faukultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih (Fisip Uncen) Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, Referendum merupakan bagian dari cara menyampaikan aspirasi masyarakat dalam proses demokrasi yang sedang menjadi pilihan penyelesaian persoalan Undang-Undang di beberapa negara di dunia.

Dengan demikian, jadi PemerintahIndonesia tidak perlu alergi atau takut terhadap pelaksanaan referendum di Papua, khusus dalam meminta pendapat rakyat Papua terhadap pelaksanaan Undang-Undang Otsus Papua.

Perdebatan seputar kontroversi Undang-Undang Otsus, menurut hematnya, kalau pemerintah tidak mau berdialog karena mencurigai ada agenda tersembunyi dibalik dialog damai Jakarta-Papua, maka jalan tengahnya adalah pemerintah harus gelarkan referendum terhadap Undang-Undang Otsus Papua.

Namun kalaupun pemerintah pusat terus melaksanakan kebijakan seperti Inpres No 15 Tahun 2007, kebijakan UP4B dan sekarang Otsus Plus, semuanya kebijakan ini dalam prosesnya bertentangan dengan Undang-Undang Otsus Papua pasal 78 itu, dimana dikatakan bahwa seluruh proses kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan orang Papua, usulan awalnya harus datang dari rakyat Papua.

“Usulan dari rakyat Papua, disampaikan ke MRP, dan selanjutnya ke DPRP dan pemerintah daerah, berikutnya ke pemerintah pusat ,” ungkap Dosen Program Studi Hubungan Internasional Fisip Uncen Jayapura kepada Bintang Papua di kediamannya, Jumat, (17/5).

Ditegaskannya, kebiasaan pemerintah membuat Undang-Undang lalu melanggar Undang-Undang yang dibuatnya sendiri ini, seperti Undang-Undang No 21 Tahun 2001. Inilah semakin menimbulkan rasa ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah.

Untuk itulah perlu digelarnya referendum Undang-Undang Otsus Papua, seperti kehidupan demokrasi di Negara Swiss, dimana hampir sebagian besar Negara bagian Swiss sering menggelar referendum untuk meminta pendapat rakyat terhadap penerapan suatu undang-undang, karena demokrasi yang diterapkan di Swiss adalah demokrasi perwakilan dengan sistem referendum. “Sistem model demokrasi ini di Swiss bisa menjadi contoh bagi rakyat Papua dalam menyelesaiakan konflik seputar pelaksanaan Undang-Undang Otsus Papua,” tandasnya.(nls/don/l03)

Sumber: Sabtu, 18 Mei 2013 06:47, Binpa

Enhanced by Zemanta

Ruben Magai: Larang Demo, Polisi Tak Profesional

Jayapura, 14/5 (Jubi) – Tindakan aparat yang melarang rakyat Papua demo ke Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) dan berujung ditangkapnya beberapa aktivis, serta sejumlah lainnya luka-luka, Senin (14/5) direspon Komisi A DPR Papua yang membidangi Pemerintahan, Hukum dan HAM.

Ketua Komisi A DPR Papua, Ruben Magay menilai aksi aparat kepolisian itu masih menggunakan cara lama dan menggambarkan ketidak profesionalan mereka.

“Ini citra lama yang terjadi. Polisi tidak profesional mendorong jalannya demokrasi di Papua. Saat peristiwa terjadi kan massa ingin minta tanggungjawab polisi terkait kasus di Sorong. Tapi polisi menghadang massa saat akan mengadu ke MRP. Padahal MRP ini lembaga persentatif orang asli Papua,” kata Ruben Magay, Selasa (14/5).

Menurutnya, sejumlah kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian di Papua membuat orang Papua semakin trauma. Padahal tugas polisi seharusnya mengayomi dan melindungi, namun yang terjadi justru sebaliknya. Motto melindungi dan mengayomi tak ada lagi. Untuk itu ia berharap Kapolda dan Wakapolda Papua segera membenahi hal ini.

“Tindakan persuasif tidak jalan, tapi sudah dengan dh pendekatan represif. Ini yang membuat rakyat semakin tidak percaya polisi. Bahkan kalau bisa Kapolda dan Wakapolda diganti, karena belakang ini penembakan terjadi dimana-mana. Beberapa aktivis ditembak dan ini menggambarkan mereka tidak bisa mengatasi masalah. Saya pikir jika terus ada korban, dua orang ini lebih baik dipindahkan. Tugaskan orang yang lebih mengedepankan kemanuasian,” ujarnya.

Dikatakan, serangkain kejadian di Papua justru mengundang simpati dunia luar. Papua bukan lagi seperti tahun 60an dimana saat itu masyarakat selalu diintimidasi. Saat ini apapun yang terjadi di Papua diikuti dunia internasional.

“Binatang saja punya hak hidup apalagi manusia. Jangan aparat yang ada di Papua melakukan tindakan anarkasi, pembunuhan dan lain-lain, karena pemerintah pusat akan pusing saat dunia luar menekan Indonesia dari sudut HAM dan demokrasi. Jadi reformasi Polisi harus dievaluasi,” ujar Ruben Magay. (Jubi/Arjuna)

Sumber: May 14, 2013, TabloidJubi.com

Bunuh Pejuang Papua, Tak Akan Selesaikan Masalah

Anggota DPR RI Asal Papua, Diaz Gwijangge. (Jubi/Arjuna)
Anggota DPR RI Asal Papua, Diaz Gwijangge. (Jubi/Arjuna)

Jayapura – Anggota DPR RI asal Papua, Diaz Gwijangge menegaskan dirinya tak setuju jika pimpinan tertinggi OPM, Goliat Tabuni dinyatakan DPO. Membunuh para tokoh pejuang Papua tak akan menyelesaikan masalah.

“Saya tak setuju jika Goliat Tabuni dikatakan DOP agar dia bisa dibunuh, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah. Beberapa tokoh pejuang Papua Merdeka seperti They Eluay, Keli Kwalik hingga Mako Tabuni dibunuh, tapi masalah tidak selesai. Meski para pejuang ini meninggal, isu Papua merdeka tetap ada,”

kata Diaz Gwijangge, Senin (8/4).

Menurutnya, tidak ada yang memaksa orang Papua berteriak merdeka. Itu adalah ideologi politik orang Papua sendiri, sehingga penyelesaiannya juga harus dengan cara politik. Lewat dialog atau apapun namanya yang penting kedua pihak duduk bersama.

“Kita tidak usa baku tipu. Kita sudah melihat apa yang terjadi di Timor Leste. Jika Aparat melalukan hal-hal tersebut, maka bisa dikata ada genoside di Papua. Jadi saya pikir Kapolda harus jeli melihat masalah ini. Jangan langsung menuding dan menjadikan sesorang DPO. Ada prosedur yang harus dilakukan. Negara harus menjamin hak hidup setiap orang. Yang bisa mengambil nyawa manusia hanya Tuhan, bukan manusia,”

ujarnya.

Dikatakan, menyelesaikan masalah Papua harus tuntas. Tidak hanya sepotong-sepotong. Apalagi sudah ada etika yang baik dari orang asli Papua untuk selesaikan masalah Papua. Jaringan Damai Papua (JDP) sudah mendorong dialog, itu harus segera direspon baik oleh pemerintah RI dan melibatkan mereka yang dikatakan OPM untuk dialog.

“Aceh dan Papua statusnya sama. Tidak ada bedanya. Bahkan GAM Aceh bisa dikatakan peralatan dan struktur mereka tertata baik. Lalu kenapa Aceh bisa diselesaikan lewat perjanjian Helsinkin. Lalu Papua tidak bisa? Berarti ada diskriminasi,”

kata dia lagi.

Selain itu dikatakan, ada dua kebijakan pemerintah yang keliru di Papua. Orang Papua diberikan Otsus tapi ternyata dalam penerapannya pusat tidak konsisten. Pusat juga memberikan pemekaran seenaknya untuk Papua dan ini kerap menimbulkan konflik antara sesama orang asli Papua.

“Jadi harusnya pemerintah dan orang asli Papua duduk bersama untuk dialog. Bahkan jika perlu ada pihak ketiga seperti GAM lalu. Kenapa Papua tidak bisa begitu, sementara Aceh bisa? Pemerintah seolah tidak serius menyeselesaikan masalah Papua sehingga terus terjadi kekerasan,”

ujar Diaz Gwijangge. (Jubi/Arjuna)

 April 8, 2013, 17 : 30, TJ

 

Ujung Tombak Melanesia di Pasifik Selatan

Melanesian Spearhead Group Simbol(Jubi/Fiji-Sun)
Melanesian Spearhead Group Simbol(Jubi/Fiji-Sun)

Jayapura – Sejak berlakunya Perjanjian Canberra 1947 bagi wilayah-wilayah di Pasifik Selatan, banyak pemuda dari Papua New Guinea(PNG) datang ke Hollandia, ibukota Nederlands Nieuw Guinea untuk belajar navigasi di Sekolah Pelayaran di Hamadi. Sebaliknya enam orang pemuda dari Nederlands Nieuw Guinea studi kedokteran di Universitas National di Port Moresby. Beberapa pemuda belajar telekomunikasi di Sekolah Teknik Telekom di Lae, kota kedua terbesar di Papua New Guinea.

Sayangnya dokter-dokter asal Papua Barat tidak pernah kembali dan menjadi warga negara Papua New Guinea. Ke enam dokter itu sukses menjalankan tugas dan sangat berhasil di Port Moresby. Kini mereka sudah pensiun, bahkan ada yang sudah meninggal. Dokter Danowira yang meninggal di PNG belum lama ini, dikirim pulang ke Papua  dan akhirnya dimakamkan di Nabire tempat asalnya.

Dosen FISIP Universitas Indonesia, Zulkifli Hamid dalam bukunya berjudul,Politik di Melanesia menyebutkan kontak-kontak yang bersifat budaya juga terjalin lama terutama antara penduduk di Papua Barat dengan negara tetangga Papua New Guinea. Sejak ratusan tahun, kedua penduduk ini telah menjalin komunikasi diantara mereka, baik dalam berdagang, perkawinan, maupun kegiatan upacara tradisional.

Kontak antara orang Papua di Nederlands Nieuw Guinea dengan PNG semakin meluas antara 1947 sampai 1962. “Hal ini terjadi karena dibentuknya South Pasific Commision(SPC) oleh pemerintah kolonial di wilayah Pasifik Selatan antara lain Inggris, Belanda, Amerika Serikat,Perancis, Australia dan Selandia Baru.

Irian Jaya atau Provinsi Papua dan Papua Barat yang dulunya disebut Nederlands Nieuw Guinea dimasukan sebagai wilayah yang mendapatkan bantuan teknik dan ekonomi dari komisi yang dibentuk. Disamping itu tokoh-tokoh Papua juga ikut dalam South Pasific Confrence(SPC)  Di dalam pertemuan terdapat berbagai kegiatan antar masyarakat di Pasifik Selatan terutama tukar menukar informasi sampai presentase kebudayaan.

“Dengan demikian selama 15 tahun penduduk di Irian Jaya mempunyai hubungan yang lebih intensif, tidak hanya dengan penduduk PNG, dengan penduduk di Melanesia. Bahkan di wilayah Pasifik Selatan.”tulis dosen yang pernah mendalami studi Pasifik Selatan di Universitas Victoria, Selandia Baru.

Akibatnya tulis Zulkifli Hamid munculnya rasa identifikasi budaya yang sama dengan masyarakat di wilayah Melanesia dan Pasifik Selatan. Kontak-kontak intensif semakin berkurang saat irian Jaya masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia , 1 Mei  1963.

Adalah antorpolog asal Inggris, Adolf Bastian yang pertama kali membagi wilayah-wilayah di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Bastian membagi wilayah-wilayah itu menjadi Indonesia, Melanesia, Polynesia dan Mikronesia. Hanya kemudian Indonesia yang semakin populer menjadi Republik Indonesia.

Di dalam wilayah kebudayaan Melanesia terdapat empat negara merdeka masing-masing Fiji  merdeka pada 10 Oktober 1970 dari Inggris,  Papua New Guinea, 16 September 1975,Kepulauan Solomon, 7 Juli 1978 dan Vanuatu 30 Juli 1980.

Negara-negara Melanesia ini sangat memegang peranan penting dalam percaturan politik di Pasifik Selatan. Semangat Persaudaraan Melanesia di PNG, Vanuatu, Kepulauan Solomon berusaha untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsa Melanesia yang masih terjajah.

Pada 1986, ketiga negara Melanesia ini menyatukan perjuangan mereka di dalam kelompok ujung tombak Melanesia dengan nama Melanesian Spearhead Group(MSG), yang berfungsi sebagai kelompok lobby di dalam badan-badan regional, seperti South Pasific Forum(SPF).

Pertemuan 14 Maret 1988 di Port Villa, Vanuatu ketiga negara ujung tombak Melanesia ini meresmikan ikatannya melalui prinsip-prinsip kerja sama di dalam Manifesto negara-negara ujung tombak Melanesia. Manifesto ini ditanda tangani oleh PM Paias Wingti dari PNG, PM Ezekel Alebua dari Solomon Island, dan PM Walter Lini dari Vanuatu. Ketiga negara Melanesia ini bersepakat untuk mengikatkan diri pada prinsip-prinsip saling menghargai dan untuk memajukan kebudayaan dan nilai-nilai tradisi Melanesia. Ketiga pemimpin negara-negara ujung tombak Melanesia ini menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak yang tidak bisa dipisahkan dari rakyat yang masih berada di dalam negara-negara penjajah.

Walaupun aktifitas politik MSG untuk kemerdekaan rakyat Kanak di Kaledonia Baru, namun bagi Zulkifli Hamid dosen politik dari FISIP Universitas Indonesia ini dikatakan pengembangan issue Persudaraan Melanesia jelas akan memberikan dampak negatif terutama  masalah integrasi  di wilayah Timur Indonesia.(Jubi/Dominggus A Mampioper)

 March 28, 2013,01:55,TJ

Kegagalan Otonomi Khusus dan Pemerintah Pusat

Kemerdekaan dan kedaulatan bagi Bangsa Papua Barat telah dicaplok atau dianeksasi secara paksa oleh Pemerintah Indonesia dan Negara-negara Kapitalis. Dan ini bangsa Papua Barat berada dalam penjara Kolonial. Desakan Bangsa Papua Barat untuk keluar dari Negara Indonesia mulai bergema secara terbuka sejak Indonesia memasuki era reformasi tahun 1998.

Pemerintah Indonesia memberikan otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagai jalan tengah atau penyelesaian menang-menang (win-win solution) atas tuntutan Kemerdekaan bagi Papua Barat. Pemberian Otonomi khusus ini terjadi pro dan kontra ditengah kehidupan masyarakat Papua Barat. Kelompok yang mendukung adalah para birokrat dan atau pejabat negara (Polisi dan Militer) . Sementara yang menolak tegas adalah seluruh elemen masyarakat Papua Barat.

Pemberian Otonomi khusus bagi Provinsi Papua ini tidak representatif bagi rakyat dan terkesan dipaksa untuk menerimanya. Sebab Otonomi Khusus diberikan bukan didasarkan atas kesepakatan bersama antara pimpinan masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat. Hal ini amat berbeda dengan pemberian Otonomi Khusus bagi Pemerintah Nangro Aceh Darusalam karena diberikan atas kesepakatan kedua bela pihak.

Jika kita memahami lebih jauh tentang maksud dari pemberian Otonomi Khussus adalah ” untuk mewujudkan keadilan, kebenaran dan kejujuran dalam penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, perlindungan, pemberdayaan dan kesejahteraan serta kemakmukran bagi orang asli Papua” sesuai dengan prakarsa sendiri dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan keseimbangan dengan daerah lain. Jadi, melalui Otonomi Khusus Pemerintah Daerah mengambil langkah-langkah alternatif terbaik untuk mendorong percepatan pembangunan dalam segala bidang di Papua.

Berdasarkan maksud diatas maka tujuan pemberian Otonomi Khusus adalah agar pemerintah mengambil prakarsa sendiri dalam menetapkan langkah-langkah dan perencaan strategis untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan, meningkatkan pelayanan, pemberdayaan rakyat, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Papua serta mengurangi kesenjangan pembangunan antar sektor, wilayah, kota dan kampung.

Dengan demikian amanat ( filosofis ) dasar Undang-Undang Otonomi Khusus Papua adalah pertama, Perlindungan terhadap orang asli Papua, kedua, Keberpihakan terhadap orang asli Papua dan yang ketiga adalah Pemberdayaan terhadap orang asli Papua.

Kini selama sepuluh tahun implementasi Otonomi Khusus di Tanah Papua tidak mewujudkan amanat khusus Otsus itu sendiri. Dengan demikian, Masyarakat Papua sendiri sebagai subjek sekaligus objek pembangunan yang langsung merasakan, mengalami, mengamati dan melihat hasil pembangunan dalam era Otsus menyatakan bahwa pelaksanaan Otonomi Khusus gagal total. Kesimpulan yang diambil oleh masyarat bahwa ” OTSUS PAPUA GAGAL TOTAL” tersebut melalui sebuah forum yang demokratis, bermartabat dan representatif yakni melalui Musyawarah Besar Masyarakat Asli Papua dan Majelis Rakyat Papua [MRP] yang berlangsung di Numbay 9-10 Juni 2010.

Kegagalan Implementasi Otonomi Khusus di Papua tidak terlepas dari peran Pemerintah Pusat. Peran mereka terlihat dalam penetapan yuridis yang bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus seperti Kepres Nomor 1 Tahun 2003 yang mengaktifkan kembali Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah [selanjutnya disebut IJB dan IJT]. Namun perkembangan selanjutnya, Prov IJB tetap eksis sampai sekarang walaupun ada penolakan dari masyarakat, sementara untuk IJT berhasil ditolak. Keberadaan Prov IJB adalah satu-satunya Provinsi di dunia yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas tetapi secara operasional tetap berjalan baik. Kebijakan ini murni mengandung unsur politis yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat asli Papua.

Selain Kepres IJB, Pemerintah juga mengeluarkan sebuah Inpres lagi, Inpres Nomor 5 tentang Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat 2007; Perubahan UU Otsus secara diam-diam guna melegitimasi keberadaan Provinsi IJB pada tahun 2009 dan mengurangi peran DPRP dalam Pemilukada di Papua, penyesahan peraturan Pemerintah tentang pemekaran Kabupaten dan Kota di seluruh Tanah Papua tanpa melalui prosedur sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Papua.

Pemerintah Pusat juga menolak secara tegas, Kebijakan Affirmatif Action MRP tentang draf usulan Bendera Bintang Kejora sebagai simbol kultural. Sebagai jawaban Pemerintah Pusat atas kebijakan MRP ini adalah keluarlah PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang larangan Bendera Bintang Kejora dan bendera lain yang

dianggap simbol separatis di Indonesia. Ada pula, penetapan kebijakan afirmatif lain yakni dengan mengeluarkan SK Nomor 14 tentang semua Kepala Daerah di Tanah Papua adalah Orang asli Papua. Pemerintah Pusat melalui menteri dalam negeri ( Gunawan Fausi ) menolak dengan tegas SK MRP Nomor 14 tersebut dan mereka ( pemerintah pusat ) berencana akan keluarkan kebijakan baru yang disebut UP4B ( Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat ).

Pemerintah Pusat juga ikut berperan dalam memecah belah persatuan dan eksistensi orang asli Papua dengan membentuk dua Majelis Rakyat Papua di Jayapura dan

Manokwari. Tindakan pemerintah ini amat bertengan dengan Perdasus dan Peraturan Pemerintah tentang MRP yang menyatakan bahwa lembaga representatif masyarakat asli Papua ini hanya satu di Tanah Papua.

Semua kebijakan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua, jika dilihat dari hirarki hukum Indonesia maka saling tumpang tindih antara Intruksi Presiden, Perpu dan

Undang-Undang. Kondisi real di Tanah Papua mengatakan bahwa sebuah Inpres bisa mengalahkan sebuah Undang-Undang, seperti Kepres Nomor 1 Tahun 2003 tentang

IJB dan IJT bisa mengalahkan Undang Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus Papua. Walaupun sebenarnya kedudukan Undang-Undang lebih tinggi dari pada Peraturan Pemerintah, Perpu, dan Inpres.

Kondisi ini menunjukan bahwa potret penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia di Indonesia terutama di Tanah Papua masih buram. Kondisi ini dapat memperlemah atau menggagalkan keberadaan Otonomi Khusus di Papua. Potret buram penegakan hukum dan HAM ini sebagai salah satu faktor pendorong lahirnya Musyawarah besar masyarakat Adat Papua bersama MRP yang merumuskan dan menetapkan bahwa implementasi Otonomi Khusus Papua telah gagal total.

Keputusan Rakyat Papua yang memutuskan dan mengembalikan Undang-Undang Otonomi Khusus kepada Pemerintah Pusat melalui demontrasi seluruh elemen rakyat adalah sebuah pelajaran berharga bagi pemerintah untuk merefleksikan dan mengevaluasi pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua di masa depan. Jika Pemerintah tidak mengubah kebijakan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di tanah Papua maka akan mempertebal rasa kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan memperlebar jurang pemisah antar keduanya.[***]

Penulis : Alumni USTJ, pada Prodi Hubungan Internasional

Kamis, 24 Januari 2013 22:13, Oleh : Ramos Kipota Petege, Papuapos.com

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny