Kemerdekaan dan kedaulatan bagi Bangsa Papua Barat telah dicaplok atau dianeksasi secara paksa oleh Pemerintah Indonesia dan Negara-negara Kapitalis. Dan ini bangsa Papua Barat berada dalam penjara Kolonial. Desakan Bangsa Papua Barat untuk keluar dari Negara Indonesia mulai bergema secara terbuka sejak Indonesia memasuki era reformasi tahun 1998.
Pemerintah Indonesia memberikan otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagai jalan tengah atau penyelesaian menang-menang (win-win solution) atas tuntutan Kemerdekaan bagi Papua Barat. Pemberian Otonomi khusus ini terjadi pro dan kontra ditengah kehidupan masyarakat Papua Barat. Kelompok yang mendukung adalah para birokrat dan atau pejabat negara (Polisi dan Militer) . Sementara yang menolak tegas adalah seluruh elemen masyarakat Papua Barat.
Pemberian Otonomi khusus bagi Provinsi Papua ini tidak representatif bagi rakyat dan terkesan dipaksa untuk menerimanya. Sebab Otonomi Khusus diberikan bukan didasarkan atas kesepakatan bersama antara pimpinan masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat. Hal ini amat berbeda dengan pemberian Otonomi Khusus bagi Pemerintah Nangro Aceh Darusalam karena diberikan atas kesepakatan kedua bela pihak.
Jika kita memahami lebih jauh tentang maksud dari pemberian Otonomi Khussus adalah ” untuk mewujudkan keadilan, kebenaran dan kejujuran dalam penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, perlindungan, pemberdayaan dan kesejahteraan serta kemakmukran bagi orang asli Papua” sesuai dengan prakarsa sendiri dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan keseimbangan dengan daerah lain. Jadi, melalui Otonomi Khusus Pemerintah Daerah mengambil langkah-langkah alternatif terbaik untuk mendorong percepatan pembangunan dalam segala bidang di Papua.
Berdasarkan maksud diatas maka tujuan pemberian Otonomi Khusus adalah agar pemerintah mengambil prakarsa sendiri dalam menetapkan langkah-langkah dan perencaan strategis untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan, meningkatkan pelayanan, pemberdayaan rakyat, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Papua serta mengurangi kesenjangan pembangunan antar sektor, wilayah, kota dan kampung.
Dengan demikian amanat ( filosofis ) dasar Undang-Undang Otonomi Khusus Papua adalah pertama, Perlindungan terhadap orang asli Papua, kedua, Keberpihakan terhadap orang asli Papua dan yang ketiga adalah Pemberdayaan terhadap orang asli Papua.
Kini selama sepuluh tahun implementasi Otonomi Khusus di Tanah Papua tidak mewujudkan amanat khusus Otsus itu sendiri. Dengan demikian, Masyarakat Papua sendiri sebagai subjek sekaligus objek pembangunan yang langsung merasakan, mengalami, mengamati dan melihat hasil pembangunan dalam era Otsus menyatakan bahwa pelaksanaan Otonomi Khusus gagal total. Kesimpulan yang diambil oleh masyarat bahwa ” OTSUS PAPUA GAGAL TOTAL” tersebut melalui sebuah forum yang demokratis, bermartabat dan representatif yakni melalui Musyawarah Besar Masyarakat Asli Papua dan Majelis Rakyat Papua [MRP] yang berlangsung di Numbay 9-10 Juni 2010.
Kegagalan Implementasi Otonomi Khusus di Papua tidak terlepas dari peran Pemerintah Pusat. Peran mereka terlihat dalam penetapan yuridis yang bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus seperti Kepres Nomor 1 Tahun 2003 yang mengaktifkan kembali Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah [selanjutnya disebut IJB dan IJT]. Namun perkembangan selanjutnya, Prov IJB tetap eksis sampai sekarang walaupun ada penolakan dari masyarakat, sementara untuk IJT berhasil ditolak. Keberadaan Prov IJB adalah satu-satunya Provinsi di dunia yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas tetapi secara operasional tetap berjalan baik. Kebijakan ini murni mengandung unsur politis yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat asli Papua.
Selain Kepres IJB, Pemerintah juga mengeluarkan sebuah Inpres lagi, Inpres Nomor 5 tentang Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat 2007; Perubahan UU Otsus secara diam-diam guna melegitimasi keberadaan Provinsi IJB pada tahun 2009 dan mengurangi peran DPRP dalam Pemilukada di Papua, penyesahan peraturan Pemerintah tentang pemekaran Kabupaten dan Kota di seluruh Tanah Papua tanpa melalui prosedur sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Papua.
Pemerintah Pusat juga menolak secara tegas, Kebijakan Affirmatif Action MRP tentang draf usulan Bendera Bintang Kejora sebagai simbol kultural. Sebagai jawaban Pemerintah Pusat atas kebijakan MRP ini adalah keluarlah PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang larangan Bendera Bintang Kejora dan bendera lain yang
dianggap simbol separatis di Indonesia. Ada pula, penetapan kebijakan afirmatif lain yakni dengan mengeluarkan SK Nomor 14 tentang semua Kepala Daerah di Tanah Papua adalah Orang asli Papua. Pemerintah Pusat melalui menteri dalam negeri ( Gunawan Fausi ) menolak dengan tegas SK MRP Nomor 14 tersebut dan mereka ( pemerintah pusat ) berencana akan keluarkan kebijakan baru yang disebut UP4B ( Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat ).
Pemerintah Pusat juga ikut berperan dalam memecah belah persatuan dan eksistensi orang asli Papua dengan membentuk dua Majelis Rakyat Papua di Jayapura dan
Manokwari. Tindakan pemerintah ini amat bertengan dengan Perdasus dan Peraturan Pemerintah tentang MRP yang menyatakan bahwa lembaga representatif masyarakat asli Papua ini hanya satu di Tanah Papua.
Semua kebijakan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua, jika dilihat dari hirarki hukum Indonesia maka saling tumpang tindih antara Intruksi Presiden, Perpu dan
Undang-Undang. Kondisi real di Tanah Papua mengatakan bahwa sebuah Inpres bisa mengalahkan sebuah Undang-Undang, seperti Kepres Nomor 1 Tahun 2003 tentang
IJB dan IJT bisa mengalahkan Undang Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus Papua. Walaupun sebenarnya kedudukan Undang-Undang lebih tinggi dari pada Peraturan Pemerintah, Perpu, dan Inpres.
Kondisi ini menunjukan bahwa potret penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia di Indonesia terutama di Tanah Papua masih buram. Kondisi ini dapat memperlemah atau menggagalkan keberadaan Otonomi Khusus di Papua. Potret buram penegakan hukum dan HAM ini sebagai salah satu faktor pendorong lahirnya Musyawarah besar masyarakat Adat Papua bersama MRP yang merumuskan dan menetapkan bahwa implementasi Otonomi Khusus Papua telah gagal total.
Keputusan Rakyat Papua yang memutuskan dan mengembalikan Undang-Undang Otonomi Khusus kepada Pemerintah Pusat melalui demontrasi seluruh elemen rakyat adalah sebuah pelajaran berharga bagi pemerintah untuk merefleksikan dan mengevaluasi pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua di masa depan. Jika Pemerintah tidak mengubah kebijakan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di tanah Papua maka akan mempertebal rasa kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan memperlebar jurang pemisah antar keduanya.[***]
Penulis : Alumni USTJ, pada Prodi Hubungan Internasional
Kamis, 24 Januari 2013 22:13, Oleh : Ramos Kipota Petege, Papuapos.com