Kekerasan Militer di Papua, Menumbuhkan Kebencian Rakyat Papua Terhadap Indonesia

Oleh : Rickson M.P. Edowai, ST., S.Kom *

Rickson M.P. Edowai, ST., S.Kom (Dok Pribadi)
Rickson M.P. Edowai, ST., S.Kom (Dok Pribadi)

Rezim militer Orde Baru Soeharto menjadikan Papua sebagai daerah kekuasaan militer, terutama Angkatan Darat (AD). Kesan seperti itu sangat terasa karena instansi militer dan para petinggi militer di Kodam dan jajarannya mendominasi ranah politik dan jalannya pemerintahan di Papua. Cengkraman AD atas Papua kian kuat karena adanya dwifungsi ABRI dan dijadikannya Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).

Dengan semangat berdwifungsi, obsesi utama semua pimpinan militer Indonesia, khususnya di jajaran Kodam Trikora dan di Pemda Papua menghancurkan apa yang mereka sebut gerombolan bersenjata OPM. Obsesi penghancuran OPM itu juga dimotivasi oleh kepetingan ekonomi dan politik. Secara politik petinggi AD, seperti Pangdam, Danrem, dan Dandim adalah juga Ketua Pembina Golkar di wilayahnya. Secara ekonomi, semua perusahaan besar di Papua dikategorikan sebagai objek vital nasional. Artinya perusahaan-perusahaan itu berada di bawah naungan militer untuk keamanannya. Untuk itu, perusahaan-perusahaan harus menyetor sejumlah uang.

Dalam setiap kepala pimpinan dan anggota ABRI, semua orang Papua adalah separatis, kecuali orang itu bisa menunjukkan dirinya bukan separatis. Untuk motivasi ini, OPM yang selalu kecil kekuatannya selalu dikampanyekan sebagai ancaman serius bagi NKRI. Obsesi itu tumbuh dari cara pandang yang melihat gerakan menuntut pengakuan identitas politik Papua sekadar masalah “bom waktu yang ditinggalkan Belanda” atau bush dari hasutan kelompok separatis, bukan merupakan persoalan mendasar yang berkaitan dengan rasa keadilan dan harga diri orang Papua. Maka dari itu untuk mengenyahkan “hantu OPM” itu, kebijakan yang diambil di Papua adalah menghancurkan OPM secara fisik (membunuh) dengan menggelar operasi militer berkesinambungan (DOM) dari tahun ke tahun.

Dr. Benny Giyai seorang rohaniwan dan intelektual Papua mencatat bahwa pengalaman di bawah cengkraman militer itu merupakan pengalaman pahit yang tak akan pernah terlupakan oleh orang-orang Papua. Benny menuliskan bahwa dalam seluruh pengalaman pahit itu, orang Papua merasa diperlakukan bukan sebagai manusia, melainkan hanya sebagai objek, yaitu objek operasi militer.

Sejarah sebagai objek kekerasan itulah yang selalu diingkari oleh Indonesia sampai hari ini. Pihak-pihak militer atau aparat keamanan di Papua sama sekali tidak pernah merasa melakukan kejahatan terhadap siapa pun di Papua, karena operasi-operasi militer yang mereka lancarkan, atau penangkapan-penangkapan serta penyiksaan atau pembunuhan dengan segala bentuknya di Papua hanyalah dalam rangka menjalankan tugas sebagai pelindung NKRI dari rongrongan organisasi yang disebut sebagai OPM.

Dalam pandangan orang-orang Papua, ABRI yang berpataka “Praja Ghupta Kra” (Ksatria Pelindung Masyarakat) adalah alih-alih menjadi pelindung, malah menjadi seperti pagar makan tanaman. Operasi-operasi militer mendatangkan kesengsaraan lahir dan batin bagi orang-orang Papua. Pandangan orang Papua itu masih bertahan sampai saat ini sehingga mendorong mereka menuntut merdeka karena rendahnya kepercayaan terhadap TNI/POLRI dan  instansi pemerintah yang ada di Papua.

Dengan latar sejarah dan posisi politik seperti itu,  militer di Papua merasa dan melihat dirinya sebagai satu-satunya institusi yang menjaga keutuhan Indonesia di Papua. Militer di Papua selalu bertindak represif terhadap segala bentuk gerakan atau opini yang mempertanyakan atau memprotes keadaan yang dirasakan kurang adil oleh tokoh-tokoh dan mahasiswa Papua. Dalam menjaga keutuhan NKRI, militer Indonesia di Papua sangat mudah memvonis seluruh bentuk protes orang Papua sebagai gerakan separatis.

Ketika cap separatis sudah dialamatkan oleh militer kepada seseorang di Papua maka orang itu akan bisa menjadi korban dalam sekejap. Seperti penangkapan terhadap tokoh-tokoh dan mahasiswa Papua. Baik menjadi korban penculikan, penyiksaan, bahkan pembunuhan. Aksi kekerasan itu berlangsung bertahun-tahun, dengan ribuan korban jiwa. Para korban dan keluarganya inilah bersama-sama dengan kalangan mudah dan mahasiswa serta tokoh-tokoh terpelajar Papua di era reformasi menyuarakan perlunya Indonesia mempertanggungjawabkan seluruh kekerasan itu. Untuk meminta pertanggung-jawaban itu, wacana Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi wacana yang paling dominan di dalam dan luar Papua.

Sejumlah rangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM yang  terjadi di bumi Cendrawasih merupakan luka bagi OPM dan Rakyat Papua. Hal ini, yang kemudian membangkitkan semangat OPM untuk mempertahankan harga dan jati diri sebagai kulit hitam dan rambut keriting. Sehingga dengan tidak ragu-ragu OPM tampil ke permukaan secara terbuka untuk melakukan perlawanan. Salah satu aksi yang terjadi adalah dengan menembak mati 8 prajurit TNI, (21/02) di Tinggi nambut Puncak Jaya (Sumber : MetroTV). Sungguh ironis, Indonesia sebagai negara hukum dan menjunjung tinggi HAM malah menimbulkan berbagai konflik yang tak kunjung selesai. Dari tahun ke tahun TNI/PILRI Vs OPM kian menjadi-jadi. Menggores luka lara bagi rakyat hitam. Kapan Bumi Hitam akan menjadi Zona Damai untuk Rakyat hitam ?

* Aktivis Mahasiswa Papua Makassar

| March 7, 2013 |08:43, TJ

Ketika Bendera Bintang Kejora Berkibar di Langit Papua

Bendera Bintang Kejora dan Bendera Merah Putih berkibar di halaman Kantor MRP beberapa tahun lalu. (Jubi/Levi)
Bendera Bintang Kejora dan Bendera Merah Putih berkibar di halaman Kantor MRP beberapa tahun lalu. (Jubi/Levi)

Jayapura — Inilah sejumlah kasus pengibaran Bendera Bintang Kejora di dalam era pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua. Bendera Bintang Kejora terus jadi persoalan, bahkan momok menakutkan bagi aparat keamanan, maupun siapa saja yang melihatnya sebagai musuh.

Walau Bendera Bintang Kejora (bersama Lagu Hai Tanahku Papua, dan Logo Burung Mambruk) selama ini dipergunakan sebagai  “simbol” Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dari kacamata politik pemerintah Republik Indonesia (RI) sebagai separatis. Tapi Abdurrahman Wahid semasa menjabat Presiden RI di tahun 2000 lalu, sempat mengijinkan Bendera Bintang Kejora bisa dikibarkan asalkan bersamaan Bendera Merah Putih dengan syarat ukurannya lebih kecil dan tingginnya lebih rendah dari Bendera Merah Putih.

Masalah simbol Papua, seperti bendera, lambang dan logo untuk wilayah Papua telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua. Ini tertera dalam pasal 1 butir “h” dan pasal 2 ayat 2-3 yang menyebutkan bahwa lambang daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultur bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan Papua.

Selanjutnya, ketentuan itu diatur oleh Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Tapi sejak UU Otsus disahkan November 2001 dan mulai dilaksanakan Januari 2002 di Papua, hingga kini belum ada Perdasus dan Perdasi yang mengatur secara jelas “simbol” Papua itu.

Melihat ini, pernah pihak Majelis Rakyat Papua (MRP) pernah melakukan konsultasi publik dengan rakyat Papua tentang “simbol” untuk Papua dalam era Otsus Papua. Hasilnya, rakyat Papua menginginkan Bendera Bintang Kejora, lagu Hai Tanahku Papua dan Logo Burung Mambruk sebagai lambang kultur Papua.

Saat itu, MRP mencoba mengkaji usulan rakyat itu dari berbagai sisi, termasuk posisi Bendera Bintang Kejora dalam tatanan hukum Indonesia. MRP juga mengambil inisiatif mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan eksekutif segera membuat Perdasus, agar jangan ada lagi orang asli Papua dibantai hanya karena Bendera Bintang Kejora.

Saat almarhum Agus Alue Alua masih menjabat Ketua MRP, dia pernah mengatakan, secara resmi usulan dalam bentuk pokok pikiran telah disampaikan ke DPRP, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Pusat di Jakarta.

“Tapi di tengah jalan, ada lembaga negara yang tak setuju. Mereka bereaksi dan menciptakan kondisi beda pendapat dengan MRP, bahkan MRP sebagai lembaga yang dibentuk negara dituduh lembaga separatis,”

katanya ketika itu, saat ditemui di Kantor MRP di Kotaraja, Kota Jayapura, Papua, Rabu 19 Maret 2008 lalu.

Belum usai perdebatan itu, tiba-tiba tanggal 10 Desember 2007, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 (PP 77/2007) tentang Lambang Daerah. PP 77/2007 yang juga diberlakukan untuk Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Provinsi Papua ini mengisyaratkan agar lambang daerah (bendera, lagu, dan logo) tak boleh sama dengan lambang separatis. Akibatnya, bagi siapapun di Papua, membentangkan atau menampilkan lambang dan Bendera Bintang Kejora akan dianggap makar dan separatis atau pihak yang hendak mendirikan negara di dalam Negara RI.

Di Kota Manokwari, ibukota Provinsi Papua, 3 Maret 2008 lalu misalnya, ketika kelompok West Papua National Authority (WPNA) Wilayah II Manokwari bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Manokwari dalam aksi demonya membentangkan Bendera Bintang Kejora. Maka ada enam orang ditangkap polisi dan dijadikan tersangka, serta di sidang di Pengadilan Negeri Manokwari atas tuduhan makar.

Terus 1 Mei 2008, di halaman Kantor Kelurahan Yabansai, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Bendera Bintang Kejora kembali berkibar selama beberapa menit dan akhirnya diturunkan pihak kepolisian. Polisi sempat mencari pelaku pengibarnya.

Lalu 19 Juli 2008, kembali Bendera Bintang Kejora berkibar di tiang bendera Geduang Pepera di Jalan R.A. Kartini, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Dalam kasus ini, polisi menetapkan sembilan tersangka, enam diantaranya dijerat Pasal Makar yakni Pasal 106, jo. Pasal 107 dan jo Pasal 110 dan tiga lainnya dikenakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951, tentang senjata tajam (sajam).

Di Wamena, seorang warga bernama Anthonius Tabuni (40 tahun) tewas diterjang peluru aparat keamanan saat kepolisian menurunkan paksa Bendera Bintang Kejora di Lapangan Sinapuk, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, Sabtu 9 Agustus 2008 lalu. Bendera Bintang Kejora dikibarkan sejumlah warga saat perayakan Hari Internasional Bangsa Pribumi Se-dunia. Polisi menangkap sejumlah saksi dan mengetahui identitas dua orang pelakunya, yakni berinisial AW dan AH.

Sebelumnya di tahun 2007, tepatnya 3 Juli, Bendera Bintang Kejora dibentangkan dalam salah satu tarian dari Group Sampari asal Manokwari pada pembukaan Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua (KBMAP) di Gedung GOR Cenderawasih, Kota Jayapura. Para pelaku sempat diperiksa polisi dan dimintai keterangannya.

Terus tiga hari sebelumnya, tepatnya 1 Juli 2007, Bendera Bintang Kejora sempat dikibarkan di atas atap Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas II A Abepura, Kota Jayapura. Pengibaran BenderaBintang Kejora dilakukan tiga narapidana bernama Yusak Pakage, Simson Wenda, dan Cosmos Yual. Ketiganya mengaku kesal dan kecewa kepada petugas Lapas Abepura yang saat itu tak mengijinkan mereka mengadakan konfrensi pers terkait 1 Juli di dalam lingkungan Lapas Abepura.

Menurut Yusak, aksi pengibaran Bintang Kejora selama lima menit itu dilakukan secara spontan. Yusak Pakage sendiri merupakan terpidana 10-15 tahun penjara bersama rekannya Filep Karma dalam kasus makar terkait pengibaran Bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora Abepura, Rabu 1 Desember 2004 lalu.

Pada momen 1 Desember 2004 itu juga, di Biak Barat, Kabupaten Biak Numfor pihak kepolisian setempat menangkap Betseba Adabikam, ibu berumur 60 tahun yang mengibarkan Bendera Bintang Kejora di halaman rumahnya sendiri. Lalu setahun kemudian, 1 Desember 2005, kembali Filep Karma mengibarkan Bendera Bintang Kejora di atap Lapas Abepura selama 30 menit yang diikat di sebuah tiang kira-kira sepanjang dua meter.

Masih ada beberapa kasus serupa hingga di tahun 2013 dan kemungkinan di tahun-tahun akan datang. Kasus itu adalah kasus pengibaran Bendera Bintang Kejora yang akhirnya pelaku akan ditangkap atau dikejar aparat keamanan. Tapi intinya, Bendera Bintang Kejora sepertinya akan terus menuai masalah. Tapi menurut Ketua MRP Agus Alue Alua ketika itu, jika nanti pemerintah mengakomodir Bendera Bintang Kejora dan simbol-simbol lainnya sebagai lambang daerah Papua, maka dijamin Papua akan tenang di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) .

“Saya jamin itu, kalau nanti PP 77/2007 tak berlaku di Papua dan Bintang Kejora bisa diakomodir, maka Papua akan jauh lebih aman di dalam NKRI. Sebaliknya, jika PP 77/2007 terus diberlakukan, maka masyarakat Papua akan terus dibayangi dua sikap yang bertentangan, yakni sikap yang represif dari aparat keamanan dan persuasif dari pemerintah. Sebab sejak awal lahirnya UU Otsus, rakyat Papua sudah dibayangi dua sikap yang bertentangan itu,”

kata almarhum Agus, ketika itu.  (Jubi/Levi)

March 6, 2013, 00:08, TJ

LP3BH Manokwari: Tokoh Gereja Bukan Pihak dalam Dialog Jakarta-Papua

Cahayapapua.com, MANOKWARI- Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum atau LP3BH Manokwari menyatakan komitmennya mendukung pelaksanaan dialog bermartabat Papua-Jakarta untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang masih menyelimuti tanah Papua.

Direktur LP3BH Manokwari Yan Christian Warinussy mengatakan untuk memperoleh capaian yang optimal, tahapan dialog harus dimulai dari sekarang, oleh para pihak yang selama ini teridentifikasi sebagai pihak yang saling bertikai dalam konflik sosial-politik di tanah Papua.

“Mereka adalah rakyat Papua di satu pihak dan pemerintah Indonesia pada pihak lainnya. Masing-masing pihak seharusnya sudah mempersiapkan format atau kerangka acuan dari rencana penyelenggaraan dialog itu sendiri lalu kemudian melakukan lobi-lobi awal melalui para utusan khususnya untuk mendiskusikan pikiran dan pandangan dari kedua belah pihak terhadap dialog itu,” katanya, Rabu (23/1).

Warinussy melanjutkan, jika dua pihak itu sudah mencapai kesepakatan pada pembicaraan awal, selanjutnya dapat dipertemukan atau bertemu lewat para utusan khususnya untuk membicarakan format dialog dan saling menerima usul-saran terhadap format tersebut. Format tersebut tentunya mesti dibahasakannya dengan baik agar masing-masing pihak bisa menerima.

Kendati demikian, Warisnussy berpandangan, pelaksanaan dialog sangat bergantung pada niat dan kesungguhan hati Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Kepala Negara. Presiden menurut Warinussy jika sudah menyikapi baik rencana dialog ini, dapat menetapkan penyelenggaraan dialog secepatnya yang merupakan solusi damai demi menyelesaikan konflik berkepanjangan di tanah Papua.

Terkait langkah Presiden untuk memanggil para tokoh agama atau pemimpin Gereja sebagaimana diungkapkan anggota DPD RI Utusan Papua Barat Mervin Sadipun Komber disalah satu media Manokwari beberapa waktu lalu, dimana presiden hendak meminta masukan tentang format dialog, Warinussy menilai hal itu merupakan kekeliruan.

“Para tokoh agama dan pemimpin gereja di tanah Papua seharusnya memiliki prinsip yang teguh untuk tidak gampang dipengaruhi, karena mereka jelas-jelas bukan pihak dalam dialog Papua-Jakarta nantinya,” kata Warinussy.

Menurut Warinussy, pihak yang berkompeten terlibat dalam dialog itu berasal dari pemerintah Indonesia baik pusat dan daerah, dan rakyat Papua, yang didalamnya terdiri dari sejumlah komponen penting seperti pemimpin politik dari PDP, SPP, KNPP, WPNA, WPNCL,WPLO, OPM, TPN-PB dan KNPB, juga organsiasi perjuangan lainnya di tanah Papua. |Toyiban

January 25th, 2013 by admin CahayaPapua.com

Enhanced by Zemanta

Perempuan Dipulihkan, Maka Papua Juga Turut Dipulihkan

Pemulihan Papua dimulai dari Perempuan yang dipulihkan, karena perempuan itu melahirkan dan memelihara kehidupan. Ia berasal dari tulang rusuk, ia sanggup bekerja hingga terbenamnya mentari, sebab itu ia harus dipulihkan kapasitasnya sebagai ibu, pekerja dan pelaku ekonomi. Bagaimana memulihkannya? Berikut bincang-bincang dengan Ketua Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Papua Dra. Rika Monim, MM

Oleh : Veni Mahuze/Bintang Papua

KEKERASAN dalam rumah tangga ( KDRT) kerab dialami Perempuan, kondisi itu membuat perempuan Papua kehilangan kapasitasnya, ia kurang percaya diri dan minder. Kekerasan fisik dari suami disertai tekanan simbolik lingkungan, membuat perempuan di Papua tak berdaya.

“ Padahal perempuan Papua punya kapasitas, punya kapabilitas dan integritas yang cukub baik,” ujar Rika Monim, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Papua, Jumat( 30/11)lalu.

Dikatakan, sampai kapanpun bila hati perempuan Papua tak tersentuh selama itu pula kapasitasnya tak nampak, selama itupula ia takan berperan sebagai ibu, pekerja dan pelaku ekonomi yang mapan bagi keluarganya. Kekerasan dalam rumah tangga serta dampak fisik, psikis yang ditimbulkan itu dialami hampir semua perempuan di kampung kampung, di kabupaten- kabupaten di tanah Papua.

Dari hasil kunjungan lapangan yang dilakukan Rika Monim, November 2011 lalu, ia melihat kondisi perempuan Papua tetap hidup meramu di tengah kota. “Hal ini tak boleh dibiarkan larut,” kata Rika. Perempuan tak boleh dibiarkan larut dalam kondisi dirinya sendiri yang tak berdaya yang sesungguhnya berdaya, melainkan perempuan Papua saat ini harus dipulihkan. Ia melihat semua kondisi perempuan Papua mengalami perlakukan sama, mengalami kerasan fisik berlapis, entah di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura dan kabupaten lainnya. Sebagai pekerja dan pelaku ekonomipun demikian, perempuan hanya mampu sampai pada menjual pinang, sayuran, roti. “ Namun harus diakui, mereka kaum perempuan itu pekerja keras menyambung nyawa meski sakit,” ujar Rika

Berjualan pinang, aktivitas paling gampang ditemui setiap hari dari perempuan Papua. Pemandangan ini nampak di pinggiran jalan, di emperan toko sepanjang jalan pertokoan Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura dan daerah lainnya, perempuan tak berkembang dan stagnan. Perempuan belum menggapai apa itu mempunyai toko, ia masih berpikir sederhana soal isi perut, dia, anak dan suami. “Di semua lini di Kota ini belum ada perempuan Papua menempati posisi, jangan jauh jauh, di mal mal, Bank Bank di Jayapura, kecuali Bank Papua,” sambugnya.

“Melihat kondisi perempuan yang stagnan, saya tergelitik, kita mesti tingkatkan kapasitasnya baik anak muda perempuan maupun ibu rumah tangga. Hanya dengan meningkatkan kapasitasnya, perempuan Papua ini akan mandiri. Ia mengakui banyak orang punya perhatian untuk memajukan perempuan Papua dengan caranya sendiri.

Namun perlu diingat, upaya utama memajukan perempuan Papua adalah memulihkan hatinya yang terluka, ada pemulihan hati, itu yang terpenting dilakukan saat ini. Dengan penguatan penguatan kapasitas, perempuan akan merasa dirinya bisa, dirinya berharga, dirinya dibutuhkan. Ada perubahan karakter disertai daya saing perempuan di ranah ekonomi.
Kegiatan penguatan kapasitas perempuan Papua sendiri merupakan kegiatan pilihan Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Papua yang hampir setahun lebih ini gencar lakukan penguatan penguatan kapasitas perempuan diberikan di hampir semua daerah kabuapten di Papua.

“Saya melihat karakter perempuan ini harus diubah, perempuan sering mengatakan suami mereka lari melirik wanita lain, tertarik pesona fisik wanita lain meski telah berdoa namun seperti tak dikabulkan, mengapa seakan jadi pertanyaan klasik perempuan. Mereka hati perempuan belum dipulihkan dari luka hati dan dendam atas perlakuan kekerasan yang dialaminya. Perempuanharus mengubah diri dan karakter, hati perempuan harus dipulihkan, pemulihan hati akan mengiringi pemulihan karakter”ujar Rika Monim disela sela kegiatan penguatan kapasitas perempuan Papua bersama UN Women akhir pekan ini.

“Hati, pikiran dan perasaan teraniaya dari perempuan tak akan membuat dia bebas, justru pemulihan mulai dari sana. Pemahaman tentang konsep diri perempuan sangat membantu hampir semua perempuan yang dibantu melalui pengenalan materi konsep diri perempuan yang dilakukan bersama UN Women, hal ini berdampak langsung bagi para perempuan yang mengambil bagian dalam kegiatan penguatan kapasitas perempuan ini danb ada pemulihan terjadi menurut penuturan para perempuan didaerah”.

Rika mengakui, pemulihan dari kekerasan fisik, psikis dan kekerasan simbolik dalam konsep Papua yang dominan pemeluk nasrani, tak bisa dilepas dari konsep religius. Pemulihan perempuan Papua sangat erat pengaruhnya dengan budaya religiositas iman Nasrani sendiri, tanpa itu tak bisa perempuan Papua dipulihkan dan sembuh. Kita mulai justru dari sana, ujar Rika mengakui.

Memang untuk memulihkan kaum perempuan, kaum laki laki juga harus turut dipulihkan. Pemulihan terhadap kaum laki laki akan meminimalisir dampak kekerasan terhadap perempuan karena laki laki juga diberikan pemahaman dan kapasitas sama bahwa ia tak boleh melakukan kekerasan terhadap perempuan an diingatkan.

Permintaan akan penguatan kapasitas bagi laki laki ini datang dari hampir semua perempuan yang mengikuti penguatan kapasitas itu. Kegiatan yang sepenuhnya didukung melalui kerjasama juga dengan” Worl Women Fondation” ini, sengaja menghadirkan para mediator dan pembina dari luar. Para mediator dan pelatih adalah orang orang yang benar benar berkapasitas, seorang pendeta dan punya hati dan mau bekerja untuk pemulihan perempuan Papua di daerah daerah kabupaten di Papua.

Bersama Biro pemberdayaan perempuan mereka sudah bekerja hampir setahun lebih di Papua, mengunjungi kampung kampung di Papua. Mereka bekerja dalam berbagai bidang kehidupan perempuan termasuk penguatan kapasitas ekonomi dan pengelolaan keuangan bagi perempuan” Pemulihan adalah kebutuhan utama Perempuan diPapua . Perempuan dipulihkan, maka Papua juga turut dipulihkan,” sambung Rika (Bersambung)

Senin, 03 Desember 2012 09:36, Binpa

Tak Gampang Jadi Anggota PBB

Franzalbert Yoku Soal Klaim Bahwa Papua Barat Sudah Terdaftar di PBB

SENTANI— Pernyataan Agustinus Waipon, yang mengaku selaku  Kepala Kantor Sekretariat Negara Republik Papua Barat versi Presiden Yance Hembring,  bahwa perjuangan panjang Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dilebur menjadi Administrasi Negara Republik Papua Barat (NRPB) akhirnya terdaftar secara resmi menjadi anggota PBB, mendapat tanggapan dari  Franzalbert Yoku yang merupakan salah satu mantan tokoh OPM yang banyak berjuang di luar negeri.  Ia mengatakan pernyataan itu merupakan sebuah pembohongan publik. Pasalnya, jangankan terdaftar di PBB untuk bisa masuk ke gedung PBB saja cukup sulit.

“Itu pembohongan publik dari para oportunis yaitu para adventure atau pekerjaan petualang politik. Saya tahu, karena saya dulu jadi petualang politik dan saya kerjanya begitu. Selain jadi wartawan, saya juga jalankan propaganda seperti itu,”

ujar kepada Bintang Papua Senin pagi (19/11) yang ditemui di kediamannya.

Dikatakan, tetapi sekarang ini, dirinya memilih untuk menerima kenyataan dan kebenaran serta bagaimana dengan sepuluh jari yang dimilikinya bisa bergabung dengan Negara Indonesia guna mendorong upaya untuk memajukan Papua.

“Masyarakat diminta untuk lebih selektif dan waspada supaya jangan terjerumus dalam suasana yang menjadikannya korban akibat dari adanya berita propaganda dan jangan sampai dimanfaatkan oleh LSM yang ‘mencari kerja”.

Dimana setelah Timor-Timor selesai,  maka selanjutnya Papua juga ingin dijadikan lahan untuk berkampanye di luar negeri guna mendapatkan dana,” urainya.

Menurutnya, biasanya hal seperti ini akan sampai memanfaatkan situasi yang ada, bahkan situasi yang tidak ada bahkan ada yang tidak benar untuk bahan propaganda guna mendapatkan dukungan dan simpati serta dana.

“Yang jelas pembicaraan tersebut bohong, sebab PBB bukan satu badan untuk mengafiliasikan diri, LSM atau gerakan agama atau siapa saja,”

imbuhnya.

Dijelaskannya, PBB beranggotakan negara-negara yang berdaulat yang sudah mendapat rekornisi dari sesama negara yang merdeka dan berdaulat serta rekornisi dari PBB yang mana negara seperti inilah yang bisa mendaftar jadi anggota.

“Jadi kalau ada organisasi atau LSM di Papua ataupun di seluruh wilayah Indonesia yang sudah berafiliasi kesana (PBB-Red) itu bohong,”

tandasnya.

Tetapi, lanjutnya, jika mereka berafiliasi ke Indigenous Peoples Moved yang juga ada relasinya dengan PBB, itu memang benar. Tetapi jangan, lantas ada yang mengatakan bahwa OPM di Papua atau Papua Barat dan lain sebagainya sudah berafiliasi atau mendaftar ke PBB.

“Tidak ada cerita seperti itu sepanjang yang saya tahu, tetapi jika teman-teman wartawan ada yang tahu lebih baik daripada saya, tolong dijelaskan kepada teman-teman di Papua dan Papua Barat bagaimana duduk kebenarannya,”

tukasnya.

Dituturkan Franz, pihaknya meminta sekali lagi, agar jangan masyarakat Papua dibodohi terus, jangan masyarakat Papua dengan waktu yang sangat mahal dibohongi terus lalu membuang waktu yang sangat mahal yang tadinya untuk membangun negeri dan dirinya sendiri.

“Semudah itu. Coba bayangkan saja, seorang wartawan untuk dapat akreditasi dari PWI di Indonesia dan Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) untuk mendukung atau mengcover saja bukan mendaftar menjadi anggota PBB, untuk bisa masuk ke gedung PBB bisa membutuhkan waktu 5-10 hari hanya untuk mengurus security atau keamanan,”

ungkapnya.

Lanjutnya, hal tersebut baru di luar gedung PBB dan biasanya hal tersebut pihak swasta yang menangani yaitu pihak swasta yang ditunjuk oleh PBB seperti ILWP apalagi setelah tanggal 11 Desember lalu. Yang jelas tidak bisa segampang itu masuk gedung PBB. Yang mana setelah itu, untuk meminta waktu, jangankan Sekjen PBB, pejabat tengah saja di PBB, prosesnya cukup rumit dengan harus menyakinkan, karena PBB tidak berurusan dengan asosiasi dan LSM tetapi berurusan dengan negara resmi sehingga tiap hari PBB bekerja dengan duta-duta besar yang ditunjuk oleh negara anggota PBB untuk berurusan dengan Sekretariat PBB,

“Dari Indonesia tidak bisa berangkat kesana kecuali lewat Kemenlu jadi tidak bisa sembarangan. Apalagi orang Papua pikir bisa semudah masuk Bandara Sentani,”

pungkasnya.

Selain itu, tentang isu-isu bahwa PBB akan datang melakukan perubahan politik di Indonesia, bagi Franzalbert Yoku memiliki alasan yang sama, dimana tanpa mekanisme yang tadi dijelaskan tidak bisa sesukanya datang dan mengatur Indonesia apalagi mengurus urusan dalam negeri Indonesia.

“Hal tersebut berlaku untuk untuk semua anggota PBB seperti misalnya Negara Siria, PBB tidak semudah itu libatkan diri apalagi menyangkut proses yang bertahap dan rumit sampai keputusan dewan keamanan sampai mengintervensi seperti itu, memang ada apa di Papua hingga PBB bisa seperti itu,”

tanyanya.

Tidak hanya itu, hal yang berkaitan dengan hal tersebut yang harus disampaikan Franzalbert Yoku lainnya adalah banyak orang di Papua percaya bahwa Sekjen PBB yaitu Ban ki Mon memiliki kuasa seperti presiden yang berlaku seperti bos besar dari semua kepala negara di dunia ini.

“Itu pemahaman yang keliru dan salah. Sebab Sekjen PBB tidak punya kuasa apa-apa atas negara-negara di dunia. Sekjen PBB adalah Kepala Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu unit administratif yang mengurus persidangan dan urusan dengan kepentingan negara anggota PBB dengan PBB,”

paparnya.

Franzalbert kembali menjelaskan bahwa kepala administratif dari sekretariat tersebut adalah Sekjen PBB tadi. Yang mana Sekjen PBB bukan bos dunia seperti yang orang Papua bayangkan sehingga ada saja dari waktu ke waktu yang mengatakan bahwa Sekjen PBB akan membacakan teks proklamasi kemerdekaan Papua di Bandara Sentani dan lain sebagainya.

“Masuk akal kah setelah saya jelaskan tadi? Itu pembicaraan orang bodok!! Dan saya tidak mau dunia melihat Papua ini dihuni oleh orang Papua yang tusuk lubang hidung dengan taring babi dan lari-lari di jalan dengan jubi dan panah tiap hari, tidak kerja di kantor, tidak berusaha dan lain sebagainya. Papua jauh dari gambaran itu,”

katanya lagi.

Ditambahkannya, jangan masyarakat Papua mapun Pemerintah Indonesia menggambarkan bahwa Papua dihuni oleh orang bodok, masih primitif, setengah telanjang, tidak tahu keadaan dunia apalagi memahami mekanisme yang begitu jelas mengatur seperti PBB. (dee/don/l03)

Selasa, 20 November 2012 09:50, www.bintangpapua.com

Mewaspadai Stigma Baru (Teroris) Pada Orang Asli Papua

Jayapura — Saya masih ingat, dalam satu diskusi, seorang Jurnaslis Papua mengatakan,

“Sekarang ini, ada indikasi populerkan isu terorisme di Papua. Kita tidak bisa masuk dalam usaha itu. Kita harus mempunyai pilihan kata yang tepat untuk mengungkapkan usaha popularisasi kata teroris. Pilihan kata yang sesuai dengan kenyataan yang ada di Papua,”

kata jurnalis itu serius.

Apakah maksud dari usaha popularisasi isu terorisme di Papua? Apakah yang belakangan ini terjadi? Belum sampai satu bulan, berita-berita yang berhubungan dengan kata teroris mulai bermunculan melalui cerita lisan maupun melalui media massa di Papua. Ledakan bom di Sorong dan penemuan serbuk dan masih banyak lagi temuan-temuan, berujung pada kata TERORIS.

Tak lama kemudian, Papua mengalami pergantian Kapolda. Pergantian ini mendapat reaksi dan tanggapan miring dari warga Papua. Irjen Pol Tito Karnavian, Kapolda Papua yang baru adalah mantan Komandan Densus 88 yang selama ini bertugas memeranggi terorisme di Indonesia.

Di sela-sela reaksi dan berbagai tanggapan Ketua Komnas HAM  berkomentar,”Latar belakang Tito itu sebagai modal utama untuk memahami masalah Papua. Pemetaan masalah dan penanganan  akan berjalan baik.

“Latar belakang Tito sangat mejamin penyelesaian masalah Papua,”

katanya dalam satu wawancara di Kota Jayapura belum lama ini.

Selang beberapa hari kemudian, berita peledakan bom dan penemuan bom pipa siap ledak di Wamena mewarnai media eletronik dan cetak di Papua bahkan nasional. Berita-berita itu bukan wacana melainkan kenyataan. Kata Teroris makin populer di Papua. Warga pembaca media pasti yakin ada teroris dan ancaman terorisme di Papua. Warga pasti tidak aman dengan kata yang mengandung kejahatan itu.

Pertanyaannya, siapa teroris itu? Ataukah ini hanya popularisasi  stigma baru (Teroris) di Papua dari stigma sebelumnya. Stigma sebelumnya, Organisasi Papua Merdeka (OPM), Separatis, Makar, Orang Tak Dikenal (OTK) dan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), tak mempan, sehingga perlu digantikan dengan istilah baru?

Sekali pun tidak ada data tertulis mengenai dugaan itu, fakta yang ada memberitahukan kita. Pemberitaan media mengenai peledakan bom di Kantor DPRD Jayawijaya, penemuan Bom di sekretariat Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Wamena selalu menyebut kata-kata “TERORIS”.

Pertanyaan lagi. Apakah ini indikasi pihak keamanan mengiring orang Papua yang tergabung dalam faksi politik sebagai teroris? Oknum-oknum KNPB masuk ke dalam jaringan terorisme? Apa alasan KNPB bergabung dengan jaringan terorisme? KNPB sendiri mengaku tidak mempunyai kepentingan dengan jaringan terorisme. KNPB dengan tegas mengatakan polisi jangan menggiring KNPB ke masalah kriminal dan terorisme. Penemuan Bom di sekretariat KNPB hanyalah skenario politik.

“KNPB menilai pernyataan polda Papua tentang penemuan bom siap ledak di Sekretariat KNPB yang dilansir media lokal hari, Senin (1/10) itu hanyalah skenario politik. KNPB sama sekali tidak tahu dan tidak percaya dengan penemuan bahan peledak siap ledak itu,”

sebagaimana pengakuan KNPB pada tabloidjubi.com.

Kiranya, belum waktunya KNPB mengatakan Indonesia menggiring KNPB ke dalam kelompok teroris. KNPB belum mempunyai data yang valid. Tetapi dengan fakta yang ada, KNPB lebih tepat jika mengatakan  Indonesia hendak mereduksi ideologi Papua merdeka yang diyakini oleh KNPB dengan isu terorisme.

Upaya mereduksi ideologi Papua Merdeka dengan isu terorisme bisa saja benar karena dua alasan. Pertama, Indonesia hendak menjaga rahasia kesalahan Australia yang melatih desus 88 dalam rangka pemberantasan terorisme, kemudian faktanya terlibat dalam pemberantasan aktivis Papua. (http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2012-10-05/densus-88-diimplikasi-dalam-operasi-terhadap-aktifis-di-papua/1025768).

Kedua, Indonesia sedang menipu Australia dalam kerja sama politik luar negeri. Ataukah Indonesia dan Australia bekerja sama dalam politik luar negeri demi kepentingan bersama di Papua. Kepentingan merebut dan mempertahankan kekayaan alam di Papua.

Demi kepentingan itu, Indonesia dan Australia pasti akan terus mengedepankan isu terorisme. Indonesia dan Australia ingin membenarkan tindakan pelanggaran HAM di Papua. Demi pembenaran tindakan, kedua negara ini akan menerapkan pola-pola memerangi terorisme.

Pola-pola terorisme mulai dari peledakan bom, penemuan bom dan penangkapan pemilik bom semakin nyata menunjukkan saling kait-mengkait antara aksi dan reaksi (yang kemungkinan besar dilakukan pihak yang ahli dalam penanggulangan terorisme) .

Itulah sebabnya, kita (semua pihak yang memungkinkan terlibat secara tidak langsung, terutama jurnalis dalam isu terorisme di Papua) perlu waspada dan waspada. Waspada dalam memberitakan kejadian yang mengarah kepada membenarkan pelanggaran HAM, kepada terorisme dan kriminalitas.

Selain itu, jurnalis mesti waspada menetapkan sikap politik. Sikap politik yang manusiawi dengan pemilihan kata-kata pemberitaan, penyelesaian masalah tanpa kekerasan mesti diperhatikan. Yang pasti kekerasan akan melahirkan sebuah kekerasan baru. (Mawel Benny)

Friday, November 16th, 2012 | 15:19:15, www.tabloidjubi.com

Kasus HAM di Papua Sebaiknya Diinventarisir

JAYAPURA – Berbagai permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) yang hingga kini menurut rakyat asli Papua belum tuntas diselesaikan, mendapat mtanggapan serius dari Direktur ICS Papua, Budi Setyanto,SH.

Dikatakan, masalah pelanggaran HAM di Papua sudah seharusnya menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Pemerintah Pusat, yang dalam hal ini harus menginventarisir seluruh pelanggaran HAM di Papua kemudian dipublikasikan kepada publik.

Artinya, mana kasus pelanggaran HAM yang sudah diselesaikan secara hukum, mana yang belum diselesaikan, jika sudah diselesaikan seperti apa tingkat penyelesaiannya apakah model penyelesaiannya melalui peradilan ataukah melalui negosiasi, sebab faktanya yang terjadi pelanggaran HAM diyakini masyarakat Papua itu belum diselesaikan dengan baik.

“Solusinya adalah sekarang pemerintah harus inventarisir seluruh kasus-kasus di Papua, setelah itu harus diumumkan ke publik, supaya publik tahu bahwa ada kasus-kasus pelanggaran di Papua sekian banyak,” ungkapnya kepada Bintang Papua, Kamis, (15/11). Ditambahkan, dengan diumumkannya ke publik, tentunya masyarakat akan turut memberikan masukan-masukan kepada pemerintah, terutama dalam hal ini Komnas HAM (Pusat dan Papua) dan pihak penegak hukum.

Bukan itu saja, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua (DPRP dan Gubernur) setidaknya membentuk tim khusus (Timsus) bersama Komnas HAM untuk menginventarisir dan bersama-sama menanganinya secara komprehensif, bukan diselesaikan setengah-setengah. Hal semacam ini yang selama ini tidak dilakukan Pemprov Papua dan Komnas HAM.

“Kalau pelanggaran HAM tidak diselesaikan dengaan baik, maka selamanya jadi isu dan dituntut terus masyarakat. Ini harus ada kerjasama yang baik antara pemerintah, penegak hukum dan Komnas HAM, sehingga ini akan bisa memahamkan kepada masyarakat bahwa kasus-kasus pelanggaran di Papua serius diselesaikan,” jelasnya.

Tambahnya, “Selama ini kita hanya bicara bahwa terjadi pelanggaran HAM di Papua, tapi harus kita punya data yang valid bahwa pelanggaran HAM itu berapa banyak sesuai kategorinya, ini agar batasan HAM nya jelas dan jelas pula penanganannya jelas,” sambungnya.(nls/don/l03)

Jumat, 16 November 2012 08:30, Binpa

Makna Pasal 17 Ayat 1 UU OTSUS Papua

I. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU no. 21 th. 2001

Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya.

II. Pertanyaan Hukum

1. Apakah makna ketentuan tersebut?

2. Apakah seseorang yang sedang menjabat sebagai Gubernur dan tidak menjabat Gubernur sebelumnya tetapi pernah menjabat sebagai Gubernur pada waktu yang lampau (in casu Barnabas Suebu, S.H., pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Irian Jaya periode 1988-1993) tidak dapat dipilih kembali?

3. Apakah ketentuan Pasal 58 butir o UU No. 32 th. 2004 dapat mengalahkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU No. 21 th. 2001?

III. Analisis

Pertanyaan 1: Apakah makna ketentuan tersebut?

Menjawab pertanyaan tersebut haruslah diawali dengan interpretasi terhadap ketentuan Pasal 17 ayat (1), interpretasi yang digunakan didasarkan atas prinsip Contextualism sebagaimana yang dipaparkan Mc. Leold dalam bukunya berjudul Legal Method h. 282.

Tiga asas dalam contextualism meliputi:

1. Asas Noscitur a Sociis

Suatu hal diketahui dari associatenya. Artinya suatu kata harus diartikan dalam rangkaiannya.

2. Asas Ejusdem Generis

Artinya sesuai genusnya, suatu kata dibatasi makna secara khusus dalam kelompoknya.

3. Asas Expressio Unius Exclusio Alterius

Artinya, kalau suatu konsep digunakan untuk satu hal, berarti tidak berlaku untuk hal lain.

Dengan asas Nosticur a Sociis, rumusan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya mengandung makna bahwa yang bersangkutan pada waktu itu sedang menjabat Gubernur. Dengan ketentuan tersebut seseorang dimungkinkan untuk menjabat sebagai Gubernur untuk dua masa jabatan secara berturut-turut.

Dengan asas Expressio Unius Exclusio Alterius janganlah ditafsirkan bahwa ketentuan Pasal 17 ayat (1) melarang seseorang yang pada waktu lampau pernah menjabat Gubernur untuk dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya karena berdasarkan asas noscitur a sociis, ketentuan pasal 17 ayat (1) dimaksudkan untuk seseorang yang sedang menjabat sebagai Gubernur.

Pertanyaan 2: Apakah seseorang yang sedang menjabat sebagai Gubernur dan tidak menjabat Gubernur sebelumnya tetapi pernah menjabat sebagai Gubernur pada waktu yang lampau (in casu Barnabas Suebu, S.H., pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Irian Jaya periode 1988-1993) tidak dapat dipilih kembali?

Berdasarkan interpretasi yang telah diuraikan dalam pertanyaan 1, seseorang yang pada waktu lampu pernah menjabat sebagai Gubernur (in casu Barnabas Suebu, S.H., pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Irian Jaya periode 1988-1993) dapat saja dipilih kembali sebagai Gubernur untuk masa jabatan berikutnya.

Interpretasi terhadap ketentuan Pasal 17 ayat (1) janganlah dimaknai bahwa seseorang yang telah dua kali menjabat sebagai Gubernur dilarang untuk dipilih kembali. Interpretasi yang demikian bertentangan dengan ratio legis dan the spirit of law dari ketentuan Pasal 17 ayat (1). :Ratio legis dan the spirit of law ketentuan Pasal 17 ayat (1) adalah bahwa dengan kata-kata satu masa jabatan berikutnya adalah secara berturut-turut. A contrario tidak berlaku untuk yang tidak secara berturut-turut.

Pertanyaan ke 3: Apakah ketentuan Pasal 58 butir o UU NO. 32 Th. 2004 dapat mengalahkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU No. 21 th. 2001?

Posisi UU No. 21 th. 2001 terhadap UU No. 32 th. 2004 adalah lex specialis. Dengan demikian berlakulah asas preferensi lex specialis derogate legi generali.

Apakah mungkin dengan posisi UU No. 32 th. 2004 sebagai lex posterior berlaku asas preferensi lex posterior derogate legi priori?

Lex posterior generalis tidak bisa mengalahkan lex prior spesialis.

(Penulis Adalah Guru Beasr Ilmu Hukum Tata Nehara dan Sinitasi Fh Universitas Airlangga)

Jumat, 02 November 2012 07:29, BP.com

Peringati KRP III Dinilai Wajar

Jayapura – Terkait rencana sekelompok masyarakat memperingati peristiwa kekerasan Kongres Rakyat Papua III yang menelan korban jiwa, DPR Papua menganggap hal itu hanya sebatas penyampaian aspirasi, dan meminta aparat keamanan untuk tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan.

“Kalau ada warga masyarakat yang ingin memperingati peristiwa KRP III, itu wajar-wajar saja dan itu bagian dari demokrasi, setiap warga memiliki hak yang sama menyampaikan aspirasi, selama masih dalam koridor hukum,”ujar Ruben Magai Ketua Komisi A DPR Papua saat ditanya tanggapannya mengenai rencana itu, Senin 15 Oktober diruang kerjanya.

Lanjut dia, untuk itu aparat keamanan jangan juga selalu mengedepankan kekerasan dalam menangani penyampaian aspirasi masyarakat. “Jangan lagi gunakan cara-cara kekerasan, karena itu hanya meninggalkan trauma mendalam bagi rakyat Papua. Dalam demokrasi menyampaikan aspirasi ada hal biasa,”ujarnya.

Ia mengatakan KRP saat ini sudah menjadi sejarah bagi masyarakat Papua, sehingga jika ada yang memperingatinya,adalah sangat wajar. “Kalau KRP diperingati, lumrah karena sudah bagian dari sejarah rakyat Papua,”imbuhnya. Pada kesempatan yang sama, Ruben Magai juga menyampaikan pemerintah di Papua saat ini juga sudah tidak demokratis. Penuh intimidasi terbukti aktivis mendapatkannya. “ Pemerintah tidak demokratis bukti pemerintah tidak mampu mengelolah persoalan Papua,”tukasnya.

Menurutnya, dalam menyelesaikan persoalan Papua, harus mengedepankan dialog. “Hanya dengan dialog yang bisa mengurai segala permasalahan Papua, bukan dengan kekerasan yang hanya mengundang dunia internasional, serta membuat luka rakyat Papua,”tukasnya.

Dan ingat, sambungnya, rakyat Papua semakin ditekan akan semakin berteriak. “Siapapun kalau terus menerus ditekan pasti berteriak,”paparnya.
Ruben juga mengklaim, bahwa otsus yang sudah diberikan pemerintah pusat selama 11 tahun, tidak lagi berguna dan dirasakan rakyat Papua, karena sama sekali tidak lagi memproteksi kepentongan rakyat Papua. “Saya kira otsus sudah tidak ada lagi artinya, sebab tidak lagi melindungi kepentingan rakyat Papua, seperti contohnya Pilgub, yang mengembalikannya ke KPU yang berarti sama saja dengan UU general lain, tidak memiliki kekhususan,”paparnya.(jir/don/l03)

Source: Selasa, 16 Oktober 2012 06:23, BintangPapua.com

Perlu Ada Pra Dialog Internal Orang Papua

Selasa, 11 September 2012 00:11, http://bintangpapua.com

Stevanus Siep
JAYAPURA – Pasca kunjungan Dewan Pertimbangan Presiden (Timpres) RI ke Papua yang salah satu agendanya untuk menindaklanjuti upaya pelaksanaan dialog Jakarta-Papua yang digagas Jaringan Damai Papua (JDP) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terus menuai sorotan.

Kali ini dua organisasi membuat pernyataan untuk menyoroti masalah tersebut, yakni Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Papua (LPMAP) dan Federasi Mahasiswa Militan Papua (FMMP). Keduanya sama-sama menyatakan bahwa sebelum pelaksanaan dialog, harus didahului dengan pra dialog yang melibatkan seluruh komponen dan rakyat yang ada di atas Tanah Papua.

Ketua LMAP, Stevanus Siep mengatakan, pra dialog tersebut penting guna menyamakan persepsi diantara orang Papua yang saat ini kondisinya masih belum satu pandangan tentang dialog maupun isi dari materi yang akan dibawa dalam dialog.
Ditegaskan bahwa dialog tersebut tidfak akan dapat menyelesaikan akar masalah di Papua, bila tidak difasilitasi pihak ketiga yang netral.

“Dialog ini apabila akan tetap diselenggarakan, maka kami minta untuk seluruh masyarakat Papua hadir dan dihadiri oleh pihak ketiga sebagai wasit,” ungkapnya. Selain itu, perlunya ada kesamaan persepsi dan saling percaya antar semua komponen yang ada sehingga tidak ada yang dirugikan.

Hal senada juga disampaikan Presiden Federasi Mahasiswa Militan Papua (FMMP), Thomas Syufi, yang mendukung proses Dialog Jakarta-Papua yang diupayakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden RI dan Jaringan Damai Papua.

“Digearnya pra dialog antara sesama orang Papua itu penting, untuk mengambil keputusan-keputusan sebelum dilaksanakan dialog Jakarta-Papua,” ungkapnya yang didampingi Sekjen FMMP, Senat Busup saat menggelar jumpa pers di Prima Garden Abepura, Senin (10/9).

Pra dialog tersebut menurutnya untuk memutuskan apa materi yang akan dibawa dalam dialog Jakarta-Papua. “Apapun materi yang dihasilkan dalam pra dialog untuk dibawa ke dialog Jakarta-Papua harus bisa diterima semua orang Papua,” tegasnya.

Ditegaskan bahwa pihaknya menolak bila dialog tersebut difasilitas DPD RI. “Kami sangat menolak tegas karena DPD RI merupakan bagian dari struktur Politik dari pemerintahan Negara Indonesia,” tegasnya.

Menurutnya, sebelum digelarnya dialog, kondisi Tanah Papua harus sudah netral dari unsur militer TNI dan Polri. “Kami meminta kepada pihak aparat keamanan baik TNI-Polri untuk ditarik di seluruh tanah Papua,” ungkapnya. Selain itu, juga dilakukan pembebasan para Tahanan Politik maupun Narapidana Politik Papua.(aj/don/l03)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny