Wantimpres Bidang KumHAM Dorong Dialog Papua-Jakarta

Selasa, 04 September 2012 21:00, http://bintangpapua.com/

JAYAPURA – Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Hukum dan Hak Asassi Manusia (KumHAm), Dr. Albert Hasibuan, SH mengharapkan dialog antara Pemerintah Pusat dan Papua dapat dilaksanakan dalam masa pemerintahan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.

Hal ini diungkapkan anggota dewan pertimbangan Presiden bidang hukum dan hak asasi manusia Dr. Albert Hasibuan, SH. kepada wartawan usai melakukan pertemuan dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua, Selasa (4/9) kemarin di ruang kerja Sekda Provinsi Papua yang diterima oleh Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi Papua, Drs. Elia I. Loupatty.

Menurutnya dari hasil pertemuan Pemprov Papua telah disetujui bahwa masalah yang menimbulkan kebuntuan, status quo dan hal ini sudah muncul dari berbagai pihak. “Kunjungan ini untuk memberikan manfaat yang besar dalam dialog nantinya, sehingga dialog antara Jakarta-Papua dapat dilakukan,” katanya.

Lanjut Hasibuan, dirinya mengharapkan agar dialog Jakarta-Papua dapat dilakukan di Papua, agar dapat dihadiri oleh semua elemen masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat. Minimalnya dapat dilaksanakan dalam masa pemerintahan Presiden RI. SBY, karena diharapkan Papua dapat menjadi tanah yang penuh dengan kedamaian dan rakyatnya dapat hidup sejahtera. “Oleh karena itu, dalam kunjungan kali ini adalah untuk menghimpun berbagai materi persoalan untuk dijadikan meteri pada dialog nantinya,” jelasnya. Dalam pertemuan tadi (kemarin, red) dengan Pemprov Papua menanyakan perspektif Pemda Papua mengenai masalah – masalah apa saja yang terjadi dan perlu didahulukan seperti masalah kesehatan, pendidikan serta masalah Otonomi Khusus (Otsus). “Otsus itu yang perlu dilaksanakan, agar Otsus menjadi suatu Undang-Undang (UU) atau produk hukum yang berguna bagi masyarakat Papua. Jadi itu data-data ini nantinya akan dilengkapi dengan pemikiran dari sudut keamanan Polda Papua, TNI dan besok (hari ini, red) anggota Wantimpres Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (KumHAM) akan kembali melakukan pertemuan dengan tokoh gereja, sehingga untuk mendapatkan gambaran yang konkrit dan materi-materi yang bisa didahulukan,” imbuhnya.

“Saya memang menyadari sudah banyak kunjungan ke Papua, namun kita berharap dan akan berusaha untuk menghubungkan agar laporan saya kepada bapak Presiden SBY menjadi suatu laporan yang berbeda dan lebih praktis agar dapat dilaksanakan,” tuturnya.

Ditanya tanggapan Pemprov Papua mengenai adanya rencana dialog ini, dirinya mengaku Pemprov Papua menyambut baik adanya rencana dialog ini. “Saya mengatakan kepada mereka bahwa perlu ada dialog untuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapi oleh Pemprov Papua dan apabila dialog diadakan maka masalah yang ada dapat dibicarakan, tetapi dapat juga diselesaikan oleh semua pihak, pentingnya dialog ini untuk menembus keadaan status quo terhadap masalah yang terjadi di Papua,” terangnya.

Namun itu, lanjutnya mengenai dimana tempat pelaksanaan dialog nanti, dirinya belum mengetahui apakah dialog akan dilakukan di Papua atau di Jakarta. “Saya akan menyampaikan materi ini kepada bapak Presiden SBY. Walaupun kita berharap dialog dapat dilakukan di Papua, tetapi masalah tempat pelaksanaan dialog itu urusan pemerintah Pusat,” tandasnya.

Di tempat yang sama, Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi Papua, Drs. Elia I. Loupatty mengatakan, pada pertemuan tersebut rombongan anggota Wantimpres Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (KumHAM) menyampaikan misi mengenai dialog antara Jakarta-Papua. “Penting bagi saya terkait pesertanya tidak menjadi soal, yang mana menjadi soal yaitu bagaimana soal pesertanya, makanya harus dirumuskan secara baik,” jelasnya.

Loupatty mengatakan, konteksnya ada pada dialog tetapi mengenai pesertanya harus dipertimbangkan lagi. Dan jangan merugikan siapa-siapa, anggota Wantimpres Bidang Hukum dan HAM akan menjembatani untuk dengan semua pihak sekaligus menjaring semua aspirasi masyarakat Papua. “Sebenarnya tugas pemerintah adalah mengarah dan menuju pada kesejahteraan rakyat dan secara bertahap dan berkesinambungan secara terus menerus yang selalu dilakukan oleh institusi pemerintah daerah, Sedangkan hal-hal lain ada pada institusi lain,” tukasnya. (mir/mdc/don/l03)

PAPUA AKAN TERUS ADA KONFLIK

Thaha: Selama Ada Ketidakadilan dan Lemahnya Penegakan Hukum

JAYAPURA—Masih terus terjadinya konflik dan kekerasan di Papua, mengundang komentar dari Sekjen Presidium Dewan Papua (PDP) Thaha Alhamid. Ia mengatakan, sangat sulit untuk meredam konflik di Papua selama ketidakadilan itu masih ada dimana-mana, serta penegakan hukum tidak dijalankan dengan baik.
Dikatakan, semua pihak yang ada harus membuka komunikasi sosial politik, agar tak semua kasus harus berujung pada aksi kekerasan sebagaimana peristiwa aksi penembakan konvoi kendaraan pengangkut logistik dan melukai seorang sopir truk bernama Tilu alias Kasera (26) di Jembatan Besi, Distrik Tingginambut, Puncak Jaya, Rabu (29/8
“Untuk Papua saya lihat seperti itu, penegakan hukum penting dan ketikadilan sosial harus segera diatasi. Selama ada ketidakadilan sosial konflik terus terjadi. Apalagi penegakan hukum lemah,” ujar Thaha Alhamid ketika dihubungi via ponsel, Minggu (2/9).

Dia mengatakan, aparat penegak hukum d Papua hanya sibuk kalau ada aksi unjukrasa tentang referendum atau pengibaran bendera Bintang Kejora, tapi jika ada kasus dugaan korupsi uang rakyat mereka cenderung lambat penanganan. “Itu yang saya sebut penegakan hukum di Papua cenderung diskriminatif,”katanya.
Ditambahkan, “Kita harus jujur halaman rumah Polisi masih kotor. Didalam masih ada intrik-intrik, like and dislike. Artinya bagaimana mereka bisa efektif mengawasi kepentingan Kamtibmas,” ujar dia. (mdc/don/l03)

Otsus Papua Belum Sentuh Seluruh Rakyat

Written by Ant/Agi/Papos, Wednesday, 29 August 2012 00:00

Masyarakat Papua, Otsus Gagtal
Masyarakat Papua, Otsus Gagtal

Timika [PAPOS] – Pemerintah pusat mengakui hingga saat ini pelaksanaan otonomi khusus di Papua belum menyentuh seluruh rakyat di propinsi tertimur Indonesia.

Pengakuan itu diungkapkan Deputi I Kemenkopolhukam Judy Harianto dihadapan para peserta rapat akbar yang diprakarsai Forum Pemerhati Pembangunan Papua Tengah Provinsi Papua yang dipusatkan di gedung Ene Mene Yaware Timika, ibukota Kabupaten Mimika, Selasa.

Dikatakan, saat ini implementasi dari pelaksanaan otonomi khusus belum seluruhnya memenuhi memenuhi keinginan atau kebutuhan dasar masyarakat khususnya masyarakat yang paling bawah.

Karena itulah saat ini pemerintah terus mencari solusi terbaik agar tingkat kekecewaan masyarakat tidak terakumulasi, kata Judy Harianto seraya mengharapkan pemerintah daerah agar ikut pro aktif dengan melakukan dialog guna mencari solusi yang tepat bagi masyarakat yang majemuk.

Menurutnya, pemerintah pusat sendiri terus melakukan evaluasi terhadap pelaksaan otsus di Papua dan salah satu hasilnya yakni dibentuknya unit percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).

Pembentukan lembaga tersebut menjadi salah satu jawaban bahwa pemerintah terus berupaya mencari solusi agar otsus bisa dirasakan hingga lapisan masyarakat bawah, karena saat ini pendekatan yang dilakukan bukan lagi pendekatan keamanan.

Otsus itu sendiri seharusnya menjadi anugerah bagi masyarakat di Papua sehingga diharapkan dapat dikelola dengan sebaik mungkin, mengingat pembangunan di Papua tidak akan berhasil bila otsus tidak dilaksanakan secara maksimal, kata Judy Harianto.

Pada kesempatan itu Deputi I Kemenkopolhukam Judy Harianto itu menerima surat permintaan dari keluarga Anthon Uamang yang saat ini mendekam di LP Cipinang, yang meminta agar penahanan mereka dipindahkan ke Papua.

Menanggapi permintaan tersebut, Judy Harianto mengatakan itu bukan wewenang nya namun surat tersebut akan diberikan kepada kementrian terkait yang lebih memiliki wewenang.

Rapat akbar yang dihadiri sekitar 400 orang itu menampilkan 12 pembicara antara lain pengamat politik DR J Kristiadi, DR.Neles Tebay, Ketua Kaukus Parlemen Papua DPR RI Paskalis Kosay, akan berlangsung hingga 29 Agustus mendatang.[ant/agi]

Ideologi Papua Merdeka Darah Daging Orang Papua

Tuesday, 07-08-2012 14:09:30 Oleh MAJALAH SELANGKAH

Oleh Jekson Ikomou*)

Pemerintah Indonesia berusaha meredamkan Ideology Papua Merdeka melalui Otonomi Khusus (OTSUS) berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Namun sayangnya Undang-Undang tersebut Gagal. Nasionalisme Papua terus tumbuh. Bukan Nasionalisme Indonesia. Orang Papua tidak percaya dengan Pemerintah Indonesia.

Hal subtansi permasalahan Papua adalah sejarah masa lalu, pelanggaran HAM, dan kondisi hidup bersama lebih dari 40-an tahun ini. Pelanggaran misalnya, Negara habiskan Ribuan Orang Papua yang tak berdosa melalui berbagai Operasi Militer Indonesia di Tanah Papua. Hal ini tidak mematikan gerakan merdeka.

Jika melihat sejarah, Papua merupakan sebuah Negara. Ia merdeka pada tanggal 1 Desember 1961. Namun, Pemerintah Indonesia secara paksa mengklaim Papua sebagai bagi dari Indonesia dengan kekuatan Militer yang disebut Tri Komando Rakyat (TRIKORA), sehinggah Amerika memanfaatkan peluang demi kepentingan ekonominya (salah satunya PT. FI).

Dan hinggah kini, Lembaga-Lembaga Peneliti kemukakan, PT. FI merupakan akar permasalahan di Papua. Bahkan, Rakyat pun mengatakan bawah Freeport merupakan salah satu perusahan yang memakan ribuan korban orang Papua. Ribuan orang Papua menuntut PT. Freeport harus ditutup melalui berbagai aksi damai. Namun, sayangnya pihak Pemerintah Indonesia menutup ruang Demokrasi bagi Orang Papua melalui kekuatan Militer Indonesia.

Keadaan ini membuktikakn bahawa Indonesia benar-benar gagal Indonesiakan orang Papua. Indonesia gagal di semua bidang pembangunan untuk orang asli Papua. Karena itu, orang Papua berpikir bawah Indonesia sedang menjajah kita. Jika dibilang orang Papua dijajah memang benar, karena mengingat permasalah yang terjadi selama ini.

Di Atas Luka Otsus Muncul UP4B
Otsus adalah peluang untuk sejahterakan Orang Papua. Namun Gagal. Lalu, muncul lagi sebuah yang sebut dengan Unit percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Program kerja yang disusun dalam Unit Percepatan Pembangunan Papua Barat (UP4B) ini seperti dengan Program kerja OTSUS.

UP4B masih bicara sebatas keadilan pembanguna di Papua. Ia bicara soal pendidikan, ekonomi, kesehatan, infrastruktur. Ia tidak bicara soal pelanggaran HAM, tidak bicara soal dialog, tidak bicara soal sejarah Papua. Orang Papua berpendapat apa bedanya OTSUS dengan UP4B?

Banyak Rakyat Papua mengatakan, “Unit Perepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) bukan solusi untuk perdamaian di Papua, Perdamaian di Papua adalah Referendum”. Rakyat Papua menilai janji-janji pembangunan yang mereka temui di Papua adalah operasi-operasi Militer, pembunuhan sana-sini, perusahaan-perusahaan raksasa yang mengancan keberadaan masyarakat adat, dan lainya. Semuanya merusak dan menguras.

Nah sekarang, jika Pemerintah Indonesia punya hati untuk membangun Papua tarik Militer dari Papua baik organik maupun non-organik. Lalu, adili semua pelaku pelanggaran HAM sejak tahun 1961, gelar dialog damai, Jakarta-Papua.

Tapi, Indonesia harus ingat bahwa Papua Merdeka itu telah menjadi darah daging orang Papua. Dengan cara dan pendekatan apapun tidak akan pernah dipatahkan. Otsus adalah luka. Di atas luka Otsus lahir luka baru, UP4B. Kemudian, selanjutnya apa? Tunggu hari untuk menuai Kemerdekaan bagi Bangsa Papua Barat.

*) Mahasiswa Papua, Kuliah di Bandung

KETERLIBATAN GEREJA DI TENGAH ARUS PERUBAHAN SOSIAL- POLITIK

Oleh Ernest Pugiye

Perubahan sosial-politik dalam hidup bermasyarakat kini masih tak bersahabat lagi di Negeri ini. Realita demikian membuat umat Allah menjadi panik, bingung dan dilema bagaikan sebuah ubi di tengah batu. Bahkan mereka sudah tidak percaya lagi kepada para pemimpin baik Gereja maupun pemerintah dengan mengatakan Gereja dan pemerintah tidak dipercayanya. Karena mereka selalu menyadari bahwa pihak Gereja masih tak pernah lagi melepaskan beban penderitaan yang melilit umat Allah dalam menelusuri perubahan sosial, politk dan ekonomi yang tengah terjadi di Papua. Peran Gereja masih terus absen dalam menyikapi ketimpangan dan perubahan sosial-politik yang tengah terjadi di kalangan masyarakat akar rumput. Akibatnya umat Allah mengalami kehilangan arah, pedoman dan tujuan hidup sebagai orang Kristiani. Apa yang para pemimpin Gereja dan pemerintah buat untuk umat Papua yang semakin menderita ini?

Peran Gereja dalam kehidupan umat
Di sini para pemimpin Gereja dan pemerintah bersama umatnya dipanggil oleh Allah untuk mencari dan menemukan kehendak Allah guna mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune) di dunia. Para pemimpin Gereja mesti hidup dan berkarya dalam seluk beluk kehidupan perubahan sosial-politik yang tengah terjadi dalam kehidupan konkret masyarakat. Sebagai Gereja yang hidup, Anda selalu mempertanyakan makna kehadirannya di tengah masyarakat dan lingkungannya. Ketika Gereja berhenti mempertanyakan dan bergumul makna kehadirannya maka pada saat itu juga ia telah menjadi Gereja mati.

Gereja yang saya maksudkan di sini ialah pribadi-pribadi yang berada dan bersatu dalam satu penghayatan iman kepercayaan akan Allah Tritunggal. Atas dasar iman akan Allah Tritunggal ini Gereja harus mampu mencerminkan diri sebagai orang beriman bagi perubahan sosial-politik yang sedang terjadi di kalangan umatnya. Kita mesti menyadari bahwa keterlibatan Gereja di tengah dunia bukanlah untuk menciptakan suatu kelompok masyarakat yang terpisah dari kehidupan dunia. Gereja hadir bukan juga untuk dirinya sendiri atau kelompok tertentu, melainkan Gereja harus hadir di tengah dunia hanya sebagai garam dan terang dunia. Lebih jauh Gereja harus hadir dalam tatanan dunia hanya demi menciptakan kebaikan bersama (bonum comune).

Gereja akan kehilangan perannya sebagai garam dan terang dunia apabila memperlihatkan dirinya bahwa keterlibatan Gereja dalam berbagai masalah sosial-politik dan masalah kemanusiaan hanya memboroskan waktu atau membahayakan iman warga jemaatnya. Sebab apabila kita berbicara iman Kristen maka kita berbicara tentang Allah yang tidak hidup untuk diriNya atau sekelompok pengikutNya saja. Allah kita adalah Allah yang bergaul dengan semua manusia tanpa membatasi pada satu kelompok tertentu karena didasarkan atas nilai universal yakni Kasih, kedamaian, keadilan dan bermartabat serta kesetiaan. Allah yang demikian, dimanifestasikan secara khusus dalam diri Yesus Kristus. Ia telah datang sebagai manusia kepada manusia untuk mau bersolider dengan manusia terutama kepada mereka yang misikin, menderita dan tertindas oleh perubahan sistem sosial-politik yang tak bersahabat. Bahkan Ia menganugrahkan cinta kasih-Nya secara total kepada semua bangsa dengan mengorbankan diri-Nya di Kayu Salib. Hal ini dibuat Yesus dengan tujuan utama yakni keselamatan semua bangsa dan kemuliaan Allah di Surga.

Ajaran Sosial Gereja untuk Kebaikan Bersama
Gereja dalam memperjuangkan kebaikan bersama (bonum comune) mesti mengambil inspirasi dari pelayanan Yesus Kristus. Seperti keuniversalitas kasih Allah yang dinyatakan oleh Yesus Kristus melalui pelayanan konkret kepada semua bangsa, demikian juga Gereja mesti menghayatinya dengan melibatkan diri dalam perubuhan sosial-politik yang kini terus terjadi di Negeri ini. Perubahan sosial-kemasyarakatan, ekonomi dan politik yang tengah terjadi di masyarakat memberikan tantangan pelayanan dan tantangan kehidupan yang harus dijawab oleh Gereja dalam semangat pelayanan Yesus Kristus sendiri. Dan Gereja menjawabnya dalam bentuk partisipasi yang aktif melalui aktifitas pelayanan dan kesaksian yang kontekstual, kritis dan inovatif serta melayani dengan hati nurani yang tulus sebagaimana ditunjukkan oleh Yesus kepada semua bangsa di bumi.

Keterlibatan Gereja dalam urusan duniawi telah diajarkan kembali juga dalam Ajaran Sosial Gereja. Ada dua Ajaran Sosial Gereja (ASG) yang menjadi dasar teologi dari (1965) Konsili Vatikan II adalah Gaudium et Spes (Kegembiraan dan harapan, kecemasan dan duka) umat Allah dewasa ini adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan bagi Gereja juga, dan Sri Paus Paulus VI menerbitkan Popularum Progressio (Perkembangan Bangsa-bangsa) sebagai prioritas Gereja dalam menjawab kebutuhan pastoral bagi umat Allah di Papua. Di sini Gereja dipanggil oleh Allah secara definitiv untuk melibatkan diri dalam suasana perubahan hidup sosial-politik sedang terjadi di Negeri ini. Para pemimpin Gereja perlu menyadari bahwa Gereja yang hidup adalah Gereja yang pro-aktif dalam menyikapi perubahan yang terjadi di tengah masyarakat; bukan Gereja yang reaktif. Dalam kehidupan praksis Gereja sering bersikap reaktif. Ada masalah baru bertindak. Setelah umatnya terbunuh dan terasing lama secara brutal baru bersuara. Bahkan Gereja seringkali tak pernah membuka mata seperti ikan cakalan di Pasar terhadap ketimpangan dan perubahan sosial-politik yang dialami umat Allah dalam setiap aspek kehidupan rakyat di Papua.

Sejumlah contoh baru keabsenan dan ketiadaan peran Gereja secara sadar dalam menanggapi ketimpangan dan perubahan sosial-politik yang dihadapi umat Allah adalah insiden kekerasan pasca KRP III di Abepuran rabu 19/10/2011, insiden kekerasan di Punjak Jaya dan PT. Freeport Indonesia serta Timika indah berdarah dan Paniai berdarah yang memakan korban jiwa yang bukan sedikit pada Oktober dan Desember 2011 ini. Selain mereka korban nyawa secara brutal, harta kekayaannya pun ikut dikorbankan oleh aparat keamanan secara tak bersahabat demi kepentingan politik sesaat, instan dan sekular. Sehingga rakyat asli Papua selalu menyadari bahwa, dirinya tidak diperlakukan oleh para pemimpin Gereja dan aparat keamanan sebagai manusia yang punya keluhuran martabat di negerinya sendiri. Padahal sebagai garam dan terang dunia, Gereja harus pro-aktif dalam menyikapi perubahan dan gejolak yang terjadi di masyarakat. Gereja harus menjadikan penderitaan umat Allah sebagai penderitaannya sendiri demi mengangkat martabat manusia sebagai anak-anak Allah.

Merajut Kepekaan Gereja di Tengah Perubahan
Dalam realitas masalah sosial-politik dan kemanusiaan di atas, Gereja mesti dibutuhkan kepekaan. Di sini Gereja dituntut untuk merajut kepekaan terhadap realitas masalah kemanusia yang marak terjadi di Papua. Gereja jangan mengambil sikap bermusuhan dengan perubahan yang ada atau turut terbawa arus perubahan yang ada. Namun Gereja harus dengan lincah bersahabat dengan perubahan tanpa kehilangan makna dan fungsi kenabiannya, yaitu fungsi kritis, inovatif dan kontekstual dalam menilai apakah perubahan yang terjadi selaras dengan kehendak Allah atau sebaliknya. Lebih jauh para pemimpin Gereja mesti menyerahkan nyawanya untuk keselamatan banyak orang terutama bagi umat Allah yang kini menderita dan terjepit ini. Seperti kata pepatah: “Bermain-mainlah dengan perubahan kehidupan tetapi jangan dipermainkan oleh perubahan tersebut.” Dengan fungsi kenabian ini Gereja tidak akan pernah terbawa arus melainkan senantiasa bertanya pada arti kehadiran dirinya sendiri bersama umat Allah: “Mau dibawa kemana umat Allah ini?” Sehingga Gereja tetap dapat memperlihatkan jati dirinya sebagai team sukses Tuhan di tengah arus perubahan jaman yang berkembang dengan instan dan sekular.

Gereja yang senantiasa mempertanyakan kehadirannya di tengah masyarakat adalah Gereja yang hidup dan siap untuk selalu diperbaharui dalam terang Injil Kristus. Pembaharuan atas ketimpangan sosial-politik mesti dimulai dari setiap kita sebagai Gereja yang otentik. Untuk hal ini diperlukan keterbukaan jiwa, budi dan hati kita untuk melihat perubahan dunia luar diri yang menjadi keprihatinan kita bersama. Karena sering Gereja terlalu disibukkan, menutup mata dan asyik menyibukkan diri dengan berbagai masalah seperti: liturgial, sakramental dan dogma serta dunia sekularistik. Kita tidak akan dapat menjadi terang yang menerangi kehidupan semua umat Allah apabila kita sendiri berdiri di tengah kegelapan yang substansial. Kita tidak akan menjadi garam dunia yang menggarami kehidupan apabila kita sendiri telah menjadi tawar. Karena itu, Gereja mesti memikul beban penderitaan dan perubahan sosial-politk yang tak bersahabat ini sebagai makna hidupnya sendiri. Pihak Gereja harus mengambil inspirasi dari pewartaan Yesus Kristus untuk berpihak pada rakyat kecil Papua secara khusus dan Indonesia secara umum demi keselamatan semua orang, kemuliaan Allah (salus annimarums zum gloriam Dei) di bumi ini.

Penulis: Mahasiswa Pada STFT “Fajar Timur” Abepura-PAPUA

EKSISTENSI BANGSA PAPUA TERUS DIANCAM

No Hpku: 081248172042

Eksistensi Rakyat Papua memang menjadi manusia yang terlupakan atau terabaikan dalam segala aspek. Hal ini dialami bangsa Papua karena wilayah Papua dicaplok, diduduki dan diintegrasikan ke dalam wilayah Indonesia dengan tujuan kepentingan ekonomi, politik, keamanan dan pemusnahan etnis Melanesia dan digantikan dengan etnis Melayu dengan Program Transmigrasi yang massif. Wilayah Papua dicerna dengan pendekatan keamanan, ketidakadilan, kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang tidak pernah menghormati martabat dan kehormatan manusia Papua. Stigma separatis, makar dan OPM adalah alat pembenaran diri bagi pemerintah dan aparat keamanan Indonesia untuk menindas penduduk asli Papua. Papua menjadi daerah tertutup bagi media asing dan juga diplomat asing.

Wilayah ini menjadi perhatian utama oleh semua orang dan semua media dari dalam dan luar negeri apabila terjadi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat keamanan atas nama integritas NKRI maupun perlawanan karyawan PT Freeport Indonesia yang menuntut untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Bahkan menjadi perhatian juga ketika rakyat dan bangsa Papua mempertanyakan status politik mereka dan melakukan perlawanan terhadap pendudukan dan penjajahan Indonesia di atas Tanah Papua. Dalam bagian ketiga ini, rakyat Papua memandang Indonesia sebagai kolonial baru di Papua.

Kita mengikuti dan membaca di berbagai media cetak dan elektronik tentang keprihatinan dan kepedulian terhadap situasi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang disampaikan oleh perorangan maupun atas nama institusi dan lembaga. Isi pesan, komentar dan masalah yang dimengerti dan disampaikan itu sangat beragam. Dari keberagaman persepsi itu membuat para pembaca menjadi bingung dan kabur tentang substansi akar masalah sesungguhnya yang diperjuangkan oleh rakyat dan bangsa Papua Barat selama ini.

Misalnya Muhammad Yusuf Kalla, mantan wakil Presiden RI, pada acara peluncuran buku karangan dr. Farid Husein yang berjudul: Keeping The Trust For Peace, Kisah dan Kiat Menumbuhkembangkan Damai di Aceh, pada 8 November 2011 di Hotel Sahid Jakarta, Kalla menyatakan: “ masalah Papua adalah masalah kesejahteraan. Semuanya sudah dikasih jadi mereka menuntut dan meminta apa lagi”. Orang yang sama pada acara di TVOne, pada 8 November 2011 malam dihadapan ratusan orang dan di dalamnya tokoh-tokoh Papua yang hadir,Kalla menyatakan: “ masalah Papua adalah persoalan kesejahteraan”. Pemahaman yang sama disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiah, M. Din Syamsuddin dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Agil Siroj menyatakan: “ akar persoalan di Papua adalah ketidakadilan, terurama dalam kesejahteraan ekonomi. Kekayaan alam di wilayah itu dikeruk dan hasilnya dinikmati perusahaan asing dan pemerintah pusat. Rakyat setempat justru miskin dan kurang pendidikan….” (Kompas, Jumat, 11 November 2011).

Pemikiran yang disampaikan oleh Yusuf Kalla, Din Syamsuddin, dan Said Agil Siroj, adalah representasi tentang apa yang dipahami oleh Pemerintah Indonesia selama ini sebagai akar masalah Papua. Tetapi, pemahaman pemerintah Indonesia seperti ini keliru, salah dan melenceng jauh dari akar masalah yang sesungguhnya di Tanah Papua.
Seorang Dokter dan Pasien

Sebelum disampaikan akar masalah Papua yang sebenarnya, saya mencoba membuat satu analogi dari perspektif medis. Kalau orang sakit datang kepada dokter, langkah-langkah yang dilakukan seorang dokter adalah bertanya kepada pasien: namamu siapa? berapa usia? pekerjaan apa? kapan sakit? berapa lama sakit? sakitnya bagaimana? apa sebabnya sakit? rasanya bagaimana? apakah sudah minum obat? apakah sudah makan? tinggal dimana? dan sejumlah pertanyaan yang ditanyakan kepada pasien. Setelah bertanya, dokter mengambil langkah berikut yaitu, memeriksa pasien, mendiagnosa penyakit dan dokter menemukan sebab-sebab timbulnya penyakit pada pasien dan penyakitnya. Selenjutnya, dokter mempersiapkan obat untuk suntik pasien maupun untuk obat yang harus diminum oleh pasien. Dosis suntikan dan obat yang diberikan dokter kepada pasien juga harus sesuai dengan tingkat kesakitan pasien. Dokter tidak biasa memberikan obat dan suntikan yang tidak sesuai dengan tingkat penyakit.

Analogi ini saya tempatkan pemerintah Jakarta adalah ibarat dokter. Rakyat asli Papua adalah ibarat pasien yang sedang sakit. Jadi, pemerintah Jakarta adalah dokter yang salah. Dokter yang keliru. Dokter yang tidak professional. Dokter yang tidak menanyakan pasien dengan baik. Dokter yang langsung mengambil alat suntik dan memasukan cairan suntik pada pasien tanpa mengetahui penyakit pasien apapun. Dokter ambil obat sembarang tanpa melakukan diagnosa yang tepat tentang penyakit dan juga tanpa memperhitungkan dosis dan langsung memaksa pasien meminum obat. Berbagai kesalahannya, dinyatakan oleh Indonesia dengan memberikan obat Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001, obat Inpres, obat Keppres, obat Perataruran Pemerintah (PP), obat Triliunan rupiah, obat kekerasan dan kejahatan aparat keamanan, dan dokter yang sama membuat kesalahan fatal yang terbaru adalah obat Keputusan Peraturan Presiden Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Obat terakhir yang namanya obat UP4B ini adalah obat yang sudah tidak relevan lagi. Otonomi Khusus, walaupun obat yang masih ada relevansi tentang kebutuhan orang asli Papua tapi sudah gagal mengobati dan menyembuhkan luku-luka lahir dan batin penduduk asli Papua dalam Bingkai NKRI. Apa yang menjadi akar masalah bagi rakyat asli Papua?

Status Politik dan Sejarah Integrasi adalah Akar Masalah Papua

Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) dalam bukunya: Papua Road Map telah menemukan empat akar masalah Papua, dan yang paling mendasar adalah status politik dan Sejarah diintegrasikan Papua ke dalam wilayah Indonesia adalah substansi akar masalah Papua. Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang ditanda tangani oleh Pemerintah Belanda dan Indonesia yang dimediasi Pemerintah Amerika tanpa melibatkan orang asli Papua. Penyerahan Pemerintahan Sementara dari UNTEA (United Nation Temporary Executive Administration) pada tanggal 1 Mei 1963 kepada Indonesia sebelum pelaksanaan PEPERA 1969. Pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak sesuai dengan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 tetapi sesuai dengan sistem lokal Indonesia yaitu, “musyawarah” yang bertentangan dengan standart hukum Internasional yaitu “one man one vote”.

Prof. J.P. Drooglever, sejarahwan Belanda, telah melakukan penelitian tentang hasil PEPERA 1969 yang telah dinyatakan bahwa PEPERA 1969 adalah peristiwa lelucon yang sangat memalukan. Dr. John Saltford, akademisi Inggris, telah melakukan penelitian tentang hasil PEPERA 1969 di Papua Barat dan hasil kesimpulannya menyatakan: “ pengkhianatan dan penghinaan hak-hak politik rakyat dan bangsa Papua Barat”. Dr. Hans Meijer sejarawan Belanda melakukan penelitian tentang hasil PEPERA 1969 dan dinyatakan: “hasil PEPERA 1969 adalah sangat memalukan Indonesia dan Belanda”.

Kongresman Amerika Serikat dari Samoa, Eni Faleomavaega menyatakan: hasil PEPERA 1969 di Papua Barat harus ditinjau kembali. Anggota Parlemen Inggris, Hon. Andrew Smith dan Hon. Lord Harries mempertanyakan status politik Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui proses PEPERA 1969 yang penuh kebohongan dan manipulatif. Intelektual dan cendikiawan yang ternama dimiliki Kristen Katolik, Dr. George Junus Aditjondro, pada kesempatan peluncuran bukunya Sokrates Sofyan Yoman yang berjudul: West Papua: “Persoalan Internasional” di kantor Kontras Jakarta, 3 November 2011, dia menyatakan: “ PEPERA 1969 di Papua Barat tidak benar dan itu dimenangkan oleh aparat keamanan Indonesia bukan pilihan rakyat Papua tinggal dalam Indonesia. Jadi, tak ada pilihan lain, Papua harus referendum. Karena hanya referendum yang dapat menentukan apakah orang Papua masih ingin menjadi bagian dari Indonesia atau tidak”.

Menurut rakyat dan bangsa Papua Barat, semua perjanjian Internasional dan pelaksanaan PEPERA 1969 telah menghancurkan kemerdekaan dan kedaulatan yang telah dimilikinya. Seperti 1 Desember 1961 adalah hari kemerdekaan rakyat dan bangsa Papua Barat lengkap dengan atribut Negara dan bangsanya: yaitu: lagu: Hai Tanahku Papua; Bendera Bintang Pajar; Mata Uang, Lambang Negara, Nama bangsa: Bangsa Papua. Kemerdekaan ini dianeksasi oleh pemerinth Indonesia melalui Maklumat Trikora, Ir. Sukarno, di Yogyakarta, 19 Desember 1961.

Uraian singkat ini menjadi jelas bagi Pemerintah, TNI, POLRI, seluruh rakyat Indonesia, bahwa akar masalah Papua bukan persoalan kesejahteraan. Tetapi, akar masalah Papua yang sebenarnya adalah sejarah dan status politik Papua ke dalam Indonesia yang belum jelas sampai hari ini. Oleh karena itu, demi nama baik dan kehormatan Indonesia di mata dunia internasional, maka status politik Papua ke dalam Indonesia ini harus diselesaikan dengan dialog yang jujur dan terbuka antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Dialog damai harus dilaksanakan diluar bingkai NKRI, OTSUS, UP4B dan Papua Merdeka supaya penyelesaian berprospek damai dan manusiawi ditemukan.

Prof. Ikrar : ‘Papua Jadi Military Training Field’

THURSDAY, 10 NOVEMBER 2011 21:12, EVEERT JOUMILENA

JUBI — Pengamat politik dan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI) Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti menilai wilayah Papua ini memang tetap ingin dijaga sebagai military training field (area latihan militer-red), karena selain Aceh Darulsallam hanya Papua yang paling natural atau alami untuk wilayah itu.

“Anda tahu setelah Aceh sudah tidak ramai lagi! Satu-satunya wilayah yang bisa dijadikan wilayah MilitaryTraining Field yang natural itu ya cuma Papua! Buat saya, kalau memang terus-menerus dipertahankan seperti itu maka itu bener-bener imoral . Tidak bermoral!,” ucap Ikrar Nusa Bhakti di sela-sela rehat acara forum diskusi poilitikdi Kamoro room Grand Tembaga hotel, Timika, Kamis (10/11).

Alasannya sederhana lanjut dia, karena itu tidak hanya akan membuat rakyat itu menjadi musuh bagi militer atau polisi tetapi juga akan membuka kesempatan bagi orang-orang luar untuk melakukan apa yang disebut dengan humanitarian intervention (Intervensi kemanusiaan-red).

Mungkin awalnya pada kadar yang masih rendah, kata Ikrar, cuma sekedar bertanya, mengkritik atau membuat kegiatan di luar negeri. Tapi kalau suatu saat benar dalam tanda kutip menjadi “membara,” maka apa yang namanya responsibility to protect (tanggung jawab untuk melindungi rakyat-red) jelas akan bisa dijalankan pihak luar itu.

“Tanggung jawab untuk melindungi rakyat itu akan dijalankan dan anda tahu? Itu bisa saja sebagai tameng bagi negara-negara seperti Amerika Serikat atau pun Eropa untuk berbuat sesuka hatinya terhadap suatu negara yang memang menjadi bulan-bulanan politik dan ekonominya,” katanya mengingatkan.

Kasus Libya, Irak dan Afganistan, serta Mesir adalah contoh-contoh dari kenyataan itu. Arti dari semua polemik ini, pemerintah mengapa sampai membiarkan proses ini berlanjut dan bukannya melakukan apa yang harusnya dilakukan pemerintah.

Menurut Ikrar, itu yang juga membuat dirinya selaku pengamat politik bertanya, adalah suatu yang sangat sumir atau terlampau awal untuk menuduh bahwa, OPM adalah pelaku dibalik semua kejadian di Freeport. Sangat berlebihan juga, kalau Menkopolhukam mengatakan bahwa, tidak ada yang bsia membuat solusi di tanah Papua kecuali Tuhan!

“Kalau memang kutipan di Metro TV atau TV One itu benar? Wah, menurut saya berhenti saja deh dari Menkopolhukam! Kenapa demikian? Karena tadi saya katakan bahwa penyelesian masalah Papua itu, memang rumit tapi tidak susah-susah amat koq! Artinya tidak harus dengan dar der dor karena diajak ngomong itu orang juga mau kan?,” tekan Ikrar.

Disinggung tanggapan soal pendapat tokoh Papua seperti mantan Menteri Perikanan dan Kelautan TI, Fredy Numberi yang mengajak semua pihak memahami bahwa persoalan NKRI harusnya tidak dimengerti sebagai ‘harga mati’ dalam tanda kutip seperti yang dirilis dalam acara Indonesia Lawyers Club di TVOne.

Ikrar menimpali, bukan hanya Numberi tetapi mantan menteri Pertahanan dan Keamanan RI,Prof Dr Yuwono Sudarsono juga pernah mengatakan hal itu. NKRI itu harga hidup! Artinya, segala sesuatu itu bisa dinegosiasikan! Merdeka bagi Papua juga harga hidup dan bukan harga mati! Artinya bisa dinegosiasikan.
“Kalau orang Papua yang sempat mengatakan Merdeka adalah harga mati! Saya juga jadi tidak mengerti kenapa jadi ikut-ikutan pemerintah pusat,” tanyanya.

Namanya politik itu, lanjut Ikrar menjelaskan, tidak ada istilah harga mati! Buat apa ada istilah bargaining position atau tawar menawar? Jadi semuanya itu, buat pakar politik yang sering juga didengar kritikan pedasnya di televisi, masih bisa didiskusikan.

Bahkan selaku pengamat politik senior di Indonesia, Ikrar yang dimintai solusi kritisnya terkait masalah-masalah di Papua ini menekankan bahwa, dirinya mendukung apa yang pernah dipikirkan dan disampaikan DR Neles Tebay penulis buku yang menawarkan dialog sebagai solusi damai di Papua.

Tebay, menurut Ikrar pernah mengatakan sebaiknya tiga komponen yang memiliki senjata itu menghentikan gerakan-gerakan yang bikin susah rakyat di Papua. Namun, dari sisi rakyat juga, harus bisa dibuat kesepakatan bersama mengenai siapa yang akan menjadi juru bicara bagi orang Papua. “Jangan juga seperti hasil dari seminar damai yang pernah digelar, yang kemudian mengambil orang yang ada di luar negeri semua kan. Saya kira, pemerintah juga harus bersedia membuka dialog itu karena memang pada saat pertama orang mungkin akan berteriak dulu!,” kata Ikrar menyimpulkan. (Tabloidjubi.com/J08/J05)

Banyak Orang Indonesia Mendukung Papua Merdeka, Tetapi Ada 10 Alasan Orang Papua Sendiri Tidak Jelas dalam Sikapnya

Hari ini sekali lagi Dr. George Junus Aditjondro menyampaikan dukungan terbuka, tertulis maupun lisan, “Dukungannya terhadap perjuangan Papua Merdeka”. Tulisan bukunya berjudul “West Papua: Persoalan Internasional”.

Berikut catatan dari Editorial PMNews tentang 10 Jenis Orang Papua yang menentukan dan menghambat perjuangan Papua Merdeka.

Aditjondro katakan,

“Hanya referendum yang dapat menentukan apakah orang Papua masih ingin menjadi bagian dari Indonesia atau tidak,” ujar George saat peluncuran buku diskusi dalam peluncuran buku berjudul “West Papua: Persoalan Internasional“, di Kontras, Jakarta, Kamis (3/11/2011).

Dukungan ini bukan baru dari seorang Aditjondro, dan bukan hanya untuk West Papua, tetapi merupakan dukungannya yang konsisten terhadap penderitaan umat manusia dan bangsa-bangsa terjajah di muka Bumi. Dukungannya terhadap bangsa rumpun Melanesia lain di Timor Leste telah berhasil, dan kini tanpa lelahnya Aditjondor terus memberikan dukungan-dukungan kepada bangsa-bangsa terjajah, demikian kata

Kalau kita saksikan di lapangan ada saja ketidakberdayaan dan ketidakpercayaan, malahan penolakan orang Papua sendiri terhadap aspirasi manusia, hewan, tumbuhan dan semua makhluk Bumi Cenderawasih untuk melepaskan diri dari kekangan penjajah NKRI. Ada beberapa jenis orang Papua, yang perlu kita cermati untuk membantu kita menyikapi dukungan-dukungan yang datang dari suku-bangsa lain di Indonesia.

1. Orang Papua tidak percaya diri,

entah karena dia tidak berdaya secara fisik, mental maupun logikanya. Orang yang tidak percaya diri ini disebut Dr. Benny Giay sebagai, “Bangsa yang memenuhi syarat untuk dijajah.” Dari berbagai bangsa di dunia ini, golongan bangsa yang memenuhi syarat untuk dijajah ini jumlahnya sangat sendiri. Orang Papua yang tidak percaya diri perlu bertobat karena perjuangan ini bukan menyangkut kebencian atas dasar ras, agama, asal-usul atau pandangan politik, tetapi ini perjuangan demi harkat, martabat dan hargadiri serta demi kebenaran mutlak, sesuai prinsip moral, hukum dan demokrasi.

2. Orang Papua malas tahu,

terutama karena dia sendiri punya banyak masalah secara pribadi ataupun kelompoknya sudah ada dalam masalah-masalah keluarga, marga, suku, partai politik, pemilukada, hutang-puiutang, kawin-cerai, perselingkungan, kebiasaan mabuk, narkoba, terkena HIV/AIDS.

Ada juga orang Papua yang malas tahu karena dia bukan manusia berprinsip, tetapi ialah oportunis. Jadi dia tidak mau berterus-terang kepada dirinya dan kepada bangsanya tentang penderitaannya dan bagaimana menyelesaikannya. Ia lebih condong “cari kesempatan dalam kesempitan”.

Orang-orang ini disebut “orang cari makan” saja, mereka sebenarnya tidak terlalu pusing dengan NKRI atau Papua Merdeka, yang penting buat mereka ialah apa yang mereka bisa dapat dari kedua-duanya atau dari salah-satunya. Yang dipikirkannya ialah “perut” dan “aku”nya, bukan kita dan sekaliannya.

Orang jenis ini sebenarnya tidak dibutuhkan; malahan merugikan bagi pro NKRI maupun kontra NKRI. Tetapi terlanjur mereka sudah ada di dalam NKRI, mungkin mereka ada di dalam birokrasi NKRI, jadi mereka bermain di dalam NKRI, walaupun NKRI juga tahu mereka tidak berguna, tetapi mereka dijaga saja dalam rangka kleim bahwa ada orang Papua mendukung NKRI.

3. Orang Papua cemas tetapi ragu

Mereka memang cemas, dan selalu bertanya, “Kapan kita merdeka?”

Keraguan terutama muncul karena dia sendiri tidak punya pendirian, percaya diri sendiri.

Apalagi disodorkan dengan iklan-iklan kekuatan NKRI dari sisi jumlah, ditambah dengan iklan dengan kekuatan militer dan kepolisian dilengkapi dengan alat-alat militer yang serba-lengkap membuat orang Paupa yang cemas-cemas kapan kita merdeka, tetapi mereka semakin merasa ragu setelah melihat jumlah orang Indonesia begitu banyak dan kekuatan militernya begitu ganas dan mematikan.

Orang Papua yang ragu bahwa West Papua akan atau pasti merdeka ialah mereka yang sudah selasai dari perguruan tinggi, yang gelarnya Sarjana Muda atau Sarjana. Pengetahuan mereka tidak seluas Indonesia, apalagi seluas ASEAN atau Oceania, mereka hanya memahami Papua dan kampung halaman mereka dan kantor di mana mereka bekerja. Mereka ini para raja di kolam kecil, tetapi mereka merasa diri sebaga raja sejagat. Mereka sudah punya pekerjaan, sudah punya gaji. Mereka ikuti geerak-langkah para pejuang Papua Merdeka, mereka juga berada di dalam garis komando NKRI. Mereka mampu membandingkan kekuatan kedua belah pihak. Makanya mereka tahu Papua harus merdeka, tetapi mereka meragukan impian itu akan terwujud. Mereka berhitung satu tambah satu samadengan dua, bukan satu atau tiga.

4. Orang Papua percaya tetapi tidak sepenuhnya yakin

Orang Papua ini satu kelas dengan “Orang Papua cemas tetapi ragu” tetapi ditambah lagi dengan “tidak yakin”, bukannya ragu.

Dia percaya Papua itu pasti merdeka, cuma dia tidak yakin bagaimana nanti kemerdekaan itu terwujud, di samping kekuatan dan jumlah orang Indonesia yang melampaui kemampuan orang Papua dan perlengkapan untuk perlawanan yang tersedia. Ia percaya, tetapi tidak sepenuhnya yakin karena dia sendiri memikirkan perjuangan ini bagaikan sebuah Tim Sepakbola, seperti misalnya antara Persipura dengan 1000 pemain melawan Persidafon dengan 10 pemain. Padahal sebuah pertandingan sepak bola tidaklah begitu. Ada ketentuan, setiap klub harus menurunkan berapa orang dan berapa pemain yang bisa diganti, dan peraturan lainnya. Ia menjadi tidak yakin karena ia tidak tahu.

Orang-orang ini juga hidup dalam dua prinsip, mendoakan pemerintah NKRI, sekaligus mendoakan Papua Merdeka, karena orang-orangnya ada di dalam pemerintah NKRI sebagai Camat, Bupati, dsb, dan juga orang-orangnya yang lain ada berjuang untuk Papua Merdeka. Motto mereka ialah, “Serahkan semuanya kepada Tuhan! Tuhan akan berkarya!”

Mereka bisa disebut kaum oportunis, tetapi tidak sepenuhnya oportunis. Mereka juga tidak ragu, tetapi mereka sebenarnya tidak sepenuhnya percaya.

5. Orang Papua yakin dan percaya tetapi tidak berani

Di atas yang cemas tapi ragu dan percaya tetapi tidak yakin, ada orang Papua yang punya phobia, yaitu ‘takut mati’. Orang-orang Papua ini kebanyakan dibayangi oleh “trauma masa lalu”, “memoria passionis” yang kejam dan mengerikan di tangan NKRI.

Mereka sebenarnya mendukung Papua Merdeka tetapi mereka sendiri tidak berani mengambil langkah atau mereka tidak mau terlibat dalam perjuangan ini. Ada juga karena memiliki “phobia” tertentu yang didasarkan kepada pengalaman sebelumnya atau cerita yang didengarnya dikaitkan dengan bayangan-bayanngan yang akan muncul ketika Papua Merdeka.

Mereka inilah yang biasanya katakan, “Iyo, yang lain berjuang dengan senjata, kita berjuang di dalam hati.” Tetapi mereka juga tidak berdoa sebenarnya. Yang mereka katakan ialah “Saya takut kepada NKRI! Nanti mereka tumpas kami habis kalau kita melawan mereka!”

6. Orang Papua yakin dan percaya dan berani tetapi tidak tahu bagaimana melangkah

Ini golongan orang Papua terbanyak. Dan dari yang terbanyak itu, hampir semua pejuang Papua Merdeka masuk ke dalam kategori ini.

Mereka yakin dan percaya bahwa Papua akan dan harus merdeka. Mereka rela berkorban. Mereka berani bertindak. Mereka mau mati saat ini juga. TETAPI, mereka sebenarnya “TIDAK TAHU BAGAIMANA MELANGKAH”.

Karena tidak tahu bagaimana melangkah, maka mereka menjadikan isu Papua Merdeka untuk kegiatan dan tujuan lain yang menurut mereka ialah demi Papua Merdeka. Tetapi apa dampaknya? Dampaknya justru mencelakakan dan menghalangi perjuangan Papua Merdeka. Akibatnya justru menciptakan faksi-faksi di dalam perjuangan Papua Merdeka. Akibatnya malahan menimbulkan kekacauan dalam mengarahkan perjuangan ini.

Banyak tokoh yang muncul, banyak organisasi dibentuk, banyak Panglima diangkat, banyak kongres dilakukan, banyak pemerintah (presiden dan perdana menteri) diumumkan, banyak menteri, berhamburan kiri-kanan. Mereka melakukan semua ini dengan militansi yang tinggi, dengan hitung-hitungan nyawa sendiri, dengan resiko yang mereka tahu karena mereka berhadapan dengan NKRI dan militernya. Tetapi semua yang dilakukan yang dianggap sebagai langkah-langkah untuk Papua Merdeka itu justru merugikan perjuangan itu sendiri.

***

Orang Papua jenis ini juga sering berganti baju. Misalnya hari ini dia pergi hadir di KRP III, 2011, besoknya dia hadir dalam bedah buku tentang West Papua di Jakarta, lusanya dia hadir dalam Kongres TPN/OPM III di Vanimo, PNG, berikutnya dia hadir lagi dalam Peresmian Bupati Lanji Jaya. Jadi mereka hadir di semua tempat, mencari tahu di mana sebenarnya yang benar. Orang-orang ini membuat banyak sekali bekas kakinya, sehingga mereka bisa disebut kelompok Bintang-14, kelompok WPNA, kelompok TPN/OPM, kelompok TPN.PB, kelompok PDP/DAP, kelompok Pegunungan Tengah, Kelompok Mamta, kelompok Merah-Putih, kelompok Biru-Putih, dan lainnya.

***

Orang Papua yang tidak tahu melangkah ini kebanyakan bersandar kepada dua hal utama:

Pertama mereka bersandar kepada senjata. Mereka selalu mencari senjata, berbicara tentang senjata, bergerak cepat kalau ada yang jual senjata. Mereka mengira bahwa dengan senjata yang mereka beli itu mereka bisa pakai untuk basmikan orang Indonesia, TNI dan polri dari Bumi Cenderawasih.

Yang kedua, mereka bersandar kepada Tuhan. Mereka menekankan pertobatan total, penyembahan total kepada Tuhan, dengan meninggalkan semua perang-perang, tindak kekerasan, pembunuhan. Mereka bilang, “Bunuh satu orang Indonesia berarti kemerdekaan Papua tertunda 10 tahun, jadi jangan kita main bunuh”.

Banyak dana dihabiskan, banyak nyawa melayang, banyak waktu dan tenaga dihamburkan karena orang-orang Papua jenis ini selalu saja mencari jalan, masih berputar-putar mencari jalan, untuk mewujudkan cita-cita Papua Merdeka.

7. Orang Papua Papindo

Entah karena tidak percaya diri, cemas tapi ragu, yakin dan percaya tetapi tidak tahu jalan, apa apa, jenis orang Papindo dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor, seperti disebutkan sebelumnya, tetapi pada pokohnya mereka ini mengelompokkan dirinya ke dalam kaum Papindo dengan alasan berikut:

7.1 Hanya karena dia perlu jabatan, nama besar, bukan nama besar di dalam NKRI, tetapi nama besar di daerahnya, jadi kalau Papua Merdeka tidak memberikan, maka dia merasa jalan terbaik saat ini buat dia ialah membela NKRI

7.2 Karena sebagian darah mereka berasal dari non-Papua, maka kalau Papua Merdeka justru dia dirugikan, maka dia membela NKRI, walaupun pada saat yang sama dia memaki-maki NKRI karena banyak hak asasi orang Papua dilanggar, yaitu termasuk hak asasinya sendiri. Dia terbelah dua dalam pikiran dan perasaannya, maka pantas dia bernama Papindo.

7.3 Karena beristerikan atau bersuamikan orang non-Papua maka mereka merasa bahwa kalau Papua Merdeka nantinya bini/ lakinya terpisah dari dirinya, maka lebih baik mendukung NKRI, walaupun pada waktu-waktu tertentu dia memarahi pasangan hidupnya bahwa negara/ bangsanya melanggar HAM suku-bangsanya di Tanah Papua.

7.4 Karena mereka merasa kalau Papua Merdeka nanti mereka sendiri akan dihabisi (ini terutama para keturunan pejuang Pepera dan pejuang Merah-Putih).

Aliran perjuangan Papua Tanah Damai dan aliran orang Papindo terutama muncul karena ada rasa takut yang besar terhadap orang Papua dari Pegunungan Tengah. Ada yang bilang, “Aduh, jangan kasih senjata kepada teman-teman dari gunung sudah, nanti mereka pakai bunuh dong pu orang sendiri.” Ada juga yang bilang, “Kalau nanti merdeka, jangan orang-orang gunung pegang senjata boleh!” Makanya muncul ide-ide Papua Tanah Damai supaya kemerdekaan itu turun dari langit tanpa pertumpahan darah.

7.5 Ada kaum Papindo yang hanya sebatas Oportunis. Mereka hanya dalam rangka cari makan, tidak ada kepentingan menentang atau mendukung pihak manapun. Sepanjang mereka bisa dapat makan dan menjadi kaya dari posisi itu, mereka optimalkan dan mereka garap itu sampai habis-habisan, sampai menjadi kaya tanggung, menjadi mewah tanggung. NKRI tahu tetapi NKRI juga perlu orang tanggung seperti ini. Pejuang Papua Merdeka sama sekali bukan konsumen sampah seperti ini sehingga sering menentang kaum Papindo, bukan karena mereka membenci orangnya tetapi karena menolak kelakuan bunglon seperti itu.

7.6 Orang pensiunan, sekedar mencari makan sebelum ke liang kubur. Jadi, ada orang Papua yang waktu mudanya menjadi pejuang Papua Merdeka, tetapi karena dia harus mengakhiri hidupnya ke alam baka, maka dia merasa bukan waktunya buat dia untuk berteriak Papua Merdeka lagi. Jalan satu-satunya agar dia kembali ke kampung halamannya dan dikuburkan di tanah leluhurnya ialah menyatakan mendukung NKRI.

***

Selain tujuh jenis di atas, berikut dua jenis orang Papua yang disebabkan terutama oleh indoktrinasi pihak-pihak asing yang menikmati hasilbumi Papua selama Papua berada di dalam NKRI, yang merupakan pembelokan arti dan makna Kitab Sucidan doktrin sebenarnya dari agama modern yang ada di Tanah Papua.

Sebenarnya ada sejumlah alasan mengapa mereka mengatakan perjuangan Papua Merdeka itu tidak sesuai dengan ajaran doktrin agama mereka. Pertama dan terutama, menurut pengetahuan real, para tokoh agama itu punya sentimen pribadi terhadap para tokoh perjuangan Papua Merdeka. Sentimen pribadi itu dialaskan dengan ajaran agamanya, pada saat yang sama dia sebagai tokoh agama, maka pendapat sentimentil yang tidak ada hubungannya dengan agama itu menjadi ajaran agama.

Kedua karena kebanyakan pejuang Papua Merdeka dianggap terlibat dalam berbagai jenis dan tingkatan kasus asusila dan tidak sepenuhnya menjalankan dogma agama yang dianut di kampung-halamannya. Misalnya dia tidak pernah beribadah di gereja atau ibadah keluarga. Para aktivis Papua Merdeka juga dianggap sebagai pembangkang dan penentang tatanan mapan yang sudah ada. Dalam jiwa para pejuang ada “jiwa pembereontakan”, yaitu pemberontakan terhadap yang telah ada selama ini. Sehingga mereka menganggap isu yang didukung para orang “Kristen” atau “Islam” itu tidak pantas didukung oleh orang Kristen atau orang Islam.

8. Orang Papua merasa perjuangan Papua Merdeka menentang Pemerintah

Ada sejumlah alasan yang sering mereka kemukakan dengan mencap perjuangan Papua Merdeka sebagai tindakan menentang pemerintah.

8.1 Karena pemberontakan terhadap pemerintah NKRI artinya perlawanan terhadap kemapanan; sehingga mereka yang suka atau menikmati kemapanan itu ikut terusik;
8.2 Karena dia sebenarnya tidak paham arti ayat atau pasal Kitab Suci yang mengajarkan tentang ketaatan kepada Pemerintah dimaksud. Bagaimana kalau nantinya West Papua memiliki pemerintah sendiri, apakah mereka akan mengatakan kita harus tunduk kepada pemerintah NKRI dan bukan kepada pemerintah West Papua? Apa yang mereka katakan tentang pemerintah Timor Leste yang jelas-jelas telah menentang pemerintah NKRI dan membentuk pemerintahannya sendiri?

9. Politik “Papua Merdeka” merupakan Wujud Dosa (atau Ikut Papua Merdeka berarti Berdosa)

Banyak penginjil, pemimpin atau pejabat gereja, gembala sidang, khsusunya di Pegunungan Tengah Papua dipecat (disiasat) karena mendukung Papua Merdeka dengan dalil bahwa mereka berpolitik, maka itu dosa. Jadi, siapa saja yang terlibat di dalam perjuangan Papua Merdeka dianggap sebagai tindakan “dosa”.

Padahal pada waktu yang sama mereka mendoakan sang Presiden, Gubernur, Bupati, dan Camat. Mereka juga datang ke kantor-kantor pemerintah NKRI membicarakan Pilkada dan Pemilukada. Mereka menerima uang dari pemerintah untuk meloloskan bakal calon tertentu atau memenangkan partai politik NKRI tertentu.

***

10. Orang Papua yang Tahu, Yakin, Percaya, Berani dan Berpendirian Teguh

Orang ini dia
10.1 Yakin dan Percaya Papua pasti dan harus merdeka;

10.2 Berani mengambil langkah dan tindakan yang punya resiko sampai mengancam nyawanya sekalipun.

10.2 Berpegang teguh kepada pendiriannya, tidak mudah dibujuk dengan jabatan, duit, perempuan atau kejayaan apapun selain kemerdekaan bangsa dan tanah airnya. Biarpun nantinya orang Papua menjadi melarat dan menderita setelah Papua Merdeka, bukan itu yang dicarinya. Yang dicarinya bukan kekayaan, bukan kemewahan, bukan kemakmuran, tetapi hanya satu: kemerdekaan, kedaulatan, terlepas dari belenggu penjajahan negara dan bangsa asing.

10. Di atas semuanya, “DIA TAHU”

  • Dia tahu mengapa Papua harus merdeka,
  • dia tahu mengapa Papua pasti merdeka,

dan di atasnya,

  • di tahu bagaimana mencapai kemerdekaan itu.

Oleh karena itu pendiriannya, langkahnya, sikapnya dan perjuangannya tidak tergoyahkan oleh tawaran dialogue, tawaran Otsus, tawaran kedudukan di dalam pemerintahan NKRI, atau apapun. Dia bersiteguh, “Papua Merdeka Harga Mati!”

  • Siapakah Anda?
  • Mengapa Anda menjadi seperti siapa Anda sekarang?
  • Adakah peluang untuk Anda berubah Mendukung Papua Merdeka seperti George Junus Aditjondro?

Kalau George Junus Aditjondro jelas-jelas merupakan orang jenis ke-10 tadi. Dia tahu mengapa Papua harus dan pasti merdeka, dan dia tahu bagaimana mencapai kemerdekaan itu. Dia tidak ada di ruang mencari-cari, mengira-ngira, mencoba-coba, meraba-raba. Dia ada di barisan kepastian. Kepastian itu bahwa Papua Pasti Merdeka, karena Papua Harus Merdeka.

 

Melenceng dari Agenda, Kongres Rakyat Papua III Danggap Makar

Ketua Forum KOmunikasi NKRI Izak Karubaba dkk saat menyampaikan pernyataan terkait hasil Kongres Rakyat Papua III
Ketua Forum KOmunikasi NKRI Izak Karubaba dkk saat menyampaikan pernyataan terkait hasil Kongres Rakyat Papua III

JAYAPURA- Kongres Rakyat Papua III yang berlangsung di Padang Bulan Abepura Papua, Rabu 19 Oktober akhirnya dibubarkan secara paksa oleh aparat keamanan, dianggap mengancam keutuhan NKRI, karena membentangkan bendera bintang kejora (symbol Papua Merdeka) dan mendeklarasikan terbentuknya negara Papua Barat. ‘’Tindakan Yaboisembut dan kawan-kawannya adalah ancaman bagi keutuhan bagi NKRI, karena mendeklarasikan berdirinya negara republik demokratik Papua Barat, jadi tindakan aparat membubarkan secara paksa sangat tepat dan sesuai aturan yang berlaku di negeri ini,’’tegas Izak Karubaba Ketua Forum Komunikasi NKRI Provinsi Papua, Kamis 20 Oktober. Lanjut dia, Forkorus dan sejumlah pengikutnya telah bertopeng di balik masyarakat adat Papua, untuk melegitimasi tindakannya mendirikan negara dalam negara. ‘’Forkorus telah mengikis hak dasar orang Papua, dengan kerap mengatasnamakan seluruh masyarakat adat asli Papua untuk kepentingan politiknya, sehingga negara harus menangkap dan memprosesnya sesuai hukum yang erlaku,’’tegasnya.

Ketua Laskar Merah Putih Provinsi Papua, Nico Mauri juga menandaskan hal senada, bahwa kongres Rakyat Papua yang awalnya untuk memperjuangkan hak dasar orang Papua, telah dimanipulasi Forkorus Yaboisembut untuk kepentingan politiknya yakni Papua merdeka. ‘’Kongres telah melenceng dari agenda sesungguhnya yakni memperjuangkan hak dasar orang asli Papua, menjadi deklarasi berdirinya sebuah negara Papua Barat, jelas itu tindakan ilegal dan harus ditindak karena mengancam keutuhan negara dan bangsa,’’paparnya.

Menurut Nico, langkah aparat keamanan membubarkan secara paksa kongres adalah tepat, karena kongres sudah menjadi ajang makar. ‘’Tindakan aparat sudah sesuai UU, apabila ada yang mengancam negara harus ditindak,’’tegasnya.

Mengenai adanya jatuh korban dari rakyat tak berdosa, Nico Mauri menegaskan, itu adalah sebuah resiko, dan Forkorus Yaboisembut yang mengklaim dirinya sebagai presiden Republik demokratik Papua Barat harus bertanggung jawab. ‘’Dia (Forkorus) harus bertanggung jawab atas jatuhnya korban tak berdosa, karena agenda kongres telah melenceng dari aturan, jadi dia mesti diproses,’’ tukasnya.

Tapi lanjut Nico, jika memang ada prosedur yang salah dalam penanganan pembubaran paksa kongres Rakyat Papua, aparat keamanan juga harus mempertanggung jawabkannya. ‘’Harus diselidiki kalau memang ada yang salah penerapan hukum dari aparat keamanan,’’singkatnya.

Yang pasti, tegas Nico lagi, Forkorus harus mempertanggung jawabkan tindakannya sesuai dengan hukum, karena aksinya mendeklarasikan sebuah negara diatas negara, aparat kemudian bertindak.

Laskar Merah Putih, Forum Komunikasi NKRI, Barisan Merah Putih, Pemuda Panca Marga, Yon Serna Trikora RI, Gelora 45, LIRA dan Forum Kominkasi Putra Putri Penerus Pejuang Pembebasan Irian Barat RI menyakan sikapnya yakni, menolak tegas pendeklarasian dan penyusunan kabinet Pemerintahan Negara Frederasi Republik Papua Barat 19 Oktober kemarin, karena tidak sesuai dengan amanat konstitusi NKRI dan UU 45. Menolak tegas penggunaan bendera bintang kejora di seluruh Tanah Papua. Selaku Anak-anak adat asli Papua yang tergabung dalam organisasi diatas, menolak tegas seluruh keputusan Kongres 3 Rakyat Papua, karena kegiatan tersebut adalah Makar yang telah menginjak-injak harga diri bangsa Indonesia. Di mohon kesedian TNI/Polri di Tanah Papua agar bertindak cepat tepat tegas, menahan pelaku penyelenggara kongres III rakyta Papua, agar dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya yang menentang NKRI serta simbol negara. Polda Papua harus tegas mengusut tuntas penyandang dana kegiatan kongres sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di NKRI.

Diserukan kepada seluruh masyarakat Papua tidak terprovokasi disaat peserta kongres pulang ke daerahnya masing-masing, dan Polres sert Kodim disetiap kabupaten, harus menertibkan setiap peserta kongres yang turun naik kapal laut, pesawat agar tidak menyampaikan hal-hal yang akan menimbulkan keresahaan masyarakat umum di wilayah masing-masing. Apabila ada oknum yang melakukan tindakan melawan hukum agar ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nico Mauri juga berjanji, akan terus mengawal proses hukum terhadap Forkorus Yaboisembut dan rekan-rekannya. ‘’Kami yang tergabung dalam forum putra-putri pejuang Papua Barat, akan terus mendorong aparat penegak hukum memproses Forkorus dan teman-temannya, seusai dengan aturan yang berlaku,’’tukasnya.

Sementara Jubir Tapol Napol Saul Bomay atas nama Dewan Komando Revoludsi juga menyatakan, menolaK dengan tegas Negara Federasi Papua Barat yang dideklarasikan dalam Komngres Rakyat Papua II 19 Oktober 2011.

Alasannya, karena Negara Federasi yang sesungguhnya dideklarasikan itu masih bagian dari Republik Indonesia, sehingga ditolak. Menurut Saul Bomay Negara Federasi yang ditawarkan dan diproklamasikan sesungguhnya berawal dari gagalnya Otsus Papua dan Otsus sesungguhnya menawarkan Negara Federasi, dan kelompok Dewan Komando Revolusi Militer TPN OPM menolak hasil kegagalan otsus yang ditawarkan dalam Negara Federasi, selain menolak Federasi, Dewan Revolusi tetap mempertahankan Deklarasi 1 Juli 1971 yang diperingati sebagai hari proklamasi Kemerdekaan Republik Papua Barat secara defakto dan Dejure yang akan diperjuangkan secara Hukum Internasional.

Baik Dewan Revolusi TPN OPM, KNPB punya sikap sama menolak Negara Federasi dalam NKRI, sebab yang kami inginkan adalah kemerdekaan penuh sebagai sebuah Negara terlepas dari Republik Indonesia, ungkap Saul Bomay saat bertandang ke redaksi Bintang Papua Kamis( 20/10).(jir/Ven/don/l03)

TNI Gagal Melindungi Dan Menjaga Integritas Manusia di Tanah Papua

Pada media lokal Cenderawasih Pos, Rabu, 05 Oktober 2011, Saudara Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Erfi Triassunu dengan bangga menyatakan: “ Tugas pokok yang kami emban adalah menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara. …Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasadku, tetapi jiwaku yang dilindungi benteng merah putih akan tetap hidup, akan tetap menuntut bela, siapapun lawan aku hadapi”.

Pada umumnya Pemerintah Indonesia dan khususnya aparat keamanan TNI belum mempunyai konsep bernegara dan berbangsa yang benar dan baik. Itu terbukti dengan wajah Pemerintah dan aparat keamanan yang menduduki dan menjajah penduduk asli Papua sejak tahun 1961 sampai di era Otonomi Khusus sekarang ini. Cita-cita TNI sebagai pelindung hidup bersama yang beradab, telah hancur. Tidak disangkal lagi bahwa di Tanah Papua Barat dari Sorong-Merauke telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan kekejaman luar biasa yang dilakukan oleh TNI atas nama kepentingan NKRI. Umat Tuhan, pemilik negeri dan ahli waris Tanah ini dibantai seperti hewan buruan dengan stigma anggota OPM, separatis dan makar. Apa yang harus dibanggakan oleh penduduk asli Papua dari namanya TNI yang mengkleim diri bahwa ia adalah pelindung segenap bangsa dan seluruh tumpah darah?

Yang selama ini Pemerintah dan TNI tunjukkan kepada rakyat Papua adalah wajah dan watak kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Romo Franz Magnis-Suseno dalam bukunya: “Merebut Jiwa Bangsa” dalam konteks Timor-Timur ia menyatakan dengan tegas: “Yang bertanggungjawab atas genosida di Timor Timur ini maupun atas hancurnya kehormatan Indonesia di mata dunia internasional adalah TNI” ( 2007:hal. 33).

Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan tidak pernah menjelaskan dan bahkan mereka sendiri tidak mengerti definisi “kedaulatan Negara dan keutuhan wilayah NKRI” seperti apa bentuk, model dan wujudnya. Jargon yang diperlihatkan dan diwujudkan selama ini adalah “NKRI Harga Mati”, maka siapa yang melawan akan kami tumpas. Seperti diungkapkan Saudara Kol. Kav. Burhanuddin, waktu menjadi Danrem 172/PWY Jayapura pada 12 Mei 2007 di Cenderawasih Pos, “Pengkhianat Negara Harus Ditumpas. Jika saya temukan ada oknum-oknum orang yang sudah menikmati fasilitas Negara, tetapi masih saja mengkhianati bangsa, maka terus terang saya akan tumpas. Tidak usah demonstrasi-demonstrasi atau kegiatan-kegiatan yang tidak berguna. Jangan lagi mengungkit-ungkit sejarah masa lalu”.(Baca: Socratez Sofyan Yoman: Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat: 2007:hal. 346). Sedangkan Saudara Pangdam XVII, Mayjen Erfi menyatakan: “Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasadku, tetapi jiwaku yang dilindungi benteng merah putih akan tetap hidup, akan tetap menuntut bela, siapapun lawan aku hadapi”.

Apa yang diungkapkan oleh kedua Saudara ini, memang benar karena mereka diajarkan dengan doktrin seperti itu. Doktrin itu tercermin melalui perilaku dan watak aparat keamanan selama ini dan telah melahirkan kebencian, kemarahan dan ketidaksenangan terhadap TNI dari rakyat. Jujur saja, aparat keamanan TNI sesungguhnya telah menjadi musuh rakyat bukan pelindung rakyat. Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh TNI di Timor Timur (sekarang: Timor Leste), Aceh, Papua Barat ini, menyatakan bahwa TNI berperan aktif membunuh warga sipil dan pelaku kejahatan dan kekerasan di Indonesia. Kejahatan yang dilakukan TNI ini adalah meruntuhkan dan menghilangkan kecintaan dan kepercayaan rakyat kepada Pemerintah Indonesia dan TNI. Ternyata doktrin yang dimiliki aparat TNI selama ini seperti: tugas TNI adalah menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, sudah tidak relevan lagi dalam era demokrasi dan globalisasi dewasa ini. Doktrin seperti itu sudah usang tidak cocok lagi dengan dunia modern sekarang ini.

Jadi, dalam usia TNI yang ke-66 ini, diharapkan TNI tinggalkan paradigma lama ini dan mengubah ke paradigma baru. Setidak-tidaknya TNI menegakkan kedaulatan manusia Indonesia dan mempertahankan kehormatan, hak asasi manusia, dan kesamaan derajat seluruh segenap rakyat Indonesia. Mengapa saya menyatakan demikian? Karena, Negara Indonesia ada atas dasar kepercayaan dan kesepakatan rakyat. Negara Indonesia akan kuat dan kokoh kalau kedaulatan manusia ditegakkan. Negara Indonesia kuat dan kokoh kalau integritas manusia mendapat kehormatan. Negara Indonesia kuat dan kokoh kalau kesamaan derajat dijunjung tinggi. Negara Indonesia kuatdan kokoh kalau perbedaan agama, bahasa, ras dan etnis benar-benar mendapat perlindungan dan tempat yang setara di dalam rumah namanya Indonesia.

Yang perlu diingat selalu oleh Pemerintah Indonesia dan TNI adalah manusia adalah gambar dan rupa Allah. Allah berfirman: “Marilah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Allah” (Kejadian 1: 26). Selanjutnya, Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya dan kepada kita sekarang ini. “ Pencuri datang hanya untuk mecuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10). “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yoh.10:11). “Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku” (Yoh. 10:14).

Pemerintah Indonesia dan TNI sebaiknya menempatkan diri sebagai gembala yang melindungi dan menjaga domba-domba yang ada di Indonesia ini. Pemerintah Indonesia dan TNI jangan berwatak pencuri, pembunuh dan pembinasa. Pemerintah dan TNI sebagai gembala sebaiknya mengenal domba-domba dan mendengar suara mereka. Sebab, percaya atau tidak .Akui atau tidak tidak. Yang sesungguhnya bahwa benteng kekuatan dan pertahanan Negara Indonesia adalah rakyat Indonesia, bukan TNI. TNI tanpa dukungan kekuatan rakyat sama dengan sebuah pohon tanpa akar yang kuat. Atau TNI hidup tanpa roh. TNI bukan satu-satunya kekuatan Negara Indonesia. TNI adalah salah satu kekutan bangsa dan Negara Indonesia. Kalau keyakinan seperti ini tidak diterima, maka pertanyaannya ialah apakah Negera Indonesia harus dipertahankan dengan menumpahkan darah rakyatnya sendiri? Apakah Negara Indonesia harus dipertahankan dengan menginjak-injak kehormatan dan hak asasi rakyat Indonesia?

Dalam konteks Papua, selama ini, Pemerintah Indonesia dan TNI telah sukses dengan gemilang mengintegrasikan wilayah dan ekonomi dengan kekuatan politik dan keamanan ke dalam wilayah Indonesia. Tetapi, Pemerintah Indonesia dan TNI telah gagal total mengintegrasikan orang asli Papua ke dalam wilayah Indonesia dan gagal membangun nasionalisme Indonesia bagi penduduk asli Papua. Yang diajarkan adalah kekerasan dan kejahatan yang dapat menjauhkan hati rakyat Papua dari Indonesia. Akibatnya hilanglah trust (kepercayaan) kepada TNI. Pemerintah Indonesia dan TNI membutuhkan 40 tahun lagi untuk membangun kepercayaan rakyat Papua.

Akhirnya, saya menyampaikan selamat kepada TNI yang melaksanakan HUT yang ke-66 pada 5 Oktober 2011. Semoga tulisan ini menjadi koreksi dan harapan saya, teman-teman dari TNI tidak akan menyulut emosi dan kemarahan besar kepada saya. Tetapi, saya mau katakan: “bersahabatlah dengan teman yang selalu mengritik dengan terbuka dan jujur kepada Anda dan berhatilah-hatilah dengan teman yang mendekat dan selalu menjilat” Seperti ada nasihat dalam Kitab Suci: “ Siapa menegur orang akan kemudian lebih disayangi dari pada orang yang menjilat” (Amsal 28:23). Shalom. Tuhan memberkati dan melindungi para prajurit TNI dan Prajurit Kristus dalam tugas kemiliteran.

Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny