STOP BERETORIKA POLITIK!!

Emi Eko Elosak Weko on Sunday, 18 September 2011 at 23:24

Kogres Papua III.. yang sedang di rancang.. Apakah Kogres yang sesuai kehendak rakyat ataukah mengatas namakan rakyat PB.

Jangan keruhkan perjuangan Mulia rakyat papua.. jangan memaksakan kehendek, jangan pertahankan orgumen… mengalah dan sabar itu penting saya harap panitia bisa memikirkan hal ini.. krn sy ikuti opini publik dn pemerhati perjuangan mulia anak bangsa hampir 75% menolak dan minta penundaan.. sy harap panitia dn pihak yg terlibat mohon di pertimbangkan… macam dunia mau kiamat di bulan oktober ka!! apain terlalu buru.. memangya dari kogres itu papua merdeka akan tiba pada saat itu.. mohon..dn mohon minta penundaan

Politik Adu Domba yang perna diterapkan oleh Belanda kepada Indonesi selama 300 thn sedang dijalankan oleh kolonial NKRI dan sekutunya kepada Bangsa PB.

saya yakin bahwa kogres ini tdk akan tercacat dalam perjuangan mulia rakyat PB.. krn ini kogres sepihak.. kalau dibilang kogres papua III.. tdklah seperti keburuan saat ini mestinya…agenda subtansial yg.. didorong oleh rakyat PB. [Selengkapnya baca di sini]

UUD’45 RI DAN KOVENAN PBB MENGAKUI KEMERDEKAAN PAPUA BARAT

Mengakui dan mempertahankan hasil Pepera (plebisit/referendum) 1969 berdasarkan Resolusi PBB 2504 (November 1969) menyangkut Papua Barat (sekarang kedua provinsi Papua dan Papua Barat) sama saja dengan mengabsahkan atau menjustifikasi tindakan kriminal TNI (Tentara Nasional Indonesia) ketika 1.025 orang asli Papua dan non-asli Papua ditunjuk, dipelihara dan ditodong oleh TNI untuk menggiring Papua Barat pada tahun 1960an ke dalam genggaman NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Dr. John Saltford (sejarawan Inggris), Prof. Pieter Joost Drooglever (sejarawan Belanda), puluhan penulis (asing dan Papua) lainnya dan berbagai lembaga akademis telah melaporkan kebiadaban TNI sejak Papua Barat dicaplok atau dianeksasi oleh Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 dengan menunjukkan data praktek yang berlawanan dengan hukum internasional (termasuk hukum Indonesia sendiri) di dalam keseluruhan proses pencaplokan Papua Barat ke dalam genggaman NKRI.

Pada tahun 1969, enam tahun setelah tanggal aneksasi 1 Mei 1963, semacam referendum (peblisit) model Indonesia digelar di Papua Barat dengan dua opsi yaitu Merdeka atau NKRI. Referendum tersebut disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (disingkat Pepera) yang pada mulanya akan dilaksanakan sesuai dengan New York Agreement (Perjanjian New York), yaitu suatu kesepakatan yang ditanda-tangani pada tanggal 15 Agustus 1962 antara Indonesia dan Belanda untuk menentukan status Papua Barat ke depan melalui sebuah referendum. Menurut kesepakatan awal, referendum tersebut akan dilaksanakan berdasarkan norma-norma yang berlaku secara universal.

Kesalahan mendasar yang terjadi pada mulanya adalah, bahwa New York Agreement (Perjanjian New York) ditanda-tangani –secara sepihak– oleh Indonesia dan Belanda tanpa mengikut-sertakan rakyat Papua Barat melalui wakil-wakil mereka dari Dewan Papua (lembaga legislatif) yang telah resmi berdiri pada tanggal 5 April 1961. Kesalahan mendasar lainnya bahwa terminologi Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) yang tertuang di dalam New York Agreement dirubah terjemahannya oleh Indonesia menjadi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Telegram-telegram tahun 1968 dan 1969 dari Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengkonfirmasikan bahwa AS mengetahui adanya upaya-upaya militer Indonesia untuk mencegah sebuah referendum atau plebisit dengan meminta Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) digelar sebagai versi militer dengan sebutan Penentuan Pendapat Rakyat (disingkat, Pepera).

Kesalahan mendasar berikutnya adalah, bahwa selama 6 tahun (sejak 1 Mei 1963) sebelum referendum yang disebut Pepera itu dilaksanakan pada tahun 1969, rakyat Papua bersama para pemimpin mereka diintimidasi, diisolasi bahkan dibunuh untuk melicinkan keseluruhan proses aneksasi sampai kepada pemenangan Pepera oleh Indonesia. Pepera’69 merupakan referendum model Indonesia yang praktis dilaksanakan tidak sesuai dengan standard universal yang mengharuskan satu orang satu suara (one person one vote) oleh semua orang dewasa sebagaimana ditetapkan di dalam pasal 18 New York Agreement, tapi sebaliknya dilaksanakan berdasarkan sistem Indonesia yaitu musyawarah. Pepera’69 merupakan rekayasa Indonesia yang di dalam pelaksanaannya, rakyat Papua ditempatkan di depan moncong senjata dan di bawah tekanan sepatu lars TNI sehingga tidak bebas bergerak, tidak bebas melakukan rapat dan tidak bebas bersuara, padahal pasal 22 New York Agreement telah menjamin kebebasan itu.

Gereja Kristen Injili (GKI) Di Tanah Papua melaporkan untuk pertama kali secara terbuka pada Sidang Gereja Se-Dunia di Harare (Zimbabwe) pada tahun 1998 bahwa 100 ribu orang Papua telah meninggal dunia karena dihilangkan dan dieksekusi oleh TNI/Polri sejak 1 Mei 1963 karena mereka secara tegas dan terus menerus menentang penjajahan Indonesia di Papua Barat.
Sudah saatnya bagi Indonesia untuk:

1. Mengakui kesalahan sejarah sekaligus mengakui kebrutalan TNI/Polri di Papua Barat.

2. Mengembalikan status Papua Barat ke posisi 1962-1963 di mana Papua Barat (ketika itu disebut Nederlands Nieuw-Guinea) menjadi daerah yang – tidak berpemerintahan sendiri (non-self-governing territory) – dan berada di bawah pengawasan PBB ketika itu.

3. Mengakui Kovenan PBB Tentang Hak Sipil dan Politik, Pasal 1 ayat 1, bahwa: “Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya”.

4. Mengakui Mukadimah UUD’45 Republik Indonesia: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

5. Mengakui Kedaulatan Negara Papua Barat yang telah resmi dideklarasikan oleh Dewan Papua pada tanggal 1 Desember 1961 dengan ditetapkannya nama negara – Papua Barat, lagu kebangsaan – Hai Tanahku Papua dan bendera nasional – Kejora (Bintang Pagi). Sebuah negara yang walaupun belum memiliki pemerintah sendiri dan belum memperoleh pengakuan internasional tapi memiliki rakyat yang hidup turun-temurun di dalam sebuah wilayah yang garis batasnya jelas berdasarkan antropologi dan berdasarkan garis batas Indonesia dan Nederlands Nieuw-Guinea (sebelum 1 Mei 1961) dan sekarang berdasarkan garis batas antara kedua provinsi Papua dan Papua Barat dengan provinsi Maluku.

Ke-5 usulan tersebut di atas ini merupakan solusi yang paling mendasar bagi penyelesaian akar permasalahan di Papua Barat. Ditolaknya ke-5 usulan ini sama saja dengan mempertahankan ketidak-adilan dan ketidak-damaian di Papua Barat. (ottis s. wakum, jakarta 16.08.2011)***

Ketua MRP: ‘Cagub Papua Harus Orang Asli Bukan “Gado-Gado”

Timotius Murib, Ketua MRP
Timotius Murib, Ketua MRP

Tanggal 7 Juli barusan diulas tentang siapa orang Asli Papua dan siapa yang bukan asli Papua.Wacana ini berbeda dari siapa orang Papua dan siapa bukan orang Papua. Penambahan kata “asli” memberi penekanan khusus. Dan dalam catatan ini hendak kita tegaskan kembali ukuran yang dinyatakan oleh Ketua MRP baru-baru ini sebagaimana dilansir dalam Tabloid Jubi, SATURDAY, 27 AUGUST 2011 00:12 dengan judul berita: Ketua MRP: ‘Cagub Papua Harus Orang Asli Bukan “Gado-Gado”.

Kita mulai dari kata “Bukan Gado-Gado”. Kalau kita kaitkan pembedaan antara orang Papua dan orang Asli Papua menurut pengertian secara sosiobudaya dan sosiopolitik seperti pernah dikomentari sebelumnya, maka penegasan Ketua MRP ini memutuskan dengan tegas, bahwa yang dimaksud dengan “Orang Asli Papua” ialah:
[info]1. Bapak berasal dari salah satu suku di Tanah Papua;
2. Ibunya berasal dari salah satu suku di Tanah Papua;
3. Ia tidak termasuk yang diterima secara adat oleh salah suku di Papua;
4. Tidak termasuk yang salah satu orang tuanya non-Papua, atau istilah umumnya bukan peranakan.
[/info]
Menurut Murib, yang bukan gado-gado itu menurut ukuran orang Papua ialah yang Asli. Kalau kita berpatokan kepada prinsip ini, maka jelas-jelas Dr. Hon. John Tabo gugur dengan sendirinya, karena secara adat John Tabo sementara ini meminjam marga Tabo, karena ayahnya bukan orang Papua, dan sementara ini juga ia tahu persis masa tuanya bukan dihabiskan di Tanah Papua, tetapi di tanah ayah dan tanah ulayatnya di Tana Toraja.

Kalau ini patokannya, maka JUdicial Review yang dimenangkan Resubun tidak berlaku bagi hukum adat dan kacamata orang Papua. Boleh-boleh saja, sebagai orang yang mencari makan di Tanah Papua, karena telah lama hidup, dilahirkan atau dibesarkan di Tanah ini atau diterima oleh salah-satu suku mencari identitasnya dengan menggugat ke mana saja, tetapi menurut ketegasan ini, jelas Resubun juga gugur demi hukum adat Papua.
[stickyright]Catatan: Hukum Adat Papua di sini dimaksudkan sebagai pandangan, patokan atau penilaian orang Papua terhadap wacana “orang asli Papua”.[/stickyright]
Ini yang ditegaskan oleh Wakil Ketua II MRP: “Kotorok menilai, jangan membuat arti baru atau menafsirkan hal baru dalam aturan baku yang sudah. Sebab dalam UU Otsus Papua adalah keaslian dan bukan campur-campur atau peranakan.”

Kita lanjut ke pokok kedua, “Bagi Cagub Papua, kata Timotius, mama dan bapanya juga harus asli Papua, rambut keriting dan berkulit hitam” demikian kata Murib. Jadi, ada harus dan ada bukan. Yang bukan gado-gado sudah jelas, sekarang yang harus, yaitu “berambut keriting dan berkulit hitam” (ya, sebenarnya warna kulit orang Papua bukan hitam, tetapi cokelat).

Kalau kita lihat pandangan kedua pemimimpin MRP ini terlihat jelas bahwa “seolah-olah UU Otsus itu telah sepenuhnya menjamin keaslian orang Papua itu dalam UU Otsus 21/2001.” Padahal justru tidak. Justru UU Otsus inilah yang dipakai Resubun mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dan justru berdasarkan UU Otsus itulah dia telah menang. Artinya apa? Itu berarti justru UU Otsus itulah yang perlu diperjelas dan dipertegas dan Perda/ Perdasus Provinsi sehingga penjelasan keaslian orang Papua itu ditegaskan dengan ciri dan garis yang jelas.

Yang jelas orang Papua yang diwakili oleh MRP dengan terus-terang mengatakan orang asli Papua ialah:
[news]
1. Bukan peranakan;
2. Bukan orang asing yang lahir-tinggal di Tanah Papua;
3. Bukan orang yang mengaku diri orang Papua yang berambut lurus dan berkulit bukan cokelat.
[/news]
Barangkali perlu ditambahkan disini, tentu secara hukum adat, bahwa orang asli Papua ialah “Anak yang dilahirkan oleh ayahnya dan ibunya di mana keduanya berasal dari salah-satu suku yang telah ada sejak nenek-moyang. Jadi, bukan sejak Belanda ada, bukan juga sejak Indonesia ada di Tanah Papua.

Kalau ini yang diberlakukan, maka jelas-jelas mendatangkan bahan renungan khusus bagi orang Papua yang telah bersuamikan atau beristerikan non-Papua. Maka jelas nasib anak yang mereka kandung/ lahirkan itu dalam politik West Papua secara otomatis menjadi
1. orang Papua”gado-gado” dan/atau
2. orang “bukan asli Papua”.

Kalau begitu jadinya, maka kita sedang membangun sebuah konstelasi sosial-budaya yang baru, entah itu akan berakhir kepada sebuah happy-ending atau sad-ending, atau unpredictable-ending, kita semua sebagai manusia yang sedang bersosialiassi dengan sesama manusia dalam politik plurailsme, multikulturalisme, demokratisasi yang semakin mengglobal ini akan menyaksikannya. Dan kita semua pasti punya kesimpulan yang beraneka ragam, pro dan kontra, dan ada juga question-mark. Ketegasan pemimpin MRP sebagai satu-satunya wakil rakyat Papua, walaupun tidak memiliki wewenang apapun dalam politik NKRI, barangkali perlu terus dikumamdangkan, toh nantinya ada orang berwenang akan mendengarkannya, kalau bukan di Jakarta, di London juga ada, di Canberra juga ada, di Port Moresby juga ada.
[pmquote]
Tidak perduli Jakarta tidak perduli, orang Papua tidak perlu memperdulikannya. Kita perlu memperdulikan bahwa nasib dan masa depan bangsa dan ras ini sedang menuju kepunahan. Itu pasti walaupun barangkali kita menolak untuk menerimanya sekarang. Dan kita orang Papua sendiri telah mengambil bagian secara aktiv dan pro-aktiv dalam proses pemunahan itu, bukan?[/pmquote]

Belum Ada Parlemen Didunia Dukung Papua Merdeka

Weynand Watori – Budi Setyanto – Yohanes Sumarto

JAYAPURA—Pernyataan Beny Wenda melalui telepon sambungan langsung internasional dari Oxford, Inggris yang di perdengarkan dalam kegiatan pengumuman hasil Konferensi International Lawyers for West Papua (ILWP) di Makam Theys, Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu (20/8) kemarin yang menghimbau kepada bangsa Indonesia untuk segera mengakui kedaulatan Bangsa Papua yang sudah merdeka sejak 45 tahun yang lalu karena sesuai dengan fakta yang ada PEPERA 1969 adalah cacat hukum menuai tanggapan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Selasa (23/8). Anggota Komisi A DPRP dr. Yohanes Sumarto menegaskan belum ada parlemen di dunia ini yang mendukung Papua merdeka, tapi justru mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara kesatuan termasuk didalamnya Papua.
“Apabila anggota parlemen secara perorangan di negara yang mendukung Papua merdeka secara pribadi itu ada, tapi tak boleh menamakan dirinya International Parlemen for West Papua (IPWP),” ungkapnya.

Menjawab pertanyaan apakah International Parliament West Papua (IPWP) maupun International Lawyer West Papua (ILWP) yang di gagas oleh Benny Wenda di London dan beberapa Negara lainnya di luar negeri bisa menggugat PEPERA di Mahkamah Internasional, dia menandaskan, IPWP maupun ILWP tak mempunyai organisasi yang resmi mana mungkin bisa menggugat PEPERA 1969.

Menurutnya, Mahkamah Internasional hanya menyelenggarakan gugatan antara satu negara dengan negara lain. Mahkamah Internasional tak mungkin melayani gugatan diluar negara.

ILWP baru mempunyai arti apabila ada orang yang memberi kuasa kepadanya untuk melakukan gugatan.
Disinggung ILWP mengklaim rakyat Papua yang memberikan kuasa untuk menggugat PEPERA ke Mahkamah Internasional, dia mengatakan, pihaknya justru mempertanyakan rakyat Papua yang mana.

ILWP membuat strategi untuk memenangkan gugatan terhadap PEPERA di Mahkamah Internasional. Padahal ILWP tak mempunyai kekuatan hukum apa apa.

Secara terpisah, Weynand Watori mengatakan proses integrasi itu bermasalah, walaupun pemerintah mengatakan proses integrasi itu sudah selesai setelah dikeluarkan resolusi PBB 1969. Tapi bagi rakyat Papua proses itu cacat hukum karena ada praktek internasional yang tak sesuai.

“Pasalnya, orang Papua menganggap sejarah di masa lalu dibengkokan. Karena itu mau digugat kembali sejarahnya untuk membuktikan ada sebuah penelitian yang sah bahwa proses PEPERA tak sah”, katanya menjelaskan.

Dikatakannya, ILWP ingin membuktikan bahwa proses itu tak benar. Untuk itu dibentuk ILWP untuk menggugat PEPERA di Mahkamah Internasional.

“Di era reformasi ini ada pihak yang mempunyai argumentasi kuat sah saja dan pihak pemerintah juga punya hak untuk mengcounter terhadap claim itu karena ini adalah sebuah proses politik didalam negara demokrasi,” tegas Weynand lagi.
Direktur Institute for Civil Strengthening (ICS) Papua Budi Setyanto SH yang juga merupakan salah satu pengacara kondang di Papua menandaskan, secara politis maupun hukum rencana gugatan yang diajukan oleh ILWP sah – sah saja, tapi Mahkamah Internasional akan mendasari prinsip prinsip hukum internasional sebagai landasan untuk memeriksa gugatan yang diajukan.

“Jika nanti ILWP secara hukum internasional tak memenuhi syarat tentu akan ditolak, tapi kalau menurut Mahkamah Internasional ILWP dasar hukum untuk mengajukan gugatan terpenuhi, akan dilanjutkan dengan pemeriksan materi gugatan,” tukasnya.

Dalam pernyataannya melalui telepon di Lapangan They Eluay Sentani kemarin, Beny Wenda menyampaikan 4 (empat) point hasil Konferensi ILWP. Pertama, kami telah mendengar sekarang situasi yang paling buruk dan serius di Papua Barat. Kedua, akar masalah peristiwa ini terletak pada kegagalan hak penentuan nasib sendiri PEPERA atau Act of Free Choice pada tahun 1969. Ketiga, oleh karena itu kami kembali mendeklarasikan Pengacara Internasional Papua Barat, secara khusus bahwa orang Papua Barat memiliki hak mendasar untuk menentukan nasib sendiri dibawa hukum internasional bahwa hak itu masih belum dilakukan. Keempat Kami menyerukan kepada semua negara untuk bertindak kepada ketingkatan yang lebih tinggi dan dengan darurat mendesak kepada PBB menuntut orang-orang Papua Barat agar diberikan kesempatan untuk menentukan nasib sendiri. (mdc/amr/l03)

Jangan Ada Dusta di Papua

INILAH.COM, Jakarta – Ada dua peristiwa penting yang terjadi pekan lalu di dua tempat berbeda. Satu di Kalimantan dan yang lainnya di Papua. Peristiwa dan coraknya berbeda, tetapi dari sisi kepentingan NKRI, keduanya memiliki kesamaan.

Mayoritas Orang Asli Papua Pasti Mendukung Papua Merdeka
Mayoritas Orang Asli Papua Pasti Mendukung Papua Merdeka

Di Pontianak, ibukota Provinsi Kalimantan Barat, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Imam Sufaat meresmikan bandara Supadio sebagai pangkalan bagi pesawat tak berawak, skuadron baru dalam kesatuan TNI AU. Di Papua, insiden antara aparat dan OPM menelan korban manusia.

Menurut KSAU, dalam waktu dekat Indonesia akan memiliki 6 buah pesawat tak berawak dan penggunaannya untuk mengawasi wilayah udara di lintas perbatasan Kalimantan. Secara tersirat KSAU menegaskan, TNI AU kali ini dan di waktu-waktu mendatang, sudah lebih siap menjadi penjaga kedaulatan NKRI.

Kabar kesiapan TNI AU itu tentu saja positif. Hanya saja yang menjadi pertanyaan adalah mengapa TNI AU lebih memprioritaskan pengamanan wilayah RI dikawasan Barat (Kalimantan)?

Mengapa wilayah Papua, kawasan Timur Indonesia, yang tingkat sensitifitas pelanggarannya oleh anasir asing atau asing yang berkolaborasi dengan penduduk lokal lebih berbahaya, namun justru diabaikan?

TNI AU tentu lebih paham tentang sistem pertahanan udara yang perlu digunakan Indonesia. Namun dalam perspektif prioritas, pengamanan wilayah Papua, jauh lebih mendesak ketimbang Kalimantan. Dari perspektif politik nasional serta psikologis, yang lebih mendesak untuk menjaga dan memagari Papua, justru TNI AU dan bukan (lagi) TNI AD!

Rakyat Papua, kalau mereka bisa berteriak dan memilih, mungkin lebih suka berkawan dan dikawani oleh TNI AU dari pada TNI AD. Intensitas pelanggaran wilayah di Papua oleh pihak asing, mungkin tidak setinggi dengan yang terjadi di Kalimantan. Tetapi secara kualitatif, pelanggaran wilayah di Papua lebih mudah dilakukan lewat udara dari pada darat.

Berbicara tentang Kalimantan dan Papua, dua pulau terbesar di Indonesia ini, sama-sama memiliki kompleksitas dan sensitifitas tinggi namun berbeda formatnya. Selama ini ada anggapan sementara bahwa Papua tidak dibangun oleh pemerintah Jakarta sebagaimana mestinya. Inilah salah satu sebab mengapa di wilayah ini terdapat gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Dan gerakan separatis itu sudah lama berdiri.

Hal serupa tidak terjadi di Kalimantan. Keinginan rakyat Kalimantan, untuk memisahkan diri dari NKRI, boleh jadi ada. Tapi alasan bahwa Kalimantan tidak dibangun oleh Jakarta, jelas tidak seluruhya benar. Ini yang membuat Kalimantan tidak bergolak.

Papua punya keunikan. Didominasi penduduk asli dari etnis Polynesia, masyarakatnya entah lebih merasa dekat dengan saudara-saudara mereka yang ada di Papua Nugini ataupun etnik Aborigin di Australia. Perasaan dekat ini membuat semangat untuk menjadi negara merdeka di Papua, tak terhilangkan.

Realita di wilayah Pasifik yang dekat dengan Papua, mulai dari Papua Nugini, Vanuatu sampai dengan Fiji, dimana eksis negara-negara merdeka dengan Kepala Pemerintahan mereka yang beretnis Polynesia, tidak bisa tidak, sangat menggoda sukma rakyat Papua.

Papua yang wilayahnya jauh lebih luas untuk menjaganya, memerlukan dana yang besar. TNI AD tidak mungkin menjaganya sendirian. Anatomi geografisnya yang masih sangat liar dan ganas, mungkin jauh lebih mudah dan efisien bila penjagaannya dilakukan TNI AU. Pesawat tak berawak mungkin lebih cocok dioperasikan di Papua.

Bahkan kalau kita ikut sejarah bagaimana Jakarta berusaha mengembalikan Papua (dulu Irian Barat) ke pangkuan Ibu Pertiwi pada tahun 1963, penaklukan atau infiltrasi yang dilakukan, menggunakan moda udara.

Prajurit TNI dari kesatuan Kopassus (dulu RPKAD) dibawah pimpinan Benny Moerdani, diterjunkan dari udara. Jadi sejarah kembalinya Papua ke wilayah NKRI, tidak melalui serangan darat oleh TNI AD. Terdapat keyakinan baru bahwa untuk merebut hati masyarakat Papua, perlu metode baru.

Misalkan TNI AU memberi kesempatan kepada putera-puteri Papua dilatih sebagai penerbang. Profesi sebagai penerbang, mungkin akan jauh lebih memikat ketimbang menjadi pasukan infantri. Artinya melakukan ke-Indonesia-an Papua, melalui ‘inflitrasi’ udara.

Pembahasan tentang Kalimantan dan Papua, TNI AU dan TNI AD, dilakukan secara sengaja sebab dari laporan terbaru menunjukkan intensitas gerakan separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua akhir-akhir secara kualitatif mengalami peningkatan.

Resistensi OPM pun mengalami perubahan. Hal ini bukan diukur dari insiden yang menyebabkan jatuhnya korban manusia. Melainkan dari pola baru yang dilakukan OPM. Kelompok separatis ini tidak lagi pasif seperti di tahun-tahun sebelumnya. Setiap kali ada pernyataan pihak kepolisian atau militer kita tentang sebuah insiden, jurubicara OPM langsung membuat sanggahan. Cara OPM menyanggah lebih argumentatif dan bukan konfrontatif.

Mereka menyanggah dengan cara menghubungi langsung perwakilan media setempat atau bahkan perwakilan media asing yang ada di Jakarta. Hasilnya terjadi pemberitaan yang berimbang. Artinya “internasonalisasi” persoalan Papua, sudah bergulir, sesuatu yang mungkin belum disadari oleh otoritas di Jakarta.

Selain memiliki jurubicara, OPM sudah membangun dua markas besar di Memberamo dan Serui. Yang mengejutkan, di dua tempat tersebut, TNI AD dan aparat kepolisian, hadir di sana. Sehingga timbul pertanyaan apakah OPM kelewat nekad atau TNI AD dan kepolisian sudah kehilangan kepekaannya?

Soal kehilangan kepekaan ini bisa saja terjadi. Sebab TNI AD sudah sejak 1963 hadir di Papua. Saking lamanya mereka di sana, cara kerjanyapun sudah bersifat rutinitas. Mereka sudah menjadi kebal atau imune dengan keadaan sekeliling.

Wajar apabila kemudian terjadi, lingkungan yang mereka diami sudah berbau busuk, tetapi karena sudah immune, mereka tidak bisa membedakan lagi aroma busuk tersebut.

Dampak negatifnya, ketika terjadi insiden dan laporan atas insiden itu lebih orisinil ditemukan di luar negeri, penanggung jawab keamanan di Papua, bersikap defensif. Caranya membuat bantahan atau laporan “dusta”. Oleh Jakarta laporan “dusta” ini dianggap sebagai hal akuntabel. Atas dasar diagnosa laporan “dusta”, Jakarta membuat kebijakan yang tentu saja tidak menyelesaikan masalah.

Laporan media internasional menunjukkan perkembangan politik di Papua dinamis. Bila Jakarta tidak peka dan gesit, pengalaman Timor Timur bisa terulang. Banyak yang tidak mau mengakui, hilangnya Timor Timur dari NKRI, merupakan kerugian besar bagi Jakarta. Ribuan triliun rupiah digunakan disana selama 24 tahun (1975 – 1999).

Papua lebih besar tapi selain itu Papua merupakan “bonanza” yang belum disentuh. Yang lebih mendasar lagi, Timor Timur hilang karena banyaknya laporan “dusta” yang digunakan Jakarta untuk menurunkan kebijakan untuk wilayah itu. Menghadapi Papua, hendaknya jangan ada dusta lagi di antara kita. [mdr]

Kapan Pemerintah Mau Dialog Soal Papua?

Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat, yang terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), dan Komisi Waligereja Indonesia (KWI), melakukan Konferensi Pers untuk mendesak pemerintah segera lakukan dialog Papua, di Kantor KWI, Jakarta, Minggu (21/8/2011)
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat, yang terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), dan Komisi Waligereja Indonesia (KWI), melakukan Konferensi Pers untuk mendesak pemerintah segera lakukan dialog Papua, di Kantor KWI, Jakarta, Minggu (21/8/2011)

JAKARTA, KOMPAS.com – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), dan Komisi Waligereja Indonesia (KWI) mendesak pemerintah agar segera melakukan dialog dengan masyarakat Papua terkait dengan sejumlah kekerasan di daerah tersebut.

Mantan Koordintor Kontras Usman Hamid menilai, pemerintah saat ini terlihat tidak serius untuk mencegah atau mengungkap pelaku-pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.

“Sebelum situasi Papua menjadi kritis, kami mendesak agar elite-elite Pemerintah dan DPR agar tidak menyibukan diri dalam hirup pikuk persoalan korupsi yang mengancam kepentingan sendiri, seperti kasus Nazaruddin ini. Mereka harus mempedulikan nasib rakyat, terutama rakyat di Papua,” ujar Usman saat melakukan konferensi pers di Kantor KWI, Jakarta, Minggu (21/8/2011).

Lebih lanjut, tambah Usman, masyarakat Papua menuntut dialog, dan membahas sumber masalah Papua secara jujur, bukan sebatas persepsi sepihak atas stabilitas keamanan, otonomi khusus, dan pembangunan ekonomi saja, seperti dalam pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraannya beberapa waktu lalu. Menurutnya, hal itu harus dilakukan agar tujuan otonomi khusus betul-betul dijalankan agar hak-hak asli orang Papua dipulihkan.

“Baik jaminan kesejahteraan, pendidikan sampai soal penghormatan harga diri Papua harus diperhatikan secara serius. Karena otsus di Papua sekarang ini bisa kita katakan telah gagal,” kata Usman.

Sementara itu, menurut anggota KWI Romo Benny, soal gangguan keamanan di Papua, pemerintah seharusnya tidak hanya bertindak tegas untuk menjamin tetap terjaganya ketertiban kehidupan masyarakat, dan tegaknya keadulatan NKRI. Seharusnya, kata Romo Benny, Presiden menginstruksikan jajaran Polri untuk mengusut tuntas siapa pelaku gangguan keamanan itu, diikuti dengan bukti-bukti hukum yang kuat, tidak hanya asal tuding menuding.

“Karena rakyat Papua mengingkan pola-pola lama menciptakan konflik dan kekerasan di tanah mereka itu dihentikan,” kata Romo Benny.

Sementara itu, untuk pembangunan ekonomi, pemerintah juga seharusnya tidak hanya fokus hanya dengan pendekatan ekonomi. Menurut Romo Benny, beberapa masalah seperti bidang kesehatan dan pendidikan, marjinalisasi, diskriminasi, dan kontradiksi antara Papua dan Jakarta tentang sejarah dan identitas politik papua, dapat juga menjadi penyebab kegagalan pembangunan rakyat Papua.

“Masalah ini semua hanya bisa diselesaikan dengan mekanisme dialog sebagaimana dialog yang terjadi dalam kasus Aceh, dan sebuah pengakuan kepada identitas politik orang-orang Papua,” tuturnya.

Oleh karena itu, lanjut Romo Benny, jika pemerintah berjanji membangun komunikasi yang konstruktif di Papua, dialog dengan masyarakat Papua harus segera dilaksanakan agar kondisi di daerah tersebut tidak semakin kritis.

“Presiden mengatakan, menata Papua dengan hati adalah kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua, sebagai gerbang timur wilayah Indonesia. Dan jika pernyataan itu sungguh-sungguh, maka seharusnya kunci itu juga digunakan untuk membuka pintu jalan menuju dialog Papua dengan segera,” tukasnya.

Kompas.com Ary Wibowo | Latief | Minggu, 21 Agustus 2011 | 17:07 WIB

66 Tahun Indonesia Merdeka, Bagaimana Dengan Papua?

PADA 17 Agustus 2011 lalu, hampir sebagian besar rakyat Indonesia merayakaan kemerdekaan negara mereka. Kalau mau jujur, sebenarnya Indonesia belum bisa disebut negara merdeka. Masih banyak rakyat lain yang merasa ‘dijajah’, terutama rakyat Papua. Saya menulis ini sebagai kado ulang tahun untuk negara penjajah –Negara Indonesia.

Arti kemerdekaan yang sesungguhnya ialah semua warga negara merasa diperlakukan secara adil, benar serta hak-hak hidup mereka diperhatikan secara sungguh-sungguh. Tapi yang memprihatinkan, sampai saat ini negara sengaja tidak berlaku adil dan benar terhadap seluruh rakyat, terutama bagi rakyat Papua. Negara perlakukan mereka sebagai kelas nomor dua. Kelas yang hak-haknya tak patut dihargai.

Hampir tiga setengah abad lamanya Negara Indonesia dijajah. Ia dijajah oleh beberapa negara besar yang ada di Eropa –Inggris, Portugis, Spayol, Jepang dan Belanda yang paling lama. Pemerintah Inggris mulai menguasai Indonesia sejak tahun 1811 pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles (TSR) sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia. Ketika TSR berkuasa sejak 17 September 1811, ia telah menempuh beberapa langkah yang dipertimbangkan, baik dibidang ekonomi, sosial, dan budaya (Jan Aritonang, 2004)

Penyerahan kembali wilayah Indonesia yang dikuasai Inggris dilaksanakan pada tahun 1816 dalam suatu penandatanganan perjanjian. Pemerintah Inggris diwakili oleh John Fendall, sedangkan pihak dari Belanda diwakili oleh Van Der Cappelen. Sejak tahun 1816, berakhirlah kekuasaan Inggris di Indonesia. Kembali belandai menjajah Indonesia. Mereka paling lama, tahun 1602 sampai tahun 1942. Kemudian Jepang. Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Yang namanya penjajah jelas akan tidak berlaku adil pada yang dijajah. Hal itu juga yang dirasakan oleh rakyat Indonesia pada masa penjajahaan. Mereka sering diperlakukan tidak adil, wanitanya diperkosa, bahkan banyak dari antara mereka yang dibunuh. Dibanding beberapa negara besar di Asia, Indonesia adalah salah satu negara yang dijajah paling lama. Coba bayangkan, dijajah hampir tiga setegah abad lamanya. Indonesia meraih kemerdekaan berkat pertolongan negara adidaya, yakni; Amerika Serikat. Setelah sebelas hari Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan delapana hari di Nagasaki, kemerdekaan negara Indonesia akhirnya terwujud.

Artinya, Indonesia tidak berjuang secara susah payah untuk mendapatkan kemerdekaan, tetapi kemerdekaan negara Indonesia adalah kado berharga dan tak ternilai harganya yang diberikan secara tidak langsung oleh negara Amerika Serikat.

Senjata nuklir “Little Boy” dijatuhkan di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945, diikuti dengan pada tanggal 9 Agustus 1945, dijatuhkan bom nuklir “Fat Man” diatas Nagasaki. Kedua tanggal tersebut adalah satu-satunya serangan nuklir yang pernah terjadi di dunia. John Hersey dalam laporan tentang Hiroshima memparkan tentang semua peristiwa kelam itu.

Saat itu mata dunia tertuju kepada tragedi bersejarah di Jepang. Amerika Serikat diklaim sebagai negara yang jahat dan biadab. Mereka memusnahkan semua yang ada di Hirosima. Mata negara penjajah di dunia juga sedang tertuju kepada Hiroshima. Bahkan beberapa negara yang sedang menjajah justru melepaskan daerah jajahaan mereka untuk merdeka. Indonesia adalah salah satu contoh negara jajahaan Jepang yang mendapatkan kemerdekaan.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 negara Indonesia memproklamirkan kemerdekaan mereka dari Jepang. Sebelumnya Jepan telah menandatangi surat menyerah. Dunia internasional mengakui kemerdekaan itu. Seantoro rakyat Indonesia, kecuali Papua juga turut bangga dengan kemerdekaan itu. Babak perjuangan untuk meraih kemerdekaan telah dilewati, sekarang bagaimana mengisi kemerdekaan itu. Pergumulan paling berat adalah mengisi sebuah kemerdekaan yang telah diperoleh Negara Indonesia.

Soekarno sebagai sang proklamtor menjadi presiden. Hatta menjadi wakil. Mereka memimpin dengan cukup bijak. Walau beberapa isu penting tentang kedekataan Soekarno dengan agen intelejen Amerika sering nampak. Banyak peristiwa penting yang dilewati. Selama 20 Tahun Soekarno memimpin.

Tahun 1966 kekuasaan Soekarno tumbang. Surat perintah sebelas maret digunakan oleh Soeharto untuk memimpin Indonesia. Partai Komunis saat itu dituduh sebagai separatis yang akan mengganggu keamanan negara. Mayor Jenderal Soeharto menjadi otak untuk penumpasaan itu. Keberhasilaannya membawanya menjadi orang nomor satu. Selama 32 Tahun memimpin dengan Otoriter akhirnya Soeharto tumbang. Mahasiswa bersama rakyat Indonesia mengakhiri kediktatoran Soeharto. Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.

Habibi memimpin hanya dua bulan tujuh hari . Setelah itu pemilu ulang di lakukan, Abdurhaman Wahid terpilih. Gus Dur tak bertahan lama. MPR mendesak Gus Dur untuk mundur. Megawati mengantikannya. Pemilu berikutnya juga di langsungkan, SBY akhirnya terpilh, hingga yang berikut lagi tetap terpilih. Hampir enam orang yang telah memimpin negeri ini. lima di antaranya pria, dan seorang wanita. Tidak semua memperhatikan persoalan yang terjadi di Papua dengan cermat dan bijak, hanya Gus Dur seorang diri yang dianggap sedikit peka dan peduli terhad persoalan di Papua.

Penjajahan di Papua
Saat negara Indonesia diproklamirkan, Papua tidak turut didalamnya. Sabang (Ache) sampai Amboina (Ambon) saat itu menjadi wilayah negara Indonesia. Sumpah palapa, sumpah pemuda dan beberapa sumpah pemuda Indonesia yang lain tidak pernah ada keterwakilan Papua. Ini menandakan bahwa Papua bukanlah bagian dari negara Indonesia.
Pada 1 Mei 1961 oleh intelektual Papua yang tergabung dalam Nieuw Guinea Raad pernah mendeklarasikan kemerdekaan Papua. Saat itu lagu “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan, lambang burung mambruk diperlihatkan, juga bendera bintang kejora dikibarkan dan membentuk pemerintahan sendiri. Tri komando rakyat, salah satunya berbunyi bubarkan negara boneka buataan Belanda, Indonesia juga pernah mayakini bahwa Papua adalah sebuah Negara (P.J Drooglever, 2005).
Tahun 1969 atas usulan Elswot Bungker, akhirnya penentuaan pendapat rakyat diberlangsungkan. Saat itu usulannya satu orang Papua memberikan satu suaranya, bukan beberapa orang Papua mewakili seluruh rakyat Papua, tetapi pemerintah Indonesia berlaku tidak adil, mereka menunjuk 1025 orang Papua untuk memberikan suara mereka mewakili 800.000 orang Papua (Jhon Saltford, 2006).
UNTEA, badan khusus PBB yang ditugaskan untuk memantau perkembangan di Papua juga tak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah Indonesia menekan semua gerak-gerik mereka. Ruang demokrasi ditutup rapat. Mereka tidak menghargai hak setiap orang untuk berpendapat, termasuk utusan PBB sendiri. Hasil pepera akhirnya memutuskan bahwa rakyat Papua ikut dengan negara Indonesia. Mereka yang memberikan suaranya mewakili rakyat Papua adalah orang-orang pilihan pemerintah Indonesia. Mereka diancam akan dibunuh jika memilih ikut Papua. Mereka memilih dibawah tekanan.
Setelah Papua integrasi ke dalam negara Indonesia secara sepihak banyak problem yang terjadi. Misalnya, militer mencurigai masih banyak orang Papua menghendaki kemerdekaannya sendiri. Mereka dikejar, diinterogasi bahkan banyak dari antara mereka yang dibunuh. Pelanggaran HAM oleh aparat militer sering terjadi di Papua. Semua berlangsung atas nama kepentingan negara. Orang Papua dianggap tidak penting untuk hidup. Pemerintah lebih mementingkan kekayaan alam orang Papua dari pada manusianya. PT Freeport Indonesia menjadi lahan yang paling menguntungkan bagi pemerintah Indonesia.
Pertumbuhaan penduduk Papua tak nampak. Program keluarga berencana yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, hal itu hanyalah akal-akalan untuk menekan penduduk asli Papua. Transmigrasi terus diberlangsungkan di Papua. Orang Papua sungguh tidak berdaya. Orang Papua memang betul-betul di buat tidak berdaya. UU Otsus hanyalah bentuk penjajahaan baru. Pemerintah Indonesia menaruh kecurigaan yang besar terhadap rakyat Papua, dampaknya Otsus tidak diimplementasikan secara baik dan konsekuen. Uang Otsus hanya di nikmati oleh pejabat Papua dan pemerintah Jakarta.
Peraturan daerah khusus yang di buat oleh pemerintah daerah untuk menjaga hak-hak adat masyarakat lokal juga selalu dicurigai. Pemerintah selalu beralasan untuk tidak menyetujui Perdasi maupun Perdasus seperti itu. Rakyat Papua dianggap manusia yang tidak berguna dan tidak perlu dididik.
Rakyat kecil yang seharusnya menikmati dana Otsus tetap terpinggirkan. Betul-betul dibuat tidak berdaya. Pemekaraan malah menimbulkan penyakit baru. Banyak uang Otsus dialokasikan untuk membuka daerah pemekaran. akhirnya lebih banyak uang Otsus dinikmati oleh birokrasi pemerintah dan aparat negara. Rakyat Papua masih tetap di jajah. Dijajah oleh sistem yang tidak memihak. Sepertinya keadilaan tidak pernah ada untuk rakyat Papua. Penjajahaan itu membuat orang Papua sebagai kaum lemah yang sungguh tak berdaya.

Maka pantaslah jika rakyat Papua menuntut hak mereka untuk memisahkan diri, arti lain menuntut merdeka. Semua rakyat Papua, termasuk pejabat-pejabat birkorasi pemerintah sudah muak dengan pemerintah pusat yang tidak pernah menghargai rakyat Papua sebagai manusia beradab. Pemerintah Indonesia merdeka, berarti rakyat Papua juga harus merdeka. Semua orang, termasuk rakyat Papua juga berhak menentukan nasib sendiri. Tidak ada seseorang-pun yang bisa menghalangi hak setiap orang. Negara di dunia manapun mengakui hak-hak itu.
Pemerintah Indonesia perlu membuka diri dan merefleksikan kembali kegagalan mereka dalam membangun Papua. Menyadari bahwa tidak siap memimpin sebuah daerah yang di sebut Papua. Ini juga sudah menunjukan kedwasaan mereka sebagai negara demokrasi. Dunia sedang menanti sikap pemerintah Indonesia.

Kemarin lalu negara Indonesia senang karena telah merdeka. Tetapi bagaimana dengan rakyat Papua yang saat ini sedang dijajah, dan merasa benar-benar belum merdeka. Semoga pemerintah Indonesia sadar akan ketidakmampuaan itu. Hanya satu kebutuhan rakyat Papua saat ini; bebas dari penjajahan Indonesia. Selamat ulang tahun. Selamat bersenang-senang untuk rakyat Indonesia. Untuk rakyat Papua, terus berjuang, sampai harapan dan cita-cita kita tercapai. Kita harus mengakhiri!!!

*Penulis adalah Sekjend Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Konsulat Indonesia, tinggal di Jakarta.
BintangPapua.com, Jumat, 19 Agustus 2011 17:05

Gereja Prihatinkan Kondisi Keamanan di Paniai

JUBI — Pihak Gereja Kingmi Sinode Papua Koordinator Paniai dan Gereja Katolik Dekanat Paniai menyatakan sangat prihatin terhadap situasi keamanan sejak beberapa hari terakhir di wilayah Kabupaten Paniai. Sebab, beredarnya isu akan ada kontak senjata antara TPN/OPM dan aparat keamanan, meresahkan umat/masyarakat, bahkan sebagian orang sudah mengungsi ke tempat yang dianggap aman.

Sikap prihatin tersebut mengemuka dalam satu pertemuan di Aula SKB YPPK Iyaitaka, Enarotali, Senin (15/8) sore. Keprihatinan yang terungkap pada pertemuan menyikapi situasi keamanan di Kabupaten Paniai, tertuang pula dalam sebuah surat yang akan disampaikan kepada Bupati dan pihak terkait lainnya.

Salah seorang tokoh pemuda menegaskan, cara-cara kekerasan apalagi perang tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, pihak TPN/OPM harus bijak dan tidak gegabah karena tindakan sekecil apapun akan berdampak besar yang tentunya warga sipil korbannya.

Sedangkan pihak aparat keamanan diminta memberi rasa aman bagi warga masyarakat untuk tidak panik terhadap berkembangnya berbagai isu yang sangat meresahkan.

Sebab, sejarah mencacat beberapa kasus besar yang pernah terjadi di seluruh daerah Paniai, misalnya perang PEPERA tahun 1969, peristiwa Operasi Daerah Militer tahun 1980-1986 dan konflik lainnya. Dampak dari semua itu dirasakan warga jemaat di Kabupaten Paniai. Bukan hanya memakan korban jiwa, peristiwa-peristiwa itu juga telah menimbulkan rasa trauma dan ketakutan yang mendalam dalam diri umat Tuhan.

Lantaran masih trauma, demikian ditulis dalam surat keprihatinan, isu perang yang muncul belakangan ini antara TNI-Polri dan TPN/OPM mengingatkan kembali warga jemaat pada kasus-kasus sebelumnya. Sehingga saat ini orang ada dalam rasa ketakutan. Bahkan, terjadi pengungsian besar-besaran sejak empat hari lalu. Tidak hanya di Kabupaten Paniai, masyarakat Deiyai dan Dogiyai juga mengalami hal yang sama.

Selain ketakutan di kalangan umat/jemaat Gereja atau masyarakat setempat dan mengungsi ke kampung-kampung lain, isu perang juga berdampak pada tersendatnya proses belajar mengajar di beberapa sekolah di Kabupaten Paniai. Juga aktivitas ekonomi tersendat, kios-kios memilih untuk tutup sebelum waktunya.

Bahkan, selama empat hari belakangan warga tidak melakukan pekerjaan sehari-hari sebagai petani, peternak. Umat Gereja Katolik dan Kingmi di sekitar Madi, Kopo, Ipakiye, Awabutu, Enarotali, tidak mengikuti ibadah pada hari Minggu kemarin.

Mencermati perkembangan situasi yang dialami umat/jemaat, semua komponen bersama pimpinan Gereja dengan rasa prihatin menyampaikan himbauan: Pemerintah, TNI, Polri dan TPN/OPM tidak mengganggu umat Kristen Protestan, Katolik maupun Islam yang ada di wilayah Kabupaten Paniai. (J/04)

TUESDAY, 16 AUGUST 2011 04:48 J/04 HITS: 388

Papua Bukan Daerah DOM

JAYAPURA [PAPOS]- Aksi penembakan yang terjadi di sejumlah daerah di tanah Papua akhir-akhir ini, dimana aksi penembakan menimbulkan korban jiwa di pihak masyarakat sipil, seperti yang terjadi di Tolikara saat masyarakat melakukan aksi demo. Aksi penembakan ini dikecam oleh Ketua Kaukus Parlemen Pegunungan, Kenius Kogoya, SP.

‘’Saya terus terang cukup kecewa atas terjadinya aksi penembakan yang terjadi di Tolikara. Apalagi saya mendapat informasi ada ketidak transparan soal jumlah korban yang terjadi di Puncak,’’ kata Kenius kepada wartawan diruang kerjanya, kemarin.

Sebab kata politisi ulung partai PPRN ini, dari 19 korban yang meninggal akibat kerusuhan, empat diantaranya mati karena ditembak. Hal ini menurut Kenius harus diklarifikasi oleh Kapolda Papua, siapa yang memerintahkan polisi untuk menembak secara membabi buta. Penembakan ini adalah pelanggaran HAM yang menimbulkan hilangnya nyawa manusia.

‘’Jadi kami minta kepada Kapolda untuk serius mengungkapkan siapa pelaku dibalik kasus ini. Kasus ini tidak bisa didiamkan begitu saja,’’ kata anggota DPRP ini.

Kasus serupa juga lanjut ketua DPD PPRN provinsi Papua, terjadi di Tolikara, saat masyarakat menyampaikan aspirasi untuk percepatan Pilkada di Tolikara, sayangnya massa belum melakukan aksi demo sudah ditembak. Akibat penembakan itu, satu orang kena tembak pada bagian betis tembus tulang dan 5 orang lainnya dianiya oleh aparat.

‘’Siapapun dia pelakukan harus ditindak tegas karena ini adalah pelanggaran HAM. Khan lucu, warga Tolikara hanya melakukan aksi damai dan tidak ada tindakan anarkis. Menurut saya dalam proses demokrasi apa yang dilakukan oleh masyarakat Tolikara harus dihargai oleh siapapun, termasuk petugas di kampung-kampung dan daerah pedalaman sekalipun,’’ katanya.

‘’Jadi jangan kita selalu negative thingking terhadap setiap warga yang datang menyampaikan aspirasinya. Ini adalah era demokrasi. Jadi siapa saja masyarakat yang hendak datang menyampaikan pendapat, silahkan saja,’’ ujar Kenius yang repilih dari Daerah Pemilihan Dapil IV meliputi Tolikara, Puncak Jaya, Puncak, Lani Jaya, Membramo Tengah, Jayawijaya.

Ia juga mempertanyakan apakah kode etik Sekda bisa memerintahkan petugas untuk melakukan tembak di tempat. Ini juga harap diklarifikasi oleh Kapolda Papua. Kasus ini harus diselidiki betul-betul. Apakah informasi ini benar atau tidak. Apakah perintah tembak ditempat, benar-benar disampaikan Sekda sendiri.Nah, bila sekda benar memerintah penembakan itu, maka sekda harus bertanggungjawab.

Bukan Daerah DOM

Sebelumnya Kenius Kogoya menolak secara tegas pengerahan pasukan TNI di tanah Papua. Pengerahan pasukan TNI dalam pembranatasan gerakan separatis di Papua dinilai melanggar hukum karena tidak ada keputusan politik dari DPR dan presiden untuk itu, Papua Pos edisi Kamis [11/8].

‘’Saya sebagai ketua kaukus perlemen Pegunungan sangat sependapat terhadap apa yang disampaikan oleh Komisi I DPR-RI yang menyebutkan pengerahan pasukan ke Papua melanggar hukum,’’ katanya saat berbincang-bincang dengan Papua Pos di DPRP, belum lama ini.

Dikatakannya, tidak ada alasan pengerahan pasukan di tanah Papua. Sebab tanah Papua bukan Daerah Operasi Militer [DOM].’’Stop sudah mengirim pasukan ke tanah Papua,’’ imbuhnya.[tom/bela].

Written by Tom/Bel/Papos
Tuesday, 16 August 2011 01:04

Dari Borneo untuk Papua: Demi Keadilan dan Pemerataan, Selamat berjuang Papua…!!!

Lambang Komite Nasional Papua Barat (West Papua National Committee)
Lambang Komite Nasional Papua Barat (West Papua National Committee)

Komentar seorang pembaca berita di Vivanews.com berisi 04/08/2011. ini menanggapi pendapat AM Hendropriyono bahwa Papua dapat diberikan peluang untuk referendum, tetapi referendum dengan melibatkan seluruh rakyat Indonesia tentang kemerdekaan Papua. Tanggapan atas pendapat ini menunjukkan berbagai warna yang perlu dicermati orang Papua. Ada yang menolak mentah-mentah, ada yang beringas, ada yang menyalahkan pemerintah pusat, ada yang menyalahkan keterlibatan orang asing, tetapi ada juga yang mendukung Papua Merdeka.

Dibandingkan dengan komentar-komentar yang ada dari pembaca di bintangpapua.com, papuapos.com atau cenderawasihpos.com, yang rata-rata menggunakan bahasa Indonesia sangat amatir, kasar, kotor karena yang memberi komentar itu anggota prajurit NKRI yang rata-rata dipaksa beroperasi di Papua karena berpendidikan sangat minim, dengan pengetahuan tidak ada harapan untuk berkembang, dan dengan alasan agar kariernya tidak akan ke tingkat menengah, jadi kalau ditembak mati juga tidak rugi, karena tidak ada harapan maju dalam kerier militer. Komentar mereka di sini sangat berbeda dengan berbagai komentar pembaca yang muncul di Indonesia yang pengetahuannya sudah maju dan luas dengan yang harapan kariernyapun gemilang.

Banyak yang pro-NKRI. Banyak juga yang menyarankan TNI/Polri sapu bersih perjuangan Papua Merdeka, bila perlu dengan perang terbuka, biarpun dianggap melanggar HAM, toh itu urusan rumahtangga NKRI. Ada unsur kebencian di dalamnya, entah atas dasar rasisme/fasisme, fundamentalisme religius atau nasionalisme fundamentalis alias nasionalisme butahuruf. Kebanyakan penganut nasionalis butahuruf ialah keturunan pejuang NKRI merdeka atau karena ia sendiri tidak dicintai di dalam negaranya NKRI, atau karena ia anggota prajurit NKRI.

Ada yang menyalahkan pemerintah pusat, karena dianggap ketertinggalan Papua dari wilayah lain di Indonesia mendorong dan memupuk tuntutan dan gerakan kemerdekaan. Sebagai jalan keluar mereka sarankan agar pemerintah serius memperhatikan dan mengurus tanah Papua. Ada juga yang menyalahkan pemerintah pusat.

Sama dengan mereka, tetapi lebih kompromistis terhadap tuntutan Papua Merdka. Mereka MEMAHAMI bahwa tuntutan Papua Merdeka itu wajar, dan bisa dapat diterima, tetapi mereka memohon agar orang Papua janganlah begitu. Mereka mengedepankan pendekatan kasih-sayang, sebagai sebangsa dan setanah air, “maksud sebenarnya senegara-bangsa, bukan sebangsa dan bukan setanah air.”

Yang lain punya argumen bahwa sejarah penjajahan TImor Leste berbeda daripada sejarah penjajahan di tanah Papua. Oleh karena itu tuntutan kemerdekaan tidak masuk akal dan akhirnya tidak akan merdeka juga, jadi tidak perlu ditanggapi serius. Biarkan saja tentara dan polisi NKRI berurusan dengan orang-orang yang memberontak itu. Toh akhirnya akan dibasmikan tuntas juga.

Dengan alasan ini dan alasan lainnya, ada juga menyatakan kita ini saudara sebangsa-setanah air, jadi kalau Anda tidak diperhatikan tolong berteriak lebih keras, tetapi tidak menuntut merdeka. Mereka melihat ke Amerika Serikat dan mengimpikan sama seperti Barak Obama tampil sebagai sebuah jalan tengah di tengah keruntuhan kapitalisme neoliberal itu, dan ditengah-tengah kebencian umat manusia yang mendidih terhadap negera itu dan menyatakan orang Papua dapat bertindak sebagai penyelamat dan penyeimbang, menjadi solusi terhadap berbagai masalah di Indonesia.

Agak mirip dengan itu, yaitu masih mengedepankan alasan kemanusiaan, tetapi dengan cara membandingkan dengan Timor Leste. Kata mereka, “Timor Leste yang sudah merdeka dari Indonesia aja tidak lebih makmur, malah mereka lebih melarat. Untuk apa merdeka, wong Papua sudah merdeka 17 Agustus 1945 kok? Apa mau bernasib sial sama dengan orang Timor Leste?”

Yang agak ekstrim menyatakan “Papua sudah merdeka, tanggal 17 Agustus 1945. Oleh karena itu yang minta merdeka sekarang itu bohong, itu orang frustrasi, orang yang dipolitisir oleh kepentingan asing, orang yang terlanjur terjun dan sedang mencari makan dengan cara menjual-belikan isu Papua Merdeka.

Yang lebih ekstrim bilang, “NKRI harga mati! Basmikan para pemberontak, separatis Papua Merdeka. Sapu bersih OPM!” Mereka ini orang-orang Indonesia nasionalis fundamentalis, yang dalam istilah lain disebut fundamentalis butahuruf, yaitu butahuruf dalam pemahaman makna nasionalisme Indonesia.

***
Bersambung dari semua ini, perlu dicatat fakta yang ada di Indonesia. Jangan berpikir bahwa semua orang Melayu menolak Papua Merdeka. Bangsa Melayu dan Melanesia memang sudah menjadi tetangga sejak puluhan ribu bahkan ratusan ribu tahun lalu. Keduanya juga sudah sama-sama mengalami pahitnya menjadi orang di dalam negara bernama Indonesia. Karena mereka punya tolok ukur dan alat banding. Mereka membandingkan bangsa Melayu di Malaysia dan Singapore serta Brunai Darusalam dan punya kesimpulan yang tepat mengenai nasib bangsa Melayu di dalam NKRI.

***
Sebenarnya banyak orang Melayu di dalam NKRI yang tidak pernah meras bangga, malahan merasa malu menjadi orang yang dilahirkan di dalam batas wilayah Indonesia. Mereka merasa iri terhadap saudara-saudara sebangsa mereka yang lahir di Malaysia dan Singapore serta Brunai Darusalam. Kebanyakan dari mereka tidak pernah mengakui mereka dari Indonesia. Mereka lebih bangga mengakui diri sebagai orang Malaysia, Singapore dan Brunai Darusalam karena ketiga negara bangsa Melayu itu memang patut dibanggakan, dari sisi politik, ekonomi dan sumberdaya manusianya. Mengakui diri sebagai orang Melayu Indonesia sebenarnya sama saja dengan merendahkan martabat bangsa Melayu. Bukan merasa malu saja, malahan ada yang merasa terhina, karena Melayu tidak se-terhina keterhinaan Indonesia. Indonesia sebagai sebuah identitas negara-bangsa telah membuat bangsa Melayu di Indonesia sulit menentukan sikap.

Dengan perbandingan-perbandingan ini, mereka tahu, dari lubuk hati terdalam, bahwa menjadi atau dijadikan, atau terjadikan sebagai orang Indonesia memang sebuah nasib sial. Mereka tahu bahwa nasib orang Melayu di wilayah negara bernama Indonesia ialah nasib yang tidak pernah mereka akan terima kalau mereka ditanya.

Oleh karena itu, mereka melihat sebuah cahaya lilin di tengah kegelapan hidup dan nasib NKRI kalau melihat orang Papua menuntut kemerdekaan. Karena mereka tahu tepat, dengan kemerdekaan West Papua, maka lampu lilin di tengah malam itu akan berubah menjadi lampu petromax, lalu lampu listrik, lalu akhirnya mataharipun akan terbit, dan dengan demikian gelap-gulita nasib di dalam NKRI itu akan berakhir.

Itulah sebabnya orang Melayu suku Makassar, Bugis, Toraja dan Manador, orang Melayu suku Bali, orang Melayu suku Dayak, orang Melayu suku Sunda dan Madura, orang Melayu suku Betawi, orang Melayu suku Batak dan Minang, dan sebagainya, kalau seandainya saja ditanya pada hari ini, kemungkinan lebih besar mereka akan memilih keluar dari lubang buaya bernama “Indonesia”. Mereka akan bilang, “Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang, .”

Di mana negeri orang? Di mana negeri sendiri? Maksudnya jelas bukan negeri Indonesia, karena Indonesia itu bukan nama negeri. Bukan tanah air Indonesia, karena Indonesia bukan nama tanah air. Itu nama sebuah negara-bangsa, yang didirikan atas “impian” imperialisme Pan Indonesia Raya. Itulah sebabnya dengan secara mati-matian mematikan dan melengserkan Mohamat Hatta yang mengusulkan mengatur negara Indonesia secara demokratis ala Melayu sejak awal. Negeri mereka ialah Nangroe Acheh Dussalam, Tanah Minang, Tana Toraja, Tanah Jawa, Tanah Sunda, Tanah Betawi dan seterusnya. Mereka lebih baik hidup dihujani batu di negeri mereka sendiri, daripada direndam dalam kolam emas di negeri yang tidak pernah ada bernama Indonesia itu.

Itulah sebabnya ada saja orang Melayu yang tidak banggsa bernegara Indonesia. Mereka lebih bangga dan akan berterimakasih kalau pulau mereka, provinsi mereka, suku mereka, yaitu tanah air mereka, negeri mereka itu, diberi kemerdekaan, agar kita duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi bersama sesama bangsa Melayu dan dengan Melanesia. Itulah sebabnya negara pendiri NKRI, Kerajaan Jawa Yogyakarta menuntut keluar dari negara yang dibentuknya sendiri itu. Itulah sebabnya orang Makassar pernah memproklamirkan kemerdekaannya. Itulah sebabnya orang Sunda masih mengimpikan kemerdekaan bangsa Melayu Sunda.

Itulah sebabnya, ada orang Melayu menyatakan, “Dari Borneo untuk Papua: Demi Keadilan dan Pemerataan, Selamat berjuang Papua…!!!”

Kalau Anda baca artike ini: http://papuapost.com/?p=4064
Yang tidak ada, manusia Papua.

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny