Papua Kenapa Terus Membara

Bagong Suyanto Konflik yang masih terus membara di Papua sesungguhnya berakar dari berbagai macam persoalan. Namun, inti sejumlah pertikaian dan bara yang meletup di Bumi Cenderawasih, menurut Tamrin Amal Tamagola (Kompas, 9/8), sesungguhnya berakar pada persoalan kewenangan Majelis Rakyat Papua yang berhadapan dengan kekhawatiran pemerintah tentang kemungkinan Papua memerdekakan diri jika MRP diberi wewenang dalam bidang politik. Benarkah demikian?

Pembagian dan perbedaan interpretasi tentang batas kewenangan masyarakat lokal merupakan salah satu penyebab munculnya konflik di Papua, tetapi, dari aspek sosiologis, faktor yang menyebabkan aksi kekerasan dan resistensi masyarakat lokal terus bergolak tak bisa direduksi hanya pada persoalan di ranah politik. Diakui atau tidak, konflik yang terus membara di Papua sebenarnya konsekuensi kekeliruan negara merancang skenario perubahan dan pembangunan yang cenderung menafikan kepentingan dan eksistensi masyarakat setempat.

Banyak kajian membuktikan, di balik kemajuan pembangunan yang berhasil dicapai di Papua, ternyata di saat yang sama juga lahir berbagai problem sosial-budaya di kalangan penduduk lokal serta tuntutan untuk melakukan berbagai penyesuaian menyikapi kehadiran situasi dan kondisi baru yang terus berubah karena dihela industrialisasi, modernisasi, dan kehadiran para pendatang dengan segala perbedaan dan kepentingannya (FISIP Unair, 2004; Rathgeber (ed), 2006).

Proses perubahan sosial yang terjadi begitu cepat terbukti telah menimbulkan implikasi dan proses adaptasi yang tak selalu mudah bagi suku-suku dan penduduk lokal di Papua untuk menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan sosial-budaya dan tuntutan situasi baru yang berlangsung di sekitar mereka. Bukan tak mungkin, penduduk lokal yang tak kuat dan kurang bisa beradaptasi terhadap perubahan yang berlangsung cepat di wilayahnya akan mengalami proses marjinalisasi, bahkan gegar budaya.

Polarisasi

Di Papua, dengan mudah siapa pun bisa melihat bahwa tekanan dan tuntutan pembangunan serta perubahan baru yang terlalu mementingkan kepentingan politik dan ekonomi terbukti menyebabkan terjadinya polarisasi dalam masyarakat, dan warga lokal yang seharusnya menjadi subyek pembangunan justru acap kali terpinggirkan oleh derap modernisasi. Apa yang bisa dipelajari dari kasus Papua adalah perencanaan dan pembangunan proyek yang hanya mencakup aspek-aspek teknis dan finansial—tanpa memperhitungkan biaya sosial yang harus ditanggung penduduk lokal, terutama eksistensi adat istiadat dan hak-hak adat masyarakat setempat—terbukti hanya melahirkan problem sosial-budaya.

Seperti juga terjadi di berbagai komunitas, kegagalan masyarakat lokal menyesuaikan diri (readjustment) terhadap perubahan yang cepat menyebabkan mereka mudah terpicu untuk melakukan gerakan-gerakan radikal atau tetap diam dengan memendam suatu persoalan. Studi yang dilakukan Ngadisah (2003) menyimpulkan, hakikat gerakan sosial di Papua intinya adalah penolakan terhadap kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal.

Pembangunan yang bersifat sentralistis dan dipaksakan dari atas tidak hanya melahirkan perubahan pada tradisi, tercabiknya nilai-nilai spiritual, dan perubahan pada pola mata pencaharian penduduk, tetapi juga menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial dan perampasan hak-hak adat masyarakat lokal. Dalam rangka menuntut kembali hak-hak mereka itu, akhirnya di kalangan masyarakat Papua tidak hanya terjadi protes sosial, tetapi juga lahir gerakan sosial berkepanjangan.

Di bumi Papua, banyak kajian telah membuktikan, dalam proses pembangunan dan industrialisasi yang mengalienasikan, penduduk pedalaman umumnya cenderung menjadi korban persekutuan antara modal dan kekuasaan politik. Studi yang dilakukan FISIP Unair (2004 dan 2010) menemukan adanya indikasi bahwa investasi di sektor ekstraktif yang bertujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (hutan, tambang, dan laut) demi akumulasi modal tidak saja telah melahirkan proses perubahan sosial-budaya dan kesenjangan sosial, tetapi juga menyebabkan munculnya keresahan, bahkan resistensi sosial penduduk lokal yang teralienasi dari proses pembangunan yang sedang berlangsung di wilayahnya.

Revitalisasi budaya lokal

Untuk mengembangkan kembali identitas budaya masyarakat Papua sekaligus mengeliminasi kesenjangan sosial yang timbul, salah satu upaya yang perlu dilakukan ke depan adalah bagaimana mengembangkan proses revitalisasi unsur budaya lokal. Secara garis besar, arti penting dilakukan revitalisasi budaya di kalangan masyarakat Papua adalah, pertama, budaya pada hakikatnya merupakan media yang memungkinkan pembangunan dapat berlangsung tanpa menimbulkan efek samping berupa terjadinya kesenjangan sosial dan alienasi.

Kedua, unsur-unsur budaya mempunyai legitimasi tradisional di mata orang-orang yang jadi sasaran program pembangunan. Ketiga, unsur-unsur budaya punya aneka ragam fungsi—baik yang terwujud maupun yang terpendam—yang sering menjadikannya sarana paling berharga untuk perubahan dibandingkan dengan yang tampak di permukaan jika hanya dilihat dalam kaitan dengan fungsinya yang terwujud.

Desakan agar segera dilakukan proses revitalisasi budaya masyarakat Papua belakangan ini kian mengedepan, bukan saja dengan tujuan agar berbagai unsur budaya yang ada tidak musnah, tetapi juga supaya setiap anak Papua tak mengalami krisis identitas dan bisa tegak di atas harkat budaya leluhurnya. Anak bangsa yang kehilangan jati diri sekaligus mengalami proses marjinalisasi niscaya suatu saat akan benar-benar eksplosif jika kebijakan dan penanganan yang benar-benar arif serta empatif tak segera dikembangkan.

Bagong Suyanto Dosen Departemen Sosiologi FISIP Unair, Melakukan Studi Perubahan Sosial dan Industrialisasi di Papua 2004 dan 2010

Kompas.com, Jumat, 12 Agustus 2011 | 02:18 WIB

Referendum Diberikan, Papua Dipastikan Lepas

Gerakan Papua Merdeka
Gerakan Papua Merdeka

Jakarta – Masyarakat asli Papua merasa tidak mendapat banyak manfaat dengan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sudah setengah abad lebih bergabung, kehidupan mereka tetap tertinggal.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Papua pada 2010, menyebutkan, sekitar 80 persen penduduk asli Papua hidup dalam keterbelakangan, miskin, dan sangat tertinggal dalam pendidikan. Rumah tangga miskin mencapai 83,04 persen atau 482.184 rumah tangga.

Padahal lebih Rp 30 triliun dana dari pemerintah telah dikucurkan untuk otonomi khusus (otsus) di Papua. Dana Otsus dikucurkan dengan tujuan untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan sosial ekonomi masyarakat setempat, yang relatif tertinggal dibanding daerah lainnya. Tapi kondisi Papua membuktikan dana Otsus tidak mengenai sasaran atau menyimpang.

Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Maco Tabuni menilai UU Otsus Papua sudah tidak tepat sejak awal. UU Otsus Papua dianggap sebagai upaya pemerintah RI untuk memaksakan kehendaknya terhadap rakyat Papua. Dana otsus Papua, bagi Maco, hanya upaya win-win solution antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan pemerintah.

“Jadi bukan bagian penyelesaian masalah Papua. Sebab sampai saat ini banyak masyarakat Papua merasa sebagai masyarakat yang terjajah oleh RI sejak tahun 1961,” kata Tabuni kepada detik+.

Karena dana otsus itu hanya bersifat win-win solution jangan heran kalau uang triliunan tersebut digunakan tidak dengan semestinya. Dana Otsus itu hanya dijadikan bancakan oleh elit-elit di Papua untuk kepentingan ekonomi belaka. Sementara untuk kesejahteraan rakyat sama sekali tidak menyentuh.

Tabuni bahkan mengatakan pernyataan pejabat Pemda yang menyatakan orang asli Papua sudah minum susu, merupakan kebohongan besar. Sebab kenyataanya, masyarakat Papua masih menderita.

Karena alasan itu, Tabuni dan sejumlah aktivis yang tergabung dengan KNPB mendesak diadakannya referendum bagi masyarakat Papua. Pada 2 Agustus 2011 lalu, KNPB menggelar demo yang diikuti ribuan orang Papua asli di sejumlah kota untuk menyuarakan tuntutan referendum ini.

Referendum dinilai merupakan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan di Papua yang sudah terjadi sejak 1961. Dengan cara itu bisa diketahui apa keinginan masyarakat Papua sebenarnya, mau gabung dengan pemerintah RI atau Merdeka

“Tidak ada jalan lain,” gugat Tabuni yang sempat kuliah di Manado tapi berhenti di tengah jalan.

Meski demikian saat ditanya soal seberapa banyak masyarakat Papua menginginkan referendum, Tabuni menyatakan justru dengan referendum bisa diketahui masyarakat Papua ingin bergabung dengan RI atau berdiri sendiri alias merdeka.

Sementara pengamat sosial Thamrin Amal Tamagola menyatakan, saat ini sebagian besar masyarakat Papua memang menginginkan referendum. Peta masyarakat yang menginginkan referendum ini berasal dari masyarakat Papua yang melek pendidikan dan kepala-kepala suku atau adat. Sementara untuk tokoh agama terpecah. Sebab sebagian kecil tokoh agama merasa khawatir jika diterapkan referendum di Papua. Sedangkan tokoh masyarakat yang ada di birokrasi tentu saja akan menentang referendum.

“Kalau dikalkulasi saat ini sepertinya sebagian besar masyarakat memang menginginkan referendum. Sebab sebagian besar masyarakat Papua menganggap Otsus Papua telah gagal. Petanya, referendum bakal menang,” kata Thamrin.

Kondisi ini tentu saja harus diwaspadai pemerintah pusat. Bila setuju digelar referendum, sudah hamper dipastikan Papua akan lepas seperti yang terjadi dengan Timor Leste. Untuk mengatasi desakan referendum ini, Thamrin menyarankan adanya dialog antara tokoh-tokoh Papua dan pemerintah yang dimediasi pihak ketiga.

Tapi kalau pihak ketiganya dari asing tentu saja pemerintah akan menolak. Jadi pemerintah sebaiknya meminta LIPI menjadi pihak ketiga untuk memediasi dialog tersebut. Sebab lembaga kajian ini dianggap netral, baik oleh masyarakat Papua maupun pemerintah. Apalagi LIPI memiliki roadmap soal Papua.

Bagi Thamrin, sikap masyarakat Papua yang menganggap Otsus gagal disebabkan banyaknya tindakan korup yang dilakukan elit Papua atau pejabat Pemda. Akibatnya masyarakat Papua merasa kesal dan menganggap pejabat Pemda hanya kaki tangan pemerintah pusat. Kekecewaan masyarakat Papua terhadap Pemda kemudian menimbulkan kekesalan masyarakat terhadap pemerintah pusat.

“Jadi solusinya menghilangkan dulu keengganan atau sikap apriori masyarakat Papua terhadap Otsus,” kata Thamrin.

Selain itu, Thamrin kemudian memberikan saran solusi yang diusung Frans Seda. Solusi itu berupa memberikan pendidikan kepada masyarakat Papua untuk menjadi guru atau perawat. Sebab dari penelitian yang dilakukan Frans Seda, masyarakat Papua sangat bangga bisa berkiprah langsung di masyarakat misalnya dengan berprofesi sebagai guru atau perawat.

Tapi sayangnya, gagasan yang diusung Frans Seda sama sekali tidak dipakai. Yang ada dana Otsus Papua yang digelontorkan pemerintah yang mencapai puluhan triliun rupiah lebih banyak dikorup oleh elit politik di Papua maupun pemerintah pusat. Untuk itu pemerintah diminta mereformasi pejabat-pejabat pemda Papua.

“Jangan sampai masyarakat Papua saat ini merasa dirinya terjajah. Mereka mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah, baik dari segi hukum, pendidikan, sosial, dan ekonomi,” ujar Thamrin.

(ddg/nrl)
DetikNews.com

TNI/Polri Harus Hindari Pendekatan Represif

JAYAPURA—Wakil Ketua Komisi A DPRP yang membidangi masalah politik, hukum dan HAM, Ir Weynand B Watori menegaskan, TNI dan Polri harus menghindari pendekatan represif, tetapi mengedepankan persuasif dalam rangka menjaga keamanan masyarakat di Papua.

Hal ini disampaikan Weynand Watori menjawab Bintang Papua di ruang kerjanya, Selasa (9/8) terkait maraknya aksi kekerasan belakangan ini di Provinsi Papua Menurut salah satu bakal Calon Wakil Gubernur Provinsi Papua ini, sebagai salah satu pihak yang bertanggungjawab menyangkut masalah keamanan untuk mereposisi diri, serta memperbaiki cara- cara pendekatan dengan mengedepankan persuasif yang menunjukkan wajah keindonesiaan, yang telah direformasi.

Menurut Ketua DPD Partai Kedaulatan Provinsi Papua ini, apabila TNI dan Polri masih terus mempertahankan pendekatan represif, maka rakyat Papua dapat melihat ternyata wajah militer yang selalu dipertontonkan seperti sebelumnya. Pasalnya, rakyat Indonesia tak lagi hidup di dalam rezim Soeharto, tapi di era reformasi yang mestinya lebih baik penanganan kasus kasus seperti ini supaya ada simpatik dari rakyat kepada TNI dan Polri. “Apakah kejadian ini sedang dirancang untuk menjadikan Papua seperti Poso dan Ambon,” katanya.

Karena itu, tandasnya, Komisi A DPRP akan menyurati TNI dan Polri yang bertanggungjawab soal keamanan khususnya di Papua.
“Apakah ini hanya karena kreatifitas para elite yang ada di Papua yang bertanggungjawab atau ada perintah dari pusat. Kalau betul patut mempertanyakan semua itu,” ungkapnya. (mdc/don/l03)

Selasa, 09 Agustus 2011 21:43

Papua Memanas, Ini Penjelasan TNI dan OPM

Warga Papua tergabung Komite Nasional Papua Barat (KNPB) tuntut referendum (Antara/ Spedy Paereng)
VIVAnews – Tiga prajurit itu terkulai lemah. Di rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Kamis 4 Agustus 2011 mereka dijenguk tamu penting. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo. Banyak wartawan ikut menjenguk.
Derita tiga prajurit itu dibawa jauh dari Papua, wilayah yang belakangan ini kian memanas. Baku tembak antara sekelompok orang, yang diduga Tentara Pembebasan Nasional — divisi militer dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terjadi di sejumlah tempat.
Sejumlah kalangan menduga bahwa aksi-aksi yang belakangan marak itu disiapkan guna memberi bobot kepada pertemuan sejumlah pengacara internasional yang digelar di London, Inggris tanggal 3 Agustus 2011. Para pengacara yang dihimpun aktivis OPM di luar negeri itu, sedang menyusun argumentasi hukum internasional atas tuntutan referendum di wilayah itu.
Tuntutan referendum itu menjadi tema utama yang diusung para pengunjuk rasa di sejumlah kota di Papua. Dan unjuk rasa itu hampir terjadi bersamaan dengan aksi penembakan sporadis yang berlangsung di sejumlah tempat. Tiga prajurit yang terkulai di Gatot Subroto itu ditembak di tempat dan waktu yang berbeda.
Pertama, pada 25 Mei di Pasar Distrik Illu, Puncak Jaya, korbannya adalah Sertu Kamaruzzaman. Kamaruzzaman mengalami luka di kepala. Lalu, Pratu Kadek Widana ditembak orang tak dikenal yang diduga OPM pada 5 Juli 2011. Terakhir adalah Pratu Heiberde menjadi korban penembakan pada 12 Juli 2011 di Puncak Jaya.

“Saya tertembak saat melakukan pemantauan pasar di Distrik Illu, Puncak Jaya. Saya tertembak di bagian kepala menembus ke pelipis,” kata Kamaruzzaman usai dijenguk Purnomo dan Jenderal Edhie.

Kamaruzzaman sangat yakin bahwa orang yang menembaknya merupakan anggota OPM. Ada tiga orang yang menyerangnya saat Kamaruzzaman sedang berada di pasar. “Terjadi di pasar saat saya sedang patroli. Mereka tiga orang, dan saya pastikan itu dari OPM. Karena saya melihat mereka menyerang dan berusaha merampas senjata. Itu sudah pasti OPM,” kata dia.

Bedil Tanpa DOM
Usai menjenguk ketiga prajurit tadi, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Pramono Edhie Wibowo menegaskan bahwa TNI akan ‘membersihkan’ basis Organisasi Papua Merdeka di seluruh wilayah Papua. Namun, TNI, kata Pramono belum akan memberlakukan Papua sebagai daerah operasi militer (DOM).

“Hanya intensitas patroli yang kita tingkatkan,” ujar Pramono usai menjenguk tiga prajurit TNI yang tertembak di Papua. “Tidak ada operasi militer di sana. Yang ada hanyalah operasi pengamanan perbatasan di sana untuk menjaga,” kata Pramono Edhie.

TNI, kata Pramono, juga tidak akan menambah pasukan di wilayah itu. Pasukan yang bertugas di Papua, katanya, masih cukup mengamankan wilayah itu.
Sementara, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menolerir kegiatan apapun yang dapat mengancam keutuhan NKRI. “Kami tidak akan menolerir gerakan separatisme,” ujarnya. Kementerian pertahanan akan melakukan koordinasi dengan pemerintah dan aparat di daerah untuk segera mengambil langkah seperlunya.
TMMD
Ada yang menduga bahwa aksi-aksi itu terkait dengan pertemuan para pengacara di London itu, tapi menurut KSAD Pramono Edhie, aksi-aksi itu terjadi karena intensitas TNI yang terus membangun wilayah Papua melalui program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD).
“Saya merasa bahwa meningkatnya gangguan di daerah Puncak Jaya itu karena kegiatan TNI yang sukses merebut hati rakyat. Dan itu sudah mengganggu mereka,” katanya.
Dengan adanya TMMD itulah, Pramono menilai, separatis di Papua merasa terganggu. “Karena mereka selama ini menjanjikan adanya pembangunan, andai nanti sudah merdeka. Mereka itu sudah janji, sudah lama,” katanya.
Menurut Edhie, oknum OPM yang menyerang TNI di Papua tidak senang dengan kegiatan TMMD. Sejumlah personil TNI yang ditembak itu merupakan anggota yang melaksanakan program TMMD. TNI memang sengaja memilih daerah-daerah yang rawan terpengaruh oleh OPM dalam program ini.
Ia menduga OPM terganggu dengan kegiatan TMMD karena sebelumnya OPM telah menjanjikan kepada warga setempat akan dibangunkan rumah, namun kemudian TNI datang tanpa banyak janji dengan membangun rumah warga melalui TMMD.
Referendum
Aksi unjuk rasa Selasa 2 Agustus 2011 itu digelar serentak di tujuh kota di Papua. Ribuan warga yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB) itu menuntut referendum.

Di Jayapura unjuk rasa dipusatkan di Expo Waena dan Lingkaran Abepura Jayapura. Aksi itu membuat jalur Jayapura menuju Bandara Sentani lumpuh total. Suasana lengang juga terlihat di sepanjang Jalan Raya Abepura-Sentani. Sementara sejumlah toko memilih tutup, mengantisipasi kemungkinan rusuh.

Ketua KNPB, Maco Tabuni menegaskan bahwa dengan unjuk rasa di sejumlah kota itu, rakyat Papua hendak memperlihatkan kepada dunia maupun pemerintah Indonesia bahwa mereka ingin menentukan nasib sendiri, melalui mekanisme hukum yang sah dan legal. “Ini pembuktian kepada dunia dan Indonesia, bahwa rakyat Papua Barat ingin menentukan nasibnya sendiri, melalui referendum yang digelar pihak ketiga, yakni dunia internasional,” tandasnya.

Apapun hasil referendum itu harus diakui oleh masyarakat Papua dan bangsa Indonesia. Maco Tabuni menambahkan, aksi demo damai ini berlangsung serempak di Jakarta dan 7 Kabupaten di Papua. Dalam aksi di Jayapura itu, massa berjalan kaki sejauh 5 kilometer dari arah Waena menuju Lingkaran Abepura. Mereka melakukan orasi politik tentang keinginan rakyat Papua, yakni referendum digelar di Papua.

Dalam kesempatan yang sama, Marco Tabuni juga mengatakan, bahwa aksi penghadangan dan penembakan yang terjadi di Kampung Nafri Abepura, Senin 1 Agustus, bukan dilakukan kelompok OPM. “Saya berani jamin, pelaku penyerangan di Nafri bukan OPM,” ucapnya disela-sela aksi unjuk rasa.

Sementara Panglima OPM wilayah Perbatasan RI-PNG (Keerom), Lambert Pekikir melalui telepon selulernya, mengaku, OPM tidak bertanggung jawab atas penyerangan di Kampung Nafri. “Tentara Pembebasan Nasional Papua Merdeka tidak bertanggung jawab atas penyerangan di Nafri, karena sementara ini OPM menurunkan senjata, menghormati unjuk rasa menuntut referendum hari ini. Sesuai perintah dari Petinggi OPM di Swedia, Yacob Pray,” ungkapnya.

Lambert Pekikir juga tidak mengetahui kelompok mana yang melakukan penghadangan dan penyerangan. “Saya tidak tahu ini kelompok mana, yang pasti bukan OPM,” paparnya.

Aksi penghadangan dan penyerangan oleh kelompok bersenjata tak dikenal terjadi di Kampung Nafri, Abepura, Jayapura, Papua, Senin 1 Agustus 2011, pukul 03.00 Waktu Indonesia Timur. Akibatnya 4 orang tewas dan 4 luka-luka. Di lokasi penghadangan itu ditemukan bendera OPM.

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro meminta masyarakat, khususnya masyarakat Papua tidak terprovokasi dengan tuntutan referendum. Menurut dia, pertemuan International Lawyer for West Papua di London, Inggris pada 3 Agustus 2011 yang meminta referendum di Papua, tidak populer di mata rakyat.

“Karena sebetulnya itu hanya dilakukan oleh segelintir orang saja,” kata Purnomo usai menjenguk tiga prajurit TNI yang tertembak di Papua, Kamis 4 Agustus 2011. Bahkan, menurut Purnomo, pertemuan tersebut tidak mendapat simpati dari Kerajaan Inggris. “Dan ternyata, responnya tidak begitu kuat di sana,” tambahnya.

Purnomo mengingatkan seluruh pihak, terus mewaspadai gerakan-gerakan separatis dan upaya memisahkan Papua dari NKRI yang dilakukan segelintir orang. “Kita terus pantau dari berbagai aparat dan juga dengan daerah,” ucapnya.

Laporan: Banjir Ambarita | Papua • VIVAnews

KAMIS, 4 AGUSTUS 2011, 21:05 WIB Edy Haryadi, Amal Nur Ngazis, Aries Setiawan
http://nasional.vivanews.com/news/read/238403-pengamat–aktivis-papua-tiru-gaya-timor-leste

Sosiolog: Gunakan Mediator Netral untuk Selesaikan Konflik Papua

Metrotvnews.com, Jakarta: Sosiolog Thamrin Amal Tomagola mengusulkan pemerintah menggunakan mediator netral untuk menyelesaikan konflik Papua. Pemerintah bisa menggunakan tenaga dari LIPI atau lembaga keagamaan di Papua. Bukan justru melibatkan lembaga asing.

Menurut Thamrin Amal Tomagola, saat ini Pemerintah Pusat dan warga Papua saling tarik menarik. Pusat mengusulkan untuk pemberian Otonomi Khusus. Sedangkan warga Papua ngotot meminta referendum.

Tapi, Thamrin menilai permintaan referendum dari rakyat Papua, sangat berisiko bagi rakyat Papua sendiri. Mereka bisa kalah, jika referendum diberikan. Sebab, warga pendatang di Papua, saat ini, sudah semakin banyak. Mereka justru harus duduk bersama dengan Pemerintah Pusat, yang non-Papua, dengan mediator.

Sementara anggota DPR dari Komisi I TB Hasanuddin menuturkan pemberian dana Otsus yang sangat besar, ternyata bukan solusi untuk menyelesaikan masalah ekonomi rakyat di Papua. Dana Otsus tersebut tidak dikelola dengan baik, lebih banyak dikorupsi. Masyarakat bawah tetap tak tersentuh.(DSY)

Metro Siang / Polkam / Jumat, 5 Agustus 2011 13:41 WIB

K2PH2P2: Kami Tidak Mengatakan ‘Pelaku Penembakan Nafri Bukan OPM’

JUBI —- Koalisi untuk Keadilan, Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Pelayanan Publik (K2PH2P2) mengklarifikasi berita harian Cenderawasih Pos edisi 2 Agustus 2011 yang menyatakan, bahwa, pelaku penembakan di Nafri kemarin adalah bukan OPM.

Dalam pres rilis yang diterima media ini, 2 Agustus 2011 malam, Pastor John Jonga, perwakilan K2PH2P2 mengatakan, siaran pers yang dilangsungkan pihaknya Senin kemarin adalah berkaitan dengan kinerja pemerintah di kabupaten Keerom, bukan menyikapi penembakan Nafri.

“Siaran pers yang dilaksanakan oleh Koalisi Untuk Keadilan, Penegakan Hukum dan HAM Serta Pelayanan Publik sudah direncanakan jauh hari sebelumnya dan sama sekali tidak berkaitan dengan peristiwa pembunuhan yang terjadi di Kampung Nafri pada 01 Agustus pukul 03.30 WIT,” tegas Pastor John, seperti dikutip dari press rilisnya.

Lanjut Pastor John, siaran pers pihaknya kemarin mengatakan, membahas kinerja pemerintah Kabupaten Keerom dan kinerja Kepolisian Kabupaten Keerom dalam kaitan dengan situasi sosial saat ini, yaitu kinerja Pemerintah Daerah (Pemda) Keerom, penegakan hukum, kasus-kasus pembunuhan yang tidak terungkap pelakunya, dan korupsi di Dinas P dan P Kabupaten Keerom, seperti diberitakan media.

“Terkait dengan kasus pembunuhan di Nafri, pada konferensi pers tersebut kami tidak pernah memberikan pernyataan bahwa kejadian di tanjakan Nafri itu bukan perbuatan TPN/OPM dan bukan perbuatan orang asli Papua, tetapi yang melakukan itu adalah TPN/OPM yang dipelihara oleh oknum tertentu, seperti yang dilansir di Cenderawasih Pos 02 Agustus 2011,” lanjutnya.

Koalisi ini mengutuk keras pelaku penembakan tersebut, dan otak di balik insiden mengenaskan itu. (J/10)

WEDNESDAY, 03 AUGUST 2011 07:48 J/10 HITS: 39
http://tabloidjubi.com/daily-news/jayapura/13497-k2ph2p2-kami-tidak-mengatakan-pelaku-penembakan-nafri-bukan-opm.html

Pelaku Pembunuhan di Nafri OPM Jadi-jadian

alah satu korban penembakan di Nafri, Abepura, Papua pada Senin (1/8) dini hari. (Foto: SP/Robert Isidorus Vanwi)
alah satu korban penembakan di Nafri, Abepura, Papua pada Senin (1/8) dini hari. (Foto: SP/Robert Isidorus Vanwi)
[JAYAPURA] Pelaku pembunuhan yang menewaskan satu orang militer dan tiga warga sipil pada Senin (1/8) dini hari kemarin disinyalir dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) jadi-jadian, bukan OPM benaran. Kelompok OPM jadi-jadian ini dipelihara oleh kelompok tertentu. Sementara itu, situasi di lokasi kejadian pascaperistiwa itu, hingga Selasa (2/8) pagi ini kondusif dan aman.

Hal itu dikatakan Pendeta Socrates Sofyan Yoman dan Komandan OPM Lambert Peukikir kepada SP melalui jaringan telepon di Jayapura, Selasa (2/8)

Menurut Pendeta Socrates Sofyan Yoman, OPM tak mungkin melakukan cara-cara biadab seperti itu. “Cara-cara yang tidak manusiawi seperti itu dan itu bukan cara-cara orang asli Papua. OPM itu dipelihar oleh kelompok tertentu, entah siapa,” ujar Socrates dalam pembicaraan singkat dengan SP, Selasa (1/8) pagi via telepon.

Hal senada diungkakan Lambert Peukikir. Dia menegaskan bahwa pihaknya tidak terlibat dalam penembakan yang terjadi di Kampung Nafri, Kota Jayapura. “Tong (kita) tra (tidak) pernah melakukan kejadian seperti itu dari yang dulu hingga kemarin,” tegas Lambert Peukikir melalui teleponnya.

Lambert Peukikir adalah pemimpin OPM yang menguasai perbatasan Indonesia-Papua New Guinea. Lambert pernah terlibat peristiwa tragis pada 1990 di daerah transmigrasi dan menghabisi nyawa beberapa warga di sana.

Menurut dia, kelompoknya dan OPM tak pernah terlibat dan juga tidak pernah memegang senjata serta melakukan penembakan dan penyerangan dikawasan itu. “Kelompok bersenjata itu terlatih sehingga terus menerus melakukan penyerangan dikawasan tersebut,” ujar Lambert.

Dia berharap, aparat keamanan diharapkan tak menuding OPM dalam setiap kasus penembakan dilokasi itu.

Sementara itu Wakil Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) Yusman Conoras menyesalkan peristiwa kekerasan di Kampung Nafri tersebut. Menurut dia, peristiwa itu sangat tidak berperikemanusiaan dan menebarkan teror terhadap setiap warga yang mendambakan kehidupan yang aman dan bebas dari rasa takut.

“Kami berharap bahwa pihak yang berwenang dengan segera dapat mengungkapkan fakta peristiwa dan menangkap pelaku dari peristiwa tersebut. Hal ini untuk membuktikan bahwa negara masih dibangun dalam supremasi hukum yang maksimal, memberikan rasa aman bagi setiap warga masyarakat dan yang terpenting adalah bertanggungjawab untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban,” ujarnya saat ditemui SP di Kantornya Padang Bulan, Abepura Jayapura, Selasa (2/8) pagi.

Sedangkan Kabid Humas Polda Papua Kombes Wachyono secara terpisah menegaskan, saat ini situasi sudah kondusif. “Penyidik sedang memeriksa saksi-saksi, ”ujarnya kepada SP, Selasa pagi.

Ia sendiri tak mau berandai-andai soal pelaku pembunuhan tersebut. Namun dugaan sementara, peristiwa itu adalah kriminal murni. “Memang benar TKP tak jauh berbeda, namun polisi belum bisa menyimpulkannya,” ujarnya saat ditanya tentang keterkaitan kasus ini dengan peristiwa yang sama di tempat yang sama pula beberapa bulan sebelumnya. [154]

Selasa, 2 Agustus 2011 | 9:36
http://www.suarapembaruan.com/home/pelaku-pembunuhan-di-nafri-opm-jadi-jadian/9699

LAGI KEJAHATAN NEGARA RI PADA BANGSA PAPUA

oleh Ismail Asso pada 18 Juni 2011 jam 20:37
By : Ismail Asso

Pendahuluan
Indonesia melalui aparat militer secara ketat membatasi kunjungan wartawan asing ke Papua. Semua media massa nasional dan lokal sangat dibatasi. Bahkan media local dikontrol penuh dan dikuasai militer RI.
Ruang gerak rakyat Papua diawasi secara ketat oleh militer, misalnya dalam rangka penyampaian aspirasi. Rakyat Papua akhirnya dibungkam menjadi mayoritas diam (silence mayority). Papua dijadikan kawasan rahasia operasi militer. Peneliti asing tidak diberi izin masuk kecuali peneliti Indonesia feriferal.
Singkat kata, Papua tidak boleh diketahui Internasional, proses apa yang sedang terjadi dalam kaitannya system kebijakan politik Otonomi Khusus Indonesia diberlakukan di Papua. Alasannya Papua adalah masalah internal Indonesia (NKRI). Internasionalisasi issu Papua kalau bukan sangat ditakuti, pejabat Indonesia sama sekali tidak memberi ruang. Pemerintah pusat sangat membatasi secara sangat ketat melalui kaki tangan militernya di Papua.
Otonomi Khusus Papua sepenuhnya dikontrol militer Indonesia. Rakyat Papua akhirnya dibungkam oleh system ketat penguasa NKRI. Papua Daerah Operasi Militer (DOM) terselubung dikemas dalam bungkusan Otonomi Khusus yang isinya: “Pembunuhan massal rakyat orang Papua”.
Kenyataan paling actual Papua saat ini adalah: “Pembunuhan besar-besaran orang Asli Papua”. Hal ini dilakukan tanpa didasari orang Papua sendiri secara sistematis.Demikian ini tentu saja tidak diketahui dunia luar (dunia internasional). Pembunuhan sistematis dilakukan APARAT MILITER ORGANIK DAN NON ORGANIK sepanjang Otsus diberlalakukan evektif sejak tahun 2003-2011 kini masih berlangsung hingga tulisan ini diturunkan.
Adalah kenyataan ledakan kematian (pemusnahan) besar-besaran orang Papua Asli telah nyata benar-benar sedang berlangsung kini. Tulisan ini mau membeberkan itu hanya beberapa aspek secara terbatas.
HIV/ADIS
Ledakan kematian paling utama disebabkan oleh persebaran HIV/AIDS. Akibatanya pertumbuhan jumlah penduduk asli Papua menurun drastis. Laporan Universitas Yale Amerika Serikat (16 April 2011) bahwa :
“Populasi orang Asli Papua 1,760.557 juta jiwa. Jumlah pendatang (non Papua) akan naik 10,82%=5.174.782. Dan tahun 2020 pendatang menjadi 7.287.463 juta jiwa. Orang Asli Papua 2020 28.99% vs pendatang (non Papua) =71.01%“.
Hal ini sangat mengkhawatirkan karena total penduduk Papua yang hanya 1,7 juta jiwa tidak akan bertambah kecuali jumlah pendatang dan militer Indonesia terus membengkak. Penyebaran HIV/AIDS terlalu cepat dan penyakit sosial politik lain ikut mempengaruhi tingkat penurunan jumlah penduduk Asli Papua.
Hal ini bukan saja momok menakutkan tapi kita sedang menghadapi kenyataan pembunuhan dan pelenyapan etnis Papua sedang berlangsung depan mata menjadi kenyataan paling tragis bagi peradaban umat manusia.
A. Peran Internasional Urgen
Karena itu peran Internasional sangat urgen dibutuhkan disini untuk menyelamatkan Papua dari genosida sekaligus ecosida. PBB harus turun tangan atau kalau tidak, Papua lenyap. Kecuali Papua memisahkan diri dari Indonesia adalah pilihan dan jalan keluar terbaik untuk mengakhiri pembasmian etnis penduduk Papua.
Sebab untuk mengakhiri pembasmian etnis dan pengurasan harta kekayaan Papua oleh pencuri tidak ada jalan lain selain Papua harus memisahkan diri. Dan ini harus didukung internasional.
Bentuk campur tangan Internasional bukan suatu keharusan tapu mutlak diperlukan karena sangat urgen. Sebagai bentuk tanggungjawab moral bagi semua bangsa dunia, maka Intervensi Internasional adalah solusi mengakhiri pembasmian etnis Papua.
Semua ini bukan hanya tanggungjawab Indonesia dan Belanda tetapi internasional harus segera turun tangan untuk membantu menyelesaikan solusi secara menyeluruh. Soal Papua harus menjadi perhatian dan keprihatinan penting semua pihak disini. Jika tidak Papua dan penduduknya, etnis Papua hanya tinggal waktu, akhirnya Papua beserta seluruh isi alam dan manusianya hanya tinggal nama dan kenangan dalam sejarah buku pelajaran anak-anak SMU dunia.
Pemusnahan dan pembunuhan massal etnis Papua secara sistematis disengaja Indonesia ini harus diakhiri. Pemusnahan etnis Papua serta sumber daya alamnya harus dihentikan. Karena itu perlu menjadi perhatian Internasional terutama PBB. Dan peranan penting internasional untuk mengakhiri semua itu sangatlah dibutuhkan agar semua pihak segera turun tangan bagi masa depan penyelamatan Papua.
Penyebaran HIV/AIDS sangat cepat dan pengurasan kekayaan alam Papua sebagai suatu prestasi penjajah untuk melenyapkan bangsa Papua dari muka bumi sesungguhnya bukan hanya tanggungjawab Bangsa Papua saja akan tetapi merupakan tanggungjawab masyarakat dunia Internasional untuk mengakhirinya. Jika Anda tidak percaya silahkan dating ke Papua lihat sendiri proses apa yang sedang terjadi.
*** ***
*Ismail Asso; adalah Ketua Umum FKMPT dan Pembina WEWANAP, Tinggal di Jayapura.

WPNA Menilai Otonomi di Papua Gagal

Metrotvnews.com, Manokwari: Ratusan orang yang tergabung dalam West Papua National Authority (WPNA) berunjuk rasa menuntut Pemerintah Indoensia berdialog dengan rakyat Papua mengenai masa depan Negeri Cenderawasih itu.

Para pengunjuk rasa menilai Otonomi di Papua telah gagal. Tak hanya itu, mereka juga mendesak pengusutan dugaan pelanggaran HAM di Papua. Juga, pembebasan sejumlah tahanan politik.

Namun, tuntutan tersebut hanya ditanggapi dingin oleh Wakil Ketua DPRD Papua Barat, Robby Nauw. Ia menegaskan, Papua tidak akan pernah berpisah dari NKRI.

Unjuk rasa yang dijaga ketat Polres Manokwari itu berakhir kala Presiden WPNA, Terianus Yocku menyerahkan pernyataan politik kepada Robby Nauw. Akibat unjuk rasa tersebut, sejumlah ruas jalan di Kota Manokwari mengalami kemacetan.(ARD)

Headline News / Nusantara / Sabtu, 11 Juni 2011 02:26 WIB
http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2011/06/11/129951/WPNA-Menilai-Otonomi-di-Papua-Gagal

Selamatkan Manusia dan Hutan Papua

JUBI — Kampanye ‘Selamatkan Manusia dan Hutan Papua’ jelang hari Lingkungan Hidup sedunia (World Environment Day) 5 Juni 2011 agaknya relevan. Berbagai pihak yang peduli lingkungan di Papua serukan, agar hutan dan manusia Papua tidak punah.

Aktivis Forest Compaigner, Greenpeace SEA Indonesia, Richarth Charles Tawaru kepada Jubi mengatakan, pembangunan di Papua, semestinya mempertimbangkan aspek SDA (Sumber Daya Alam) dan kesejahteraan masyarakat adat.

“Pada prinsipnya kita tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan itu harus seimbang dengan pemanfaatan SDA. Hari lingkungan hidup ini kita merefleksikan untuk menyelamatkan lingkungan hidup, dan kesejahteraan masyarakat adat,” kata Charles di Jayapura, Papua. Jumat, 3 Juni 2011 siang.

Papua merupakan salah satu penyedia areal hutan yang masih dibutuhkan dunia selain hutan di Brazil, dan di Kongo. Namun di era Otonomi Khusus (Otsus) seiring perkembangan wilayah, pembangunan, program Merauke Intergrated Food and Energy Estate (MIFEE) dan pemekaran justru menjadikan hutan Papua kian dikeruk. Menurut Charles, sejak 2009, hutan Papua tersisa 42 juta hektar. Tahun 2010, sedikitnya tersisa 39 juta hektar dari jumlah areal hutan yang ada. Maka, perlu dijaga yang tersisa. Setidaknya, untuk memperluas pembangunan, dan program pemukinan warga, kata dia, pemerintah mesti menggunakan lahan kritis yang kini seluas sekitar 3 juta hektar, yang tersebar di Papua dan Papua Barat semisal Merauke dan Manokwari.

“Ini membutuhkan komitmen dari pemerintah Papua dan Papua Barat. Jangan lagi membuka hutan.” lanjutnya.

Lanjut dia, Isu REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation), yang difokuskan pada isu stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca (emisi) pada sektor industri. Di COP 13 Bali, yang diperkuat COP 15 di Kopenhagen tahun lalu mesti dipertimbangkan juga. Di Indonesia, Papua di bagian timur adalah provinsi yang paling siap untuk melaksanakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan ini. Ini dimungkinkan karena dari 42 juta hektar, hutan Papua ternyata bisa menyimpan lebih dari 400 ton karbon bagi kelangsungan hidup di bumi. Bagi Charles, REDD perlu ada mekanisme dan skema yang jelas agar bisa mensejahterakan masyarakat adat Papua.

“Pada pertengahan Mei lalu, presiden SBY resmikan moratorium hutan di Papua. Saya harap, ini serius, ada mekanisme dan skema yang jelas,” harap Charles Tawaru. (Timo Marten)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny