Kekerasan Suburkan Aspirasi ‘M’

Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua, Pdt. Elly Doirebo Sth MM, Pdt. Dr Benny Giay, Pdt. Socrates Sofyan Yoman ketika jumpa pers menyikapi situasi Papua terkini di Kantor Sinode KINGMI, Jalan Sam Ratulangi, Jayapura, Selasa (1/6).
Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua, Pdt. Elly Doirebo Sth MM, Pdt. Dr Benny Giay, Pdt. Socrates Sofyan Yoman ketika jumpa pers menyikapi situasi Papua terkini di Kantor Sinode KINGMI, Jalan Sam Ratulangi, Jayapura, Selasa (1/6).
JAYAPURA—Kekerasan yang terus dilakukan lembaga negara dilihat sebagai siasat untuk meradikalisasi atau membuat orang Papua makin radikal atau menyuburkan aspirasi Papua merdeka (baca: aspirasi M) di kalangan masyarakat Papua. Demikian antara lain disampaikan Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua masing masing, Pdt. Elly Doirebo Sth MM, Pdt. Dr Benny Giay, dan Pdt. Socrates Sofyan Yoman ketika jumpa pers menyikapi situasi Papua terkini antara lain spanduk Papua Tanah Damai yang dipanjang TNI/Polri di Kantor Sinode KINGMI, Jalan Sam Ratulangi, Jayapura, Selasa (1/6). Pdt. Dr Benny Giay mengatakan kekerasan terhadap rakyat sipil yang dilakukan lembaga keamanan negara baik TNI/Polri di Tanah Papua terjadi silih berganti. Sebuah masalah kekerasan belum selesai dituntaskan muncul lagi kekerasan yang lain. Bahkan semua kekerasan itu berada di luar kontrol Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua. “Ibarat kita memberikan cek kosong ke lembaga lembaga lain karena Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua belum pernah menindaklanjuti proyek itu dengan merumuskan Papua Tanah Damai seperti apa baik di bidang agama, politik, kebudayaan serta kemasyarakatan,” tukasnya.

Padahal, lanjutnya, ketika terjadi pertemuan dihadiri Uskup dan semua Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua serta DPR Papua ketika peluncuran Buku Misi Gereja dan Budaya Kekerasan di Tanah Papua di Aula STT tahun 2006 didalam acuan pihaknya telah merusmuskan suatu gagasan yang bagus untuk memberi ruang kepada para gembala, katakis, imam dan petugas gereja di tingkat komunitas untuk bicara tentang Papua Tanah Damai.

“Gagasan gagasan bagus ini kita tak pernah pegang dia, rumuskan dia, kita perjuangkan dia lewat lembaga gereja, perempuan dan pemuda mungkin terbatasnya sumber daya manusia di tingkat gereja,” katanya.

Pdt. Elly Doirebo Sth MM mengatakan pihaknya mempersoalkan statemen aparat keamanan Papua Tanah Damai karena tanah ini tetap damai dari masa lalu sampai kini. Pihaknya mengatakan kehidupan damai di Papua adalah orang Non Papua dapat hidup bersama masyarakat asli orang Papua dan saling menghargai sebagai manusia dan masing masing tahu kodratnya dia dimana berada dan bagaimana kepentingan orang asli sehingga jangan menimbulkan cekcok antara satu dengan yang lain.

Dia mengatakan, sebenarnya pihaknya ingin menciptakan Papua Tanah Damai. Ironisnya rasa keindonesiaan dia rasakan ketika berada diluar negeri.

Menurut dia, siapapun ingin bicara tentang Papua buka kaca mata Indonesia dan pakai kaca mata Otsus melihat Papua itu baru pas. Karena orang di Papua bertindak berdasarkan Otsus. Hidup dalam nuansa itu. “Ketika kami bergerak dalam nuansa itu orang lain lihat dalam kaca mata umum Indonesia tak pas dan kami selalu akan salah. Orang Papua suka suka terus dia angkat bendera Bintang Kejora. Itu jelas jelas dalam Otsus adalah lambang daerah. Tapi ketika dia lihat dengan kacamata Indonesia salah. Tapi kalau dia lihat dalam kacamata Otsus tak salah,” katanya.

Menurut Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua, pihaknya melihat lembaga keamanan negara menunjukkan tanda- tanda dan perhatian untuk mengangkat tema Papua Tanah Damai. Damai itu indah, Damai itu kasih dan lain lain belakangan ini. Tapi amat disayangkan tindakan tindakan yang dilakukan lembaga tersebut hanya berhenti diseputar wacana wacana indah di spanduk spanduk, di depan lembaga lembaga keamanan atau di jalan masuk pusat pemukiman dan perkantoran. “Dalam suasana Paskah ini kami mengajak umat untuk menyimak kekerasan berikut ini yang bertentangan dengan kata kata indah tentang perdamaian di spanduk spanduk tadi,”katanya. Mereka pun membuka rekaman kembali peristiwa yang terjadi, antara lain; 30 Mei –2 Juni Anggen Pugu/Tunaliwor Kiwo bersama Telengga Gire mengalami penyiksaan oleh Anggota TNI di Pos Kwanggok Nalime Kampung Yogorini Distrik Tingginambut.

Pada 15 September 2010 sekitar pukul 18.30 WIT Aparat Brimob dari Kompi C tanpa memberikan arahan dan peringatan melakukan penembakan terhadap dua orang korban sipil masing masing Naftali Kwan (50) dan Sapinus Kwan (40) serta Arfinika Kwan mengalami patah tulang punggung akibat terpelosok jatu ke jurang saat berlari menghindari aparat. Pencoretan nama nama anggota MRP terpilih almarhun Agus Alue Alua dan Ny Hana Hikoyabi awal April 2011. Penembakan terhadap 2 orang warga sipil di Dogiyai dan penyisiran terhadap masyarakat di sekitarnya dalam rangka melindungi Bandar togel Kapolsek kamu Martinus Marpaung.

Isu TNI—Polri akan melakukan latihan gabungan di Pegunungan Tengah. Penganiayaan dan pembunuhan terhadap Derek Adii di Nabire pada 14 Mei 2011. Penikaman terhadap Gerald Pangkali di depan Korem oleh 2 orang anggota TNI Waena 18 Mei (sekalipun itu sudah dibantah bukan ditikam). Penanganan terhadap kekerasan di Abepura yang berpihak kepada pelaku kekerasan bukan kepada korban pada 29 Mei lalu.

Kekerasan demikian dilakukan sambil menyibukan diri memasang spanduk tadi. Maka itu kami lihat antara, sebagai upaya upaya lembaga negara untuk memelihara budaya pembohongan publik yang sering dikemukakan pimpinan lintas agama di Jawa. Budaya bicara lain main lain terus dipelihara. Dengan semangat kebangkitan Kristus mari kita hentikan budaya “Pembohongan Publik” tadi . Kedua, kekerasan yang terus dilakukan oleh lembaga negara ini kami lihat sebagai siasat untuk meradikalisasi atau membuat orang Papua makin radikal atau menyuburkan aspirasi Papua merdeka di kalangan masyarakat Papua yang kemudian bisa mereka pakai sebagai alasan untuk menangkap atau membunuh orang Papua. Lembaga keamanan negara berperan sebagai penabur benih aspirasi Papua merdeka dengan pendekatan kekerasn yang terus menerus dan kemudian mereka sendiri tampil sebagai penimat apa yang telah mereka tabor. Mereka menuai benih benih kebencian yang ditanam karena ujung ujungnya melahirkan separatism yang kemudian menjadi surat izin untuk operasi keamanan yang sekaligus menjadi sarana untuk mempercepat kenaikan pangkat. Ketiga, kami melihat maraknya spanduk kasih itu damai dan lain lain atau kegiatan seperti KKR atau penyelengaraan Paskah Naional dan lain lain yang mendatangkan pembicara dari pusat hanya sebagai upaya berbagai pihak untiuk menyembunyikan wajah kekerasan negara yang telah ditunjukan diatas.

Pdt. Dr Benny Giay menandaskan, mata rantai kekerasan ini walaupun mungkin dilakukan tanpa sengaja tapi bagi orang Papua proses proses yang menyuburkan aspirasi Papua merdeka.
Ketika ditanya langkah langkah konkrit yang dilakukan Pimpinan Gereja Gereja diu Tanah Papua untuk mencega peristiwa peristiwa kekerasan, dia mengatakan, pihaknya melibatkan umat untuk membangun kesadaran. “Ini yang penting karena ini barang sudah diluar kontrol kita. Kami tak bisa kontrol lagi. Kita sudah tak bisa pegang kendali,” katanya.

Socrates melanjutkan, terkait hal ini Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua lebih mendengar suara umat. Pasalnya, kalau rakyat ingin dialog, maka pihaknya mendukungnya untuk menyelesaikan persoalan di Papua karena kekerasan tak akan menyelesaikan persoalan kekerasan. Kekerasan akan melahirkan kekerasan yang lebih keras lagi. Dia mengatakan, umat Tuhan di Tanah Papua berteriak dimana mana baik Papua maupun di luar Papua menyampaikan masalah Papua tak bisa diselesaikan dengan muncong senjata serta dengan mengkreasi kekerasan yang membuang energi. “Solusi yang bermartabat, manusia dan simpatik datang dialog antara rakyat Papua dengan pemerintah Indonesia selesaikan persoalan Papua.,” ungkapnya.

Menurut Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua prihatin menemukan diskriminasi yang luar biasa seperti peristiwa yang terjadi 29 Mei justru pihak korban, tapi pelaku kejahatan ini dibiarkan leluasa. Karena itu, lanjutnya, pihaknya menghimbau kepada aparat keamanan secara bijaksana menyikapi suatu persoalan itu. Dia mengatakan, secara nasional pemerintah Indonesia dan aparat keamanan sangat diskriminatif menyikapi masalah masalah yang terjadi di Papua seperti yang saya tegaskan tadi Negara Islam Indonesia (NII) sudah jelas jelas dikatakan makar kenapa itu tak diperlakukan dengan keras. Yogyakarta secara jelas jelas menentukan nasib sendiri kenapa orang orang itu ditangkap dan dipenjarakan.

“Ini jadi pertanyaan bagi kami. Kepentingan pemerintah Indonesia di Tanah Papua adalah kepentingan ekonomi dan politik serta keamanan. Kalau tiga kepentingan ini diganggu orang Papua terus jadi korban,” ungkapnya. Karena itu selama ini Gereja, katanya, rakyat Papua selalu menyampaikan mari kita duduk bicara atau dialog itu dimana mana. Semua rakyat Papua meminta itu. Kami harap kekerasan baik parsial atau sporadis kami minta dihentikan di Tanah Papua ini. Pihaknya mengimbau kepada lembaga negara khususnya TNI/Polri menjelang Paska Hari Kenaikan Kristus diharapkan Yesus membawa damai. “Jadi semua orang harus berpikir damai yang sesungguhnya bukan damai yang secara teori atau gantung spanduk dimana mana tapi tetap melakukan kekerasan,” tukasnya. (mdc/don)

Forkorus: Papua Dianeksasi ke NKRI

SENTANI-Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 1 Mei tahun 1963 Papua yang kalah itu dikenal dengan nama Provinsi Irian Barat resmi berintegrasi ke Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI) masuk dalam provinsi ke 26. Dan hal sejarah ini terus diperingati dari tahun ke tahun oleh setiap generasi anak bangsa, termasuk juga yang akan dilakukan pada Minggu 1 Mei besok.

Namun bagi Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut S.Pd sejarah tersebut harus diklarifikasi khususnya bagi anak bangsa Papua, karena masuknya Papua ke Indonesia bukan berintegrasi tetapi dianeksasi (penggabungan politik secara paksa) oleh Indonesia melalui operasi Trikora dengan penuh intimidasi. Oleh sebab itu Forkorus menegaskan jika bangsa Indonesia memperingati 1 Mei sebagai hari berintegrasinya Papua ke NKRI maka pihaknya dan masyarakat Papua memperingatinya sebagai hari Aneksasi Papua ke NKRI. “Bagi kami orang Papua 1 Mei itu bukan hari berintegrasi Papua ke NKRI tapi kami memperingatinya sebagainya dengan hari Aneksasi bangsa Papua oleh Indonesia pada tahun 1963,” ujar Forkorus.

Dan untuk memperingatinya Forkorus mengatakan mungkin tidak dilakukan seremonial yang muluk-muluk tetapi Forkorus menghimbau kepada semua ‘bangsa Papua’ untuk bisa mengheningkan cipta sejenak sambil berdoa kepada Tuhan terhadap nasib dan perjuangan Bangsa Papua selanjutnya untuk menuntut hak-hak politiknya agar diluruskan kembali sebagai sebuah bangsa yang bebas untuk menentukan nasibnya sendiri.

“Tidak ada seremonial peringatan HUT Aneksasi yang muluk-muluk tapi saya himbau kepada semua bangsa Papua untuk merenung sebentar dan berdoa kepada Tuhan memohon campur tangannya guna eksistensi perjuangan bangsa Papua, untuk mengembalikan hak-hak Politinya,” ujar Forkorus.

Disinggung terkait sepak terjang DAP terkait perjuangan hak-hak Politik bangsa Papua Forkorus mengatakan bahwa perjuangan tetap berjalan dan saat ini sedang dilakukan gerakan-gerakan diluar Negeri oleh National Parlemen West Papau dan Internationa Parlemen West Papua, yang direncanakan bakal ada sebuah agenda penting yang akan dilakukan oleh kedua organsiasi perjuangan bangsa Papua itu di luar Negeri. (jim/don)

Jumat, 29 April 2011 16:20

,

Dalam Merespon Kekerasan dan Kasus HAM di Papua

Johanis H Maturbongs,SH (Koordinator Kontras Papua), Peneas Lokbere (Koordinator BUK) dan Olga Hamadi,SH,M.Sc (Kontras Papua) saat menggelar jumpa pers Rabu (22/12) (foto:jaenuri/binpa)Jayapura – Praktek penegakan HAM di Indonesia dan secara khusus di Papua, menurut Kontras Papua dan BUK (Bersatu Untuk Kebenaran), belum dikelola secara baik. Diakui, meski sudah ada regulasi yang menjamin HAM, diskriminasi dan keberpihakan secara negatif oleh aparat hukum dan pemerintah masih banyak terjadi. Hal itu diungkapkan saat Jumpa Pers di Kantor Kontras Papua Rabu (22/12) yang mengungkap catatan kasus-kasus HAM di Papua Tahun 2010. Johanis H Maturbongs,SH (Koordinator Kontras Papua), bersama Peneas Lokbere (Koordinator BUK), dan Olga Hamadi,SH,M.Sc (Kontras Papua) secara bergantian mengungkapkan bahwa kegagalan negara dalam merespon kekerasan di Papua Tahun 2010, dinilainya belum terciptanya rasa aman bagi masyarakat Papua. “Karena masih banyak praktek-praktek kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban, baik di pihak masyarakat sipil, tapi juga di pihak aparat kemanan,” ungkapnya.

Dikatakan, kekerasan yang terjadi di Papua secara garis besar dibagi atas tiga macam. Yaitu, kekerasan horisontal, seperti kasus perang suku di Kwamki Lama, bentrok masa di nafri dan terkahirt di Yoka, Waena. Berikutnya adalah kekerasan struktural yang melibatkan aparat keamanan sebagai pelaku kekerasan.”Masih membekas diingatan kita peristiwa penembakan Yawan Yaweni di Serui, dan berbagai kekerasan, termasuk yang terungkap lewat youtube,” ungkapnya. Berikutnya adalah kekerasan oleh kelompok misterius. Seperti yang terakhir terjadi di kampung Nafri dan pelemparan bom molotov terhadap salah satu rumah milik anggota TNI. Berbagai kekerasan baik oleh masyarakat sipil maupun oleh aparat kemanan (TNI/Polri) sebagai pelaku yang juga menjadikan masyarakat sipil mapun aparat sebagai korban, diungkapkan dalam jumpa pers tersebut yang dianggap penting sebagai ukuran penegakan HAM di Papua.

Termasuk pelarian napi di lapas Abepura yang dianggapnya sebagai satu kejadian luar biasa, maraknya akasus-kasus berdimensi politik, serta lemahnya institusi negara dalam penegakan HAM yang berakibat pada belum terpenuhinya perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM di Papua.

Berbagai catatan problem penegakan hukum dan HAM tersebut amat krusial untuk diselesaikan pemerintah pusat maupun pemerintah Provinsi Papua. “Hal ini membutuhkan keberanian untuk menghadirkan terobosan-terobosan penting khususnya komitmen pemerintah pada isu-isu penegakan HAM,” ungkapnya. Pada pokoknya, guna menyelesaikan kasus-kasus yang terkait HAM maupun penegakan hukum yang terutama kasus makar yang kian marak, menurut Kontras dan BUK, pemerintah Provinsi Papua perlu memperkuat perwakilan Komnas HAM dan mengimplementasikan isi dari UU Otsus.

“Terutama terkait Bab XII tentang HAM, yaitu pasal 45 dan pasal 46,” jelasnya.

Dikatakan, semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah Provinsi, DPRP, MRP, Perwakilan Komnas HAM papua, TNI, Polri, Depkumham, LSM HAM, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh Agama, penting untuk berpartisipasi aktif dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM di Papua.

“Polda dalam hal ini harus punya tanggung jawab besar guna menjamin rasa aman bagi warga dari tindak kekerasan. Khususnya perlu diperkuat intelijen guna mengungkap misteri pelaku kekerasan yang banyak terjadi namun tidak diketahui siapa pelakunya,” harapnya. Ketidakadilan dalam penegakan hukum, juga menjadi catatan penting Kontras Papua. “Tindak kekerasan oleh aparat TNI maupun Polri juga banyak yang terkesan ditutup-tutupi. Seperti penembakan terhadap Miron Wetipo yang belum diketahui apakah ada proses hukum terhadap aparat yang menembaknya,” ungkapnya.

Proses hukum terhadap aparat yang melakukan kekerasan terhadap masayarakat sipil tersebut, menurutnya sangat penting guna menambah kepercayaan masyarakat terhadap aparat kemanan dalam menjamin rasa aman bagi warga masyarakat, khususnya orang asli Papua.(aj/03)

Rabu, 22 Desember 2010 15:55

Peradilan Militer Berikan Putusan Ringan

JUBI — Pro dan kontra terhadap pengadilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM termasuk kekerasan di Papua biasanya memberikan putusan ringan dan para pelaku bisa diberi label pahlawan.“Kami sudah prediksi mereka akan diberi hukuman yang ringan. Persidangan ini sama dengan sidang militer kasus pembunuhan tokoh Papua, Theys Hiyo Eluay. Kami tidak kaget dengan putusan ringan itu karena para terdakwa akan jadi pahlawan,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Papua di Jayapura, Matius Murib kepada JUBI, pekan lalu.

Lebih lanjut urai Murib, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua di Jayapura, empat terdakwa yang terlibat dalam kasus video penganiayaan dan kekerasan terhadap warga di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, akan naik pangkat dan jadi pahlawan setelah disidang dan menjalani hukuman. Murib berani mengatakan karena sesuai dengan pengalaman terdahulu, para pelaku pembunuhan terhadap Almarhum Theys Eluay sejak itu diberi hukuman ringan. Seusai menajalani hukuman pangkatnya dinaikan.

Empat terdakwa yang melakukan penganiayaan dan kekerasan terhadap warga di Tingginambut juga akan mengalami hal yang sama yakni naik pangkat setelah menjalani hukuman. Bagi dia, pihak TNI menilai kasus tersebut tidak melanggar Hak Asasi Manusia dan sama sekali tak ada hubungannya. “Mereka menilai masalah ini bukan kasus pelanggaran HAM tetapi merupakan masalah internal TNI yakni tak menjalankan perintah yang diturunkan oleh pucuk pimpinan. Padahal jelas-jelas sudah melanggar HAM.”

Lanjut Murib, pihaknya tak bisa berbuat banyak karena wilayah tersebut bukan merupakan wilayah hukum Komnas HAM Papua. “Kita tidak bisa ngotot dan tuntut banyak karena bukan wilayah hukum kita.” Dia mengatakan, pihak TNI menjatuhkan hukuman ringan karena mereka menilai Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) adalah kelompok pemberontak dan melawan negara. Kelompok tesebut yang dianiaya dan siksa sehingga dianggap sebagai hal yang biasa. “Bagi perspektif mereka hal ini wajar dilakukan karena mereka lawan negara,” ujar Murib.

Hal yang senada pula disampaikan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan Forum Kerja LSM Papua (Foker LSM Papua) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dalam siaran persnya, belum lama ini di Jayapura. KontraS, Foker LSM Papua dan AMP juga menyatakan keraguan atas proses penyidikan yang dilakukan oleh TNI dalam kasus tersebut. “Kami meragukan proses penyidikan kasus ini bisa akuntabel karena tidak dilakukan melalui proses penyelidikan dan penyidikan yang independen dan terbuka. Keempat tersangka pelaku penyiksaan hanya diproses melalui mekanisme peradilan Militer (sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer). Mekanisme ini sangat tidak tepat secara hukum maupun secara kontekstual.” jelas mereka. Menurut mereka, secara hukum, kekerasan yang terjadi di dalam video Youtube jelas merupakan tindakan introgasi yang menggunakan kekerasan (Baca: Penyiksaan). Penyiksaan masuk dalam kategori pelanggaran berat HAM sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penyiksaan dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dimana pada Pasal 9 disebutkan bahwa penyiksaan merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Secara konteks, upaya UU peradilan militer tidak bisa diberlakukan mengingat memiliki sejumlah kelemahan; pertama, penyiksaan tidak diakomodir pengaturannya dalam KUHPM (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer). Kedua, UU Permil sangat dominan dintervensi oleh Panglima TNI. Dengan kata lain tidak ada independensi hakim dan aparat hukumnya. Ketiga, Mekanisme Permil tidak memberikan ruang pemantauan dan keterlibatan masyarakat dan korban secara baik (unfair). Kami khawatir jika mekanisme Permil yang dikedepankan maka hanya akan menghukum aparat-aparat lapangan belaka. Tidak ada pertanggung jawaban komando atas peristiwa-peristiwa kekerasan di Papua dan tidak bisa mengkoreksi kebijakan pengamanan yang berimplikasi buruk pada situasi di Papua. “Lebih jauh proses ini dilakukan disaat dan pada kondisi dimana pengamanan oleh TNI dan Polri tetap diberlakukan secara ketat sehingga ruang gerak masyarakat sipil di Papua sangat minim.” papar Haris dari KontraS.

Dalam catatan hasil pemantauan KontraS yang juga disebutkan dalam laporan Komnas HAM bahwa peristiwa penyiksaan terhadap warga di Tingginambut, Papua merupakan peristiwa berulang dengan metode penyiksaan yang sama. Sebelumnya, seorang aktivis Yawan Manase Wayeni dibunuh setelah mengalami penyiksaan pada Tanggal 13 Agustus 2009 di Serui, dan Pembunuhan Opinus Tabuni pada peringatan hari pribumi internasional, 9 Agustus 2008 di Wamena. Kasus-kasus tersebut merupakan bagian kecil dari daftar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua dan tidak melalui proses pengungkapan yang berkeadilan bagi korban dan keluarganya. Oleh karenanya KontraS, Foker LSM Papua dan AMP, meski mengapresiasi instruksi penyelesaian kasus yang telah dikeluarkan oleh presiden, mereka tetap meminta agar Presiden SBY hendaknya mengubah kebijakan dasar penyelesaian masalah Papua melalui dialog konstruktif yang mengedepankan pembangunan kesejahteraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi Warga Papua. Mereka juga meminta agar Presiden memastikan, kebijakan dengan pendekatan keamanan harus segera dikurangi. Secara khusus terkait kasus video Youtube, termasuk meminta Komnas HAM membentuk Tim Penyelidik Pelanggaran HAM di Papua terutama atas peristiwa di Tingginambut dan Serui dan membawa kedua kasus ini ke Pengadilan HAM.

KontraS, Foker LSM Papua dan AMP juga khawatir, perintah pesiden untuk mengungkap peristiwa ini hanya sebagai tindakan parsial menjelang kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dan Perdana Menteri Australia, Julia Gillard. Kedua negara ini memiliki peranan cukup penting dalam proses reformasi sektor keamanan di Indonesia. Dukungan kedua negara ini selalu menyaratkan penyelesaian kasus-kasus pelanggran HAM yang dilakukan oleh aktor keamanan di Indonesia. Tindakan yang sama pun dilakukan oleh polisi, Senin (8/11). Saat itu Warga Asli Papua yang tergabung dalam Solidaritas Nasional Bangsa Papua Untuk Obama (SONABPO) mengadakan aksi damai untuk mengenang pencaplokan Papua ke Indonesia oleh Peremerintah Amerika, Belanda, dan Indonesia, namun naas bagi kelompok ini karena polisi menangkap secara paksa koordinator lapangan, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (Eksnas Front PEPERA PB), Selpius Bobii dan dua orang lainnya, sesungguhnya adalah tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip dasar demokrasi yang berlaku di Indonesia. “Siapa yang salah, kami atau polisi? surat pemberitahuan sejak tiga hari yang lalu sudah disampaikan, sedangkan pemberitahuan dari Polda Papua yang menyatakan tidak diijinkan melakukan aksi baru tadi malam Pukul 00.00 kami dapat,” ujar Juru Bicara SONABPO, Usama Yogobi, kepada wartawan di Polresta Jayapura, pekan lalu. Menurutnya tindakan sepihak polisi tersebut merupakan cerminan bahwa demokrasi di Indonesia telah dimatikan oleh polisi.

KontraS mencatat, sepanjang Tahun 2009/2010 di Papua praktek kekerasan meningkat. Serangan yang dialami kelompok-kelompok pembela HAM merupakan bentuk paling nyata. Serangan bisa hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari ancaman dan teror kekerasan, mengikuti setiap gerak-gerik aktivitas pembela HAM, pembatasan akses informasi dan pemantauan kondisi HAM di lapangan, praktik penyiksaan sistematis, hingga tindak kekerasan yang berujung pada tewasnya pembela HAM. Kekerasan yang terjadi berlangsung di tengah meningkatnya operasi keamanan yang digelar oleh TNI dan Polri untuk mencari Anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang makin sering terlibat kontak senjata.Terungkapnya kasus penyiksaan terhadap korban warga sipil, bukan anggota kelompok OPM seperti perkiraan sebelumnya, memberi stigma negatif di tengah peringatan 12 tahun Reformasi dalam tubuh TNI. Dalam catatan satu dekade reformasi TNI pada dua tahun silam, organisasi pembela HAM menyebut bahkan menyebut TNI belum bisa melepaskan diri dari paradigma lama dan cenderung tetap melakukan kekerasan yang melekat berurat berakar. Kekerasan oleh tentara memang menjadi problem politik besar pada masa Orde Baru. Kultur kekerasan telah dikembangkan militer dalam upaya menyokong Pemerintahan Soeharto. Motifnya sangat beragam, mulai dari kekerasan sebagai alat represi politik, kekerasan sebagai pengaman bagi praktik bisnis militer, kekerasan sebagai alat monopoli ideologi tunggal kekuasaan, atau kekerasan sebagai alat untuk mendisiplinkan publik atas nama pembangunan, serta kepentingan-kepentingan lain yang kerap bertumpang tindih.

Dalam catatan organisasi pembela HAM, kultur kekerasan ini masih terus melekat pada TNI pasca Orde Baru. TNI hampir terlibat di setiap konflik dan kekerasan (oknum atau institusi). Padahal, pada rumusan Buku Putih Pertahanan, kekerasan seharusnya diletakkan sebagai bagian dari tugas penegakan hukum Polri, termasuk tindakan tegas terhadap personil TNI yang melakukan tindak kekerasan. Rakyat Papua kerap mengalami tindak penyiksaan dan kekerasan oleh TNI. Beruntung memang jika ada berita atau tayangan kekerasan yang terekspos luas seperti kasus Youtube tadi. Ibarat gunung es, kasus yang terekspos hanyalah sedikit dari yang sebenarnya ada di bawah permukaan. Sebuah situs beralamat di http://wartapapuabarat.org, misalnya, banyak memberitakan kisah kekerasan yang jarang terungkap. Laman itu misalnya memaparkan kisah bahwa sejak Bulan Maret lalu hidup masyarakat di Kabupaten Puncak Jaya semakin mencekam, mereka tak punya kebebasan beraktifitas guna memenuhi kebutuhan hidupnya dan wajib lapor dan periksa KTP di pos militer. Perkembangan sosial media dengan berbagai produknya–blog, youtube, facebook dan aneka produk jurnalisme warga membuat apa yang selama ini tertutupi menjadi mudah tersebar kepada khalayak. Meski berita di situs Papua Barat ini belum terverifikasi, setidaknya kita mendapat peringatan, bahwa di sudut lain negara ini, ketidakadilan dan perlakuan semena-mena masih saja terjadi. Pengungkapan peristiwa kekerasan yang sempat beredar luas lewat situs “youtube.com” harusnya dilakukan oleh tim independen yang dibentuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan pelaku nantinya harus diadili di pengadilan Hak Asasi Manusia. (JUBI/Marten/Dari berbagai sumber)

TNI Dalam Bidikan NGO’s HAM Asing

JUBI – Baju loreng membaluti tubuh, tangan kanan berada pada kokang Senjata SS-1. Suara keras membahana, “Di sini saya sedang melaksanakan tugas negara!!” bentak Letda Dua Infantri Kosmos. Melihat sang komandan yang kian berwajah garang, anak buahnya pun ikut main tangan besi. Salah satu korban yang berbicara dalam dialek Lani, diketahui bernama Kiwo, pakaiannya dilucuti.

Interogator lalu meminta data soal senjata milik kelompok-kelompok separatis. Kiwo mengaku tidak tahu apa-apa tentang senjata karena dia hanya penduduk biasa di Tingginambut. Setelah beberapa menit proses interogasi berjalan, para pelaku kekerasan membakar kemaluan Kiwo dan dipukul dengan helm perang. Sementara pria baju loreng lainnya menendangi warga bertubi-tubi.

Itulah sebagian ‘adegan’ yang dilakukan Letnan Dua Infantri Kosmos, Praka Syahmin Lubis, Prada Joko Sulistyono dan Prada Dwi Purwanto, Anggota TNI dari Kesatuan Pam Rawan Yonif 753 Arga Vira Tama/Nabire Kodan XVII Cendrawasih yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat di wilayah Tinggi Nambut, Papua.

Sejak video tak terpuji ini beredar luas, memancing berbagai kotroversi. Awalnya, kalangan TNI menyangkal bahwa bukan personil tentara yang melakukan kekerasan dalam video itu. Namun, setelah diselidiki, toh, akhirnya terungkap juga. Keempat tentara rakyat itu dibawa ke Pengadilan Militer III-19 Kodam XVII Cenderawasih. Pengadilan militer hanya menghukum tujuh bulan penjara untuk Kosmos, sang komandan, sedangkan tiga anak buanya masing-masing lima bulan penjara dengan dalil tidak berbuat baik dengan masyarakat.

Dalam catatan Asian Human Rights Watch (AHRC), kekerasan yang dilakukan militer di Papua tak hanya satu video itu karena masih banyak tidak terekspos. “Ini hanya satu dari banyak kasus penyiksaan oleh militer di Papua yang dilaporkan pada kami,” tulis Direktur Eksekutif AHRC, Wong Kai Shing dalam siaran persnya di situs AHRC bertanggal 17 Oktober 2010.

Sedangkan menurut Direktris Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) Latifah Anum Siregar, video kekerasan itu sesuatu yang biasa-biasa saja. Menurut Latifah, kenyataan itu kerap ditemui di Papua dan bahkan lebih buruk.

Menurutnya, kekerasan seperti itu bisa terjadi akibat kesalahan mendasar yang dimiliki pemerintah dan aparat Indonesia yang selalu menganggap Orang Papua separatis atau paling tidak pendukung gerakan makar sehingga meletakan Orang Papua di posisi musuh.

Dari dulu kampung-kampung di Papua diberi stigma pendukung, penyedia senjata atau logistik dan tempat persinggahan separatis. “Akibatnya, penyiksaan tidak hanya dialami kelompok separatis tetapi juga orang-orang kampung. Begitulah yang terjadi sekian lama,” ungkap Latifah. “Jika mengakui Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah harus melakukan pendekatan kemanusiaan dengan pemahaman konteks lokal dan karakteristik Orang Papua, bukannya menebar teror.”

Tak hanya AHRC dan ALDP, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut video kekerasan itu hanya bagian kecil dari bangunan kekerasan di Papua. Karena, sebelum video penyiksaan itu beredar, Komnas HAM menerima laporan dugaan kekerasan tentang penemuan potongan kepala yang terpisah dari badan, pengusiran masyarakat yang menciptakan gelombang pengungsian serta penyiksaan terhadap Pdt. Kindeman Gire dan Pitinius Kagoya pada 17 Maret 2010. Bahkan, di mana keberadaan Pdt. Kindeman Gire belum diketahui.

Catatan kekerasan yang dilakukan militer di Papua, setidaknya bukan hanya pada kasus penyiksaan di Tinggi Nambut semata. Pada kasus kekerasan 2002 silam, jurnalis Andreas Harsono dan Eben Kirksey, seorang antropolog dari Universitas California pernah membongkar fakta secara detail penyerangan dan kekerasan 31 Agustus 2002 di Timika.

Dalam laporan itu yang dimuat di jurnal South East Asia Research itu bertajuk, ‘Criminal Collaborations? Antonius Wamang and the Indonesian Military in Timika.’ terungkap pula bahwa saat terjadi penyerangan terhadap dua guru warga negara Amerika Serikat (AS) dan seorang warga negara Indonesia. Anggota TNI berada di tempat kejadian perkara bersama dengan kelompok Antonius Wamang. Namun dalam pemeriksaan, tak semua anggota diperiksa. Mereka juga menulis sejumlah cerita mengenai transaksi senjata kepada Wamang yang difasilitasi oleh Anggota TNI. Laporan jurnalisitik ini kemudian direspon oleh Condoleezza Rice, menteri luar negeri Amerika Serikat saat itu. Alhasil, tujuh Warga Papua tersebut dihukum antara lima tahun hingga seumur hidup.

Dalam laporan ini, mengungkapkan pula, misalnya, kedua pemerintah ingin International Military Education and Training (IMET), Counter Terorrism Fellowship Program (CTFP), dan Foreign Military Finance (FMF) segera dibuka lagi. Kerjasama-kerjasama ini mengucurkan jumlah dollar yang cukup besar. Bahkan Indonesia adalah penerima bantuan program anti terorisme terbesar di dunia, lebih tinggi dari Yordania dan Pakistan.

Data Pentagon menyebutkan Indonesia menerima dana sebesar US$6,2 juta, sejak 2002-2005. Pada Tahun 2007, AS memberikan juga bantuan US$18,4 juta. Selang beberapa jam setelah Wamang diputus hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pentagon menyebutkan “era baru” kerja militer kedua negara dimulai.

Namun sayangnya setelah 6 tahun lebih, ternyata laporan tentang pembuktian teka-teki kekerasan di Papua seakan lenyap begitu saja. Radio Australia yang pernah memberitakan laporan itu pada Tahun 2002 terkait tentara dan orang-orang yang berkaitan dengan TNI memanipulasi dan membantu mempersenjatai anggota separatis Papua, Antonius Wamang pun dilupakan. Wamang sendiri dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada Tahun 2006 dengan tuduhan memimpin serangan. Laporan itu juga menyebutkan, oknum-oknum TNI menyulut kekerasan untuk meyakinkan Freeport agar terus membayar jutaan dollar setiap tahunnya kepada militer untuk menjaga operasinya.

Soal keterlibatan asing dalam pemantauan kasus HAM di Papua, setidaknya membuat kuping Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ‘memerah’. Menanggapi kasus penganiayaan warga sipil di Tinggi Nambut, Presiden SBY menyatakan Indonesia mempunyai perangkat dan mekanisme untuk mengusut kasus dugaan pelanggaraan HAM. Negara asing dan LSM asing, kata Presiden, tidak perlu menekan Indonesia untuk menegakkan keadilan terhadap setiap kasus yang ada. “Kita mempunyai pengadilan militer untuk menegakkan disiplin dan keadilan. Kita akan melaksanakan kewajiban kita, tidak perlu ada tekanan-tekanan dari negara atau NGO mana pun,” kata Presiden SBY. Presiden menegaskan, keberadaan prajurit TNI di Papua adalah sah dan untuk menjalankan tugas menjaga kedaulatan negara terkait gerakan separatism tetapi insiden tindak kekerasan, bukanlah bagian dari kebijakan negara.

Dalam memetahkan persolan di Papua, Peneliti Politik LIPI, Muridan Satrio Widjojo, menilai, Papua tetap berada dalam situasi konflik. LIPI secara khusus telah melakukan penelitian selama tiga tahun dengan isu-isu konflik dan resolusi konflik Papua. Salah satu aspek yang dilihat adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). “Sandi Merah” atau peringatan bahaya terhadap Papua, menjadi tolok ukur perlunya penghapusan tindakan represif tentara maupun polisi terhadap masyarakat sipil. Jika tidak, warga tetap selalu menjadi korban. Tindakan represif bukan sebuah jalan untuk menuju perdamaian di Papua. (JUBI/Musa dan Timo Marten)

Kasus HAM, Akibat Penegakan Hukum ‘KJ’

P. John Djonga Pr
P. John Djonga Pr

JAYAPURA—Masalah pelanggaran HAM khususnya di Papua disebabkan penegakan hukum tak jelas atau tak berjalan. Pasalnya, bila penegakan hukum berjalan dan para pelaku kekerasan dapat diadili dengan hukum yang berlaku maka hal ini akan membuat para pelaku akan jera untuk melakukan tindakan melawan hukum.

Hal ini disampaikan P. John Djonga Pr, seorang biarawan Katolik ketika dihubungi Bintang Papua di Jayapura, Jumat (29/10) kemarin. Menurutnya, pihaknya melihat konflik dan perbagai macam peristiwa dan kasus- kasus kekerasan, penyiksaan serta pelanggaran HAM di Papua ini juga berawal dari baik pemimpin TNI/Polri maupun pemimpin pemerintahan tak berpihak kepada keadilan.

“Semua peristiwa itu bisa terjadi juga karena selain ketidakadilan, ketidakseimbangan itu juga adalah persoalan persoalan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada pada masyarakat maupun aparatur pemerintahan maupun TNI/Polri,” tukas pemenang penghargaan Yap Thiem Hiem tahun 2009 di bidang perjuangan HAM.

Menurut dia, semua contoh kesalahan kesalahan baik yang dilakukan TNI/Polri maupun pemerintahan yang tak demokratis dan tak berpihak kepada masyarakat Papua apabila dibiarkan dan terjadi terus menerus, dan ketika terjadi terus menerus dan hukum tak jalan akibatnya masyarakat juga akan jalan dengan cara mereka sendiri sehingga perlu segera dilakukan reformasi hukum dan reformasi militer.

Artinya, kata dia, dengan beredarnya video kekerasan dan penyiksaan ini suatu tanda bahwa. Pertama, pelanggaran yang dilakukan TNI/Polri di Tanah Papua belum pernah jerah dan belum ada sanksi hukum yang tegas kepada para pelakunya. Kedua, dengan munculnya video kekerasan dan penyiksaan ini suatu tanda bahwa apapun dimana saja di Papua itu di tempat yang paling tersembunyi dapat terekam kasus kasus kekerasan.

“Jadi peristiwa di Tingginambut itu ada kekerasan seperti itu salah satu contoh kecil yang terjadi di Tanah Papua seperti ada banyak di tempat lain misalnya kekerasan sosial, ekonomi, budaya, moral, seks dan lain lain banyak terjadi pada masyarakat Papua,” katanya.

Sumber konflik dan lain sebagainya ketika rakyat menuntut hak haknya lalu pengamanannya dan penyelesainnya dengan mengirim TNI/Polri, menurutnya, ini tak sesuai dan tak benar artinya persoalan politik harus diselesaikan secara politik. Sebaliknya persolan ekonomi dan kejahteraan harus diselesaikan secara ekonomi dan lain lain.

Tapi yang terjadi kan tidak. Ini kan semuan jawaban persoalan di Papua ini dengan cara pendekatan keamanan militer. Padahal dimana pemimpin militer, panglima dan Presiden bahwa Papua sekarang ini cara pendekatan kesejahteraan dan pendekatan kemanusiaan dan bukan kekerasan dan penyiksaan terjadap warga sipil dan dilakukan dengan bangga oleh intitusi militer.
Dia mengatakan, pihaknya melihat kontrol dan komunikasi dari seorang pimpinan terhadap bawahannya sangat rendah dan buruk karena itu mungkin juga dari komandan ke komandan hanya mendapat laporan laporan yang bagus dari bawahannya. Hal ini adalah suaty pelajaran bagi TNI/Polri bahwa laporan laporan yang bagus dari komandan lapangan dari Kodim dari Batalyon dari Dan Yon yang ada di lapangan lapangan jangan percaya 100%.

Menurut dia, laporan laporan ternyata penuh dengan tipu muslihat. Penipuan terhadap komandan sehingga orang orang seperti itu harus segera diambil tindakan tegas karena telah mencoreng institusi TNI/Polri, yang berngkutan telah melakukan pelanggaran HAM dan penyiksaan.
“Dari komandan Kotis lapor ke Dandim. Dari dari Dandim lapor ke Korem. Dari Korem lapor ke Kodam. Dari Kodam lapor ke Pangdam. Dari Pangdam lapor ke Panglima ternyata ini beredar kekerasan yang dilakukan oleh militer,” ujarnya.

“Ini kan sungguh sungguh memalukan kita dan saya hanya mau katakan kepada semua pihak bahwa peristiwa apapun yang terjadi di pedalaman Tanah Papua ini ternyata tak ada lagi yang tersembunyi bisa direkam oleh semua warga dan ini menurut saya suatu hal yang harus diperhatikan pihak militer,” ungkapnya. (mdc)

Memikirkan Perwakilan Komnas HAM Papua

 Written by Muridan S. Widjojo    Pada awal Januari 2008, saya diberitahu oleh Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh bahwa saya dan Kawan Amiruddin dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Jakarta diminta membantu di dalam Tim Evaluasi dan Tim Seleksi Anggota Perwakilan Komnas Ham Papua 2008-2011. Berdasarkan permintaan itu saya mulai mempelajari keadaan perwakilan dan […]

Aku manusia hina ini memohon kepadamu, jangan kau pisahkan persaudaraan kita ini, di tanah air tercinta kita ini indonesia

Comment: wahai sodaraku,,
aku tau,,
banyak kesalahan bangsa indonesia terhadap masyarakat papua.

dan aku sodara mu 1 orang manusia dari tanah sunda yang menyakiti kalian, karena belum bisa melakukan yang terbaik untuk kesejahteraan yang adil dan merata di seluruh tanah air tercinta kita indonesia.

kalian wajib membenciku, karena aku sangat membenci diriku, atas semua kesalahanku terhadapmu wahai sodara sodara ku.
1.) tuntut dengan sangat keras dan bila perlu paksa pemimpin dan tokoh2 indonesia agar adil seadil adilnya untuk ksejahteraan kita semua

2.) munculkan lah 1 tokoh asli putra daerah papua yang bijaksana untuk menjadi pemimpin tertinggi di indonesia,

aku sangat setuju. tapi wahai sodaraku,,

aku manusia hina ini memohon kepadamu, jangan kau pisahkan persaudaraan kita ini, di tanah air tercinta kita ini indonesia.

kami putra putri indonesia.
berbangsa satu bangsa indonesia.
berbahasa satu bahasa indonesia.
bertanah air satu, tanah air indonesia.
ini semua sangat tulus, keluar dari lubuk hati ku yang sangat dalam.

aku gila,

seluruh sendi sendi jiwa raga ku menangis seperti guntur,

merdeka.

BALASAN Chief Editor SPMNews:

Saudara Wirata Aria yang kami hormati sebagai sesama manusia, sependeritaan dan sepengalaman di dalam pangkuan Ibutiri Pertiwi,

Pertama-tama, kami menyampaikan dengan tulus dan ikhlas bahwa komentar Anda sangat menyentuh dan membuat air mata jatuh sendiri. Itu benar, kejadian sesungguhnya. Tetapi titik berangkat ‘perasaan’ kami tentu tidak sama, malahan bertolak-belakang. Memang sebuah pertemuan tidaklah berarti apa-apa, hanya menjadi berarti pada saat perpisahan. Kami perlu pastikan, bahwa perjuangan dan kemerdekaan West Papua bukan dan tidak akan memisahkan hubungan dan persaudaraan itu. Masyarakat, manusia dengan segala hubungan timbal-balinya tidak dipisahkan, yang dipisahkan hanyalah ibukota Jakarta menjadi ibukota Port Numbay, dan seterusnya. Pulau New Guinea dan pulau2 nusantara tidak berubah, yang berubah hanyalah status hukumnya.

Dengan tulus ikhlas, kami hendak menyampaikan beberapa hal menyangkut KEBENARAN, yang menjadi semboyan pemberitaan di PMNews:

1. Bahwa perjuangan Papua Merdeka sesungguhnya tidak didasari atas kebencian terhadap orang non-Papua siapapun, tidak berdasarkan agma juga, karena kami semua manusia biasa, punya kelemahan dan kelebihan, punya kesalahan dan kebaikan;
2. Bahwa kami semua umat beragama, dan bermoral, berhatinurani sebaga manusia, di mana agama mengajarkan kita tidak menipu, tidak membunuh, tidak berzinah, dan tidak … lainnya. Dalam hubungan Bumi Ibutiri Pertiwi dengan anaktiri Bumi Cenderawasih, hampir semua ajaran moral keagamaan ini dilanggar, dan terlebih lagi dilanggar dengan sadar dan sengaja lalu dibiarkan dan dibenarkan sekian lamanya.
3. Pelanggaran2 itu ada yang ringan, ada yang berat, artinya ada yang bisa dimaklumi sebagai kekuarangan atau kekhilafan yang bisa diperbaiki dan ada KEBENARAN MUTLAK yang bukan terjadi karena kekhilafan. Nah, salah satu dari KEBENARAN MUTLAK itu ialah “Manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 di Irian Barat’. Semua orang Indonesia tahu bahwa Pepera itu penuh dengan cacat moral, cacat hukum Allah dan hukum alam serta hukum HAM dan demokrasi, tetapi pada waktu yang sama dikleim sebagai sesuatu yang benar dan sah. Dan ditambah lagi, manusia Papua yang memprotes PENIPUAN itu selalu dicap OPM, gerombolan, GPK, GPL, pengacau, separatis, teroris, dan seterusnya dan sebagainya.
4. Memang pada tingkatan sebagai sesama manusia, sependeritaan dan sepengalaman dalam sejarah politik, kami tidak memisahkan diri untuk selamanya membelakangi Indonesia. Terbukti Timor Leste-pun tidak melakukan begitu. Sejelek apapun, tetangga adalah tetangga. Itu tidak berarti selalu bersedia dianaktirikan, dan lebih-lebih tidak berarti membiarkan penipuan itu berlanjut dan menganggapnya sebagai sebuah kesalahan sejarah. Kesalahan sejarah yang biasa dapat dibiarkan untuk diperbaiki, tetapi kesalahan sejarah yang hakiki dan mendasar, menyangkut hargadiri sebagai manusia maka harus diperbaiki. Ini hanya kebetulan kesalahan sejarah yang fatal itu terjadi dalam hubungan NKRI-West Papua. Kalau ada kesalahan2 lain yang terjadi di manapun juga di seluruh dunia, maka memang harus diperbaiki, diluruskan, direstorasi. Itu tuntutan sejarah dan peradaban pascamodern, bukan tuntutan orang Papua sendiri.Itu amanat ajaram agama kita, sebelum Tuhan mengadili kita semua sebagai individu, kelompok ataupun sebagai bangsa atau negara.
5. Lalu menanggapi isi komentar ini, maka tanggapan kami ialah bahwa

5.1 Bangsa Papua sudah berulangkali memunculkan pemimpinnya ke permukaan politik NKRI, yang terakhir ialah Theys Eluay, tetapi apa yang dilakukan Ibutiri Pertiwi terhadap anaktirinya itu?
5.2 Sumpah Pemuda tentang kami bertanah-air satu, Indonesia dan selanjutnya itu secara moral dan historis tidak termasuk orang Papua di dalamnya, dan karena itu secara moral dan sejarah tidak mengikat bagi orang Papua. Perwakilan pemuda waktu itu terdiri dari Jong Sumatera sampai Jong Ambon, tidak termasuk Jong Papua, maka semboyan itu secara hakiki (nafasnya) tidak ada beban moral bagi kami untuk mengagungkan atau mempertahankannya.
5.3 Sebaiknya ketulisan hati itu disampaikan untuk mendukung perjuangan untuk KEBENARAN MUTLAK ini, karena kami tahu persis, bahwa KALAU kebenaran ini ditegakkan di Bumi Cenderawasih, maka Bumi dan Ibutiri Pertiwi bakalan menjadi cantik, molek, dan akan mengandung serta melahirkan anak-anak kandungnya yang jauh lebih membanggakan daripada memelihara anaktiri yang dalam realitanya ditpu, diteror, diburu, dibantai di belakang, tetapi di ruang tamu, saat menerima tamu menunjukkan muka senyum seolah-olah tidak ada masalah dalam hubungan itu.
5.4 Kami jamin bahwa kemerdekaan West Papua akan LEBIH memakmurkan negara dan bangsa Indonesia,akan membuka pintu2 berkat dari sang Ilahi, akan mengangkat tulah dan kutuk yang kini melanda NKRI, karena yang dilanggar NKRI dalam Pepera itu bukan hanya hukum manusia, tetapi hukum Tuhan juga.
4.5 Untuk itu, kami mohon Saudara Wirata untuk merenungkan kembali, jauh di lubuk hati yang dalam itu, “Apakah benar Bumi Cenderawasih itu dianaktirikan? Dapatkah Anaktiri dirubah statusnya menjadi anak kandung? Bagaimana caranya? Bukankah dengan memberikan kemerdekaan kepada West Papua, maka dengan demikian Ibu Pertiwi akan mejadi Ibu Kandung West Papua? Bukankah dengan demikian hubungan persaudaraan dan saling membantu serta saling berbagi antara ibu kandung-anak kandung itu akan lebih memuaskan, lebih bermartabat daripada dalam status hubungan saat ini sebagai ibutiri-anaktiri?
5.6 Kami jamin pasti, kemerdekaan West Papua akan lebih mengharmoniskan hubungan pulang dan pergi antara Indonesia dan West Papua, masyarakat keduabelah pihak akan hidup lebih bahagia dan lebih sejahtera. Maka kami perlu memahami peradaan Saudara Wirata mengapa kemerdekaan West Papua merupakan sesuatu yang menyedihkan. “Bukanlah pembukaan UUD 45 dengan tegas dan pertama-tama menyatakan secara gamblang bahwa Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan?”
5.7 Tetapi kalau ada anggapan bahwa West Papua tidak dijajah oleh Indonesia, maka mereka perlu memahami betul ke-Indonesia-an bangsa-bangsa dan pulau-pulau yang kini ada di dalam NKRI.

Akhinya, kami sungguh menghargai ketulusan dalam komentar Anda atas berita kami. Kalau bukan sebentar, entah kapan nanti, komunikasi ini akan menjadi saksi tertulis, bahwa pernah ada komunikasi seperti ini dalam generasi ini, dan tanggapan kami ialah bahwa memang ada kesalahan fatal dalam Pepera 1969 itu, dan bahwa kami sebagai umat beradab dan beragama, sebagai sesama dalam pengalaman sejarah perlu saling membantu, sebagai bukti kasih-sayang dan persaudaraan itu. Dengan membiarkan West Papua di dalam NKRI, sama saja dengan membiarkan Ibutiri Pertiwi menyiksa dan menindas anaktiri West Papua. Mempertahankan West Papua di dalam NKRI sama dengan mendukung penipuan nyata-nyata dan terbuka, yang melanggar semua hukum yang pernah ada dalam sejarah dan peradaban manusia itu.

Tertinggal satu pertanyaan terakhir, “Apa artinya menyayangkan dan menangisi perubahan status West Papua dari anaktiri menjadi anak kandung NKRI?” Semoga ada balasannya.

Wassalam!

Chief Editor
————————–

Balada Negeri “Baku Tawar”

Editorial BintangPAPUA.com

Isu demi isu terus mengemuka di media, masalah demi masalah terus menumpuk di benak masyarakat awam, seakan – akan negeri ini penuh dengan 1001 macam masalah, lantas kita semua dibuat bertanya – Tanya apa yang dilakukan oleh para petinggi dan penguasa di negeri ini ? Mengapa masih seperti ini ? begitu sulitkah menyelesaikan tumpukan masalah yang menyelimuti negeri ini, tidak di pusat tidak di Papua, tidak di tingkat kabupaten.

Masalahnya kita ketahui, penyebabnya teridentifikasi, tapi yang kurang adalah kesungguhan dan keseriusan para penguasa untuk menuntaskan masalah tersebut dalam tempo yang sesingkat – singkatnya, kebiasaan menunda – nunda pekerjaan dan masalah masih menjadi budaya bangsa kita.
Kalau bisa lama kenapa harus dipercepat ?? atau kalau bisa di persulit kenapa harus di pergampang, jadi semua berkelakuan aji mumpun dan terkesan tumpukan masalah itu dibiarkan menjadi sebuah bom waktu yang sewaktu – waktu dapat di ledakkan dan menjadi pemicu bagi upaya – upaya pengelabuan terhadap public atas sebuah kepentingan besar yang harus disembunyikan esensi dan substansinya.

Di tingkat pusat, jejalan masalah mulai dari kompor gas, century, DPR yang malas, sampai dengan iring – iringan rombongan Presiden yang membuat jalanan tambah macet hanya sebatas wacana, tidak ada kesungguhan dari pemerintah untuk menuntaskannya hingga tuntas … tas … tas.

Di tingkat Provinsi Papua, persoalan Otsus, Referendum, MRP,Freeport, keamanan di Puncak jaya yang tidak pernah usai,  dan sejumlah kebijakan – kebijakan lainnya masih menjadi satu tumpukan persoalan yang tidak pernah habis – habisnya di perdebatkan, karena tidak ada kesungguhan dan keseriusan dari pemerintah menuntaskannya.

Di tingkat kabupaten, persoalan pemekaran yang tidak memberikan dampak signifikan, aspirasi pemekaran, masalah pemilukada, dan seabreg masalah lainnya termasuk masalah terror kepada wartawan juga menjadi tumpukan masalah yang belum tertangani.

Itu semua karena kita terjebak pada rutinitas kehidupan dan keseharian kita, kita terbiasa
berasumsi bahwa masalah – masalah yang muncul adalah dinamika, sehingga tidak perlu terlalu di risaukan, kita melihat apa yang terjadi di semua tingkatan adalah proses pembelajaran yang tidak perlu terlalu di khawatirkan selama tidak mengganggu kepentingan kita.

Pandangan – pandangabn picik semacam inilah yang membuat Negeri ini menjadi  negeri 1001 masalah, untuk lepas dari masalah ini tidak ada cara lain selain apa yang di tuliskan Pong Harjatmo di atasp Gedung MPR beberapa waktu lalu, JUJUR, ADIL dan TEGAS.

Kalau ketiga sikap ini tidak ada pada mental dan cara piker pengelola negeri ini, maka selamanya negeri ini akan menjadi negeri 1001 masalah, jadi tidak ada cara lain, dari sekarang kita harus jujur melihat masalah yang ada dengan merujuk pada ketentuan peraturan (hukum) yang ada, jangan lagi hokum kita belokkan demi kepentingan yang mampu membayar.

Pengelola negeri harus adil terhadap rakyatnya, bukan adil terhadap kroni dan kepentingan kelompoknya saja, karena rakyat tidak menuntut harus sama banyak dengan yang didapatkan oleh para penguasa dan pejabat, rakyat hanya minta standarisasi kesejahteraan yang relative tidak memberatkan, rakyat tidak minta dilayani dan diperlakukan seperti raja, tapi cukup dengan murahkan harga, mudahkan anak – anak sekolah, sediakan dokter dan obat disaat mereka sakit, dan jangan bodohi dan bohongi mereka.

Satu hal lagi yang hilang dari mental para penguasa negeri ini adalah KETEGASAN, kita sudah tidak berani tegas kepada anak buah yang melanggar, kita tidak berani menindak bawahan yang berlaku curang apalagi bila bawahan kita itu adalah bagian dari tim sukses kita menduduki kursi kekuasaan kita, karena tidak adanya ketegasan itulah semuanya di buat mengambang, dan penguasa berpikir, biarkan rakyat berkicau, kalau mereka capek, pasti akan berhenti dengan sendiri.

Demokrasi yang kita kembangkan masih demokrasi tuli, karena semua rakyat di berikan kebebasan seluas – luasnya untuk bersuara tapi tidak ada kemauan dari penguasa untuk mendengarkan dan mewujudkannya dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. (***)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny