TNI dan Polri di Biak Numfor Patroli Bersama 1 Juli

Berita , Peristiwa , salampapua.com

SAPA (BIAK) – Jelang 1 Juli nanti, TNI dan Polri di Kabupaten Biak Numfor akan melakukan patroli bersama pada daerah rawan dalam upaya mengantisipasi gangguan kamtibmas di wilayah itu.

“Setiap tanggal 1 Juli seringkali dijadikan kelompok separatis sebagai hari bersejarah Papua Barat sehingga perlu diantisipasi dengan berpatroli bersama TNI-Polri,” ungkap Kepala Bagian Operasi Polres Biak Komisaris Polisi Fauzan di Biak, Rabu.

Ia mengatakan, sasaran patroli bersama pada wilayah distrik Biak Timur, Biak Barat sekitarnya serta wilayah kampung lain yang dianggap rawan gangguan kamtibmas.

Kabag Ops Komisaris Fauzan berharap, dengan dilakukan patroli bersama akan memberikan rasa nyaman dan aman kepada masyarakat Kabupaten Biak Numfor dalam menjalankan aktivitas rutin keseharian dengan normal.

Dalam suasana umat muslim menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang juga menyambut perayaan hari raya Idul Fitri 1437 H, menurut Kompol Fauzan, warga Biak harus membantu aparat keamanan TNI-Polri untuk senantiasa mewujudkan Biak selalu kondusif.

“Dengan situasi Biak tetap kondusif maka mendukung semua program pembangunan pemerintah dan setiap aktivitas masyarakat berjalan dengan lancar setiap waktu,” tegasnya.

Dia mengingatkan, warga Biak ikut serta untuk memberikan informasi kepada aparat penegak hukum jika menemukan aktivitas sekelompok orang yang akan mengganggu kambtimas Biak yang dikenal sangat kondusif.

Hingga Rabu pagi, aktivitas kamtibmas di Kabupaten Biak Numfor sangat kondusif karena berbagai kegiatan pelayanan publik seperti bandara, pelabuhan laut, angkutan umum, pasar tetap beroperasi normal melayani kebutuhan warga Biak sekitarnya. (ant)

Lukas Enembe: Semua Yang Kerja di Papua Ini OPM

WENE-PAPUA – Gubernur Papua Lukas Enembe mengingatkan keinginan orang Papua bukan main- main. Keinginan itu seperti bagaimana proteksi orang Papua dan ideologi orang Papua.

“Orang di Papua ini bukan berjuang karena masalah kemiskinan. Di halamannya saja ada emas kok. Dia berbicara soal ideologi. Ideologi ini ada didalam konsep yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi Papua. karena kita yang tau persoalan. Karena semua yang kerja di Papua ini semua OPM. Tau permasalahan maksudnya,”

kata Gubernur Papua kepada pers di Jayapura beberapa waktu lalu.

Sebab menurutnya jika persoalan ini tidak kunjung diselesaikan maka masalah Papua tidak pernah akan selesai.

“Jadi jangan kalau tidak mendengar aspirasi kita tidak usah urus sudah. Kasih tinggal sudah. Bukan makan minum,”selanya.

Meski sebagai Gubernur mengatakan demikian, namun ini bisa saja hanya sebatas gertakan untuk Jakarta supaya Otsus Plus yang ditawarkan ke Jakarta diterima. Karena saat ditanya mengenai refendum masuk salah satu poin dalam draft Otsus Plus, gubernur mengatakan,“tidak ada itu kita sudah delete semua mengenai pasal yang berbicara kemerdekaan. Semua sudah kita coret. Yang tersisa hanyalah kebijakan anggaran di 28 sektor. Itu semuanya untuk kepentingan Papua,.”tuturnya.

Penulis : Maria Fabiola / Salam Papua
Editor : Admin

PM takes courageous stand

The National, Friday May 27th, 2016

PRIME Minister Peter O’Neill has reaffirmed his bold and courageous stand on the West Papua issue.

Last year, he became the first PNG Prime Minister to break the National Government’s silence on this sensitive issue since independence.

In his historic statement during the 2015 National Leaders’ Summit in Port Moresby, O’Neill said Papua New Guinea had become a respected regional leader but had not spoken about the human rights issues across its common border with Indonesia.

“I think, as a country, time has come for us to speak about the oppression of our people there. Pictures of brutality of our people appear daily on the social media, and yet, we take no notice. We have the moral obligation to speak for those who are not allowed to talk. We must be the eyes for those who are blindfolded.”

And this week, O’Neill revealed during a radio talkback show that the Government had expressed concerns about human rights issues in West Papua and their desire for autonomy to the Indonesian authorities, including President Joko Widodo.

“We have just returned from the Pacific Islands Forum leaders’ meeting that Papua New Guinea chairs and we have written to the president (Widodo) expressing that we want to send a team to West Papua to engage directly with the people. The response we are getting from Indonesia is that they welcome such a dialogue and also they are positive about the desire for West Papua to have some more autonomy,”

O’Neill told listeners.

We commend the Prime Minister for his bold initiative to establish dialogue with Indonesia on this sensitive issue, which all his predecessors had ignored for fear of upsetting our giant neighbour.
Our citizens can be rest-assured that we now have a Prime Minister who will not shirk his moral obligation to our Melanesia brothers and sisters across the border.

O’Neill’s stance has been enthusiastically welcomed by local, regional and international supporters and sympathisers of West Papuan freedom and self-autonomy.

For the younger generation of Papua New Guineans who are not familiar with the “Papua Conflict”, it is an ongoing low-level conflict between the Indonesian government and portions of the indigenous population of West Papua.

Since the withdrawal of the Dutch colonial administration from the Netherlands New Guinea in 1962, the implementation of Indonesian governance in 1963 and the formal absorption of West Papua into Indonesia in 1969, the Free Papua Movement (OPM), a militant Papuan-independence organisation, has conducted a low-level guerrilla war against the Indonesian state, targeting the Indonesian military and police, as well as engaging in the kidnapping of both non-Papuan Indonesian settlers and foreigners.

West Papuans have conducted various protests and flag-raising ceremonies for independence or federation with Papua New Guinea, and accuse the Indonesian government of indiscriminate violence and of suppressing their freedom of expression. Many West Papuans have been killed by the Indonesian military since 1969 and the Indonesian governance style has been compared to that of a police state, suppressing freedom of political association and political expression.

The Indonesian government restricts foreign access to West Papua due to sensitivities regarding its suppression of Papuan nationalism.

The Indonesian government is accused of human rights abuses, such as attacks on OPM-sympathetic civilians and jailing people who raise the West Papuan National Morning Star flag for treason.

Through the transmigration programme, which since 1969 includes migration to Papua, about half of the 2.4 million inhabitants of Indonesian Papua are born in Java, though intermarriage is increasing and the offspring of transmigrants have come to see themselves as “Papuan” over their parents’ ethnic group. As of 2010, 13,500 Papuan refugees live in exile in PNG and occasionally the fighting spills over the border.

As a result, the PNG Defence Force has set up patrols along the western border to prevent infiltration by the OPM. Additionally, the PNG Government has been expelling resident “border crossers” and making a pledge of no anti-Indonesian activity a condition for migrants’ stay in PNG. Since the late 1970s, the OPM have made retaliatory “threats against PNG business projects and politicians for the PNGDF’s operations against the OPM”.

The PNGDF has performed joint border patrols with Indonesia since the 1980s, although its operations against the OPM are parallel.

OPM Iginkan Adanya Keadilan

KEEROM – Jubi – Sampai saat ini, Organisasi Papua Merdeka (OPM) menilai Pemerintah belum menjamin keadilan maupun perdamaian bagi rakyat Papua. Untuk itu .TPN- OPM akan menyampaikan kepada Pemerintah Pusat, Provinsi Papua maupun Kabupaten Keerom tentang kebijakan negara dalam pembangunan program percepatan maupun segala bentuk pembangunan yang ada di Papua, sehingga OPM mengiginkan keadilan dan perdamaian di Tanah Papua.

Hal tersebut diungkapkan Panglima Jenderal TPN- OPM Militer 1 Wilayah Mamta, Agustinus Chris

.Untuk itu lanjutnya, OPM akan menekankan kepada pemerintah tentang kedamaian. OPM mengatakan, di Tahun 2015 lalu, OPM telah menyampaikan dekrit kembali kepada undang- undang dasar 1971. dimana Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan organisasi Induk, yang memiliki sayap pertahanan militer tentara pembebasan yang sedang menduduki di seluruh tanah air. Dan Satu hal yang saya sangat dirindukan oleh OPM adalah keamanan dan keadilan.

Dikatakan, markas Victoria yang didirikan oleh pendidiri OPM yaitu Yakob Pray, dengan tujuan pepera tidak adil. “ Jadi saya katakan tentang OPM bukan suatu gerakan GPK, tapi Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah menuntut keadilan dan kedamaian maupun kemanisme internasional. Jadi TNI, Polri maupun Pemerintah yang mengatakan OPM sebagai GPK tidak benar. Sebab OPM hanya mempertahankan identitas bangsa Papua Barat di negerinya sendiri dan ini merupakan norma dan keadilan, kebenaran dan kejujuran. Maka OPM adalah penentang Pepera,” tegasnya kepada wartawan saat ditemui di wilayah Perbatasan RI- PNG, Kampung Skopro, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Senin (16/5) kemarin.

Dijelaskan, pada tanggal 1 Mei 2016 lalu, terjadi reaksi yang dilakukan oleh rakyat Papua tentang 1 Mei, adalah penyerahan administrasi dari Belanda ke Indonesia. Dengan perjanjian bahwa 1969 akan diadakan pemilihan umum.

“Apakah Papua mau merdeka atau mau bergabung dengan Indonesia. Tetapi pada saat itu, satu suara satu Orang. Namum telah diganti oleh Pemerintah Pusat menjadi bukan satu suara satu Orang, tapi menjadi musyawarah. Musyawarah dalam arti, satu Orang mewakili ribuan orang untuk menentukan nasib. Tapi dalam satu Orang itu, bukan memihak bangsa Papua, tapi memihak bangsa Indonesia,”ujar Agustinus.

Dengan kejadian itu akan menjadi soal pokok bagi rakyat Papua, sehingga berdirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM). “ OPM berdiri karena bukan suara satu Orang. Apabila telah terjadi bahwa Tahun 1969 semua mengakui bahwa Orang Papua tetap dengan Indonesia, maka OPM dibawah pendiri OPM Jakob Pray memproklamasikan kemerdekaan negara Papua Barat 1971 di Waris, Kabupaten Keerom. Jadi OPM 1971 dengan 1 Juli 1971 penentang pepera dan menganggap tidak adil,” teganya.

Untuk itu, OPM menyampaikan kepada Pemerintah Pusat, apakah telah berpikir soal ini, karena sebagai negara demokrasi, bahwa pepera 1 suara satu Orang belum menyentuh. Jadi agenda OPM pencabutan, pencucikan, menghabiskan 1969 perlu dihapuskan dari perserikatan bangsa- bangsa, karena itu merupakan tujuan dari gerakan OPM untuk menghapuskan karena menganggap tidak menyentuh hukum dan kemanisme peraturan internasional, mengenai satu suara satu Orang, sehingga pihak OPM menekan dan mempertayakan kepada Pusat,”bebernya.

Apabil pemerintah Pusat tetap mempertahankan bahwa Papua bagian dari NKRI, melalui satu suara satu Orang, maka OPM peryatakan kepada pemerintah Pusat. “ dengan persoalan ini saya akan sampaikan kepada Presiden RI untuk mempertimbangkan hal ini tentang Papua, sebab Papua bukan bangsa Indonesia, Papua adalah Bangsa Melanesia,” ungkap Agustinus.

Ditambahkan, OPM tetap mendukung kedamaian, tetapi OPM berharap agar Pemerintah Daerah Kabupaten Keerom untuk mengambil masyarakat Keerom , baik itu masyarakat dari Skofro, Uskar, Wembi, Yetti yang masih berada di Kemp OPM segera ditarik pulang ke Kampung halamannya masing- masing dan memperhatikan dengan baik. “ Apabila telah ditarik dan tidak diperhatikan, kami OPM tetap mengadakan perlawanan. Saya katakan seperti ini, agar tidak rugi dalam pendidikan dan lain sebagainya, karena Papua Barat bukan urusan dalam negeri, tepi urusan internasional,” tegasnya. (rhy/don)

Inside the West Papua Resistance

The Organisasi Papua Merdeka (OPM) was first created in the 1960s by a group of comrades who called themselves West Papuan Freedom fighters. The organization was created to fight the Indonesian Army, which had occupied large parts of West Papua after the Dutch colonialists withdrew.

The movement grew rapidly in the late 1970s with fighters joining its ranks in all major provinces of West Papua. Their operations mainly consisted of attacking Indonesian patrols. Over the years it started to carry out more sophisticated  attacks on foreign mining companies, such as blowing up pipelines in the Grasberg mine in Freeport.

It carried out assaults on civilian aircrafts in Timika, targeted foreign migrant workers, and kidnapped foreigners and journalists during the infamous Mapenduma incident.

The militant wing of the OPM allegedly had ties to former Libyan dictator Muammar Gaddaffi, who had also supplied weapons to the group. Some senior OPM Commanders underwent training in Libya in the 1990s.

The diplomatic wing of the OPM also received support from the government of Senegal in the 1990s and were permitted to open a mission in Dakar.

Today, the military wing has many splinter groups who operate independently.

Some factions have agreed to a truce with the Indonesian government; others continue to wage their guerrilla campaign.

Photojournalist Rohan Radheya  was allowed to follow elements of the military wing, visiting their headquarters deep within the jungles of West Papua.

Source: https://thediplomat.com/

“Stop Kambinghitamkan OPM”

SERUI- Komandan Operasi TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) Kepulauan Yapen, Maikel Merani membantah pernyataan pihak kepolisian melalui Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Patrige Renwarin ( di Binpa 13 Februari 2015) yang menyatakan bahwa pelaku penembakan warga sipil di kilometer 6-7 arah Saubeba-Kontiunai, Distrik Angkaisera, Kabupaten Kepulauan Yapen, diduga berasal dari kelompok bersenjata yang dipimpin Maikel Merani.

Kepada wartawan di Serui, Senin (16/2) , Maikel Merani, dengan tegas membantah dan mengklarifikasi hal tersebut. Dikatakan, pernyataan itu tidak benar, bahkan ia menuding pernyataan itu sebagai upaya memutarbalik fakta yang sebenarnya. Ia menuturkan, jika memang pelakunya adalah anggota dari kelompok TPNPB yang dipimpinnya maka perlu dipertanyakan latar belakang dari penembakan terhadap masyarakat sipil yang tidak bersalah itu apa?, apalagi korban tewas adalah seorang petani. Ia juga mempertanyakan sejak kapan TPNPB punya mobil Toyota Avanza berwarna putih yang digunakan untuk menghadang masyarakat di jalan untuk ditembak tanpa alasan apapun.

“Penembakan pada malam hari tanggal 11 Februari 2015 sebenarnya ditujukan untuk saya (Maikel Merani-red), namun naas karena justru mengenai masyarakat sipil yang hendak melakukan perburuan kus-kus saat itu. Sementara, pada saat kejadian, saya sedang berada di rumah salah satu kerabat yang tinggal di Kampung Kontiunai dan melihat sendiri ada mobil berwarna putih yang lewat pada saat itu, dimana menurut informasi mobil tersebut milik aparat yang sering dipakai mondar mandir di Kampung Kontiunai,”

katanya.

Ia juga mengungkapkan, pada malam tanggal 11 Februari 2015 sebelum kejadian warga sipil ditembak mati, dirinya dihubungi via telepon oleh 2 orang anggota Polsek setempat yang mengatakan agar dirinya harus segera kembali ke Utara dikarenakan Tim Dalmas akan melakukan penyisiran di Kampung Kontiunai pada malam tanggal 11 Februari 2015 lalu.

“Mengingat sejak pagi hingga malam hari pada tanggal 11 Februari 2015, saya sedang mengunjungi kerabat di kampung setempat dan rencananya akan kembali pada malam itu juga. Setelah diberi info demikian saya tidak langsung meninggalkan Kampung Kontiunai mengingat baru saja melihat mobil putih tersebut melewati kampung setempat menuju Saubeba. Sehingga saya memilih tempat persembunyian alternative (dirahasiakan-red) dan beberapa saat kemudian terdengar kabar bahwa di kilo 4 arah Kontiunai-Saubeba telah terjadi penembakan terhadap seorang warga sipil yang diketahui bernama Sony Fairumbak (33 tahun) yang saat itu hendak berburu kus-kus bersama saudara iparnya Y.S (saksi mata-red),”

terang Maikel.

Maikel Merani dengan tegas mengatakan, penembakan terhadap masyarakat sipil di Kontiunai tidak berasal dari dirinya maupun anggota TNPB lainnya, karena warga sipil yang ditembak masih merupakan kerabat dekat, sehingga tidak ada alasan kuat unttuk membunuhnya dengan cara yang demikian sadis. Maikel juga menyampaikan ucapan terimakasih dari kedua anggota polsek Wenawi yang sengaja memancingnya dengan cara yang sedemikian rupa, namun perlu diingat bahwa rencana yang dibuat manusia jika tidak di kehendaki Tuhan maka tidak akan terjadi. Ia juga menghimbau kepada Polres Yapen agar jangan memutarbalikan fakta yang ada dan mengkambing hitamkan OPM maupun pihak-pihak lainnya.

“Kami berjuang untuk melindungi masyarakat Papua bukan untuk memusnahkan, dan perlu dicek kebenarannya terkait kepemilikan senjata yang dikatakan Kabid Humas Poda Papua Kombes Patrige Renwarin bahwa saya Maikel Merani dilaporkan saat ini memegang satu pucuk senjata organik jenis SS1- V5,”

tuturnya.

Maikel kembali menegaskan bahwa pihak kepolisian baik Polres Yapen maupun Polda Papua jangan menciptakan persoalan baru guna mencari jabatan atau pangkat semata, karena korban-korban dari tindakan ini hanyalah masyarakat sipil biasa.

“Saya juga menghimbau kepada Gubernur Papua dan Ketua MRP agar jangan hanya berdiam diri saja melihat masyarakat Papua dijadikan sasaran empuk oleh pihak-pihak yang hanya mengejar pangkat maupun jabatan. Karena jika dibiarkan demikian, maka masyarakat pribumi asli Papua akan habis lenyap secara perlahan-lahan dari atas tanah sendiri. Selama ini OPM maupun TPNPB selalu dikambing hitamkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab,”

tegasnya. (seo/don/l03)

Source: Selasa, 17 Februari 2015 00:19, BinPa

West Papuans Unite Under New Umbrella Group

The SIgning of Statements forming ULMWP
The SIgning of Statements forming ULMWP

Vanuatu Daily Post – By Godwin Ligo Dec 10, 2014 0

The historic gathering of West Papuan leaders in Vanuatu from different factions in the independence movement have united,Saturday and formed a new body called the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

This new organisation unites the three main organisations who have long struggled for independence in their own way.Coming together to present a united front will allow them to re-submit a fresh application for membership of the Melanesian Spearhead Group (MSG) as well as countering Indonesian claims that the West Papuan groups are divided.

“The negotiations and kastom ceremonies attended by leaders of all the major groups and observed by the chiefs, churches and the government of Vanuatu demonstrates that West Papuans are united in one group and one struggle,”the West Papuan Leaders said at the conclusion of their deliberations at the Chiefs nakamal in Port Vila on Saturday afternoon.

The key groups who have united include the:Federal Republic of West Papua (NRFPB), National Coalition for Liberation (WPNCL) and the National Parliament of West Papua (NPWP). An external secretariat consisting of five elected members from the various groups will now co-ordinate the ULMWP activities. Octovianus Mote has been elected as General Secretary of the ULMWP while Benny Wenda is the spokesperson and the other three elected members are Rex Rumakiek, Leone Tangahma and Jacob Rumbiak.

General Secretary Mote said at the close of the unification meeting, “I am honoured to be elected and very happy we are now all united.

The ULMWP is now the only recognized coordinating body to lead the campaign for MSG membership and continue the campaign for independence from Indonesia”.

The ULMWP wishes to express its profound gratitude to the government of Vanuatu, the Malvatumaurii Council of Chiefs, the Vanuatu Christian Council of Churches and the Pacific Council of Churches who have facilitated the week long meeting of delegates, who came from West Papua and around the world to unite after 52 years of struggle,a press statement issued at the conclusion of the Meeting stated.

The signing of the Chiefs Nakamal Declaration for West Papua Unity,last Saturday afternoon was witnessed by Prime Minister Joe Natuman, Deputy Prime Minister and Minister of Trade Ham Lini, Minister for Lands Ralph Regenvanu,Port Vila MP Edward Natapei,Malvatumauri President Chief Senio Mao Tirsupegovernment officials, church leaders,Chiefs and other community leaders,the members of the delegations of the three West Papuan Group and general members of the public.

The Declaration that was signed by leaders of the three West Papuan Group read:

“We the undersigned; the Federal Republic for West Papua (NRFPB), West Papua National Coalition of Liberation(WPNCL),West Papua National Parliament(WPNP/NewGuinea Raad),have conducted the Summit on West Papua,we do declare that today the 6th December 2014 at the Chiefs Nakamal,at Saralanga,Port Vila,Vanuatu,that the undersigned groups have united and established the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP),a body representing all resistance organizations both inside and outside West Papua.

“We declare and claim that all West Papuans,both inside and outside West Papua,are united under this new body and will continue our struggle for Independence.

“This meeting has been conducted pursuant to the decision made by the Melanesian Spearhead Group (MSG) in Port Moresby,Papua New Guinea in June 2014,that West Papuan Independence organizations must first unite before an application for membership can be re-submitted to the Melanesian Spearhead Group(MSG). We are now united and will re-submit an application under this new body, the ULMWP.

“We are determined that the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) becomes the Coordinating Body to support all international efforts to regain our sovereignty. In order to support this,we have formed a secretariat of five people;Benny Wenda,Jacob Rumbiak,Leone Tanggahma,Octovianus Mote and Rex Rumakiek,and representing the three largest resistance organizations and also all non-affiliated resistance organizations that support our struggle. We will maintain our existing organizations but commit to be united by the coordinating efforts of the United Liberation Movement for West Papua.

“This important and historic declaration has been made possible through the faithful efforts of the Vanuatu Government,Malvatumauri National Council of Chiefs,the Vanuatu Christian Council (VCC),the Pacific Conference of Churches (PCC) and the commitment of the liberation organizations.”

After the signing ceremony,the President of the Malvatumauri National Council of Chiefs and members of the Port Vila Council of Chiefs facilitated a reunification custom ceremony, for the three West Papuan Groups after many years of operating separately.

West Papua Reunification Committee chairman Pastor Allen Nafuki said, “The organizing committeeis very pleased with the outcome of the Meeting which achieved its objectives very successfully through deliberations and good understanding of all the three West Papuan Groups as well as the Malvatumauri National Council of Chiefs,the Port Vila Council of Chiefs, the Pacific Conference of Churches (PCC), the Vanuatu Christian Council (VCC), with the full support of the Vanuatu Government lead by the Prime minister Natuman, the Deputy PM,ministers present on Saturday and the people of Vanuatu.

“This could not have been achieved with the understanding of everyone involved,especially the three Groups of West Papua with their leaders and members of their delegations, the Vanuatu Government, the Malvatumauri, VCC and the PCC and many others support. The meeting has achieved its objectives for which we are all proud of and are thankful to God for His guidance.”

The signing was signed by three leaders representing the three West Papua Groups and witnessed by the President of the Malvatumauri chiefTirsupe,Pastor Kalsakau Urtalo on behalf of the VCC,Mr. Murray Isimeli, of the PCC and Vanuatu’s and former Vanuatu prime minister Barak Sope.

Details of the reconciliation ceremony along with various important speeches from different parties involved will be carried by the Daily Post in forthcoming issues.

Benny Wenda: Pertemuan ini Akan Berakhir Sesuai Harapan

Sekretaris-Jenderal Dewan Musyawarah Masyarakat Adat (DeMMAK), tuan Benny Wenda pada tanggal 3 Desember 2014 saat dihubungi PMNews menyatakan pertemuan ini akan berakhir sesuai harapna, iaut akan mengangkat Secretary-General dan Spokesperson, karena masing-masing organisasi yang sudah ada dan berjuang untuk Papua Merdeka adalah modal yang tidak dapat dibubarkan. Yang harus dilakukan ialah penyatuan program dan langkah-langkah perjuangan. Sedangkan kita semua satu dalam tujuan dan cita-cita.

Hal tersebut dikatan Tuan Wenda menjawab pertanyaan PMnews menyangkut hasil yang akan didapatkan dari Workshop yang diselenggarakan oleh Gereja di Vanuatu, dan didukung sepenuhnya secara militer, sipil dan politik oleh masyarakat, tentara dan pemerintah Republik Vanuatu.

Dalam upacara resmi pada tanggal 1 Desember 2014, para Kepala Suku di Vanuatu memberikan hadiah khusus benda budaya salah satu suku di Vanuatu dan sesudahnya memerintahkan Benny Wenda untuk digotong beralaskan satu ekor babi yang telah disembelih untuk upacara adat pada saat peringatan HUT Hari Besar bangsa Papua tahun ini.

Benny Wenda bukan orang baru bagi para ni-Vanuatu. Beliau pernah menyelenggarakan sebuah Konferensi Kepala-Kepala Suku Melanesia pertama pada 28 Deesmber 2013 – 1 Januari 2014 di Republik Vanuatu, di mana beliau juga sudah pernah diberi mandat oleh para Kepala Suku di Vanuatu bersama dengan Jurubicara DeMMAK, Mr. Amunggut Tabi, yang kini diberi tugas sebagai Secretary-General Tentara Revolusi West Papua oleh Panglima Tertinggi Komando Revolusi, Gen. TRWP Mathias Wenda. Mereka berdua ditemani oleh Sekretaris I dan Sekretaris II Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPN PB – OPM) Maj. Hans Karoba dan Brig. Gen. Abumakarak Wenda.

Selama 6 bulan mereka berada di Vanuatu dan melakukan lobi, kampanye serta pertemuan dengan fokus utama kepada membangun dukungan di tingkat masyarakat adat.

Selanjutnya Benny Wenda dalam pertemuan ini dimintakan oleh para Kepala Suku Vanuatu untuk berbicara lebih banyak tentang perjuangan Papua Merdeka, walaupun pada awalnya beliua memilih diam karena sudah banyak orang Papua yang hadir dan mengkleim diri sebagai pejuang dan pendahulu dalam membangun jaringan di Vanuatu. Mendengar desakan dari para Kepala Suku Vanuatu lalu Benny Wenda menceritakan apa yang pernah terjadi 10 tahun lalu, dan semua peserta terkejut bahwa fondasi dukungan perjuangan Papua Merdeka bukan dimulai tahun 2006, 2010, 2012, tetapi sepuluh tahun lalu.

Masih menurut Wenda, pertemuan ini sangat alot, karena masing-masing organisasi yang masuk masih mempertahankan ego identitas dan kepemimpinan mereka. Sudah diusahakan untuk bersatu tetapi semua pihak sulit mengendalikan diri. Akhirnya pertemuan ditunda karena larut malam, dan akan disambung besok, tanggal 3 Desember.

Menurut Wenda sebagian utusan besok akan diputuskan apa yang harus dilakukan setelah pertemuan ini, bagaiman aformat organisasi, apa nama organisasi dan kalau Tuhan berkehendak, siapa yang dipercayakan sebagai Sekretaris Jenderal dan Jurubicara. Katanya semua organisasi perjuangan yang ada tidak harus dibubarkan atau disakukan, tetapi hanya ditunjuk orang-orang untuk memimpin semua pihak bersatu mengajukan permohonan kepada MSG kembali.

Masyarakat Puncak Tolak Keberadaan OPM

JAYAPURA – Hasil pertemuan Pemerintah Kabupaten Puncak bersama TNI/Polri dan seluruh Tokoh masyarakat yang berlangsung di Kantor Bupati Puncak, Sabtu (27/9), telah memutuskan dan menyepakati untuk menolak keberadaan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) di daerahnya, yang selama ini kerap melakukan penembakan terhadap masyarakyat dan TNI/Polri.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Polda Papua, Komisaris Besar Polis Sulistyo Pudjo Hartono mengungkapkan, dalam pertemuan itu dihadiri langsung Bupati, Wakil Bupati, Sekda dan jajaran, DPRD, TNI/Polri dan Tokoh masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, dan Tokoh Pemuda.

Dalam pertemuan itu menghasilkan lima kesepakatan bersama yakni :

  • Pertama, kami masyarakat Kabupaten Puncak menolak keberadaan TPN/OPM diwilayah Kabupaten Puncak.
  • Kedua, kami masyarakat Kabupaten Puncak mendukung sepenuhnya aparat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat diwilayah Kabupaten Puncak.
  • Ketiga, kami masyarakat Kabupaten Puncak di semua Distrik meminta Pos pengamanan TNI/Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat diwilayah ibu kota Kabupaten Puncak.
  • Keempat, kami masyarakat Kabupaten Puncak bersedia membayar denda adat sebesar Rp2 Miliar apabila dikemudian hari ada anggota keluarga kami yang membunuh aparat TNI/Polri dan masyarakat dan pihak yang ikut serta dalam pembunuhan tersebut.
    Tidak hanya itu, masyarakat juga akan mengenakan denda adat sebesar Rp2 Miliar kepada pelaku. Dan yang ikut serta dalam pembunuhan tersebut, akan diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Jika tidak membayar denda adat tersebut maka akan diusir dari wilayah Kabupaten Puncak.
  • Kelima, apabila dikemudian hari ada masyarakat yang memberikan perlindungan, tempat tinggal dan makanan kepada kelompok TPN/OPM meninggal dunia dikarenakan adanya kontak senjata antara aparat TNI/Polri dan TPN/OPM pada saat aparat TNI/Polri melaksanakan Patroli/Razia maka kami masyarakat tidak akan menuntut denda adat karena kami menganggap masyarakat tersebut telah bersalah.

Kesepakatan ini, menurut Pudjo merupakan hal yang luar biasa, karena seluruh masyarakat telah bersatu hati untuk tidak ada kelompok-kelompok yang mengganggu mereka.

Tentu kami dari pihak kepolisian akan mengedepan persuasif dalam menegakkan hukum,” tandasnya. (loy/aj/l03)

Senin, 29 September 2014 13:25, BintangPAPUA.com

Pencipta Bintang Kejora Merasa Ditipu Belanda

JAKARTA – Penulis buku ‘’Kembali ke Indonesia, Langkah, Pemikiran, dan Keinginan’’, Nicolaas Jouwe mengatakan, dirinya yang menciptakan bendera bintang kejora dan ikut mendirikan Tentara Papua Merdeka (OPM) untuk berjibaku dengan tentara Republik.

Saya yang menciptakan bendera bintang kejora yang dikibarkan pertama kali pada 1 Desember 1961. Itu tipu muslihat Belanda, karena semenjak kemerdekaan Papua yang dikumandangkan 1 Desember 1961, masyarakat Papua tidak pernah menikmati kemerdekaan itu,’’kata Nicolaas Jouwe saat bedah buku karyanya itu, di Gedung Nusantara IV, komplek parlemen, Senayan Jakarta, kamis (27/3).

Dikatakan, Belanda menjanjikan jika Papua merdeka, ia akan dijadikan presiden. Namun setelah lebih dari 40 tahun, Nicolaas sadar bahwa apa yang ia sebut ‘perjuangan’ untuk Papua merdeka hanyalah kemerdekaan akal-akalan Belanda untuk mempertahankan kepentingannya di bumi Nusantara yang kaya ini.

Dalam bukunya, yang diterbitkan PT Pusaka Sinar Harapan, Jakarta 2013, Nicolaas menulis, pelariannya merupakan pilihan yang patut disesali.

‘’Saya merasa pelarian ke Belanda merupakan pilihan yang patut disesali. Kembali ke Tanah Air dengan keyakinan baru, bahwa hanya ada satu cara mewujudkan impian memajukan tanah Papua, yakni bersama-sama Pemerintah Indonesia membangun dan terus membangun Tanah Papua semakin mandiri, maju dan sejahtera, ‘’tulis Nicolaas Jouwe.

Sementara itu, Sekertaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Sudarsono Hardjosoekarto mengatakan, munculnya aspirasi otonomi khusus plus setelah pemerintah pusat memberikan otonomi khusus (Otsus) semenjak 2001 bagi Papua, mengindikasikan bahwa pemerintah belum mempunyai kesabaran dalam merawat ke-Indonesiaan di Bumi Cenderawasih

’Munculnya tuntutan agar Jakarta memberikan Otsus plus dengan hak-hak yang lebih besar lagi pada Papua dalam urusan keuangan dan luar negeri, mengindikasikan kita tidak sabar merawat ke-Indonesiaan di Papua, ‘’kata Sudarsono Hardjosoekarto, saat jadi pembahas bedah buku ‘’Kembali ke Indonesia, langkah, pemiiran, keinginan’’, karya Nicolaas Jouwe, di gedung DPD, Senayan jakarta, Kamis (27/3).

Menurut Mantan Dirjen Kesbangpol Kemendagri itu, sesungguhnya mayoritas masyarakat Papua bangga jadi bagian Indonesia. Mereka juga berkhidmat membawa “Merah Putih’’.

‘’Tapi, faktor komunikasi pusat-daerah dan persepsi yang keliru dari sebagian pejabat pusat dan daerah, menyebabkan isu atau masalah Papua selalu mengemuka,’’ ungkapnya.

Dikatakannya, Papua istimewanya didekati dengan silaturahmi ke-Indonesiaan dengan niat tulus membangun ke-Indonesiaan di Papua.

‘’Implementasinya jangan lagi dengan pendekatan struktural pusat-daerah. Ada cara lain yang lebih kreatif dan manusiawi, misalnya pertukaran pelajar dan pemuda antar provinsi di Indonesia. Dengan cara seperti itu, akan terjalin ke-Indonesiaan yang sesungguhnya,’’ saran mantan Dirjen Otda Kemendagri itu.

 Sumber : Koran Cenderawasih Pos, Jum’at 28 Maret 2014

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny