Elieser Awom: Saya OPM Murni

Bintang Papua – Menanggapi pemberitaan sebelumnya terkait kelompok TPN/OMP pimpinan Goliath Tabuni, melalui Anton Tabuni dan dimediasi oleh KNPB yang mempertanyakan kapasitas dirinya, Elieser Awom, akhirnya berkunjung ke redaksi Bintang Papua untuk memberikan tanggapan atas pertanyaan tersebut. “Saya adalah TPN/OPM murni, perlu saya sampaikan hal ini kepada semua, dan saya juga ingin sampaikan bahwa, kita semua berjuang untuk merdeka,” ujar ELieser Awom, Selasa (6/12) kemarin.

Dirinya juga menjelaskan perihal tuduhan bahwa dirinya menyerah,”Kalau saya menyerah kenapa saya ditahan dan harus jalani sebelas tahun di dalam penjara, dan saya dilepaskan tahun 1999 itu karena menerima amnesty dari Presiden Gus Dur,” bebernya. Dalam ceriteranya, Elieser Awom menyampaikan bahwa, berawal dari tahun 1984,” Waktu itu saya adalah anggota Brimob, saya rela melepaskan seragam untuk berjuang demi Papua merdeka, dan saat itu saya langsung bergabung dengan kelompok pimpinan Richard Yoweni, empat tahun kemudian yaitu tahun 1988 saya ditangkap dan diadili,” ungkap Elieser Awom.

“Jadi sekali lagi saya sampaikan bahwa saya OPM murni, dan perjuangan yang saya lakukan sampai saat ini nyata, tahun 2007, kami lakukan pertemuan di Malaysia dengan tim diplomasi untuk mencari dukungan dari Negara luar, kemudian tahun 2008 kami masuk ke Vanuatu, dan berhasil meyakinkan Vanuatu sehingga mereka mengakui perjuangan bangsa Papua, dan membuka Kantor Perwakilan Papua di Vanuatu, setelah itu 22 September 2010 kami lakukan dengar pendapat dengan Kongres Amerika Serikat, dilanjutkan dengan pertemuan dengan Menteri Pertahanan Amerika,” tambah Awom.

Terkait apa yang dipertanyakan kepada dirinya, Elieser menyampaikan bahwa,”Seharusnya kan kita saling mendukung, semua yang kita lakukan adalah perjuangan untuk mencapai kebebasan, Kalau kita terus-terusan saling menuduh dan mempertanyakan satu dan yang lain, tidak akan pernah mencapai tujuan,” tambahnya.

Ketika ditanya terkait tujuan yang ingin dicapai tersebut, Elieser menyampaikan bahwa,”Sudah jelas, apa yang sudah dideklarasikan pada saat Kongres Rakyat Papua III adalah tujuan kita, yaitu merdeka, kalau anda seorang pejuang dan mengerti politik, pasti akan mendukung hasil Kongres Rakyat Papua III,” beber Elieser Awom. “Kedaulatan ada di tangan rakyat, dan Kongres itu adalah hasil keputusan rakyat, itu juga merupakan bagian dari perjuangan kita, mari kita dukung,” tutup Elieser Awom. (bom/don/l03)

Diposting oleh mamage • Pada Wednesday, 7 December 2011 14:27 WIB • Central Demokrasi

OPM Larang Keras Pelaksanaan Kongres Papua III

JAYAPURA – Organisasi Papua Merdeka kembali melarang keras seluruh bentuk dialog, kongres maupun musyawarah besar yang melibatkan rakyat Papua dalam membicarakan persoalan di bumi cenderawasih. OPM berpendapat, kemerdekaan bangsa Papua diperkirakan akan terjadi diakhir tahun 2011 atau pertengahan 2012 mendatang. “OPM memprediksikan kemerdekaan akan terjadi tidak lama lagi, jadi semua mohon bersabar dan tenang,” kata Lambert Pekikir, Koordinator Umum OPM di Jayapura, Kamis (15/9) malam. Ia mengatakan, kemerdekaan bangsa Papua Barat telah diatur oleh mekanisme internasional sesuai dengan keputusan sidang tanggal 2 Agustus 2011 di London, Inggris. “Semua berkas keputusan tanggal 2 Agustus juga sudah diserahkan pada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi oleh badan hukum internasional untuk Papua, ILWP,” ujarnya.

International Lawyer for West Papua (ILWP) kata dia, dibackup oleh 50 ahli hukum dunia. “Proses ini bahkan telah ditangani langsung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ini sesuai dengan pernyataan dari Sekjen PBB pada tanggal tujuh di New Zealand,” katanya.

Oleh sebab itu lanjutnya, Markas besar OPM/TPN memerintahkan pada seluruh pertahanan komando sesuai dengan instruksi dari kantor pusat OPM, agar tidak boleh melakukan aksi penembakan, aksi brutal, aksi sabotase dan tindakan dalam bentuk apapun. “Yang kedua, kepada seluruh elemen pergerakan di tanah Papua, untuk tidak boleh melakukan keputusan-keputusan apapun lewat forum-forum, semua sabar, menanti, menunggu apa yang akan diambil oleh PBB, itu termasuk kongres Papua tiga, KTT dan apapun bentuknya, tidak boleh,” tegasnya.
Ia juga meminta agar TNI dan Polri yang bertugas untuk tidak lagi mengintimidasi seluruh aktivis Papua. “Jangan lagi menekan rakyat Papua Barat dan aktivis pergerakan, mari kita sama-sama mendukung jalannya proses demokrasi seperti yang diatur oleh PBB sesuai mekanisme internasional,” tandasnya.

Sebagai anggota PBB, OPM mengharapkan Indonesia harus menghormati mekanisme yang sementara dibangun dan tidak membuat gerakan tambahan. “Nah ini yang harus diperhatikan, mari kita dukung proses demokrasi ini dengan baik,” katanya lagi.

Rencana pelaksanaan kongres Papua III di Jayapura, akan digelar dari 16 hingga 19 Okotober 2011 mendatang. Kongres tersebut bakal didukung Presidium Dewan Papua, Yepena (Youth Papua National Authority), West Papua National for Leader Nation, dan Bintang 14 Melanesia Barat.

Tema kongres tersebut adalah ‘Mari Kita Menegakkan Hak-hak Dasar Orang Asli Papua di Masa Kini dan Masa Depan’. Kongres Papua III sebagai lanjutan dari Kongres Papua II tahun 2000 yang juga membahas aspirasi murni dan hak-hak dasar orang asli Papua.

Rencananya kongres tersebut akan mengundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai keynote speaker. Agenda kongres antara lain membicarakan soal kesejahteraan, hak masyarakat Papua, dan penataan Papua ke depan.

Dikatakan Pekikir, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) International Lawyer for West Papua di London, Inggris, dengan tema West Papua: the Road to Freedom, digelar oleh dua lembaga solidaritas Papua – Free West Papua Campaign dan International Lawyers for West Papua.
Konferensi tersebut membahas proses integrasi tahun 1969 yang bermasalah secara hukum dan politik. “Semua sudah diputuskan disana, putusannya antara lain menyiapkan jalan bagi kemerdekaan, jadi tidak ada lagi kongres atau dialog,” katanya.

Tekat panitia penyelenggara Kongres III Rakyat Papuya untuk menggelar Kongres pada pertengahan Oktober 2011, tampaknya tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Hal itu sebagaimana ditegaskan Selpius Bobii selaku ketua panitia saat menggelar jumpa pers di Asrma Yunas Harapan, Jumat (16/9). “Ada atau tidak ada tempat, agenda tetap jalan. Tidak bisa ditunda lagi,” tegasnya.

Dikatakan, Tim 7 yang dipimpinnya dalam waktu dekat segera berangkat ke Jakarta untuk menemui Presiden Susilo Bambang Yodhoyono. “Tim 7 akan menemui Presiden Republik Indonesia di Jakarta guna menyampaikan pemberitahuan resmi dan undangan kepada Bapak presiden RI agar dapat memberikan ruang demokrasi kepada Rakyat Papua untuk menyelenggarakan pesta demokrasi Rakyat papua tertinggi dan sekaligus mmebuka secara resmi KRP III,” ungkapnya lagi.

Konggres yang digelarnya dengan focus pada penegakan hak-hak dasar orang asli Papua di masa kini dan masa mendatang, menurutnya bukan tidak mungkin ada pihak yang mendukung maupun pihak-pihak yang tidak suka atau tidak mendukung. Sehingga ia menghimbau kepada seluruh komponen masyarakat di Papua untuk tidak mudah terprofokasi terhadap issu-issu yang diluar koordinasi dengan pihak panitia pelaksana kongres.

Kongres yang menurutnya juga bertujuan untuk menguatkan apa yang menjadi agenda Jaringan Damai Papua (JDP) yakni mendorong terlaksananya dialog Papua-Jakarta.

“Kami juga menghimbau kepada seluruh Rakyat Papua untuk melaksanakan doa dan puasa kepada Tuhan Allah Yang Maha Kuasa,” himbaunya.

Dalam hal tersebut, menurutnya doa dan puasa dilaksanakan selama dua minggu pada Bulan Oktober 2011. Selain itu juga menghimbau untuk penciptaan suasana hening selama dua mingu di akhir Bulan Juni 2011. “Doa dan puasa ini bertujuan untuk mengosongkan segala pikiran jahat yang ingin membuat situasi dan kondisi yang tidak kondusif di seluruh Tanah papua dan merekonsiliasi diri,” jelasnya.

Disinggung tentang upayanya meminta pihak DPRP untuk memfasilitasi pertemuan dengan presiden, dikatakan bahwa pihak panitia telah memasukkan surat ke DPRP. “ Mudah-mudahan dalam satu atau dua minggu ini bisa mendapat jawaban dari DPRP,” jelasnya.(aj/jer/don/l03)

BP, Jumat, 16 September 2011 23:25

Menhan: OPM Tak Mewakili Masyarakat Papua

Metrotvnews.com, Magelang: Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) tidak mewakili mayoritas masyarakat Papua sehingga permintaan mereka untuk berdialog dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan ditolak.

“Organisasi mereka itu kecil, hanya ada di beberapa tempat saja. Apakah organisasi ini bisa mewakili seluruh rakyat Papua,” katanya di Seminar Menegah St Petrus Kanisius Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Sabtu (13/8).

Purnomo mengatakan, saat seminar di Oxford, isu referendum yang dilontarkan OPM justru tidak populer. Masyarakat Papua sendiri tidak menanggapi isu tersebut. Menurut dia, di Papua organ kehidupan telah berjalan dengan baik sejak lama. Dia tidak menangkap munculnya keinginan rakyat daerah itu yang bermacam-macam.

Namun, dia mengakui terdapat embrio separatis dari sejumlah wilayah di daerah ini. Hal ini tidak menjadi masalah. “Di Papua organ kehidupan berjalan baik. Tidak ada yang berkeinginan macam-macam. Memang ada embrio separatis, tetapi kecil dan sudah ditangani, jadi tidak menjadi masalah,” katanya.

Menurut Purnomo, untuk mengatasi masalah di Papua, maka salah satu program yang dilakukan yakni Tentara Manunggal Masuk Desa (TMMD). Di daerah itu tentara membangun infrastruktur, sehingga kehidupan masyarakatnya lebih maju.

Ia mengatakan, kondisi Papua saat ini berbeda dengan sebelumnya. Ia menyontohkan, pada zaman Orde Baru, pejabat di Papua orang Jawa, sekarang pejabat berasal dari daerah Papua sendiri dan ini merupakan persyaratan.

Ia menuturkan, terkait kesejahteraan masyarakat Papua, sekitar 80 persen pendapatan dari daerah itu dikembalikan lagi ke Papua, yakni mencapai Rp28 triliun per tahun.

Menurut dia, jumlah nilai tersebut sangat besar dengan jumlah penduduk sebanyak tiga juta orang. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan ada sejumlah dana di daerah itu yang mengendap tidak terpakai. Hal ini seharusnya ditindaklanjuti oleh instansi terkait.

Menyinggung persoalan pertahanan di daerah perbatasan seperti Papua dengan Papua Nugini, di Kalimantan dengan Malaysia serta di Atambua dengan Timor Leste, dia menyatakan tidak ada masalah.

Ia mengatakan, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kesejahteraan para pasukan penjaga di daerah perbatasan tersebut. “Saat ini sedang kami upayakan,” katanya.(Ant/BEY)

Polkam / Sabtu, 13 Agustus 2011 14:00 WIB

JE Habibie: RMS dan OPM Sudah Habis

Jakarta, RMOL. Duta Besar Indonesia Untuk Kerajaan Belanda, Junus Effendi Habibie mengatakan, hubungan bilateral dengan pemerintah Belanda berjalan cukup baik.

Ada tiga bidang yang menjadi tolok ukur, yaitu bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dalam hal hubungan bilateral Indonesia-Belanda, di bidang politik bisa dikatakan berjalan lancar, karena Belanda selalu mendukung Indonesia di berbagai forum.

“Di forum-forum internasional kita deal saling bantu. Kita lobby diplomat Belanda untuk saling membantu. You bantu kita, kita Bantu you. Timbal baliklah Misalnya untuk kerjasama internasional mengenai human rights dan lain-lainnya, Belanda selalu berada di pihak kita,” kata Dubes Junus Effendi Habibie dalam Kuliah Umum “Generasi Muda Merespons Perkembangan Politik Luar Negeri Republik Indonesia” di depan mahasiswa Universitas Esa Unggul Jakarta, Rabu siang (28/7).

Menurut Fanny Habibie, demikian panggilan akrab adik kandung mantan Presiden BJ Habibie ini, Belanda memang bersahabat, senantiasa berada di pihak Indonesia. Hubungan kedua negara semakin mesra setelah Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 sesuai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Selama hampir 65 tahun Belanda tidak bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949. Nah, pada 17 Agustus 2005 yang lalu Bot menghadiri Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta .

Diplomat kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, itu mengakui masalah bidang politik adalah masalah RMS (Republik Maluku Selatan) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Dari 15.000 populasi orang Maluku yang ada di Belanda kini sudah mencapai sekitar 40 ribu orang, tetapi tidak semua orang Maluku itu adalah RMS.

“Sekarang kita telah berhasil menetralisir mereka. Ketika saya masuk (menjabat Dubes Indonesia untuk Belanda), saya membawa tim kesenian Indonesia dari Universitas Pattimura, dan ternyata bisa menetralisir mereka. Sejak saya di sana , demonstrasi setiap ulang tahun RMS itu sudah tidak ada lagi,” katanya yang disambut tepuk tangan mahasiswa.

Menurut Dubes Belanda, gerakan mereka kini terpecah menjadi tiga kelompok, yakni kelompok yang pro Indonesia , netral dan menentang. Kelompok yang pro kita pertahankan, sementara kelompok yang netral, sebagian kita tarik menjadi pro Indonesia .

“Sehingga untuk pertama kalinya seorang Dubes Indonesia diundang dalam perayaan Natal oleh RMS. Ketika saya datang, saya lihat mereka memasang bendera RMS, kemudian saya minta mereka untuk menurunkan bendera tersebut, dan mereka bersedia menurunkannya. Sewaktu diminta untuk memberikan sambutan, saya ngomong bak pendeta yang khotbah tentang Yesus Kristus. Inilah hikmahnya saya pernah sekolah (SMP) Kristen dulu. Sudah barang tentu saya uraikan tentang Pancasila dan segala macam tentang NKRI, sehingga mereka mengerti,” kata pria yang fasih berbahasa Belanda ini.

Dikatakan, ruang gerak RMS maupun OPM praktis sudah habis. Apalagi mereka tidak memperoleh dukungan parlemen Belanda. Presiden RMS dalam pengasingan mengakui cita-cita RMS itu sudah pupus dan menginginkan untuk berunding dengan Indonesia .

“Saya katakan kepadanya, anda siapa? Kalau dalam kapasitas sebagai pemimpin RMS, sejak tahun 1950 RMS itu sudah habis, jadi sudah tidak ada. Kalau mau melakukan kerjasama dan sebagainya boleh saja, anda boleh datang ke KBRI tetapi sebagai orang Indonesia. Jadi dalam hal RMS dan OPM ini kita harus tegas, dimana saya melakukan diplomasi budaya. Karena mereka berbicara tentang culture, kampung halaman, orang tua dan sebagainya, dan kebetulan saya fasih berbahasa Maluku jadi mereka merasa bahwa Dubes Indonesia ini adalah orang mereka hahaha,” kata Fanny Habibie tergelak.

Lebih lanjut soal OPM, lanjut Fanny Habibie yang tampak masih enerjik itu, upaya pimpinan OPM selama ini tidak berhasil. Mereka menyadarinya itu sehingga pemimpinnya yang sudah sepuh (tua) meminta berbicara dengan Dubes RI .

“Ya saya undang mereka dan kita hormati sebagai orang tua, dan mereka mengatakan bahwa dirinya sebagai orang Papua, seorang nasionalis dan beragama Nasrani yang memperjuangkan kemerdekaan Papua. Dan saya katakan bahwa saya Dubes RI, seorang nasionalis dan seorang Muslim, dan saya ingin Papua itu sebagai salah satu keluarga saya, dalam satu rumah yang kita angkat sama-sama, NKRI,” katanya.

Dalam pembicaraan saat itu Fanny Habibie menggunakan diplomasi pantun, dan disampaikan bahwa keadaan Papua sekarang ini banyak kemajuan dibandingkan setengah abad lalu. Setelah dia melihat sendiri, kemudian dengan yakin dia, yang notabene adalah sebagai founding father OPM, menyerahkan paspornya dan meminta menjadi Warga Negara Indonesia .

Menurut Dubes Belanda, melalui pendekatan secara emosional, cultural, dan bahkan diplomasi pantun, kita telah berhasil membawa dia kembali ke Indonesia , ini secara politik. Demikian juga dengan RMS, dia mendatangkan tim kesenian dari Unpati (Universitas Patimura, Ambon ) dan juga para pejabat asal Maluku, sehingga mereka kaget bahwa bangsanya juga ada yang menjadi pejabat.

“Kita tahu bahwa ekspor Indonesia ke Belanda dibanding dengan impor kita dari Belanda, kita surplus sekitar 2,7 miliar dolar AS. Komoditi ekspor kita contohnya adalah minyak kelapa sawit, dimana sebagian besar minyak kelapa sawit yang ada di Rotterdam itu berasal dari Indonesia . Kemudian coklat, furnitur dan garmen,” katanya. [ald]

Pendiri: OPM Sebenarnya Kata Mati

VIVAnews – Organisasi Papua Merdeka (OPM) selama ini mendapat label separatis. Kelompok ini juga dituding di balik beberapa aksi kekerasan di Papua.

Salah satu pendiri OPM, Nicholas Jouwe mengatakan saat ini apa yang diperjuangkan OPM saat ini bukanlah aspirasi rakyat Papua. Jouwe sendiri menilai OPM tidak memiliki arti apa-apa di Papua dan hanya dibesarkan pihak tertentu.

Hal ini dikatakan Jouwe usai menemui Wakil Presiden Boediono di Istana Wapres, Jakarta 25 Januari 2010. “Kata OPM sebenarnya kata mati yang tidak punya arti apa-apa. Tapi itu selalu digembar-gemborkan,” kata dia.

Kebanyakan masyarakat Papua pendukung OPM, kata Jouwe, juga tidak mengerti maksud perjuangannya. Ini dikarenakan minimnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan mereka.

“Orang Papua sama sekali tidak tahu apa-apa,” ucap Jouwe yang juga menggagas bendera Bintang Kejora.

Selain minimnya pendidikan, Jouwe bahkan menganggap masyarakat Papua menjadi mudah terprovokasi OPM karena sogokan uang.

“Ini karena kebodohan, tidak tahu artinya diucapkan. Apalagi disogok dengan uang sedikit, Rp 100 ribu, dia berkoar di sana sini tentang OPM,” ujar Jouwe yang 47 tahun menetap di Belanda untuk memperjuangkan Papua Merdeka.

Jouwe menemui Wapres Boediono untuk meminta percepatan proses pengajuan dirinya sebagai Warga Negara Indonesia. Boediono, menurut Jouwe, juga berjanji akan mempercepat dan memprioritaskan permintaan Jouwe.

Jouwe mengaku terkesan atas suasana yang menyenangkan saat bertemu Wapres Boediono. Selanjutnya, Jouwe berjanji akan mengabdikan dirinya untuk membangun Papua.

“Saya sudah lama tunggu itu. Saya mau bantu bangsa saya di Papua, mendatangkan masa depan yang baik, yang penuh damai dan cinta kasih,” tuturnya.

Pesan dari Panglima Tertinggi TRPB: OPM tetap Ada dan Berkarya!

Mendengar banyak orang Papua mengisyukan OPM sudah tidak ada dan tidak bergigi lagi, maka Panglima TRPB, Gen. TRPB Mathias Wenda menyerukan kepada setiap insan orang Papua yang berhatinurani untuk merdeka dan berdaulat di Luar NKRI agar berbenah diri dan terus siap-siaga, karena Tentara Revolusi Papua Barat sekarang ini tidak bekerja secara sporadis dan tidak profesional seperti sediakala.

Angkatan bersenjata untuk Papua Merdeka kini telah memantapkan diri dan bekerja sesuai petunjuk dan garis kerja bersama Organisasi Papua Merdeka. Oleh karena itu, untuk sepuluh tahun terakhir TRPB tidak melakukan kegiatan apa-apa berdasarkan kesepakatan dan arahan bersama.

Kalau seandainya saja terjadi apa-apa, maka jangan pernah orang Papua-Indonesia menganggap bahwa OPM sudah mati. OPM tidak akan pernah mati sampai satu orang Papua-pun masih hidup.

MERDEKA HARGA MATI!

Per “SMS” ke SPMNews

Drama “Penyerahan diri Anggota OPM” oleh NKRI: Tanggapan Resmi dari Mabes Pudat Pertahanan TRPB

Secara resmi, Tentara Revolusi Papua Barat (TRPB) bermarkas Pusat di Rimba Papua menanggapi berbagai kisah dan drama dengan babak-babak yang kelihatannya menurut Leut Gen TRPB Amunggut Tabi sebagai sesuatu yang patut dalam rangka mengikuti petunjuk dan kebijakan baru TRPB dan OPM dalam membangun strategi perjuangan Papua Merdeka.

Surat berdujul: TRPB Memahami dan Memang Perlu karena  Kekuatan Perjuangan Papua Merdeka sudah sejak dua tahun lalu Merubah Strategi bertanda-tangan Leut Gen TRPB Amunggut Tabi: TRPB menyatakan “Memahami dan Memang Perlu agar Kekuatan Perjuangan Papua Merdeka Merubah Strategi.” Selanjutnya dinyatakan,

“Bergabung ke dalam Masyarakat dan Membangun Kekuatan dari Dalam Kampung-Kampung, Bukan di Hutan Rimba Lagi. Ini sebuah gerabrakan yang perlu diikuti agar tidak semua orang dengan sembarang mengakui diri sebagai anggota OPM, dan akibatnya tanggapan TNI/Polri yang brutal dan barbarian, yang menyebabkan penderitaan rakyat. Mereka tidak bergabung ke dalam NKRI, tetapi bergabung ke sanak-keluarga dan, mereka tidak pergi ke Bumi Ibu Pertiwi, tetapi tetap di Bumi Cenderawasih.”

Surat dimaksud selanjutnya menyarankan agar tidak melebih-lebihkan atau merasa kuatir tentang masa depan perjuangan Papua Merdeka mendengar pemberitaan Cenderawasih Pos milik TNI itu tentang anggota OPM menggabungkan diri ke dalam NKRI. Yang terjadi justru lebih baik supaya masyarakat dan membangun kekuatan dari dalam diri, jiwa dan raga bangsa Papua dengan cara memberikan contoh teladan dalam membantu dan membangun masyarakatnya sendiri.

“Dengan demikian pasukan TRPB dan politisi OPM semakin profesional dalam kiprahnya.” Yang jelas, secara resmi, organ perjuangan Papua Merdeka sayap militer adalah TRPB sementara sayap politik adalah OPM, sehingga barangsiapa masih menggunakan nama OPM seolah-olah itu kekuatan bersenjata, maka pihak-pihak itu KELIRU BESAR, tidak ada dalam gerak langkah sejarah yang ada di Tanah Papua.

Demikian sambungan surat tadi.

Dalam surat dimaksud juga disebutkan banyak cerita tentang riwayat para orang Papua yang menyerahkan senjata berburu yang menjadi alat berburu biasa di PNG, yang diserahkan ke Aburizal Bakrie.

Perlu dicermati juga, menurut surat ini, bahwa elit politik seperti Bupati dan Ketua DPRD juga memainkan perannya dalam rangka menyuguhi NKRI dengan hidangan-hidangan lezat, apalagi saat berkunjung ke pedalaman Papua Barat. Walaupun tidak mau teralu ke dalam, surat ini berkata, “Biar NKRI juga sejak dulu menipu bangsa Papua, jadi sekal-kali orang Papua tipu Indonesia juga tidak masalah, malahan wajar.” Apalagi, katanya, “selama ini Indonesia menipu rakyat Papua, tetapi orang Papua bisa main sandiwara dengan Menteri dan Presiden NKRI, itu berarti kan orang bisa tahu ‘Siapa pemain sinetron yang lebih handal?’

Kemudian, menyangkut judul Film Sinetron NKRI itu, surat ini berkata, “Judul Sinetronnya dan pemain sandiwara itu orang-orangnya sama dari sebelum kami lahir sampai kini sudah berusia senja. Apa NKRI tidak punya pemain sinetron dan sutradara lain? Miskin kali?” Tetapi, katanya, “Sering juga lagu lama kalau diputar juga menjadi lagu nostalgia yang indah, barangkali itu yang sedang dinikmati NKRI.”

Dalam surat ini juga diserukan kepada seluruh pejuang dan masyarakat Papua di Tanah Papua dan di perantauan agar terus berjuang, berjuang dan berjuang, sampai titik darah penghabisan, sampai NKRI kehabisan uang Otsus, sampai Otsus mendanai Papua Merdeka benar-benar terbukti.

Merdeka Harga Mati!!!

3 Bendera OPM Dikibarkan Demonstran di Manokwari

JAYAPURA – Sejumlah mahasiswa dan pemuda menggelar aksi demonstrasi serempak di dua lokasi yakni Jayapura, Provinsi Papua dan Manokwari, Provinsi Papua Barat, Senin (3/3/2008).

Kedua aksi demo di dua lokasi terpisah menuntut dicabutnya UU No 21 Tahun 2001, perihal pemberian otonomi khusus (otsus) bagi Papua serta menuntut digelarnya referendum bagi Papua.

Dalam aksi demo itu, aparat Polres Jayapura menahan dua pendemo yang menggelar aksi unjuk rasa di depan Kampus Universitas Cenderawasih. Sedangkan di Manokwari, polisi menangkap seorang pendemo beserta menyita tiga bendera Bintang Kejora, yang merupakan lambang Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Puluhan mahasiswa dan pemuda Papua yang menggelar unjuk rasa tersebut mengatasnamakan Front Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua.

Namun, saat para pendemo melintas di depan Jalan Abepura, persis di depan Kantor Pos Jayapura, sejumlah polisi telah bersiaga guna menghadang dan membubarkan aksi longmarch para pendemo tersebut.

Akhirnya, para pengunjuk rasa balik ke arah kampus Uncen. Dan di depan pintu masuk kampus, para pendemo menggelar aksi unjuk rasa seraya membentangkan spanduk. Aparat Polres Jayapura segera membubarkan kerumuman massa yang mengakibatkan ruas jalan di Padang Bulan, Abepura, mengalami kemacetan.

Sementara itu, aksi unjuk rasa serupa digelar di Kota Manokwari, Provinsi Papua Barat, puluhan orang menggelar aksi demo. Dalam aksi demo itu, para pengunjuk rasa membawa spanduk dan berteriak menuntut kemerdekaan bagi Papua.

Sejak Senin pagi, aparat Polres Manokwari yang bersiaga penuh. Saat berlangsung orasi seraya membentangkan bendera, aparat kepolisian segera membubarkan kerumuman massa. Petugas pun berhasil menahan seorang pendemo dan berhasil menyita tiga bendera Bintang Kejora.

“Kami masih meminta keterangan dari pendemo yang berhasil kami tangkap,” tegas Kapolres Manokwari AKBP Yakobus Marzuki.

Yakobus menegaskan, sebelumnya, Polres Manokwari tidak memberikan izin berdemontrasi yang diminta oleh sekelompok massa mengatasnamakan kelompok West Papua Nation Outority (WPNA) tersebut.

“Para pendemo terpaksa diambil langkah tegas karena tidak menaati aturan hukum yang berlaku, yakni melanggar aturan hukum UU No 9 Tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di depan umum,” tegasnya.

Secara terpisah, Kapolres Jayapura AKBP Robert Djoenso kepada wartawan, Senin sore, di ruang kerjanya, menegaskan hingga saat ini pihaknya telah menahan dua pendemo yang menggelar aksi unjuk rasa di depan kampus Uncen.

“Kedua pendemo ini kami tangkap karena membentangkan spanduk yang di dalamnya terdapat gambar bendera Bintang Kejora. Mereka hingga saat ini masih dimintai keterangan oleh aparat di Mapolres Jayapura,” tegas Robert. (FM Toruan/Sindo/jri)

“1 JULI” KEBANGKITAN NASIONAL BANGSA PAPUA BARAT

Tanah Papua, 21 Juni 2008-Gerakan Pembebasan Nasional Papua Barat tidak hanya berada dalam histories gerakan rakyat yang stagnan. Terhitung 1 Juli sejak tahun 1965 Lahirlah Organisasi Papua Merdeka yang di deklarasikan di Wilayah Kepala Burung. Penyebaran Firus OPM kemudian menyebar hingga sekarang menancapkan semangat kemerdekaan 1961 di seantero Bumi Papua yaitu Bagian Barat pulau yang sering di sebut bumi Cenderawasih.

Dinamika semangat pembebasan nasional Papua Barat tak bisa lepas dari garis pembebasan nasional yang telah di lakukan secara defakto. Pengakuan Negara Papua Barat secara sepihak oleh Bangsa Papua Barat pada 1 Desember 1961 hingga proses pencaplokan Tanah Papua melalui rekayasa Penentuan Pendapat Rakyat ( PEPERA ) rahun 1969 tidak memudarkan semangat perjuangan Bangsa Papua guna pengembalian Negara-Nya.

Continue reading ““1 JULI” KEBANGKITAN NASIONAL BANGSA PAPUA BARAT”

Mengapa Tentara Revolusi Papua Barat Harus Berpisah dari Organisasi Papua Merdeka?

Markas Pusat Pertahanan Komando Revolusi Tertinggi Tentara Revolusi Papua Barat (TRPB) dengan ini bermaksud menjelaskan satu dari berbagai perhitungan praktis langkah yang telah diambil Panglima Komando Tertinggi Tentara Pembebasan Nasional (TPN atau TEPENAL) di Markas Pusat Pertahanan pada November – Desember 2006: yaitu pemisahan organisasi sayap militer (TPN/TRPB) dari organisasi sayap politik (OPM). Sementara perhitungan strategis dan taktis tidak disampaikan kepada publik dalam media ini. Continue reading “Mengapa Tentara Revolusi Papua Barat Harus Berpisah dari Organisasi Papua Merdeka?”

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny