5 Kebijakan Gubernur Papua Lukas Enembe Yang Patut Dibanggakan

Dalam sebuah kepemimpinan suatu pemerintahan maupun non pemerintahan pasti tidak akan pernah lepas dari pro dan kontra dalam menyikapi setiap kebijakan yang diterapkan pemimpinnya.

Dari sekian banyak Gubernur di Indonesia yang berani menangkal pro dan kontra misalnya seperti gubernur Jakarta yang akrab disapa Ahok. Ia ketika di pangil KPK pun berkata “dipangil Tuhan saja siap, apa lagi KPK”.

Bukan hanya itu, ia bahkan berani meminta para pejabat BPK untuk membuka hasil kekayaannya kemata publik. Ancaman silih berganti bukan penghalang bagi seorang Ahok untuk menerapak kebijakannya.

Banyak dari mereka sering berkata saat ini Jakarta punya Ahok. Berani dan tegas untuk memihak kepada rakyat dan negara. Selain itu berani mengambil resiko demi menerapkan sebuah kebijakan yang benar dan bermanfaat bagi masyarakat Jakarta. Sikap ini membuat ahok menjadi objek dari pandangan baik dan buruk yang datang dari masyarakat Indonesia.

Soal ketenaran dan keberanian seorang Ahok tidak perlu di ragukan lagi. Kita semua telah mengetahui itu dari berbagai media ternama di negeri ini.

Pertanyaannya Bagaimana dengan Gubernur Papua?

Satu persolan yang sering dilupan masyarakat Papua adalah mereka juga memiliki seorang gubernur yang tidak kalah tegasnya dalam melindungi masyarakat Papua dengan kebijakan-kebijakannya. Selain itu Ia juga berani untuk berkata tidak pada setiap kebijakan pemerintah pusat yang menomorduakan orang Papua.

Provinsi Papua pada masa kepemimpinan Lukas Enembe terdapat beberapa kebijakan yang sangat memihak kepada masyarakat Papua. Dan kebijakan tersebut patut dijadikan teladan.

Barangkat dari penjelasan di atas berikut ini lima poin kebijakan gubernur Papua Lukas Enembe yang patut untuk diacungi jempol.

Pertama Dana Otsus sebesar 80 Persen dialihkan ke Kabupaten

Di bawah kepemimpinan Lukas Enembe dana otsus sebersar 80 persen dialihkan kekabupaten dan 20 persennya untuk Provinsi. Kebijakan terebut bertujuan untuk mengembangkan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pemenuhan infrastruktur dasar.

Gubernur Papua Lukas Enembe Memberi Dana Otsus 80 Persen ke Kabupaten. (kabarpapua.com)

Kedua Gubernur Papua Menerbitkan PERDA larangan beredarnya minuman keras di Papua

Pada kenyataannya tidak semua orang Papua itu pemabuk sebagaiman yang sering dicap oleh sebagian orang non Papua di negeri ini. Tatapi kita juga harus berani mengakui bahwa bebera generasi muda Papua dibunuh oleh setan yang bernama alkohol

Penerbitan larangan beredarnya minuman keras di Papua ini sangat berani dan bermanfaat bagi orang Papua untuk melindungi generasi mudah Papua.

Kebijakan ini jika diterapkan dengan baik dalam pengaplikasiannya maka kita sepakat masalah miras di Papua bisa ditangani dari akarnya, karena yang diadili pelaku penjual dan pengedar minuman keras (miras) yang membuat orang mabuk. Soalnya selama ini aturan yang berlaku di Papua adalah menangkap orang yang mabuk karena minuman.

Perda tersebut sangat bermanfaat karena setidaknya dapat menekan peredaran miras tersebut dari induknya. Bukan dari orang yang mengkonsumsinya.

Menanggapi kebijakan Gubernur Papua yang melarang minuman keras beredar di Papua. Ketua Bidang Ekonomi Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas angkat bicara. Ia (Anwar) sangat mengapresiasi kebijakan ini dan berpendapat kebijakan seperti ini patut di ikuti oleh para pemimpin lainya di Indonesia.

Kalau selama ini ada pihak-pihak yang takut melakukan dan membuat peraturannya karena dianggap perdanya berbau syariah, maka apa yang dilakukan oleh Gubernur Papua ini jelas-jelas tidak bisa dilabeli dengan Perda Syariah karena beliau adalah seorang Kristen yang baik dan penduduk yang akan dikenakan peraturan tersebut adalah juga kebanyakannya beragama Kristen.eramuslim.com.

Ketiga berani protes pemerintah pusat yang menganggap dana Otsus 30 triliun yang diberikan sejak tahun 2002 hingga saat ini lebih besar dari hasil pencapaian.

Langkah ini sangat berani mengingat pemerintah pusat menuhankan uang yang di berikan dari pada meninjau beratnya medan dan letak geografis yang sangat sulit di jangkau dalam proses pengaplikasian program. Ia berani menegaskan dana dengan sekian rupiah sangat tidak cukup untuk membangun Papua. Bahkan Ia menegaskan kepada pemerintah pusat . Pemerintah Papua siap mengembalikan dana tersebut ke pusat jika Pusat membesar-besarkan dana tersebut.

Kata dia (Lukas) 50 miliar hanya cukup untuk membangun jembatan berukuran 500 meter.

Gubernur Papua mengatakan dana Otsus Papua sejak 2002 hingga saat ini tercatat senilai Rp30 triliun sehingga rata-rata dana yang disalurkan ke 29 kabupaten sebesar Rp80-90 miliar selama 13 tahun.

Menurut dia, dana itu tentu saja tidak cukup untuk membangun daerah karena harga bahan baku untuk membangun di Papua terlalu mahal. (antarasultra.com)

Dari kutipan ini Pak Lukas menuntut pemerintah pusat jangan melihat dari jumlah dana yang di berikan, tetapi dari letak geografis, tingkat kebutuhan, dan keterbatasan prasarana dan sarana dalam proses percepatan penyelenggraan tiap programnya.

Ke empat Menolak membangun smelter di luar Papua

Kita semua tahu beberapa tahun terakhir negeri ini diguncang dengan isu perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia. Selain itu, pembangunan smelter dari PT. FI yang menurut pemerintah pusat akan di bangun di Jawa Timur. Menanggapi rencana tersebut, Lukas Enembe menolak denang tegas rencana terebut. Menurutnya semelter harus dibangun di Papua. Kekayaan alam Papua harus diprioritaskan untuk membangun Papua.

Menurutnya, semua kekayaan alam, termasuk tambang diperuntukkan bagi kesejahteraan Papua. Maka itu, Freeport wajib membangun smelter di Papua.

“Kalau tak membangun di Papua, silahkan keluar dari Papua”.(industri.bisnis.com)

Kelima menolak dengan tegas program transmigrasi ke Papua

Kebijakan ini layak untuk diapresiasi oleh masyarakat Papua. Sejak gubernur pertama di Papua sampai saat ini jarang ada gubernur yang seberani Lukas Enembe. Bagi saya ketegasan Lukas Enembe berangkat dari kecintaannya terhadap masyarakatnya di Papua.

“Pemerintahan Jokowi jangan bikin masalah baru di Papua. Kalau transmigrasi datang, imigran masuk dari berbagai pulau. Orang asli Papua akan tersisih dan menjadi minoritas dalam bertani dan menjadi miskin di tanahnya sendiri”(Jubi.com)

Terlepas dari pro dan kontranya kebijakan seorang gubernur. Kelima kebijakan Pak Lukas Enembe di atas patut untuk dibanggakan. Bagi saya pribadi untuk saat ini Bapak Lukas Enembe dalam melindungi Orang Asli Papua (OAP) khususnya dari kebijakan pemerintah pusat yang menomor duakan masyarakat Papua cukup baik.

Referendum dari Catalunya, Spanyol Sampai Bougainville, PNG

Jayapura, Jubi- Barcelona adalah klub kebanggaan masyarakat Catelunya, Provinsi Otonom Spanyol. Bahkan ketika Barcelona berlaga Bendera Kebangsaan Catelonya turut berkibar pula meramaikan stadion kebanggaan Barcelona. Saat Spanyol menang Piala Dunia Puyol, Pique dan kawan-kawan melambaikan bendera Catalunya. Anehnya punggawa Barcelona tidak ditangkap oleh aparat keamanan di Negara Kesatuan Spanyol dan tidak pula dikenakan pasal gerakan separatisme.

Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirayuda mengakui kalau gerakan kemerdekaan di Indonesia tak selamanya bisa selesai begigtu saja. Pasalnya kata dia negara-negara demokratis tua seperti di Inggris, Spanyol maupun Belgia yang sudah berusia hampir 300 tahun masih saja ada referendum untuk memisahkan diri.

Kepada Jubi belum lama ini di Denpasar Bali, Hassan Wirajuda mengatakan negara-negara seperti Inggris yang sudah berusia ratusan tahun termasuk Spanyol dan Belgia mempunyai ekonomi dan kesejahteraan yang baik tetapi semangat referendum masih ada di sana.

“Hal ini tidak menutup kemungkinan bisa saja terjadi di Indonesia.”kata Menlu di era Megawati dan SBY mengingatkan kepada Republik Indonesia yang baru saja berusia 70 tahun kemerdekaan.

Era 1998 saat Perang Saudara di Yugoslavia, mendiang begawan antropologi Indonesia Koentjarangrat dalam artikelnya berjudul Perang Suku Bangsa di Yugoslavia mengatakan jika membandingkan masalah suku bangsa Indonesia dengan Yugoslavia masalah hubungan antar suku bangsa dan agama. Kata dia Indonesia jauh lebih beruntung, hanya saja Koentaraninggrat mengingatkan tiga hal pokok penting dalam negara kesatuan Republik Indonesia, pertama perlu menghindari upaya memaksakan konsep mengenai nilai-nilai budaya kepada penduduk yang dipandang “terbelakang,” seperti yang masih dilakukan terhadap penduduk di Timor Timur (sekarang sudah jadi Timor Leste) dan Papua (Papua dan Papua Barat). Kedua adalah mendiskriminasikan sesama warga bangsa Indonesia, seperti yang secara sadar atau tidak masih saja dilakukan. Ketiga, menjaga agar kesenjangan antara daerah yang cepat maju dengan yang lambat maju untuk tidak menjadi terlalu besar.

Jika menyimak pernyataan Koentjaraningrat jelas, diskriminasi maupun kesenjangan masih saja terjadi dan Timor Timur sudah merdeka dan kini jadi Timor Leste. Kemenangan referendum di Timor Leste menjadi jawaban bahwa pembangunan fisik dan kesejahteraan bukan tolok ukur dalam membangun wawasan kebangsaan dan bernegara. Ada nilai-nilai budaya suku bangsa yang terkadang diabaikan dan dianggap sepele.

Bagaimana dengan warga Catalunya yang bertahun-tahun tidak bisa menjadi warga negara Spanyol. Bahkan ketika klub Barcelona bermain, ada slogan “Catalunya is not Spain.” Ini adalah realita sosial di negara-negara maju di Spanyol, Inggris dengan Scotlandia, Belgia hingga negara tetangga Papua New Guinea dengan semangat referendum di Provinsi Otonomo Bougainville.

Ratusan ribu pendukung kemerdekaan Catalunya, yang dikutip Jubi dari Kompas terbitan, Jumat (11/9/2015), unjuk kekuatan di kota Barcelona, Spanyol. Mereka melakukan pawai untuk mengampanyekan gerakan Catalunya merdeka atau pemisahan wilayah otonom itu dari Spanyol.

Ratusan pengendara sepeda, Jumat pagi, berkumpul di alun-alun kota kecil Vic, sekitar 70 kilometer dari Barcelona, ibu kota Catalunya. Mereka bersiap-siap mengendarai sepeda menuju Barcelona guna memeriahkan pawai pro kemerdekaan.

Pelatih kenamaan asal Catalunya, Pep Guardiola, dan pemain klub sepak bola Barcelona, Gerard Pique, adalah sebagian tokoh asal wilayah itu yang mendukung kemerdekaan Catalunya. “Kami ingin mengelola sumber daya kami sendiri,” ujar Guardiola yang kini melatih Bayern Muenchen, Selasa silam.

Pawai besar-besaran pro kemerdekaan digelar bertepatan dengan hari nasional Catalunya. Presiden Catalunya Artur Mas mengatakan, hari nasional Catalunya tahun ini spesial karena perayaannya berdekatan dengan pemilihan parlemen regional pada 27 September.

Unjuk kekuatan gerakan pro kemerdekaan Catalunya yang konon diikuti sekitar 500.000 orang tak ubahnya kampanye menjelang pemilu parlemen Catalunya. Kelompok pendukung kemerdekaan ini berharap kubu mereka merebut setidaknya 68 kursi dari total 135 kursi di parlemen Catlunya atau meraih mayoritas sederhana (50 persen+1).

Seandainya berhasil merebut mayoritas, kelompok politik pendukung kemerdekaan akan lebih leluasa melakukan langkah-langkah mengantar Catalunya yang berpenduduk 7,5 juta orang berpisah dari Spanyol. Sebaliknya, jika gagal merebut mayoritas pada pemilu parlemen Catalunya, pukulan telak pun dialami kelompok pro kemerdekaan.

Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy membantah referendum bisa diadakan seandainya kelompok pro kemerdekaan menjadi mayoritas di parlemen Catalunya. Menurut dia, referendum pemisahan Catalunya tak sesuai dengan konstitusi Spanyol.

Pusat Riset Sosiologi milik Pemerintah Spanyol menggelar survei yang hasilnya menunjukkan, koalisi partai pendukung kemerdekaan Catalunya, Junts pel Si (Together for Yes), dan partai kiri CUP dapat mengumpulkan 68-69 kursi.

Gerakan nasionalisme Catalunya mendapat dukungan lebih besar sejak ekonomi Spanyol melemah, beberapa waktu terakhir.

Bagaimana dengan Papua New Guinea dengan Provinsi Otonom, John Momis Presiden Daerah Otonom Bougainville mengatakan “Kami adalah orang-orang asli tanah air kita Bougainville. Kami sendiri harus memutuskan masa depan kita, takdir kita. Tidak ada orang luar dapat memutuskan untuk kita. ”

Karena itu tak heran kalau John Momis telah menjadwalkan 2019 sebagai tahun untuk suara referendum yang akan dilakukan, tapi ini belum disepakati oleh Perdana Menteri PNG dan kabinetnya.(Dominggus Mampioper)

DPRP Minta Masa Jabatan Anggota MRP Diperpanjang

JAYAPURA—Menindaklanjuti sikap masyarakat yang  telah menyatakan mengembalikan Otsus, maka DPRP, DPRD Papua Barat dan MRP  direncakan  melakukan pertemuan bersama, 15 September 2010 di Jayapura. Agenda utama  pertemuan itu menyangkut Perdasus  tentang pemilihan anggota MRP, serta evaluasi  Otsus yang  telah berjalan selama  sembilan tahun di Tanah Papua.

Demikian Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai ketika ditanya Bintang Papua di ruang kerjanya, Selasa (31/8) kemarin.  Untuk  membahas kedua masalah krusial ini, ujarnya, DPRP minta agar  masa jabatan anggota MRP yang akan berakhir Oktober ini diperpanjang selama 6 bulan, hingga anggota MRP periode mendatang  terbentuk. Hal ini dimaksud   agar ang­gota MRP juga dapat memberikan saran dan masukan serta indikator indikator kegagalan dan  keberhasilan  saat evaluasi  Otsus tersebut.

Menurutnya,  draf Perdasus  tentang pemilihan anggota MRP telah diserah­kan pihak eksekutif  kepada DPRP, serta beberapa poin tuntutan masyarakat beberapa waktu lalu yang dibawa ke DPRP. Saat per­temuan DPRP bersama masyarakat  telah disepa­kati  untuk  dibahas bersama menyangkut kegagalan Otsus.

“Kegagalan Otsus itu nanti juga akan kita dorong sampai terbentuknya Pansus Otsus kemudian kita evaluasi kegagalan dan keberhasilan Otsus, sehingga pada momen ini MRP yang  sekarang ini harus ada dan mereka juga harus presentasi selama lima tahun sebagai lembaga kultural itu mereka lihat seperti apa,” katanya.

Dikatakan, upaya pengesahan Perdasus  tentang pemilihan  anggota MRP tetap jalan di DPRP sesuai mekanisme. Setelah Perdasus  tersebut disahkan selanjutnya dilakukan  verifikasi  dan seleksi di lapangan tetap jalan.  Selama masa verifikasi dan seleksi administrasi oleh panitia seleksi itu yang nanti akan dimanfaatkan.

Ketika ditanya draf Perdasus tentang pengang­katan anggota MRP  berasal dari pihak  lembaga yakni eksekutif dan Demokratic Center Uncen, dia mengatakan,  tak ada soal kare­na keduanya itu adalah se­buah kekayaan untuk dapat menyatukan kedua konsep tersebut.

Terkait  sikap  MRP yang telah menyatakan mengembalikan Otsus, tapi di sisi lain mereka justru hendak  evaluasi  Otsus, tuturnya, sebenarnya MRP telah melaksanakan UU untuk memfasilitasi masyarakat adat menyampaikan apa yang mereka lihat dan mereka rasakan dalam masa perjalanan Otsus.

Dengan demikian, tambahnya, pada saat mereka menyatakan pengembalian Otsus bukan otomatis MRP bubar  tapi mereka juga melaksanakan konstitusi memfasilitasi masyarakat adat untuk menyampaikan aspirasi mereka.                
Kenapa proses pembahasan peraturan pemilihan anggota MRP sangat lambat, menurut dia, hal itu ada keterkaitan dengan kesiapan draf  Perdasus terutama di eksekutif juga ada kaitannya dengan DPRP yang menjadi tugas Badan Legislasi DPRP.
Menyoal draf Perdasus,  katanya,  kelompok mana saja bisa menyampaikannya seperti yang telah dilaksanakan Demokratic Center Uncen dan eksekutif  serta bisa juga dari inisiatif DPRP. Tapi  semua ini intinya adalah menyiapkan regulasi supaya dapat dipakai sebagai  acuan.

“Kita dorong dalam sebuah mekanisme dan  kita  sahkan supaya itu dapat dipakai sebagai dasar untuk   merekrut semua anggota MRP,” imbuhnya.
Kenapa draf Perdasus tentang pemilihan anggota MRP terlambat, ujarnya,  hal ini dikarenakan  DPRP juga  memiliki agenda kerja yang harus segera dibahas. Tapi dengan niat baik eksekutif dan Demokratic Center Uncen yang telah  memberikan suatu konsep dan pada saat pembahasan diprentasikan  untuk penambahan penambahan dari setiap pasal UU No 21 Tahun 2001 atau UU Otsus tersebut.

Dikatakannya,  revisi  UU Otsus dapat dilakukan setelah dievaluasi UU Otsus seperti pasal pasal mana yang harus direvisi atau pasal pasal mana dikurangi agar pelaksanaan Otsus di Papua dapat berjalan.  Tanpa melakukan evaluasi tapi eksekutif telah mengisukan pihaknya telah mengevaluasi itu inkonstitusional.

“Mau direvisi atau diubah itu sudah pelanggaran pemerintah juga tak boleh inkonstitusional karena UU itu jelas atas dasar usul rakyat. Usul rakyat itu dibicarakan dalam sebuah  bentuk evaluasi.  Rekomendasi rekomendasi yang dihasilkan dalam evaluasi itu menjadi bahan pertimbangan untuk dilaksanakan revisi terhadap UU Otsus. (mdc)

Otonomi Khusus, Pemekaran dan Penolakan rakyat Papua dalam Kaitannya dengan Boikot Pemilu NKRI 2009: Sebuah Catatan Lepas per Agustus 2008

Oleh Sem Karoba

Dalam tiga buku saya, berujudul PAPUA MENGGUGAT: (1) Praktek, (2) Teori , dan (3) Politik serta Politisasi Otonomi Khusus NKRI di Papua Barat (2004a, 2004b dan 2005) terbitan Galang Press Yogyakarta telah berulang kali disebutkan dengan jelas dan tegas, menantang kleim NKRI dan Gubernur Jaap Solossa (waktu itu), bahwa Otonomi Khusus BUKANLAH SOLUSI, seperti kleim kaum Papindo (Papua Pendukung NKRI: Papua – Indonesia), tetapi adalah sebuah penumpukan masalah baru di atas masalah lama yang sudah akut dan kumat dalam hubungan NKRI – Papua Barat.

Keakutan dan kekumatan penyakit dalam Pangkuan Ibutiri Pertiwi itu disampaikan dengan gamblang dalam ketiga buku ini bahwa entah berapapun dananya, entah berapa lamapun pemberlakuannya, entah kapanpun diterapkan, entah siapapun yang menerapkannya (Solossa ataupun Suebu, atau malaikat siapapun), Otsus bukan diberikan dengan ketulusan hati karena orang Papua sesama warga negara Indonesia yang patut dan berhak mendapatkan perhatian ‘khusus’, tetapi justru karena orang Papua dianggap ‘lain’ dari sisi etnis, budaya, wilayah, dan terutama pandangan politik serta statusnya dalam kedudukan segenap penduduk NKRI. Diskriminasi yang ada di sini bukanlah diskriminasi positiv, tetapi diskriminasi negative, diskriminasi yang dianggap tabu dalam pandangan politik global dan demokrasi modern yang menopang pluralisme dan multikulturalisme. Otonomi yang khusus itu ada bukan “karena bangsa Papua itu berbeda suku-bangsa dan etnik daripada kebanyakan penduduk NKRI,” tetapi ia diberikan “karena bangsa Papua itu tidak sama dalam suku-bangsa dan etniknya daripada kebanyakan penduduk NKRI.” Dengan kata lain, “Anak kandung berbeda statusnya dengan anak tiri”, biar sebesar apapun, seberapa piringpun anak tiri diberi makan, sang ibu tiri tetap memandangnya dan meperlakukannya sebagai anak-tiri. Sah-sah saja si anak-tiri memberontak, meminta perhatian ekstra, meminta bagian yang layak, menolak pemberian sang ibutiri dan seterusnya, tetapi sepanjang sang ibutiri memandang dan memposisikan anaktirinya itu sebagai anak tiri, tetapi saja ia menjadi nomor dua atau ke sekian dalam perhatian dan perlakuannya.

Apalagi kalau anak kandungnya sendiri dilanda berbagai persoalan, musibah, penyakit sosial, budaya dan fisik seperti yang kita lihat terjadi di Pulau Jawa-Sumatra. Lumpur yang berbau muncul di mana-mana di kedua pulau, tak pernah ada ujung pangkal penyelesaiannya. Pembunuhan misterius dan berantai terjadi di mana-mana, tanpa ada ujung-pangkalnya. Organisasi dan kelompok milisi serta semi-militer bertebaran dan beraksi di sana-sini, saling mengancam dan menyerang. Korupsi kekayaan negara secara besar-besaran terjadi mulai dari tingkat tertinggi sampai ke tingkat terbawah. Harga kebutuhan bahan pokok terus-menerus melambung, dan pelambungan itu terjadi dalam hitungan minggu, bukan bulan apalagi tahun. Rakyat yang melarat sulit mendapatkan makanan dan tempat tinggal selayaknya sebagai manusia. Banyak orang Jawa-Sumatra minum air dari kotorannya sendiri, dari tempat mereka membuang kotorannya sendiri, dan banyak pula yang harus menempuh berkilo-kilo jauhnya untuk hanya menimba air se-ember. Untuk makan sesuap nasipun harus dengan cara halal (meminta-minta) dan kebanyakan dengan cara haram (memperdagangkan dirinya serta membunuh orang kaya dan mencuri serta merampok).

Ini hanya sedikit masalah ekonomi dan fenomena penegakkan hukum alam yang berimbas kepada kehidupan sosial dan budaya. Belum kita singgung tumpukan masalah politik, hukum dan hak asasi manusia secara utuh. Kalau kita berhitung semuanya, jelas isu “kemiskinan dan kebodohan” yang dijadikan sebagai dasar persoalan peluncuran paket Otsus menjadi tidak bermakna sama sekali. dalam kasak mata, Kebodohan dan kemiskinan tidak nampak di Papua Barat. Pantas karena rumus mengukur kaya-miskin mereka gunakan dari stangar Bank Dunia, yaitu hitungan sebuah bank, yang berarti berdasarkan peredaran uang masuk-keluar dari saku-saku manusia. Jelas saja orang Papua tidak secara seratus persen tergantung atas uang, seperti orang di Pulau Jawa, Sulawesi, Bali, dan Sumatera. Apakah ukuran kaya-miskin benar harus diukur dari jumlah uang yang keluar-masuk saku-saku manusia? Bukan begitu! Itu patokan modernisme, yang kini sudah mulai tidak laku lagi, walaupun orang Papua yang baru keluar dari zaman batu itu menganggap modernisme sebagai Injil bagi hidupnya dan masa depannya. Pantas saja karena ia tidak tahu kepahitan modernsime. Modernisme lebih diwarnai dengan kepahitan hidup daripada kebahagiaan. Itu yang tidak dikenal orang Papua. Pantas saja begitu, karena mereka belum tahu apa artinya modernisasi dan pembangunan.

Teori-teori modernisme mulai mentah kembali, dan manusia sudah mulai putar otak untuk memformat ulang atau mensampahkan segala teori lama, terutama teori pembangunan (modernisme), terutama karena penegakkan hukum alam (bencana, musibah) yang melanda segenap kehidupan di Planet Bumi. Manusia mulai bangkit seolah-olah mereka pintar dan sudah benar, berbicara tentang Pemanasan Bumi, Perubahan Iklim Global dengan berbaga terorika dan pertemuan politik. Gubernur Papua-pun tidak ketinggalan, walaupun di satu sisi ia memberi izin penebangan pohon, ia juga tampil di pentas global seolah-olah sebagai penyelamat bumi Cenderawawasih, Hutan Papua. Persoalan bukan kepada gelagat atau taktik atau pendekatan yang diluncurkan, tetapi paradigma berpikir, bahwa modernisme dan pembangunan dapat mengendalikan kehancuran di muka Bumi.

Pembangunan lewat Otsus, Pemekaran
Pertanyaan sekarang adalah “Apakah Otonomisasi NKRI di Papua Barat telah berhasil?” “Berhasil lakukan apa?” dan “Berhasil untuk Siapa?”

Tentu saja NKRI akan menjawab, ya, sudah berhasil, karena (1) Sudah ada trilyunan rupiah dikuncurkan ke saku pejabat dan departemen di Tanah Papua; (2) Sudah ada banyak Kabuptan dan Dua Provinsi di Tanah Papua degan sudah banyak Batalion, Polres, Polsek, Korem, Yonif dan Pegawai Negeri dari Jawa-Sumatera sudah banyak didrop kesana untuk membangun Papua Barat; (3) Sudah banyak pesawat Pemda yang dibeli oleh Pemda sendiri untuk dipakai demi melancarakan akses TNI/Polri ke pelosok Tanah Papua; (4) Sudah banyak jalan raya yang dibangun menghubungkan berbagai wilayah untuk mendrop pasukan TNI/Polri dalam mengejar dan membunuh rakyat Papua; (5) Sudah bayak pejabat Papua mengenal Tanah Jawa dan merumahkan banyak isteri di Jawa yang selama ini perlu duit dari Tanah Papua, dan seterusnya.

Dari berbagai demo Penolakan Otsus di Tanah Papua sejauh ini dapat dipetik sejumlah point yang mereka jadikan sebagai alasan. Pernyataan yang lebih sering mengemuka adalah “Kondisi hidup orang Papua sebelum Otsus lebih baik daripada setelah Otsus”, atau “Otsus tidak membawa dampak apa-apa bagi masyarakat asli Papua.” Artinya “Otus telah gagal!” Memang setelah mereka menolak Otsus itu sering disertai dengan berbagai tuntutan, terutama tuntutan untuk mengembalikan hak kedaulatan bangsa Papua. Rupanya tuntutan untuk dialogue dengan pemerintah NKRI semakin menghilang dengan kehilangan wajah dan peran PDP. Apakah bangsa Papua sudah kehilangan harapan bahwa Indonesia akan bakalan bersedia untuk berdialogue? Mengapa NKRI bisa berdialogue dengan bangsa NAD, tetapi dengan bangsa Papua tidak bisa? Bukanlah itu merupakan wujud nyata dari diskriminiasi positiv tadi? Bangsa Papua itu apa sih, sehingga mampu memaksa orang Melayu berdialog hanya gara-gara hak kamu wong ireng yang setengah hewan setengah manusia itu? Berpuluh tahun menuntut dialogue, berpuluh tahun pula tak ada tanggapan. Bukanlah itu sebuah wujud nyata diskriminiasi politik NKRI?

Mengapa ada perbedaan penilaian atas kiprah Otsus di Tanah Papua? Mengapa ada yang bilang gagal, ada yang bilang sudah berhasil?

Seperti saya sudah banyak dan berulangkali sebutkan dalam buku-buku saya, persoalannya bukan terletak kepada jumlah uang yang dikeluarkan atau berapa lama ia diterapkan. Bukan juga kepada pihak yang mengatakan Otsus gagal atau Otsus berhasil. Persoalan pokoknya terletak kepada “Titik berangkat dan paradigma berpikir dalam memandang dan menilai Otsus.”

Seperti berulangkali disampaikan dalam berbagai kesempatan, orang Papua merasa dan mengetahui pasti bahwa Otsus digulirkan bukan karena mereka kurang makan dan kurang minum, sama seperti orang Jawa-Bali-Sumatera-Sulawesi, tetapi justru karena bangsa Papua menuntut kemerdekaannya. Wacananya jelas, minta merdeka, maka diredam dengan Otsus. Tetapi di tengah jalan, ada kelompok kelas menengah Papua, mulai dari Gubernur sampai Menteri orang Papua diserta para staff ahli di Departemen Dalam Negeri NKRI dan DPRP serta DPRRI memberikan nasehat kepada Jakarta bahwa tuntutan itu karena kecemburuan sosial. Maka paradigma pemberian Otsus justru dibelokkan dari esensi yang sebenarnya, Merdeka digantikan oleh Otsus menjadi Penderitaan, kemiskinan, kebodohan, diupayakan untuk digantikan oleh kebahagiaan dan kesetaraan lewat Otsus.

Yang berulang kali juga saya tanyakan dalam buku-buku ini adalah, “Orang Papua mau dijadikan setara dengan “apa” atau “siapa”? Apakah setara dengan penderitaan yang melanda di Pulau-Pulau NKRI? Hendak disamakan dalam tingkat kejahatan, kemiskinan, kemelaratan dan penderitaan seperti yang dialami kebanyakan penduduk NKRI? Siapa yang sebenarnya menderita saat ini: Orang Papua atau orang Indonesia? Maka, kalau mau disamaratakan, maka apakah penderitaan yang ada di Pulau Jawa-Bali-Sulawesi-Sumatera mau dibagi-rata dengan orang Papua di Pulau New Guiena bagian Barat itu? Kalau kebahagiaan, di mana sarang kebahagiaan itu di Pulau Jawa-Bali-Sulawesi-Sumatera? Sama sekali tidak nampak???

Yang sudah terjadi di Tanah Papua hingga tahun ini (per Agustus 2008) adalah sama psersis, tanap ada yang meleset dari apa yang telah digambarkan hampir 5 tahun silam dari ketiga buku ini: militerisasi, devide et impera alias pecah bela antara keluarga, marga dan suku, pendropan pasukan, penambahan Yonif, Korem, Polres, Poslsek, dan penambahan jumlah pasukan TNI dan Polri, yang berakibat intensifikasi dan ekstensifikasi operasi militer/polri, yang berdampak peningkatan jumlah orang mati misterius di jalan-jalan, entah dengan alasan karena miras ataupun karena mati tanpa identitas, penyebaran penyakit di mana-mana dan kematian yang merebak tanpa tahu sebab-musababnya, pelacuran yang marak (seperti sekarang sudah marak di Kota Numbay dan kota-kota lainnya di Tanah Papua), yang semuanya BELUM PERNAH ADA sebelum Otsus diluncurkan. Di kelas atas, banyak pejabat sudah memiliki banyak isteri dan rumah dan kendaraan ditempatkan di mana-mana. Bisnis Otus sudah merebak.

Kalau MAsyarat Papua Menilai Otsus Gagal, Jalan Terbaik Bukan Menuntut Kembalikan Kedaulatan, tetapi Memboikot Pemilu 2009
NKRI dan Ibutiri Pertiwi menganggap sudahlah berkelebihan memparhatikan sang anak-tiri itu, bahkan menyesal sudah memperlakukan seolah-olah Papua itu anak kandungnya. Sementara Papua sendiri tidak merasa puas dengan perlakuan ibutiri Pertiwi. Ia tetap saja menuntut.

Kalau begitu apa yang harus dilakukan?

Pertama, orang Papua harus sadar, entah kaum Papindo ataupun nasionalis, keduanya berasal dari dan hidup untuk Tanah Papua. Keduanya harus sadar penuh dan betul-betul bahwa penjajahan adalah penjajahan. Tidak pernah ada bangsa yang memanfaatkan penjajahan untuk kebahagiaan dan kemakmuran bangsanya. Itu impian siang bolong. Bangsa sehebat manapun di muka bumi, tak pernah ada yang mengoptimalkan sumberdayanya untuk kebahagiaan dan kemakmurannya di dalam bingkai kolonialisme yang ada. Tetap saja, tujuan akhir kedaulatan politik di luar penjajahan menjadi target.

Ada saja orang Papua yang berteori, “Kita isi perut dulu, kita kembangkan ekonomi dulu, kita bangun darerah dulu, baru kita merdeka. Otsus merupakan jalan untuk mempersiapkan kemerdekaan.” Ini juga teori kosong, tak pernah ada buktinya. Memang ini sebuah idealisme yang sudah diinginkan bangsa-bangsa terjajah di muka bumi, tetapi sayang, dari semua bangsa yang pernah dijajah dan yang sudah pernah merdeka, tidak ada satupun dari mereka yang melewati alur pemikiran ini. Walaupun mereka pernah mencita-citakan, sama seperti orang Papindo, tetapi maaf saja, itu sebuah teori yang tidak pernah ada buktinya dalam sejarah hidup manusia dan sejarah modernisasi (kolonialisme dan dekolonisasi). Kita hanya sedang menantikan Skotlandia dan Welsh untuk membuktikan teori itu, kalau keduanya bisa. Selain itu tidak ada. Apakah orang Papua mau membuktikannya dahulu sebelum Skotlandia dan Welsh? Sebuah mimpi siang bolong!

Yang dibutuhkan sekarang adalah agar bangsa Papua memperhatikan apa saja haknya dan apa saja kewajiban negara. Lalu mulai berhitung berapa banyak hak bangsa Papua yang belum pernah ia manfaatkan atau dijamin oleh NKRI dan berapa banyak kewajiban NKRI yang belum pernah ia penuhi atau ia langgar?

Salah satu dari sekian hitungan itu adalah “Hak yang melekat dan tak dapat diganggu-gugat untuk TIDAK MENGIKUTI PEMILU” sebuah negara. Untuk mengikuti Pemilu atau tidak mengikuti Pemilu bukanlah merupakan sebuah kewajiban, tetapi adalah HAK. Itu artinya, negara tidak berhak untuk memaksa penduduk siapapun untuk mengikuti Pemilu, apalagi Partai Politik yang tak ada artinya apa-apa dalam politik modern itu?

Dalam berhitung antara hak dan kewajiban itu, maka begitu bijak dan jitu, kalau mulai saat ini bangsa Papua, secara masal dan secara keseluruhan, mempersiapkan langkah-langkah untuk MEMBOIKOT PEMILU NKRI 2009.

Kalau Anda berdemo, pasti ada Polisi mengawal, pasti harus ada izin untuk itu, pasti Anda dipenjarakan karenanya dan pasti ada KUHP tentang pelanggaran apapun yang Anda lakukan. Tetapi kalau Anda menolak ikut Pemilu, TAK ADA HUKUM APAPUN MEWAJIBKAN ANDA, apalagi menghukum Anda. Itu berlaku di manapun di seluruh dunia dan di seluruh Indonesia. Mantan Presiden RI. Aburrahman Wahid-pun sudah mengumumkan dirinya sebagai “Golongan Putih alias Golput” dalam Pemilu 2009.

Orang Indonesia asli, WNI asli, mantan Presiden saja sudah menyatakan diri sebagai Golput. Apalah artinya seorang anak-tiri bagi ibuturinya? Apalah artinya meminta-minta berlebihan sementara tahu persis bahwa anak-kandungnya lebih dinomrsatukan daripada anak tiri? Sekalian saja, tunjukkan sikapmu bahwa “Kau orang Papua punya ayah dan ibu kandung, yang belum mati sampai detik ini. Dan untuk kembali ke pangkuannya, Anda menolak ikut Pemilu NKRI 2009!”

Kalau itu yang Anda buktikan, dalam jarak waktu hitungan bulan ini, maka selanjutnya sebenarnya Anda tak perlu berkeluh-kesah turun ke jalan dan harus dikawal polisi, harus meminta izin dan harus berbicara sambil melirik kiri-kanan siapa tahu Anda ditangkap atau dikejar karena “Tolak Otsus dan minta kembalikan kedaulatan.” Dengan memboikot Pemilu, Anda sudah melakukan segala-galanya. Dan hal itu bukan sebuah kewajiban, tetapi sekali lagi, SEBUAH HAK, yak HAK ANDA, SEPENUH-PENUHNYA.

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny