Teriak ‘Papua Merdeka’, Apa yang Sebenarnya Diperjuangkan?

| Telah digelar aksi nasional yang serentak dilaksanakan di beberapa kota pada Selasa (10/05/2022). Aksi tersebut diinisiasi oleh Petisi Rakyat Papua (PRP) melalui 122 organisasi yang tergabung di dalamnya. Namun aksi tersebut masih diwarnai oleh tindakan represif, penghadangan, dan intimidasi oleh aparatur negara dan ormas.

Source: HERE

retorika.id—Petisi Rakyat Papua (PRP) adalah aliansi gabungan organisasi rakyat Papua yang mendukung terwujudnya hak demokratis bagi rakyat Papua. Sudah ada 112 organisasi gerakan akar rumput, pemuda, mahasiswa, komunitas/paguyuban, kepala-kepala suku, dan rakyat Papua yang tergabung dalam PRP. Kemudian mereka menyatakan telah mendapatkan 718.719 suara rakyat Papua.

Aksi nasional ini diserukan oleh PRP kepada 112 organisasi dan rakyat Papua di dalamnya untuk menggelar aksi serentak, baik di Papua dan luar Papua. Mereka menyerukan agar semua masyarakat, baik di Papua maupun di luar Papua, untuk turut mengikuti aksi tersebut dengan tujuan mendesak pemerintah. Bahkan dalam poster yang disebarkan, mereka menyerukan: “lakukan libur sehari, lumpuhkan semua kota dan tuntut rezim kolonial untuk segera: Cabut Otsus, Tolak DOB, dan gelar referendum.”

PRP menganggap pemerintah pusat tidak mau mendengar aspirasi mereka dan tidak melibatkan masyarakat Papua dalam penentuan keputusan kebijakan. Padahal mereka telah melakukan aksi protes selama dua bulan terakhir secara masif dan tidak ada tanggapan dari pemerintah. Oleh karena itu mereka menyerukan aksi nasional guna mendesak pemerintah pusat untuk memenuhi tuntutan mereka. Namun apa yang sebenarnya sedang mereka perjuangkan?

Tiga Tuntutan Utama

Terdapat tiga tuntutan utama yang mereka suarakan dalam aksi nasional 10 Mei 2022. Pertama, cabut Otonomi Khusus (Otsus) Papua Jilid 2. Kedua, tolak Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua. Ketiga, Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua atau referendum.

Sebelumnya pemerintah telah menjalankan Otsus Papua Jilid 1 dalam Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 yang disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 21 November 2001. Kemudian DPR RI mengesahkan RUU mengenai Perubahan Kedua atas Otsus Papua Jilid 1 pada 15 Juli 2021 menjadi UU (Otsus Papua Jilid 2). Aturan ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan urusan wilayahnya sendiri secara khusus.

Kemudian, DPR RI juga telah mengesahkan tiga RUU Daerah Otonom Baru (DOB) atau pemekaran wilayah di Papua pada 6 April 2022. RUU ini mengatur mengenai pemekaran provinsi baru di Papua, yakni Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah. Kebijakan ini juga merupakan konsekuensi atas disahkannya Otsus Papua Jilid 2, dimana pemerintah pusat dapat dengan lebih mudah melakukan pemekaran wilayah di Papua.

Di pihak PRP, mereka merasa bahwa Otsus merupakan produk gagal yang tetap dipaksakan. Menurut mereka yang berasal dari organisasi-organisasi yang tergabung dengan PRP, fakta di lapangan menyatakan bahwa kebijakan ini tidak bermanfaat bagi orang Papua selama 20 tahun. Otsus juga dirasa gagal dalam memihak, memberdayakan, dan menjaga tanah orang Papua dari konflik tanah.

Sementara itu, menurut mereka

kebijakan DOB sendiri diputuskan berdasarkan pertimbangan politik dan laporan Badan Intelejen Negara (BIN) untuk menghancurkan nasionalisme rakyat Papua dan menimbulkan konflik horizontal di antara orang Papua. Mereka juga menganggap bahwa DOB juga tidak akan bermanfaat bagi orang Papua karena DOB hanya akan memperluas infrastruktur militer dan perampasan tanah atas nama pembangunan. Mereka juga memperkirakan bahwa kebijakan ini akan memperluas militerisme di Papua karena jumlah personel aparatur negara akan lebih banyak dari orang asli Papua.

Jubir PRP, Jefry Wenda, menjelaskan bahwa agenda ini sangat penting karena rakyat Papua tak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan kebijakan mengenai kehidupan mereka. Sama halnya seperti tahun 1962 tentang Perjanjian New York mengenai pemindahan kekuasaan atas Belanda ke Indonesia, pada 1967 tentang kontrak karya PT. Freeport, pada tahun 1969 mengenai proses penentuan pendapat rakyat yang dijalankan secara tidak demokratis, dan pada tahun 2001 tentang pembahasan Otsus Papua Jilid 1. Ia menegaskan bahwa pengesahan Otsus Papua Jilid 2 dan DOB juga tidak melibatkan orang Papua dalam pengambilan keputusan. Kemudian ia menegaskan bahwa Otsus dan DOB merupakan alat untuk melegitimasi kekuasaan kolonialisme di Papua. Oleh karena itu PRP menentang dua kebijakan itu.

Lebih lanjut lagi, Wenda menyatakan bahwa permasalahan-permasalahan di Papua akan bisa diselesaikan melalui referendum. Ia menegaskan bahwa referendum adalah solusi paling demokratis bagi rakyat Papua. Oleh karena itu, Wenda mengimbau agar seluruh rakyat Papua harus bersama-sama mendorong digelarnya referendum.

Intimidasi dan Represifitas Terhadap Massa Aksi

Aksi serentak oleh PRP masih diwarnai oleh tindakan represif, penghadangan, dan intimidasi oleh aparatur negara dan ormas reaksioner. Namun hal tersebut tidak terjadi di setiap kota yang menggelar aksi. Di Jayapura, massa aksi dibubarkan paksa oleh aparatur negara karena menurut pihak kepolisian, aksi tersebut tidak memiliki izin. Hanya beberapa menit melakukan orasi, massa aksi langsung dibubarkan paksa karena tidak mengindahkan arahan kepolisian yang memberikan waktu 10 menit saja. Kepolisian menggunakan Water Cannon untuk membubarkan massa.

Sementara itu, massa aksi yang menggelar aksi di Denpasar mendapatkan penghadangan oleh pihak kepolisian dan ormas reaksioner Patriot Garuda Nusantara (PGN). Pada awalnya massa aksi yang sudah berkumpul di titik kumpul dihadang oleh kepolisian untuk tidak melakukan aksi, tetapi massa aksi tetap menuntut ruang demokratis untuk menyampaikan aspirasi. Kemudian massa aksi dihadang oleh ormas PGN dan memprovokasi dengan menggunakan kata rasis dan intimidatif kepada massa aksi. Bahkan beberapa dari anggota ormas menghadang dengan ketapel dan menembak massa aksi yang sedang membagikan selebaran. Beberapa motor massa aksi juga ada yang dirusak oleh orang yang tidak diketahui. Di sisi lain, pihak kepolisian terkesan membiarkan aksi represif ormas tersebut.

Aksi yang digelar di Makassar juga mendapat tindakan yang hampir serupa. Massa aksi dihadang oleh ormas Brigade Muslim Indonesia (BMI) ketika melakukan long march menuju Monumen Mandala. Beberapa anggota ormas BMI menghadang dengan melakukan pemukulan, penendang, dan ada pula yang ditusuk dengan bambu bendera. Tindakan-tindakan tersebut menyebabkan beberapa massa aksi mengalami sedikit pendarahan dan bengkak di kepala. Serupa dengan yang terjadi di Denpasar, pihak kepolisian terkesan membiarkan perlakukan ormas tersebut.

Di samping itu, terjadi pula penangkapan Jubir PRP, Jefry Wenda, pada selasa (10/05/2022) pukul 12.35 WIT. Dia diamankan dengan dugaan pelanggaran UU ITE karena menjadi jubir yang ajakan aksinya dinilai provokatif oleh kepolisian. Oleh karena hal tersebut, ia dianggap sebagai dalang atas ajakan aksi nasional penolakan Otsus Papua Jilid 2 dan DOB. Namun saat ini Wenda sudah pulangkan oleh kepolisian.

Aksi di Surabaya

Di Surabaya sendiri, PRP melalui Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Surabaya menggelar aksi damai di depan Polda Jatim. Dalam aksi tersebut seringkali terdengar teriakan “Free West Papua” dan “Papua Merdeka” dari pekikan massa aksi. Terdengar pula nyanyian “Papua Bukan Merah Putih, Papua Bukan Merah Putih, Papua Bintang Kejora, Bintang Kejora” yang terus dinyanyikan oleh massa aksi dengan lantang. Hal ini menunjukkan dengan tegas bahwa massa aksi menuntut hak referendum sebagai solusi demokratis atas permasalahan di Papua.

Massa aksi menyerukan hal-hal itu di depan puluhan personel polisi yang berjaga. Mereka dengan lantang menyikapi penindasan dan ketidakadilan di Papua sebagai bentuk kolonialisme negara Indonesia terhadap bangsa Papua. Oleh karena itu, mereka dengan tegas menentang kebijakan-kebijakan negara yang tidak melibatkan masyarakat Papua dalam pengambilan keputusannya.

Penulis: Putra Pradana

Penyunting: Kadek Putri Maharani

Referensi:

CNN Indonesia. 2022. Kenapa Orang Papua Menolak Otsus dan Pemekaran Wilayah DOB?. Tersedia di: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220511092523-20-795332/kenapa-orang-papua-menolak-otsus-dan-pemekaran-wilayah-dob/2 (diakses pada 11 Mei 2022)

Fundrika, Bimo Aria. 2021. Ratusan Ribu Rakyat Papua Teken Petisi Tolak Otsus: Hanya Rekayasa Politik Jakarta. Tersedia di: https://www.suara.com/news/2021/05/25/230000/ratusan-ribu-rakyat-papua-teken-petisi-tolak-otsus-hanya-rekayasa-politik-jakarta (diakses pada 11 Mei 2022)

Koran Kejora. 2022. Pembungkaman ruang demokratis serta refresifitas aparat dan ormas reaksioner di makasar. Tersedia di: https://korankejora.blogspot.com/2022/05/pembungkaman-ruang-demokratis-serta.html (diakses pada 12 Mei 2022)

Koran Kejora. 2022. Pembungkaman Ruang Demokrasi Dan Aparatur Negara Yang Tidak Bertanggung Jawab Di Bali. Tersedia di: https://korankejora.blogspot.com/2022/05/pembungkaman-ruang-demokrasi-dan.html (diakses pada 12 Mei 2022)

Raharjo, Dwi Bowo. 2021. Sampaikan Sejumlah Sikap, Petisi Rakyat Papua Keras Tolak Otsus Papua Jilid II. Tersedia di: https://www.suara.com/news/2021/07/16/164710/sampaikan-sejumlah-sikap-petisi-rakyat-papua-keras-tolak-otsus-papua-jilid-ii (diakses pada 11 Mei 2022)

Rewapatara, Hendrik Rikarsyo. 2022. Jubir Petisi Rakyat Papua Jefri Wenda Dipulangkan Polisi. Tersedia di: https://www.tribunnews.com/regional/2022/05/12/jubir-petisi-rakyat-papua-jefri-wenda-dipulangkan-polisi (diakses pada 12 Mei 2022)

Siagian, Wilpret. 2022. Jubir Petisi Rakyat Papua Jefry Wenda Ditangkap, Diduga Provokatif. Tersedia di: https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-6072392/jubir-petisi-rakyat-papua-jefry-wenda-ditangkap-diduga-provokatif (diakses pada 12 Mei 2022)

Tribun Pekanbaru. 2022. VIDEO: Ricuh di Jayapura, Demo Tolak DOB Otsus Papua Dibubarkan Paksa Aparat. Tersedia di: https://pekanbaru.tribunnews.com/2022/05/10/video-ricuh-di-jayapura-demo-tolak-dob-otsus-papua-dibubarkan-paksa-aparat (diakses pada 12 Mei 2022)

Yeimo, Hengky. 2020. Petisi Rakyat Papua dibuat untuk menolak rencana sepihak pemerintah soal Otsus Jilid II. Tersedia di: https://jubi.co.id/petisi-rakyat-papua-dibuat-untuk-menolak-rencana-sepihak-pemerintah-soal-otsus-jilid-ii/amp/ (diakses pada 11 Mei 2022)

Yeimo, Hengky. 2022. Petisi Rakyat Papua serukan aksi nasional tolak pemekaran Papua dan Otsus. Tersedia di: https://jubi.co.id/petisi-rakyat-papua-serukan-aksi-nasional-tolak-pemekaran-papua-dan-otsus/amp/ (diakses pada 11 Mei 2022)


TAG#aspirasi#demokrasi#demonstrasi#pemerintahan

Iche Murib: MELAWAN TEROR DAN INTIMIDASI OLEH PENGUASA NEGARA INDONESIA

Pada 28 Maret 2022, Rakyat Papua dari Beam-Kwiyawagi di Tiom, Lanny Jaya, telah berhasil Mematahkan, Meremukan Lidah-lidah setan penguasa indonesia melalui BIN/BAIS, Bupati, Kepala Distrik, Kepala Desa dan Oknum-oknum yang menamakan diri Senior/Intelektual Murahan, Penjilat pantat Kolonial Indonesia demi nafsu kepentingan kekuasaan, Jabatan & Perut. Teror2 dan Intimidasi kepada rakyat Papua dari Beam-Kwiyawagi sebagai berikut:

Pejabat2, kepala2 Kampung, Kepala2 Distrik, punya masyarakat yang ikut Aksi Demonstrasi Damai menolak DOB akan di copot Jabatannya serta di ancam tidak akan memberikan dana desa. Demikian juga yang menggerakkan aksi demonstrasi. Lebih parah lagi teror dan intimidasi dari Oknum2 yang mengatasnamakan diri intelektual/senior juga team sukses pemekaran, Katanya: Tidak usah ikut aksi demo penolakan DOB karena sedikit lagi Minggu ini Jakarta akan Sahkan DOB, percuma demo air su di leher, kita akan catat nama kalian yang ikut-ikut Demo besok pemekaran jadi kalian tidak boleh kerja jadi ASN atau Pejabat.

Segala usaha negara melalui pemerintah dan oknum-oknum senior yang tentu saja saya sebut ” Pengetahuannya Sangat Sempit dan Dangkal” Kenapa saya katakan demikian: Karena Senioritas manusia intelektualnya tidak boleh di perkosa, dipaksakan dan di jajah oleh kepentingan-kepentingan negara apalagi pemerintah, OKP2, Ormas2, dan lebih buruk lagi intelektual mengatasnamakn pemerintah menindas rakyat kecil yang tidak berdaya, dan juga mematikan, menakut-nakuti generasi muda yang adalah emas berlian yang harus bertumbuh Aktif, bebas, kreatif, imajinatif dengan perubahan di era moderen dan bersaing menyesuaikan diri di era globalisasi.

Demonstrasi adalah penyampaian pendapat secara luas & terbuka di muka umum kepada negara melalui pemerintah.

Demonstrasi juga akan membongkar kejahatan negara, penjajahan, ketidakadilan, pemerkosaan, militerisme, rasisme, pelanggaran HAM & perampasan sumber daya alam oleh penguasa.

Tidak ada yang buruk dari Aksi-Aksi Demonstrasi Damai. Justru sebaliknya Aksi-Aksi Demonstrasi Damai akan mendidik dan mencerdaskan rakyat tertindas dan membangun kesadaran nasiolisme bangsa Papua. Demonstrasi juga akan mencetak Kader-kader patriotik, Kader-kader perubahan, kader-kader cerdas di masa depan.

Generasi muda Papua jangan takut dan bimbang dengan ancaman-ancaman yang akan mematikan karakter dan kecerdasan anda sekalian.

Kalian adalah masa depan bangsa Papua yang akan menjadi penentu untuk menang.

Intelektual andapun harus tepat pada posisi menegakkan keadilan di segala lini, jangan taruh intelektual anda di kantong sampah.

Tiom, 31 Maret 2022.

Iche Murib

Minister for Women Affairs, Provisional Goverment ULMWP.

4 NEGARA BONEKA ALA PETER W.BOTHA DI AFRIKA SELATAN DAN 5 PROVINSI BONEKA ALA IR. JOKO WIDODO DI TANAH PAPUA

Artikel: Operasi Militer di Papua 2022

“5 provinsi di Papua untuk jumlah penduduk 4.392.024 jiwa dan untuk 5 Kodam, 5 Polda dan puluhan Kodim, Korem, Polres dan Polsek. Tanah Papua menjadi Rumah Militer dan Kepolisian. Penguasa Indonesia buat masalah baru dan luka di dalam tubuh bangsa Indonesia semakin membusuk dan bernanah. Penguasa Indonesia miskin ide, kreativitas dan inovasi serta kehilangan akal normal menghadapi persoalan krisis kemanusiaan dan ketidakadilan di Papua”

Oleh: Gembala Dr. Socratez S. Yoman, MA

“….7 provinsi, syarat untuk meredam pemberontakan. Ini masalah keamanan dan masalah politik. …syarat-syarat administratif nanti kalau sudah aman bikin syarat-syarat administratif. Seluruh Irian, tidak sampai dua juta orang.” ( Haji Abdullah Mahmud Hedropriyono).

Jenderal (Purn) TNI Prof. Dr. Ir. Drs. H.Abdullah Mahmud Hendropriyono, S.T., S.H. S.E., S.I.P., M.B.A., M.A., M.H., lebih dikenal A.M. Hendropriyono adalah salah satu tokoh intelijen dan militer Indonesia.

Melihat dari pernyataan Abdullah Mahmud Hendropriyono, “Indonesia sesungguhnya kolonial moderen di West Papua. Ini fakta yang sulit dibantah secara antropologis dan sejarah serta realitas hari ini.” (Dr. Veronika Kusumaryati, 10 Agustus 2018; lihat Yoman: Melawan Rasisme dan Stigma di Tanah Papua, 2020:6).

Jumlah Penduduk West Papua dalam dua provinsi masing-masing: Provinsi Papua 3.322.526 jiwa dan Papua Barat 1.069.498 jiwa. Totalnya 4.392.024 jiwa.
Penulis mencoba membagi secara merata dari total penduduk 4.392.024 jiwa untuk lima provinsi.

  1. Provinsi Papua akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.
  2. Provinsi Papua Barat akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.
  3. Provinsi BONEKA I akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.
  4. Provinsi BONEKA II akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.
  5. Provinsi BONEKA III akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.

Pertanyaannya ialah apakah jumlah penduduk masing-masing provinsi 878.404 jiwa layak dan memenuhi syarat untuk menjadi sebuah provinsi?

Penulis melakukan komparasi jumlah penduduk provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

  1. Jumlah Penduduk Jawa Barat 46.497.175 jiwa.
  2. Jumlah Penduduk Jawa Tengah 35.557.248 jiwa.
  3. Jumlah Penduduk Jawa Timur 38.828.061 jiwa.

Pertanyaannya ialah mengapa pemerintah Republik Indonesia tidak melakukan pemekaran provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang jumpah penduduk terbanyak?
Konsekwensi dari kekurangan jumlah penduduk di provinsi ini, penguasa kolonial moderen Indonesia akan memindahkan kelebihan penduduk orang-orang Melayu Indonesia ke provinsi-provinsi boneka ini.

Lima provinsi ini juga dengan tujuan utama untuk membangun 5 Kodam, 5 Polda, puluhan Kodim dan puluhan Polres dan berbagai kesatuan. Tanah Melanesia ini akan dijadikan rumah militer, polisi dan orang-orang Melayu Indonesia.

Akibat-akibat akan ditimbulkan ialah orang asli Papua dari Sorong-Merauke akan kehilangan tanah karena tanah akan dirampok dan dijarah untuk membangun gedung-gedung kantor, markas Kodam, Polda, Kodim, Polres. Manusianya disingkirkan, dibuat miskin, tanpa tanah dan tanpa masa depan, bahkan dibantai dan dimusnahkan seperti hewan dengan cara wajar atau tidak wajar seperti yang kita alami dan saksikan selama ini.

Ada fakta proses genocide (genosida) dilakukan penguasa kolonial moderen Indonesia di era peradaban tinggi ini. Kejahatan penguasa kolonial Indonesia terus mulai terungkap di depan publik. Tahun 1969 ketika bangsa West Papua diintegrasikan ke dalam Indonesia, jumlah populasi OAP sekitar 809.337 jiwa. Sedangkan PNG berkisar 2.783.121 jiwa. Saar ini pertumbuhan penduduk asli PNG sudah mencapai 8.947.024 juta jiwa, sementara jumlah OAP masih berada pada angka 1, 8 juta jiwa.

Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia adalah benar-benar penguasa kolonial moderen yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa West Papua.

Dr. Veronika Kusumaryati, seorang putri generasi muda Indonesia dalam disertasinya yang berjudul: Ethnography of Colonial Present: History, Experience, And Political Consciousness in West Papua, mengungkapkan:
“Bagi orang Papua, kolonialisme masa kini ditandai oleh pengalaman dan militerisasi kehidupan sehari-hari. Kolonialisme ini juga bisa dirasakan melalui tindak kekerasan yang secara tidak proporsional ditunjukan kepada orang Papua, juga narasi kehidupan mereka. Ketika Indonesia baru datang, ribuan orang ditahan, disiksa, dan dibunuh. Kantor-kantor dijarah dan rumah-rumah dibakar. …kisah-kisah ini tidak muncul di buku-buku sejarah, tidak di Indonesia, tidak juga di Belanda. Kekerasan ini pun tidak berhenti pada tahun 1960an” (2018:25).

Pemerintah Indonesia mengulangi seperti pengalaman penguasa kolonial Apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1978, Peter W. Botha menjadi Perdana Menteri dan ia menjalankan politik adu-domba dengan memecah belah persatuan rakyat Afrika Selatan dengan mendirikan Negara-negara boneka:

  1. Negara Boneka Transkei.
  2. Negara Boneka Bophutha Tswana.
  3. Negara Boneka Venda.
  4. Negara Boneka Ciskei.
    (Sumber: 16 Pahlawan Perdamaian Yang Paling Berpengaruh: Sutrisno Eddy, 2002, hal. 14).

Ancaman serius dan tersingkirnya orang asli Papua di Tanah leluhur mereka dengan fakta di kabupaten sudah dirampok oleh orang-orang Melayu dan terjadi perampasan dari hak-hak dasar dalam bidang politik OAP. Lihat bukti dan contohnya sebagai berikut:
1.Kabupaten Sarmi 20 kursi: Pendatang 13 orang dan Orang Asli Papua (OAP) 7 orang.

  1. Kab Boven Digul 20 kursi: Pendatang 16 orang dan OAP 6 orang
  2. Kab Asmat 25 kursi: Pendatang 11 orang dan OAP 14 orang
  3. Kab Mimika 35 kursi: Pendatang 17 orang dan OAP 18 orang
  4. Kab Fakfak 20 kursi: Pendatang 12 orang dan OAP 8 orang.
  5. Kab Raja Ampat 20 kursi: Pendatang 11 orang dan OAP 9 orang.
  6. Kab Sorong 25 kursi: Pendatang 19 orang dan OAP 7 orang.
  7. Kab Teluk Wondama 25 kursi: Pendatang 14 orang dan OAP 11 orang.
  8. Kab Merauke 30 kursi: Pendatang 27 orang dan OAP hanya 3 orang.
  9. Kab. Sorong Selatan 20 kursi. Pendatang 17 orang dan OAP 3 orang.
  10. Kota Jayapura 40 kursi: Pendatang 27 orang dan OAP 13 orang.
  11. Kab. Keerom 23 kursi. Pendatang 13 orang dan OAP 7 orang.
  12. Kab. Jayapura 25 kursi. Pendatang 18 orang dan OAP 7 orang.
    Sementara anggota Dewan Perwakilan Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai berikut:
  13. Provinsi Papua dari ari 55 anggota 44 orang Asli Papua dan 11 orang Melayu/Pendatang.
  14. Provinsi Papua Barat dari 45 anggota 28 orang Melayu/Pendatang dan hanya 17 Orang Asli Papua.

Nubuatan Hermanus (Herman) Wayoi sedang tergenapi: “Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggatinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigrasi dari luar daerah dalam jumlah ribuan untuk mendiami lembah-lembah yang subur di Tanah Papua. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di tanah ini…” (Sumber: Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat: Yoman, 2007, hal. 143). Dikutip dari Makalah Tanah Papua (Irian Jaya) Masih Dalam Status Tanah Jajahan: Mengungkap Hati Nurani Rakyat Tanah Papua ( Bandar Numbay, Medyo Februari 1999).

Pemekaran kabupaten/provinsi di West Papua sebagai operasi militer itu terbukti dengan dokumen-dokumen Negara sangat rahasia.

Departemen Dalam Negeri, Ditjen Kesbang dan LINMAS: Konsep Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah dan Pengembangan Jaringan Komunikadi dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. ( Sumber: Nota Dinas. No.578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000 berdasarkan radiogram Gubernur (caretaker) Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya No. BB.091/POM/060200 tanggal 2 Juni 2000 dan No.190/1671/SET/tertanggal 3 Juni 2000 yang berhubungan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri orang Asli Papua.

Adapun data lain: “Dokumen Dewan Ketahanan Nasional Sekretariat Jenderal, Jakarta, 27 Mei 2003 dan tertanggal 28 Mei 2003 tentang: ‘Strategi Penyelesaian Konflik Berlatar Belakang Separatisme di Provinsi Papua melalui Pendekatan Politik Keamanan.”

Lembaga-lembaga yang melaksanakan operasi ini ialah Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Luar Negeri, khusus untuk operasi diplomasi, Kepolisian Kepolisian Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), Badan Intelijen Stategis (BAIS TNI), KOSTRAD dan KOPASSUS.

Ada bukti lain penulis mengutip penyataan Abdullah Mahmud Hendropriyono, sebagai berikut:
“Kalau dulu ada pemikiran sampai 7 provinsi. Yang diketengahkan selalu syarat-syarat untuk suatu provinsi. Yah, ini bukan syarat suatu provinsi, syarat untuk meredam pemberontakan. Itu. Ini masalah keamanan dan masalah politik. Bukan begini. Ini masalah keamanan dan masalah politik. Jadi, syarat-syarat administratif seperti itu, ya, nanti kalau sudah aman bikin syarat-syarat administratif. Begitu loh. Tidak sampai dua juta pak. Seluruh Irian, tidak sampai dua juta. Makanya saya bilang, usul ini, bagaimana kalau dua juta ini kita transmigrasikan. Ke mana? Ke Manado. Terus, orang Manado pindahin ke sini. Buat apa? Biarkan dia pisah secara ras sama
Papua New Guini. Jadi, dia tidak merasa orang asing, biar dia merasa orang Indonesia. Keriting Papua itukan artinya rambut keriting. Itu, itukan, istilah sebutulnya pelecehan itu. Rambut keriting, Papua, orang bawah. Kalau Irian itukan cahaya yang menyinari kegelapan, itu Irian diganti Papua…”

Penguasa Pemerintah Indonesia jangan menipu rakyat dan membebani rakyat Indonesia hampir 85% rakyat miskin. Karena, Bank Indonesia(BI) mencatat Utang Luar Negeri ( ULN) Indonesia pada Februari 2020 dengan posisi hampir 6000 miliar dollar AS. Dengan begitu, utang RI tembus Rp 6.376 triliun (kurs Rp 15.600). (Sumber: Kompas.com, 15 April 2020).

Indonesia sebaiknya menyelesaikan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia yaitu 4 pokok akar masalah Papua. Terlihat bahwa Pemerintah dan TNI-Polri bekerja keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar persoalan sebagai berikut:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

“Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua” (Sumber: Franz Magnis:Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: 2015: 255).

Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).

Diharapkan, solusi untuk mengakhiri semua persoalan ini, Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam seruan moral pada 21 November diserukan, sebagai berikut:
“Miminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58 tahun.”

“Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme sistemik pada orang asli Papua yang terus-menerus meningkat.”

“Presiden Joko Widodo tetap konsisten mewujudkan statemennya pada 30 September 2019 untuk berdialog dengan kelompok Pro Referendum, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki pada 15 Aguatus 2005.”

Ita Wakhu Purom, Rabu, 19 Januari 2022
Penulis:

  1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
  2. Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
  3. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC).
  4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
    Nomor kontak penulis: 08124888458/HP/WA
TolakDOBPapua #TolakPemekaran #TolakUUOtsusJilidII #TolakOtsusJilidII #TolakOtsus #FreeWestPapua #Referendum

Presiden Sementara: Indonesia Memberlakukan Undang-Undang No Choice Kedua dengan RUU ‘Otonomi Khusus’

14 juli 2021| Dalam Pernyataan

Kami telah menerima informasi penting dari dalam Papua Barat: mahasiswa yang berdemonstrasi secara damai menentang pengenaan undang-undang ‘Otonomi Khusus’ kedua di Indonesia telah dilecehkan, dipukuli dan ditangkap oleh polisi di Universitas Cendrawasih di Jayapura hari ini.

Kekerasan brutal ini terjadi ketika Jakarta mencoba untuk memaksakan periode ‘Otonomi Khusus’ lainnya kepada rakyat Papua Barat, di luar kehendak mereka. Majelis Rakyat Papua (MRP), yang dibentuk untuk menjadi bagian dari lengan panjang Jakarta di Papua Barat, bahkan telah menolak upaya pemerintah Indonesia untuk memaksakan era baru secara paksa.

Orang-orang Papua Barat telah bersatu dalam menolak apa yang disebut Otonomi Khusus. MRP, Dewan Adat Papua (DAP), ULMWP, sayap militer Papua Barat, Petisi Rakyat Papua (terdiri dari lebih dari 100 organisasi masyarakat sipil), dan 1,8 juta yang menandatangani Petisi Rakyat Papua Barat pada tahun 2017, semuanya telah menyatakan langsung penolakan pendudukan Indonesia yang tidak sah dan upaya memperbaharui ‘Otonomi Khusus’.’Otonomi Khusus’ sudah mati.

Kami menyaksikan Act of No Choice kedua. Pada 1960-an, Indonesia menginvasi negara kita dengan ribuan tentara, melecehkan, mengintimidasi, dan membunuh setiap orang Papua Barat yang berbicara untuk kemerdekaan. apa yang terjadi hari ini, dengan lebih dari 21.000 tentara baru dikerahkan, operasi militer besar-besaran di Intan Jaya, Nduga dan Puncak, dan penindasan polisi terhadap semua perlawanan, adalah sama dengan apa yang terjadi pada kita pada tahun 1969. ‘Otonomi Khusus’ 2.0 adalah pemaksaan kolonial .
Indonesia harus segera menghentikan
RUU ‘Otsus’ kedua. Rakyat Papua Barat sudah memberikan mandat penuh kepada Pemerintahan Sementara ULMWP. Kami memiliki konstitusi kami, kabinet kami dan departemen kami dan berjalan. kami tidak membutuhkan tipu daya dan kebohongan skema Jakarta. Kami sudah merebut kembali kedaulatan kami, dan menolak semua hukum Indonesia yang dikenakan kepada kami.

Saya menyerukan kepada Uni Eropa, Pemerintah Inggris, Amerika Serikat, Australia, OACPS, MSG, PIF, Bank Dunia, dan semua organisasi internasional untuk menolak pemerintahan dengan todongan senjata ini. Tidak ada pendanaan, dukungan atau pelatihan internasional untuk paket ‘Otonomi Khusus’ Indonesia. Presiden Indonesia harus duduk bersama saya, sebagai Presiden Sementara Pemerintahan Sementara ULMWP, untuk mencari solusi bagi rakyat saya berdasarkan penentuan nasib sendiri, keadilan dan perdamaian.

Untuk semua orang Papua Barat, di mana pun Anda berada di dunia – baik di pengasingan, bekerja di pemerintah Indonesia, atau di kota-kota dan desa – untuk pendukung solidaritas kami, inilah saatnya untuk bersatu dan mengakui Pemerintahan Sementara dan Konstitusi kami . kami siap untuk menjalankan urusan kami sendiri.
Benny Wenda

Presiden Sementara
Pemerintah Sementara ULMWP
https://www.ulmwp.org/interim-president-indonesia

BREAKING NEWS!!!: Rabu (14/06/2021) aksi demonstrasi damai Ditanggi Terror TNI

BREAKING NEWS!!!Pada hari ini, Rabu (14/06/2021) aksi demonstrasi damai yang dipimpin mahasiswa Papua di Jayapura, dalam rangka menolak Undang-undang Otonomi Khusus (UU Otsus Papua) telah dibubarkan secara paksa ditandai dengan tindakan kriminal oleh Tentara dan Polisi Indonesia.

Tentara dan Polisi Indonesia (TNI/Polri) bertindak sangat arogan, dimana beberapa mahasiswa telah dipukul hingga berdarah-darah. Sebagian lainnya telah ditangkap dan dibawa ke kantor Polisi.

Hak penentuan nasib sendiri melalui mekanisme referendum yang diawasi internasional adalah solusi bagi West Papua.Referendum Yes…!!!

Referendum Yes…!!! Referendum Yes…!!! Referendum Yes…!!! Mohon advokasi dan pantauan media!

Source: ULMWP Dept of Political Affairs

#WestPapua#TolakOtsusJilidII#TolakOtsusPapua#TolakUndangUndangOtsus#MahasiswaPapua#MahasiswaUncen#FreeWestPapua#Referendum

KNPB : Permintaan rakyat Papua adalah referendum

Jayapura, Jubi – Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menegaskan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa pihaknya bersama rakyat di tanah Papua tidak membutuhkan pembangunan dan kesejahteraan, yang diminta rakyat Papua selama ini adalah referendum bagi Papua.

Hal itu dikatakan Sekretaris KNBP Pusat, Ones Suhuniap. Ia meminta agar rakyat Papua jangan pernah berharap kepada Pemerintah Indonesia untuk sebuah perubahan di negeri Cenderwasih ini.

“Presiden kolonial Joko Widodo datang ke Papua hanya untuk memuluskan praktek kolonialisme di tanah Papua. Rakyat Papua tidak minta uang dan tidak butuh pembangunan,” kata Ones Suhuniap kepada Jubi di Jayapura, Senin, (17/10/2016).

Dikatakan Ones, Presiden Jokowi tidak akan pernah mensejahterakan rakyat Papua. Kedatangannya di Papua beberapa kali hanya sebagai bentuk pencitraan nama baik Indonesia di mata internasional.

Lanjutnya, Jokowi sesungguhnya merupakan pembunuh berdarah dingin sama seperti dengan pendahulunya. Oleh karena itu, diminta agar segera hentikan semua janji palsu terhadap rakyat Papua.

“Permintaan rakyat Papua adalah pengakuan hak politik dan memberikan ruang bagi rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri Self Determination (Referendum ) yang demokratis. Masa depan bangsa Papua adil makmur dengan kebebasan abadi itu ada di dalam Papua yang merdeka,” jelasnya.

Berkaitan dengan persoalan di Papua, Mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk hati-hati dalam menggunakan cara-cara kekerasan di Papua karena bisa meningkatkan aksi separatisme dan memperluas perlawanan bersenjata.

Dia mengatakan hal yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia adalah mendengarkan dan mengerti kenapa terjadi perlawanan di sana.

“Semua sudah tahu perlawanan itu sudah ada sejak lama, Indonesia harus memahami kenapa pulau sebesar itu ingin memisahkan diri, kenapa orang-orang tidak senang. Mereka inginkan kedamaian, kebebasan, penghargaan serta pembangunan. Selama ini mereka tidak merasakan pemerataan dari pembangunan yang ada,” kata Horta baru-baru ini.

Untuk mengentaskan masalah di Papua, kata Jose, bukan perkara mudah dan sederhana. Menurutnya, butuh usaha, komitmen, serta kepemimpinan yang kuat untuk membangun Papua.

Untuk itu, lanjutnya, harus ada kebijakan yang berkesinambungan yang dapat menguntungkan masyarakat lokal. Selain itu, pembangunan Papua juga tidak boleh merusak lingkungan dan budaya.. (*)

Sekda Papua: Ada Relevansi RUU Penilai dengan RUU Otsus Plus

ABARPAPUA.CO, Kota Jayapura – Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua Hery Dosinaen mengatakan, pemerintah Provinsi Papua menyatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penilai dinilai relevan dengan didorongnya RUU Otonomi Khusus (Otsus) Plus.

“Relevansi ini tergambar pada penyelenggaraan pemerintahan yang fokus pada kekhususan,” kata Hery kepada sejumlah wartawan, usai bertemu tim Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di ruang Sasana Karya, Kantor Gubernur Papua di Kota Jayapura, Papua, Selasa, 14 Juni 2016.

RUU Penilai ini berlaku secara nasional, yang mana di dalamnya terdapat pasal-pasal tertentu yang menyebut soal kekhususan di daerah seperti otonomi khusus. “RUU Penilai ini sudah tercakup juga dalam RUU Otsus Plus sehingga terus mendorong hal ini agar segera masuk Prolegnas,” jelas Hery.

Menurut Hery, jika RUU Otsus Plus ini masuk dalam Prolegnas akan menghindari tumpang tindih dalam penyelenggaraan pemerintahan. “Hal ini juga dapat dijadikan referensi hukum untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang tak tumpang tindih,” katanya.

Dalam penyusunan RUU Penilai ini juga, kata Hery, Komite IV DPD RI berupaya mengumpulkan saran dan masukan dari instansi terkait di lingkungan pemerintah Provinsi Papua. “Sehingga dapat menambah referensi dalam menyusun UU ini,” katanya.

Sebelumnya, Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI berkunjung ke Papua menemui pemerintah Provinsi Papua untuk berdialog dan mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Penilai. Tim ini dipimpin H. A. Budiono selaku Wakil Ketua Komite IV DPD RI dan diterima Ketua DPR Papua, Yunus Wonda dan Sekda Papua Hery Dosinaen. ***(Lazore)

Gubernur Papua: Dana Otonomi Khusus Tak Bermanfaat bagi Warga

Rabu, 17 Februari 2016 | 20:26 WIB

JAYAPURA, KOMPAS.com — Gubernur Papua Lukas Enembe mengklaim, dana otonomi khusus yang diberikan pemerintah pusat tidak bermanfaat untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Hal ini disampaikan Lukas dalam pidatonya dalam acara pelantikan kepala daerah untuk enam kabupaten di Aula Sasana Krida, Kota Jayapura, Papua, Rabu (17/2/2016).

Lukas menyebutkan, pihaknya selalu disalahkan pemerintah pusat karena tak optimal dalam pengelolaan dana otonomi khusus (otsus). Akibatnya, banyak pejabat yang dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Sebenarnya, dana otsus yang diberikan pemerintah pusat hanya bernilai kecil. Di wilayah pegunungan, uang sebesar Rp 100 miliar hanya dapat membuat dua jembatan,” kata Lukas.

Mantan Bupati Puncak Jaya itu mengatakan akan menggelar rapat kerja bersama semua kepala daerah di 23 kabupaten kota di Papua untuk mengevaluasi manfaat dana otsus pada bulan Maret.

“Dalam rapat ini, kami akan mengambil keputusan apakah tetap menggunakan dana otsus atau mengembalikannya ke pusat,” ujar Lukas.

Menurut Lukas, sesungguhnya Papua dapat maju apabila diberi kesempatan mengelola sumber daya alamnya secara mandiri karena berlimpah.

“Tanpa dana otsus pun, kami masih merasakan manfaat dari kekayaan alam di Papua,” katanya.

Sementara itu, Bupati Merauke Frederikus Gebze mengatakan bahwa rencana pembahasan dana otsus dalam rapat kerja bersama semua kepala daerah merupakan ide bagus.

“Dengan adanya pembahasan dan evaluasi, kami dapat mengambil kesimpulan sejauh mana implementasi dana otsus dapat mengakomodasi segala permasalahan di setiap daerah di Papua,” kata Frederikus.

Tahun ini, dana otsus yang diterima Pemprov Papua sekitar Rp 5 triliun. Sebesar 80 persen dari dana tersebut dialokasikan untuk 23 kabupaten dan kota di Papua.
Penulis    : Fabio Maria Lopes Costa
Editor     : Laksono Hari Wiwoho

Pengelolaan Dana Otsus Papua Bermasalah

Selasa, 18 Desember 2012 | 22:05 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth menjelaskan, pengelolaan dana Otonomi khusus (Otsus) bermasalah.

Pasalnya, pembangunan di Papua dinilainya tidak sebanding dengan alokasi anggaran. SeLISepanjang 2002 sampai 2012, provinsi Papua menerima Rp 28,445 Triliun dana otsus.

“Dana Otsus tidak bermasalah, tapi pengelolaannya bermasalah. Kalau Otsus dimulai di 2001, harus ada evaluasi komprehensif pemerintah menyikapi Otsus,” kata Elisabeth dalam peluncuran buku “Otonomi Khusus Papua Telah Gagal dan Saya Bukan Bangsa Budak” di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (18/12/2012).

Adriana mengatakan, kegagalan pembangunan di Papua disebabkan kinerja pemda. Pemda, terangnya, berperan dalam implementasi Otsus.

Salah satu implementasi yang gagal terjadi pada sektor kesehatan. Kesehatan masyarakat di Papua, lanjutnya, tidak mengalami perbaikan.

Padahal, dana otsus juga dialokasikan bagi anggaran untuk kesehatan. “Orang Papua sakit, tapi tidak dapat ditolong meskipun mereka punya uang untuk berobat. Kegagalan ini harus dievaluasi lagi,” tandasnya.

Selain implementasi di sektor kesehatan, pendidikan wajib dicermati. Sebab, impelementasi pemda dalam sektor pendidikan, terangnya, tidak kalah mengkhawatirkan dari kesehatan.

Hal itu, tambahnya, dapat dilihat dari partisipasi masyarakat Papua pada pendidikan yang rendah. Hal itu, diperparah oleh ketersediaan fasilitas pendidikan yang jauh dari harapan.

“Pemda melakukan apa di sana (Papua), banyak anak tidak bersekolah. Apa yang dilakukan pemda saat diberikan dana otsus begitu besar?” tanyanya.

Ia mencermati, pemda Papua tidak menjalankan tugasnya. Sehingga, implementasi dana otsus dalam sektor pendidikan dan kesehatan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Kegagalan Pemda di masa kini itu, lanjutnya, harus menjadi bahan pelajaran pemerintah dalam membangun Papua ke depan. Menurutnya, pembangunan Papua harus memprioritaskan target implementasi dalam skala tertentu.

Ukuran tersebut, tambahnya, harus memperhatikan kondisi internal Papua. “Kalau pembangunan Papua disamakan oleh pemerintah dengan kondisi daerah lain itu tidak tepat. Papua memiliki ciri khasnya sendiri yang membedakannya dengan daerah lain,” pungkasnya.

Penulis : Aditya Revianur
Editor : Benny N Joewono

Staf Khusus Presiden Blusukan ke Lapas Biak

Biak, Jubi/Antara – Staf khusus Presiden Joko Widodo, Lenis Kogoya, blusukan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kabupaten Biak Numfor, Papua, Selasa 96/10/2015).

Kunjungan blusukan staf Presiden ke Lapas Biak diterima Kalapas, Danang Agus Triyanto, dan melakukan pertemuan dengan narapidana kasus makar ‘Bintang Kejora” Oktovianus Warnares dan Agustinus Sawias.

Lenis Kogoya mengakui kunjungan ke Lapas Biak untuk melihat dari dekat tentang aktivitas narapidana politik yang sedang menjalani hukuman karena kasus pidana dialami para narapidana kasus makar.

“Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi memberikan pengampunan grasi kepada narapidana kasus makar di Papua,” katanya.

Ia berharap dengan data dan hasil tatap muka dengan narapidana kasus makar warga binaan Lapas Biak akan disampaikan kepada pemerintah untuk menjadi perhatian dalam mengambil kebijakan terhadap Papua.

Salah satu narapidana makar, Oktovianus Warnares, menyatakan menolak pemberian grasi atau bentuk pengurangan hukuman atas kesalahan yang dibuatnya saat pengibaran bendera “Bintang Kejora’pada 1 Mei 2013 di kantor Diklat Jalan raya Adibay distrik Biak Timur.

“Saya harus menjalani hukuman selama enam tahun. Putusan Mahkamah Agung tetap saya jalani demi negeri Papua,” kata Oktovianus.

Usai tatap muka dengan narapidana kasus makar, staf khusus Presiden Jokowi, meninjau kamar narapidana.(*)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny