Jayapura- Gugatan Majelis Rakyat Papua di PTUN dengan nomor pendaftaran 38/G.TUN/PTUN JPR terhadap surat keputusan Gubernur Provinsi Papua Barat (MRPB) tertanggal 14 Juni dengan nomor 161/101/VI.2011 tentang penetapan Kantor Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), seperti sebagaimana dilansir Bintang Papua (9/9) , didukung Ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai. Ruben Magai SIP yang ditemui wartawan bintang Papua di Swisbelhotel Senin (12/9) mengatakan ia sepakat dengan adanya “upaya hukum yang dilakukan oleh teman-teman anggota MRP soal penetapan Kantor MRP Papua Barat.
Lebih lanjut dikatakan, “setiap orang yang merasa dirugikan punya hak untuk mengajukan gugatan. Selain itu surat keputusan gubernur Papua barat celah hukumnya yang lain dualisme surat keputusan yaitu pelantikan MRP yang lalu dan sk pelantikan MRPB yang tidak melibatkan seluruh anggota MRP, sehingga itu jelas dinilai dengan kepentingan, sehingga dengan putusan SK KPU Papua Barat menyangkut pemilihan Gubernur yang ditolak oleh MK mengarakan keabsaahan SK MRPB di PTUNkan pantas, karena dalam perdasus nomor 4 tahun 2010 pasal 3 mengatakan jelas jadi kita tunggu saja keabsahannya dari PTUN.
Ditambakan salah seorang anggota prinsipil tim tergugat Eduardur Sangken, SH.dari utusan agama dalam jumpa pers 10/09 di Prima Garden Abepura mengatakan, mengacu pada filosofi undang-undang otonomi khusus pasal 21 tahun 2001, peraturan pemerintah pasal 54 tahun 2004 dan Peraturan pemerintah nomor 64 tahun 2008 pasal 74 disana mengatakan sangat jelas bahwa MRP harus ada di provinsi-provinsi pemekaran, namun sebagai perwakilan, dan pada ayat satu pasal 75 peraturan tersebut pembentukannya dipersiapkan oleh MRP induk yaitu MRP Papua bekerja sama dengan pemerintah dan DPRP Provinsi Papua. (CR 31/don/l03)
Situasi PembakaranJAYAPURA – Diduga buntut dari kisruh pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) di Kabupaten Lanny Jaya, Sabtu (10/9) sekitar pukul 13.30 WIT, ratusan masyarakat Tiom mengamuk dan melakukan pengrusakan serta pembakaran beberapa bangunan mulai dari perkantoran, sekolah dan honai di daerah distrik Tiom Kabupaten Lanny Jaya.
Dari data yang berhasil dihimpun Cenderawasih Pos, bangunan yang dibakar itu adalah Kantor Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Lanny Jaya, kemudian bangunan sekolah SMP Negri 4 Tiom, sebuah rumah milik warga serta 2 honai. Akibat pengrusakan dan pembakaran tersebut kerugian material diperkirakan mencapai Rp 1 miliar lebih.
Tak hanya itu, akibat itu banyak juga warga yang mengungsi ke daerah lainnya untuk mengantisipasi adanya pengrusakan dan pembakaran berikutnya.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Papua, Kombes Pol. Wachyono menjelaskan, kejadian itu bermula dari rencana unjuk rasa masyarakat tentang hasil pemilukada di Kabupaten Lannyjaya. Namun kemudian massa tersebut mengamuk dan merusak serta membakar beberapa bangunan dan untungnya tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.
Pihak kepolisian telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) untuk mengetahui pelakunya. Selain aparat kepolisian, pihak TNI juga masih melakukan penjagaan di sekitar wilayah Distrik Tiom.
Sementara Kapolres Jayawijaya AKBP I Gede Sumerta Jaya,SIK saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan olah TKP serta memeriksa saksi-saksi setelah amukan warga tersebut. “Delapan saksi telah kami amankan dari TKP ke Mapolres Wamena untuk dilakukan pemeriksaan,” ungkapnya melalui telepon selulernya tadi malam.
Kapolres menjelaskan asal muasal bentrok tersebut berawal saat ratusan masyarakat yang diperkirakan berjumlah 500 orang tersebut meminta Kapolsek Tiom untuk mengizinkan mereka berdemo. Namun Kapolsek yang merasa tidak memiliki hak untuk membuat surat izin tersebut akhirnya tak membuatkan surat izin, sehingga warga mengamuk dengan membawa parang, panah, jubi, badik dan alat sajam lainnya.
“Jelas bahwa (untuk mengeluarkan) izin berdemo tersebut tidak dimiliki polsek jajaran, sebab izin tersebut dikeluarkan oleh Polres. Di mana bahwa izin tersebut adalah izin demo paska pemilukada di Lanny Jaya yang memenangkan Befa Yigibalon,SE,M.Si dan Berthus Kogoya,SH. Kemudian warga mengklaim bahwa suaranya telah dimanipulasi sehingga meminta haknya untuk dipulangkan,” ujarnya.
Menurut Kapolres, amukan warga tersebut megakibatkan 4 bangunan dan honei terbakar, di mana bangunan tersebut milik dinas pertanian dan kehutanan serta sekolah SMP 4 Tiom dan Honey masyarakat yang salah satunya milik tim Befa Yigibalon SE,M.Si dan Berthus Kogoya SH.
“Selain pembakaran, banyak gedung yang seluruh kacanya dihancurkan serta isinya diobrak-abrik dan banyak percobaan pembakaran yang berhasil kami hentikan,” katanya.
Saat masyarakat turun ke pemukiman, sebanyak 20 anggota Polsek Tiom, Mapolres Wamena dan 1 pleton Brimob serta dari posko TNI 756/WMS Wamena Kabupaten Jayawijaya dan Koramil langsung melakukan pengamanan, hingga beberapa kali tembakan ke udara dilakukan.
Hingga saat ini situasi di distrik Tiom yang TKP-nya sekitar 1 KM dari pusat kota tersebut telah membaik dan kondusif. ”Namun hingga saat ini kami masih melakukan olah TKP dan juga berjaga-jaga di sekitar TKP,” ucapnya.
Saat disinggung tentang kantor KPU Lanny Jaya apakah rusak atau tidak? Kapolres menjawab bahwa pihak kepolisian selama ini menjaga ketat gedung-gedung di pusat kota. ”Kejadian ini terjadi cukup jauh dari kota. Sedangkan gedung-gedung pemerintah selama ini selalu dijaga pihak kepolisian,” kata Kapolres.
Namun menurut Yulius Wanimbo yang merupakan warga di distrik Tiom, bahwa amukan ini dilakukan semata menuntut suara dikembalikan. ”Suara kami di distrik Tiom saat pemilukada banyak yang dimanipulasi, jadi itulah sebab warga mengamuk,” ucapnya.
Menurutnya, setelah kejadian ini banyak warga yang melakukan pengungsian dari Lanny Jaya, Sebab takut akan terulangnya amukan warga tersebut. ”Para masyarakat yang berkumpul di sudut kota Tiom tersebut dengan membawa parang panah, jubi, badik ditangannya sertah alat sajam lainnya membuat masyarakat takut.
Kini masyarakat telah membubarkan diri setelah tembakan demi tembakan terus mengudara oleh pihak kepolisian dan juga TNI. “Saat ini pihak Polisi dan TNI berhasil meredakan amukan masyarakat dengan melakukan penembakan peringatan,” ungkapnya.
Yulius Wanimbo yang merupakan aksi yang mengikuti aksi tersebut mengklaim akan terus melakukan aksinya jika suara tidak dipulangkan. “Kami akan terus melakukan aksi demo sebelum suara atau hak kami dipulangkan,” tegasnya.
Untuk diketahui bahwa pemilukada di Kabupaten Lanny Jaya berlangsung pada 24 Juni 2011 dan Ketua KPU Kabupaten Lani Jaya Yosias Radjabaycole,S.Sos didampingi para anggota melaksanakan Pleno di Swisbelhotel Jayapura, 29 Juli. Kemudian para kandidat melakukan gugatan ke Mahkamah Kontitusi dan di Mahkamah Kontitusi (MK), di Jakarta, 23 Agustus menolak gugatan para pemohon. Hingga akhirnya KPU Lannyjaya dinilai tak bersalah dan Bupati Terpilih Lanny Jaya adalah Befa Yigibalon SE,M.Si dan Berthus Kogoya,SH.
Sementara Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Lanny Jaya, Paulus Kogoya, S.Sos, mengatakan pada dasarnya Pemilukada Lanny Jaya sudah diselesaikan pada 24 Juli 2011 dan 29 Juli 2011 lalu, sebagai mana adanya putusan MK yang memenangkan Befa Yigibalon,SE,M.Si dan Bertus Kogoya menjadi Bupati Terpilih dan Wakil Bupati Terpilih Kabupaten Lanny Jaya Periode 2011-2016 dan kini menunggu pelantikannya. Tetapi ternyata ada oknum-oknum yang tidak puas dengan putusan MK tersebut, lalu dengan sengaja mengacaukan situasi ketertiban dan keamanan di Kabupaten Lanny Jaya.
Atas hal itu, semua anggota dewan DPRD Kabupaten Lanny Jaya berharap dan meminta aparat kepolisian bertindak tegas, dengan melakukan penangkapan terhadap siapa aktor dibalik aksi pembakaran itu.
Hal ini supaya situasi keamanan dan ketertiban di Lanny Jaya kembali berjalan dengan normal, supaya masyarakat bisa tenang beraktivitas di dalam meningkatkan pendapatan ekonomi keluarganya, termasuk di sini bagaimana Bupati/Wakil Bupati Lanny Jaya terpilih segera dilantik dan melaksanakan kegiatan pembangunan bagi masyarakatnya yang sudah merindukan seorang bupati/wakil bupati defenitifnya untuk membangun dan mengatasi segala persoalan kebutuhan hidup mereka.
“Harus ditangkap pelakunya, keamanan dalam hal ini Polres Jayawijaya dan Polsek Tiom jangan biarkan masalah ini terus terjadi, karena masyarakat membutuhkan pembangunan dalam memandirikan kehidupannya,” tegasnya saat jumpa pers di Jayapura, kemarin.
Ditegaskannya, jika Polres Jayawijaya dan Polsek Tiom tidak segera mengusut tuntas kasus tersebut, maka semua anggota DPRD Kabupaten Lanny Jaya mendatangani Kapolda Papua untuk bertemu dan meminta ketegasan Kapolda Papua dalam menangani kasus pembakaran itu.
Karena selaku wakil rakyat tidak mau masalah ini berlarut-larut yang mana membuat masyaralakat hidup dalam ketidaktenangan. Apalagi itu jelas-jelas sebuah tindakan kriminal.
Senada dengan itu, Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Lanny Jaya, Laurens Wenda, menyatakan, persoalan Pemilukada Lanny Jaya sudah selesai dengan ditandai dengan gugatan dari yang puas dan tidak puas terhadap hasil Pemilukada itu juga sudah diputuskan MK, dan hasilnya Befa Jigibalon dengan pasangannya dinyatakan menang dalam Pemilukada Lanny Jaya itu.
Dengan demikian tidak menjadi suatu persoalan lagi, karena DPRD Kabupaten Lanny Jaya dalam dua minggu depannya sedang menunggu proses SK Pelantikan Bupati/Wakil Bupati Lanny Jaya terpilih.
Untuk itu, jika ada orang yang tidak puas dengan hasil pemilukada itu, dan kemudian melakukan pengrusakan dan pembakaran itu merupakan tindakan yang tidak terpuji dan tidak manusiawi, dan bisa dikategorikan sebagai sebuah tindakan pelanggaran HAM, karena membuat hak masyarakat mendapatkan pelayanan yang layak dari pemerintah tidak terlaksana dengan baik, juga untuk mendapatkan pendidikan yang layak juga tidak terlayani dengan baik pula karena gedung sekolah dibakar itu.
Dengan tindakan seperti itu, pihaknya juga meminta kepada kepolisian Jayawijaya dan Polsek Tiom bertindak tegas, dan menangkap pelakunya.
Sementara itu, Ketua Pansus Pemilukada DPRD Kabupaten Lanny Jaya, Wundien Yikwa, menandasakan, dari hasil informasi yang didapat, ternyata aksi pembakaran itu dipicu dengan adanya oknum yang merasa tidak puas dengan hasil Pemilukada Lanny Jaya itu sendiri.
Menurutnya, ada aktor intelektual di balik beberapa pembakaran di Tiom. Untuk itu, dirinya mengharapkan aparat kepolisian segera menangkap baik mereka yang memimpin di lapangan maupun aktor yang lagi berkeliaran di Jayapura atau Jakarta.
Di tempat terpisah, anggota DPRD Kabupaten Lanny Jaya, Terius Jigibalom ketika dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Minggu malam sangat menyayangkan kejadian tersebut. Bahkan pihaknya meminta kepada aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian untuk segera menangkap pelaku-pelaku pembakaran sejumlah fasilitas milik Pemerintah Kabupaten Lanny Jaya. “Yang dibakar itu kan milik pemerintah dan untuk kepentingan masyarakat jadi sangat disayangkan bisa terjadi,”ungkapnya.
Lebih jauh Terius mengungkapkan, aksi pembakaran ini benar-benar telah mencoreng wajah Kabupaten Lanny Jaya karena sebagai kabupaten pemekaran di wilayah pegunungan maka Lanny Jaya tergolong kabupaten yang sudah mulai maju.
“Sebenarnya proses pemilukada di Lanny Jaya sudah tuntas artinya sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Bupati Lanny Jaya sehingga seharusnya dan diharapkan kepada masyarakat Lanny Jaya untuk menerima dengan lapang dada. Selain itu, pihak-pihak terkait termasuk masyarakat juga diharapkan menghormati apa yang telah diputuskan oleh hukum dan tidak membuat tindakan-tindakan di luar jalur hukum,” tandasnya. (ro/nls/nal/fud)
BANGUNAN YANG DIBAKAR
1. Kantor Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Lanny Jaya
2. Sekolah SMP Negri 4 Tiom.
3. Dua Honai Milik Warga.
4. Sejumlah bangunan lainnya dirusak.
Kronologi:
Awalnya ratusan warga hendak melakukan unjuk rasa terkait hasil pemilukada di Kabupaten Lanny Jaya. Massa tersebut meminta Kapolsek Tiom untuk mengizinkan mereka berdemo. Namun Kapolsek yang merasa tidak memiliki kewenangan untuk memberikan izin akhirnya tak membuatkan surat izin itu.
Demo itu bermaksud untuk menuntut pengembalian suara yang mereka sebut telah dimanipulasi oleh pasangan pemenang pemilukada di Lanny Jaya. Namun karena tak mendapatkan izin, warga yang hendak berdemo itu kemudian mengamuk dengan membawa parang, panah, jubi, badik dan alat sajam lainnya.
Massa tersebut terus berupaya merusak dan membakar beberapa bangunan di Tiom. Untungnya aparat berhasil mencegah upaya pembakaran sejumlah bangunan lainnya, sehingga bangunan yang dibakar itu tidak bertambah banyak dan tidak mengakibatkan adanya korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Selain itu, aparat juga telah mengamankan 8 orang untuk dimintai keterangannya.
Jayapura-Majelis Rakyat Papua (MRP) menggugat keputusan Gubernur Papua Barat tentang pengesahan kantor Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) tertanggal 14 Juni 2011 nomor 161/101/VI.2011 di PTUN.
Gugatan tersebut resmi didaftarakan di PTUN pada pukul 10 pagi 8/9 dengan nomor pendaftaran 38/G.TUN/2011/PTUN.JPR. Hal tersebut disampaikan Tina Kogoya, koordinator tim penggugat dari gabungan anggota MRP dan MRPB dalam jumpa pers Kamis (8/9) di Prima Garden Abepura. Tina mengatakan “atas kesepakatan bersama antara anggota MRP dan MRPB kami mendaftar gugatan di PTUN,”katanya.
Lebih lanjut Tina mengatakan, “sesuai dengan amanat undang-undang otonomi khusus bahwa lembaga MRP adalah lembaga kultur dan lembaga kultur di Papua hanya satu, sehingga kalau belakangan ini kebijakan pemerintah diluar dari rel undang-undang otonomi khusus sperti ini, maka masyarakat papua merasa dirugikan, untuk itu kami yang sementara menduduki lembaga kultur atas kepercayaan masyarakat ini punya hak atas nama masyarakat menggugat guna mencerakan otonomi khusus yang sebenarnya,”katanya.
Ditambakannya lagi “dalam pembahasan tatip, kami sudah sepakati bahwa MRP di Papua satu dan di dalamnya ada tiga pimpinan yaitu ketua, wakil ketua 1 dan wakil ketua 2 kemudian sesuai dengan tatip secara terbuka dan aklamasi sudah adakan pemilihan untuk memili tiga pimpinan dan hal itu sudah terlaksana bahwa dapat terpilih Ibu Ola Woramuri, Timotius Murip dan Herman Saud.
Menurutnya karena MRP sebagai lembaga kultur yang dibentuk sesuai amanat undang-undang otonomi kuhusus satu di Papua.
“Untuk itu kami juga menolak tegas kepentingan sekelompok orang membentuk MRP-MRP baru, kami bukan mengabaikan surat keputusan menteri dalam negeri tetapi, menteri dalam negeri melihat karena ada permintaan pemerintah daerah, sehingga kami berharap pemerintah daerah papua barat secara jeli melihat undang-undang otonomi khusus yang sebenarnya,”katanya. (CR 31/don/l03)
Elieser RenmaurJAYAPURA—Disinyalir muncul 100 distrik siluman di Provinsi Papua. Wacana ini terkuak setelah adanya perbedaan data antara Biro Pemerintahan Kampung Provinsi Papua sebanyak 414 distrik, sedangkan data Dirjenkum Kemendagri tercatat sebanyak 314 distrik.
Asisten I Setda Provinsi Papua Drs. Elieser Renmaur mengungkapkan bahwa selisih 100 distrik ini disebabkan karena ada beberapa kabupaten yang memekarkan distrik, tetapi tidak menyampaikan terlebih dahulu kepada pemerintah provinsi untuk membuat evaluasi. “Meskipun suatu kabupaten tidak menyampaikan soal distrik pemekaran ini, mereka sudah berlakukan aturan berdasarkan perda yang ditetapkan, sehingga distrik ini mendapatkan pengakuan sah sehingga diberikan kewenangan dan dana,” jelasnya. Renmaur mengatakan bahwa 100 distrik ini tetap dimasukkan dalam catatan jumlah distrik. Pasalnya, kesalahan sebenarnya berada pada proses perdanya, dimana perda belum dievaluasi baik oleh provinsi, lalu oleh pemerintah kabupaten sudah langsung terapkan. “Kondisi ini kalau kita tolak , maka akan berbenturan dengan masyarakat setempat. Distrik yang belum terdaftar ini bisa dikatakan siluman dan bisa tidak siluman,” tandasnya.
Lanjutnya, pemekaran distrik dalam satu daerah baik itu masalah kampung, distrik, kabupaten itu mestinya melalui satu kajian yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan antara lain luas wilayah, jumlah penduduk. Kriteria-kriteria ini harus dilihat, tetapi yang terjadi di kabupaten-kabupaten tersebut adalah ada kepentingan DPR yang mendesak pemekaran di kabupaten dengan alasan karena dipilih rakyat.
“Jadi pemekaran distrik ini lebih banyak kepentingan pribadi atau masuk dalam politik, karena kepentingan politik ada di dalamnya. Bagi kabupaten yang memekarkan distrik tidak melaporkan ke provinsi sudah diberikan surat teguran, namun kabupaten merasa mereka sudah otonomi sehingga mereka atur saja sesukanya, tetapi setelah dia terbentur dengan aturan dipusat baru dia kembali,” urainya.
Dilanjutkannya, pemekaran distrik ini ada di beberapa kabupaten, tetapi tidak usah disebutkan karena kurang etis, tetapi pemekaran distrik itu kebanyakan terjadi di pantai, pegunungan. Sementara untuk anggaran dana distrik yang dimekarkan itu ditanggung kabupaten itu sendiri, karena sekarang ini distrik-distrik tersebut anggarannya ada di APBD masing-masing daerah. Sehingga honor aparat distrik, kepala distrik bervariasi tergantung kemampuan daerah masing-masing. Yang mana dulu honor aparat distrik itu sama dalam satu aturan yang berlaku untuk semua kabupaten.
“Sekarang masing-masing kabupaten yang membuat aturan anggaran distrik sesuai otonomi dan kemampuan daerah. Otonomi daerah ini bebas tetapi harus diikuti dengan aturan dan jika dibebaskan maka itu persoalan muncul,” ujarnya. (dee/don/l03)
JAKARTA (Suara Karya): Kaukus Papua di Parlemen Indonesia mengingatkan semua pihak agar tidak mencederai Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Karena, hal tersebut berpotensi memancing maraknya aksi yang merusak persatuan dan kesatuan NKRI.
“Selama ini kami selalu mengingatkan itu. Tetapi sekarang mengingatkan lagi dengan tegas, agar kebijakan Pemerintah Pusat kepada Papua jangan berubah-ubah. Jangan cederai Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua,” kata Koordinator Nasional Kaukus Papua di Parlemen Indonesia Paskalis Kossay di Jakarta, Rabu (3/8).
Paskalis Kossay yang juga anggota Komisi I DPR (bidang pertahanan, luar negeri, intelijen, komunikasi dan informatika) menilai, sikap pemerintah terkini terkesan mendukung pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) jadi dua, benar-benar telah melukai mayoritas orang Papua.
“Ini semakin mencederai UU Otsus, bahwa MRP hanya ada satu. Tetapi, karena kepentingan politik praktis untuk kekuasaan, pemerintah sepertinya mau saja `dikibulin` untuk membentuk MRP baru di Provinsi Papua Barat, lepas dari Provinsi Papua,” katanya.
Cara-cara yang tidak fokus dan selalu berubah kebijakan seperti ini, apalagi mencederai otsus, menurut Paskalis Kossay, hanya akan memancing timbulnya konflik baru, lalu ada pihak ketiga memanfaatkannya dengan mengusung aksi bernuansa separatis.
Ia mengatakan itu, menanggapi kabar terbaru adanya seminar tentang Papua yang digelar di Inggris oleh sebuah organisasi bernama `International Lawyers for West Papua` (ILWP). Seminar tentang Papua ini berlangsung di Universitas Oxford, Inggris.
Dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London, diperoleh informasi, isi seminar itu ditengarai hanya untuk media provokasi di Papua dengan tujuan mengusung agenda pemisahan kedua provinsi di Papua (Papua dan Papua Barat), ketimbang diskusi ilmiah terbuka. Apalagi yang diundang sebagai pembicara pun didominasi oleh pihak penentang integrasi Papua ke NKRI.
Bola Liar
Paskalis Kossay yang juga mantan Ketua DPD KNPI Provinsi Irian Jaya dan menjadi anggota Fraksi Partai Golkar di DPR ini, mendesak pemerintah membatalkan segala bentuk kebijakan mendua selama ini.
“Sekali lagi, dan ini untuk ke sekian kali, agar kebijakan pemerintah kepada Papua jangan berubah-ubah. Sebab, kalau tidak hati-hati, maka masalah Papua bisa menjadi `bola liar` dan dimanfaatkan pihak ketiga untuk mengobrak-abrik keutuhan NKRI,” katanya.
Saat ini, menurut dia, perkiraannya ini sudah mulai terbukti, padahal semuanya sesungguhnya dipicu oleh ketidaktegasan pemerintah dalam konsistensi menerapkan kebijakan yang mengacu kepada UU Otsus tadi.
“Ternyata kan sekarang mulai terbukti. Ada aksi mendesak referendum dan menolak Pepera di Jayapura. Ada aksi bunuh-bunuhan di beberapa tempat. Ada aksi seminar di London, dan seterusnya diperkirakan akan jadi marak lagi,” ujarnya.
Karena itu, ia berharap, pemerintah memperbaiki sikap. “Saya harap pemerintah tetap fokus saja membangun Papua dengan berlandaskan otsus ke depan. Jangan mencederai lagi otsus itu,” ucap Paskalis Kossay. (Joko S/Ant/Tri Handayani)
JAYAPURA – Diduga gara-gara satu partai politik (parpol) yang memberikan dukungan terhadap dua bakal calon bupati yang akan bertarung dalam pemilukada di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua, dua kelompok warga dari masing-masing calon bupati itu terlibat bentrok di Ilaga, Kabupaten Puncak, Minggu (31/7).
Akibat bentrok ini, 17 warga dilaporkan meninggal dunia, termasuk seorang anggota brimob mengalami luka panah di bagian dadanya. Tidak hanya itu, rumah, mobil dinas serta honai milik Elvis Tabuni juga dibakar massa.
Data yang berhasil dihimpun Cenderawasih Pos menyebutkan, kasus ini bermula ketika bakal calon bupati Elvis Tabuni yang salah satunya diusung partai Gerindra mendaftar ke KPU Puncak di Ilaga, Rabu (27/7) dan berkasnya diterima oleh KPU. Kemudian pada Sabtu (30/7) giliran calon bupati Simon Alom mendaftar ke KPU dan oleh KPU ditolak, sebab salah satu partai yang mengusungnya adalah Partai Gerindra.
Karena hal ini, para pendukung Simon Alom marah dan menyerang kelompoknya Elvis Tabuni sekitar pukul 15.00 WIT, sehingga bentrok tak terhindarkan. Dalam bentrok ini memakan satu korban jiwa dan dua masyarakat yang ketiganya berasal dari Kimak Distrik Ilaga, serta satu polisi mengalami luka-luka.
Korban meninggal itu adalah Esteli Kiwak yang mengalami luka tembak di dada. Kemudian korban luka yaitu Endison Kogoya, luka tembak paha kanan dan Selina Ongomang luka tembak di siku kiri, serta satu anggota Brimob BKO, Frens Msen yang terkena panah di bagian dada.
Bentrok itu kemudian berlanjut lagi pada Minggu (31/7) pagi dan memakan korban jiwa lebih banyak lagi. “Rumah, mobil, dan honey milik anggota dewan Elvinus Tabuni juga dibakar. Total warga meninggal dunia adalah 17 orang, kemudian dua warga mengalami luka, serta satu anggota Brimob luka-luka,” kata sumber terpercaya kepada Cenderawasih Pos yang hingga saat ini baru bisa mendata kejadian pertama.
Sementara Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol. Wachyono saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos membenarkan adanya bentrok yang mengakibatkan 17 warga meninggal dunia dan 1 anggota Brimob luka-luka tersebut.
“Yang menjadi korban dari kubu Simon Alom 13 warga dan dari kubu Elvis Tabuni 4 warga. Dari Polda Papua telah dibentuk tim dari reskrim untuk mengusut kasus itu termasuk menyediliki pemicunya,” jelasnya.
Pihaknya belum mengetahui persis yang terjadi di daerah Kabupaten Puncak itu. “Yang jelas kami pihak kepolisian akan mengusut terus bentrok yang menyebabkan banyaknya warga meninggal dan dibakarnya rumah, honey dan mobil dinas milik Elvis Tabuni,” ucapnya.
Wachyono menjelaskan, dari data terakhir yang diketahuinya, bentrok ini terjadi dari ketidaksenangan pendukung salah satu bakal calon bupati Simon Alom terhadap bakal calon bupati Elvis Tabuni. “Keduanya sama-sama diusung Partai Gerindra. Namun saat Simon Alom mendaftar ke KPU, berkasnya ditolak oleh KPU sehingga pendukung Simon Alom tidak terima dan akhirnya kedua kubu dari kedua pendukung calon bupati itu terlibat bentrok pada Sabtu (30/7),”paparnya.
Dari kejadian tersebut satu warga tewas, dan satu anggota Brimob luka terkena panah. “Warga tersebut meninggal akibat terkena tembakan. Namun itu terjadi ketika anggota Brimob terkena panah sebanyak dua kali di dada. Beruntung anggota Brimob itu memakai rompi anti peluru,” ungkapnya.
Saat itu suasana sudah hampir tak bisa dikendalikan oleh pihak kepolisian, sebab suara tembakan peringatan sudah tidak dipedulikan oleh kedua kubu. Bahkan pihak kepolisian yang hendak merelai bentrok malah diserang, sehingga terpaksa untuk menyelamatkan diri, anggota terpaksa menembak warga.
“Tidak lama kemudian, pihak kepolisian di Ilaga bisa merelai bentrok dan pihak kepolisian terus berjaga-jaga di Kantor KPU Kabupaten Puncak dan juga di Mapolsek,” terangnya.
Tetapi Minggu pagi, massa dari pihak Simon mengamuk dan menyerang kembali ke kediaman Elvis Tabuni, sehingga terjadi bentrok kembali. Rumah, mobil dinas, dan honey milik Elvis Tabuni dibakar. “Di kejadian inilah warga banyak meninggal dunia. Tetapi belum diketahui pemicunya, sebab hubungan ke sana hanya dengan telepon satelit. Sedangkan kami mendapat laporan dari sana melalui SSB. Akses ke sana juga hanya bisa dengan pesawat. Itu juga jika cuaca bersahabat,” kata Kabid Humas.
Kabid Humas berharap semoga kejadian ini bisa secepatnya diselesaikan, mengingat sudah banyaknya korban. “Saya minta kedua kubu bisa menyelesaikan masalah dengan baik, kepala dingin tanpa harus ada korban meninggal dunia,” pinta Wachyono. (ro/fud)
[JAYAPURA] Sebanyak 17 warga sipil tewas akibat bentrokan antara dua kelompok warga dari Simon Alom, mantan karateker bupati Puncak dan Thomas Tabuni di ibukota Kabupaten Puncak, dengan ibu kota Ilaga, Papua, Minggu (31/7) pagi sekitar pukul 07.00 WIT.
Bentrokan antara dua kubu ini ditengarai bentut dari aksi pembakaran satu jam sebelum bentrok terhadap kediaman Anggota DPRD Puncak, Elvis Tabuni, hingga menghanguskan satu mobil dinas dan satu honai (rumah adat yang atapnya terbuat dari alang-alang) di sekitar lokasi kejadian.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Polda Papua, Komisaris Besar Wachyono saat dikonfirmasi SP, melalui via telepon, Minggu (31/7) malam membenarkan adanya peristiwa tersebut hingga menyebabkan 17 warga sipil meninggal dunia. ”Ya, benar ada bentrok antar dua kelompok massa hingga menewaskan 17 warga sipil meninggal,” katanya
Wachyono mengatakan, sesuai dari laporan yang diterima dari Polres setempat, 13 korban tewas merupakan dari kelompok massa Thomas Tabuni dan 4 sisanya dari kelompok Simon Alom. ”Korban tewas ini dari dua kelompok yang terlibat bentrok, semuanya meniggal dunia,” ujarnya.
Disinggung apa pemicunya? Kabid Humas mengatakan, bahwa pihaknya masih mendalami lebih lanjut pemicu bentrokan tersebut.” Namun dari laporan yang diterima, satu jam sebelum bentrok, ada aksi pembakaran kediaman anggota DPRD Puncak , Elvis Tabuni, yang juga menghanguskan satu unit mobil dinas dan satu honai tak jauh dari Kantor DPR. Ini semua masih didalami, namun informasinya buntut pembakaran kediaman Elvis Tabuni,” Kata Wachyono. [154]
JAYAPURA— DPR Provinsi Papua mengklaim pemerintah pusat saat ini mendukung adanya evaluasi pelaksanaan Otsus di Papua yang telah berjalan lebih dari 10 tahun.
Ketua Pansus DPR Papua, Weynand Watori menuturkan bahwa saat ini pihaknya telah mengantongi persetujuan dari berbagai kalangan, mulai dari Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) Bambang Darmono, DPD RI, LIPI, sejumlah LSM Nasional, hingga DPRD Papua Barat.
Pihaknya saat ini sedang dalam proses pembentukan tim yang akan turun langsung ke lapangan untuk mengevaluasi Otsus langsung kepada masyarakat setempat. “Tahap pertama yang sekarang dievaluasi lalu kita mengumpulkan data yang sifatnya umum seperti yang sudah pernah dilakukan evaluasi oleh Uncen, oleh Democratic Center, oleh lembaga Dewan Adat Papua, lalu dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah DPD,” tandasnya kepada Bintang Papua yang ditemui di Jayapura kemarin.
Dijelaskan, itu semua akan dihimpun terlebih dahulu, dimana secara garis besar hal tersebut merupakan tahap pertama. Setelah itu, pihak kami akan melihat semua evaluasi ini lalu ditambahkan dengan data yang lain dari berbagai institusi yang ada, termasuk data yang berasal dari kalangan pers atau wartawan.
Sebelumnya DPR Provinsi Papua menjadwalkan evaluasi Otsus bisa dimulai pada bulan Juni lalu, namun karena banyaknya agenda sidang pertanggung jawaban gubernur yang bulan Juli berakhir, maka pelaksanaan evaluasi Otsus untuk turun langsung ke lapangan, belum dapat dilakukan.
Pansus evaluasi Otsus DPR Provinsi Papua mengaku hanya menggelontorkan dana sekitar Rp 1 millyar untuk pelaksanaan evauasi otsus yang akan dilakukan lebih dari 3000 kampung di Papua. (dee/don/l03)
BIAK [PAPOS]- Dewan Adat Papua akan memperketat pengawasan penggunaan dana otonomi khusus Papua tahun anggaran 2011 khusus di bidang pendidikan dan kesehatan.
Koordinator tim advokasi Dewan Adat Papua, Warner Baransano SH di Biak, Senin mengakui, pengawasan dana otsus dilakukan dengan mengecek langsung di lapangan terhadap pemanfaatan dana kepada kelompok sasaran.
Dana otsus bidang pendidikan yang dialokasikan untuk program pendidikan belum tepat sasaran, salah satu contoh program bantuan peralatan sekolah berupa tas, sepatu, pakaian seragam siswa tumpang tindih dengan program PNPM mandiri, ujarnya.
Temuan lain dalam penggunaan dana otsus Papua, lanjut Warner, meski pemerintah telah mengalokasikan dana otsus Papua untuk pendidikan tetapi masih ditemukan ortu mengeluhkan mahalnya biaya pendidikan sejumlah sekolah tertentu.
Sesuai data tahun 2010,lanjut Warner, Kabupaten Biak Numfor mendapat pembagian dana otsus Papua sebesar Rp59 Miliar namun dalam impelementasi di lapangan pada sektor pendidikan masih belum transparan.
Dana Otsus Papua bidang pendidikan harus menyentuh kebutuhan warga asli Papua, karena itu dalam implementasi di lapangan anggaran ini tepat sasaran serta sesuai ketentuan UU No 21 tahun 2001 tentang pemberian otonomi khusus Papua,?kata Warner Baransano.
Pada bidang kesehatan,lanjut Warner,program berobat gratis melalui program Jaminan Kesehatan Papua harus tepat sasaran sehingga warga asli Papua tidak dipersulit dalam pelayanan pengobatan di rumah sakit maupun Puskesmas.
Ia mengatakan, untuk membantu pengawasan penggunaan dana otsus Papua pihak dewan adat Biak telah membuka posko pengaduan terhadap penyelewengan anggaran otsus Papua.
“Saya imbau masyarakat Papua jika menemukan dugaan penyimpangan anggaran otsus Papua dapat melaporkan kepada posko dewan adat Biak beralamat di gedung dewan adat Biak jalan Majapahit,” ujar Warner.
Pihak dewan adat, lanjut Warner, akan menindaklanjuti berbagai temuan penyalagunaan dana otsus Papua kepada aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi,Kejaksaan serta Kepolisian untuk diproses sesuai hukum yang berlaku.
HARUS TRANSPARAN
Sementara itu ditempat terpisah Tokoh masyarakat Mimika, Dominikus Mitoro meminta semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan dana Otonomi Khusus [Otsus] di Papua harus bekerja transparan dan jujur agar dana dalam jumlah triliunan rupiah itu bisa dirasakan manfaatnya rakyat daerah tersebut.
Mitoro mengatakan hingga 10 tahun pemberlakuan kebijakan Otsus di Provinsi Papua, kondisi masyarakat asli masih memprihatinkan karena terbelenggu kemiskinan, ketidakberdayaan dan lainnya.
“Sebetulnya kalau dana Otsus ini benar-benar dipakai membangun Papua, tentu masyarakat Papua sudah sejahtera. Tapi kenyataannya sebagian besar masyarakat masih belum sejahtera. Berarti ada sesuatu yang tidak beres dalam pengelolaan dana Otsus selama 10 tahun sejak tahun 2001,” kata Mitoro.
Sehubungan dengan itu, ia menyatakan mendukung wacana melakukan audit pengelolaan dana Otsus selama 10 tahun di Provinsi Papua. Jika ditemukan penyelewengan dana Otsus, Mitoro meminta aparat penegak hukum memproses oknum-oknum pejabat yang terlibat.
“Pengelola dana Otsus yang selama ini menghambur-hamburkan uang rakyat untuk memperkaya diri dan keluarganya harus ditangkap dan diproses. Jangan pelihara orang-orang seperti itu,” ujar Ketua Dewan Adat Suku Kamoro di Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro [LEMASKO] itu.
Menurut dia, kebijakan Otsus yang diberikan Pemerintah Pusat sesungguhnya sangat positif jika diimplementasikan secara baik karena bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat asli Papua.
Melalui alokasi anggaran bertriliun-triliun rupiah setiap tahun dari pusat, katanya, seharusnya kondisi masyarakat Papua jauh lebih baik dari semua aspek seperti pendidikan, kesehatan, dan kemampuan ekonomi.
Demikian juga dengan fasilitas umum di kampung-kampung pedalaman hingga pesisir pantai di Papua seperti jalan raya, penerangan, air bersih dan lainnya kondisinya seharusnya lebih baik dari 10 tahun lalu.
Harapan serupa juga dikemukakan mantan Ketua DPRD Mimika periode 2004-2009, Yosep Yopi Kilangin. Pemerintah Pusat mengalokasikan dana Otsus yang nilainya sangat besar ke Papua.”Pemerintah Pusat telah memberi uang dalam jumlah yang banyak, bahkan kalau mau jujur banyak sekali ke Papua dalam bentuk dana Otsus. Tapi penggunaan dana belum diatur secara baik yang menjamin pemanfaatannya diperuntukkan bagi orang Papua asli,” ujar Yopi.
Ia mengatakan, diperlukan adanya produk hukum yang mengatur bahwa peruntukan dana Otsus diarahkan untuk pembangunan orang Papua asli. “Saya kira Pemerintah Pusat seharusnya mendorong adanya aturan-aturan yang betul-betul khusus untuk menjamin penggunaan dana Otsus itu tepat sasaran,” pinta Yopi.[bel/ant]
Written by Bel/Ant/Papos
Tuesday, 05 July 2011 00:00
JAYAPURA – Polemik tentang pembentukan Majelis Rakyat Papua di Papua Barat terus bergulir. Mantan Plt. Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Provinsi Papua, Didi Agus Prihatno selaku pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pemilihan anggota MRP mengaku begitu sedih setelah melihat hasil perjuangannya ternyata banyak disalah tafsirkan.
Meski saat ini dirinya sudah menjabat sebagai Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Papua, tapi apa yang dilakukan oleh anggota MRP di Papua Barat dinilainya sangat menodai harkat dan martabat orang asli Papua.
“Mereka sudah terlanjur mengikuti pemilihan bahkan sudah dilantik dan diangkat sumpah janji di depan Menteri Dalam Negeri, dan sudah ikut menandatangani tata tertib serta ikut pemilihan pimpinan definitif, namun hanya demi kepentingan sesaat, dan dengan waktu yang relatif singkat para anggota MRP di Papua Barat langsung membelok dari sumpah janjinya dan membentuk MRP tandingan di Papua Barat,” katanya.
“Saya melihat harkat dan martabat orang Papua mudah sekali dipengaruhi. Jika begini mana mungkin bisa membela nilai-nilai luhur orang Papua,” sambungnya.
Didi menjelaskan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2004 yang selama ini oleh anggota MRP Papua Barat diklaim sebagai dasar pembentukan, sebenarnya merupakan aturan yang mengatur tentang pembentulan lembaga yang diperintahkan oleh otsus yakni Majelis Rakyat Papua (MRP), dan sesuai dengan Undang-Undang Otsus, yang berkaitan dengan tata cara pemilihan anggota MRP maka akan diatur melalui Perdasi. Jika berkaitan dengan jumlah anggota MRP akan diatur melalui peraturan daerah khusus (Perdasus).
“Nah, pemilihan MRP kali ini mengatur tentang tata cara dan jumlah anggota dari 42 menjadi 75, sehingga lahirlah Perdasus No.4/2010 tentang tata cara pemilihan anggota MRP, yang akhirnya menyukseskan pemilihan anggota MRP jilid II ini,” katanya.
Sekarang timbul persoalan lagi, sebab saat ini MRP ada Provinsi Papua dan Papua Barat, sementara MRP harus ada di dua pemerintahan, maka DPRP Papua Barat kemudian menggelar paripurna khusus, sehingga lahirnya Perdasus No. 5/tahun 2011 tentang berlakunya Perdasus No.4/2010 tentang pemilihan MRP di Papua Barat.
“Sehingga jika melihat dari Perdasus no.4/2010 tentang tata cara pemilihan MRP, maka sudah jelas MRP hanya satu,” jelasnya.
Karena itu, sesuai dengan PP No. 54/2004 dan Otsus, sudah jelas mengamanatkan bahwa pembentukan MRP sesuai dengan Perdasus, dan Perdasus yang diakui di Papua dan Papua Barat, hanya Perdasus no.4/2010 tentang pemilihan MRP, dan sudah jelas mengamanatkan bahwa MRP hanya satu di Papua.
“Jika main sulap-sulap begitu sama saja mengobok-ngobok tantanan peraturan di negara ini, sebab bentuk MRP dengan regulasi mana? Ini kan kepentingan sesaat,” ungkapnya.
Untuk itu Didi menyarankan, agar anggota MRP yang sah, terutama yang baru dilantik di Papua untuk segera melakukan gugatan secara hukum ke pusat soal pembentukan MRP di Papua Barat.
“Pimpinan definitif yang terpilih itu kan dipilih sesuai dengan tata tertib, bahkan yang ikut pemilihan adalah 33 anggota dari Papua Barat. Jadi mereka yang sah. Seharusnya mereka yang melakukan gugatan ke pusat,” tegasnya.
Dijelaskannya, sejak awal pelantikan oleh Menteri Dalam Negeri, di Sasana Krida Kantor Gubernur Papua, tidak ada juga disinggung oleh Mendagri soal adanya pimpinan MRP di Papua Barat,bahkan dalam berbagai kesepakatan antara Gubernur Papua Barat dan Papua, di kementrian dalam negeri di Jakarta, serta kedua DPR disepakati MRP hanya satu.
“Saya jadi saksi, tidak ada yang namanya dua MRP. Jika ada dua lembaga MRP, maka pasti ada dua SK. Namun ternyata Mendagri saat pelantikan hanya membacakan satu SK. Jadi pembentukan MRP di Papua Barat hanya demi kepentingan sesaat,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua II DPRP, Komarudin Watubun, menandaskan, pemikiran anggota MRP Papua Barat untuk membentuk MRP Provinsi Papua Barat, didasarkan atas pemikiran mengenai amanat PP 54 Tahun 2004 yang di dalamnya terdapat pasal yang menyatakan tentang provinsi baru bisa membentuk MRP sendiri.
Namun karena adanya berbagai pernyataan yang pada akhirnya hanya membingungkan masyarakat, dan hanya membangun polemik yang berpanjangan, sehingga alangkah baiknya harus diuji materil dari PP 54 itu.
Yang mana untuk memastikan dengan benar bahwa pembentukan MRP Barat itu apakah ada landasan hukum ataukah tidak, guna semua pihak tidak bermain opini bahwa menurut si ‘A’ atau si ‘B’ itu tidak bisa atau itu bisa, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, Komarudin menegaskan, bagi pihak-pihak yang berpolemik selama ini, sebaiknya melihat aturan hukum yang ada, dan selanjutnya menguji materi dari aturan hukum itu ke lembaga-lembaga hukum yang sudah tersedia, apakah ke Mahkamah Konstitusi (MK) ataukah ke Mahkamah Agung (MA).
Sementaraitu, Ketua MRP Provinsi Papua Barat Vitalis Yumte, S.Pd meminta Gubernur Papua dan Ketua DPR Papua agar tidak mengurusi masyarakat yang ada di Provinsi Papua Barat. Sebab, Provinsi Papua Barat memiliki
pemerintahan sendiri termasuk sudah memiliki MRP Provinsi Papua Barat.
Pernyataan tersebut disampaikan Vitalis Yumte saat menggelar jumpa pers, Selasa (21/6) menanggapi pernyataan Gubernur Papua dan DPR Papua yang dilansir beberapa media.
Dikatakan, secara hukum MRP Provinsi Papua Barat sah. Sebab pembentukkannya sesuai Undang-undang nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua vide UU nomor 35
Tahun 2008 dengan PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP. Dimana di setiap provinsi pemekaran dibentuk MRP yang berkedudukan di ibukota provinsi.
Menurutnya, pembentukan MRP Provinsi Papua Barat adalah bentuk kegagalan Pemprov Papua dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. “Gubernur Papua dan DPR Papua saya lihat tidak serius melaksanakan amanat dalam Undang-Undang Otsus. Buktinya banyak agenda Otsus yang tidak dilaksanakan. Antara lain menyiapkan Perdasi dan Perdasus,” tuturnya.
Makanya, lanjut Vitalis, MRP Provinsi Papua Barat harus ada sendiri supaya serius mengurusi masyarakat yang ada di Papua Barat. Dirinya juga menghimbau orang asli Papua di Papua Barat agar tidak terprovokasi oleh kepentingan politik yang memaksakan MRP Provinsi Papua Barat melanggar konstitusi.
Ditambahkan, MRP Provinsi Papua Barat tidak mau melanggar konstitusi.Khususnya menyangkut orang asli Papua yang disebutkan UU Otsus nomor 21 Tahun 2001 Bab I Pasal 1 Huruf (t). MRP Provinsi Papua Periode lalu
pernah melanggar konstitusi mengenai definisi orang asli Papua. Buktinya saat itu ada calon gubernur yang digugurkan untuk mengikuti Pilgub. Orang asli Papua dalam UU Otsus sangat jelas, termasuk orang yang diterima dan akui oleh masyarakat adat.(cak/nls/fud/sr)