Ketua MRP Papua , Timotius MuribJAYAPURA – Ketua MRP Papua , Timotius Murib mengatakan, dengan bertambahnya pasal demi pasal dalam rancangan undang-undang Otsus Plus, maka itu semakin memberikan bobot terhadap draf undang-undang tersebut. Karena itu ketika nantinya disahkan menjadi sebuah undang-undang Pemerintahan Papua MRP yakin segala hal terkait hak-hak masyarakat asli Papua selama 12 tahun implentasi Otsus Papua yang tak terakomodir saat itu, dapat diakomodir dalam undang-undang Otsus Plus atau undang-undang Pemerintahan Papua.
Menurut Ketua MRP, penyerahan draf Otsus Plus diserahkan ke Mendagri 22 Januari 2013, setelah ditetapkan DPR RI menjadi undang-undang Pemerintahan Papua, maka semua aturan Pemerintahan sektoral yang selama ini diberlakukan di kedua Provinsi Papua itu harus taat dibawah Panglima Otsus Plus atau undang-undang Pemerintahan Papua.
Sebagai representasi masyarakat asli Papua di MRP, Ketua MRP menagaskan pentingnya membangun komitmen diantara para pemimpin tingkat Kepala Daerah untuk konsisten menjalankan undang-undang Otsus Plus atau Pemerintahan Papua itu ketika resmi diberlakukan di Tanah Papua, siapaun kepala daerah dan pemimpin harus tunduk dan taat serta dituntut komitmennya untuk menjalankan Undang-undang ini, ujar Murib kepada Wartawan di Ruang Kerjanya, Senin( 20/1).
Ketika Undang-undang itu disahkan, maka otomatis Provinsi Papua tak diberlakukan Undang undang sektoral lainnya. MRP lanjut Murib akan mengelar Pleno istimewa dalam rangka membangun komitmen implementasi Undang undang Pemerintahan Papua itu diawal pelaksanaannya MRP akan mengiringi terus bahkan ketika undang-undang ini ternyata tak diimplementasikan, maka pleno istimewa referendum diambil sebagai solusi terakhir. “ MRP akan gelar Pleno meminta referendum”, ujar Murib.
MRP mengajak semua kepala daerah bergandengantangan mendorong draf Otsus Plus yang akan jadi payung hukum di Papua, siapapun wajib melaksanakannya. (ven/don/l03)
Deerd TabuniJAYAPURA – Statemen Gubernur Provinsi Papua di beberapa media lokal terkait draft Otsus Plus yang dibuat oleh MRP ke Pemerintah Pusat, mendapat tanggapan serius dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua, Deerd Tabuni.
“Draft Otsus plus ini kan merupakan kerja daripada lembaga rakyat Papua melalui MRP, sehingga Pemerintah Pusat harus menghargai rakyat Papua dan menyetujui ketika draft otsus plus ini diserahkan,” kata Deert Tabuni wartawan di ruang kerjanya usai sidang paripurna RAPBD 2014, Kamis (17/1) malam.
Dia mengakui, bahwa pernyataan Gubernur di media karena keinginan rakyat Papua dari MRP sehingga seaindanya draft rancangan undang-undang ini tidak disetujui oleh pemerintah pusat, maka apa yang dikerjakan oleh rakyat Papua melalui MRP dan apa yang disampaikan oleh Gubernur di media massa, bahwa jikalau draf Otsus plus ditolak maka aka nada permintaan referendum.
Sebab,melihat pelaksanaan Undang-undang Otsus selama di Provinsi Papua menjadi satu regulasi perubahan UU 32 dan UU pemerintahan yang tidak pernah ada kompromi tanpa ada permintaan masukan masukan dari Provinsi Papua, baik itu MRP, DPRP sehingga menyimpulkan hasil Otsus itu merupakan suatu kekecewaan bagi rakyat Papua.
Untuk itu, pihaknya selaku perwakilan rakyat di Provinsi Papua mendorong jalan yang terbaik dan kalau MRP ada perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Pemerintah pusat maka hal ini akan terjadi dan rakyat Papua dengan meminta suatu referendum seperti yang ditanggapi oleh Gubernur beberapa hari ini.
“Saya tegaskan, bahwa Draft Otsus Plus itu mendorong warga Papua sehingga bukan mendorong sesuatu yang disampaikan dalam media, tapi itu benar-benar disampaikan dari hati rakyat agar pemerintah pusat menanggapi serius tentang UU Otsus Plus tersebut,”
tegasnya.
Mengenai dampak lahir Otsus di Papua hanya beberapa persen dampak yang menghasilkan kepada masyarakat namun hasilnya kurang maksimal sehingga membuat rakyat Papua meminta untuk pengembalian Otsus, dan evaluasi Otsus karena mereka menilai Otsus tidak menyentuh di masyarakat.
Namun pihaknya juga meminta agar Otsus plus, pemerintah Provinsi Papua benar-benar memahami konsep agar dalam membangun Papua selalu ada kesepahaman antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi kepada masyarakat Papua.
“Jadi, soal setuju atau tidak setuju tidak ada masalah tapi yang kita pikirkan sekarang bagaimana pemerintah harus mengakui dan menghargai apa yang sudah dikerjakan oleh MRP, DPRP, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Provinsi Papua Barat dan DPRPB MRPB,”
JAYAPURA – Pernyataan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, S.I.P., M.H., yang mengisyaratkan jika Pemerintah Pusat tidak menyetujui Draft UU Otsus Plus, maka itu sama saja rakyat Papua meminta referendum sebagaimana hasil rekomendasi Majelis Rakyat Papua (MRP), ditanggapi serius Ketua I KNPB, Agus Kosay. Ia menyatakan, jika seorang Gubernur dan MRP mempunyai power tidak perlu memboncengi isu yang lain, seperti isu referendum sebagai nilai tawar (bargaining) ke Pemerintah Indonesia. Kemudian, yang menjadi penyesalan pihaknya adalah kenapa sejak draft Otsus dan Otsus Plus disusun tidak melibatkan semua komponen rakyat Papua Barat, dan diputuskan bersama rakyat Papua Barat. “Kalau ada, kasih tahu, disepakati dalam forum apa dan sejak kapan disampaikan ke Pemerintah Provinsi Papua untuk dijadikan acuan Otsus Plus itu,” ungkapnya kepada Bintang Papua di Ekspo Waena, Kamis, (16/1).
Menurutnya, Otsus pada jaman Mantan Ketua Presidium Dewan Adat Papua, Theys Hiyo Eluay diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada rakyat Papua sebagai nilai tawar atas tuntutan kemerdekaan rakyat Papua, namun, kemudian Otsus dinilai gagal dan kemudian ditolak oleh rakyat Papua dan dikembalikan ke Pemerintah Pusat. Sehingga disini dipertanyakan kenapa harus ada Otsus Plus, yang mana referendum dijadikan alat untuk bargaining ke Pemerintah Pusat.
“Kami minta kepada Pemerintah Pusat, untuk jangan sertamerta menerima tawaran yang disampaikan oleh Gubernur Lukas Enembe. Kami KNPB atas nama rakyat Papua Barat meminta kepada para pejabat di Provinsi Papua bahwa jika minta sesuatu ke Jakarta, jangan lagi memboncengi dengan isu Papua Merdeka/referendum,”
tegasnya. Pasalnya, referendum bukan tempat/lahan untuk mencari makan dan minum serta untuk mencari jabatan. Karena referendum itu sama saja dengan perjuangan Papua Merdeka untuk memisahkan diri dari Negera Indonesia, melalui forum resmi internasional. Ini yang harus diketahui oleh gubernur dan MRP bersama jajarannya. Berikutnya, pernyataan Gubernur Lukas Enembe yang mengajak rakyat Papua untuk melupakan sejarah massa lalu. Ini juga sangat disayangkan KNPB atas sikap Gubernur Lukas Enembe didepan anggota delegasi MSG. Persoalannya bahwa sejarah mencatat, kasus pembunuhan, pembatantaian, pemerkosaan dan berbagai cara kebiadaban yang terjadi di atas tanah Papua ini, sehingga rakyat Papua itu binantang, jadi massa lalu harus dilupakan?
Menurutnya, perjuangan yang selama ini diperjuangkan KNPB bersama rakyat Papua bukan untuk meminta kesejahteraan, pembangunan ekonomi. Sama sekali itu tidak!. Karena rakyat Papua sudah bersekolah dan pintar, sehingga sudah mengerti siapa itu Indonesia, maka rakyat Papua berjuangan untuk ideologi Bangsa Papua Barat untuk penentuan nasib sendiri, sesuai dengan keputusan KTT MSG. Bahkan diseluruh dunia membicarakan bagaimana penentuan nasib sendiri itu bisa terlaksana melalui mekanisme internasional.
“Saya pesan kepada rakyat Papua untuk jangan terprofokasi dengan isu-isu yang dibangun oleh Pemerintah NKRI yang ada di Tanah Papua Barat dan kaki tangannya. Jangan kita rakyat Papua pesimis dengan kedatangan MSG, tetapi harus tetap optimis memperjuangkan apa yang menjadi keinginan rakyat Papua sampai penentuan nasib sendiri,”
tukasnya. Ditempat yang sama, Anggota KNPB, Dani Yohanes, menandaskan, Gubernur, MRP dan Pangdam harus membaca dan merenungkan dan juga sampaikan kepada Kapolda Papua bahwa didalam Kitab Yesaya, 8:10, menyatakan, buatlah rancangan tetapi gagal juga, buatlah rencana tapi tidak akan terlaksana juga, sebab Allah menyertai kami. Artinya, Allah menyertai rakyat Papua, dengan demikian kebenaran itu akan tetap terjadi. Berikutnya, para pejabat di atas Tanah Papua, seperti gubernur, bupati/wali kota, anggota dewan, anggota MRP dan lainnya mendapatkan jabatan, dan juga pemekaran berlangsung itu karena akibat dari perjuangan rakyat Papua berteriak merdeka. Jadi hendaklah menghargai rakyat Papua, TPN/OPM dan aktifis Papua Merdeka. Ketua MRP Timotius Murib ketika dikonfirmasi terpisah mengutarakan, pihaknya telah memasukan masalah krusial yakni Pasal 299 dalam Draf UU Otsus Plus yang menetapkan bahwa pemerintah wajib menerima semua pasal yang ada dalam regulasi tersebut. Ditambahkan Timotius Murib, Draf Otsus Plus digulirkan Pemprov Papua untuk menggantikan UU Otsus No. 21 Tahun 2001, karena dianggap kurang memberikan kewenangan bagi Provinsi Papua dan Papua Barat untuk mengatur pemerintahan dan keuangannya. “Pasal 299 wajib dimasukan dalam RUU tersebut karena menjadi pengawas bagi pemerintah untuk serius melaksanakan Otsus di Papua,” ujar Timotius Murib. Karena itu, tandas Timotius Murib, pihaknya mengharapkan pemerintah pusat menerima Draf UU Otsus Plus yang telah disiapkan Pemprov Papua melalui pertimbangan MRP. Pasalnya, Draf UU Otsus terdapat Pasal 299, apabila Otsus Plus tak berhasil dilaksanakan, maka rakyat Papua berhak mengajukan referendum. “Apabila pemerintah mengurangi atau menghilangkan pasal 299 yang tercantum dalam Draf UU Otsus Plus, pihaknya akan mengadakan sidang paripurna istimewa untuk melaksanakan referendum bagi warga Papua sekaligus memisahkan diri dari NKRI,” tegas Timotis Murib. Sementara itu, Ketua Umum DPP Barisan Merah Putih Papua Ramses Ohee menuturkan, pihaknya menolak sikap Gubernur Papua Lukas Enembe, S.I.P., M.H., yang menyatakan apabila Draf UU Otsus Plus ditolak berarti referendum di Papua. Sebab bisa saja draf Otsus plus itu belum semuanya disetujui pusat.
“Jika Draf UU Otsus Plus ternyata sebagiannya belum disetujui Presiden SBY, maka seharusnya terjadi musyawarah dan mufakat lagi antara legislatif, eksekutif dari Papua bersama pemerintah pusat merumuskan kembali Draf UU Otsus Plus untuk masa depan rakyat Papua,”
tandas Ramses Ohee. (nls/mdc/don/l03)JAYAPURA – Pernyataan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, S.I.P., M.H., yang mengisyaratkan jika Pemerintah Pusat tidak menyetujui Draft UU Otsus Plus, maka itu sama saja rakyat Papua meminta referendum sebagaimana hasil rekomendasi Majelis Rakyat Papua (MRP), ditanggapi serius Ketua I KNPB, Agus Kosay.
Ia menyatakan, jika seorang Gubernur dan MRP mempunyai power tidak perlu memboncengi isu yang lain, seperti isu referendum sebagai nilai tawar (bargaining) ke Pemerintah Indonesia.
Kemudian, yang menjadi penyesalan pihaknya adalah kenapa sejak draft Otsus dan Otsus Plus disusun tidak melibatkan semua komponen rakyat Papua Barat, dan diputuskan bersama rakyat Papua Barat.
“Kalau ada, kasih tahu, disepakati dalam forum apa dan sejak kapan disampaikan ke Pemerintah Provinsi Papua untuk dijadikan acuan Otsus Plus itu,” ungkapnya kepada Bintang Papua di Ekspo Waena, Kamis, (16/1).
Menurutnya, Otsus pada jaman Mantan Ketua Presidium Dewan Adat Papua, Theys Hiyo Eluay diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada rakyat Papua sebagai nilai tawar atas tuntutan kemerdekaan rakyat Papua, namun, kemudian Otsus dinilai gagal dan kemudian ditolak oleh rakyat Papua dan dikembalikan ke Pemerintah Pusat. Sehingga disini dipertanyakan kenapa harus ada Otsus Plus, yang mana referendum dijadikan alat untuk bargaining ke Pemerintah Pusat.
“Kami minta kepada Pemerintah Pusat, untuk jangan sertamerta menerima tawaran yang disampaikan oleh Gubernur Lukas Enembe. Kami KNPB atas nama rakyat Papua Barat meminta kepada para pejabat di Provinsi Papua bahwa jika minta sesuatu ke Jakarta, jangan lagi memboncengi dengan isu Papua Merdeka/referendum,”
tegasnya.
Pasalnya, referendum bukan tempat/lahan untuk mencari makan dan minum serta untuk mencari jabatan. Karena referendum itu sama saja dengan perjuangan Papua Merdeka untuk memisahkan diri dari Negera Indonesia, melalui forum resmi internasional. Ini yang harus diketahui oleh gubernur dan MRP bersama jajarannya.
Berikutnya, pernyataan Gubernur Lukas Enembe yang mengajak rakyat Papua untuk melupakan sejarah massa lalu. Ini juga sangat disayangkan KNPB atas sikap Gubernur Lukas Enembe didepan anggota delegasi MSG. Persoalannya bahwa sejarah mencatat, kasus pembunuhan, pembatantaian, pemerkosaan dan berbagai cara kebiadaban yang terjadi di atas tanah Papua ini, sehingga rakyat Papua itu binantang, jadi massa lalu harus dilupakan?
Menurutnya, perjuangan yang selama ini diperjuangkan KNPB bersama rakyat Papua bukan untuk meminta kesejahteraan, pembangunan ekonomi. Sama sekali itu tidak!. Karena rakyat Papua sudah bersekolah dan pintar, sehingga sudah mengerti siapa itu Indonesia, maka rakyat Papua berjuangan untuk ideologi Bangsa Papua Barat untuk penentuan nasib sendiri, sesuai dengan keputusan KTT MSG. Bahkan diseluruh dunia membicarakan bagaimana penentuan nasib sendiri itu bisa terlaksana melalui mekanisme internasional.
“Saya pesan kepada rakyat Papua untuk jangan terprofokasi dengan isu-isu yang dibangun oleh Pemerintah NKRI yang ada di Tanah Papua Barat dan kaki tangannya. Jangan kita rakyat Papua pesimis dengan kedatangan MSG, tetapi harus tetap optimis memperjuangkan apa yang menjadi keinginan rakyat Papua sampai penentuan nasib sendiri,”
tukasnya.
Ditempat yang sama, Anggota KNPB, Dani Yohanes, menandaskan, Gubernur, MRP dan Pangdam harus membaca dan merenungkan dan juga sampaikan kepada Kapolda Papua bahwa didalam Kitab Yesaya, 8:10, menyatakan, buatlah rancangan tetapi gagal juga, buatlah rencana tapi tidak akan terlaksana juga, sebab Allah menyertai kami. Artinya, Allah menyertai rakyat Papua, dengan demikian kebenaran itu akan tetap terjadi.
Berikutnya, para pejabat di atas Tanah Papua, seperti gubernur, bupati/wali kota, anggota dewan, anggota MRP dan lainnya mendapatkan jabatan, dan juga pemekaran berlangsung itu karena akibat dari perjuangan rakyat Papua berteriak merdeka. Jadi hendaklah menghargai rakyat Papua, TPN/OPM dan aktifis Papua Merdeka.
Ketua MRP Timotius Murib ketika dikonfirmasi terpisah mengutarakan, pihaknya telah memasukan masalah krusial yakni Pasal 299 dalam Draf UU Otsus Plus yang menetapkan bahwa pemerintah wajib menerima semua pasal yang ada dalam regulasi tersebut.
Ditambahkan Timotius Murib, Draf Otsus Plus digulirkan Pemprov Papua untuk menggantikan UU Otsus No. 21 Tahun 2001, karena dianggap kurang memberikan kewenangan bagi Provinsi Papua dan Papua Barat untuk mengatur pemerintahan dan keuangannya.
“Pasal 299 wajib dimasukan dalam RUU tersebut karena menjadi pengawas bagi pemerintah untuk serius melaksanakan Otsus di Papua,” ujar Timotius Murib.
Karena itu, tandas Timotius Murib, pihaknya mengharapkan pemerintah pusat menerima Draf UU Otsus Plus yang telah disiapkan Pemprov Papua melalui pertimbangan MRP. Pasalnya, Draf UU Otsus terdapat Pasal 299, apabila Otsus Plus tak berhasil dilaksanakan, maka rakyat Papua berhak mengajukan referendum.
“Apabila pemerintah mengurangi atau menghilangkan pasal 299 yang tercantum dalam Draf UU Otsus Plus, pihaknya akan mengadakan sidang paripurna istimewa untuk melaksanakan referendum bagi warga Papua sekaligus memisahkan diri dari NKRI,” tegas Timotis Murib.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Barisan Merah Putih Papua Ramses Ohee menuturkan, pihaknya menolak sikap Gubernur Papua Lukas Enembe, S.I.P., M.H., yang menyatakan apabila Draf UU Otsus Plus ditolak berarti referendum di Papua. Sebab bisa saja draf Otsus plus itu belum semuanya disetujui pusat.
“Jika Draf UU Otsus Plus ternyata sebagiannya belum disetujui Presiden SBY, maka seharusnya terjadi musyawarah dan mufakat lagi antara legislatif, eksekutif dari Papua bersama pemerintah pusat merumuskan kembali Draf UU Otsus Plus untuk masa depan rakyat Papua,”
Manokwari (SULPA) – Pemerintah RI dinilai mengalihkan perhatian dunia soal pelanggaran HAM dengan hanya mempertemukan delegasi MSG (Melanesian Spearhead Group) dengan gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP, MH.
‘’Ini disebabkan karena sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Luar Marty Natalegawa bahwa persoalan yang mengganggu posisi Indonesia dalam konteks Papua di dunia internasional adalah pelanggaran HAM, terbatasnya akses media asing dan soal lingkungan,’’
kata Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH kepada SULUH PAPUA, Rabu (15/1/2014) di Manokwari, Papua Barat.
Jauh sebelumnya dalam Universal Periodic Revieuw (UPR) di Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council) di Jenewa, Swiss secara tegas menunjukkan sekitar 176 negara di dunia mengemukakan pandangan dan pernyataan tegasnya yang menyoroti pelanggaran HAM di Tanah Papua yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, baik yang terjadi secara sistematis maupun struktural.
Disamping itu, laporan dari Komnas HAM Asia (Asian Human Rights Commission) tentang tindakan pemusnahan etnis (genosida) di kawasan Pegunungan Tenga Papua (1977-1978).
Ia menyebutkan, bahwa Universitas Yale, Amerika Serikat pernah mengeluarkan laporan risetnya yang mendalam tentang terjadinya Genosida di Tanah Papua yang dilakukan oleh TNI dan POLRI.
‘’Hal ini sempat terungkap dalam pengakuan dari Mayor Jenderal Purnawirawan Sintong Panjaitan dalam Bukunya,” katanya.
Dalam buku berjudul “Pejalanan Seorang Prajurit Para Komando” yang ditulis oleh Hendro Subroto, disebutkan pengakuan sang jenderal menyangkut tindakan kekerasan yang dilakukan pasukannya, termasuk dalam upaya memenangkan Tindakan Pilihan Bebas (Act of Free Choice) atau Pepera.
Secara factual, jika dilakukan secara benar, maka hasilnya adalah 2:3 untuk untuk kemenangan pihak yang menginginkan Irian Barat (Papua) berdiri sendiri.
Warinussy mengatakan, sorotan terhadap permasalahan Papua juga dikemukakan Prof.Piter J.Drooglever dalam bukunya : “Een Daad Van Vrije Keuze, De Papoea’s van westelijk Nieuw-Guinea en de grenzen van het zelbeschikkingrecht atau Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
Dalam buku yang telah diterbitkan edisi Bahasa Indonesian diungkapkan mengenai terjadinya berbagai bentuk pelanggaran secara sistematis dan struktural yang dilakukan atas peran dan prakarsa Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan mantan Presiden Ir.Soekarno waktu itu untuk mengintegrasikan Tanah Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menurut Warinussuy, di dalam hasil penelitian ilmuiahnya yang diberi judul Papua Road Map pada tahun 2009 telah menetapkan adanya 4 (empat) masalah utama di Tanah Papua, yaitu : pertama, marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap Orang Asli Papua. Kedua, kegagalan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. ketiga, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Indonesia. Serta keempat, pertanggung-jawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap Orang Asli Papua.
“Ujungnya LIPI menyarankan penyelesaian soal-soal tersebut diantaranya melalui Dialog Damai yang kini terus didorong bersama melalui Jaringan Damai Papua (JDP) di bawah Pimpinan Pater Neles Tebay,’’ katanya.
Sebagai pembela HAM di Tanah Papua,Warinussy juga menilai kunjungan delegasi Menlu MSG yang hanya diwakili Menlu PNG, Solomon Island, Fiji dan Kelompok Perjuangan Etnis Kanaky di Jayapura itu justru terjadi bersamaan dengan terus terjadinya pelanggaran HAM secara sistematis dan strukrural di Tanah Papua.
Hal itu antara lain dalam bentuk terjadinya penangkapan terhadap sekitar 46 orang aktivis pro Perjuangan Papua yang sedang berorasi dan berdemo damai di halaman Kantor DPR Papua yang langsung ditangkap oleh aparat keamanan dari Polda Papua.
Juga secara struktural menurut Warinussy,terjadi tindakan memangkas agenda pertemuan para Menlu MSG tersebut dengan perwakilan kelompok-kelompok perjuangan politik yang pro-Papua Merdeka diantaranya dengan perwakilan dari West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) di Jayapura.
Kondisi ini jelas telah menciderai semangat para Pemimpin MSG dalam Komunikenya pada Juni 2013 lalu di Noumea yang menyatakan keprihatinan dan kekwatiran mereka terhadap situasi pelanggaran HAM sesama etnis Melanesia di Tanah Papua Barat.
“Berkenaan dengan itu, maka saya ingin mendesak Pemerintah Indonesia untuk secara dewasa, arif dan bijaksana ke depan mau membuka diri untuk menerima kritikan dan memberi ruang demokrasi yang lebih luas bagi Orang Asli Papua untuk menyuarakan aspirasi dan pandangan politiknya yang berbeda berdasarkan hukum dan prinsip-prinsi HAM yang berlaku universal,’’
tandasnya.
Pemerintah juga harus bisa menyelesaikan segenap kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi sejak Tahun 1963 hingga hari ini dengan menggelar peradilan HAM yang jujur, terbuka dan fair untuk mengadilin dan menjatuhkan hukuman bagi mereka-mereka yang nyata-nyata terindikasi merupakan pelaku-pelaku lapangan maupun pemegang kendali operasi keamanan yang pernah berlangsung di Tanah Papua dahulu.
“Jika Pemerintah Indonesia tidak segera merubah cara pandangnya atas langkah penyelesaian pelanggaran HAM di Tanah Papua serta usulan penyelesaian melalui Dialog Damai, maka saya sangat yakin bahwa Papua akan keluar karena masalah hak asasi manusia sebagaimana halnya Timor Timur. Jangan lupa bahwa ada seorang penulis orang asli Indonesia sudah memprediksi dalam bukunya terbitan tahun 2011 bahwa jika soal HAM tidak diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia, maka Negara ini akan “pecah” pada tahun 2015, atau satu tahun dari sekarang ini,’’
ayapura – Salah satu usulan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Otonomi Khusus (Otsus) Pemerintahan di Tanah Papua adalah penyelenggaraan referendum untuk menentukan nasib masyarakat lokal jika nantinya UU ini tidak berjalan efektif.
“Pasal 299 yang krusial, tapi ini masih draft masih akan ada supervisi,” kata Gubernur Papua Lukas Enembe kepada wartawan di Hotel Sahid Papua, Rabu (15/1) siang.
Pasal 299 ayat 2 RUU itu mengatakan apabila UU ini tidak dijalankan pemerintah secara konsisten dan tidak berdampak signtifikan bagi peningkatan taraf hidup, dan kesejahteraan orang asli Papua, maka atas prakarsa MRP dapat diselenggarakan referendum yang melibatkan warga lokal di Tanah Papua untuk menentukan nasib mereka.
Dengan demikian, tatanan hukum di Papua nantinya diatur oleh Peraturan Daerah Istimewa (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Adapun undang-undang RI mengacu pada undang-undang pemerintahan di Tanah Papua. “Mau tidak mau semua pasal dalam draf harus diterima oleh pemerintah pusat,” kata Lukas.
Lukas mengatakan, RUU yang terdiri dari 50 Bab 315 pasal ini telah dilakukan supervisi sebanyak 15 kali. “Selanjutnya draft hasil supervisi akan diserahkan secara simbolis kepada DPR Papua, pada Kamis (16/1) untuk diparipurnakan,” kata Lukas.
Setelah itu, lanjut Lukas, bersama seluruh Bupati se-Papua dan Papua Barat, tim asistensi dan tim ahli akan menyerahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jakarta pada 20 Januari mendatang.
Menurut Lukas, rombongan dari Papua yang membawa draft ini akan diterima dalam rapat kebinet terbatas. Setelah diserahkan, Presiden akan memanggil Menteri Dalam Negeri untuk selanjutnya dilakukan supervisi.
“Setelah diserahkan kepada Presiden, tugas selanjutnya kita di Jakarta akan mengurus ini karena melibatkan antar lembaga, kementerian dan DPR RI,” kata Gubernur.
Gertakan Ulangan
Sebelumnya Pada 18 Juni 2010, MRP, dan Dewan Adat Papua (DAP) pernah menyampaikan aspirasi referendum bagi masa depan Papua kepada DPRP. Hasil musyawarah mereka menghasilkan 11 rekomendasi yang selanjutnya diserahkan kepada kepada Pemerintah Indonesia termasuk Pemerintah Daerah dan DPRP.
Musyawarah MRP dan Masyarakat Adat Papua dihadiri tujuh wilayah adat di seluruh Tanah Papua. Dalam keputusan bersama mereka menganggap keberadaan Otsus Papua dianggap gagal memahami situasi politik di Tanah Papua. Atas dasar itu,seluruh peserta Musyawarah dan komponen politik yang hadir menyerukan kepada MRP dan DPRP segera mengembalikan Otsus ke pemerintah pusat.
Socrates Sofyan YomanJAYAPURA— Draf RUU Pemerintahan Otsus masih di meja Gubernur untuk dilihat apakah ada hal-hal yang perlu ditambahkan atau dikurangi dalam Draf itu, ditanggapi Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua Socrates Sofyan Yoman, ketika menghubungi Bintang Papua, Minggu (5/1) malam.
Dikatakan, upaya gubernur dengan Tim Asitensinya patut diapresiasi, karena Lukas Enembe sebagai Gubernur berjuang untuk memikirkan kemajuan rakyat Papua kearah yang lebih baik.
Namun demikian, ujar Socrates,perlu diingat bahwa Otsus Plus bukan solusi substansi masalah Papua, karena Otsus 2001 ditawarkan karena rakyat Papua ingin merdeka dan berdiri sendiri sebagai bangsa berdaulat .
Menurutnya, jadi kalau Otsus sudah gagal total berarti jalan penyelesaian akar masalah Papua adalah dialog damai yang setara antara pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral dan juga di tempat netral.
Socrates menandaskan, pemerintah Indonesia jangan berputar-putar dengan berbagai bentuk rekayasa.
Masalah sudah jelas, ujar Socrates, waktu 4 pimpinan Gereja bertemu Presiden SBY pada 16 Desember 2011 di Istana Cikeas. Presiden SBY menyampaikan ada kemauan untuk menyelesaikan masalah Papua sebelum berakhir masa jabatannya pada 20 Oktober 2014.
Dalam beberapa kali pidato HUT RI 17 Agustus disampaikan niat baik SBY untuk selesaikan masalah Papua dengan dialog damai dan dengan hati. Walaupun begitu SBY pernah sampaikan bahwa ada hard liner atau kelompok garis keras menekan SBY supaya tak boleh menyelesaikan masalah Papua.
“Kami bertanya siapa kelompok garis keras yang menekan Presiden. Apakah kelompok TNI atau kelompok Muslim fundamentalis? Presiden tak pernah sampaikan kepada kami,” kata Socrates.
Karena itu, lanjut Socrates, pihaknya juga bertanya apakah yang dipilih oleh 200 Juta jiwa rakyat Indonesia atau SBY atau kelompok garis keras. Mengapa SBY tak menggunakan kekuatan legitimasi 200 Juta suara untuk bertindak tegas? Ataukah SBY dan kelompok garis keras bersandiwara dan membiarkan orang Papua musnah atau lenyap dari tanah leluhur mereka dengan kekerasan negara yang terjadi hampir 50 tahun.
“Saya sangat prihatin karena pemusnahan etnis Papua terjadi dengan sistimatis dan terstruktur yang dilakukan negara, memang harus diakui jujur bahwa rakyat Papua tidak ada masa depan dalam Indonesia. SBY akan tinggalkan kenangan untuk rakyat Papua adalah hanya janji—janji kosong,”
Kepala UP4B bersama Wakil Bupati, Letjen (Purn) Bambang Darmono bersama Wakil Bupati Kepulauan Yapen saat melakukan pertemuan di Gedung Silas Papare, Rabu (27/11) kemarin. MANOKWARI – Kepala Unit Perecepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), Letjen (Purn) Bambang Darmono, mengungkapkan, untuk bisa melakukan percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat harus dibutuhkan bukti yang nyata melalui pembinaan yang realitas dengan memberikan diskriminatif positif (keberpihakan).
Keberpihakan yang dilakukan oleh UP4B, menurut Darmono, salah satunya melakukan pembangunan infrastrukutur jalan, pengembangan SDM, peningkatan pendidikan, kesehatan dan juga peningkatan perekonomian di wilayah Papua dan Papua Barat.
“Saya tegaskan bahwa tanpa adanya keberpihakan di tanah ini, maka pembangunan di Tanah Papua tidak akan bisa berjalan,”
ungkap Darmono dalam kunjungannya di Kepulauan Yapen sekaligus melakukan pertemuan dengan Pemerintah Daerah Kepulauan Yapen di Gedung Silas Papare, Rabu (27/11) kemarin sekaligus memantau perkembangan jalan yang dibangun oleh TNI di wilayah Kepulauan Yapen dan wilayah Manokwari.
Hadir dalam pertemuan tersebut, Wakil Bupati, Frans Sanadi S.Sos, M.B.A., Ketua DPRD, Yotam Ayomi, Dandim 1709/Yawa, Letkol Inf. Dedi Iswanto, Wakapolres Kepulauan Yapen, Kompol. T. Ananda, S.P., dan sejumlah Pimpinan SKPD di lingkungan Pemerintah Daerah dan sejumlah tokoh masyarakat di Kabupaten Kepulauan Yapen.
Darmono mengungkapkan bahwa keberpihakan yang satu-satunya dilakukan adalah Otsus yang pada hakekat utamanya adalah percepatan, namun dirinya tidak ingin masuk pada ruang disposisi Otsus Plus tersebut karena itu merupakan sebuah kewenangan yang diberikan kepada wilayah.
“Otsus itu hakekat utamanya adalah percepatan pembangunan, sebab di akhir Otsus itu kondisi Papua harus sejajar dengan Provinsi lain yang ada di seluruh Indonesia. Apakah dia kondisi SDM maupun kondisi lainnya itu karena merupakan amanah Undang-undang,” katanya.
Darmono kembali menegaskan, bahwa UP4B diberikan 5 tugas oleh Presiden diantaranya, untuk melakukan koordinasi, untuk menjalankan sinkronisasi, untuk menjalankan pengendalian, dan evaluasi, serta semua proses perecepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat.
Dengan lima tugas yang diberikan itu, maka UP4B bukan badan yang memiliki ototritas dari Pemerintah untuk melakukan pelaksanaan program atau mengekesekusi program, akan tetapi UP4B sebuah unit percepatan pembangunan untuk mengkoordinasi semua percepatan pembangunan yang ada di Papua dan Papua Barat, yang kemudian melakukan evaluasi dan pengendalian sejauh mana pembangunan tersebut.
Untuk itu, apapun yang dilakukan oleh UP4B selalu dibatasi pada tugas yang diberikan oleh Presiden sehingga dalam pelaksanaan program itu ada di kementerian kelembagaan.
“Jadi, tanggung jawab sepenuhnya atas program yang dilakukan merupakan tanggung jawab dari Kementerian kelembagaan bukan UP4B,”
tukasnya.
Khusus di Kabupaten Yapen, Darmono mengemukakan, masyarakat sangat merindukan pengembangan berbagai sumber daya yang ada, bahkan sudah 40 tahun jalan di Kabupaten Kepulauan Yapen itu sangat dirindukan, sehingga adanya UP4B mencoba untuk menerobos untuk melakukan proses percepatan pembangunan dengan tujuan dapat mengembangkan dan meningkatkan SDM, pendidikan dan kesehatan serta berbagai perekonomian lainnya.
“Yang jelas, percepatan pembangunan yang kita lakukan pada hakekatnya untuk mempercepatan pelaksanaan pembangunan dan saya mencoba bagaimana konsep tugas ini bisa dikembangkan untuk bisa melanjutkan pembangunan terutama infrastruktur jalan,”ujarnya.
Sementara itu, kepada wartawan, kata Darmono dalam kunjungan di Papua, khusus di daerah Kepulauan Yapen untuk melihat sejauh mana persiapan dari para prjurit TNI yang akan mengerjakan sebagian jalan UP4B di wilayah Papua, Papua khususnya di Kabupaten Kepulauan Yapen.
Disamping itu, dalam kunjungannya juga ingin mendengar langsung bagaimana rencana TNI dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan jalan itu, sekaligus mendengar langsung respon dari masyarakat terkait pekerjaan yang dilakukan oleh TNI. Namun secara umum, menilai bahwa semuanya harus membutuhkan proses untuk melakukan sosialisasi karena masyarakat sedang menunggu dan mendukung progres dari pada pembangunan yang dilakukan sekarang ini.
Sementara dalam kunjungannya di Pulau Mansinam, Kabupaten Manokwari-Provinsi Papua Barat, Darmono mengemukakan, bahwa pihaknya untuk meyakinkan bahwa proyek ini harus jadi. “Apapun buat saya itu hal yang lumrah, karena dalam sebuah proses itu pasti banyak dinamika, yang paling penting endingnya bakal berhasil dengan baik. Saya tegaskan, bahwa TNI bukan main proyek dalam mengerjakan jalan ini, akan tetapi karena kurang dana maka, bagaimana caranya mempersempit agar pembangunan bisa berjalan, sehingga salah satunya dimafaatkan TNI untuk membantu melakukan percepatan pembangunan ini,” pintanya.
Sementara itu, Wakil Bupati Kepulauan Yapen, Frans Sanadi, S.Sos M.B.A., mengakui, Kabupaten Kepulauan yang terletak di pesisir tanah Papua sangat terkendala proses perecepatan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) karena transportasi sangat sulit ditempuh.
Apalagi menurutnya, daerah distrik Angkaisera Kota Serui dan distrik Akasera Manawi serta distrik Kasiwa sangat sulit dijangkau ketika terjadi musim gelombang atau musim angin.
“Salah satu contoh, ada orang sakit tidak bisa tertolong ketika terjadi gelombang, padahal apabila menggunakan kendaraan darat sangat cepat mendapat pertolongan,”
katanya.
Oleh sebab itu, dengan koordinasi yang terus menerus dengan UP4B akhirnya ditahun 2012-2013 akhir ini UP4B melalui Pepres yang dikatakan tadi oleh Pak Kepala UP4B, Darmono, maka kita mendapat tiga ruas jalan pembangunan di daerah Kabupaten Kepulauan Yapen yang cukup sulit pembangunan di Kabupaten Kepulauan Yapen yaitu, di daerah Pantura atau di daerah pantai Utara.
Dia mengungkapkan, dengan koordinasi yang terus menerus dengan UP4B akhirnya ditahun 2012-2013 akhir mendapatkan perhatian serius, terutama kepada Kepala UP4B karena telah melakukan terobosan baru untuk melakukan ruas jalan di Kabupaten Kepulauan Yapen ini.
“Dengan kehadiran UP4B di Papua, khusus di Kepulauan Yapen yang didukung oleh TNI dan Marinir kami berharap ruas jalan dari Serui sampai di Ansus dan beberapa ruas jalan yang dibangun bisa terjangkau pada pertengahan tahun 2014 mendatang,”
katanya.
Pada dasarnya, ia mengungkapkan, Pemerintah Daerah bersama masyarakat Kabupaten Kepulauan Yapen menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada Pemerintah Pusat dan khusus bapak Bambang Darmono sebagai Kepala UP4B yang telah memberikan perhatian besar bagi masyarakat yang ada di Kabupaten ini.
“Kehadiran beliau merupakan sesuatu penghargaan yang luar biasa bagi pemerintah dan masyarakat Kepulauan Yapen karena beliu telah menyempatkan waktu untuk bisa hadir dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh masyarakat serta SKPD dilingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Yapen ini,”
ujarnya.
Kedepan, Sanadi berharap agar di masa-masa yang akan datang lebih ditingkatkan kebersamaan, dan kepada masyarakat diimbau bisa memberikan dukungan secara positif setiap proses pembangunan di Kabupaten ini, sehingga jalan lingkar Kepulauan Yapen diharapkan bersama bisa terwujud pada waktunya.
Di tempat terpisah, Dandim 1709/Yawa, Letkol Inf. Dedi Iswanto menjelaskan, bahwa pembangunan ruas jalan oleh UP4B yang dijalankan oleh TNI secara kodim 1709/ Yawa mendapatkan lima ruas, diantaranya ruas di Yapen Utara, Roseberi-Poom dan Roseburi-Aubeba, Randawaya-Dawai, kemudian ruaas Geesa-Barapati, dan ruas Wapoga-Botawa.
“Jadi, kalau dari sasaran yang ada ini, maka kodim sampai saat ini secara umum tidak ada kendala, dan masyarakat begitu suka dan antusiasnya atas pembangunan ketika TNI yang akan bekerja. “Masyarakat dengan suka cita membantu kami untuk mengerjakan pembangunan ruas jalan ini,” ujarnya.(loy/don/l03)
Otsus merupakan salah satu Solusi dari Pemerintah Indonesia kepada Provinsi Papua dan Papua Barat untuk menyelesaikan masalah yang selama ini terjadi di Papua, namun masih ada beberapa kalangan yang mengatakan bahwa otsus masih gagal.
Hal tersebut terbukti dengan adanya masyarakat Papua yang berdiam di Pedalaman Papua yang masih tertinggal, karena dikalangan masyarakat Papua masih ada keluarganya yang belum sejahtera baik itu keluarganya, saudaranya yang masih belum sejahtera untuk itu muncullah Otsus.
Ketua Lembaga Masyarakat Adat Provinsi Papua Lenis Kogoya mengatakan orang Papua mau merdeka karena orang Papua merasa bahwa keluarganya, saudaranya dan rumahnya masih belum sejahtera akhirnya orang Papua mau merdeka.
Untuk itu Pemerintah Indonesia mencari solusi dengan mendatangkan Otsus atau Otonomi Khusus Provinsi Papua dan UP4B atau Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat.
JAKARTA – Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi, Felix Wanggai, mengatakan, kedepan pemerintah Pusat akan berusaha keras meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan berencana membuka akses transportasi darat, yakni membuka jalan trans Papua dan berbagai program yang sudah disiapkan pihaknya, dalam kepimpinan 5 (Lima ) Tahun kedepan bersama wakil Gubernur Papua Klemen Tinal, SE., M.M., sesuai visi misinya dan untuk menyukseskan program Otsus Plus, mendapatkan dukungan yang positif dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Disampaikan pula, bahwa Presiden SBY juga menginstruksikan kepada para Bupati, DPRP, MRP, dan semua komponen di Papua untuk bersama Gubernur dan Wakil Gubernur bersatu dan bekerja sama serta saling berkoordinasi untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat Papua lewat program Otonomi Khusus Plus itu sendiri.
Terhadap itu, maka untuk mendukung hal tersebut, dirinya bersama Gubernur Papua, Lukas Enembe, S.I.P., MH., dalam pertemuan tersebut dirinya dan Gubernur Papua, meminta DPR RI untuk mendukung adanya permintaan Papua menjadi tuan rumah PON 2020, karena Papua sudah siap untuk menjadi tuan rumah iven besar skala nasional itu.
“Sebab orang Papua memiliki segudang prestasi diberbagai cabang olahraga dan orang Papua sudah banyak mengharumkan nama Indonesia diberbagai cabang olahraga,” tegasnya kepada Bintang Papua, di Hotel Sahid Jayapura, baru – baru ini.
Dalam pertemuan itu, Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso yang menerima Gubernur Papua bersama rombongan di ruang kerjanya menandaskan, sangat mendukung penuh akan program yang disiapkan Gubernur Papua yang berencana membuka akses jalan trans Papua sebagai upaya peningkatan ekonomi masyarakat, dan sangat mendukung akan adanya kesiapan menjadi tuan rumah PON 2020 nantinya, sehingga dirinya berharap semua masyarakat juga pemerintah daerah harus benar mendukung program yang sangat baik ini, dan pihaknya (DPR RI) berharap niat baik Gubernur Papua dalam meningkatkan kesejahteraan orang Papua akan menjadikan Papua lebih baik lagi dan angka kemiskinan di Papua akan semakin kecil lagi.
“Inti dari perbincangan Gubernur Papua dengan Wakil Ketua DPR RI adalah meminta dukungan agar program Papua kedepan mendapat dukungan pihak DPR RI dan Papua dalam perjalanan Otsus Plus bisa berjalan baik dan sukses, guna orang Papua bisa sejahtera,” tandasnya.
“Gubernur Papua, hanya mau mengurus rakyat Papua bisa sejahtera dan bukan urus permasalahan politik yang sementara ramai dibicarakan dan dibesarkan oleh media nasional saat ini,sebab persoalan di Oxford Inggris itu (pembukaan kantor perwakilan OPM) kewenangan pemerintah pusat, di Papua hanya mau mengurus orang Papua bagaimana bisa sejahtera dan mandiri melalui Otsus Plus,” sambungnya.(Nls/Don/l03)
JAYAPURA- Rapat Dengar Pendapat Evaluasi Otsus Perspektif Orang Asli Papua bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, yang difasilitasi MRP, dipastikan dilaksanakan tanggal 25-27 Juli dan akan dihadiri utusan dari 40 Kabupaten di dua provinsi di Tanah Papua.
Ketua Tim Rapat Dengar Pendapat, Yakobus Dumupa menyatakan, sebagian peserta sudah berdatangan dan dipastikan seluruh perwakilan sesuai undangan menyatakan diri hadir, termasuk 14 narasumber yang akan hadir dan menyampaikan penilaian mereka terhadap implementasi Otsus Papua dalam 14 bidang.
Yakobus Dumupa menegaskan, dalam Rapat Dengar Pendapat yang diselenggarakan MRP ini tak terkait ideologi tertentu. Evaluasi Otsus ini juga tidak ada urusannya dengan kelompok ideologi tertentu, seperti kelompok Bintang Kejora (BK) atau merah putih.
Menurut dia, kita harus melihat evaluasi Otsus perspektif Orang Asli Papua ini dalam konteks kita sebagai orang Papua, bukan kita sebagai orang yang punya ideologi tertentu, tidak demikian. Karena itu, selaku Ketua Tim Rapat Dengar Pendapat MRP ini menghimbau kepada semua masyarakat Papua untuk dapat melihat evaluasi yang akan dilaksanakan ini sebagai evaluasi dari kita sebagai orang Papua tanpa peduli ideologi apapun.” Jangan evaluasi ini dikaitkan dengan Ideologi tertentu”, tegasnya.
Sangat Disayangkan Selama 12 Tahun Otsus Baru Dievaluasi
Sementara itu Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, rencana evaluasi Otsus Papua oleh MRP pada 25-27 Juli 2013 sesuai ketentuan UU Otsus, namun hal itu sangat disayangkan, karena setelah 12 tahun baru dilaksanakan ketentuan pasal 78 UU Otsus Papua dimaksud.
Diakuinya, memang MRP terlambat lahir di Tanah Papua, karena ada ketakutan Jakarta kepada MRP sebagai lembaga super body yang merupakan perwujudkan kelembagaan dari gerakan kebangkitan nasionalisme Papua. MRP dipandang juga sebagai simbol perlawanan terhadap kedaulatan Indonesia di Papua karena dengan membentuk MRP sama saja dengan membentuk Negara dalam Negara.
Kecurigaan Jakarta yang cukup besar terhadap lembaga kultural ini, yang membuat MRP kehilangan power sama sekali dalam trias politikal kekuasaan model sistem politik lokal Papua. Tapi lepas dari hal kegiatan evaluasi UU Otsus tahun 2013 ini jangan sampai dimaksudkan untuk memberikan dasar konstitusional kepada lahirnya UU Otsus Plus atau Undang-Undang Pemerintahan Papua.
Menurutnya, jika tujuannya Otsus Plus/Pemerintahan Papua untuk memberikan dasar hukum yang kuat terhadap UU Otsus Plus , dirinya berpikir bahwa MRP sudah terseret kedalam kepentingan politik dan ekonomi pemerintahan pusat.
“Evaluasi Otsus kalau boleh tidak dimaksudkan untuk memberikan penguatan terhadap proses legislasi UU Otsus plus, tetapi lebih kepada pertanggungjawaban UU Otsus Papua kepada rakyat Papua, dan harus meminta pendapat umum rakyat Papua terhadap kelangsungan UU Otsus Papua ini,” ungkapnya kepada Bintang Papua di kediamannya, Selasa, (23/7).
Dijelaskannya, secara hukum internasional, tidak ada salahnya kalau diakhir dari evaluasi UU Otsus ini, MRP mengusulkan kepada DPRP untuk menggelar referendum terhadap UU Otsus. Karena DPRP memiliki hak konstitusi untuk melaksanakan referendum terhadap UU Otsus.
Dari hasil referendum itulah DPRP akan menyampaikan hasilnya kepada pemerintah pusat melalui DPR RI. Pasalnya, jika dilihat hasil referendum akan memberikan gambaran kepada pemerintah pusat apa sesungguhnya yang orang Papua inginkan atau harapkan tentang UU Otsus Papua dimaksud. Bahwa apakah akan terus dilaksanakan atau harus diganti dengan UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua atau pendapat masyarakat Papua tentang pilihan politik yang lain.
Untuk itu, dirinya mendorong dan menghimbau kepada MRP untuk mempertimbangkan akhir dari evaluasi Otsus ini, karena lembaga kultural ini harus melakukan dua langkah penting. Pertama, mengusulkan digelarnya referendum di Tanah Papua terhadap UU Otsus Papua. Kedua, merekomendasikan hasil evaluasi Otsus ini menjadi agenda utama dalam dialog damai Papua dengan Jakarta yang sedang dipersiapkan oleh Jaringan Damai Papua dalam menghentikan dan menyelesaikan konflik dan kekerasan di Papua.
“Dialog damai ini belum disetujui Jakarta karena kecurigaan terhadap agenda dialog. Saya pikir melalui hasl evaluasi Otsus ini bisa dijadikan salah satu agenda utama dalam dialog damai,” pungkasnya.(Ven/Nls/Don/l03)