Pacific West Papua 14 Jul 2016 Decision looms on West Papua’s MSG bid

Radio NZ – The leaders of the Melanesian Spearhead Group are expected to announce whether or not West Papua will gain full membership this afternoon.

An organisation representing West Papua independence groups, the United Liberation Movement for West Papua, was last year granted observer status within the MSG.

But Indonesia, which considers the movement a separatist group with no legitimacy, was also granted associate status.

Jakarta has this year warned Melanesian leaders to “think carefully” about any decision about West Papuan membership, and has put great effort into lobbying ahead of today’s summit.

Vanuatu, a key advocate for West Papua, is pushing for the movement to gain full membership, which is supported by Solomon Islands and New Caledonia’s FLNKS movement.

But Papua New Guinea and Fiji have expressed their support for Indonesia’s sovereignty over West Papua, and are unlikely to support the country’s removal from the MSG, which Vanuatu is pushing for.

The announcement has been brought forward to this afternoon as Fiji’s prime minister, Frank Bainimarama, has to leave Honiara later today.
Church calls for consideration

The Catholic Church in Papua New Guinea said MSG leaders should consider West Papua’s application.

The Archbishop of Port Moresby, Sir John Ribat, says the movement should be allowed full membership because of its representation of the indigenous Papuans, who are Melanesian.

He said human rights concerns in West Papua need to be discussed within the framework of the MSG, and Indonesia should be involved with them too, but as an observer.

Anggota Parlemen Kep. Solomon : Indonesia bukan Melanesia

Jayapura, Jubi – Kepulauan Solomon menegaskan kembali sikapnya terhadap isu Papua dan Melanesia, terkait status United Liberation Movement for West Papua di Melanesia Spearhead Groups (MSG)

“Indonesia bukan Melanesia dan ULMWP adalah perwakilan sah rakyat dan bangsa Papua di Melanesia,” kata Derrick Manuari kepada Jubi melalui sambungan telepon, Kamis (13/10/2016).

Manuari, anggota parlemen Kepulauan Solomon yang mewakili Solidaritas Kepulauan Solomon untuk Papua Barat menjelaskan pertimbangan soal kemelanesiaan itulah yang menjadi alasan Kepulauan Solomon dan Vanuatu serta Front Pembebasan Kanak (FLNKS) memutuskan untuk menerima ULMWP sebagai anggota MSG pada bulan Desember nanti.

Sekalipun Fiji dan Papua Nugini (PNG), dua negara terbesar di MSG tidak menghadiri pertemuan anggota MSG pada Desember nanti, tiga anggota ini telah menentukan sikap mereka.

Manuari menambahkan, sikap tiga anggota ini diputuskan setelah melakukan lobi intens dengan beberapa negara Pasifik seperti Tokelau, Nauru, Tonga dan Marshall Islands.

“Tentu saja akan ada protes dari anggota lain. Fiji dan PNG punya hubungan yang sangat dekat dengan Indonesia. Namun solidaritas Melanesia seharusnya mendukung bangsa Papua Barat daripada mempromosikan Indonesia di Melanesia,”

jelas Manuari.

Lanjutnya, meskipun Fiji dan PNG tidak mendukung keputusan yang diambil tiga anggota penuh lainnya, MSG akan berdiri pada prinsip pendirian MSG, yaitu mempromosikan solidaritas Melanesia di kawasan.

“Kembali kami tegaskan, Indonesia bukan Melanesia dan ULMWP adalah perwakilan sah bangsa dan rakyat Papua yang adalah bangsa dan rakyat Melanesia,” tegas Manuari.

Indonesia, lanjutnya, selalu melakukan protes terhadap apa saja yang dilakukan bangsa-bangsa di Melanesia dan Pasifik yang berkaitan dengan Papua baik dalam forum MSG maupun Pacific Islands Forum (PIF). Sikap Indonesia ini, menurutnya bukanlah sikap yang biasa ditunjukkan oleh bangsa Melanesia.

“Posisi Solomon jelas dalam hal ini. Kami tidak bisa terus menerus menggunakan alasan teknis soal keanggotaan untuk menghalangi hak bangsa dan rakyat Melanesia lainnya untuk terlibat dalam solidaritas Melanesia dan MSG. Karena disitulah prinsip dasar MSG diletakkan oleh para pendiri,”

kata Manuari. (*)

Yeimo: PIF Leaders Dorong West Papua ke PBB

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — “Para pemimpin mengakui sensitivitas isu Papua dan setuju bahwa tuduhan pelanggaran HAM di Papua tetap menjadi agenda mereka. Para pemimpin juga menyepakati pentingnya dialog yang terbuka dan konstruktif dengan Indonesia terkait dengan isu ini.”

Ini bunyi poin 18 dari komunike bersama para pemimpin Pasifik yang tergabung dalam Pacific Islands Forum (PIF) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-47 yang berlangsung di Pohnpei, ibukota negara federal Mikronesia, 7 hingga 11 September 2016.

Hal ini senada dengan pernyataan Sekretaris Jenderal PIF, Dame Meg Taylor yang berbicara sebelum KTT ini berlangsung. Menurutnya, isu Papua dianggap sensitif oleh beberapa pemerintah di Pasifik walaupun isu tersebut tetap masuk dalam agenda untuk dibahas.

Victor F. Yeimo, tim kerja ULMWP yang juga ketua umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), mengatakan, perjuangan bangsa Papua makin menggema di tingkat internasional dengan dukungan dari negara-negara Pasifik.

“Satu langkah kita, negara-negara Pasifik sudah membulatkan tekad untuk dorong masalah hak penentuan nasib sendiri dan persoalan pelanggaran hak asasi manusia ke PBB,” demikian Yeimo kepada suarapapua.com melalui keterangan tertulis, malam ini.

Tentang komunike PIF ke-47 tahun 2016, sedikitnya 46 poin terbagi dalam 19 bagian yang dihasilkan di akhir KTT kali ini.

Ia menyebutkan tiga poin penting bagi Papua Barat dari komunike bersama para pemimpin negara-negara Pasifik.

Pertama, negara-negara Pasifik mengakui sensitifitas masalah politik West Papua.

Kedua, PIF menyetujui agar tetap menempatkan masalah HAM dalam agenda.

Ketiga, menjaga untuk melakukan dialog konstruktif dengan Indonesia.

KTT dihadiri pemimpin negara dan pemerintahan Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Republik Nauru, Selandia Baru, Papua Nugini, Republic of Marshall Islands, Samoa, Tonga, Tuvalu dan Vanuatu.

Solomon Islands diwakili Deputi Perdana Menteri, sedangkan Fiji, Niue dan Republik Papau diwakili menteri luar negeri. Kiribati diwakili utusan khusus.

Selain anggota, KTT kali ini dihadiri pula anggota associate, yaitu French Polynesia, Kaledonia Baru dan Tokelau yang diperkenankan turut dalam sesi-sesi resmi.

Peninjau di KTT PIF adalah The Commonwealth of the Northern Marianas Islands, Timor Leste, Wallis dan Futuna, Bank Pembangunan Asia, the Commonweath Secretariat, PBB, the Western and Central Pacific Pacific Fisheries Agency (PIFFA), Pacific Power Association (PPA), Secretariat of Pacific Community (SPC), Secretariat of the Pacific Regional Environment Programme (SPREP) dan the University of the South Pacific (USP).

Sesuai keputusan, KTT PIF tahun depan akan diselenggarakan di Samoa, sedangkan KTT PIF 2018 di Nauru dan 2019 di Tuvalu.

Salah satu keputusan penting dari KTT PIF ke-47, diterimanya French Polynesia dan Kaledonia Baru sebagai anggota penuh. Di mata sementara kalangan ini sebuah keputusan berani karena French Polynesia dan Kaledonia Baru adalah wilayah kekuasaan Prancis, yang pada KTT ini diwakili dua organisasi yang berjuang untuk menggelar penentuan nasib sendiri.

Pewarta: Mary Monireng

Octovianus Mote: Pemerintah Indonesia itu Penjajah Bagi Orang Papua

8 September 2016, Mikael Kudiai, Harian Indoprogress

PAPUA bagi mayoritas rakyat Indonesia, adalah tanah yang dicintai sekaligus dilupakan. Tidak banyak yang mau tahu dan peduli bahwa di Papua segala klaim tentang Indonesia sebagai bangsa yang peramah, harmonis, dan cinta damai adalah bohong belaka. Bagi rakyat Papua, kehadiran Negara Indonesa lengkap dengan aparatusnya hanya berarti sebagai perampasan tanah, pencaplokan dan eksploitasi besar-besaran kekayaan alamnya, pembunuhan tanpa perikemanisaan, penangkapan, pemukulan, pemenjaraan, kemiskinan, kesenjangan sosial, penyebaran penyakit, genosida kultural, rasisme, diskriminasi, dan segala bentuk keburukan yang tak pernah bisa dibayangkan oleh pendiri Republik Indonesia.

Tidak heran jika kemudian muncul perlawanan dari rakyat Papua untuk merdeka dari Indonesia. Perlawanan-perlawanan ini tentu saja mengalami represi yang sangat brutal dan kejam dari pemerintah Indonesia. Tetapi, hingga saat ini pemerintah Indonesia terbukti gagal meredam aksi-aksi perlawanan tersebut. Bahkan bentuk-bentuk dan metode-metode perlawanan itu semakin berkembang dan meluas.

Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan gerakan perlawanan rakyat Papua tersebut, Coen Husain Pontoh, Pemimpin Redaksi IndoPROGRESS, mewawancarai Octovianus Mote, Sekretaris Jenderal United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat. Wawancara ini sebelumnya telah dimuat di IndoPROGRESS TV, pada 25 Mei 2016, dan ditranskip oleh Mikael Kudiai untuk Papua Bicara. Berikut wawancara lengkapnya:

Kita mau ngomong-ngomong tentang perjuangan Papua. Sebagai sekjen ULMWP, coba diceritakan kapan organisasi ini berdiri, di mana dan tujuannya apa?

Organisasi ini dibentuk pada tahun 2014 di Port Vila, Vanuatu. Ini untuk menindaklanjuti permintaan Melanesian Leaders di Port Moresby, Papua New Guinea (PNG). Pertemuan itu untuk merespon atau follow up pertemuan-pertemuan Melanesia Spearhead Group (MSG) sebelumnya.

Jadi sejarahnya itu mulai dari tahun 2013, pada saat MSG merayakan 25 tahun berdirinya organisasi itu, lalu para anggota pemimpin MSG keliling ke seluruh Negara-negara Melanesia untuk mengumpulkan data dan kira-kira untuk 25 tahun ke depan, masalah apa yang perlu diselesaikan. Para pemimpin MSG keliling di setiap Negara dan bertemu dengan siapa saja, mengumpulkan pendapat dan menentukan strategi MSG ke depan.

Nah, di dalam perjalanan itu, di seluruh wilayah Melanesia penyelesaian masalah Papua menjadi perhatian yang paling utama. Pada bulan Agustus 2013 itu, di New Caledonia, pemimpin MSG telah memutuskan tiga hal utama yang sangat signifikan: pertama, diakuinya West Papua Inalienable Right for Self Determination; kedua, entah pribadi atau kelompok, mereka harus bicara dengan Indonesia tentang masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sudah luar biasa di West Papua; dan ketiga, mereka juga membicarakan kemungkinan diterimanya West Papua menjadi anggota yang diwakili oleh West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL). Tetapi tiba-tiba Indonesia manuver masuk melalui Fiji dengan mengatakan, kalau soal keanggotaan, bagaimana kalau menteri-menteri MSG berkunjung ke Indonesia dulu dan melihat langsung kenyataan yang terjadi.

Berdasarkan diplomasi ini, lalu para pemimpin MSG mengatakan, kita pergi melihat terlebih dahulu di West Papua. Lalu dikirim satu delegasi, menteri-menteri luar negeri MSG ke West Papua. Tetapi Vanuatu mengatakan tidak mau ikut karena hal ini akan direkayasa oleh Indonesia. Lalu, setelah para menteri MSG balik dari Indonesia, dibuat pertemuan di Port Moresby dan diputuskan lamaran keanggotaan West Papua melalui WPNCL itu tetap terbuka. Tetapi kalian melamar lagi dengan catatan kalian bersatu dulu, bentuk satu organisasi persatuan yang mampu menyatukan gerakan-gerakan orang West Papua.

Sesudah itu, Vanuatu mengatakan kami akan membiayai seluruh komponen persatuan orang Papua.

Sebenarnya proses persatuan, sudah dilakukan mulai dari bawah dan sudah mengerucut pada tiga organisasi induk perjuangan yang eksis di West Papua, yaitu WPNCL, Parlemen Nasional West Papua (PNWP) yang keanggotaannya, salah satunya, adalah Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB). Jadi, tiga kelompok besar ini datang ke Port Vila, Vanuatu dan proses rekonsiliasi di fasilitasi oleh Dewan Gereja Pasifik atau The Pacific Conference of Churches (PCC). Lalu pemerintah Vanuatu mengeluarkan biaya dan karena ini didukung oleh MSG, tentu saja PNG berusaha untuk membantu formasi.

Kalau kita memakai WPNCL saja, dianggap organisasi-organisasi West Papua pecah karena ini hanya koalisi, maka kami membentuk United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Lalu ketika kita united kami langsung melamar di MSG pada 5 Februari 2015.

Apa tujuannya?

Tujuan dibentuknya ULMWP adalah, pertama, memperjuangkan West Papua menjadi full members di MSG; kedua, memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri sampai Papua merdeka. Jadi, the goal itu Papua merdeka.

Apa capaian ULMWP sejauh ini?

Dari segi struktur organisasi, kita memilih hanya lima orang di dalam pertemuan itu dan hanya memilih Sekertaris Jenderal (Sekjen) dan Juru Bicara (Jubir), karena ketua dari pada perjuangan ini mesti di tanah air (West Papua).

Jadi tiga pendiri, mereka adalah dewan komite yang memiliki kewenangan untuk memberikan mandat atas nama rakyat West Papua kepada kami, untuk memperjuangkan kemerdekaan di tingkat internasional. Oleh karena itu, posisinya tidak ada ketua. Ketua ada di West Papua. Perjuangan itu ada di West Papua. Yang ada hanya Sekjen yang mengorganisir semua diplomasi perjuangan ini, baik di West Papua, mau pun di luar negeri untuk mencapai tujuan kemerdekaan itu.

Lalu saya terpilih secara bulat sebagai Sekjen untuk tiga tahun masa kerja dan Benny Wenda terpilih sebagai Jubir. Di tambah dengan tiga anggota Rex Rumakiek, Jacob Rumbiak, Leonie Tanggahma.

Yang juga menarik adalah dalam konstitusi kami itu sepertiga dari pada kepemimpinan itu, paling tidak satu, harus selalu perempuan. Jadi dari lima orang itu, minimal harus ada perempuan.

Lalu yang menarik dari perjuangan-perjuangan sebelumnya lagi adalah di tanah air, kami punya kantor penghubung, dimana mereka ini yang mewakili dari tiga elemen ini, yaitu Victor Yeimo dari PNWP, Markus Haluk dari NRFPB, dan Sem Awom dari WPNCL. Selain itu, yang menarik juga adalah mereka ini pemimpin generasi di bawah saya. Mereka yang memimpin mobilisasi di tanah air, maka seluruh komponen di seluruh tanah air bersatu di bawahi oleh ULMWP. Terlihat ketika pada 2 Mei 2015 kemarin, seluruh tanah air melakukan aksi masa mendukung ULMWP menjadi full members di MSG.

Kalau kita bicara program, apa program jangka pendek, menengah, dan panjang ULMWP?

Program yang paling utama itu adalah kami betul-betul perkuat akar kami di Pasifik.

Kalau ibarat di dalam sistem kolonial, sebuah Negara yang menjajah itukan mengikat daerah jajahan dengan berbagai macam cara.

Jadi, di Papua proses kemerdekaan sudah kami mulai dari dibentuknya ULMWP, tadi. Jadi, mindset kami, masyarakat di Papua itu ada di Pasifik.

Jalur hubungan kami itu, dari Jayapura, Fiji, Suva, Port Vila, Honiara, dan kemudian luar negeri. Tidak ada orientasi sekarang untuk Jayapura, Jakarta, terus ke luar negeri. Kami putuskan hubungan. Eksistensi kami adalah keluarga Melanesia. Kami keluarga Pasifik. Kami bukan Indonesia.

Lalu berikutnya, Gereja Kemah Injili (GKI) di Tanah Papua, juga masuk menjadi anggota The Pacific Conference of Churches (PCC). Kemudian gereja Kingmi, yang di pimpin oleh Pdt. Dr. Benny Giay tahun ini (2016) akan masuk sebagai anggota gereja-gereja Kingmi di Pasifik. Kemudian akan disusul oleh Gereja Baptis. Juga Gereja Katolik yang sudah mengangkat Papua, walau pun gereja Katolik di Jayapura belum bersuara. Tetapi di Pasifik, dari Australia, seluruh Pasifik, beberapa waktu lalu ada 35 uskup di PNG berkunjung ke Jayapura.

Jadi, kalau kita melihat hal ini kami sudah putus hubungan dan jaringan perlahan-lahan dengan Indonesia dan kami akan masuk ke macam-macam organisasi di Pasifik. Dan itu sebabnya, misalnya, beberapa waktu lalu di London, Inggris, pemimpin-pemimpin dari Pasifik Selatan, bersama-sama datang dan mengumumkan hak penentuan nasib sendiri di parlemen Inggris.

Pada saat kami di terima sebagai Observer (pengamat) di MSG, yang menarik adalah pidato dari Perdana Menteri Fiji, Josaia Voreqe Bainimarama, salah satu pemimpin yang paling dekat sekali dengan MSG, dia mengatakan, jangan terima ini sebagai sebuah kekalahan. Kalian diterima sebagai observer saja, tetapi kalian kembali untuk menyusun strategi lebih jauh untuk beberapa tahun ke depan. Dan itu, bagi kami, hal itu yang paling penting.

Nah, kami, kembali kepada MSG, karena MSG dibentuk untuk membantu perjuangan Papua Barat dengan Kanaki. Itu dari awal dibentuk untuk membebaskan wilayah-wilayah yang masih dijajah oleh kolonial, yaitu Prancis dan Indonesia.

Kalau melihat sekarang ini kan, eskalasi perhatian soal Papua ini meningkat di dunia internasional. Yang paling terbaru kan di Inggris kemarin. Bagaimana, pak Octo melihat soal respon pemerintah Indonesia terhadap peningkatan eskalasi ini?

Soal persoalan Papua, diplomasi Indonesia selalu tutupi. Semua yang terjadi di Papua di buat seakan tidak ada masalah. Saya sebagai mantan wartawan Kompas, memahami politik Indonesia yang menjalankan rezim ini secara baik sekali.

Indonesia di bawah pola budaya Orde Baru, yang mampu meredam persoalan, seakan-akan tidak ada masalah. Hal ini yang sampai saat ini mereka lakukan di Papua.

Sampai beberapa waktu lalu, mereka membawa surat protes kepada Jeremy Corbyn, ketua Partai Buruh di Inggris, karena melihat dia vokal mendukung hak penentuan nasib sendiri untuk Papua. Surat resmi pemerintah Indonesia itu di antar oleh Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI untuk protes terhadap sikap Jeremy tersebut. Hal ini sangat menarik.

Pada saat pertemuan mau diadakan di Inggris, Dubes RI di London, Rizal Sukma, yang juga adalah teman angkatan saya sewaktu mahasiswa di Bandung, mengatakan kepada saya bahwa jangan menganggap kedatangan Fadli Zon itu adalah pertemuan resmi, karena ini hanya dua orang anggota parlemen yang akan bicara dan tidak ada artinya. Saya sudah telepon parlemen Inggris, saya sudah cek departemen luar negeri.

Dan dia (Fadli Zon) lupa bahwa yang hadir di situ adalah delegasi dari Negara-negara Pasifik. Mereka ada dalam ruangan pertemuan itu. Juga dia lupa bahwa dari opposition leader parlemen Inggris yang akan hadir dan membuka secara resmi pertemuan itu.

Ini kan ada tawaran proposal dialog damai Jakarta-Papua oleh Indonesia. Bagaimana sikap ULMWP?

Kalau soal dialog, sebetulnya kami sudah berjuang dari tahun 2000. Kami mau mewujudkan hak penentuan nasib sendiri melalui dialog. Itu keputusan Kongres Rakyat Papua (KRP) II tahun 2000. Selama ini kami terus melobi dengan Indonesia, tetapi Indonesia tidak pernah merespon sama sekali.

Lalu di MSG, itu menerima Indonesia untuk meng-update posisi mereka sebagai opposition dan kami sebagai observer. Tujuannya agar kami dan Indonesia bisa duduk dan bicara di MSG. Hanya itu tujuannya. Supaya dua-dua di terima di dalam MSG.

Karena itu kondisinya, ketua MSG, Perdana Menteri Salomon Island, Manasseh Sogavare mengirim surat mau berkunjung ke Indonesia, antara lain untuk mengajak pemerintah Indonesia untuk berdialog. Karena itu, mereka di terima dalam kondisi itu.

Tetapi yang Indonesia lakukan adalah mereka tidak mau menerima tawaran itu. Jadi coba bayangkan, bahwa Indonesia ini anggota di MSG dan Manasseh berkunjung ke semua wilayah yang tergabung dalam MSG. Kami dari ULMWP, terus mendukung inisiatif MSG untuk negosiasi dengan Indonesia dengan mempergunakan MSG sebagai media, karena hanya di situ kami bisa bertemu. Mereka ada di situ, kami juga ada di situ.

Jadi dalam kampanye dialog ini ada dua posisi yang sangat berseberangan, satu menginginkan dialognya menuju pada penentuan nasib sendiri, satunya dialog yang tidak ingin penentuan nasib sendiri itu terjadi. Dari pihak ULMWP, apa tawaran yang dipersiapkan agar dialog ini bisa terselenggara?

Kalau bagi kami, soal agenda dialog Indonesia boleh ajukan konsep mereka, kami juga ajukan konsep kami. Yang paling penting adalah kita duduk dulu lalu kita bicara. Tetapi Indonesia belum ajukan konsep mereka jadi bagaimana kita mau lakukan dialog dengan mereka? Kami sangat siap untuk berdialog dengan Indonesia, tetapi paling penting itu kedua pihak harus datang dan duduk dulu.

Jadi tampaknya tidak ada perbedaan diplomasi dan strategi dari pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono ke pemerintahan Jokowi?

Tidak ada sama sekali. Bahkan menurut saya, kalau melihat hal ini cara Jokowi membangun Papua, hanya terlalu banyak janji dan retorika tetapi implementasi di Papua sama sekali tidak ada. Contohnya saja, pembangunan pasar. Hanya pasar, yang hanya pembangunan konstruksi saja yang uangnya bisa ambil dari Freeport seperti dulu Gus Dur meminta uang dari Freeport untuk diadakan KRP II di Jayapura, itu kan bukan uangnya Negara. Nah, hal itu saja sampai saat ini, sama sekali tidak dilaksanakan oleh presiden Jokowi.

Jadi, jangankan bicara tentang politik di Papua, ini sebuah bangunan pasar mama-mama Papua saja Jokowi ini omong kosong.

Menurut saya, Papua itu benar-benar di bawah kendali Militer. Mengapa? Kita lihat saja kalau Luhut Binsar Pandjaitan, inikan jelas Jenderal Kopasus! Dia yang memblokir semua inisiatif pembangunan dari Jokowi. Jadi semua pembangunan di Papua di bawah kendali dia. Yang jelas Luhut lah yang melindungi kepentingan militer di Papua.

Papua sebagai proyeknya militer itu sama sekali tidak berubah. Baik di zaman SBY, mau pun pemimpin sipil yang dikendalikan oleh jenderal kopasus.

Kalau sekarang kita masuk ke Papua. Sekarang ini kan di Papua sedang gencar dengan proyek-proyek investasi yang mengambil alih tanah-tanah adat, kemudian merampas dan menggusur penduduk yang bermukim di atas tanah-tanah itu. Bagaimana respon dari ULMWP?

Terus terang, mandat kami yang paling utama memperjuangkan kemerdekaan. Jadi, ULMWP tidak banyak bekerja secara langsung terkait hal itu. Kami hanya memberi dukungan kepada jaringan-jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada untuk bersuara. Misalnya, kami sebagai pemimpin politik meminta untuk memberitahukan kepada rakyat bahwa apa pun yang terjadi di bawah ini perlu di datakan kemudian dilaporkan kepada lembaga-lembaga kemanusiaan.

Kami juga memberi dukungan terhadap pembentukan kelompok-kelompok pejuang pembela HAM yang juga beroperasi di sana untuk terus mendorong mereka bahwa perjuangan kemerdekaan itu harus kita cari di segala elemen. Jadi ini bukan lewat ULMWP saja untuk hak penentuan nasib sendiri, tetapi kami juga terus memberi dukungan pada setiap elemen dalam mencari keadilan. Karena kami di ULMWP hanya lima orang, kami hanya mendorong bahwa semua yang diperjuangkan lewat LSM-LSM juga sangat penting. Jangan menganggap bahwa nanti setelah merdeka baru hal-hal ini nanti kita urus. Semua elemen harus bergerak, karena kolonialisme Indonesia lahir dari berbagai macam kebijaksanaan di Papua. Dan itu adalah senjata kami, di dalam diplomasi internasional.

Oleh karena itu tugas kami adalah memberdayakan semua jaringan gerakan yang ada untuk bersama-sama berjuang. Pengalaman-pengalaman penjajahan itu perlu dihidupkan. Masa lalu mau pun yang sedang terjadi. Ini perlu didokumentasikan, itu yang kami pakai sebagai peluru.

Kemarin, di united nation sini, masalah Papua didorong dan dimasukkan sebagai salah satu contoh oleh semua lembaga-lembaga dan LSM-LSM Internasional. Hal-hal yang mereka bicarakan adalah terkait perusahan-perusahan asing, eksploitasi SDA, misalnya Freeport yang mempergunakan militer untuk melakukan pelanggaran HAM, mau pun kebebasan berpendapat dan berekspresi, juga hak kebebasan untuk menentukan nasib sendiri. Jadi kemarin itu menjadi momen yang paling luar biasa.

Kemudian, ada kebijakan baru yang ingin dilakukan oleh pemerintahan SBY menyangkut penyelesaian kasus HAM berat di Papua itu. Bagaimana tanggapan ULMWP?

Kalau bagi kami, Indonesia saat ini tidak perlu melakukan propaganda. Kalau kriminal, ya, apakah dengan perlakukan Indonesia selama ini akan mengubah cara pandang dan hidup kita orang Papua? Tidak akan pernah. Indonesia itu penjajah.

Sampai kapan pun kami mengetahui bahwa Indonesia akan terus memberikan gula-gula politik (Otonomi Khusus Papua) untuk kami orang Papua. Semua itu omong kosong.

Kita lihat saja nanti. Apakah mereka, para pembunuh pembunuh itu, betul-betul mampu membawa pelanggaran HAM ke pengadilan atau tidak?

Jadi posisi organisasi itu pelanggaran HAM, kalian lakukan penyelesaiannya. Tetapi posisi ULMWP adalah tetap memperjuangkan penentuan nasib sendiri?

Iya. Indonesia itu penjajah. Saya selalu memuji KRP II pada tahun 2000. Sangat luar biasa. Hal paling menarik adalah pada saat itu mereka merumuskan posisi dari pada bangsa Papua: kita ini sedang dimana, dan akan menuju kemana, apa kekuatan yang ada pada kita. Di dalam kongres tersebut, jelas bahwa bangsa Papua telah memutuskan tidak ada masa depan di bawah Indonesia. Di bawah Indonesia kami bangsa Papua hanya tulang. Itu keputusan kongres.

Sebagai orang yang terlibat dalam perjuangan pada kongres tersebut, pada bulan Februari tahun 1999, saya juga termasuk memimpin Tim 100 yang pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan presiden Habibie untuk menuntut diadakannya dialog.

Jadi, pada tahun 1998 perjuangan orang Papua itu berubah melalui mekanisme demokrasi, bukan lagi gerilya di hutan.

Pak Octo menyadari bahwa kalau proses penyelesaian kasus HAM ini dilakukan dengan sebenar-benarnya dengan pemerintah Indonesia, ini kan akan mendapatkan simpati dari dunia internasional, dan hal ini akan menyempitkan perjuangan orang Papua untuk merdeka. Bagaimana menanggapi hal ini?

Akar dari pada seluruh pelanggaran HAM di Papua adalah in life for self determination, hak kami di rampas. Kalau memang Indonesia mau menunjukkan kepada dunia bahwa mereka adalah negara demokrasi, ya itu akarnya. Semua orang Papua yang mati dibunuh oleh Indonesia ini bukan karena curi ayam atau merampok barang milik Indonesia. Tidak. Tidak sama sekali. Kami mati karena perjuangan politik. Hak penentuan nasib sendiri kami di rampas dan dilanggar oleh Indonesia.

Jadi, kalau Indonesia mau menjadi sebuah Negara yang demokratis dan diakui oleh dunia dia harus buka demokrasi itu seluas-luasnya. Pembunuhan terhadap orang Papua yang dilakukan pada tahun 1960an sejak perjanjian New York Agreement itu di tanda tangani.

Makanya di dalam demonstrasi-demonstrasi orang Papua selalu mengatakan New York Agreement tahun 1962 itu akar persoalan. Karena masalah itu ada di situ.

Apa kaitan identitas Melanesia dengan identitas orang Papua? Kalau misal kita mau ngomong, siapa orang asli Papua?

Identitas Melanesia sebetulnya identitas antropologi yang dipakai untuk membatasi, kalau di dalam Indonesia, hanya orang Papua saja. Maluku itu sebetulnya Polinesia. Ciri khasnya adalah di dalam budaya Melanesia itu tidak mengenal tembaga. Kalau di Nusa Tenggara Timur (NTT) itu ada gold, dan itu peralihan dan itu sebetulnya adalah Polinesia. Melanesia itu hanya Papua ke PNG hingga Salomon Island.

Tetapi ada yang mengatakan, misalnya orang NTT, Flores ini pun masuk Melanesia. Kalau saya, misal saya berkunjung ke pulau-pulau kecil, itu baru saya tahu betul, namanya orang Flores bukan Melanesia. Mereka itu Polinesia. Orang Maluku itu Polinesia. Melihat dari bahasanya mereka, wajah mereka, sama dengan orang Maulind.

Sekarang tergantung definisi apa yang harus kita pakai. Antara Papua dan PNG sama sekali tidak ada perbedaan. Dalam budaya, kebiasaan, cara hidup, dan lain-lainnya.

Sekarang kan Indonesia akan bilang kami punya 11 juta rakyat Melanesia yang ada di Indonesia. Sekarang pertanyaannya, apakah orang Maluku pernah bangga dan mengatakan kalau mereka itu Melanesia? Tidak pernah to? Apakah orang Flores pernah mengaku kalau mereka itu orang Melanesia? Tidak pernah to?

Sangat aneh ketika melihat tiba-tiba Negara melakukan klaim kalau ada juga Melanesia lainnya selain Papua di Indonesia. Apakah Maluku pernah bangga dengan adanya PNG, Salomon Island, Vanuatu dan lain-lainnya? Dan mereka pernah bermimpi untuk akan bersama-sama? Tidak pernah to? Jakarta bagi mereka adalah pusat segala-galanya, bukan di Negara-negara melanesia. Karena itu ada jong Ambon, jong Maluku, tetapi tidak ada jong Papua pada saat sidang BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945. Batas itu ada di Maluku, tidak sampai di Papua.

Orang Papua itu menderita karena hanya mempertahankan identitas dan budaya mereka sebagai Melanesia. Musik dan tari sebagai Melanesia. Identitas adat istiadat sebagai Melanesia. Mengapa? Karena itulah identitas kami dalam memperjuangkan identitias bangsa kami yang adalah bukan Indonesia. Melanesia itu identitas kami dalam perjuangan.

Negara membuat kami supaya tidak menyebut identitas kami bertahun-tahun. Musik, tari, dan lain-lain dilarang untuk berkembang, dengan alasan yang diberikan Indonesia karena akan memperkuat nasionalisme Papua. Kita lihat, Arnold Ap yang seorang kurator, budayawan dan antropolog yang ternama melalui group musik Mambesak, dia hanya berjalan dari kampung ke kampung dan memberi semangat kepada rakyat untuk kembali menghidupkan budaya. Apa yang terjadi? Dia dibantai dan dibunuh oleh tentara Indonesia. Ini adalah bagian dari mesin kolonial.

Jadi kalau saudara-saudara dorang bilang kami sesama bangsa Melanesia, saya bilang tidak. Tentara Patimura adalah tentara yang paling jahat. Yang bangsa Papua tahu sampai detik ini.

Ini berkaitan dengan soal identitas orang asli Papua. Kalau kita lihat statistik penduduk Papua sekarang, 52 persen itu kan jumlahnya orang non Papua. Bagaimana ULMWP menanggapi persoalan ini, dalam konteks siapa orang asli Papua?

Hal ini menjadi tantangan bagi kami dan memacu kami bekerja lebih keras, siang dan malam sebelum tahun 2020, dimana pada tahun itu, kami hanya akan menjadi kurang dari 25 persen. Itu pasti akan terjadi.

Jadi tugas kami itu adalah menceritakan tentang fakta ini. Ini temuan akademis yang mempergunakan statistik Indonesia. Indonesia tidak lakukan perbandingan terkait pergeseran penduduk, dimana di tahun 2020, kami akan menjadi 23 persen jumlah orang asli Papua.

Nah, oleh karena itu bagi kami menjadi alat pendorong dan kami akan pakai secara maksimal dan memperlihatkan tameng kebijaksanaan Indonesia yang sebetulnya adalah proses penjajahan. Dengan, pertama, mengembangkan Papua yang hanya satu provinsi menjadi dua provinsi, lalu dari DPR RI sudah mensahkan Papua menjadi tiga provinsi. Tinggal dianggarkan dari pemerintah untuk mekarkan provinsi tersebut karena pertemuan parlemen sudah lewat.

Juga, dimana sekarang ini ada 43 kabupaten akan menjadi 72 kabupaten. Lalu pembangunan yang bukan untuk masyarakat sipil dan infrastruktur yang dibangun yang dipenuhi dengan investasi, penambahan militer, transmigrasi penduduk. Setiap kabupaten akan membentuk Kodam, Kodim, Korem, Koramil, Kapolres, dan lain-lainnya. Infrasitruktur milik militer kan dibangun karena berbatasan langsung dengan PNG, Australia, dan Filipina maka sesuai dengan undang-undang pertahanan Negara akan dipenuhi defense, katanya. Sekarang, apakah PNG atau Australia punya pasukan militer dan pernah menyerang ke Papua? Tidak ada to.

Iya, itulah undang-undang memberikan peluang untuk masuknya militer secara besar-besaran ke Papua. Jadi, hilangnya bangsa Papua itu rill dan sampai saat ini sedang terjadi. Hal-hal ini yang perlu untuk kita beritahukan dan menjelaskan kepada dunia.

Ini juga yang penting untuk diketahui oleh pembaca IndopPROGRESS soal munculnya gerakan anak-anak muda di Papua yang militan, berani memobilisasi masa, juga mulai ada diskusi-diskusi soal ideologi. Bagaimana reaksi ULMWP melihat hal ini?

Ini merupakan hal utama yang harus saya ucapkan banyak terima kasih kepada iklim yang tercipta. Anak-anak ini kan mereka bertumbuh dari realitas di depan mereka, dimana temannya yang di bantai kayak binatang oleh militer Indonesia. Begitu banyak teman dalam perjuangan yang dibantai dan tidak pernah di proses secara hukum.

Jadi mereka melihat bahwa kamu sekolah tinggi-tinggi juga akan habis di bawah penjajahan Indonesia. Antara berjuang atau betul-betul kau tersingkir di dalam komunitas gerakan yang mereka bentuk.

Ini merupakan suatu kemenangan yang tidak pernah kami rencanakan. Dan ini adalah sebuah kebangkitan dan revolusi yang I am taking for granted dan saya tahu betul bahwa saya harus berperan dalam hal-hal ini. Jadi kami saling menguntungkan. Saya beruntung karena, pertama, saya punya pasukan lapangan yang siap take and do peaceful movement anytime. Sedangkan mereka sudah lama merindukan seorang pemimpin yang bisa menyatukan dan bisa melihat dan mendengar semua yang mereka inginkan. Dan ketika saya mulai terpilih untuk memimpin ULMWP di dalam strategi, kemudian Benny Wenda yang punya keahlian di dalam public speak. Mereka juga melihat bahwa mereka yang selama ini jalan sendiri-sendiri bisa bersatu. Anak-anak ini melihat dari sisi ini. Dan anak-anak ini luar biasa. Kami sudah dapat momentum. Jadi betul-betul ini sangat luar biasa untuk kami dan sebuah kemenangan yang Indonesia tidak akan bisa patahkan. Indonesia bunuh satu orang, ok. Anak-anak ini akan siap mati dan berjuang terus. Tetapi darah dari pada perjuangan ini akan selalu berkobar dan mengalir di mereka, maupun kami.

Dulu zaman saya, tahun 1980an dan 1990an, saya tidak menyaksikan teman dan saudara saya di bunuh depan saya. Tahun 1968 di kampung saya kebetulan ada peristiwa pembunuhan dan penembakan. Tetapi sesudah itu tidak ada lagi saya menyaksikan teman dan saudara saya dibantai dan dibunuh oleh militer.

Tetapi sekarang ini, temannya dibunuh dan dibantai di depan mereka sendiri. Masuk penjara hanya karena melakukan demonstrasi. Itu kan ideologis dan itu pahlawan. Misalnya saya punya keponakan-keponakan di Papua, saya paksa mereka untuk kuliah tetapi mereka tidak mau kuliah dan mereka lebih memilih untuk berjuang demi bangsa ini. Ini momen dan semangat perjuangan.

Sekarang anak-anak ini mereka bangga setiap menit bisa mereka daur ke mana-mana lalu baku bakar (saling menaikan isu dengan tuntutan Papua Merdeka lewat demonstrasi damai). Jadi ini tidak hanya ada di Papua tetapi di seluruh pulau-pulau kecil di Pasifik, semua semua ada perwakilan dari Papua yang bicara tentang Papua merdeka.

Jadi Indonesia punya diplomasi yang hanya mainkan PNG dan Fiji, silahkan saja kalau mereka bisa menang. Tetapi kami selalu bilang bahwa kamu datang di tempat yang kami sudah bikin kebun. Kami sekarang ibarat pohon kelapa yang kuat. Kami sudah tanam dari tahun 1960an hingga sampai saat ini. Perjuangan kami yang juga bagian dari Pasifik itu sudah sejak zaman Belanda. Kalau Indonesia mau jualan dan beritahu ke mereka bahwa Papua itu Indonesia, omong kosong. Untuk Pasifik, Indonesia tidak akan mampu pengaruhi mereka.

Mungkin yang terakhir, pak Octo ada pesan dan kesan untuk kaum demokrat di Indonesia mau pun anak-anak muda di Papua?

Bagi kami, kemerdekaan Papua sungguh-sungguh akan memberikan keuntungan yang besar untuk Indonesia. Misalnya di PNG, 60 persen inverstasi milik Australia. Pertama dari sisi ekonomi Indonesia mempunyai tenaga kerja yang luar biasa yang kami butuhkan di Papua. Jadi secara ekonomi akan menguntungkan Indonesia.

Kemudian dari sisi populasi penduduk dan hubungan Indonesia dengan Papua Barat, ini hubungan sudah 53 tahun. Kawin-mengawin dan lain sebagainya sudah menyebabkan percampuran yang luar biasa. Jadi, kemerdekaan Papua itu tidak akan putus serta-merta dengan pemisahan ini.

Lalu yang lebih penting lagi sebetulnya, kalau kita mau memperlihatkan Indonesia itu sebagai sebuah Negara demokrasi yang menghargai bangsa-bangsa, misal kita bilang Australia, kamu sikat bangsa Aborigin atau kamu hancurkan Maulind di New Zeland, dan atau Indian di Amerika begitu, Indonesia bisa menjadi satu role model dengan memberikan satu kesempatan kepada rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Dan penentuan nasib sendiri belum tentu akan merdeka. Tetapi karena orang Papua belum pernah ada kesempatan untuk menentukan nasib sendiri, maka inilah yang diminta oleh rakyat Papua, oleh pejuang kemerdekaan: kasihlah kesempatan bahwa rakyat Papua mau memilih, apakah rakyat Papua ingin merdeka, atau bagian dari Indonesia, itu sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari.

Kami betul-betul memohon kepada para pejuang HAM yang memperjuangkan kebebasan untuk mendukung (back-up) anak-anak muda Papua yang terus bangkit ini. Hanya satu yang anak-anak muda Papua Barat minta, yaitu penentuan nasib sendiri. Mereka tidak pilih untuk membunuh orang, mereka hanya bicara dengan yang ada pada mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Saya juga ucapkan banyak terima kasih kepada mereka yang selama ini menjadi suara dan bersedia bersama-sama dengan anak-anak Papua untuk berjuang dan juga kepada media-media di Indonesia yang sangat menyedihkan ini, bahwa di era reformasi yang terbuka ini, hanya beberapa media alternatif saja yang mewartakan keadaan yang rill di Papua. Ini sangat menyedihkan.

Karena itu, media-media mainstream, seperti Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaharuan, Republika, Tempo, mereka ini tidak pernah mau menyuarakan kejadian-kejadian di Papua. Padahal, dulu waktu Tempo di bredel, saya yang ada di lapangan pada saat itu. Tanya semua aktivis itu. Saya berjuang dengan Goenawan Mohammad, untuk kembalikan Tempo seperti semula. Goenawan meminta kepada para pejuang Papua Merdeka di Belanda, pada saat saya waktu ikut kursus di Welsh, Belanda. Kita bantu Goenawan untuk pembebasan bersama kita. Juga waktu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dibentuk, saya juga terlibat untuk berjuang bersama-sama demi kebebasan kita.

Jadi, orang Papua selalu menjadi bagian di dalam demokrasi Indonesia, sehingga menjadi tidak adil kalau media-media ini, di era reformasi, tidak mengkat realita yang ada di Papua.

Saya juga mau bicara untuk pembawa-pembawa agama Kristen di Indonesia. Kami orang Papua itu mayoritas orang Kristen. Kenapa tidak ada persekutuan gereja-gereja untuk melihat umat di Papua itu di bantai? Dimana statemen-statemen dari pembawa-pembawa gereja yang protes terhadap Negara, kalau jemaat di Papua sedang dibantai oleh militer Indonesia? Jadi, bagi kami, para pemimpin gereja di Papua, pada suatu saat, saya yang memimpin gerakan kemerdekaan mau pun Anda, kami semua akan menghadap Tuhan Allah dan kami akan di tanya waktu saya memberikan kewenangan itu, what you do? Apa yang kau lakukan untuk umat saya yang di bantai ini? Pada saat itu mereka juga akan bertanggung jawab kepada Tuhan yang memanggil mereka untuk memimpin gereja, ketika rakyat Papua dibantai di depan gereja, tidak ada pemimpin gereja yang berjuang. Tidak ada pemimpin gereja yang bersuara. Hingga seluruh Pasifik Selatan bersekutu dan membawa persoalan Papua pun pemimpin-pemimpin gereja Indonesia ini berusaha mengatakan bahwa, situasi di era Jokowi ini baik adanya, dia orang baik, banyak orang Kristen dipakai disekitarnya, dia sangat manusiawi. Ini sangat menyedihkan.

Gereja yang semestinya berjuang untuk manusia yang tertindas, sampai saat ini tidak berjuang. Hanya itu saja dari saya. Saya ucapkan banyak terima kasih.***

Papua dan NCD PNG Sepakat Jalin Kerjasama

Jayapura, Jubi – Pemerintah Provinsi Papua dan National Capital District Papua Nugini (PNG) bersepakat menjalin sekaligus membuka kerjasama di bidang ekonomi.

Gubernur Papua Lukas Enembe kepada wartawan, di Jayapura, Kamis (18/8/2016) mengatakan penjajakan kerjasama bidang ekonomi sudah dibicarakan dengan Gubernur National Capital District PNG, Powes Parkop.

“Hal ini sesuai kebijakan Presiden Jokowi yang memerintahkan Pemda agar bagaimana membuka akses (barang) dari Papua kemudian dioper ke PNG,” katanya.

Enembe menilai, jika akses sudah terbuka, maka manfaat yang didapat adalah PNG bisa datang mengambil barang di Papua, begitu juga sebaliknya.

“Ini hal positif yang tidak boleh di sia siakan,” ucapnya.

Selain kerja sama di bidang ekonomi, ujar Enembe, kedepan pemerintah provinsi Papua berkeinginan untuk melakukan pertukaran di bidang sosial dan budaya.

“Sehingga harapannya masyarakat di Papua bisa berkunjung ke PNG begitu sebaliknya. Sebab kami tak ingin hanya bicara politik saja, tetapi lebih kepada kemajuan pembangunan di kedua wilayah,” kata Enembe.

Menanggapi itu, Enembe berharap penjajakan kerjasama ini tak berhenti begitu saja, tetapi terus ditindaklanjuti dengan pertemuan serupa yang membahas tentang kerja sama di bidang ekonomi dan sosial budaya yang telah dibicarakan dalam pertemuan itu.

“September nanti kami akan kembali mengundang Gubernur NCD Powes Parkop untuk membicarakan poin-poin dalam draft kerja sama yang akan disusun kedua belah pihak,” katanya.

Sementara itu, Gubernur National Capital District Port Moresby, Papua Nugini Powes Parkop memberikan apresiasi yang tinggi terhadap rencana pembukaan kerja sama perbatasan (open border) antar wilayahnya dengan Indonesia melalui Provinsi Papua di bidang ekonomi, sosial dan budaya.

“Sangat penting bagi saya untuk datang ke Papua dan melihat secara langsung bagaimana dan apa yang terjadi di sini. Namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana membuka wilayah masing-masing untuk mempermudah kerja sama di bidang ekonomi, sosial dan budaya,”

kata Parkop.

Dia menjelaskan, pada September 2016, pihaknya akan mengundang Provinsi Papua untuk menghadiri peringatan hari kemerdekaannya, sekaligus membahas dukungan pembangunan di wilayah masing-masing.

“Kami juga akan mendukung pembukaan akses ke berbagai tempat di wilayah masing-masing yang nantinya akan membawa keuntungan bagi kedua belah pihak,” ucapnya. (*)

West Papuans sold out for ’30 pieces of silver’, says Natuman

By PMC Editor – July 20, 2016

Joe Natuma
Vanuatu’s Deputy Prime Minister Joe Natuman believes other people are trying to use the Melanesian Spearhead Group (MSG) to drive their own agendas, saying it is similar to Jesus Christ who was betrayed and sold for 30 pieces of silver.

The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) was not admitted as full member of the Melanesian Spearhead Group during the Special MSG summit in Honiara, Solomon Islands, last week.

“Our Prime Minister was the only one talking in support of full membership for West Papua in the MSG, the Solomon Islands Prime Minister couldn’t say very much because he is the chairman,” the veteran politician told Buzz FM 96’s Coffee and Controversy host Mark O’Brien.

“Prime Minister Charlot Salwai was the only one defending Melanesians and the history of Melanesian people in the recent MSG meeting in Honiara.

“The MSG, I must repeat, the MSG, which I was a pioneer in setting up, was established for the protection of the identity of the Melanesian people, the promotion of their culture and defending their rights. Right to self determination, right to land and right to their resources.

“Now it appears other people are trying to use the MSG to drive their own agendas and I am sorry but I will insist that MSG is being bought by others.

“It is just like Jesus Christ who was bought for 30 pieces of silver. This is what is happening in the MSG. I am very upset about this and we need to correct this issue.

“Because if our friends in Fiji and Papua New Guinea have a different agenda, we need to sit down and talk very seriously about what is happening within the organisation.

‘It is being bought’

“And I am sorry but I will insist that MSG is being bought by others.”

Asked what transpired at the Honiara Summit, Natuman said that according to the Prime minister’s briefing on his return there were some misunderstandings on what happened in the Officials’ Meeting and the Foreign Ministers meeting.

“What happened was that they presented to the Summit Leaders something which apparently was not discussed at the officers level so this was the problem,” he explained.

“The issue of membership was supposed to be presented to the Leaders.

“Instead, they presented the leaders with a list of criteria for membership.

“This criteria was whether or not organisations or liberation movements should be considered for full membership.

“Finally, our prime minister was the only one talking in support of West Papua membership, the Solomon Islands Prime Minister couldn’t say very much because he is the chairman.”

New Caledonia contrast

On the issue of New Caledonia, Natuman said: “People are now saying we should not be interfering with Indonesia’s sovereignty. But what about New Caledonia? France has held onto New Caledonia.

“In the 1990s, we insisted that New Caledonia was a colonial possession of France, therefore we have the right to intervene .

“And we intervened. Firstly, we asked the people of New Caledonia to form an umbrella grouping, or political parties to support their cause. So they established the FLNKS at Vanuatu’s request.

“Through that means we [have] promoted their issues to the Forum and eventually they were listed in the UN’s listing of colonial territories.

“We have to assist them to get independence, same as [with] West Papua.

“West Papua was forcibly annexed by Indonesia and brutally overthrown. They were in the process of getting their independence in the early 1960s.

“West Papua is very rich in resources, gold, copper and forests thus a lot of Western capitalists were interested in that.

‘We must interfere’

“Now they say we cannot interfere. No, we must interfere. Melanesians are being killed by Asians, we have to interfere.”

The Deputy Prime Minister was part of the panel in yesterday’s 96Buzz FM’s Coffee and Controversy show at the Lava Lounge, which also featured Glen Craig, from Pacific Advisory, and Job Dalesa, who is on the West Papua Reunification Committee.

When asked his opinion on whether MSG has “lost its way” as implied by the DPM, Dalsesa replied: ”I certainly think so, West Papua has a lot of enemies. A lot of people are fighting over this area because of its resources, and by fighting you can do a lot of things, including buying another country and I think this is what they are doing.

“The divide-and-rule tactic is a common tactic that has been used for a long time.”

Yesterday’s show revolved around foreign policy, MSG and the South China Sea dispute.

Jane Joshua is a journalist with the Vanuatu Daily Post.

West Papuans remain upbeat on MSG bid

Radio NZ, The United Liberation Movement for West Papua accepts the decision by leaders of the Melanesian Spearhead Group to defer its bid for full membership.

At their summit in Honiara last week, MSG leaders said the group’s secretariat needed to establish guidelines for membership and signalled that a decision should be reached on the bid by September.

The Liberation Movement’s spokesperson, Benny Wenda, said this could be seen as a delay tactic but his organisation acknowledged the technical issues highlighted by the MSG leaders and senior officials.

The issue of West Papua membership is increasingly divisive for the MSG’s five full members.

Since the Liberation Movement was last year granted observer status, Vanuatu, Solomon Islands and new Caledonia’s FLNKS Kanaks movement have pushed for the West Papuans to get full membership.

However, Fiji and Papua New Guinea have resisted the push, amid strong lobbying by MSG associate member Indonesia which is opposed to the Liberation Movement.

Vanuatu’s government has expressed disappointment at the outcome of last week’s summit.

However the Liberation movement is remaining upbeat, describing the MSG’s decision as progress to improving processes within the MSG.

It said there would be further discussion at the MSG meeting scheduled for Vanuatu’s capital in September.

“We want to thank our Melanesian leaders and the chair and Prime Minister of the Solomon Islands for discussing and facilitating our application for full membership. Though disappointed, we remain optimistic to see our application further discussed in September in Port Vila, Vanuatu,” said Mr Wenda.

“We the ULMWP would not come this far if it wasn’t for the grassroots and Pacific leadership support and we call for more support as we work towards establishing a political voice for our people of West Papua.”

ULMWP Secretary General, Octovianus Mote added that West Papuans are Melanesians and our issues of human rights abuse and self-determination must be rightfully addressed in the Pacific and not on Indonesia’s terms.

Meanwhile, a Papua student leader in Yogyakarta in Indonesia said police bashed and tortured students last Friday to stop a march in support of the United Liberation Movement for West Papua.

The students’ march was while the Melanesian Spearhead Group was considering whether the Movement could become a full member of the Pacific regional body.

But a spokesman for the Papuan Student Alliance, Yely Wenda, says hundreds of police burst into a West Papuan students’ dormitory in Yogyakarta and began abusing and battering the students.

He said a number were arrested and beaten, and one student was tortured in police custody.

MSG membership guidelines had “flaws”, said PNG

Papua New Guinea’s Foreign Minister Rimbink Pato said it was important that the Melanesian Spearhead Group sort out its guidelines around membership.

Mr Pato said the onus was on officials within the MSG secretariat to outline consistent guidelines around membership.

“This requires a definition as to what one must meet to be a member. That’s under review at the moment. Our technical officials are still working on it. And for example, the draft that they came up with had flaws in it. There were so many inconsistencies, so all these things need to be polished up.”
The PNG Foreign Minister Rimbink Pato

The PNG Foreign Minister Rimbink Pato Photo: Koro Vaka’uta / RNZ

PM Papua Nugini Bertemu Sekjen PBB Bicarakan Referendum

Penulis: Eben E. Siadari 19:29 WIB | Minggu, 29 Mei 2016

Jayapura, Jubi – Mantan ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Bucthar Tabuni menyeruhkan rakyat Papua bersama KNPB sebagai media perlawanan melakukan gerakan damai di dalam kota-kota di tanah West Papua.

“Kita percaya, tidak perlu emosi dan anarkis,”ungkap Tabuni dari Inggris melalui sambungan telepon genggam yang dihubungkan ke pengeras suara kepada ribuan massa KNPB yang menghadiri ibadah sekaligus pengumuman deklarasi IPWP di anjungan Expo Waena, Kota Jayapura, Papua, Rabu (11/05/2016)

Kata dia, dirinya baru saja menhadiri pertemuan International Palementarian for West Papua (IPWP) pada 3 Me lalu. Pertemuan itu dihadiri sejumlah anggota parlemen dari berbagai negara, pemipin pemerintahm, termasuk pemimpin oposisi Inggris, Jeremy Corbyn menyatakan dukungan penentuan nasib sediri bagi rakyat West Papua.

“Pimpinan Partai Buruh, pemimpin oposisi, Jeremy Corbyn mendukung kita. Langkah selanjutnya kita umumkan dimana-mana melalui gerakan damai,”harapnya.

Kata, ketika semakin banyak dukungan, pemerintah Indonesia sedang melakukan provokasi terhadap rakyat Papua. Tetapi, ajak dia, Rakyat Papua harus mengambil pelajaran dari provokasi yang dikobarkan pemerintah Indonesia. Rakyat Papua harus semakin dewasa dalam perjuangan menentukan nasib sendiri.

“Kita harus belajar dari pengalaman. Kita harus semakin maju dari satu tahap ke tahap yang lebih maju dalam perlawanan,”ungkap pria yang masih berstatus Daftar Pencaharian Orang Polda Papua terkait demo 26 November 2013.

Kata dia, perlawanan damai itu demi menghindari pertumpahan darah. Tabuni tidak mau lagi ada korban dari pihak rakyat Papua. “Kita tidak mau ada gerakan penembakan lagi,”tegasnya.

Filep Karma yang turut mengahadiri ibadat itu menyuguhkan perjuangan Papua merdeka tidak boleh melalui pertumpahan darah. Pertumbahan darah hanya melahirkan kehidupan bangsa yang buruk bila Papua Merdeka.

“Kita tidak boleh merdeka dengan darah-darah,”ungkap pria mantan tahanan Politik Papua Merdeka ini orasi pendidikan politiknya di hadapan ribuan masa.

Ia mencontohkan kehidupan bangsa Indonesia yang pernah menempuh perjuangan berdarah. Indonesia berjuang dengan membunuh penjajah, orang Cina, orang Belanda, orang Jepang berdampak pada kehidupan bangsa tidak menentu.

“Perjuangan berdarah-darah itu hanya melahirkan kehidupan bangsa yang buruk,”tegasnya.(*)

Bougainville dan Papua New Guinea menetapkan target untuk referendum kemerdekaan

Presiden Bougainville John Momis dan Perdana Menteri Papua Nugini Peter O’Neill telah sepakat untuk bekerja menuju 2019 referendum kemerdekaan, setelah pertemuan di Port Moresby minggu lalu.

Bougainville merupakan bagian otonom dari PNG dan berjuang perang saudara selama satu dekade dengan pemerintah nasional yang berakhir pada tahun 1999.

daerah harus memegang referendum kemerdekaan pada tahun 2020 di bawah ketentuan Perjanjian Perdamaian Bougainville, tetapi target baru belum final.

Presiden Momis mengatakan keputusan itu kickstarted proses perencanaan menjelang pemilihan bersejarah pada tanggal 15 Juni 2019.

“Dengan tanggal tersebut sekarang setuju, kita dapat merencanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengadakan referendum, dan waktu dan dana dan tenaga yang dibutuhkan untuk melaksanakan setiap langkah,” katanya kepada surat kabar Post Courier di PNG.

Pemerintah PNG juga telah berkomitmen untuk persiapan dana referendum, dan diharapkan keputusan akan menyebabkan pembuangan senjata penuh di Bougainville.

Beberapa fraksi di Bougainville memegang senjata mereka setelah konflik dalam kasus PNG tidak akan membiarkan referendum untuk melanjutkan, tapi Presiden Momis mengatakan kecurigaan mereka dapat merusak suara.

“Saya call now untuk pembuangan senjata lengkap … hanya kemudian Bougainville akan dapat menjadi referendum-siap. Perjanjian Perdamaian Bougainville mengharuskan referendum bebas dan adil,” katanya.

“Seharusnya tidak ada lagi keraguan di antara Bougainville apakah referendum akan diadakan.”

Sumber: http://mobile.abc.net.au/news/2016-05-23/bougainville-referendum-set-for-2019/7436566

ULMWP : Jokowi ke PNG, Tekanan untuk O’Neill

Jayapura, Jubi – Kunjungan Presiden Indonesia Joko Widodo ke Papua Nugini (PNG) pekan ini merupakan usaha terbaru Jakarta untuk memberikan tekanan pada anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) agar tidak mendukung aplikasi Papua Barat sebagai anggota negara-negara Melanesia ini.

Octovianus Mote, Sekretaris Jenderal United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) mengatakan diplomasi Indonesia ini berkaitan dengan pertemuan MSG pada 21 Mei mendatang. Pada pertemuan Menteri Luar Negeri dari negara-negara anggota MSG ini, akan dibahas permohonan keanggotaan Papua Barat yang disampaikan oleh ULMWP pada tanggal 5 Februari 2015. Namun, pertemuan para pemimpin MSG ke-20 bulan Juli di Honiara nanti adalah event yang bertugas membuat keputusan akhir pada setiap aplikasi keanggotaan.

ULMWP, lanjut Mote mengantisipasi upaya Presiden Indonesia Widodo ke Port Moresby yang diduga mencoba membuat perpecahan antara Perdana Menteri PNG Peter O’Neill dengan sesama anggota MSG. Indonesia, yang merupakan anggota pengamat dari MSG, menentang keanggotaan Papua Barat dari organisasi sub-regional ini.

“Pada bulan Februari lalu, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengunjungi Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Fiji dalam upaya lain untuk menekan dukungan pada Papua Barat,” kata Mote saat dihubungi di Suva, Fiji, Senin (11/5/2015).

Sebelum kunjungan Presiden Widodo untuk Papua Nugini ULMWP menyatakan terima kasih kepada PNG.
“Dari satu Melanesia kepada yang lain, saya berterima kasih kepada Perdana Menteri O’Neill untuk ekspresi baru-baru ini atas dukungan bagi rakyat Papua Barat dan berbicara atas nama kami. Papua Nugini adalah kakak kami di Melanesia dan di Pasifik,” tambah Octovianus Mote.

ULMWP juga menyinggung perjalanan Presiden Widodo ke Papua Barat pekan lalu yang melibatkan lebih dari 6.000 personel keamanan.

Secara terpisah, dari Inggris, Benny Wenda, mendesak Perdana Menteri O’Neill menekankan kepada Presiden Widodo bahwa situasi HAM di Papua Barat tetap serius. Ratusan ditangkap selama demonstrasi damai pada tanggal 1 Mei di Papua Barat menggambarkan bahwa tindakan kekerasan yang sistematis terhadap kebebasan berekspresi masih terus terjadi.

“ULMWP, terutama menekankan perlunya keadilan atas pembunuhan empat anak sekolah yang tidak bersenjata di Paniai, Desember 2014. Mereka yang tewas dilaporkan ditembak oleh tentara dari Batalyon 753 Arga Vira Tama (AVT) Nabire. Meskipun bukti sangat kuat, investigasi oleh Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia telah gagal untuk mengidentifikasi pelaku,” ujar juru bicara ULMWP ini.

Mengomentari kekejaman aparat keamanan ini Benny Wenda menekankan Presiden Joko Widodo masih belum memenuhi janjinya yang dibuat selama kunjungan bulan Desember tahun lalu ke Papua Barat untuk mengadili para pembunuh dalam penembakan di Paniai. Kurangnya tindakan pemenuhan keadilan ini merusak kunjungan terakhirnya ke Papua Barat. Para pembunuh pergi bebas dan ia melindungi dirinya dengan kehadiran militer yang besar selama kunjungannya.

“Kami orang Papua masih berkabung atas korban di Paniai,” tambah Wenda.

ULMWP, menurut Mote akan mengingatkan semua negara anggota MSG bahwa Papua Barat telah memenuhi kewajibannya untuk berdiri di atas satu suara untuk Papua Barat dengan membentuk payung ULMWP dalam pertemuan koordinasi pada bulan Desember 2014 lalu.

“ULMWP mendukung penuh hasil pertemuan para pemimpin MSG tahun 2013 lalu yang secara tegas menyebutkan MSG sepenuhnya mendukung hak-hak asasi rakyat Papua Barat terhadap penentuan nasib sendiri sebagaimana diatur dalam mukadimah konstitusi MSG,” tegas Mote. (Victor Mambor)

Source: ULMWP : Jokowi ke PNG, Tekanan untuk O’Neill, Diposkan oleh : Admin Jubi on May 11, 2015 at 23:50:12 WP [Editor : Victor Mambor]
Sumber :

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny