Minta Indonesia Kurangi Militer di Papua, Pernyataan O’Neill Dinilai Sangat Keras

Jayapura, Jubi – Dr Richard Chauvel dari University of Melbourne Asia Institute mengatakan ia belum pernah mendengar pernyataan yang keras dari seorang pemimpin Papua Nugini (PNG), ketika mereka berbicara tentang Papua Barat yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia. Namun pernyataan Perdana Menteri PNG, Peter O’Neill saat diwawancarai Radio Australia Jumat (27/3/2015) adalah pernyataan yang sangat keras dan berpotensi mempermalukan Indonesia.

“Keterusterangan Peter O’Neill meminta pertanggungjawaban pemerintah Jokowi untuk memenuhi komitmen presiden sebelumnya, Soesilo Bambang Yoedhoyono (SBY) adalah kejujuran yang sangat luar biasa,” kata Richard Cauvel setelah O’Neill diwawancarai Radio Australia, Jumat (27/3/2015).

O’Neill saat berada di Australia untuk menghadiri pemakaman Malcolm Fraser, mantan Perdana Menteri Australia telah diwawancarai oleh Radio Australia terkait Papua Barat. Dalam wawancara ini, O’Neill meminta pemerintah Indonesia memenuhi janji mengurangi personel militer di Papua Barat.

Menurut O’neill, pengurangan personel militer ini adalah janji presiden SBY saat ia bertemu dengan mantan Presiden Indonesia ini dalam pertemuan bilateral antara Indonesia dengan PNG di Jakarta.

“Kami akan terus mencoba untuk memastikan bahwa pemerintah Indonesia saat ini juga memiliki pandangan yang sama tentang pengurangan kehadiran militer di Papua. Dan otonomi yang lebih luas tentu lebih baik untuk rakyat Papua Barat,” kata O’Neill kepada Radio Australia.

Pernyataan inilah yang disebut oleh Richard Chauvel, seorang ahli Papua Barat, sangat keras dan berpotensi untuk mempermalukan pemerintah Indonesia.

“Tapi dia (O’Neill) juga sangat berhati-hati dalam caranya menghubungkan pernyataan untuk pelaksanaan otonomi yang lebih efektif untuk Papua Barat dan juga tanggung jawab Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional,” kata Chauvel kepada Jubi melalui sambungan telepon, Sabtu (28/3/2015).

Chauvel bahkan meragukan pernyataan versi Indonesia tentang pertemuan Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi dengan O’Neill baru-baru ini.

“Versi Indonesia terhadap pertemuan dengan Mr O’Neill, bagaimanapun, sangat jauh berbeda,” ujarnya.

Dr Richard Chauvel pernah menjadi konsultan untuk International Crisis Group (ICG) di Papua dan laporannya diterbitkan tahun 2001 oleh ICG dengan judul “Indonesia: Ending Repression in Irian Jaya”. (Victor Mambor)

Menlu PNG : Butuh Komitmen Politik Untuk Mengakhiri Kekerasan di Papua Barat

Jayapura, Jubi – Mentri Luar (Menlu) negeri Indonesia, Retno Marsudi tiba di Papua Nugini (PNG) Jumat (27/2/2015) dalam rangkaian turnya ke tiga negara Pasifik. Seperti diberitakan oleh media Indonesia maupun Papua Nugini, kunjungan Retno ini adalah untuk memperkuat hubungan Indonesia dengan tiga negara di Pasifik yakni PNG, Kepulauan Solomon, dan Fiji.

Kunjungan Menlu Indonesia ini diharapkan bisa membicarakan isu Papua Barat yang sempat dilontarkan oleh Perdana Menteri PNG, Peter O’Neill beberapa waktu lalu. Namun dilaporkan oleh sumber Jubi dari Port Moresby, baik Menlu Indonesia maupun Menlu PNG, Rimbink Pato melarang wartawan untuk bertanya tentang isu Papua Barat dalam pertemuan antar kedua menlu ini. Bahkan dalam sesi konferensi pers sekalipun. Rimbink Pato memang telah mengeluarkan pernyataannya sebelum sesi konferensi pers bahwa PNG dan Indonesia hanya akan membahas isu-isu bilateral, regional dan internasional. Pato sama sekali tidak menyinggung tentang isu Hak Asasi Manusia yang dilontarkan perdana menteri negara tetangga ini.

Hanya saja, setelah pertemuan, saat sudah tidak bersama dengan Menlu Indonesia, Rimbink Pato berhasil diwawancarai beberapa wartawan lokal mengenai isu Papua Barat.

Dilaporkan oleh PNG Today, menjawab pertanyaan wartawan PNG tentang isu-isu Papua Barat, Pato mengatakan Menlu Indonesia melakukan diskusi ekstensif tentang Papua Barat dengan Perdana Menteri Peter O’Neill saat sarapan pagi Jumat (27/2/2015).

Pato mengatakan Kedua pemerintah sepakat untuk mengambil “tindakan komprehensif” untuk mengatasi penderitaan rakyat Papua Barat.
“Komitmen politik diperlukan untuk mengakhiri masalah kekerasan di Papua Barat sekali dan menyeluruh,” kata Pato, kepada wartawan lokal, Jumat (27/2/2015)

Sementara itu, siaran pers dari Kementrian Luar Negeri Indonesia yang diterima Jubi, Sabtu (28/2/2012) mengatakan RI dan Papua Nugini akan meningkatkan kerangka Kemitraan Strategis yang disetujui pada Plan of Action tahun 2013. Kedua Menlu menekankan pentingnya mendorong upaya peningkatan perdagangan, termasuk di pasar perbatasan.

Indonesia dan PNG juga membahas realisasi dari komitmen Indonesia sebesar US$20 juta, atau sekitar Rp258 miliar untuk program pengembangan kapasitas bagi negara-negara Melanesia (MSG).

Terkait isu-isu regional, Menlu Retno Marsudi menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk mendukung Keketuaan Papua Nugini di APEC pada tahun 2018, sebagaimana diputuskan dalam APEC Leaders’ Declaration di Beijing tahun lalu.

Dalam bidang hubungan antar masyarakat, RI dan Papua Nugini juga akan bekerja sama di bidang kepemudaan dan olahraga, pendidikan, serta hubungan antar-budaya dan antar-masyarakat di daerah perbatasan. (Victor Mambor)

Souce: Diposkan oleh : Victor Mambor on February 28, 2015 at 23:45:51 WP, S

PNG prime minister wants to do more for Melanesians in West Papua

ABC Net News, Thursday, February 5, 2015

MARK COLVIN: Papua New Guinea’s prime minister Peter O’Neill has promised to do more to speak out on behalf of Melanesians in Indonesian West Papua.

In the past, Port Moresby has stuck firmly to its position that West Papua is an integral part of Indonesia. It’s been reluctant to talk about human rights abuses or to speak out on behalf of Melanesian separatists.

In a speech to a PNG leaders summit today, Mr O’Neill said the time had come to speak about oppression of brothers and sisters in West Papua.

Jemima Garrett reports.

JEMIMA GARRETT: Prime Minister Peter O’Neill told cabinet ministers, provincial governors, business leaders, and development partners such as Australia that 2015 will be a defining year for PNG in an increasingly uncertain world.

At home, Mr O’Neill sees a year in which core policies such as free education, better healthcare and infrastructure, and stronger law and order, take root, despite pressure on the budget from lower gas prices.

In the wider world, Mr O’Neill said, with increasing terror attacks, there must be no complacency about evil.

In the region, he highlighted the role PNG has played recently in encouraging Fiji to return to democracy, and its support for Melanesians in New Caledonia.

And then he turned to the tricky issue of Indonesian West Papua, and signalled a change of approach.

PETER O’NEILL: Sometimes we forget our own families, our own brothers, especially those in West Papua.

(applause)

I think, as a country, time has come for us to speak about the oppression of our people there.

(applause)

JEMIMA GARRETT: Apart from Vanuatu, governments in the Pacific have been slow to speak out on human rights abuses in West Papua, especially after Fiji was instrumental in getting Indonesia admitted as an observer at the Melanesian Spearhead Group of nations.

With the increasing penetration of social media, Pacific voters have become more vocal about the failure of their governments to act.

Mr O’Neill has taken note.

PETER O’NEILL: Pictures of brutality of our people appear daily on the social media, and yet we take no notice.

We have the moral obligation to speak for those who are not allowed to talk. We must be the eyes for those who are blindfolded. Again, Papua New Guinea is a regional leader.

We must take the lead in having mature discussions with our friends in a more solid and engaging manner.

JEMIMA GARRETT: On Friday, the United Liberation Movement of West Papua will submit an application for full membership of the Melanesian Spearhead Group. Grassroots campaigners are urging their governments to support their Melanesian brothers.

Indonesia will oppose the move, but with the Kanak Liberation Movement from New Caledonia already a full member, there is a precedent.

The MSG leaders are expected to meet to make a decision in the middle of the year.

MARK COLVIN: Jemima Garrett.

Gen. Mathias Wenda: Pulihkan Dulu Status Kebangsaan Orang Papua, baru Bicara Status Kewarga-Negaraan

Terkait ucapan pegiat hukum di Tanah Papua Hendrik Tomasoa, SH, seperti dimuat dalam BintangPapua.com dan dikutip di Blog ini, “Status Warga Negara 10.000 Orang Papua Dipulihkan“, 17 Oktober 2014,Gen. TRWP Mathias Wenda saat dikonfirmasi PMNews menyatakan,

“Kalau benar-benar anak Hendrik dia perduli Hak orang, maka dia mulai dulu dengan Hak Kebangsaan, baru dia bicara tentang Hak Kewargaan. Kalau hak kebangsaan seseorang sudah dibunuh secara masal, apa artinya hak kewargaan individual?”

Dia juga harus tahu apakah kewarga-negaraan itu seuah hak seseorang atau kewajiban seseorang.

Berikut petikan wawancara singkat.

PMNews: Selamat siang. Kami minta permisi, kami tahu Bapak sudah baca berita Bintang Papua yang dimuat tanggal 17 Oktober 2014, judulnya “10.000 Warga Papua di PNG Tak Miliki Status Warga Negara“. Dan kami dengar Bapak tidak sependapat dengan Pak Hendrik yang diberitakan di sini. Mohon penjelasan.

Gen. TRWP M. Wenda: Iya, itu betul. Hendrik Tomasoa itu Bapak tau dia sudah lama sekali ada di situ, dan dia lama urus hukum di Tanah Papua, di Jayapura. Tetapi tiba-tiba dia bicara isu politik, menyangkut hak bangsa Papua. Itu yang bikin saya bingung. Ini dia sebagai orang Indonesia jadi, dia pasti dibayar untuk bicara itu.

PMNews: Beliau sekarang sudah menjadi Anggota DPRP, Komisi A, dan dia bicara dua hal, pertama meminta pemerintah kolonial Indonesia berikan status WNI kepada semua orang Papua yang ada di PNG, dan kedua memproses orang Papua untuk pulang ke Papua Barat.

Gen. TRWP M. Wenda: Orang Papua punya hak kewargaan-negara terhapus sejak hak kebangsaan orang Papua dihapus oleh NKRI. Kehadiran NKRI di Tanah Papua itu penyebab utamanya. Jadi solusinya harus dengan cara NKRI keluar dari Tanah Papua, maka hak kebangsaan orang Papua dipuluhkan, itu baru hak kewargaan-negara West Papua akan terpulihkan dengan otomatis.

PMNews: Tetapi Pak Tomasoa berbicara dalam konteks NKRI. Jadi….

Gen. TRWP M. Wenda: Tunggu dulu! Kami ini bukan stateless dan kami bukan non-nations. Kami punya state West Papua dan kami punya nation: Papua. Tetapi keduanya dihapus sejak NKRI ada di Tanah Papua. Jadi cara untuk memulihkan bukan dengan menempel kewargaan baru di atas kewargaan West Papua, tetapi NKRI keluar dari tanah leluhur saya dan anak-cucu saya. Termasuk Hendrik Tomasoa keluar dari situ kalau dia mendukung NKRI, tetapi kalau dia sebagai orang Melanesia mendukung saya dan perjuangan kami semua, maka di berhak tinggal di situ.

Tetapi dia jangan bicara seperti orang kampungan. Dia orang tahu hukum, ahli hukum. Dia harus bicara tentang “status kebangsaan” orang Papua sebelum bicara tetang status kewargaan-negara.

Kami ada di PNG ini tanah leluhur kami orang Papua. Orang Papua punya pulau ini. Jadi siapa sibuk urus kami? Kami mau dibawa pulang ke mana? Mereka yang harus pulang ke tanah leluhur mereka. Kami sudah ada di tanah leluhur kami, pulau New Guinea.

PMNews: Pak Tomasoa bicara terkait hak orang Papua di dalam NKRI.

Gen. TRWP M. Wenda: Ya, jelas, tetapi kita tidak perlu menanggapi terlau serius tentang permintaan dia itu karena dia menutup mata sebelah dan buka sebelah mata saja. Ini orang hukum yang tidak tahu HAM. Hak kewargaan-negara, itu hak, jadi negara tidak perlu berikan. Kalau orang Papua, saya menolak menjadi WNI, maka itu hak saya. Itu bukan kewajiban orang Papua dari barat New Guinea untuk menjadi WNI. Ini hak!

Dia keliru dua kali. Pertama dia keliru karena lupa bahwa masalah utamanya ialah penghilangan hak kebangsaan orang Papua, yang berujung kepada penyangkalan dan penolakan orang Papua untuk ber-warga-negara Indonesia. Jadi, hak saya bukan-nya tidak ada tetapi saya tolak. Kedua, saya tolak berkewarga-negaraan Indonesia karena itu hak saya, bukan kewajiban saya.

Oleh karena itu, NKRI tidak usah terlalu sibuk bawa diri mau kasih kewargaan-negara kepada kami. Kami berwarga-negara West Papua, berbangsa Papua, ras Melanesia. Itu barang sudah jelas, tidak perlu dicari dan tidak perlu diberikan oleh siapapun.

Semua orang Papua yang ada di PNG itu pertama kami ada di tanah leluhur kami sendiri, walaupun tidak di dusun kami. Jadi Indonesia tidak usah terlalu pusing dengan kami. Kedua kami yang ada di PNG menolak tegas pencaplokan tanah leluhur kami oleh NKRI, dan pendudukan atas tanah air kami oleh penjajah Indonesia. Itu pilihan politik.

Kapendam XVII Cenderawasih: Berita Tentang Penembakan Tentara PNG itu Tidak Benar

Jayapura, 5/5 (Jubi) – Kodam XVII Cenderawasih membantah adanya penembakan yang dilakukan oleh tentara Indonesia terhadap patroli perbatasan Papua New Guinea (PNG) seperti yang diberitakan oleh media Papua New Guinea, Post Courier dan dikutip oleh media ini.

Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII Cenderawasih, Letkol Rikas Hidayatullah, Kodam XVII Cenderawasih menyampaikan bahwa tidak benar tentara PNG yang sedang melakukan patroli ditembaki oleh tentara Indonesia. Disampaikan oleh Kapendam, tentara Indonesia bahkan mempersilahkan patroli PNG untuk lewat di area no man’s land.

“Berita penembakan tentara PNG itu tidak benar. Tidak ada penembakan pada patroli perbatasan PNG. Karena faktanya, tentara Indonesia bertemu dengan tentara PNG di no man’s land area dan tentara Indonesia mempersilahkan tentara PNG untuk lewat.”

kata Kapendam kepada Jubi, Senin (5/5) malam.

Kapendam juga meminta agar pemberitaan tentang perbatasan Indonesia dan PNG lebih sensitif dan dikonfirmasikan terlebih dulu kepada pihaknya. Hal ini menjadi penting untuk menjaga situasi di wilayah perbatasan RI-PNG.

Semestinya, berita itu dikonfirmasi dulu kepada kami. Agar kita bisa sama-sama memastikan benar atau tidak informasi itu.” tambah Kapendam.

Sebelumnya, diberitakan oleh media ini, mengutip pemberitaan Post Courier, Mentri Luar Negeri dan Imigrasi PNG, Rimbink Pato memanggil Duta Besar Indonesia untuk PNG, Andrias Sitepu dan menyampaikan nota protes PNG atas insiden insiden penembakan yang terjadi pada pagi hari tanggal 19 April lalu. (Jubi/Victor Mambor)

Enhanced by Zemanta

Pembangunan Gapura Perbatasan RI- PNG di Distrik Waris Distop Masyarakat Adat

KEEROM – Merasa dibohongi, masyarakat Adat Waris akhirnya menghentikan Proyek Pembangunan Gapura Perbatasan RI-PNG di Distrik Waris. Proyek ini berasal dari Pemerintah Pusat melalui dana Akokasi Khusus (DAK) oleh Badan Pengelolah Kawasan Perbatasan (BPKP) Kabupaten Keerom sebesar Rp460 juta, yang dimulai pembangunannya sejak Desember Tahun Anggaran 2013 di hentikan sementara. Hal tersebut dilakukan agar pemerintah daerah terutama badan kawasan perbatasan bertanggung jawab atas penunjukan proyek tersebut.

“ Kami menghentikan proyek pembangunan gapura perbatasan RI-PNG yang berada di Distrik Waris yang masih bermasalah antara Badan Pengelolah Kawasan Perbatasan dengan 3 (tiga) Kontraktor, untuk selanjutnya meminta kepada badan pengelolah kawasan perbatasan menyelesaikan persoalan yang ada, apalagi kami sebagai pemilik hak ulayat dan juga yang sebenarnya mengerjakan proyek ini,” ujar Pengusaha Asli Keerom dan juga sebagai Pemilik Hak Ulayat Distrik Waris Bernat Meho saat ditemui Bintang Papua di Keerom, Kamis (23/1) kemarin.

Menurutnya, pembangunan Gapura Perbatasan RI- PNG yang ada di Distrik Waris seharusnya diberikan ke CV. Sungai Em-Pai Brothers, seharusnya diberikan kepada kami, sebagai anak asli terutama sebagai pemilik hak ulayat, namun dengan berbagai kepentingan kami di bohongi dan menyerahkan pekerjaan tersebut kepada kontraktor lain, bukan ke CV. Sungai Em-Pai Brothers,” katanya.

Oleh karena itu, sebagai anak yang mempunyai hak ulayat merasa di permainkan sehingga terpaksa bertindak untuk memulangkan tenaga kerja yang berada di Lokasi pekerjaan Pembangunan Gapura Perbatasan RI- PNG di Distrik Waris. “ Pekerjaan itu seharusnya kami yang kerjakan, tapi Badan Pengelola Perbatasan Daerah Kabupaten Keerom memberikan pekerjaan kepada kontraktor lain,”ujarnya.

Selain itu, pihaknya telah melakukan pertemuan dengan kepala Bidang kerja sama Badan Pengelola kawasan perbatasan sejak awal tahun 2013 lalu untuk meminta sejumlah paket pekerjaan di sepanjang kawasan perbatasan. “ Namun kepala bidang kerja sama yang waktu itu masih dijabat ibu Yully Wally membohongi kami dengan alasan sejumlah proyek yang berasal dari pusat telah dipaketkan langsung bersama kontraktornya. Pada akhirnya dengan berbagai kepentingan proyek tersebut diberikan kepada kontraktor lain yang ada di Kabupaten Keerom,” katanya.

Oleh kerana itu, sebagai anak adat, alasan historis yang mendasar sehingga ia memulangkan tenaga kerja pada Pembangunan Gapura Perbatasan RI- PNG dan menghentikan pekerjaan tersebut. “ kata Ibu Yully Pemerintah sekarang Orang Adat di Keerom tidak ada Proyek,” kata Bernat Meho.

Dengan dilakukannya pemulangan terhadap tenaga kerja suatu solusi atau jawabannya yang dianggap pas atas apa yang pernah disampaikan oleh Pemerintah Daerah. “ Jadi adat tidak ada proyek di Pemerintahan Kabupaten Keerom saat ini, kami menghentikan pekerjaan dan kami masih menuggu dari Pemerintah Daerah dalam hal ini Badan Perbatasan Keerom untuk menyelesaikan persoalan ini,

“Kami juga telah membatalkan pembangunan gapura perbatasan RI – PNG di distrik waris, dan memulangkan tenaga pekerja serta siap mengembalikan dana kontraktor sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta) yang telah membayar masyarakat pemilik hak ulayat,”

tegasnya. (Rhy/don/l03/par)

Jum’at, 24 Januari 2014 11:00, BinPa

The Human Tragedy of West Papua

The Diplomat.com – By Gemima Harvey, January 15, 2014

The people of West Papua have been calling for self-determination for half a century – a struggle for liberation from an Indonesian military occupation that has seen as many as 500,000 Papuans killed. A recent development in this long campaign is the suspicious death of a commander of the rebel Free Papua Movement (OPM), Danny Kogoya, on December 15. The cause of death, as described in the medical report, was liver failure, bought on by the presence of “unusual chemicals in his body,” raising concern that he was poisoned.

At the time of his death, Kogoya was at Vanimo hospital, in Papua New Guinea (PNG), receiving treatment for his leg. His leg was amputated in 2012 – without his consent – at a police hospital in Jayapura, West Papua, after Indonesian security forces shot him during an arrest. According to the Asian Human Rights Commission (AHRC), a doctor at Vanimo hospital alleged that the chemicals were administered while Kogoya was at the police hospital in Jayapura and that he had been slowly poisoned to death by the Indonesian state authorities.

When Kogoya’s family submitted a request, with the medical report attached, to Vanimo Court House, asking for his body to be buried in West Papua, the Court decided to treat the death as a murder and called for an autopsy. AHRC reports that when the autopsy was scheduled, four individuals – two of them identified as Indonesian consulate staff – met with hospital management and prevented the autopsy from taking place.
Enjoying this article? Click here to subscribe for full access. Just $5 a month.

A series of subsequent negotiations between family members, Indonesian consulate officials and PNG local authorities resulted in the autopsy being agreed to. But latest reports indicate the autopsy is yet to happen.

Whether foul play is proven in the death of Kogoya or not, the incident is another in a long line in the liberation movement in West Papua, which has seen civilians with suspected links to separatists tortured, political activists murdered and perpetrators act with impunity.

Geographically, West Papua sits beside PNG, forming the western half of the resource-rich island of New Guinea, about 300 km from the northern tip of Australia. The West Papua region is split into two provinces: West Papua and Papua. Its indigenous people have Melanesian roots, making them culturally and ethnically similar to their counterparts in PNG, but the formers’ turbulent colonial history and ongoing struggle for self-determination sets them starkly apart from their neighbors.

After WWII, the Dutch, who colonized West Papua, began making preparations for its liberation, while Indonesia continued to lay claim to the territory. In 1961, Papuans raised their flag – The Morning Star – sang their national anthem and declared their independence. Soon after, Indonesia invaded, supported and armed by the Soviet Union. Fearing the spread of communism and with mining interests in West Papua, the U.S. intervened, and along with the UN, brokered the New York Agreement, giving interim control of West Papua (under UN supervision) to Indonesia in 1963, until a referendum could take place granting West Papuans a vote for either integration into Indonesia or self-determination.

Over the next several years, before the vote, it’s estimated that 30,000 West Papuans were killed by Indonesian military, in a brutal silencing of dissent and suppression of liberationist ideals. In 1969, the vote – ironically called “The Act Of Free Choice” was fraudulent, the outcome controlled. Just one percent of the population was selected to vote, and those chosen were intimidated by security forces, resulting in a unanimous vote for West Papua to be ruled by Indonesia. A man claiming to be part of the one percent who voted describes the scenario in a documentary, his face obscured, saying that a gun was held to his head, as he was given the ultimatum – vote for Indonesia or be killed.

Since then, mass atrocities have been carried out by Indonesian security forces and human rights abuses continue to this day. West Papua is the most heavily militarized region of Indonesia, with an estimated 45,000 troops presently deployed, and an extra 650 soldiers to patrol near the PNG border from February.

Paul Barber, coordinator of TAPOL, which works to promote human rights, peace and democracy in Indonesia, told The Diplomat that members of the military have committed horrific human rights violations in West Papua over the last fifty years, and have enjoyed complete impunity. A recent example occurred in June 2012, when security forces stationed in Wamena (in the Central Highlands), ran amok, bayoneting civilians and burning houses and vehicles.

‘’Violations often occur in remote areas, including the border area, and many go unreported. Troops tend to be unwelcome and underpaid, and their arrival usually precedes military business rackets, illegal logging, and human rights violations, including sexual violence against women and girls.’’

Barber said that political activists and human rights defenders are frequently branded as separatists and traitors and that the Indonesian Government continues to “isolate, silence and stigmatize its critics” as a means of denying the political nature of the problem.

The Security Approach: Silencing Voices of Dissent

The liberation movement comprises both violent and non-violent groups.

Militant group OPM, (which Kogoya was involved in), leads a low-level insurgency, and have attacked military, police and occasionally civilian targets over the years. A 2002 Amnesty International report found that counterinsurgency operations by Indonesian security forces have resulted in: “gross human rights violations, including extrajudicial executions, enforced disappearances, torture and arbitrary detentions.”

Given the omnipresent suspicion that all West Papuans are separatists, or support separatist movements, the response of Indonesian troops has often been the same whether groups use peaceful tools, like demonstrations, or guerilla tactics. In other words, West Papuans need not be armed fighters to be persecuted, arrested, tortured or executed.

The shocking prevalence of torture by Indonesian security forces was revealed by a recent study, which found on average, one incident of torture has taken place every six weeks for the past half century. Of the 431 documented cases reviewed, just 0.05 percent of those tortured were proven to be members of militias – the vast majority of victims were civilians, most commonly farmers and students.

The PhD thesis of Dr. Budi Hernawan concludes “that torture has been deployed strategically by the Indonesian state in Papua as a mode of governance…with almost complete impunity.”

Some are tortured after being arbitrarily detained – TAPOL documented 28 political arrests involving torture in 2012 – while other cases have taken place near villages.

Take the example of Yawan Wayeni, a tribal leader and former political prisoner, whose killing in 2009 was filmed and leaked online the following year. AHRC reports that Indonesian Police (Brimob) shot Wayeni in the leg, before plunging a bayonet into his belly, spilling out his bowels. He utters the word “independence,” while slowly dying in the jungle, to which a police officer responds, ‘‘You Papuans are so stupid, you are savages.’’ In an interview with Aljazeera the police chief dealing with the case, Imam Setiawan, said that his men did not violate Wayeni’s human rights and had to stop him from talking about independence and tell him, ‘’You will never get your independence. We are the unified state of Indonesia. Don’t ever dream of your freedom.’’

This is not the only torture video to be leaked.

In October 2010, a video of Indonesian military personnel torturing two West Papuan men, who human rights group describe as simple farmers, surfaced online. They are accused of having information about weapons caches. One man, Tunaliwor Kiwo, is kicked in the face and chest, his genitals seared with a burning stick. The other, Telangga Gire, is threatened with a knife, the blade pushed against his throat and dragged across his face. Kiwo later recounts in a recorded testimony, that he escaped on the third day of the ordeal, and describes how he was also suffocated with plastic bags, had his toes crushed with pliers, and chillies smeared in his burns and cuts.

In January 2011, three soldiers involved in the abuse were sentenced to terms of eight to 10 months for “not following orders.” Despite Indonesia ratifying the UN Convention Against Torture in 1999, the military criminal code does not recognize torture as a punishable crime. In a speech to military and police forces just days before the sentences were handed out, President Susilo Bambang Yudhoyono dismissed the case as a “minor incident” and claimed that “no gross violations” of human rights have happened since he took office in 2004.

It’s true, he was not in power when the Biak Massacre took place in 1998, in which scores of peaceful demonstrators allegedly shot at, tortured, raped and mutilated, survivors loaded onto navy ships and dumped at sea to drown, their bodies later washing up on shore. Crimes against humanity, for which, according to the findings of a citizens’ tribunal held in Sydney last month, none of the perpetrators have been held accountable.

And it’s correct that Yudhoyono was not leader in 2003 when, Amnesty International reports, nine civilians were killed, 38 tortured and 15 arbitrarily arrested during a series of police raids in Wamena, which displaced thousands of villagers, dozens later dying from hunger and exhaustion.

But he was certainly in power in October 2011, when security forces were filmed opening fire at an independence rally, reportedly killing six protestors.

And in June 2012, when political leader, Mako Tabuni “was gunned down by police in broad daylight” in a killing that allegedly involved Densus 88 (aka Detachment 88) – a counter-terrorism unit funded and trained by Australia and the U.S. following the Bali bombings. Tabuni was deputy chairperson of the National Committee for West Papua (KNPB), a non-violent organization, campaigning for a referendum.

A TAPOL report notes that of 20 people charged under the treason law (Article 106) in 2012, their alleged activities ranged from carrying documents associated with KNPB, or guerrilla group OPM, to organizing a celebration of the UN Day of the World’s Indigenous Peoples, to raising the Morning Star flag, to suspected involvement in the National Liberation Army (TPN).

Paul Barber, Coordinator of TAPOL, commented that, ‘’The security approach is still in full swing.’’

“Protests should be welcomed as a sign of a flourishing if noisy democracy, but security forces feel threatened and crack down. This approach is trapping Papua in a futile cycle of repression and fear.”

According to figures by Papuans Behind Bars, the number of political arrests in November last year rose by 165 percent from the same period in 2012. A November report puts the total number of arrests in 2013 (up to that time) at 537 and the number of political prisoners at 71. Filep Karma is one of these prisoners of conscience, serving a 15-year sentence for raising the Morning Star flag.

Former head of Densus 88, Tito Karnavian, was appointed as Papua Chief of Police in late 2012 – a move that corresponded with a sharp increase in the number of political arrests and a spike in reports of abuse and torture among detainees.

Barber explains that activists and peaceful protestors are routinely subjected to surveillance, threats, harassment and beatings, and are sometimes killed or disappeared. “Speaking out against injustice in Papua is extremely risky. At best you may lose your dignity, at worst you will lose your liberty, your mind or even your life.”

Foreign journalists and international non-government organizations are barred from accessing West Papua. In recent years, the International Committee of the Red Cross has been expelled and Peace Brigades International forced to close its offices, when restrictions made carrying out work impossible. Human Rights Watch and Amnesty International are also routinely denied visas. Fortunately, the spread of mobile phones is making it harder for human rights abuses to go unnoticed.

Economic “Development”: Entrenching Poverty

WikiLeaks released cables in 2010, revealing that U.S. diplomats blame the Indonesian Government for “chronic underdevelopment” in West Papua, and believe that human rights abuses and rampant corruption are fuelling unrest. Still, military ties between the two countries were renewed.

The cables also confirmed that U.S.-based mining company Freeport-McMoRan, which owns the word’s largest gold-copper mining venture – called Grasberg – in Papua province, has paid millions of dollars to members of the Indonesian security forces to help “protect” its operations.

Concessions for this company were granted by Indonesia in 1967, two years before the dubious independence vote. Declassified U.S. policy documents divulge its support for Indonesian rule – this arrangement meant the U.S. could carry out its plans to carve up Papua’s rich natural resources. The then-national security adviser, Henry Kissinger wrote to President Richard Nixon just prior to the vote, that a referendum on independence “would be meaningless among the Stone Age cultures of New Guinea.” Kissinger later became a board member of Freeport. He is described in a 1997 CorpWatch article as being the “company’s main lobbyist for dealings with Indonesia.”

Freeport is Indonesia’s biggest taxpayer, reportedly channeling $9.3 billion to Jakarta between 1992 and 2009. And yet, Papua, where Freeport’s Grasberg mine is located, is the poorest province in Indonesia, with one of the “most alarming food insecurity and malnutrition rates.” About 30 percent of the population lives in poverty, compared to 13 percent in East Java and the infant mortality rate in West Papua is at least twice the national average.

Survival International’s Asia Campaigner Sophie Grig told The Diplomat: ‘’The mine has caused environmental devastation by discharging waste directly into the local river, on which the local Kamoro tribe depends for drinking water, fishing and washing, and Indonesia employs soldiers to protect the area resulting in reports of grave human rights violations such as torture, rape and killings of Papuans.’’

She notes that the HIV/AIDS rate in Papua province is up to 20 times higher than the rest of the country.

Years of Indonesia’s transmigration policies have resulted in non-ethnic Papuans forming 50 percent of West Papua’s population. With development and urban influences comes a change to the traditional way of life, the influx of workers and security personnel, for example, resulting in the emergence of karaoke bars and prostitution. In 2011, the Papua AIDS Prevention Commission revealed that the area with the highest increase of cases and overall infection rate was Mimika district, which is home to the Grasberg mine.

The latest “development” project, the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), is already showing signs of entrenching poverty in the region.

August 2010 marked the launch of the mega MIFEE project, which Yudhoyono announced would “Feed Indonesia, then feed the World.” The venture earmarks 1.28 million hectares in southern Papua for crops such as: timber, palm oil, rice, corn, soya bean and sugar cane. Indonesia produces roughly half of global supply of palm oil and plantation expansions in other parts of the archipelago have been linked to rapid rates of deforestation and land conflicts. A report by the Asian Human Right’s Commission exposes MIFEE as being part of a “global land-grabbing phenomenon,” which strings together powerful state and private actors in a dubious chain of collusion. The report notes that specific to MIFEE is “the military-business-political framework and the climate of political intimidation and oppression present in West Papua.” The report highlights that key players in MIFEE are all politically connected, raising serious questions about the blurring of political, security and corporate interests. The Comexindo Group, for example, is owned by Hashim Djojohadikusumo, the brother of Prabowo Subianto, the ex-special forces general and son-in-law of former President Suharto.

Customary land tenures are being wiped out without the free, prior and informed consent of local villagers. Compensation given to communities that are duped into handing over their land is beyond inadequate; lured by empty promises of greater prosperity or intimidated by a company’s security personnel – indigenous people are left hungry and with deep regret. According to Awas MIFEE, a network of activists monitoring the mega project, the average rate of compensation to an affected community is about $30 per hectare, a “pitiful” amount considering the many generations a forest can sustain.

MIFEE is touted as a source of jobs for impoverished Papuans but numerous accounts contest this. Indigenous Papuans lack the knowledge and experience to gain meaningful employment in these plantations and are given menial jobs that pay below a living wage, while lucrative positions go to migrants. A massive influx of workers is expected. Government predictions, reported by The Jakarta Globe, suggest the population of Merauke could rise from about 175,000 to 800,000 as a result of the project, making Papuans the ethnic minority in their ancestral lands.

Papuans are traditionally hunter-gatherers, living on staples of sago starch and wild meat, foraging for tropical fruit, and cultivating plots of sweet potato and other plants in small gardens. Since chunks of forest in Zanegi were cleared to make way for acacia and eucalyptus plantations, the resulting timber destined for power stations in Korea, the villagers are having a harder time finding food. A local nurse, interviewed in the documentary Our Land is Gone, points to the rise in cases of infants suffering chronic malnutrition — from one a year in the past up to a dozen since the forest was destroyed. In the first half of 2013, five infants reportedly died of malnutrition. Pollution from fertilizers and wood-chipping has also caused a surge in cases of bronchitis and asthma. A man interviewed in the documentary laments that the company, a subsidiary of Medco Group, broke its promise to leave a buffer of 1500 meters around sacred sites and cleared sago groves and destroyed birds of paradise habitat. Another villager said, ‘’We thought they had come here to develop our village but in reality they are crushing us, to put it bluntly, they are stomping on us.’’

Two UN experts have warned that moves to convert 1-2 million hectares of rainforest and small-scale farming plots to export-led crop and agro-fuel plantations in Merauke could affect the food security of 50,000 people.

Survival International’s Grig said, ‘‘It is ironic that a project designed to ensure food security is robbing self-sufficient tribal people of their land and livelihoods – which have sustained them for many generations. The same human rights problems that have plagued the communities around the Grasberg mine are now beginning to emerge in the MIFEE area too. It is an emerging humanitarian and environmental crisis.’’

The struggle continues

The West Papuan struggle for self-determination is unwavering despite half a century of Indonesian security forces brutally muzzling independence sentiments.

ETAN, a group which advocated for the independence of East Timor from Indonesian rule, astutely wrote that by branding all Papuans as enemies of the state every time they try to exercise their right to freedom of expression, and by continuing to commit gross human rights abuses, the resolve of the Papuan people to be liberated will grow stronger – Indonesia’s fears will become a self-fulfilling prophecy.

This month, the Free West Papua Campaign (FWPC) opened an office in Port Moresby, Papua New Guinea, where the Mayor raised the Morning Star Flag alongside the PNG national flag in a show of solidarity. FWPC wrote on social media: ‘‘Indonesia can draw as many lines on the map as it likes, but it can never separate the spirit of the people of New Guinea. We are one people, one soul, one Kumul [bird of paradise] Island.’’

Gemima Harvey (@Gemima_Harvey) is a freelance journalist and photographer.

Indonesia-PNG Tanda Tangani 11 Kesepakatan

JAKARTA [PAPOS] – Pemerintah Indonesia dan Papua Nugini menandatangani 11 kesepakatan seusai pertemuan bilateral di Istana Merdeka, Jakarta, Senin.

Penandatanganan kesepakatan tersebut dilakukan para menteri dari masing-masing negara dan disaksikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri papua Nugini Peter Charles Paire O’Neill.

Ke 11 kesepakatan tersebut di antaranya tentang pengelolaan perbatasan, kerja sama di bidang pelatihan diplomatik, perjanjian ekstradisi antar kedua belah negara, kerja sama bidang perhubungan.

Kerja sama bidang energi, kerjasama bidang pendidikan dan pendidikan tinggi, kerja sama di bidang kepemudaan, kerja sama di bidang turisme dan kerja sama bidang olahraga.

Presiden dalam sambutannya, seusai menyaksikan penandatanganan tersebut mengatakan, pertemuan kedua belah pihak pada Senin merupakan salah satu batu loncatan pengembangan peningkatan kerja sama dan menuju hubungan yang lebih tinggi, kemitraan komprehensif.

“Yang ingin saya sampaikan adalah, kami sepakat untuk meningkatkan tingkat bilateral kami menjadi tingkat komperhensif, atau komperhensif partnership, dengan ini kedua negara memiliki peluang untuk mengembangkan kerja sama lebih luas,”

kata Presiden.

Sementara itu, Perdana Menteri O’Neill sepakat untuk terus meningkatkan kerja sama yang lebih luas. PNG dan Indonesia merupakan tetangga dekat dan memiliki letak yang strategis. Ia mengharapkan agar kerja sama dapat diperluas antar kedua negara.

Sementara itu, dalam kesempatan tersebut, Presiden Yudhoyono juga mengucapkan terima kasiah atsa dukungan yang terus menerus terhadap kedaulatan wilayah Indonesia.

“Kami terima kasih kepada PNG dua hal, yang pertama adalah konsistensi dukungan PNG terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia. Kemudian yang Kedua adalah juga kontribusi PNG sehingga Indonesia bisa ikut menjalin kerja sama yang luas di Asia Pasifik,” kata Presiden. [ant/ida]

Sumber: Selasa, 18 Jun 2013 00:07, Papos

Enhanced by Zemanta

Indonesia Undang Negara-Negara Melanesia ke Papua

Mentri Luar negeri Fiji, Ratu Inoke Kubuabola (Jubi/Victor M)
Mentri Luar negeri Fiji, Ratu Inoke Kubuabola (Jubi/Victor M)

Noumea-Kaledonia Baru, 18/06 (Jubi) – Negara-negara anggota Melanesian Sparehead Group (MSG) sepakat untuk mengunjungi Indonesia (Jakarta dan Papua) akhir tahun ini untuk memastikan situasi Papua Barat.

Rekomendasi ini dikeluarkan dalam pertemuan para mentri luar negeri MSG di Pulau Lifou, Loyalty Islands Kaledonia Baru, Senin (17/8). Mentri Luar negeri Fiji, Ratu Inoke Kubuabola mengatakan kunjungan ke Indonesia itu atas undangan dari Pemerintah Indonesia.
“Kita semua sepakat bahwa misi akan berangkat ke Jakarta atas undangan Pemerintah Indonesia dan kemudian ke Papua Barat. Tahun ini, tergantung pada tanggal yang disepakati dengan Pemerintah Indonesia.” kata Kubuabola, Senin malam.

Undangan pemerintah Indonesia ini, kata Kubuabola, disampaikan oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 3 Juni, dalam pertemuan antara Perdana Menteri Fiji Voreqe Bainimarama dan Djoko Suyanto, Menkopolhukam Indonesia.

Meski demikian, Kabuabola mengakui jika Fiji memiliki pandangan sama dengan negara-negara MSG lainnya, yakni ingin melihat beberapa bentuk penentuan nasib sendiri bagi Papua Barat.

“Fiji telah mengambil inisiatif untuk memperkenalkan roadmap mengenai masalah Papua Barat. Ini adalah masalah yang sangat sensitif – Papua Nugini, Fiji, dan bahkan Kepulauan Solomon mengambil posisi yang sama. Tapi semua negara MSG berbagi pandangan yang sama, bahwa kita ingin melihat beberapa bentuk penentuan nasib sendiri bagi Papua Barat.”

ujar Kabuabola.

Kabuabola menambahkan, Fiji telah meningkatkan pandangan tentang hak asasi manusia di Papua. Bahkan ketika Perdana Menteri Fiji berada di Jakarta pada tahun 2011 telah mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Indonesia untuk mengangkat isu penyalahgunaan hak asasi manusia di Papua Barat.

Sedangkan Caroline Machoro-Regnier, representasi FLNKS dalam pertemuan para mentri luar negeri negara-negara MSG, mencatat masalah Papua Barat “lebih politis, lebih sensitif” dalam pertemuan tersebut.

“Ada kesepakatan oleh semua menteri luar negeri bahwa MSG harus mengatasi masalah ini dan kami akan terus mencoba untuk menemukan solusi terhadap sebuah isu yang ada di hadapan kita. Namun, ini adalah topik yang sangat sensitif yang mempengaruhi hubungan antara Indonesia dan negara anggota lain dalam MSG. Jadi untuk mencari solusi, kita harus mengambil jarak waktu. Sehingga untuk memulainya, pertemuan hari ini telah setuju untuk mengirim misi ke Jakarta dan Jayapura.”

kata Machoro-Regnier.

Pertemuan di Lifou ini dihadiri oleh Caroline Machoro-Regnier (FLNKS), Deputi Perdana Menteri Vanuatu dan Menteri Luar Negeri Edward Natapei, Menteri Luar Negeri Kepulauan Solomon, Forau Soalaoi dan Menteri Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Fiji, Ratu Inoke Kubuabola. Sedangkan Rimbink Pato, Mentri Luar Negeri Papua new Guinea tidak hadir dalam pertemuan ini karena bersama PM O’Neil sedang berkunjung ke Jakarta. (Jubi/Victor Mambor)

NDONESIA UNDANG NEGARA-NEGARA MELANESIA DATANG KE PAPUA Penulis : Admin Jubi | 12:52

Enhanced by Zemanta

Pertemuan PM PNG & Presiden SBY dan Gubernur Papua : Hasilkan Sejumlah Manfaat Baru Bagi Papua

JAKARTA – Sejalan dengan komitmen Pemerintah untuk menempatkan Provinsi Papua, sebagai berada depan Indonesia di hadapan negara-negara

Papua Merdeka
Papua Merdeka (Photo credit: Roel Wijnants)

kawasan asia pasifik, maka Presiden Republik Indoensia Dr.H. Susilo Bambang Yudhoyono, mengajak Gubernur Papua Lukas Enembe,SIP,MH, untuk ikut serta dalam pertemuan bilateral dengan prime Maniseter Papua New Guinewa Peter O’neill, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/6) kemarin.

Hadir dalam pertemuan tersebut, juga Gubernur Provinsi Papua Barat, Bram Atururi,serta 100 pengusaha dari PNG dan Perdana Menteri PNG dan sejumlah Menteri PNG, juga staf ahli Bidang Otonomi Daerah Felix Wanggai.

Sebagaimana dalam press release Sekretariat Kepresidenan RI, bahwa, kedatangan PM Papua New Gunea Peter O’neill ini, merupakan kunjungan bersejarah semenjak Peter O’neill terpilih sebagai orang nomor satu di negera tetangga Papua ini. sebagai negara yang lansung berbatasan dengan Indonesia sepanjang 760 Km di wilayah Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Pegunungan Bintang, Bouven Digoel, dan Kabupaten Merauke.

Pertemuan bilateral antara Indoensia-PNG ini, memiliki nilai yang startegis bagi Indonesia, terutama Provinsi Papua, yang selama ini telah menjalin banyak kerja sama dengan beberapa Provinsi di Negara PNG.

Dalam pertemuan bilateral dimaksud, Presiden Susilo Bambang Yudhyono dan PM PNG Peter O’neill, sepakat mendatangani sebuah babak baru hubungan bilateral yang disebut Comprehensive Partnership between Republik of Indonesia and Papua New Gunea, (Kemitraan komprenship antara Indonesia dan PNG).

Dalam konteks kemitraan yang komprensehensif ini, pemerintah pusat menempatkan Provinsi Papua, sebagai ujung tombak di dalam kerjasama di seluruh bidang pembangunan. Pemerintah PNG mengharapkan Indonesia lebih aktif untuk melakukan kerjasama Investasi, perdagangan, energi, pendidikan, olah raga, kepemudaan, kebudayaan dengan PNG.

Dalam hal ini, PNG mengharapkan PT.PLN di Kota Jayapura, dapat membangun jaringan listrik ke wilayah PNG, den kerjasama pertambangan mineral dan energi di wilayah perbatasan RI-PNG.

Selain itu, pemerintah Indonesia menyediakan beasiswa dan pertukaran pelajar, dengan persamaan budaya antara masyarakat PNG dan masyarakat Papua, kerjasama kebudayaaan, kepemudaan, perempuan, dan kelompok-kelompok usaha kecil menengah didorong antara kedua negara.

Terkait dengan hal tersebut, Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe, mengatakan, ajakan Presiden kepada Papua, untuk mendampingi PM PNG merupakan komitmen pemerintah pusat di dalam semangat otonomi khusus plus, karena jiwa dari Otsus Plus adalah Provinsi Papua memiliki kewenangan luar negeri walupaun terbatas untuk membangun kerjasama dengan negara-negara asing, terutama di kawasan pasifik.

Apalagi kenyatannya bahwa selama ini Provinsi Papua sebenarnya telah menajadi ujung tombak didalam menjalin hubungan kerjasama antara RI-PNG. Dalam pertemuan di isitana negara ini, kedua negera sepakat untuk membuka kembali layanan lintas batas tradisonal antara dua negara tersebut.

Termasuk penyelesian masalah perbatasan antara negera tidak hanya sekadar menarik menetapkan garis batas antara negara, namun jauh yang lebih penting, adalah menempatkan perbatasan negara sebagai bagian dari suatu wilayah negara dengan pengelolaan yang tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang tersusun dalam arah pembangunan jangka panjang di kawasan perbatsaan negera.

“Pemerintah Papua aktif di dalam mengelola pembangunan masyarakat di wilayah perbatasan. Pemda Papua telah mengundang kelompok-kelompok masyarakat PNG untuk studi banding dan kegiatan perdagangan dan investasi dalam skala yang terbatas,” ungkapnya kepada wartawan di Istana Negara Usai Bertemu Pertemuan tersebut di ruang pertemuan Presiden RI, Senin, (17/6) kemarin.

Terhadap kesepakatan baru RI-PNG, dalam payung kemitraan komprensif ini, Gubernur Lukas Enembe, telah mengusulkan sejumlah agenda stratgis kepada Presiden RI, antara lain, pengembangan konektivitas guna people to-people contact, meningkatan kerjasama pendidikan melalui pemberikan

beasiswa,pengembangan pembentukan sister Province/city, antara kedua negara terutama Provinsi Papua dan Provinsi,dan Kota di PNG, exchange program antara RI-PNG, yang melibatkan pemuda,mahsiwa,pelajar,dan kelompok perempuan, kerjasama dalam bidang olahraga, pemuda, budaya, dan pendidikan, seperti mengundang delagasi-delegasi PNG untuk menghadiri berbagai festival budaya di Indoensia,maupun sebaliknya.

Hal ini guna Pemerintah Provinsi Papua mendorong peningkatan kerjasama perdagangan, dan mendorong anak-anak perbatsan PNG untuk bersekolah di sekolah-sekolah perbatsan (boda school) di Papua.

Pertemuan bilateral antara Presiden SBY dan PM PNG Peter O’Neill, ini sebagai babak baru bagi kedua negara. Hal ini juga sebagai momentum bagi Provinsi Papua, untuk melakukan peningkatan kerjasama yang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat Papua.

Ditempat yang sama, Staf khsus Presiden SBY, Velix Wanggai, menyampaikan bahwa hari ini merupakan kehormatan bagi Pemerintah Indonesia karena PM PNG mengunjungi Indonesia, yang memiliki nilai penting dalam kemitraan yang akan datang.

Pertama, disepakati meningatkan hubungan bilateral comprhensifve partenership, dimana PNG sebagai regional player di kawasan pasifik, yang secara kosisten mendukung kedaulatan Indoensia dan mendukung Indoensia aktif di MSG, PIF, Sosut Pacific Dialogue, ini mometum yang baik untuk mengoptimalkan peluang kedua negara. (nls/achi/l03)

11 Dokumen Kesepakatan (MoU) ditanndatangi PM PNG dan RI
1. Perjanjian Batas Negara
2. Diplomatic Eudcatiaon and Traning
3. Extradiction Treaty Between RI-PNG
4. Air Transportition
5. Cooperation on Petrolium and Energy
6. Education and Culture Cooperation
7. Higher Education
8. Youth Cooperation
9. Coopreation Mineral Development
10. Touristism Cooperation
11. Sport Cooperation

Sumber: Selasa, 18 Jun 2013 08:23, Binpa

Enhanced by Zemanta

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny