Lt. Gen. Amunggut Tabi: Salam Sukses untuk ULMWP – Sampai Kapan Kita Dititipkan di Sudut Politik Abu-Abu?

Jawaban langsung dari Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi dari Tentara Revolusi West Papua (TRWP) lewat mantan Sekretaris-Jenderal TRWP ialah “Sampai Kapan Kita Dititipkan di Sudut Politik Abu-Abu?” PMNews mendalami pernyataan ini dengan sejumlah pertanyaan dan jawabannya disampaikan sbb.

PMNews: Selamat malam! Kami dengan senang hati sampaikan bahwa KTT ULMWP telah berlangsung dan telah memilih Benny Wenda sebagai Ketua ULMWP, Octovianus Mote sebagai Wakil Ketua, Jacob Rumbiak Sebagai Jurubicara.

Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi (TRWP): Salam sukses untuk ULMWP. Kami sangat mengharapkan baik Mote maupun Wenda sama-sama terus bekerjasama dalam memperjuangkan aspirasi bangsa Papua yang telah lama kami perjuangkan di rimba New Guinea.

PMNews: Dengan pembentukan Ketua dan Wakil Ketua ini, kami melihat ada perubahan yang membawa harapan, karena organisasi perjuangan bangsa Papua tidak lagi terorganisir seperti tiga tahun lalu, tetapi ke dalam sebuah organisasi dengan Ketua dan Wakil Ketua, dan Jurubicara, jadi ada tata-organisasi lebih membantu perjuangan Papua Merdeka.

TRWP: Oh, ya, kalau hal ini, kami harus mengaku secara jujur dan terbuka bahwa kami tidak puas dengan hasil yang dicapai.

PMNews: Tidak karena pemerintah negara West Papua tidak dibentuk?

TRWP: TRWP tidak puas pertama-tama karena kita selama setengah abad lebih masih belajar berorganisasi, dan organisasi perjuangan kita masih saja menggunakan moderator, executive director dan sebagainya, seolah-olah kita masih belajar berorganisasi, kita tidak sanggup mempercayai generasi penerus perjuangan ini untuk sepenuhnya menggunakan otoritas dan kemampuan mereka memperjuangkan Papua Merdeka.

Sudah saatnya kita berjuang sebagai sebuah organisasi modern, yang kredibel, dan yang dapat bersanding dengan pemerintah penjajah untuk berhadapan “head-to-head”. Tetapi kalau kita masih belajar berorganisasi, maka kita tidak layak bermain di lapangan politik Papua Merdeka. ULMWP jadinya sama saja dengan organ perjuangan lain seperti KNPB, AMP, WPLO, WPNCL, OPM dan sebagainya, hanya menjadi sebuah organisasi yang menentang sebuah pemerintahan dan negara-bangsa.

Kita ini seumpama kesebelasan sepak bola Papua yang diharapkan untuk bertanding melawan kesebalasan NKRI, tetapi kesebelasan Papua ini malah tidak punya pelatih, tidak punya menejer, tidak punya sponsor, tidak punya striker, tidak punya pemain tengah, dan tidak punya official. Kita hanya datang sebagai orang Papua ramai-ramai ke lapangan sepak bola, lalu atas dasar kita orang Papua kita beli costume di jalan, lalu kita ramai-ramai melakukan pemanasan untuk bertanding melawan NKRI. Bisa dikatakan kita melawak di panggung politik.

PMNews: Dalam artikel sebelumnya PMNews turunkan berita dari MPP TRWP bahwa pemerintahan Negara Repub Papua harus dibentuk, akan tetapi saran itu tidak dipenuhi oleh KTT ULMWP. Apakah itu pemicu utama kekecewaan TRWP?

TRWP: Kami sudah katakan jelas dalam berita sebelumnya bahwa urusan politik bukanlah urusan kami. Kami cukup memberikan masukan, sementara hasil keputusan politik ialah sepenuhnya kewenangan para diplomat Papua Merdeka.

Yang terjadi sekarang ULMWP masih mau bangsa Papua tetap menderita, dan ULMWP membawa kita bilik abu-abu dalam sejarah perjuangan kita. Katanya bicara untuk Papua Merdeka, tetapi masih belajar ber-organisasi. Jadi, kita yang bergerilya di hutan menjadi bingung dan bertanya, “Apa maksudnya?”

Apa maksud ULMWP dengan terus berputar-putar di lingkaran ber-organisasi?

Kami malah sudah mencurigai, agenda NKRI atau agen-agen NKRI ada dalam tubuh ULMWP.

PMNews: Dari mana TRWP bisa menuduh ada agen NKRI di dalam tubuh ULMWP?

TRWP: Orang Indonesia bilang, “Pohon dikenal dari buahnya”, kita kenal ULMWP dari apa yang dia sudah lakukan sejauh ini. Kan NKRI mau ULMWP tetap menjadi organisasi liar di luar negeri, yang tidak mewakili bangsa Papua. Kan itu juga yang dipertahankan dan ditunjukkan oleh ULMWP. Jadi sekarang pertanyaannya, apakah ULMWP memang betul-betul mau membawa perjuangan Papua Merdeka kepada tahapan yang lebih serius, ataukah hanya sekedar menghibur diri dengan dansa-dansa politik di atas penderitaan rakyat jelata yang kian hari kian dihabisi?

Pertanyaan langsung ialah: “Apa artinya organisasi ULMWP mengkleim diri berjuang untuk Papua Merdeka?” ULMWP harus menjawab dengan daftar jawaban yang bisa memberikan kita petunjuk bahwa memang benar mereka memperjuangkan aspirasi bangsa Papua, dan aspirasi itu ialah membentuk sebuah pemerintahan dan pemerintahan dimaksud adalah pemerintah Negara Republik West Papua.

PMNews: Kami merasa pernyataan ini cukup serius, dan mungkin menyinggung perasaan para pejuang Papua Merdeka!

TRWP: Apakah kami harus berbicara memihak kepada perasaan orang ataukah kepada kenyataan apa yang kami rasakan di lapangan di Tanah Papua? Perjuangan ini telah berlangsung selama lebih dari setengah abad. Perjuangan ini dijalankan oleh organisasi. Selama ini perjuangan kita dianggap Indonesia sebagai organisasi liar, pengacau, dan dunia internasional mengganggap sebagai organisasi non-pemerintahan, yang berjuang untuk memisahkan diri dari pemerintahan negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang sah.

ULMWP itu organisasi separatis, dan dengan apa yang dihasilkannya kemarin jelas menunjukkan bahwa ULMWP masih senang dipanggil NGO separatis.

Secara hukum internasional, untuk menentang pemerintahan resmi dari sebuah negara-bangsa yang adalah anggota PBB, maka apa yang harus kita bukankah melawan sebuah negarai dengan organisasi liar. Kita harus tahu siapa yang layak melawan negara-bangsa?

PMNews: Semakin jelas bagi kami bahwa TRWP kecewa karena ULMWP tidak membentuk pemerintahan.

TRWP: Kami tahu, para agen NKRI yang dikirim untuk menghadiri KTT ULMWP ini pasti juga ditodong bahwa kalau mereka tidak sanggup menggagalkan ULMWP membentuk pemerintahan, maka nyawa mereka juga terancam. Oleh karena itu, demi keselamatan nyawa dari orang Papua yang saat ini menjadi kaki-tangan NKRI, maka kami terima hasil yang telah dicapai. Tetapi kami harus tetap berketetapan bahwa hasil ini tidak memusakan.

PMNews: Bagaimana kalau ULMWP nanti bentuk pemerintahan?

TRWP: Kami harus terus-terang, bahwa selain ada agen NKRI di dalam tubuh ULMWP, para pemain kunci ULMWP juga dimasuki oleh agen-agen rahasia asing, Amerika Serikat dan Australia, yang menghendaki agar West Papua tidak merdeka dan tetap berada di dalam NKRI.

Dan orang-orang inilah yang mereka jadikan sebagai penasehat mereka. Dan selama ini, baca saja pernyataan mereka, kelihatan jelas, pernyataan yang mereka keluarkan dulu dan sekarang tidak sama. Saat ini mereka terlihat berbicara atas pesan-pesan dari pihak lain, bukan pesan-pesan orang tua mereka di hutan lagi.

Ini yang sudah terjadi pada para tokoh gerilyawan yang pernah keluar dari Tanah Papua dan tinggal di luar negeri. Lama-kelamaan mereka menjadi orang putih, tidak berpikir seperti orang Papua lagi, menganggap pendapat orang Papua sebagai ketinggalan zaman, tidak tahu, masih harus diajar untuk berjuang, dan sebagainya. Mereka menjadi koknas (kepala), di luar hitam, di dalam putih.

Ini mentalitas penjajah, dan mentalitas inilah yang sudah dianut oleh orang-orang ULMWP. Kami kaget menyaksikan drama ini.

PMNews: Kami harap drama ini akan berakhir dengan solusi yang jelas bagi bangsa Papua.

TRWP: ULMWP masih berputar-putar di lingkaran “ego pribadi” dan “ego kelompok”. Ini adegan utama. Lalu adegan pendukung ialah agen asing yang lalu-lalang secara jarak dekat dan jarak jauh sehingga orang Papua di dalam ULMWP sudah tidak berpikir sebagai orang Papua lagi, tetapi mereka berpikir demi kepentingan pesan-pesan yang mereka sendiri tidak sadari, padahal pesan mereka bertujuan untuk mengulur-ulur waktu kemerdekaan West Papua.

Siapapun di dunia ini, saat ego menjadi patokan utama dalam hidup kita, maka kepentingan umum pasti akan dikorbankan. Kita akan bertindak tidak tahu diri. Dan semakin kita menganggap orang tua di hutan tidak tahu apa-apa, dan kita yang di luar negeri yang lebih tahu banyak, maka kita sudah ada dalam jerat Lucifer yang menganggap dirinya jagoan dan dilempar Tuhan ke dalam Bumi dan diberi nama Iblis.

PMNews: Apa saran untuk ULMWP ke depan?

TRWP: Kami tidak punya saran apa-apa, karena sudah jelas akan percuma dan tidak bermanfaat.

Pada titik ini kami cukup tiba pada kesimpulan sementara bahwa ULMWP telah diracuni oleh agen-agen asing yang lebih suka melihat bangsa Papua menderita, dibunuh, diteror dan dijajah, sampai selama-lamanya.

Hanya satu kemungkinan saja yang akan membuat kita membangun kembali kepercayaan kami kepada ULMWP, yaitu kalau ULMWP berhenti berorganisasi, tetapi lebih mengarah kepada berpemerintahan. Kalau tidak, orang Papua siapa yang bisa percaya bahwa ULMWP beigut berguna untuk Papua Merdeka? TRWP jelas tidak pada posisi itu!

Jamin hak penentuan nasib sendiri, PBB adopsi resolusi usulan Pakistan

 Duta besar Pakistan untuk PBB, Maleeha Lodhi - Dailytimes Pakistan
Duta besar Pakistan untuk PBB, Maleeha Lodhi – Dailytimes Pakistan

Jayapura, Jubi – Sebuah komite di Majelis Umum PBB, Selasa (22/11) mengadopsi resolusi usulan Pakistan yang menegaskan hak rakyat universal untuk menentukan nasib sendiri sebagai syarat fundamental bagi jaminan dan penegakan hak azasi manusia.

Resolusi yang disponsori bersama oleh 72 negara, diadopsi dengan suara bulat dalam Komite Ketiga Majelis yang menangani isu-isu sosial kemanusiaan dan kebudayaan beranggotakan 193 negara . Selain Pakistan, negara lain yang mensponsori adalah Tiongkok, Mesir, Iran, Nigeria, Saudi Arabia, Lebanon, Malaysia dan Brazil.

Seperti dilansir Thenews Pakistan dan Daily times Pakistan, Rabu (23/11/2016), para pengamat politik percaya bahwa resolusi yang sudah diajukan Pakistan sejak tahun 1981 itu bertujuan untuk menarik perhatian dunia pada perjuangan rakyat atas haknya azasinya untuk penentuan nasib sendiri, termasuk rakyat di Kashmir dan Palestina.

Resolusi itu akan diajukan untuk mendapat dukungan Majelis Umum PBB bulan depan.

Teks resolusi itu juga menyatakan bahwa 193 negara anggota komite secara tegas menolak tindakan intervensi militer asing, agresi dan pendudukan karena telah berakibat pada penindasan hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri serta hak-hak azasi lainnya di berbagai belahan dunia.

Resolusi itu juga menyerukan kepada negara-negara yang bertanggung jawab (atas tindakan tersebut) agar menghentikan segera intervensi militernya dan pendudukan di teritori atau negara lain, serta menghentikan segala bentuk represi, diskriminasi, eksploitasi dan tindakan tak berperikemanusiaan lainnya.

Maleeha Lodhi, Duta Besar Pakistan untuk PBB yang memaparkan rancangan resolusi itu mengatakan bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri adalah prinsip fundamental Piagam PBB dan hukum internasional.

“Dijalankannya hak ini akan membuat jutaan rakyat diseluruh dunia sanggup bangkit dari cengkeraman pendudukan asing dan kolonial serta dominasi asing,” ujarnya. Dia juga memberi tekanan bahwa semua negara yang hadir di tempat itu adalah hasil dari warisan perjuangan tersebut sehingga dapat hidup sebagai warga negara bebas dan negara yang merdeka.

Dia mengingatkan bahwa di tahun 1952, Professor legendaris Ahmad Shah Bukhari, Wakil Permanen Pakistan di PBB pertama, pernah berbicara di hadapan Dewan Keamanan PBB terkait persoalan Tunisia.

“Apapun tindakan yang diambil Dewan Keamanan menurut kehendak mereka, silahkan saja, (tetapi) kami akan tetap mempertahankan (hak) ini tetap hidup di hati kami dan kami akan berjuang sebaik yang kami bisa,” ujar Lodhi menirukan Shah Bukhari.

Lodhi juga menegaskan dirinya merasa bangga karena sudah memelihara cita-cita tersebut tetap hidup dan sudah memberikan suara atas kehendak kebebasan di Afrika, Asia dan seluruh dunia.

Sementara itu, seperti dilansir Associated Press Pakistran (3/11), saat sidang Komite Ketiga berlangsung, delegasi India sempat membantah pernyataan Lodhi dengan menuduh perjuangan Kashmir untuk kebebasan adalah wujud terorisme. Namun delegasi Pakistan menolak keras pernyataan itu, dan menegaskan bahwa gerakan Kashmir adalah perjuangan damai untuk pembebasan dari cengkeraman India.

Awal Oktober lalu, dalam suatu dialog di samaa.tv Pakistan, Lodhi dengan tegas menyatakan bahwa agenda dekolonisasi PBB tidak lengkap tanpa resolusi untuk rakyat Kashmir dan Jammu. Dia juga merujuk pada tragedi di Palestina yang terus meningkat.

“Penolakan terhadap hak penentuan nasib sendiri rakyat Palestina adalah sebab paling mendasar konflik dan penghambat perdamaian yang abadi,” ujarnya.(*)

PBB Setujui Resolusi tentang Hak Menentukan Nasib Sendiri

Duta Besar Pakistan untuk PBB, Maleeha Modi (Foto: Time of Islamabad)
Duta Besar Pakistan untuk PBB, Maleeha Modi (Foto: Time of Islamabad)

NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Sebuah komite yang bertanggung jawab kepada Majelis Umum PBB pada hari Senin (21/11) dengan suara bulat mengeluarkan resolusi yang disponsori Pakistan yang menegaskan kembali bahwa realisasi universal hak masyarakat untuk menentukan nasib sendiri adalah kondisi mendasar bagi jaminan efektif dan ketaatan pada Hak Asasi Manusia (HAM).

Resolusi itu ikut disponsori oleh 72 dari 193 negara anggota komite, dan diadopsi secara aklamasi tanpa pemungutan suara.

Komite ini disebut juga Komite Ketiga, yang menangani isu-isu kemanusiaan, budaya dan sosial.

Resolusi ini diharapkan akan diajukan dan disahkan pada sidang Majelis Umum PBB bulan depan.

Salah satu bagian dari isi resolusi menyatakan bahwa 193 negara anggota komite dengan tegas menentang intervensi militer, agresi dan pendudukan militer asing karena hal tersebut mengakibatkan  penindasan hak masyarakat untuk menentukan nasib sendiri dan hak asasi manusia di beberapa belahan dunia.

Resolusi tersebut menyerukan kepada negara-negara yang bertanggung jawab agar menghentikan intervensi militernya dan pendudukannya di teritori asing serta mengakhiri semua tindakan eksploitasi, represi, diskriminasi dan penganiayaan.

Menurut laporan geo.tv , ketika menyampaikan draft resolusi tersebut, Duta Besar Pakistan untuk PBB, Maleeha Lodhi, mengatakan hak untuk menentukan nasib sendiri adalah prinsip dasar Piagam PBB dan hukum internasional.

“Melakukan hak ini akan memungkinkan jutaan orang di seluruh dunia bangkit dari  pendudukan kolonial dan asing dan dominasi asing,” kata dia.

Ia menambahkan: “banyak dari kita yang hadir di sini hari ini adalah pewaris dari perjuangan untuk mencapai kehidupan yang bermartabat dan terhormat sebagai warga negara bebas di negara merdeka.”

Majelis Umum PBB telah mendesak Dewan HAM PBB untuk  memberikan perhatian khusus pada pelanggaran HAM terutama yang dikaitkan dengan hak untuk menentukan nasib sendiri, yang diakibatkan oleh intervensi militer dan agresi asing atau pendudukan asing.

Sekretaris Jenderal PBB diminta melaporkannya pada sesi Sidang Umum PBB berikutnya.

PBB Surati RI Tanyakan Pembunuhan Orang Asli Papua

SUVA, FIJI, SATUHARAPAN.COM – Sebuah komite yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa, Committee on the Elimination of Racial Discrimination (CERD) diketahui telah mengirimkan surat notifikasi kepada perwakilan tetap Indonesia di PBB tentang berbagai tuduhan dan dugaan kekerasan dan diskriminasi rasial di Papua.

Adanya surat ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Pacific Islands Association of NGO’s (PIANGO), Emele Duituturaga,  dalam sebuah siaran persnya yang dipublikasikan pertama kali oleh Fiji Times akhir pekan lalu. PIANGO adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat berbasis di Suva, Fiji, dan selama ini bergiat mengadvokasi hak-hak orang asli Papua sebagai bagian dari rumpun Melanesia.

Surat notifikasi tersebut, menurut Duituturaga, ditulis oleh ketua CERD, Anastasia Crickley, yang memberitahukan kepada perwakilan tetap Indonesia di PBB bahwa berbagai tuduhan pembunuhan dan kekerasan terhadap penduduk asli Papua belakangan ini telah menjadi perhatian Komite dalam sesi pertemuan mereka.

“Saya menginformasikan kepada Anda bahwa pada sesi ke-90, CERD telah mempertimbangkan, di bawah prosedur peringatan dini dan aksi mendesak, tuduhan penggunaan kekerasan berlebihan, penangkapan, pembunuhan dan penyiksaan orang-orang asli Papua di Papua, Indonesia, dan tuduhan tentang diskriminasi terhadap orang-orang tersebut, yang telah diangkat untuk diperhatikan oleh lembaga swadaya masyarakat,” tulis Crickley dalam suratnya tertanggal 3 Oktober.

Surat itu mengutip laporan yang mengatakan bahwa antara April 2013 dan Desember 2014, pasukan keamanan telah membunuh 22 orang, terkait dengan sejumlah unjuk rasa. Dikatakan pula, sejumlah orang lainnya juga telah terbunuh atau terluka sejak Januari 2016.

Lebih jauh, disebutkan bahwa ada laporan bahwa pada bulan Mei 2014 lebih dari 470 orang asli Papua ditangkap di berbagai kota di Papua terkait dengan unjuk rasa menentang ekstraksi dan kegiatan perkebunan.

“… penangkapan tersebut telah dilaporkan meningkat sejak awal 2016 mencapai 4000 orang antara April dan Juni 2016 dan termasuk menangkap aktivis hak asasi manusia dan wartawan. Tindakan-tindakan seperti yang dilaporkan ini tidak pernah diselidiki dan mereka yang bertanggung jawab bebas tanpa hukuman.”

Dikatakan, bahwa laporan yang mengangkat isu ini ke CERD  mengklaim bahwa represi terhadap orang asli Papua merupakan akibat dari salah tafsir dan kurangnya pelaksanaan yang benar UU Otsus oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat Indonesia. Laporan itu juga  mengklaim bahwa tindakan-tindakan pasukan keamanan melanggar hak-hak kebebasan berkumpul dan berserikat.

Duituturuga yang selama ini sangat kritis terhadap Indonesia, mengatakan surat ini merupakan sinyal keseriusan PBB menghadapi isu ini. Menurut dia, CERD memberi waktu Indonesia sampai 14 November untuk memberikan informasi untuk menjawab tuduhan-tuduhan itu. Di antara jawaban yang diharapkan adalah tentang status implementasi UU Otonomi Khusus Papua serta langkah-langkah yang telah diambil untuk menjamin perlindungan efektif terhadap orang asli Papua terhadap penangkapan dan penahanan sewenang-wenang serta ancaman pencabutan nyawa.

Menurut Duituturuga, kalangan LSM internasional bersama dengan CERD menunggu jawaban Indonesia pada 14 November nanti.

Editor : Eben E. Siadari

Momentum dekolonisasi Pasifik dorong Gutterres bersikap?

Aksi pengucapan syukur KNPB kepada tujuh negara Pasifik yang membawa masalah Papua ke Majelis Umum PBB (19/9/2016) - Jubi/Zely Ariane
Aksi pengucapan syukur KNPB kepada tujuh negara Pasifik yang membawa masalah Papua ke Majelis Umum PBB (19/9/2016) – Jubi/Zely Ariane

Jayapura, Jubi – Atmosfer dekolonisasi di Pasifik dan dorongan pemerintah serta masyarakat sipil Kepulauan Pasifik terhadap status politik Papua menjadi momentum penting yang berkemungkinan mendorong Sekretaris Jenderal PBB yang baru, Antonio Gutterres untuk bersikap.

Dr. Cammi Webb-Gannon, pemerhati West Papua dari Universitas Sydney, mengatakan tingkat pendiskusian terkait penentuan nasib sendiri dan hak azasi manusia West Papua di Sidang PBB bulan lalu merefleksikan momentum baru menuju dekolonisasi Pasifik.

Peran Perdana Menteri Manasseh Sogavare sebagai ketua MSG dan perdana Menteri Kepulauan Solomon patut dicatat sebagai faktor pendorong penting dalam proses itu, demikian menurut Dr Webb-Gannon seperti dilansir RNZI, Selasa (18/10/2016).

“TIdak saja Sogavare sudah mendorong bertambahnya negara Pasifik berbicara terkait West Papua di Majelis Umum PBB, tetapi dia juga berusaha agar isu tersebut dibawa hingga ke komite dekolonisasi PBB,” ujarnya.

Inilah kali pertama setelah puluhan tahun, lanjutnya, rakyat West Papua berhasil membawa persoalan mereka sampai ke radar internasional, “dan hal itu dimungkinkan karena kerja luar biasa yang dilakukan oleh negeri-negeri Pasifik,” ungkap Webb.

Sementara wakil United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Pasifik, Akouboo Amatus Douw, menanggapi terpilihnya Antonio Gutterres sebagai Sekretaris Jenderal PBB yang baru, berharap Gutterres dapat membantu rakyat Papua memfasilitasi ajakan tujuh negara Pasifik di sidang umum PBB lalu untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM di Papua.

Terkait jasa Gutterres, mantan PM Portugal terhadap kemerdekaan Timor Leste, Douw menilai hal itu memang menguntungkan Timor Leste, namun menurut dia, Belanda tidak memenuhi kewajiban moralnya terhadap rakyat Papua seperti yang dilakukan Portugal.

Douw mencatat peran Gutterres selagi dia masih memimpin UNHCR. Menurut Douw UNHCR telah memberikan bantuan hukum dan kemanusiaan kepada lebih dari 10,000 pengungsi West Papua di PNG.

“Estimasi kasar saya sekitar 30,000 pengungsi politik Papua diseluruh dunia saat ini, termasuk saya,” kata Douw.

Alasan utama orang-orang Papua meninggalkan Papua, lanjutnya, akibat penyangkalan hak atas penentuan nasib sendiri di negerinya.

“Saya punya pikiran positif terkait prioritas Gutterres untuk ikut mengatasi masalah kami,” tegasnya.(*)

LP3BH: Antonio Guterres, “Angin Segar” Bagi HAM Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Terpilihnya Antonio Guterres sebagai Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (Sekjen PBB) dalam sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, Kamis (13/10/2016) lalu, disambut baik Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari yang berharap ada perubahan bagi persoalan hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua.

Selain menyampaikan selamat dan sukses kepada Antonio Guterres, Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif LP3BH, mengatakan, mantan perdana menteri Portugal yang dipilih secara aklamasi oleh 193 negara anggota PBB itu diharapkan sebagai “angin segar” bagi rakyat Papua, terutama perlindungan HAM.

“LP3BH sebagai organisasi masyarakat sipil (OMS) dan advokasi hak asasi manusia di Tanah Papua, menyambut terpilihnya Antonio Guterres dengan harapan dapat merespon secara positif situasi hak asasi manusia yang sangat buruk sepanjang lebih dari 50 tahun di Tanah Papua,” ungkap Warinussy, dalam press release yang diterima media ini, Senin (17/10/2016).

Menaruh harapan besar baginya karena hal itu sebagaimana telah digambarkan dan disampaikan dalam pidato dari tujuh pemimpin dan utusan khusus negara-negara Pasifik seperti Vanuatu, Nauru, Kepulauan Solomon, Kepulauan Marshall, Tonga, Tuvalu, dan Palau.

Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua ini lebih lanjut menjelaskan, dalam pidato dari tujuh pemimpin dan utusan negara-negara Pasifik intinya meminta agar PBB melalui Majelis Umum dan Sekjen PBB melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran HAM dan mengirimkan Pelapor Khusus soal anti penyiksaan dan kebebasan berekspresi masuk ke Papua Barat.

Menurut pandangan Warinussy, Sekjen PBB yang baru terpilih itu tentu berada pada posisi yang strategis dan sangat menentukan dalam konteks perlindungan hak asasi manusia dari kurang lebih 2 juta orang asli Papua yang kini sedang terancam secara fisik dan psikis di atas tanah airnya sendiri, akibat model pendekatan keamanan (security approach) yang terus ditingkatkan dari waktu ke waktu oleh Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

“Tidak adanya respon yang jelas dan jujur dari Pemerintah Indonesia dalam menyikapi upaya penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun berdasar hukum, telah cukup menjadi argumen yang mendasar dan utama bagi LP3BH Manokwari untuk meminta perhatian Sekjen PBB terhadap situasi pelanggaran HAM di Tanah Papua yang terus berlangsung hingga hari ini,” jelas peraih penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award”

Tahun 2005 di Montreal-Canada ini.

“Sangat tepat jika Sekjen PBB Antonio Guterres dapat mendukung dan mendorong lahirnya Resolusi Majelis Umum PBB untuk mengirimkan misi pencari fakta dan pelapor khusus, demi kepentingan investigasi kemanusiaan yang netral, transparan, imparsial dan adil terhadap situasi pelanggaran HAM di Tanah Papua sebelum akhir tahun 2016 ini,”

tandasnya.

Siapa Antonio Guterres?

Ia dikenal sebagai advokat yang konsisten terhadap demokrasi dan perdamaian.

Sebelumnya, selepas Perdana Menteri Portugal dari tahun 1995-2002, ia menjabat sebagai Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) pada 2005-2015.

Antonio Guterres juga disebut-sebut punya jasa besar bagi Timor Timur. Ia sosok penting bagi perjuangan kemerdekaan Timor Timur.

Ban ki-Moon menjabat Sekjen PBB dua periode atau sepuluh tahun, akan mengakhiri masa jabatannya pada akhir tahun ini. Selanjutnya per 1 Januari 2017, Antonio Guterres secara resmi memulai menjalankan tugasnya.

Pewarta: Mary Monireng

PNG : Masalah HAM Papua harus ditangani oleh PBB atau MSG

Port Moresby, Jubi – Pemerintah Papua Nugini (PNG) menegaskan kembali sikap mereka terhadap isu Papua yang belakangan ini semakin menguat di forum regional maupun internasional.

“Setiap masalah Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua harus ditangani oleh lembaga-lembaga seperti PBB atau MSG,” kata Menteri Luar Negeri dan Imigrasi PNG Rimbink Pato kepada wartawan di Port Moresby.

Lanjut Pato, posisi PNG terhadap masalah Papua selalu jelas. PNG tetap menganggap Papua adalah bagian integral dari Indonesia dan mengenai dugaan pelanggaran HAM, ada lembaga yang menanganinya.

“Papua Nugini selalu jelas pada isu Papua. Apa yang sangat jelas adalah masalah hak asasi manusia. Jika ada dugaan, dan memang ada, itu adalah hal-hal yang dapat dilihat oleh institusi di seluruh dunia. Ada sejumlah lembaga yang berhubungan dengan isu-isu ini seperti MSG dan PBB,” kata Pato.

Namun soal penentuan nasib sendiri, posisi PNG sangat jelas bahwa Papua tetap merupakan bagian integral dari Indonesia.

“PNG memiliki hubungan yang kuat dengan Indonesia dan memiliki berbagai macam perjanjian dan kerjasama,” jelas Pato.

Pada Sidang Umum PBB baru-baru ini di New York, enam negara pulau Pasifik – Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga – menyatakan keprihatinan atas apa yang terjadi di Papua

Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare mengatakan dugaan pelanggaran HAM di Papua ini berkaitan dengan dorongan dan keinginan rakyat Papua memperjuangkan kemerdekaannya. (*)

Tiga negara tegaskan hak penentuan nasib sendiri West Papua di PBB

Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare, dalam pidatonya dihadapan Majelis Umum PBB Jumat, (23/9/2016) mendukung hak penentuan nasib sendiri West Papua - unmultimedia.org
Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare, dalam pidatonya dihadapan Majelis Umum PBB Jumat, (23/9/2016) mendukung hak penentuan nasib sendiri West Papua – unmultimedia.org

Manasseh Sogavare menekankan hubungan tak terpisahkan antara pelanggaran HAM dan kehendak penentuan nasib sendiri West Papua sebagai dua sisi pada mata koin yang sama, karena keinginan menentukan nasib sendiri itu berdampak langsung pada pelanggaran HAM yang dialami oleh rakyat West Papua selama ini.

Jayapura, Jubi – Tiga negara, Kepulauan Solomon, Vanuatu dan Tuvalu, menekankan dukungan mereka atas hak penentuan nasib sendiri West Papua di hadapan sesi Debat Majelis Umum PBB ke-71, Jumat (23/9/2016) di New York City-Amerika Serikat.

Pelanggaran HAM dan kehendak penentuan nasib sendiri West Papua adalah dua sisi pada mata koin yang sama, karena keinginan untuk menentukan nasib sendiri itu berdampak langsung pada pelanggaran HAM yang dialami oleh rakyat West Papua selama ini.

Manasseh Sogavare menekankan hubungan tak terpisahkan itu dalam pesan pidatonya untuk West Papua sepanjang 1 Menit 79 detik di hadapan 193 negara-negara anggota PBB.

“Kepulauan Solomon ikut prihatin atas pelanggaran HAM terhadap orang Melanesia di West Papua. Pelanggaran HAM di West Papua dan perjuangan untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri adalah dua sisi dari koin yang sama,” tegasnya.
Dia menyatakan berbagai laporan terkait pelanggaran HAM di West Papua menunjukkan bahwa keinginan menentukan nasib sendiri berdampak langsung pada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia di Papua yang bertujuan untuk memperkecil segala bentuk oposisi (terhadap Indonesia).

Secara khusus Perdana Menteri Solomon juga menggarisbawahi penghormatan terhadap kedaulatan suatu negara sebagai hal yang penting. Namun, dia tegaskan, keabsahan yurisdiksi (status hukum) atas kedaulatan tersebut juga harus menjadi perhatian.

“Jika yurisdiksi kedaulatan itu berdiri atas dasar rangkaian keputusan yang masih dipertanyakan, maka sudah sepatutnya menggunggat keabsahaan argumen kedaulatan itu, dalam hal ini terkait keputusan New York Agreement 1962, dan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 (di West Papua),” ujar dia.

New York Aggrement 1962 adalah kesepakatan yang ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia terkait administrasi teritori West New Guinea (sekarang Propinsi Papua dan Papua Barat).

Kesepakatan itu meminta PBB menangani administrasi teritori tersebut, dan menetapkan syarat-syarat sosial yang harus dipenuhi PBB sebelum pemindahan kekuasaan administrasi kepada pemerintah Indonesia. Kesepakatan tersebut ditandatangani 15 Agustus di Markas Besar PBB, New York City difasilitasi oleh Amerika Serikat.

Hal senada dinyatakan oleh Charlot Salwai Tabimasmas, Perdana Menteri Republik Vanuatu, yang meneruskan pernyataan Manasseh Sogavare untuk mendesak PBB mengambil inisiatif dan tindakan kongkrit untuk mengatasi persoalan West Papua.

“Masalah HAM di West Papua masih belum terurai. Dengan keyakinan moral yang sama seperti yang disampaikan sebelumnya, mendesak PBB mengambil tindakan kongkrit untuk mengatasi persoalan ini. PBB hendaknya tidak tutup mata atas HAM yang dilanggar di West Papua. Rakyat di sana sudah meminta dukungan PBB dan mencari terang atas harapan mereka terhadap kebebasan untuk menjalankan hak azasi di atas tanah mereka agar dapat bebas menegaskan kembali identitanya,” ujar Salwai.
Sementara itu, Enele Sosene Sopoaga, Perdana Menteri Tuvalu, menekankan prinsip penentuan nasib sendiri sebagai hak yang harus dihormati dan dimuliakan.

“Pelanggaran HAM di West Papua dan kehendak mereka untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri, adalah kenyataan. Kenyataan itu tidak boleh terus menerus diabaikan oleh lembaga besar dan aula hebat ini. Badan ini harus memperhitungkan, tidak boleh membiarkan tindakan-tindakan yang bersembunyi dibalik topeng “non-intervensi” dan kedaulatan, sebagai alasan untuk tidak bertindak apa-apa,” tegas Sopoaga dengan nada yang sama atas sikapnya terhadap Taiwan.

Dia menuntut PBB harus bertindak terkait isu tersebut, “dan mencari solusi yang bisa dikerjakan untuk memberi otonomi bagi masyarakat asli West Papua,” ujarnya.

Respon Pemerintah Indonesia

Sehari sebelumnya, Kamis (22/9/2016) Presiden Kepulauan Marshall, Hilda Heine, perempuan pertama yang memimpin di kawasan Pasifik, juga menegaskan komitmen negaranya terhadap hak azasi manusia di West Papua, dan meminta PBB melakukan kerja kongkrit.

“Saya meminta Dewan HAM PBB memulai penyelidikan yang kredibel dan independen terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di West Papua,” ujarnya.
Demikian pula Nauru (22/9) menekankan keprihatinannya terhadap situasi West Papua.

“Nauru juga sangat prihatin atas situasi yang terjadi di West Papua, termasuk pelanggaran HAM seperti yang ditekankan oleh hasil komunike Pacific Islands Forum (PIF), bahwa penting segera ada dialog terbuka dan konstruktif dengan Indonesia terkait situasi ini.”
Terkait hal itu, Kepulauan Solomon meminta negara Indonesia bekerja sama mengatasi pelanggaran HAM di West Papua.

“Menambah suara-suara dari negara-negara anggota lainnya; organisasi masyarakat sipil, yang prihatin atas pelanggaran HAM di West Papua; sebagai pemimpin MSG, dimana Indonesia sebagai associate member dan ULMWP sebagai observer, Kepulauan Solomon menegaskan perlunya hubungan konstruktif dengan indonesia dan berharap agar indonesia bekerja sama untuk mengatasi pelanggaran HAM di Papua,” ujar Sogavare di pengujung pidatonya terkait West Papua.

Seperti diketahui, Kepulauan Solomon memimpin Koalisi Kepulauan Pasifik untuk West Papua (PICWP) yang didukung oleh Vanuatu, Tuvalu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tonga, FLNKS-Kaledonia Baru, ULMWP dan Aliansi NGO Kepulauan Pasifik (PIANGO).

Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, pada kesempatan yang sama, Jumat (23/9) tampak tidak memberikan pernyataan apapun terkait West Papua. Wapres Kalla menegaskan komitmen Indonesia pada perdamaian dunia, persoalan Israel dan Palestina serta isu-isu pembangunan secara umum.

Seperti diketahu, keputusan komunike Pasifik Islands Forum (PIF) tahun 2015 membentuk misi ‘Tim Pencari Fakta’ ke West Papua, tidak ditanggapi pemerintah Indonesia karena tidak nyaman dengan istilah tersebut, sambil terus menegaskan kedaulatan Indonesia atas West Papua.

Berdasarkan laporan Human Right Watch (HRW) tahun 2015, yang bertajuk Indonesia’s Restrictions on Media Freedom and Rights Monitoring in Papua, sejak tahun 2006 hingga tahun 2013, upaya utusan-utusan khusus PBB memonitor persoalan HAM di Papua tidak membuahkan hasil.

Bulan Januari 2006, Juan Mendez, special envoy Sekjen PBB terkait pencegahan genosida, menyatakan keprihatinannya atas hambatan pemerintah Indonesia terhadap pengawasan HAM di Papua. Pada tahun 2013, pemerintah Indonesia juga tidak menggubris permintaan kunjungan oleh Special Rapporteur PBB, Frank La Rue, terkait promosi dan perlindungan hak berpendapat dan berekspresi.

“Dengan nada ramah, mereka berjanji: ‘Ya, kami sedang menentukan tanggal yang tepat, kami senang sekali menerima anda, dan sedang mencari tanggal yang tepat.’ Namun tanggal itu tidak pernah ada. Itu kan bentuk penolakan dengan cara halus. Saya kira itu menunjukkan banyak hal sedang disembunyikan di Papua,” ujar Frank La Rue seperti dikutip oleh laporan tersebut.(*)

Yeimo: PIF Leaders Dorong West Papua ke PBB

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — “Para pemimpin mengakui sensitivitas isu Papua dan setuju bahwa tuduhan pelanggaran HAM di Papua tetap menjadi agenda mereka. Para pemimpin juga menyepakati pentingnya dialog yang terbuka dan konstruktif dengan Indonesia terkait dengan isu ini.”

Ini bunyi poin 18 dari komunike bersama para pemimpin Pasifik yang tergabung dalam Pacific Islands Forum (PIF) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-47 yang berlangsung di Pohnpei, ibukota negara federal Mikronesia, 7 hingga 11 September 2016.

Hal ini senada dengan pernyataan Sekretaris Jenderal PIF, Dame Meg Taylor yang berbicara sebelum KTT ini berlangsung. Menurutnya, isu Papua dianggap sensitif oleh beberapa pemerintah di Pasifik walaupun isu tersebut tetap masuk dalam agenda untuk dibahas.

Victor F. Yeimo, tim kerja ULMWP yang juga ketua umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), mengatakan, perjuangan bangsa Papua makin menggema di tingkat internasional dengan dukungan dari negara-negara Pasifik.

“Satu langkah kita, negara-negara Pasifik sudah membulatkan tekad untuk dorong masalah hak penentuan nasib sendiri dan persoalan pelanggaran hak asasi manusia ke PBB,” demikian Yeimo kepada suarapapua.com melalui keterangan tertulis, malam ini.

Tentang komunike PIF ke-47 tahun 2016, sedikitnya 46 poin terbagi dalam 19 bagian yang dihasilkan di akhir KTT kali ini.

Ia menyebutkan tiga poin penting bagi Papua Barat dari komunike bersama para pemimpin negara-negara Pasifik.

Pertama, negara-negara Pasifik mengakui sensitifitas masalah politik West Papua.

Kedua, PIF menyetujui agar tetap menempatkan masalah HAM dalam agenda.

Ketiga, menjaga untuk melakukan dialog konstruktif dengan Indonesia.

KTT dihadiri pemimpin negara dan pemerintahan Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Republik Nauru, Selandia Baru, Papua Nugini, Republic of Marshall Islands, Samoa, Tonga, Tuvalu dan Vanuatu.

Solomon Islands diwakili Deputi Perdana Menteri, sedangkan Fiji, Niue dan Republik Papau diwakili menteri luar negeri. Kiribati diwakili utusan khusus.

Selain anggota, KTT kali ini dihadiri pula anggota associate, yaitu French Polynesia, Kaledonia Baru dan Tokelau yang diperkenankan turut dalam sesi-sesi resmi.

Peninjau di KTT PIF adalah The Commonwealth of the Northern Marianas Islands, Timor Leste, Wallis dan Futuna, Bank Pembangunan Asia, the Commonweath Secretariat, PBB, the Western and Central Pacific Pacific Fisheries Agency (PIFFA), Pacific Power Association (PPA), Secretariat of Pacific Community (SPC), Secretariat of the Pacific Regional Environment Programme (SPREP) dan the University of the South Pacific (USP).

Sesuai keputusan, KTT PIF tahun depan akan diselenggarakan di Samoa, sedangkan KTT PIF 2018 di Nauru dan 2019 di Tuvalu.

Salah satu keputusan penting dari KTT PIF ke-47, diterimanya French Polynesia dan Kaledonia Baru sebagai anggota penuh. Di mata sementara kalangan ini sebuah keputusan berani karena French Polynesia dan Kaledonia Baru adalah wilayah kekuasaan Prancis, yang pada KTT ini diwakili dua organisasi yang berjuang untuk menggelar penentuan nasib sendiri.

Pewarta: Mary Monireng

Ribuan Mahasiswa Papua Unjuk Rasa, Protes New York Agreement

TEMPO.CO, Jayapura – Sekitar seribu warga dan mahasiswa yang menamakan diri Komite Nasional Papua Barat (KNPB), menggelar unjuk rasa di ruas jalan utama Sentani-Abepura, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Senin pagi, 15 Agustus 2016.

Dari pemantauan di lapangan, tampak para pendemo itu datang dari berbagai tempat di Jayapura, seperti dari Kelurahan Waena dan Yabansai, Distrik Heram; dan dari Kelurahan Awiyo, Kota Baru; serta Waimohrock, Distrik Abepura.

Mereka datang menggunakan kendaraan roda dua dan empat, bahkan ada yang berjalan kaki. Sebagian meneriakkan yel-yel merdeka. Beberapa demonstran memegang spanduk atau pamflet bertuliskan, “West Papua”.

Pada puncak aksi, para pengunjuk rasa berkumpul di Lingkaran Abepura, sekitar 5-10 meter dari Markas Polsek Abepura yang bersebelahan dengan kantor Distrik Abepura.

Aparat kepolisian dari Polsek Abepura dan Polres Jayapura Kota dibantu Sabhara dan Brimobda Polda Papua mengatur kelancaran arus lalu lintas yang mulai terlihat macet.

“Demo ini perlu pengawalan aparat, takutnya terjadi hal-hal yang tidak diduga,” kata Jein, seorang warga Abepura pada kantor berita Antara.

Aksi unjuk rasa hari ini sudah direncanakan sepekan lalu. Aksi ini bertujuan untuk memperingati 54 Tahun New York Agreement. Perjanjian yang difasilitasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu dilakukan antara Indonesia dan Belanda tentang masa depan Papua.

Perjanjian inilah yang memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada Indonesia untuk mengontrol Papua Barat (sekarang Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat—) setelah masa transisi singkat di bawah PBB lewat United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) West Guinea.

Bazoka Logo, juru bicara KNPB, menegaskan bahwa New York Agreement adalah akar persoalan politik di Papua, yang juga menjadi salah satu landasan perjuangan pergerakan Papua Merdeka.

“Akar persoalan di Papua itu bukan pembangunan, juga bukan persoalan kesejahteraan dan kemiskinan, tetapi Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang dilakukan tanpa menempatkan orang Papua sebagai subyek,” katanya.

Bazoka menuding Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, serta PBB ketika itu, membahas nasib dan masa depan orang Papua tanpa melibatkan mereka.

ANTARA | TABLOID JUBI

Up ↑

BANANA Leaf Cafes

Multi-Brands, Multi-Purposes

Fly Wamena

Book Flights from & to Wamena

Koteka Tribal Assembly

for Peace and Harmony in New Guinea

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)