Saat Presiden Soekarno Minta Dukungan AS untuk Klaim atas West Irian

Jayapura, Jubi – Tahukah anda jika pada tahun 1961, Presiden Indonesia, Soekarno bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS), John F. Kennedy untuk meminta dukungan AS atas klaim Indonesia pada Papua Barat, yang dulu disebut West New Guinea dan West Irian?

Pertemuan yang terjadi di Gedung Putih, Washington pada bulan April tanggal 24 ini terekam dengan baik oleh Gedung Putih dan diarsipkan oleh Perpustakaan Kennedy. Presiden Soekarno tiba pukul 10:25 AM dan pertemuan berlangsung pukul 10:28 AM hingga menjelang sore.

Pertemuan ini menegaskan konspirasi antara Indonesia, Amerika Serikat dan Belanda atas West New Guinea atau West Irian atau Papua Barat. Tak ada orang Papua yang disebutkan dalam percakapan ini, apalagi terlibat dalam pertemuan.

Sebagian percakapan dalam pertemuan tersebut:
“Sebelum tahun 1950, Amerika mengatakan Indonesia memiliki hak untuk merdeka. Mengapa anda tidak mengatakannya juga sekarang? Mengapa anda tidak mendukung klaim kami atas West Irian. Satu-satunya jawaban yang saya miliki adalah persahabatan anda (AS) dengan Belanda dan hubungan anda dengan NATO. Amerika tak seharusnya memerankan “tightrope dancer” antara Eropa dan Asia, menjaga keseimbangan setiap saat. Maaf Mr. Presiden, saya bicara terus terang,” kata Soekarno pada Kennedy.

“Mengapa anda menginginkan West Irian?” tanya Presiden Kennedy, sambil menambahkan bahwa orang Melanesia adalah ras yang berbeda dan West Irian membuat Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar, lebih dari apa yang didapatkan Belanda dari West Irian.
“Itu bagian negara kami. Harus dibebaskan,” kata Soekarno.

lanjutkan baca percakapan antara Soekarno dan Kennedy.

Vanuatu Minta PBB Akui Kesalahan Sejarah atas West Papua

 

Jayapura, 29/09 (Jubi) – “Bahkan karena Act of Free Choice (Pepera-Red) yang kontroversial, rakyat Papua Barat hingga hari ini selalu ditolak untuk diakui secara sosial oleh PBB,” kata Moana Karkas Kalosil kepada Debat Umum tahunan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 28 September 2013.

Moana menyatakan PBB telah secara konsisten membantah pengakuan untuk Papua Barat. Untuk itu, ia meminta PBB menunjuk seorang Wakil Khusus agar menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia di propinsi Papua dan Papua Barat dan status politik Papua Barat.

“Kita sekarang berunding tentang masalah Suriah , tapi ketika datang ke masalah hak-hak rakyat Papua Barat , suara kami dimatikan bahkan di podium ini.” kata Kalosil dihadapan anggota majelis umum PBB

Kalosil meminta negara-negara anggota PBB untuk tidak terlalu khawatir dengan kesalahan sejarah yang menghasilkan “kesalahan” Act of Free Choice pada Rakyat Papua Barat. Sekarang adalah saatnya untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Karena dengan memperbaiki kesalahan, maka solidaritas PBB akan semakin kuat.

“Bagaimana kita kemudian mengabaikan ratusan ribu orang Papua Barat yang telah secara brutal dipukuli dan dibunuh? Orang-orang Papua Barat meminta PBB bertindak sebagai mercusuar harapan … Mari kita, dengan keyakinan moral yang sama menghasilkan dukungan terhadap penderitaan orang Papua Barat. Sudah saatnya bagi PBB untuk beraksi dan memperbaiki beberapa kesalahan sejarah.” lanjut Kalosil.

Pada bulan Mei Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Navi Pillay menyuarakan keprihatinan atas tindakan kekerasan terhadap demonstrasi massa di provinsi Papua dan menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk memungkinkan protes damai dan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi. ” Belum ada transparansi yang memadai dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia berat di Papua, ” kata Kalosil .

“Jelas dari banyak catatan sejarah bahwa orang Melanesia di Papua Barat adalah kambing hitam politik perang dingin dan dikorbankan untuk memuaskan nafsu atas sumber daya alam yang dimiliki bangsa ini,” kata Kalosil.

Video pidato PM Vanuatu bisa dilihat disini http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=46117&Cr=indonesia&Cr1=#.UkePzj8fiNF (Jubi/Victor Mambor)

 

Source: Penulis : Victor Mambor on September 29, 2013, TabloidJubi.com

Pelapor Khusus PBB Minta Kepastian Kunjungan Ke Indonesia, Juga Papua

Frank La Rue, Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat (Foto: Ist)
Frank La Rue, Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat (Foto: Ist)

Jayapura – Pemerintah Indonesia telah mengundang Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi yang dijadwalkan pada Januari 2013, namun ditunda dengan alasan yang tak diketahui dengan jelas. Kunjungan resmi ini adalah telah dijanjikan oleh pemerintah dalam sidang Universal Periodic Review/Periodik Berkala Universal, pada Maret 2012.

KontraS, The International Coalition Human Rights and Peace for Papua, Fransiscan International and TAPOL meminta Pemerintah Indonesia untuk memberikan perhatian khusus atas pernyataan Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat, Frank La Rue yang meminta Pemerintah untuk memberikan kepastian jadwal kunjungan resmi sebagaimana dinyatakan dalam Dewan HAM PBB ke-23 di Geneva, 3 Juni 2013.

Indria Fernida, aktivis KontraS kepada Jubi, Sabtu (08/06) mengatakan kunjungan resmi Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi mendesak dilakukan.

“Kami memandang bahwa kunjungan resmi Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi mendesak dilakukan mengingat situasi tentang kebebasan berekspresi di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Rencana pengesahan RUU Ormas dan RUU Rahasia Negara yang mengancam kebebasan sipil, kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, serta kekerasan terhadap jurnalis dan pembela HAM yang terus berlangsung adalah potret ancaman terhadap kebebasan berekpsresi di Indonesia.”

kata Indria.

Selain hal-hal tersebut, lanjut Indria, hal lain yang juga paling mengkhawatirkan saat ini adalah situasi di Papua, dimana tampak peningkatan upaya untuk meredam kebebasan berekspresi pada 1 Mei 2013, saat peringatan Pemindahan Administrasi Papua ke Indonesia. Berdasarkan data Papuan Behind Bars, aparat keamanan menembak dua orang hingga tewas dan satu lagi tewas di rumah sakit, 36 orang ditangkap sewenang-wenang, dan 30 orang diantaranya masih ditahan dan beresiko mengalami penyiksaan. Hingga Mei 2013, sebanyak 76 orang tahanan politik berada di berbagai LP di Papua. Beberapa aktivis Maluku juga masih menjadi tahanan politik.

“Pemerintah masih menutup akses masyarakat internasional untuk melakukan pemantauan terhadap situasi HAM di Papua.”
ujar aktivis KontraS yang ikut hadir dalam Sidang HAM PBB di Jenewa, minggu ini.

“Kami kembali mengingatkan bahwa Papua adalah salah satu wilayah prioritas yang harus dikunjungi oleh Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi. Mekanisme ini adalah prosedur internasional yang harus dipatuhi pemerintah sebagai anggota PBB dan juga berlaku bagi negara anggota PBB lainnya.”

lanjut Indria.

Selain itu, menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen Papua, Victor Mambor, keseriusan pemerintah untuk memberikan perhatian khusus atas pernyataan Pelapor Khusus PBB, Frank La Rue sangat penting untuk menunjukkan komitmen Pemerintahuntuk membangun dialog secara damai.

“Jika pemerintah Indonesia bersikap kooperatif atas pernyataan Pelapor Khusus PBB, Frank La Rue yang meminta Pemerintah untuk memberikan kepastian jadwal kunjungan resminya, ini menunjukkan komitmen Pemerintah dalam memenuhi hak-hak berekspresi dan berpendapat di Papua sekaligus merealisasikan inisiatif untuk membangun dialog secara damai. Membuka akses internasional di Papua dapat menjadi upaya positif dalam menunjukkan keseriusan sikap Pemerintah.”

kata Mambor.(Jubi/Musa Abubar)

June 8, 2013,18:34,TJ

Komisioner HAM PBB Desak Indonesia Buka Akses Jurnalis Asing Ke Papua

Pena Pers (IST)
Pena Pers (IST)

Jayapura – Insiden kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan Papua tanggal 30 April dan 1 Mei 2013 lalu, mengundang PBB untuk berekasi. Salah satu dari reaksi PBB itu adalah desakan agar Indonesia membuka akses bagi jurnalis internasional ke Papua.

Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia melalui rilis yang diterima tabloidjubi.com, Kamis (03/05), menyatakan keprihatinan atas larangan kebebasan berekspresi yang terjadi di Papua.

“Selama misi saya ke Indonesia bulan November lalu, saya menyatakan keprihatinan untuk aktivis Papua yang dipenjara karena larangan kebebasan berkespresi secara damai,”

kata Pillay dalam rilis Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia.

Pillay yang menjabat Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia ini menegaskan bahwa perbedaan pendapat bukanlah sebuah kejahatan.

“Hal ini mengecewakan. Melihat lebih banyak orang ditangkap karena mengekspresikan pandangan mereka secara damai. Dan saya menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk membebaskan semua tahanan yang ditahan karena kejahatan yang berhubungan dengan kebebasan berekspresi.”

Pillay juga mendesak pemerintah Indonesia untuk membuka akses pada jurnalis asing masuk ke Papua.

“Saya mendesak Indonesia untuk mengizinkan jurnalis internasional ke Papua dan memfasilitasi kunjungan oleh Pelapor Khusus Dewan HAM PBB.”

Sebelumnya, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua, Victor Mambor, mengatakan tidak ada aturan yuridis formal yang melarang jurnalis asing masuk ke Papua. Namun anehnya, mereka selalu dihambat di beberapa Departemen dan Kementrian di Jakarta, seperti Departemen Luar Negeri dan Kementrian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.

“Ini aneh, tidak ada landasan yuridis formal, tapi pemerintah menghambat mereka (jurnalis asing) dengan berbagai alasan. Seperti soal visa, keamanan dan lain sebagainya. Kalaupun ada yang sampai di Papua, kalau tidak dengan cara menyamar sebagai turis, pasti dikawal oleh aparat keamanan, seperti anggota BIN.”

kata Victor Mambor dalam diskusi bedah buku Mati atau Hidup, karya Markus Haluk beberapa waktu lalu.

Mengenai rekomendasi lembaga-lembaga nasional seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan, Pillay meminta Pemerintah Indonesia mendukung lembaga-lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Indonesia itu.

“Saya mendorong Pemerintah untuk melaksanakan rekomendasi yang dibuat oleh Komnas HAM dan Komnas Perempuan,”

kata Komisaris Tinggi. Ia menekankan peran penting lembaga-lembaga nasional bermain di perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.(Jubi/Benny Mawel)

 May 3, 2013,TJ

Kekerasan Militer Indonesia Pada 30 April dan 1 Mei Undang Reaksi PBB

Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia , Navi Pillay (Dok. UN)
Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia , Navi Pillay (Dok. UN)

Jayapura – Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia , Navi Pillay, menyatakan keprihatinan serius atas tindakan kekerasan terhadap demonstrasi massa di seluruh Papua sejak 30 April hingga 1 Mei 2013. Pilay menyebutkan polisi telah menggunakan kekuatan yang berlebihan dan menangkap orang karena mengibarkan bendera pro-kemerdekaan.

“Insiden terbaru adalah contoh penindasan berkelanjutan kebebasan berekspresi dan penggunaan kekuatan yang berlebihan di Papua,”

kata Pillay, dalam rilis yang dikirimkan Kantor Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia ini kepada tabloidjubi.com, Kamis (02/5) malam.

“Saya mendesak Pemerintah Indonesia untuk memungkinkan protes damai dan meminta pertanggungjawaban mereka yang terlibat dalam pelanggaran.”

lanjut Pilay.

Dalam rilis yang dikirimkan, Pilay mengatakan berbagai laporan media massa menunjukkan bahwa pada 30 April polisi menembak dan menewaskan dua pengunjuk rasa di kota Sorong yang sedang menyiapkan kegiatan peringatan 50 tahun Papua menjadi bagian dari Indonesia. Dan sekitar 20 pengunjuk rasa ditangkap di kota Biak dan Timika pada tanggal 1 Mei.

“Setelah kunjungan resmi ke Indonesia November lalu, saya kecewa melihat kekerasan dan pelanggaran berlanjut di Papua,”

kata Pillay. Dia menambahkan bahwa ada kebutuhan untuk kebijakan dan tindakan yang koheren untuk mengatasi masalah yang mendasar dan keluhan dari penduduk lokal di Papua.

Pilay menegaskan Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia sejak Mei 2012, telah menerima 26 laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia, termasuk 45 pembunuhan dan kasus-kasus penyiksaan yang melibatkan 27 orang di Papua. Banyak insiden di Papua berhubungan dengan kekerasan komunal, yang menjadi tuduhan serius pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat penegak hukum.

“Hukum hak asasi manusia internasional menuntut Pemerintah Indonesia untuk secara menyeluruh, cepat dan tidak memihak melakukan penyelidikan insiden pembunuhan dan penyiksaan serta membawa para pelaku ke pengadilan,”

kata Pilay.

Pilay menilai belum ada transparansi yang memadai dalam menangani pelanggaran berat hak asasi manusia di Papua.

Seperti diberitakan sebelumnya, pada malam tanggal 30 April 2013, dua warga Sorong, Papua Barat, Abner Malagawak  (22 tahun) dan  Thomas Blesia (28 tahun) tewas terkena timah panas saat berada dalam posko perjuangan Papua Merdeka di Distrik Aimas, Kabupaten Sorong. Tak hanya itu, tiga  warga lainnya yang berada dalam posko itu, mengalami luka-luka akibat kena tembakan. Di Biak, sekitar belasan orang ditangkap dan satu orang luka tertembak. Sedangkan di Timika, lima belas orang ditangkap dan diperiksa di kantor Polisi Mimika karena menaikkan bendera Bintang Kejora di Kwamki Baru.

Sementara dari pihak aparat keamanan, dilaporkan satu orang anggota TNI terluka akibat insiden penembakan di Sorong. (Jubi/Victor Mambor)

May 3, 2013,08:54,TJ

 

Demo HAM, Rakyat Papua Kibarkan Ratusan Bintang Kejora

Ratusan Bendera Bintang Kejora Dikibarkan Dalam Unjuk Rasa di Manokwari
Ratusan Bendera Bintang Kejora Dikibarkan Dalam Unjuk Rasa di Manokwari

MANOKWARI — Ratusan bendera bintang kejora dikibarkan di Manokwari, Papua Barat, Kamis (17/1/2013), dalam unjuk rasa masyarakat Papua yang mengatasnamakan West Papua National Authority (WPNA).

Aksi ini dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Papua, serta mendesak Komisi HAM PBB untuk masuk dan menyelesaikan berbagai persoalan di bumi Cenderawasih.

Aksi dimulai dari samping Gedung Olahraga (GOR) Sanggeng Manokwari, Distrik Manokwari Barat, dengan pengawalan ketat aparat Polres Manokwari dan Brimob Polda Papua di Manokwari. Saat aksilong march di ruas jalan di dalam kota Manokwari, menuju gereja Elim Kwawi, di Distrik Manokwari Timur, pengunjuk rasa membentangkan ratusan bendera bintang kejora berbagai ukuran.

Meskipun sejak awal, aksi massa tersebut ini dilarang. Namun polisi tidak dapat berbuat banyak saat para pengunjuk rasa yang membentangkan bendera bintang kejora memenuhi sepanjang jalan protokol di dalam kota Manokwari.

Dalam aksinya, massa menuntut penuntasan berbagai pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Papua, terutama kasus pelanggaran HAM berat yang terkesan dibiarkan dan para pelakunya hingga saat ini masih menghirup udara bebas.

Selain itu para pendemo juga mendesak agar Pemerintah Indonesia segera membebaskan Presiden dan Perdana Menteri Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB) yang saat ini ditahan di lembaga pemasyarakatan Jayapura, Papua serta mendesak dewan HAM PBB untuk melakukan investigasi seadil-adilnya guna menyelesaikan masalah Papua.

Aksi ratusan massa WPNA ini meski berlangsung damai dan lancar, namun sempat memacetkan sejumlah ruas jalan protokol. Sebagian pemilik toko yang berada di sepanjang jalan protokol pilih menutup toko untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

 Kamis, 17 Januari 2013 | 17:36 WIB, Kompas

 

WPAT Prihatin, RI Membatasi Pelapor Khusus PBB Kunjungi Tapol Papua dan Ambon

Pelapor Khusus PBB, Frank La Rue
Pelapor Khusus PBB, Frank La Rue

Jakarta  The West Papua Advocacy Team (WPAT) mengatakan prihatin dengan tindakan  Pemerintah Republik Indonesia yang membatasi Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bidang Pemajuan dan Perlindungan Hak untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank La Rue untuk mengunjungi tahanan politik Papua dan Ambon.

The West Papua Advocacy Team berbasis di New York Amerika Serikat, PO Box 21873, Brooklyn, NY 11202-1873, wpat@igc.org, +1- 575-648-2078. The West Papua Advocacy Team beranggotakan akademisi, pembela hak asasi manusia dan pensiunan diplomat AS. Ed McWilliams, mantan wakil Dutabesar Amerika untuk Indonesia memimpin WPAT.

Dalam Siaran Pers yang diterima majalahselangkah.com, Sabtu, (12/1), WPAT mengatakan, pada bulan Mei 2012  pemerintah Indonesia mengundang Frank La Rue untuk mengunjungi  Indonesia.  Selanjutnya,  La Rue membuat rencana dan mengatakan kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia di  Jenewa bahwa dia berencana untuk mengunjungi tahanan politik di Jayapura dan Ambon.

Kunjungan ke tahanan politik di Papua dan Ambon adalah  perhatian utama La Rue . Dia juga berencana untuk mengunjungi seorang ulama Syiah dipenjara di Sampang, Pulau Madura. Namun, Pemerintah Indonesia menilai  kunjungan  Frank La Rue  ke Papua dan Ambon justru akan meningkatkan intensitas politik di wilayah itu. Pemerintah Indonesia hanya  mengizinkan Frank La Rue mengunjungi Jakarta dan Sampang.

Frank La Rue menolak untuk berkunjung ke Indonesia jika ia tidak dapat mengunjungi tahanan politik di Papua dan Ambon. Sesuai rencana, Frank La Rue dijadwalkan tiba di Jakarta pada 14 Januari 2013. Ia berencana untuk tiba di Jayapura pada tanggal 18 Januari.

The West Papua Advocacy Team mendesak Pemerintah Indonesia untuk mencabut pembatasan Pelapor Khusus PBB untuk bertemu dengan para tahanan politik Papua dan Ambon.

“Pemerintah Indonesia bertanggung jawab kepada masyarakat internasional untuk menghormati hak-hak tahanan politik di bawah ketentuan konvensi internasional. Kunjungan Pelapor Khusus adalah sarana sarana penting  untuk memastikan kepatuhan Indonesia dengan kewajiban internasional,”

tulis WPAT.

The West Papua Advocacy Team menulis,  kelompok hak asasi manusia memperkirakan, ada lebih dari 100 tahanan politik di Indonesia, terutama Papua dan Maluku, termasuk 15 warga Papua dipenjarakan dengan dakwaan makar.

Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengecam keras atas terkait pembatasan kedatangan Pelapor  Khusus PBB  ke Papua dan Ambon.

“KNPB kecam larangan atau upaya Pemerintah Indonesia melalui Menlu untuk menyembunyikan persoalan pelanggaran HAM di Papua, kami desak pelapor PBB untuk bertemu dengan Fileb Karma cs yang dipenjara. Pertemuan dengan Menlu tanpa ke Papua hanya akan menjadi ajang dan ruang bagi indonesia untuk “tebar posona” atau memanipulasi citranya di mata internasional,”

kata ketua KNPB, Victor Yeimo ketika dihubungi majalahselangkah.com .

“Orang Papua tulis buku dilarang, orang Papua lakukan ibadah dilarang, orang Papua buat demo dilarang, semua dilarang oleh penguasa Indonesia di Papua. Papua dijadikani daerah protektoral bagi kepentingan ekonomi politik kolonialisme dan kapitalisme global,”

kata Victor.

KNPB meminta Frank La Rue, UN Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression harus datang dan lihat langsung korban-korban pelanggaran HAM yang bertebaran di penjara-penjara Indonesia di Papua, dan kuburan-kuburan korban rakyat yang mati dibunuh karena berdiri berjuang menyampaikan hak  mereka secara damai.

Tapol Papua. Foto: http://p.twimg.com

Dalam Pers Release yang dikirimkan kepada majalahselangkah.com, KNPB meminta  La Rue mengatur jadwal kunjung ke Papua  tanpa intervensi Pemerintah RI, untuk bertemu langsung dengan Fileb Karm, cs yang sedang menjalani hukuman 15 tahun penjara atas aksi ekspresi damai yang dilakukan di Jayapura, Papua 2004 lalu.

KNPB juga mengatakan, PBB segera menjamin hak rakyat  Papua untuk melakukan aktivitas damai dalam menuntut hak penentuan nasib sendiri.

“Kami berharap, Pelapor Khusus PBB, dalam kunjungan ini membicarakan agar cap teroris, makar, pengacau, dan lainnya yang ditujukan negara Indonesia kepada aktivis KNPB dan pejuang Papua lainnya dihilangkan, karena sudah tidak relevan lagi dalam era yang terbuka, di mana stigma tersebut sengaja dibuat untuk membungkam aksi-aksi damai yang dilakukan oleh rakyat West Papua,”

tulisnya. Laporan menarik dari WPAT bisa dibaca di sini KLIK. (Yermias Degei/MS)

Sat, 12-01-2013 10:28:44, MJ

Indonesia, Amerika Serikat dan PBB dituntut mengakui kedaulatan Papua Barat

Yogyakarta, (1/12) — Indonesia, Amerika Serikat dan PBB dituntut untuk segera mengakui kedaulatan West Papua pada 1 Desember 1961”
Sekitar 500an mahasiswa dan masyarakat Papua di Yogyakarta menggelar aksi demonstrasi memperingati HUT Papua Barat yang jatuh pada tanggal 1 Desember.  Aksi demo mulai pada pukul 10.00  WIB. Massa berkumpul dan memulai aksi dari asrama Mahasiswa Papua di jalan Kamasan 1 Yogyakarta. Massa aksi kemudian melakukan longmarch dari asrama Papua menuju titik nol kilometer di perempatan kantor Pos Besar Yogyakarta.
Dalam aksi demo ini, mahasiswa Papua menilai berbagai operasi militer telah dilancarkan oleh pemerintah kolonial Indonesia untuk membungkam perlawanan Rakyat Papua yang menolak kehadiran Indonesia. Militer menjadi satu-satunya tameng untuk berhadapan dengan Rakyat Papua. Dari masa kepemimpinan Soekarno hingga SBY-Boediono, militer tetap menjadi alat yang paling reaksioner dalam menghadapi gejolak perlawanan Rakyat Papua. Ratusan ribu nyawa Rakyat Papua telah hilang oleh kebiadaban Militer Indonesia.
“Hingga saat ini, dapat kita saksikan bagaimana gerakan-gerakan perlawanan Rakyat Papua dibungkam dengan berbagai skenario dan tekanan, intimidasi serta teror untuk mengekang aktifitas perlawanan Rakyat. Hal ini dilakukan oleh Indonesia untuk tetap mengamanan Papua menjadi bagian tidak terpisahkan dari Indonesia.”
bunyi pernyataan sikap mahasiswa Papua yang disebarkan dalam aksi demo tersebut.
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dalam aksi tersebut menuntut Indonesia, Amerika Serikat dan PBB segera mengakui kedaulatan Papua Barat pada 1 Desember 1961. Mahasiswa Papua ini juga menegaskan bahwa 1 Desember 1961 Bukan HUT OPM, tetapi Hari Kedaulatan Papua Barat.
Tampak dalam aksi demo tersebut, massa aksi menggunakan sebuah pick up yang lengkap dengan soundnya. Kemudian ada massa juga yang memakai atribut budaya, tak lupa poster dan ikat kepala bergambar bintang kejora. Meski aksi ini sendiri berjalan dengan aman dan tertib, tampak penjagaan ketat dari aparat keamanan disekitar lokasi aksi. (Jubi/Benny Mawel)
 Saturday, December 1st, 2012 | 23:21:18, www.tabloidjubi.com

“Pepera, Amerika Ikut Bermain”

JAYAPURA – Ev. Pdt. Thimotius Idie, mengatakan, pada saat kemerdekaan NKRI Tahun 1945, Papua belum masuk (bergabung, red) dengan NKRI. Dikatakan, masuknya Papua ke NKRI merupakan permainan dan kepentingan dari negara Amerika Serikat dengan negara Republik Indonesia (RI) pada Tahun 1967, yakni pada saat penandatanganan kontrak karya (PT. Freeport Indonesia).

“Sehingga Papua pada Tahun 1969 masuk atau ikut bergabung ke dalam Indonesia, yang mana kita kenal dengan istilah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera, red). Maka saat itu Indonesia langsung melakukan Pepera terhadap rakyat Papua yang saya anggap itu merupakan suatu manipulasi, dimana rakyat Papua hanya berjumlah 800 Kepala Keluarga (KK) saja, atau berkisar 100.000-an orang, namun Indonesia manipulasi data penduduk Papua yang hanya berjumlah 1.025 orang saja,” ungkapnya.

Lanjutnya, dalam Pepera ini juga Amerika Serikat ikut bermain karena mempunyai kepentingan, sehingga Amerika mempengaruhi rakyat Papua dalam proses Pepera untuk ikut bergabung ke RI hanya 1.025 orang. “Jadi, rakyat Papua saat itu yang diikutkan dalam Pepera itu semuanya adalah orang – orang yang tuna aksara (buta huruf, red), sedangkan rakyat Papua yang sudah tahu baca tulis dipisahkan dengan cara ditodong oleh aparat keamanan RI,” jelasnya. Selain itu, Thimotius Idie juga menyampaikan, bahwa negara Belanda yang menjajah Papua sudah memberikan kemerdekaan kepada bangsa Papua pada Tahun 1961, tapi dikarenakan adanya kepentingan yang bermain saat itu. “Jadi, bangsa Papua itu sebenarnya tidak masuk dalam NKRI, namun adanya kepentingan antara Amerika Serikat dan NKRI yang ikut bermain saat itu, dikarenakan saat NKRI merdeka tidak ada kekayaan alam, dan disisi lain Papua ini kaya akan sumber daya alam (SDA), sehingga rakyat Papua yang dikorbankan,” ujarnya didampingi Ketua BEM STIH Umel Mandiri, Pelimun Bukeba ketika bertandang ke redaksi Harian Bintang Papua, kemarin malam Jumat (30/11).

Thimotius yang juga mengaku tokoh gereja yang mewakili 32 Sinode dan enam Uskup di Tanah Papua mengatakan, mengikuti perjuangan pergerakan Papua Merdeka ini bukan hal yang baru, tapi ini merupakan idiologi sejak Tahun 1965 hingga Tahun 2012 sekarang ini.

“Perjuangan untuk Papua Merdeka ini merupakan idiologi dari rakyat Bangsa Papua Barat, dan tidak akan bisa dihapus sampai kapanpun, sehingga terus terjadi penindasan terhadap rakyat Bangsa Papua Barat dan bahkan kami anggap Papua Barat ini hanya titipan dari Belanda kepada Indonesia dari Tahun 1961 hingga Tahun 1988 (selama 25 Tahun, red), maka itu DR. Thomas Wanggai, MPH. pergi ke Belanda untuk sekolah dan menyelidiki sejarah Bangsa Papau Barat yang sebenarnya, dan saat itu juga beliau membuat pergerakan pada tanggal 14 Desember yakni upacara kenegaraan bagi Bangsa Papua Barat di Lapangan Mandala, sedangkan kalau untuk perayaan 1 Desember adalah sejarah Tahun 1961 saat Belanda menitipkan Papua ke NKRI,” imbuh Thimotius Idie yang juga mengaku sebagai saksi mata dari Pepera.

Dirinya juga menyampaikan, bahwa Otsus itu seharusnya sudah satu paket yakni baik bendera, lambang negara, bahasa dan mata uang. Sejak Otsus yang sudah tidak ada kejelasannya baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, sehingga Pusat memberikan solusi yakni Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), yang mana dinilai juga sama dengan Otsus yang tidak mempunyai kejelasan.

Maka itu, Thimotius Idie menegaskan, bahwa pada tanggal 1 Desember besok (hari ini, red) akan melakukan upacara ibadah syukur, untuk memperingati momen 1 Desember Tahun 1961 sebagai hari kemerdekaan Bangsa Papua Barat. “Dimana pada bulan Oktober Tahun 2011 lalu kami juga sudah mengadakan Kongres Rakyat Papua (KRP) III di Lapangan Zakheus – Padang Bulan, yang melahirkan tujuh negara bagian dan dokumen dari Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) sudah dimasukkan ke PBB serta dokumen NFRPB ini sedang dalam pembahasan, sehingga pada Tahun 2013 mendatang sudah didaftar, yang mana jaringan – jaringan yang ada di Australia sebanyak 111 negara mendukung Papua sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Maka itu Paus telah menekankan kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan permasalahan Papua dengan cara damai,” tegasnya.

Dikatakannya, senjata baik dari TNI/Polri tidak bisa menyelesaikan persoalan Papua. “Jadi, pembunuhan, kekerasan, tetesan air mata dan tetesan darah jangan lagi ada diatas Tanah Papua ini, dan sudah cukup lama kami merasakan penderitaan seperti ini.

Ketika wartawan Koran ini menanyakan terkait banyaknya aparat baik polisi maupun TNI yang dibunuh, Thimotius Idie langsung mengatakan dan membantahnya bahwa soal banyaknya aparat keamanan yang dibunuh itu dirinya tidak mengetahuinya.

“Maka itu, kami meminta kepada aparat keamanan baik itu Polri maupun TNI agar mengijinkan kami untuk melakukan upacara ibadah syukur untuk memperingati 1 Desember besok (hari ini, red) di Lapangan Alm. Theys H. Eluay, dan dirinya menjamin dalam perayaan tersebut tidak akan melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora (BK), kalau ada pengibaran bendera BK di tempat lain itu kami tidak mengetahuinya karena kami besok (hari ini, red) hanya fokus pada upacara ibadah syukur saja,” pintanya.

Jika ada yang melakukan pengibaran bendera BK, kami meminta kepada aparat kepolisian untuk mengambil tindakan persuasif, jangan sampai melakukan tindakan – tindakan arogan bahkan sampai mengeluarkan tembakan. Kalau ada yang kibarkan BK kepada aparat kepolisian agar langsung menangkap dan memprosesnya secara hukum. Sehingga tidak mengganggu kami saat merayakan 1 Desember, maka itu kami meminta kepada polisi untuk memberikan kami melaksanakan upacara ibadah syukur. (mir/don/l03)

Sabtu, 01 Desember 2012 09:42, Binpa

Sebby Sambom : 1 Desember Dekolonialisasi PBB, Bukan Kemerdekaan

JAYAPURA – Masih adanya perdebatan soal momen 1 Desember,  tak luput dari perhatian aktivis Hak Asazi Manusia, Sebby Sambom  yang saat ini masih dalam pelariannya di hutan.  Ia  menyampaikan bahwa  momen tanggal 1 Desember bukanlah hari kemerdekaan, melainkan Dekolonialisasi PPB.

“Tidak perlu ada penaikan bendera, mungkin ibadah atau doa syukur, karena 1 Desember itu bukan kemerdekaan Papua, tetapi saat itu dekolonialisasi PBB yang disahkan dalam resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 dan nomor 1541 pada tahun 1960, itu adalah bagian dari persiapan kemerdekaan Papua Barat, sebab Belanda sebagai Negara yang menduduki wilayah Papua Barat saat itu berkewajiban memerdekakan atau memberika kemerdekaan kepada Papua Barat, jadi 1 Desember itu bukan kemerdekaan Papua,”

jelas Sebby saat dihubungi, Bintang  Sabtu (24/11).

Masih menurut Sebby,

”Sayangnya, niat baik itu dimanfaatkan lain oleh Amerika, Indonesia dan PBB untuk menyerahkan Papua Barat ke pangkuan Indonesia,”

tandasnya.

Pada kesempatan tersebut, Sebby juga mengurai alasan dia dan beberapa rekannya melarikan diri ke hutan.

“Ada kelompok orang Papua lain yang iri hati dan cemburu dengan kerja kami, mereka bekerjasama  dengan pihak ketiga untuk berusaha mengejar kami, mereka ingin menangkap kami dan membunuh kami, akhirnya saya dan beberapa aktivis lainnya memilih untuk bersembunyi, ini bulan keenam kami di hutan,”

ujarnya. Ketika dimintai kejelasan mengapa mereka harus dikejar, ditangkap dan dibunuh, Sebby mengatakan bahwa,

”Ada video perintah untuk membunuh saya, perintah itu dari Mathias Wenda, walaupun saya sangsi dan menduga itu direkayasa oleh kelompok tertentu yang sedang ‘bermain’, dan ada alasan-alasan lainnya, seperti stigma aparat terhadap kami, bahwa kami dianggap seperti teroris, sehingga mereka mengutus Densus 88 untuk mengejar kami,”

kata Sebby.

Situasi hingga saat ini menurut Sebby masih belum aman bagi dirinya dan beberapa aktivis lainnya, hal ini karena menurut dia aparat menurunkan Densus 88 untuk melakukan pengejaran terhadap mereka, walaupun dalam beberapa kesempatan Kapolda Papua menyampaikan bahwa sudah tidak ada Densus 88 di Papua.

“Kami di stigma oleh aparat sebagai teroris sehingga dengan alasan itu mereka bisa bebas menangkap dan menembak kami, padahal apa yang kami lakukan sepenuhnya adalah memperjuangkan hak-hak kami, dan hak itu adalah hak penentuan nasib sendiri, itu dijamin dan dilindungi oleh hukum internasional,”

ujarnya.

Ia juga mengklarifikasi bahwa yang dilakukan di Tingginambut, Mulia, adalah pelantikan Goliath Tabuni,

”Tidak ada Konferensi Tingkat Tinggi, hanya pelantikan, saya punya rekaman pembicaraan dengan tuan Goliath, kalau Bintang Papua mau saya bisa kasih rekamannya,”

tandas Sebby.

Tidak lupa Sebby berpesan kepada para aktivis dan masyarakat Papua,

”Jangan takut dan panik dengan keadaan seperti ini, saya juga berharap agar aparat keamanan hentikan menyerang kami, jangan lagi lukai perjuangan kami,  karena apa yang kami lakukan adalah berjuang atas hak-hak kami dan ini adalah aspirasi kami,”

pungkas Sebby Sambom. (bom/don/l03)

Senin, 26 November 2012 11:25, www.bintangpapua.com

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny