Kapankah Konflik di Atas Tanah Papua Berakhir

elluay
Theys Hiyo Elluay (3 November 1937-10 November 2001)(Jubi/ist)

Jayapura“Kami berjuang bukan untuk mendirikan negara Papua Merdeka, tapi kemerdekaan Papua Barat yang sudah ada supaya dikembalikan. Ingat kami rakyat Papua Barat tidak mendirikan negara di atas negara. Tapi pihak lain yang  mendirikan negara di dalam negara Papua Barat. Jadi pihak lain yang mendirikan negara di dalam negara Papua Barat.  Hak inilah yang harus diluruskan.

Begitulah kutipan wawancara dengan mendiang Theys Hiyo Elluay dalam buku berjudul, Babak Baru Perlawanan Orang Papua yang ditulis mantan Pemimpin Redaksi (Pemred) Tabloid Jubi, Mohammad Kholifan.

Elluay lebih mendorong perjuangan meluruskan sejarah Bangsa Papua dan memilih jalan damai lewat politik sopan santun. Bahkan salah satu pentolan Presidium Dewan Papua(PDP) lebih mengutamakan perjuangan harus melalui beberapa tahap.

Pertama, dialog terbuka antara masyarakat Papua Barat di Jakarta dengan masyarakat Papua di Provinsi Irian Jaya. Kedua dialog nasional antara masyarakat Papua Barat dengan Presiden BJ Habibie. Hasilnya tim seratus menghadap Presiden BJ Habibie.

” Pulang dan renungkan,”

pesan mantan Presiden BJ Habibie kepada tim seratus dari Provinsi Irian Jaya.

Ketiga, dialog, internasional antara Pemerintah Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat.

“Jadi kalau sudah merdeka perjuangan Papua Merdeka selesai,”

kata  almarhum Theys Hiyo Elluay. Sayangnya Elluay harus tewas sebelum menyelesaikan semua agenda dan cita-citanya untuk  mengembalikan hak merdeka orang Papua.

Prof Dr Nazaruddin Sjamsuddin dalam bukunya berjudul,  Integrasi Politik di Indonesia, menulis  jika dikaji dalam perpekstif sejarah, maka  puncak permasalahan integrasi politik Irian Jaya bermula pada perbedaan pendapat antara pihak Indonesia dan Belanda di dalam Konfrensi Meja Bundar(KMB) pada akhir 1949. Akibatnya kedua belah pihak bertekad untuk memperkuat posisi masing-masing.

Seiring dengan meningkatnya tekanan-tekanan  militer Indonesia, pada April 1961 Belanda mendirikan Dewan Nieuw Guinea atau  Nederlands Niueuw Guinea Raad. Pemerintah Belanda di Nederland Nieuw Guinea juga mendirikan pendidikan bagi calon Pamong Praja, mendirikan Polisi Papua dan Batalion Papua.

Melangkah lebih jauh lagi tulis Prof Dr Nazaruddin Sjamsudin, Belanda membentuk pula Komite Nasional Papua yang menggantikan Dewan Nieuw Guinea. Komite ini bertugas untuk merencanakan pembentukan sebuah negara Papua yang merdeka.

Perkembangan Komite Nasional Papua dan penaikan bendera Bintang  Kejora bersanding dengan Bendera Belanda di Kota Hollandia (Jayapura sekarang)  pada 1 Desember 1961. Momen inilah yang membuat Presiden Sukarno pada 19 Desember 1961 mengomandokan Trikora( Tiga Komando Rakyat) di alun-alun  Jogyakarta antara lain memerintahkan penggagalan pembentukan pembentukan negara Papua.

Pemerintah Indonesia dan Belanda sama-sama berpacu dengan waktu untuk mempersiapkan pilihan bagi rakyat Papua. Indonesia dengan tekadnya mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedangkan Belanda berusaha mendorong  Nenderlands Nieuw Guinea   menjadi negara merdeka melalui proses dekolonisasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI),  Muridan Wijoyo  menjelaskan Pepera itu digelar untuk menjalankan perintah dari perjanjian New York pada 1962, yang menyebutkan untukmemastikan apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan harus dilakukan Pepera. Pepera 1969 dihadiri  sebanyak 1025 anggota Dewan Musyawrah Pepera(DMP) termasuk alm Theys Hiyo Elluay yang juga ikut sebagai perwakilan rakyat Papua. Berbeda dengan Muridan Wjoyo, penelitian ilmiah Prof. Dr. Droglever dari negeri Belanda  telah menyimpulkan kalau Penentuan Pendapat Rakyat Pepera), 1969 tidak demokratis, cacat hukum dan moral(Jubi/Dominggus A Mampioper)

Monday, December 17th, 2012 | 20:22:04, TJ

‘1 Desember Sakral Jangan Dikotori’

Alex Baransano, Komandan SATGAS Port Numbay
Alex Baransano, Komandan SATGAS Port Numbay
JAYAPURA—Menilai isu-isu yang berkembang menjelang 1 Desember sudah berlebihan, membuat SATGAS Papua mengeluarkan himbauan agar masyarakat tidak perlu takut dalam menghadapi momen tersebut.

Alex Baransano, Wakil I Bidang Komando SATGAS Papua yang menyambangi Bintang Papua Senin (26/11) malam menyerukan agar seluruh pihak dapat memandang momen tersebut dengan baik walau di dalamnya menyangkut banyak kepentingan, termasuk kepentingan politik. “Masyarakat Papua dihimbau melihat (1 Desember) dengan baik, memang momen ini sangat sakral jadi jangan dikotori dengan aksi anarkis atau pun pengibaran bendera,” ucapnya.

Lebih lanjut ia mengutarakan bahwa dibalik 1 Desember ada momen yang jauh lebih penting, yang itu momen Pemilihan gubernur Papua. “Kami tidak mau orang Papua berkelahi di dapurnya sendiri, dan kami mengajak semua pihak untuk menyukseskan PILGUB agar putra Papua yang terpilih nantinya bisa membawa perubahan,” tuturnya lagi.

Alex yang juga mengaku menjabat Komandan SATGAS Port Numbay berucap agar masyarakat jangan melihat hal ini sebagai hal yang menakutkan. Dan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan dibaliknya ia menegaskan agar mereka tidak mendahului kehendak Tuhan karena menurutnya ada waktu Tuhan untuk menentukan segalanya. Ditanya mengenai kemungkinan yang biasa terjadi pada saat 1 Desember seperti pengibaran bendera, ia berkomentar, belum ada pihak yang menjamin akan melakukan aksi tersebut.

“Tidak ada yang menjamin akan ada pengibaran bendera, bendera itu bukan mainan yang bisa dimainkan seenaknya saja, kadang dikibarkan lalu diturunkan,” cetusnya.

Ia pun berani menjamin bahwa 1 Desember akan bisa dilalui dengan situasi yang aman, sehingga masyarakat tidak perlu takut dalam melakukan aktifitas.

Polri Tak Boleh Tembak Warga Sipil
Adanya isu yang berhempus 1 Desember mendatang akan terjadi konflik di sejumlah wilayah di Tanah Papua yang acapkali diperingati sebagau HUT TPN/OPM ditanggapi dingin Wakil Ketua DPRP Yunus Wonda, SH yang dikonfirmasi, Senin (26/1).

Kata dia, pihaknya menghimbau kepada aparat Polri memberikan keleluasaan warga yang ingin menyampaikan ibadah syukur saat 1 Desember mendatang.

“Kalaupun rakyat melakukan ibadah syukuran. Ya, ibadah syukuran dengan Tuhan. Itu hak setiap warga negara. Kita tak bisa melarang orang beribadah karena itu dilindungi UU. Tapi menciptakan situsi yang kondusif hingga ibadah syukuran berakhir,”kata Wonda.

Namun, kata dia, bila pihak-pihak tertentu mengibarkan bendera Bintang Kejora, maka aparat Polri perlu melakukan pendekatan persuasif bukan justu melakukan pendekatan kekerasan dan represif seperti menembak mati dan menghilangkan nyawa warga sipil yang tak berdosa.

Politisi Demokrat ini menegaskan, pendekatan kekerasan dan represif menembak mati atau menghilangkan nyawa orang lain bukan solusi. Tapi pendekatan persuasif harus dibangun di Papua.
“Sudah terlalu banyak pertumpahan darah di Papua. Sudah waktunya mengakhiri dari semua itu, pendekatan yang dibangun selama ini oleh pihak aparat TNI Polri ini harus terus dibangun sekaligus komunikasi dengan masyarakat,” tuturnya.
Terkait adanya ancaman dari pihak-pihak tertentu yang ingin mengibarkan Bintang Kejora khususnya di wilayah Jayapura Utara, Kapolsek Jayapura Utara AKP KR Sawaki, SE yang dihubungi terpisah mengatakan, pihaknya memberikan jaminan pada 1 Desember tak ada pengibaran bendera Bintang Kajora.

“Saya tak mau mendahului kekuasaan Tuhan, tapi naluri saya menjamin 1 Desember wilayah saya aman karena saya menjadi bagian dari masyarakat. Masyarakat menjadi bagian dari saya dan ada komitmen bersama yang telah dibangun ketika kami melakukan acara bakar batu bersama masyarakat di Kelurahan Angkasa,”kata dia.

Dia mengatakan, bila ada pihak yang mengibarkan Bintang Kejora dalah provokator. Dan itu tetap disikapi secara serius oleh masyarakat adat baik secara hukum, budaya dan adat. “Kami telah berjanji bersama untuk menjaga stabilitas, keamanan dan ketertiban masyarakat melalui pendekatan humanis sebagaimana amanat Kapolda Papua ketika membuka Operasi Aman Matoa II,” ujarnya. (ds/mdc/don/l03)

Selasa, 27 November 2012 10:10, Binpa

Dialog Jakarta—Papua Tunggu Political Will Presiden

Rabu, 26 September 2012 21:41, BintangPapua

Thaha Alhamid, Sekretaris PDP
Thaha Alhamid, Sekretaris PDP

JAYAPURA—Dialog Jakarta—Papua sebagai suatu bentuk penyelesaian terhadap masalah Papua jalan atau tak jalan bukan lagi rakyat Papua. Tapi hanya tinggal menunggu keputusan atau kemauan politik (political will) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pasalnya, Dialog Jakarta-Papua merupakan keputusan politik orang Papua sejak tahun 2000 silam, melalui kerja intensif oleh Jaringan Damai Papua (JDP).

Demikian disampaikan Sekjen Presidium Dewan Papua (PDP) Thaha Alhamid yang dihubungi via ponselnya di Jayapura, Rabu (26/9). Dikatakannya, bila Presiden telah menyampaikan komitmennya, menyelesaikan Papua harus dilakukan dengan hati, maka dialog Jakarta-Papua menjadi agenda superior.

Namun demikian, kata dia, pada saat tertentu muncul DR. Farid Husein, Dewan Penasehat Presiden, DPD RI dan lain-lain, membuat pandangan dasar mengenai dialog berbeda-beda.

“Kami rakyat Papua punya keputusan politik. Kami sudah tahu. Bicara didalam kerangka mau undang siapa. Orang Papua yang ada di luar negeri silakan. Semua kerangka sudah ada di JDP saya sudah lihat itu. Dan itu kita dukung. Jadi sebenarnya kata kuncinya cuma satu political will saja. Sederhana to,” tukasnya.

Menurutnya, ketika tokoh-tokoh Gereja dari Papua beraudensi bersama Presiden sudah sampaikan keinginan berdialog tentang apa. Formatnya bagaimana. Materinya apa. Tujuannya apa. Tinggal itu kan. Nggak usah mundur lagi. Artinya apa yang harus didorong terutama Wantimpres adalah bekerjasama dengan JDP. Bekerjasama dengan Farid Husein yang menjadi special authority untuk merumuskan suatu frame of dialog. Apa yang mau dibicarakan. Bagaimana. Apa materinya dan bagaimana mekanisme-mekanisme yang lain untuk menjawab apa yang Presiden tanyakan. “Saya kwatirnya bisa lihat saja tentang dialog saja Jakarta punya tim. Special in Voice yang namanya Farid Husein, Wantimpres. Nanti ada lagi dari Polkam, DPD RI apakah mereka ini berkoordinasi. Kwatir ini justru ini mementahkan malah. Padahal dialog Jakarta-Papua sudah mengerucut. Susah apa kalau misalnya Presiden dengan otoritasnya panggil Farid Husein, Wantimpres oke kamu duduk bicara dengan teman-teman dari Papua yang diwakili oleh JDP. Dan tentu JDP akan bicara dengan tokoh agama dengan pelbagai stake holders yang ada disini baru JDP pergi mewakili Papua. “Nah disitulah yang dibahas dan disusun frame of dialog. Kapan mau memulai dialog dan seterusnya. Ini harus hitam diatas putih tandatangan sebelum SBY turun dari Presiden. Justru itu yang saya lihat bukan satu datang eksplorasi. Satu datang eksplorasi lagi.

Ditanya hambatan memulai Dialog Jakarta—Papua, lanjutnya, Political will-nya tak cukup kuat. Bilang mau berdialog. Mau menyelesaikan Papua dengan hati tapi policy-policy aktual yang ada tak menunjukan kearah itu seperti pendekatan-pendekatan militeristik yang masih kelihatan.

Dia mengatakan, pihaknya kwatir tim yang banyak turun ke Papua ini nanti mementahkan soal yang mulai matang. Mementahkan sebuah isu yang sudah digarap lama dan sudah mulai matang.

“Sekarang tinggal tunggu saja komando Presiden. Oke kamu dalam sebulan susun frame of dialog bicara dengan pemerintah,” tutur dia. (mdc/don/l03)

Perjuangan Hak Dasar Orang Papua Jangan Samakan Teroris

Minggu, 23 September 2012 21:04

Thaha: Terkait Pelantikan Kapolda Papua Tito Karnavian

Thaha Muh Al-Hamid, SekJend PDP
JAYAPURA— Sekjen Presidium Dewan Papua (DPD) Thaha Alhamdid berharap rakyat Papua yang berjuang menuntut hak-hak dasarnya seperti hak-hak kedaulatan politiknya, hak-hak budayanya, hak-hak ekonominya itu bukan teroris. Sehingga dalam menghadapinya jangan disamakan dengan penanganan teroris.

Hal ini diungkapkan menyusul pelantikan Kapolda Papua yang baru Inspektur Jenderal Polisi Tito Karnavian menggantikan Inspektur Jenderal Polisi Bigman L Tobing oleh Kapolri Jenderal Polisi Drs Timur Pradopo di Gedung Rupatama, Mabes Polri Jakarta, Jumat (21/9) pagi.

Sekjen Presidium Dewan Papua (DPD) Thaha Alhamdid ketika diwawancarai di Jayapura, Minggu (23/9) petang menilai pergantian ini sudah tepat.

Namun demikian, katanya, penugasan mantan Komandan Densus 88 Anti Teror ke Papua, apakah ini dalam rangka memastikan di Papua ini teroris silakan dicari tahu. Tapi yang jelas bahwa rakyat Papua yang berjuang menuntut hak-hak dasarnya seperti hak-hak kedaulatan politiknya, hak-hak budayanya, hak-hak ekonominya itu bukan teroris.

“Saya yakin Tito tak mungkin menyamakan perjuangan hak dasar sebagai teroris. Itu nggak mungkin. Tapi kalau ada teroris dia punya ilmu dia kejar,” ujarnya.

DIkatakan, penugasan Tito ke Papua tentunya mempunyai alasan. Pertama, dia mempunyai karier panjang. Walaupun mungkin ada ketakutan di kalangan rakyat Papua dia ini mantan Komandan Densus 88 Anti Teror. Tapi jangan lupa mantan Kapolda Papua Irjen Pol Bekto Suprapto juga mantan Komandan Densus 99 Anti Teror. Tapi yang menarik dari Tito, ujarnya, dia satu angkatan dengan Wakapolda Papua Brigjen Pol Paulus Waterpauw.D ari sisi komunikasi mencair.

Kedua, karier Tito masih panjang. Dia termasuk perwira yang sangat cemerlang di Mabes Polri tentu dia tak akan mengorbankan kariernya. Tito juga seorang cendikiawan dan kandidat doktor di salah-satu Univeritas terkenal di Singapura.

“Jadi saya kira ada background education dalam mana akan sangat mempengaruhi pengambilan keputusan ketika ia menjabat Kapolda Papua,”tukas dia.

Pasalnya, selama ini Kapolda menjelang pensiun dikirim ke Papua. Itu celaka. Pengalaman menunjukan terjadi split perhatian atau perhatiannya terbelah karena dia tak perlu mengamankan kariernya lagi. Tapi Tito beda.
“Dan ini sudah dari dulu kita usulkan. Saya ingat sudah tiga kita ketika tokoh-tokoh masyarakat, pendeta, pastor bertemu dengan Komisi I DPR RI minta agar Kapolda ke Papua jangan menjelang pensiun nanti kerjanya mencari terus. Kapan dia mau jaga keamanan dan ketertiban untuk rakyat,” tuturnya. (mdc/don/l03)

PAPUA AKAN TERUS ADA KONFLIK

Minggu, 02 September 2012 15:48, http://bintangpapua.com

JAYAPURA—Masih terus terjadinya konflik dan kekerasan di Papua, mengundang komentar dari Sekjen Presidium Dewan Papua (PDP) Thaha Alhamid. Ia mengatakan, sangat sulit untuk meredam konflik di Papua selama ketidakadilan itu masih ada dimana-mana, serta penegakan hukum tidak dijalankan dengan baik.
Dikatakan, semua pihak yang ada harus membuka komunikasi sosial politik, agar tak semua kasus harus berujung pada aksi kekerasan sebagaimana peristiwa aksi penembakan konvoi kendaraan pengangkut logistik dan melukai seorang sopir truk bernama Tilu alias Kasera (26) di Jembatan Besi, Distrik Tingginambut, Puncak Jaya, Rabu (29/8
“Untuk Papua saya lihat seperti itu, penegakan hukum penting dan ketikadilan sosial harus segera diatasi. Selama ada ketidakadilan sosial konflik terus terjadi. Apalagi penegakan hukum lemah,” ujar Thaha Alhamid ketika dihubungi via ponsel, Minggu (2/9).

Dia mengatakan, aparat penegak hukum d Papua hanya sibuk kalau ada aksi unjukrasa tentang referendum atau pengibaran bendera Bintang Kejora, tapi jika ada kasus dugaan korupsi uang rakyat mereka cenderung lambat penanganan. “Itu yang saya sebut penegakan hukum di Papua cenderung diskriminatif,”katanya.
Ditambahkan, “Kita harus jujur halaman rumah Polisi masih kotor. Didalam masih ada intrik-intrik, like and dislike. Artinya bagaimana mereka bisa efektif mengawasi kepentingan Kamtibmas,” ujar dia. (mdc/don/l03)

Hanya Laporan Berkala Biasa, Tidak Ada Perintah Membungkam Aktivis di Papua

Laporan setebal 25 halaman yang dibuat Agustus 2007 atau 13 tahun silam itu di bagian akhirnya tercantum nama Lettu (Inf) Nur Wahyudi sebagai Danpos Satgas Ban-5 Kopassus Pos I Kotaraja.

Didalamnya ada sederet nama para aktivis yang menurut pengakuan mereka dijadikan “target operasi”, namun dari dokumen yang berhasil di peroleh Bintang Papua dari blog berbahasa Inggris milik Alan Nairm jurnalis Amerika Serikat yang pertama kali mempublikasikan dokumen tersebut, nama – nama aktivis dimaksud tidak lebih dari daftar para aktivis yang berdomisili di wilayah Kotaraja dan sekitarnya yang getol menyuarakan ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan mengkritisi Pemerintah, dan sama sekali tidak ada perintah untuk membungkam mereka semua.Dan buktinya nama – nama yang tercatat di dalam dokumen yangdikeluarkan 13 tahun lalu itu, hingga kini orang – orangnya masih segar bugar dan tetap menjalankan aktivitas mereka, memperjuangkan ketidakadilan yang diterima oleh orang Papua selama ini.

“Adapun nama tokoh – tokoh gerakan sipil dan politis vokal yang berdomisili di Kotaraja dan sekitarnya, antara lain :

  1. Pdt. Socrates Sofyan Yoman (Ketua Gereja Baptis Pa­pua),
  2. Markus Haluk.(Sekjen AMPTI),
  3. Buchtar Tabuni (Aktivis),
  4. Aloysius Renwarin, SH.(Ketua Elsham)
  5. , DR. Willy Mandowen.(Mediator PDP),
  6. Yance Kayame (Ketua Komisi A DPRP),
  7. Lodewyk Betawi,
  8. Drs.Don Agustinus
  9. Lamaech Flassy MA (Staf Ahli PDP),
  10. Drs. Agustinus Alue Alua (Ketua MRP),
  11. Thaha Al Hamid.(Sekjen PDP),
  12. Sayid Fadal Al Hamid (Ketua Pemuda Muslim Papua),
  13. Drs.Frans Kapisa.(Ketua Solidaritas Nasional Mahasiswa Papua),
  14. Leonard Jery Imbiri,S.Pd.(Sekretaris Umum DAP),
  15. Pdt.DR.Benny Giay.(Pdt KINGMI Papua),
  16. Selfius Bobby (Mahasiswa STT Fajar Timur)”,

Demikian tertulis pada halaman 6 Laporan Triwulan I Pos Kotaraja yang berhasil diperoleh Bintang Papua. Yang kemudian dilanjutkan dengan daftar nama

Tokoh Adat (Ondoafi), dan Tokoh Masyarakat yang berdomisili di seputar wilayah Kotaraja dan sekitarnya, lengkapnya dalam laporan tersebut tertulis, “Adapun nama tokoh adat, tokoh masyarakat yang berdomisili di Kotaraja dan sekitarnya antara lain :

  1. Ramses Ohee (Ondoafi Waena),
  2. Jhon Mebri (Ondoafi Yoka, Daulat Frengkiw (Ondoafi Nafri), dan
  3. George Awi (Ondoafi Enggros).

Selain itu juga dilaporkan secara lengkap daftar kantor instansi pemerintah, sarana pendidikan, sarana ibadah, pusat – pusat ekonomi dan perbelanjaan, daftar parpol, dan komposisi dan jumlah penduduk di Jayapura secara umum berdasarkan suku bangsa, yang kesemuanya data tersebut terangkum dalam Bagian Keadaan dan Kondisi Daerah Operasi Satgas Ban-5 Pos I Kotaraja, termasuk daftar 6 orang anggota Satgas Ban-5 yang bertugas. Mulai dari awal sampai akhir laporan setebal 25 halaman itu, sama sekali tidak ada instruksi secara halus maupun tersamar, apalagi tegas yang bertujuan untuk “membungkam” apalagi menghabisi para aktivis yang pro Merdeka, maupun yang getol menyuarakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat di Papua dan aktivis yang vokal mengkritisi Pemerintah.

Lembar pertama laporan itu pada kop-nya tertulis dengan huruf balok SATGAS BAN – 5 POS I KOTARAJA, yang disambung dengan judul laporan dengan huruf balok juga “LAPORAN TRIWULAN I POS KOTARAJA, sedangkan sistematika penulisannya terdiri dari Pendahuluan, Keadaan, Tugas Pokok, Konsep Operasi, Pelaksanaan, Prediksi kedepan, Hambatan dan cara Mengatasi, serta Kesimpulan dan Saran. Adapun maksud dari penyusunan Laporan Triwulan tersebut seperti tercantum pada halaman 1 adalah memberikan gambaran, masukan dan laporan tentang kegiatan yang telah dan yang akan dilaksanakan oleh anggota Pos Kotaraja dalam mengimplementasikan tugas pokok Satgas Ban -5, dengan tujuan sebagai bahan masukan kepada Dan Satgas Ban – 5 Kopassus agar mengetahui situasi dan kondisi di daerah Kotaraja, kegiatan anggota Pos Kotaraja serta kegiatan kelompok Gerakan Sipil Politis/Bersenjata di seputaran Kotaraja.

Dalam laporan itu juga dilaporkan beberapa strategi dan pola pendekatan yang dilakukan oleh Satgas untuk meredam dan meminimalisir berkembangnya paham separatisme yang mengancam keutuhan negara yang terus di dengungkan oleh tokoh – tokoh Papua, dimana mereka mencoba mengidentifikasi pola gerakan, paham ideologi, kelemahan, kekuatan, serta pihak – pihak yang bisa dijadikan “kawan” untuk mematikan ideologi separatisme dimana kesemua laporan itu terangkum dalam halaman 8 dengan judul Keadaan Musuh.

Sebagaimana pengakuan Forkorus pada media ini Senin (15/11) bahwasanya selain ia merasa di mata – matai oleh intelijen, saat ini juga beredar sejumlah uang yang bertujuan untuk melenyapkan dan membungkam kevokalannya, dan itu diperkuat dengan informasi bocornya dokumen operasi Kopassus yang menurut pengakuan Forkorus sendiri ia belum melihat secara langsung dokumen tersebut dan hanya mendengarnya dari beberapa rekan yang sudah membaca lansiran beberapa media online atas blog Alan Nairm di, jurnalis Amerika Serikat yang mempublikasikan dokumen itu. Menurut Andi Widjajanto Direktur Executive Pacivis UI dalam bukunya berjudul Panduan Perancangan Undang – Undang Intelijen Negara yang diteribitkan 2006 lalu, bahwa semestinya dalam melakukan kegiatan-kegiatan intelijen, alat negara tidak boleh melanggar hak-hak dasar (non-derogable rights) meliputi:

(a) hak untuk hidup; (b) hak untuk bebas dari penyiksaan;

(c) hak untuk bebas dari perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi;

(d) hak untuk bebas dari perbudakan;

(e) hak untuk mendapatkan pengakuan yang sama sebagai individu di depan hukum; dan

(f) hak untuk memiliki kebebasan berpikir, keyakinan nurani, dan beragama.

Sehingga kegiatan mematai – matai atau memantau setiap kegiatan politis apalagi yang menjurus kepada makar yang dikhawatirkan mengganggu keutuhan suatu negara adalah tindakan legal sama seperti hak kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum yang diberikan negara kepada warga sipil. sepanjang tidak melanggar hak – hak dasar manusia, dan itu terjadi di semua negara yang menganut azas demokrasi. Peraturan terakhir yang diberlakukan terhadap intelijen nasional adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2004. Untuk fungsi koordinasi semua kegiatan intelijen, Badan Intelijen Negara (BIN) berpegang pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2002, sedangkan terkait Komunitas Intelijen Daerah (KID) yang saat ini terbentuk di semua tingkat kabupaten merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 11 Tahun 2006. (Bersambung)

Theys Hiyo Eluay: “Hak (Papua) Merdeka Dicopot Sukarno”

THEYS Hiyo Eluay ternyata tidak hanya dekat dengan Abdurrahman Wahid, tapi juga dengan beberapa artis cantik. Ini terungkap dalam acara wawancara dengan artis di Televisi Pendidikan Indonesia, Jumat pagi lalu. Dalam kesempatan itu, Ayu Azhari mengucapkan belasungkawa atas tewasnya Theys Hiyo Eluay, yang bukan artis dan bukan pejabat tinggi Indonesia. Yang lebih mengejutkan, Ayu juga mengaku sangat dekat dengan Theys. “Kami sahabat,” ujar sang pemain sinetron yang memenangi penghargaan sebagai aktris terbaik dalam Festival Film Asia Pasifik belum lama ini. Ayu bahkan memanggilnya “Om Theys”, “Sementara anak-anak saya memanggilnya Opa Theys,” katanya.

Itu bukan pengakuan sepihak. Pertengahan bulan lalu, kepada TEMPO, Theys dengan bangganya memamerkan fotonya bersama Ayu Azhari. Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) ini juga menceritakan bagaimana awal pertemuannya dengan si artis cantik. Dia juga, katanya, akan mengundang Ayu ke sebuah acara di Papua.

Tidak hanya itu. Beberapa hari sebelumnya, Theys juga bela-belain menemui artis pujaannya yang lain, Dewi Yull. “Karena saya dan istri saya sangat kagum dengan Dokter Sartika yang dia perankan,” ujarnya sambil tersenyum. Lelaki berambut dan berjanggut putih ini juga cukup dekat dengan Titiek Puspa. “Karena ulang tahun kami berdekatan,” ujar Theys, lalu terbahak.

Tokoh perjuangan kemerdekaan tanah Papua itu memang penuh kontroversi. Selain lama berkecimpung di dunia politik dan dekat dengan penguasa politik, kehidupannya pun penuh kontroversi. Ia seperti mengikuti arah angin bertiup. Dia mengaku membenci Sukarno yang “mencaplok” Papua. Namun, Theys tetap mengagumi sang Proklamator—bahkan salah satu anaknya diberi nama Soekarno. Dia juga membenci TNI—tapi seorang anaknya dinamai Acub Zaenal. Ia juga “meminjam” nama Sartika dari Dewi Yull untuk nama anak perempuannya.

Dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua, jalan yang ditempuh Theys pun cukup berliku. Dia sangat terlibat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua pada 1969—meski sekarang dia menolak bentuk referendum yang bagaimanapun. Di zaman Orde Baru, dia anggota DPRD dari Fraksi Karya Pembangunan dalam tiga periode. Namun, setelah tidak dicalonkan lagi pada Pemilu 1992, dia kembali bersuara keras tentang kemerdekaan Papua.

Puncaknya terjadi ketika Theys bersama rakyat Papua menyatakan dekrit dan mengibarkan Bintang Kejora (bendera Papua) pada 1 Desember 1999 dan 1 Mei 2000. Dia juga menandatangani komunike politik pada Musyawarah Besar Dewan Papua di Jayapura, 23-24 Februari 2000. Dan pada 29 Mei-4 Juni 2000, dia menggelar Kongres Nasional II Papua Barat, atau yang dikenal sebagai Kongres Rakyat Papua, di Jayapura. Kongres itu kemudian menjadi heboh karena mendapat bantuan Rp 1 miliar dari Presiden (waktu itu) Abdurrahman Wahid.

Theys memang cukup dekat dengan Abdurrahman. Bahkan, selagi Abdurrahman digoyang, ia sempat mengancamkan pemisahan diri Papua dari RI kalau Abdurrahman digulingkan. Balasannya, saat Theys di Jakarta pertengahan Oktober lalu, Abdurrahman Wahid menyatakan kesediaannya menjadi saksi (yang meringankan?) dalam proses hukum yang sedang dia jalani dengan tuduhan melakukan tindakan makar terhadap RI. (Tapi akhirnya tidak jadi.)

Theys memang pemimpin, politisi—dan juga manusia biasa. Sebanyak yang kagum, sebanyak itu pula yang membencinya. Banyak yang dia perjuangkan. Setidaknya itulah yang dia katakan ketika ditemui TEMPO di Jakarta saat para anggota DPRD Papua, DPR, dan pemerintah membicarakan Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Papua. Berikut ini petikan wawancara Purwani Diyah Prabandari dari TEMPO dengan Theys di Hotel Arcadia, Jalan Wahid Hasyim, pertengahan Oktober lalu—sebulan sebelum dia ditemukan tewas di Koya Tengah, sekitar 40 kilometer dari Jayapura.

Apa pendapat Anda dengan akan segera disetujuinya Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Papua?
Itu bukan urusan saya. Saya tak mau menerima ide otonomi. Saya hanya berpikir soal Papua merdeka.

Jadi, kesepakatan tidak mempengaruhi Anda?
Tidak.

Meski sebelum menyetujui nama Provinsi Papua, perdebatannya alot?
Itu bukanlah kemenangan. Papua bukanlah Provinsi Papua, tapi bangsa Papua. Jadi, Papua (akan) menjadi negara sendiri.

Bagaimana dengan sistem pembagian kekayaan alam dalam UU Otonomi Khusus?
Kami yang punya kekayaan. Pemerintah (yang harus) meminta kepada kami agar menyerahkan kekayaan. Kemudian mereka membaginya, 80 persen untuk kami dan 20 persen untuk pemerintah pusat. Kami yang mestinya membagi. Kami punya perasaan. Indonesia sudah membantu kami selama ini. Dan kami akan tetap berjuang dengan damai dan cinta kasih. Memang kami masih diperlakukan dengan kekerasan. Juga banyak terjadi pem-bunuhan. Tapi kami tidak membalas.

Terus, apa yang akan dilakukan oleh PDP dan Anda sendiri?
PDP tetap akan melakukan upaya lobi sampai tercapai dialog, baik nasional maupun internasional. Ini kami lakukan agar Indonesia secepatnya mengembalikan hak bangsa Papua seperti sebelum 1 Desember 1961, yaitu hak untuk merdeka, yang dicopot oleh Sukarno dengan Operasi Trikora. Waktu itu, Bung Karno menyatakan operasi tersebut untuk membubarkan negara boneka Papua. Padahal yang sebenarnya ada adalah Negara Papua, bukan negara boneka Papua. Orang Papua sudah berdiri sendiri. Papua sudah merdeka.

Tapi bukankah masuknya Papua ke wilayah Indonesia dengan Penetapan Pendapat Rakyat dan sudah diterima masyarakat internasional (PBB)?
Tapi itu cerita Bung Karno saja.

Lalu apa yang akan dilakukan PDP?
Pemerintah pura-pura tidak mengerti bangsa Papua. Bangsa Papua tidak suka kekerasan. Karena itu, PDP dalam perjuangannya selalu mengutamakan perdamaian dan cinta kasih. Makanya perlu diadakan dialog-dialog nasional dan internasional.

Upaya PDP di tingkat internasional?
Tahun lalu, ada perwakilan PDP ke PBB. Dan kami berbicara di Sidang Umum PBB. Hanya, kita belum diterima penuh.

Tapi Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan menyatakan mendukung integritas wilayah Indonesia, yang berarti Papua termasuk di dalamnya?
Orang Papua sendiri yang tahu keinginannya, bukan Kofi Annan, bukan AS. Ini soal harga diri. Bangsa Indonesia yang harus menentukan. Demikian pula bangsa Papua. PBB hanya sebagai tempat melapor. PBB bukan segala-galanya.

Tapi, sewaktu ada Kongres Papua, Presiden Abdurrahman Wahid mendukung, bahkan membantu Rp 1 miliar. Tidakkah itu bisa mengubah keinginan PDP?
Kami memang menemui beliau dan minta beliau datang ke Kongres Rakyat Papua. Beliau merestuinya, bahkan membantu dana Rp 1 miliar. Beliau selalu mendengarkan hati nurani. Bahkan beliau bersedia membuka kongres. Tapi ada tekanan dari kiri-kanan, dari orang-orang yang suka membunuhi rakyat. Mereka tidak menginginkan Gus Dur membuka kongres.

Banyak yang khawatir, kalau kongres dilangsungkan, itu akan memicu aksi kekerasan.
Kongres Rakyat Papua bukanlah macam penyerang gedung World Trade Center di AS. Kita berbicara baik-baik. Rakyat mau berbicara dengan bebas, tidak ingin ada kekerasan. Jadi, kita rakyat Papua hanya ingin dialog terus-menerus. Ini dalam rangka pelurusan sejarah, yaitu kembali kepada apa yang terjadi pada 1 Desember 1961. Dan beliau menyambut baik.

Apakah dia menyampaikan pesan tertentu bagi masyarakat Papua saat memberikan Rp 1 miliar itu?
Tidak ada pesan dari beliau. Beliau mengatakan begini, “Pak Theys, pasti saya akan beri rakyat Papua Rp 1 miliar,” (tapi) beliau tidak mengatakan kami tidak boleh begini atau begitu. Dan beliau mengatakan bahwa uang tersebut bukan uang KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Ini bantuan murni.

Bagaimana dengan pemerintah sekarang?
Sampai saat ini, pemerintah belum mem-buka diri untuk dialog lewat PDP. Ada baiknya pemerintah mau berdialog, sehingga ada hasil yang disepakati.

Mungkinkah melakukan kompromi dengan menerima otonomi khusus dulu sebelum referendum?
Rakyat, dalam kongres, tidak memberikan mandat untuk menerima otonomi ataupun referendum. Jadi, PDP melakukan dialog-dialog di AS atau PBB agar hak kami dikembalikan. PDP tidak melobi untuk otonomi khusus. Rakyat memberi mandat untuk merdeka, sehingga PDP tidak melibatkan diri dalam upaya pembicaraan masalah otonomi khusus. Sebab, rakyat tidak menghendaki otonomi khusus. Karena itu, PDP juga dengan penuh ketekunan dan keikhlasan menjalankan amanat rakyat dalam Kongres Rakyat Papua. Rakyat merasa kemerdekaan harus dicapai. Maka kami minta hak itu dikembalikan.

Apa keberatannya PDP belum juga berinisiatif untuk berdialog dengan pemerintah sekarang?
Di Kongres Rakyat Papua, mereka (rakyat) tidak memberi mandat otonomi khusus. Jadi, yang harus kami lakukan mengupayakan agar kemerdekaan dikembalikan.

Bagaimana dengan PBB?
Kemerdekaan kami direbut (oleh RI) dengan kekerasan, intimidasi, dan rekayasa. Sebenarnya, pada 1962, sudah ada pembicaraan di PBB antara Indonesia dan Belanda. Kita telah merdeka pada 1961. Kami juga mengirim delegasi, tapi tidak dimasukkan dalam dialog. PBB cacat hukum. Mereka tidak bisa berbicara atas nama rakyat Papua. Ini tanah Papua, bukan tanah PBB atau tanah Indonesia atau tanah Belanda. Tidak pernah sampai hari ini AS berbicara tentang perjanjian tahun 1969. Kita adalah negara merdeka. Kita sudah punya bendera dan lagu kebangsaan. Itu gila.

Bagaimana sebenarnya hubungan OPM dengan PDP karena terdengar sering terjadi konflik di antara keduanya?
Sebenarnya kami satu. OPM ataupun PDP menginginkan Papua merdeka. Pada 1998, kami minta mereka melebur dalam perjuangan. Bukan OPM lagi, tapi perjuangan semesta bangsa Papua. Dengan demikian, mereka merupakan bagian dari rakyat Papua. Jadi kita terima. Dulu Pak Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan itu gerakan separatisme. Tapi saya bantah. Tidak ada separatisme di Papua. Yang ada adalah perjuangan demi harga diri. Jadi bukan OPM. Tapi Organisasi Papua Merdeka bukan separatisme. Kami tidak menerima kata itu.

Dengan bergantinya presiden dari Abdurrahman ke Megawati?
Meski Indonesia berganti presiden, perjuangan bangsa Papua tetap jalan. Kita berhenti berjuang hanya apabila Yesus “diganti”. Dalam doa kepada Tuhan, kita berbicara kebenaran. Indonesia merdeka pada “18 Agustus” 1945, itu benar. Dan kemudian Indonesia memiliki UUD 1945, yang dalam pembukaannya disebutkan dengan jelas bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Karena itu, bangsa Papua juga punya hak untuk merdeka.

Tapi apa PDP benar-benar merepresentasikan seluruh rakyat Papua? Sebab, masih ada orang yang mau berintegrasi dengan Indonesia, bahkan menerima otonomi khusus.
Seluruh rakyat Papua, kecil-besar, tua-muda, lelaki-perempuan, yang tinggal di dalam atau di luar negeri, yang hidup ataupun yang mati, semua menghendaki kemerdekaan Papua. Hanya segelintir yang tidak demikian, orang-orang semacam Freddie Numberi yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Mereka menipu diri sendiri, bangsa Papua, dan juga menipu Tuhan.

Bagaimana dengan kemungkinan referendum seperti Timor Timur?
No way. Papua adalah segala-galanya. Dan Papua tidak bisa dibandingkan dengan Tim-Tim. Tim-Tim belum pernah merdeka. Tapi Papua sudah merdeka. Kami sudah mendeklarasikannya. Kami punya lagu kebangsaan dan bendera negara, berbeda dengan Tim-Tim.

Tapi Anda pernah menjadi anggota DPRD selama tiga periode.
Anda tahu kondisi saat itu. Kita tidak boleh bicara beda. Berpikir beda pun sudah dibunuh.
(Di akhir pertemuan sambil makan siang, TEMPO berniat membayar. Tapi Theys langsung menolaknya. “Tidak. Saya ini bapak bangsa Papua. Dan kamu adalah anakku. Jadi, bapak punya kewajiban membayari anaknya,” ujar Theys sambil terbahak-bahak.)

TEMPO, No. 38/XXX/19 – 25 November 2001. http://dir.groups.yahoo.com/group/PPDi/message/1891

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny