4 NEGARA BONEKA ALA PETER W.BOTHA DI AFRIKA SELATAN DAN 5 PROVINSI BONEKA ALA IR. JOKO WIDODO DI TANAH PAPUA

Artikel: Operasi Militer di Papua 2022

“5 provinsi di Papua untuk jumlah penduduk 4.392.024 jiwa dan untuk 5 Kodam, 5 Polda dan puluhan Kodim, Korem, Polres dan Polsek. Tanah Papua menjadi Rumah Militer dan Kepolisian. Penguasa Indonesia buat masalah baru dan luka di dalam tubuh bangsa Indonesia semakin membusuk dan bernanah. Penguasa Indonesia miskin ide, kreativitas dan inovasi serta kehilangan akal normal menghadapi persoalan krisis kemanusiaan dan ketidakadilan di Papua”

Oleh: Gembala Dr. Socratez S. Yoman, MA

“….7 provinsi, syarat untuk meredam pemberontakan. Ini masalah keamanan dan masalah politik. …syarat-syarat administratif nanti kalau sudah aman bikin syarat-syarat administratif. Seluruh Irian, tidak sampai dua juta orang.” ( Haji Abdullah Mahmud Hedropriyono).

Jenderal (Purn) TNI Prof. Dr. Ir. Drs. H.Abdullah Mahmud Hendropriyono, S.T., S.H. S.E., S.I.P., M.B.A., M.A., M.H., lebih dikenal A.M. Hendropriyono adalah salah satu tokoh intelijen dan militer Indonesia.

Melihat dari pernyataan Abdullah Mahmud Hendropriyono, “Indonesia sesungguhnya kolonial moderen di West Papua. Ini fakta yang sulit dibantah secara antropologis dan sejarah serta realitas hari ini.” (Dr. Veronika Kusumaryati, 10 Agustus 2018; lihat Yoman: Melawan Rasisme dan Stigma di Tanah Papua, 2020:6).

Jumlah Penduduk West Papua dalam dua provinsi masing-masing: Provinsi Papua 3.322.526 jiwa dan Papua Barat 1.069.498 jiwa. Totalnya 4.392.024 jiwa.
Penulis mencoba membagi secara merata dari total penduduk 4.392.024 jiwa untuk lima provinsi.

  1. Provinsi Papua akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.
  2. Provinsi Papua Barat akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.
  3. Provinsi BONEKA I akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.
  4. Provinsi BONEKA II akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.
  5. Provinsi BONEKA III akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.

Pertanyaannya ialah apakah jumlah penduduk masing-masing provinsi 878.404 jiwa layak dan memenuhi syarat untuk menjadi sebuah provinsi?

Penulis melakukan komparasi jumlah penduduk provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

  1. Jumlah Penduduk Jawa Barat 46.497.175 jiwa.
  2. Jumlah Penduduk Jawa Tengah 35.557.248 jiwa.
  3. Jumlah Penduduk Jawa Timur 38.828.061 jiwa.

Pertanyaannya ialah mengapa pemerintah Republik Indonesia tidak melakukan pemekaran provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang jumpah penduduk terbanyak?
Konsekwensi dari kekurangan jumlah penduduk di provinsi ini, penguasa kolonial moderen Indonesia akan memindahkan kelebihan penduduk orang-orang Melayu Indonesia ke provinsi-provinsi boneka ini.

Lima provinsi ini juga dengan tujuan utama untuk membangun 5 Kodam, 5 Polda, puluhan Kodim dan puluhan Polres dan berbagai kesatuan. Tanah Melanesia ini akan dijadikan rumah militer, polisi dan orang-orang Melayu Indonesia.

Akibat-akibat akan ditimbulkan ialah orang asli Papua dari Sorong-Merauke akan kehilangan tanah karena tanah akan dirampok dan dijarah untuk membangun gedung-gedung kantor, markas Kodam, Polda, Kodim, Polres. Manusianya disingkirkan, dibuat miskin, tanpa tanah dan tanpa masa depan, bahkan dibantai dan dimusnahkan seperti hewan dengan cara wajar atau tidak wajar seperti yang kita alami dan saksikan selama ini.

Ada fakta proses genocide (genosida) dilakukan penguasa kolonial moderen Indonesia di era peradaban tinggi ini. Kejahatan penguasa kolonial Indonesia terus mulai terungkap di depan publik. Tahun 1969 ketika bangsa West Papua diintegrasikan ke dalam Indonesia, jumlah populasi OAP sekitar 809.337 jiwa. Sedangkan PNG berkisar 2.783.121 jiwa. Saar ini pertumbuhan penduduk asli PNG sudah mencapai 8.947.024 juta jiwa, sementara jumlah OAP masih berada pada angka 1, 8 juta jiwa.

Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia adalah benar-benar penguasa kolonial moderen yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa West Papua.

Dr. Veronika Kusumaryati, seorang putri generasi muda Indonesia dalam disertasinya yang berjudul: Ethnography of Colonial Present: History, Experience, And Political Consciousness in West Papua, mengungkapkan:
“Bagi orang Papua, kolonialisme masa kini ditandai oleh pengalaman dan militerisasi kehidupan sehari-hari. Kolonialisme ini juga bisa dirasakan melalui tindak kekerasan yang secara tidak proporsional ditunjukan kepada orang Papua, juga narasi kehidupan mereka. Ketika Indonesia baru datang, ribuan orang ditahan, disiksa, dan dibunuh. Kantor-kantor dijarah dan rumah-rumah dibakar. …kisah-kisah ini tidak muncul di buku-buku sejarah, tidak di Indonesia, tidak juga di Belanda. Kekerasan ini pun tidak berhenti pada tahun 1960an” (2018:25).

Pemerintah Indonesia mengulangi seperti pengalaman penguasa kolonial Apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1978, Peter W. Botha menjadi Perdana Menteri dan ia menjalankan politik adu-domba dengan memecah belah persatuan rakyat Afrika Selatan dengan mendirikan Negara-negara boneka:

  1. Negara Boneka Transkei.
  2. Negara Boneka Bophutha Tswana.
  3. Negara Boneka Venda.
  4. Negara Boneka Ciskei.
    (Sumber: 16 Pahlawan Perdamaian Yang Paling Berpengaruh: Sutrisno Eddy, 2002, hal. 14).

Ancaman serius dan tersingkirnya orang asli Papua di Tanah leluhur mereka dengan fakta di kabupaten sudah dirampok oleh orang-orang Melayu dan terjadi perampasan dari hak-hak dasar dalam bidang politik OAP. Lihat bukti dan contohnya sebagai berikut:
1.Kabupaten Sarmi 20 kursi: Pendatang 13 orang dan Orang Asli Papua (OAP) 7 orang.

  1. Kab Boven Digul 20 kursi: Pendatang 16 orang dan OAP 6 orang
  2. Kab Asmat 25 kursi: Pendatang 11 orang dan OAP 14 orang
  3. Kab Mimika 35 kursi: Pendatang 17 orang dan OAP 18 orang
  4. Kab Fakfak 20 kursi: Pendatang 12 orang dan OAP 8 orang.
  5. Kab Raja Ampat 20 kursi: Pendatang 11 orang dan OAP 9 orang.
  6. Kab Sorong 25 kursi: Pendatang 19 orang dan OAP 7 orang.
  7. Kab Teluk Wondama 25 kursi: Pendatang 14 orang dan OAP 11 orang.
  8. Kab Merauke 30 kursi: Pendatang 27 orang dan OAP hanya 3 orang.
  9. Kab. Sorong Selatan 20 kursi. Pendatang 17 orang dan OAP 3 orang.
  10. Kota Jayapura 40 kursi: Pendatang 27 orang dan OAP 13 orang.
  11. Kab. Keerom 23 kursi. Pendatang 13 orang dan OAP 7 orang.
  12. Kab. Jayapura 25 kursi. Pendatang 18 orang dan OAP 7 orang.
    Sementara anggota Dewan Perwakilan Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai berikut:
  13. Provinsi Papua dari ari 55 anggota 44 orang Asli Papua dan 11 orang Melayu/Pendatang.
  14. Provinsi Papua Barat dari 45 anggota 28 orang Melayu/Pendatang dan hanya 17 Orang Asli Papua.

Nubuatan Hermanus (Herman) Wayoi sedang tergenapi: “Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggatinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigrasi dari luar daerah dalam jumlah ribuan untuk mendiami lembah-lembah yang subur di Tanah Papua. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di tanah ini…” (Sumber: Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat: Yoman, 2007, hal. 143). Dikutip dari Makalah Tanah Papua (Irian Jaya) Masih Dalam Status Tanah Jajahan: Mengungkap Hati Nurani Rakyat Tanah Papua ( Bandar Numbay, Medyo Februari 1999).

Pemekaran kabupaten/provinsi di West Papua sebagai operasi militer itu terbukti dengan dokumen-dokumen Negara sangat rahasia.

Departemen Dalam Negeri, Ditjen Kesbang dan LINMAS: Konsep Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah dan Pengembangan Jaringan Komunikadi dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. ( Sumber: Nota Dinas. No.578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000 berdasarkan radiogram Gubernur (caretaker) Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya No. BB.091/POM/060200 tanggal 2 Juni 2000 dan No.190/1671/SET/tertanggal 3 Juni 2000 yang berhubungan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri orang Asli Papua.

Adapun data lain: “Dokumen Dewan Ketahanan Nasional Sekretariat Jenderal, Jakarta, 27 Mei 2003 dan tertanggal 28 Mei 2003 tentang: ‘Strategi Penyelesaian Konflik Berlatar Belakang Separatisme di Provinsi Papua melalui Pendekatan Politik Keamanan.”

Lembaga-lembaga yang melaksanakan operasi ini ialah Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Luar Negeri, khusus untuk operasi diplomasi, Kepolisian Kepolisian Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), Badan Intelijen Stategis (BAIS TNI), KOSTRAD dan KOPASSUS.

Ada bukti lain penulis mengutip penyataan Abdullah Mahmud Hendropriyono, sebagai berikut:
“Kalau dulu ada pemikiran sampai 7 provinsi. Yang diketengahkan selalu syarat-syarat untuk suatu provinsi. Yah, ini bukan syarat suatu provinsi, syarat untuk meredam pemberontakan. Itu. Ini masalah keamanan dan masalah politik. Bukan begini. Ini masalah keamanan dan masalah politik. Jadi, syarat-syarat administratif seperti itu, ya, nanti kalau sudah aman bikin syarat-syarat administratif. Begitu loh. Tidak sampai dua juta pak. Seluruh Irian, tidak sampai dua juta. Makanya saya bilang, usul ini, bagaimana kalau dua juta ini kita transmigrasikan. Ke mana? Ke Manado. Terus, orang Manado pindahin ke sini. Buat apa? Biarkan dia pisah secara ras sama
Papua New Guini. Jadi, dia tidak merasa orang asing, biar dia merasa orang Indonesia. Keriting Papua itukan artinya rambut keriting. Itu, itukan, istilah sebutulnya pelecehan itu. Rambut keriting, Papua, orang bawah. Kalau Irian itukan cahaya yang menyinari kegelapan, itu Irian diganti Papua…”

Penguasa Pemerintah Indonesia jangan menipu rakyat dan membebani rakyat Indonesia hampir 85% rakyat miskin. Karena, Bank Indonesia(BI) mencatat Utang Luar Negeri ( ULN) Indonesia pada Februari 2020 dengan posisi hampir 6000 miliar dollar AS. Dengan begitu, utang RI tembus Rp 6.376 triliun (kurs Rp 15.600). (Sumber: Kompas.com, 15 April 2020).

Indonesia sebaiknya menyelesaikan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia yaitu 4 pokok akar masalah Papua. Terlihat bahwa Pemerintah dan TNI-Polri bekerja keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar persoalan sebagai berikut:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

“Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua” (Sumber: Franz Magnis:Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: 2015: 255).

Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).

Diharapkan, solusi untuk mengakhiri semua persoalan ini, Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam seruan moral pada 21 November diserukan, sebagai berikut:
“Miminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58 tahun.”

“Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme sistemik pada orang asli Papua yang terus-menerus meningkat.”

“Presiden Joko Widodo tetap konsisten mewujudkan statemennya pada 30 September 2019 untuk berdialog dengan kelompok Pro Referendum, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki pada 15 Aguatus 2005.”

Ita Wakhu Purom, Rabu, 19 Januari 2022
Penulis:

  1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
  2. Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
  3. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC).
  4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
    Nomor kontak penulis: 08124888458/HP/WA
TolakDOBPapua #TolakPemekaran #TolakUUOtsusJilidII #TolakOtsusJilidII #TolakOtsus #FreeWestPapua #Referendum

Tokoh Papua Ingatkan Pemerintah Soal Pertemuan Solomon

Rabu, 29 Juni 2016, 15:58 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koordinator Gerakan Papua Optimis, Jimmy Demianus Ijie menyatakan pemerintah seharusnya tidak meremehkan pertemuan mengenai masalah Papua di Kepulauan Solomon pada 14-16 Juli 2016. “Jangan meremehkan gerakan semacam itu. Ini ancaman serius,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (29/6).

Pemerintah semestinya mengambil sejumlah langkah nyata dan strategis guna menjadi solusi komprehensif untuk menyelesaikan masalah Papua, terutama terkait manuver kelompok yang mengatasnamakan masyarakat Papua di forum internasional. “Persoalan Papua saat ini bukan lagi hanya mencakup ranah domestik, tapi sudah lama menjadi isu internasional,” katanya.

Bahkan, kata Jimmy, berbagai upaya internasionalisasi seringkali membuat posisi Indonesia serba salah dalam menyikapi persoalan di Papua. Dalam beberapa tahun terakhir kelompok-kelompok itu mengubah strategi dan tak menggunakan kekerasan, tapi melalui diplomasi.

“Sebagai bagian dari kepedulian kami kepada bangsa ini, kami minta pemerintah lebih serius urusi Papua,” kata Ketua DPRD Papua Barat 2004-2009 dan Wakil Ketua DPRD Papua Barat 2009-2014 ini.

Karena itu, Jimmy meminta pemerintah mengantisipasi pertemuan di Solomon pada 14-16 Juli mendatang. “Jangan terlalu ‘over confidence,” katanya.

Dia mengatakan, pemerintah juga perlu mempercepat pembangunan di Papua dengan membentuk tiga provinsi baru, yaitu Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya. “Soal Papua belajarlah dari Soekarno saat pembebasan Irian Barat. Di saat seru-serunya diplomasi pembebasan, Soekarno sudah berani mengumumkan pembentukan provinsi,” katanya.

Dia mempertanyakan mengapa sekarang pemerintah dan DPR tak berani menyatakan pembentukan Provini Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya. “Memang pemekaran ada konsekuensinya soal anggaran, tapi semestinya tak berlaku untuk Papua yang luasnya tiga setengah kali Pulau Jawa,” katanya.

Dia mengatakan, pembentukan tiga provini baru di Papua sudah melalui proses panjang dan akan sangat penting untuk memacu perkembangan wilayah serta mempersempit gerakan yang dapat menggoyahkan NKRI. “Apa susahnya bentuk lima provinsi? Untuk Papua jangan hanya merasa terbebani anggaran. Uang bisa dicari. Tapi kehilangan kedaulatan tidak akan bisa kembali,” katanya.

Dia mengingatkan jajaran pemerintah agar jangan main-main dengan isu Papua dengan menganggap remeh persoalan Papua. “Jangan tonjolkan ego sektoral. Kita harus serius,” katanya.
Sumber : Antara

Pemerintahan Baru Ingin Mekarkan Provinsi di Papua

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo KumoloJakarta – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan pihaknya akan mengutamakan pembentukan daerah otonom baru berupa dua provinsi baru di Papua.

“Ke depan, akan ada skala prioritas pemekaran daerah. Kami (Kemendagri) ingin memekarkan provinsi di Papua. Kami berkonsultasi dengan semua pihak untuk menambah minimal satu sampai dua provinsi di Papua,”

kata Tjahjo usai serah terima Jabatan di halaman Gedung Kemendagri Jakarta, Jumat.

Prioritas pembentukan DOB di Papua tersebut diharapkan dapat memeratakan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.

Mendagri menilai Papua menjadi wilayah yang penting, sehingga perlu dipercepat proses pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah paling timur Indonesia itu.

“Papua itu wilayah yang besar, ada intervensi asing di sana yang tidak hanya menyangkut pendayagunaan sumber daya alam tetapi juga mulai merambat ke sektor-sektor lain,”

kata Tjahjo.

Sementara itu, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan menjelaskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah telah diperbaharui peraturan mengenai mekanisme pembentukan daerah otonom baru (DOB).

“Nasib calon daerah otonom baru, termasuk yang kemarin ada 87 usulan yang di-pending DPR, harus mengusulkan ke Pemerintah melalui Kemendagri kalau mereka menghendaki pemekaran karena pintunya sekarang hanya satu, yakni di Pemerintah Pusat,”

kata Djohermansyah ditemui secara terpisah.

Selain itu, Djo mengatakan, dalam UU Pemda yang baru tersebut juga diatur hal baru mengenai usulan pembentukan daerah otonom baru tidak hanya mempertimbangkan usulan dari daerah induk, melainkan Pusat pun bisa mengusulkan pemekaran daerah.

“Mekanisme baru yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 itu yakni usulan pemekaran daerah tidak hanya muncul secara ‘bottom-up’, tetapi bisa juga ‘top-down’ yaitu dibentuk dari Pusat dengan alasan kepentingan strategis nasional,”

kata Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu.

Djo mencontohkan usulan Pusat tersebut adalah pembentukan DOB di daerah perbatasan yang mendesak, sehingga jika menunggu usulan dari daerah induk setempat akan menimbulkan gejolak politik lokal.

“Kalau usulan DOB di daerah perbatasan itu mengikuti prosedur usulan dari daerah, yang akan ada permainan politik lokal di bawah, maka tidak akan jadi itu DOB. Padahal segera memerlukan otonomi untuk mengurus rumah tangga di daerahnya,”

ujarnya. (ant/don)

Sabtu, 01 November 2014 00:52, BinPa

Pastor Jhon Jonga: Alasan Pemekaran Kabupaten untuk Kesejahteraan Rakyat itu Bohong

Pastor Jhon Jonga

Wamena  – Makin gencarnya pengusulan puluhan pemekaran kabupaten dan kota di Provinsi Papua dan Papua Barat yang diklaim lebih mendekatkan pelayanan pemerintahan dan pembangunan, mendokrak kesejahteraan rakyat, menurut Pastor Jhon Jonga Pr, bohong belaka.

Kata Pastor Jhon, semangat para elit Papua dan Papua Barat yang mendorong pemekaran kabupaten dan kota ini kebanyakan dibungkus dengan kepentingan kelompok atau berdasarkan keinginan para elit belaka.

“Fakta yang saya lihat selama ini ketika telah dimekarkan suatu wilayah menjadi kabupaten baru, kelakukan pejabatnya mulai dari tingkatan bawah sampai pejabat kepala dinas menjauh dari rakyat dan hanya mengejar kepentingan semata,”

katanya kepada SULUH PAPUA di Wamena, Jumat (8/11).

Pastor Jhon mengatakan hadirnya kabupaten pemekaran itu banyak rakyat terlantar, banyak rakyat yang miskin bahkan yang sangat ironisnya banyak pengangguran, dan bahkan pejabat ini tidak memberikan pelayaan pemerintahan dan pembangunan  yang  maksimal kepada masyarakat.

Dia menilai juga, kriteria yang digunakan sebagai syarat untuk pemekaran kabupaten tersebut tidak memenuhi syarat, khusunya jumlah penduduk, luas wilayah dan peryaratan formal lainnya. Dia mencontohkan di Kampung Hepuba Distrik Asolokobal kabupaten Jayawijaya tempat ia mengabdi jumlah penduduknynya tidak sampai 100 jiwa bahkan jumlah  kepala keluarganya cuman sekitar 25 orang.

“Saya mengakui juga kalau akibat pemekaran kampung, distrik hingga kabupaten tidak ada pelayanan yang maksimal terutama pelayanan pendidikan dan kesehatan di tingkat masyarakat paling bawah. Ini masalah mendasar yang saya lihat dampak dari pemekaran distrik lalu naik jadi pemekaran kabupaten,”

pungkasnya. (D/CR8/R2)

Saturday, 09-11-2013

Jangan Gadaikan Ideologi Papua Merdeka Dengan Pemekaran

Peta Papua

YOGYA – Mahasiswa dari berbagai jurusan yang ada di daerah JATENG kembali mengelar diskusi terkait komentar Indrayanto, Direktur Jenderal Pemetaan dan Pemekaran Wilayah Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri mengaku diancam oleh tim pemekaran DOB dari Tanah Papua dengan isu Papua Merdeka bila pusat menolak usulan  DOB dari mereka.
“Kami ditekan oleh tim pemekaran bahwa jika pemerintah pusat bersama anggota DPR/DPD RI tidak menerima usulan pemekaran, maka Papua akan keluar dari Negara Indonesia,”
tutur Indrayanto mengakui tekanan yang diterima.
Jangan gadaikan ideologi manusia dengan sesuatu barang, dan ideologi itu tidak ada pernah lumpuh dari otak manusia sekalipun ideologi itu dimaniskan dengan berbagai cara, program, dan barang berharga apapun. Itulah pokok-pokok diskusi jurusan pemerintah daerah JATENG Rabu, 06/11/2013 di kota baru Yogyakarta saat makan siang berlangsung. 
Hal yang paling aneh adalah ketika ideologi manusia itu digadaikan dengan sesuatu hal yang manis untuk dinikmati sendiri. Hal yang paling lucu adalah ketika ideologi suatu bangsa dan ras manusia itu digadaikan dengan sesuatu program yang tidak akan pernah menghasilkan nilai positif bagi bangsa dan ras tersebut. Kata Donatus B.Mote mengawali diskusi terkait pemekaran di Papua.
Mote mengutip perkataan MK saat puluhan mahasiswa Papua menolak pemekaran
Kami juga ditekan dengan bahasa; kalau tidak diberikan pemekaran di Papua maka kami siap keluar dari NKRI”.
Ungkapan itu, Mote; sebagai mahasiswa tulang punggung bangsa Papua sangat mengayangkan ungkapan tersebut.
“jangan gadaikan Ideologi bangsa Papua dengan pemekaran di Papua sebab sesungguhnya ideologi yang tertanam dan sedang bertumbuh dalam manusia itu tidak bisa dihapuskan dengan barang berharga apapun.
 Tegas Donatus, pemimpin diskusi lepas terrsebut.
Sementara itu, Salah satu Mahasiswa Diponegoro Semarang “Imam” mengatakan;
saya terkejut ketika baca berita bahwa, elit-elit lokal di Papua menekan “kalau tidak diberikan pemekaran di Papua berarti kami siap keluar dari NKRI”.
 Kata Imam.
Lanjut Iman;
saya tidak tahu, apa benar mereka ungkapkan seperti itu atau hanya ucapan manis di MK untuk mendiamkan masa aksi yang datang di kantor. Namun, saya sebagai mahasiswa yang berdiri netral kembali mengatakan dengan tegas bahwa; sesungguhnya ideologi suatu bangsa dan ras itu tidak bisa digadaikan dengan barang apapun sekalipun dengan emas dan perak.
Tegas Imam, Yang selalu ikuti perkembambangan Papua.
Tonchi, salah satu mahasiswa jurusan pemerintahan di UGM kembali memperkuat;
memang ideologi orang Papua itu tidak bisa dilumpuhkan sekalipun dengan manisnya program pemerintah pusat dan daerah. Apalagi ideologi atau Papua ingin keluar dari NKRI itu bukan hal yang baru muncul di Jakarta, tetapi sudah ada sejak 1962 Papua dianeksasi ke dalam NKRI.
Kata Tonci dalam diskusi.
Saya sangat lucu dan merasa aneh, melihat tingkah laku dari pemerintah Pusat. Kelihatannya dalam Negara Indonesia ini ada wilayalah-wilayah yang dimanja oleh pemerintah dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain.
Jelas Tonci
Lanjut,
jujur saja bahwa, selama ini saya melihat Papua itu wilayah yang dimanja oleh Negara. Kenapa? Karena Negara mencoba untuk melumpuhkan ideologi Papua Merdeka. Tetapi hal yang perlu kita lihat adalah; ideologi suatu bangsa itu tidak bisa dihilangkan oleh Negara sekalipun menjalankan dengan bentuk kekerasan oleh satuan militer.
Tambahnya Tonci.
Dalam diskusi tersebut, Fitria; seorang perempuan yang aktif dalam berbagai organisasi kampus mengakatan dengan singkat
daripada Negara menghabiskan dana triliyunan di Papua, lebih bagus dilepaskan saja. Kenapa? Karena memang ideologi suatu bangsa itu tidak bisa dihilangkan dengan jumlah dana besar yang selama ini Negara kasih ke Papua.Kata Fitria, dalam penuh harapan akan kehidupan masyarakat Papua.
Lebih baik, lanjut Fitria;
Negara fokus terhadap wilayah-wilayah lain yang ada di NKRI. Biarkan saja Papua mau lepas dari NKRI atau tidak karena sudah cukup banyak dana yang dihabiskan di Papua.
Sekitar dua jam lebih disuksi berjalan. Untuk mengakhiri diskusi, forum menyimpulkan bahwa, Ideologi masyarakat Papua tidak bisa dihilangkan oleh pemekaran. Orang-orang yang datang minta pemekaran di Jakarta dengan mengadaikan ideologi masyarakat Papua “RAS MELANESIA” adalah orang-orang yang tidak mempunyai identitas dan telah didoktrin oleh Negara. Orang-orang yang datang di Jakarta itu, masyarakat Papua musti bertanya kembali. Kata Donatus, pengurus KOMAP APMD(Editor: Bidaipouga)
Jumat, November 08, 2013 ,timipotu

Tolak Pemekaran, AMP Turun Jalan

Long march AMP dari Asrama Papua menuju tik nol. Foto: MS

Yogyakarta — Puluhan pemuda, masyarakat dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) turun jalan melakukan aksi damai sebagai bentuk penolakan terhadap 33 Daerah Otonomi Baru (DOB), 3 provinsi dan 30 lainnya kabupaten/kota di tanah Papua.

Aksi damai dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) diawali dari Asrama Mahasiswa Papua, jalan Kusuma Negara. Massa yang diperkirakan ratusan orang melakukan long march ke titik nol (di depan kantor pos) Yogyakarta Senin (4/11/2013) siang.

Mengenakan pakaian berwarna hitam sebagai duka dan merah sebagai bentuk darah yang terus berlumuran di papua akibat pemekaran yang membludak. Sepanjang perjalanan, massa aksi dari wilayah Jawa tengah yang meliputi Yogyakarta, Solo dan Semarang diiringi dengan beberapa yel-yel diantaranya, Papua Merdeka, Tolak Pemekaran dan tarik Militer dari Papua.

Massa aksi juga membentangkah 2 buah spanduk yang bertuliskan

“Negara Bertanggung Jawab atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Papua” serta spanduk lainnya bertuliskan “Referendum Now for West Papua”

selain kedua spanduk, dalam aksi ini massa aksi dari AMP juga membawa belasan poster berukuran A2.

“Pemekaran memisahkan orang Papua, Pemekaran juga memisahkan mama-mama Papua, Pemekaran memisahkan mahasiswa Papua, ini jelas. Mereka secara terang-terangan memisahkan kita. Orang Papua semakin habis, pendatang semakin hari semakin meningkat di Papua,”

kata Alfridus Dumupa dalam orasinya.

“Hari ini terjadi pembantaian, terjadi pergeseran budaya, kami tidak pernah diam, untuk bicara yang benar atas hak-hak kami. Pemekaran hanya semata-mata untuk mendatangkan transmigrasi dan TNI/Polri guna mendiskriminasi orang Papua, Negara harus buka mata,”

ungkap Hery orator lainnya.

Sementara itu juru bicara aksi Mapen David kepada majalahselangkah.com mengatakan Pemekaran di Papua hanya kepentingan semata. Orang Papua tidak meminta pemekaran, namun, Negara memaksakan pemekaran itu di Papua.

“Maraknya pemekaran di Papua, secara tidak langsung kami ini menuju pada titik kepunahan. Itu hanya kepentingan NKRI sendiri terhadap tanah Papua, karena tidak ada evaluasi dalam pelaksanaan daerah otonomi baru di Papua, sehingga kami melihat ini merupakan sarat kepentingan dari pusat terhadap Papua,”

ungkapnya di sela-sela aksi.

“Kami melihat dengan jumlah penduduk di Papua itu sendiri saat ini sangat minim dibandingkn penduduk pendatang dari luar Papua, sekarang dimekarkan 33 pemekaran baru lagi, apakah itu layak?”

tanyanya.

Mapel juga menambahkan, dalam UU sudah mengatakan layak dimekarkan apabila dalam satu wilayah jumlah penduduknya minimal 60.000 jiwa. Namum di Papua tidak mencapai.

“Ini sama halnya dengan melanggar undang-undang yang dibuatnya sendiri dan dalam hal ini kami melihat bahwa ada kepentingan yang dimainkan dalam pengesahan pemekaran itu. Hadirnya kabupaten akan menambah jumlah pasukan di Papua dan akan terjadi Daerah operasi Militer (DOM) serta masyarakat asli akan terus terpinggirkan.”

Menurutnya, Pemekaran tidak membawa kesejahteraan bagi Papua tetapi itu akan menjadi pintu konflik bagi rakyat Papua menuju pemusnahan etnis melanesia.

“Sekarang saja penduduk asli menjadi minoritas di Papua, apalagi membuka daerah otonomi baru akan menambah penduduk dari luar Papua dan penduduk asli tetap akan menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri bahkan semakin termarginalkan,”

kata David mengkritik.

Bukan hanya itu, massa aksi juga mendesak pemerintah rezim SBY-Boediono menarik militer dari Papua dan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk Papua. (MS/Mateus Ch. Auwe)

 Senin, 04 November 2013 23:40,MS

33 DOB di Papua: Mendagri Mengaku Ditekan, Mahasiswa Demo Menolak

Mahasiswa Papua di Jakarta demo tolak 33 DOB di tanah Papua. Foto: Eli.

Jakarta — Sebanyak 33 DOB, meliputi 30 daerah Kabupaten/Kota dari total 65 DOB di seluruh Indonesia, dan 3 provinsi tambahan telah diusulkan kepada pemerintah RI oleh DPR RI untuk ditempatkan di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat).

Rakyat Papua menolak. Seperti diberitakan pada media ini sebelumnya, seluruh elemen masyarakat Papua menyatakan menolak. Pemekaran dinilai hanya keinginan minoritas elite lokal Papua yang haus akan kekuasaan, jabatan dan uang.

Mahasiswa Papua Demo Tolak 33 DOB di Tanah Papua

Kali ini, giliran mahasiswa Papua  yang melakukan di beberapa titik untuk menolak 33 DOB di tanah Papua.

Di Yogyakarta, hari ini, Senin (4/11/13), ratusan mahasiswa Papua melakukan aksi damai, menolak 33 DOB di tanah Papua.

Di Jakarta, juga di hari ini, di depan gedung DPR RI, puluhan mahasiswa Papua di sekitar Jakarta melakukan aksi damai, menolak 33 DOB di tanah Papua.

Alasan mahasiswa tetap sama. Orang asli Papua jadi minoritas (berkisar 30%) dari keseluruhan penduduk Papua saat ini. 33 DOB hanya akan menjadi pintu buat pendatang dari luar Papua (imigran) datang lebih banyak lagi. Ini mengancam eksistensi OAP.

Juga, 33 DOB berarti akan ada 33 kali lipat pertambahan militer, kepolisian, dan kesatuan militer Indonesia lainnya di tanah Papua. Dengan jumlah militer Indonesia di Papua saat ini saja, banyak masalah pelanggaran HAM terjadi.

Bagaimana bila  jumlah militer bertambah 33 kali ketika  33 DOB disahkan? Itu satu pertanyaan mahasiswa, mengingat militer di Papua selalu membuat masalah.

Bila militer Indonesia di Papua dari dahulu identik dengan  posisi pelanggar Hak Asasi Manusia Papua, maka dengan bertambahnya militer, kemungkinan pelanggaran HAM di Tanah Papua juga meningkat.

Segi lain, juga karena OAP tersingkir secara ekonomi, dan aspek hidup yang lainnya.  Saat ini saja,  kata mahasiswa, OAP tidak diberdayakan, sehingga secara kuantitas jelas minoritas.  Juga, dalam aktivitas ekonomi, pendidikan, dan beberapa aspek hidup lainnya, OAP mulai tersingkir.

Ini juga, kata mahasiswa, karena tidak adanya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dari provinsi dan kabupaten yang ada di Tanah Papua saat ini.

Di tengah fenomena seperti ini, usulan 33 DOB  di Tanah Papua bukan solusi. Malah menurut mahasiswa, akan menjadi masalah serius,  bahkan ancaman bagi OAP.

Mahasiswa menuding, Tim Pemekaran dari Tanah Papua hanya memperjuangkan kepentingan perut, jabatan dan kekuasaan mereka, dengan cara-cara yang tidak legal, demi pemekaran DOB. Menurut mahasiswa, OAP tidak menghendaki DOB.

Sementara mahasiswa Papua dalam wadah Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menuntut untuk segera menghentikan semua produk kolonial Indonesia, dan menuntut self determination bagi bangsa Papua di Tanah Papua. karena menurut mereka, kedudukan indonesia di tanah Papua masih ilegal, dikarenakan manipulasi Pepera pada 1969 lalu, melalui tekanan militer Indonesia.

AMP menuntut Penentuan nasib Sendiri Bangsa Papua sebagai solusi demokratis bagi semua problematika hidup baik sosial, ekonomi dan politik di tanah Papua.

Mendagri  Mengaku Ditekan Tim Pemekaran

Elias, aktivis HAM Papua di Jakarta melaporkan langsung dari Jakarta kepada majalahselangkah.com, bahwa Indrayanto, Direktur Jenderal Pemetaan dan Pemekaran Wilayah Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri mengaku diancam oleh  tim pemekaran  DOB dari Tanah Papua dengan isu Papua Merdeka bila pusat menolak usulan  DOB dari mereka.

“Kami ditekan oleh tim pemekaran bahwa jika pemerintah pusat bersama anggota DPR/DPD RI tidak menerima usulan pemekaran, maka Papua akan keluar dari Negara Indonesia,”

tutur Indrayanto mengakui tekanan yang diterima.

“Kami takut dengan tekanan dan ancaman disintegrasi bagi Papua. Karena itu kami menerima usulan pemekaran,”

ungkapnya lagi.

Indrayanto lebih lanjut mengatakan,

“Aspirasi Mahasiswa akan menjadi bahan pertimbangan bagi kami saat pembahasan pemekaran antara Pemerintah dan DPR,”

saat menerima perwakilan massa aksi yang adalah mahasiswa Papua di ruang rapat kantor Mendagri, siang tadi, pukul 13.20 WIB. (MS/Topilus B. Tebai)

Senin, 04 November 2013 22:48,MS

SAFANPO : Pemekaran Mengkotak – Kotakan Generasi Muda Papua

Ilustrasi Pemekaran (IST)
Ilustrasi Pemekaran (IST)

Jayapura, 1/4 (Jubi) – Apolo Safanpo, Ketua Ikatan Cendekiawan Awam Katolik Papua (ICAKAP) mengatakan, pemekaran telah mengkotak-kotakan Generasi Muda Papua.

“Pemekaran baik Provinsi maupun kabupaten serta pembangunan asrama-asrama yang dibangun berdasarkan suku telah mengkotak-kotakan Anak-anak Muda Papua,”

kata Apolo Safanpo kepada wartawan di halaman SMU Taruna Bhakti Waena, Jayapura seusai menghadir Misa Paskah Nuansa Papua, Senin (1/4). Menurut Safanpo, pihaknya tetap ingin agar Generasi Muda Papua tetap berada dalam semangat kebersamaan dan kekeluargaan.

Sementara itu terkait ICAKAP, Aloysius Giay mengatakan, pertama pihaknya menyampaikan terima kasih kepada pengurus harian ICAKAP dan generasi mudanya yang sungguh luar biasa melaksanakan Misa Paskah Nuansa Papua.

“Kedua, barangkali harus dievaluasi untuk ke depan, terutama intelektual-intelektual Katolik harus betul-betul dilibatkan dalam tahapan pekerjaan dan terkhir, sangat menarik di dalam khotbah tadi disampaikan Pastor Frans bahwa apakah itu mempertahankan jati diri atau memperbaharui jati diri atau kembali pada jati diri. Ada tiga hal penting. Contoh, umat di kampung sekarang bukan makan dari kebun, bukan dari hasil jerih payahnya sendiri tetapi sekarang makan dari dana Otsus, raskin, beli sarden dan mie di toko,”

tutur Giay.

Menurut Giay, Ini adalah salah satu pergumulan pemimpin umat untuk melihat hal ini. Bagi dia, ini sudah berubah arah iman sehingga hal-hal ini juga termasuk dalam kehidupan ekonomi umat yang harus diperhatikan ke depan.

“Saya harap ICAKAP melakukan identifikasi umat saat ini. Mana yang harus dipertahankan iman dalam budaya kita, mana yang harus diperbaharui dan mana yang harus kembali ke jati diri awal,”

ujarnya.

Dia menambahkan, contohnya, Suku Mee di Paniai. Di dalam budaya maupun agama mengajarkan, kalau seorang yang mau menikah haruslah bisa membuat kebun, pagar dan perahu.

“Kalau belum bisa berarti dia belum bisa menikah. Hal-hal budaya seperti ini yang menyatu (inkulturasi) dengan iman Katolik harus benar-benar kita kaji kembali dan di perbaharui kembali,”

harap Giay. (Jubi/Aprila Wayar)

 April 1, 2013,21:19,TJ

Seby Sambom : TPN – OPM Tolak Pemekaran Wilayah Papua

Ilustrasi Peta Papua (IST)
Ilustrasi Peta Papua (IST)

Jayapura – Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (OPM), dibawah Komando Panglima Tinggi Gen Goliath Tabuni menolak tegas semua usulan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) yakni pemekaran provinsi baru di tanah Papua.

Tak hanya penolakan, TPN-OPM juga mewarning aktor yang merancang DOB atau pemekaran. Hal ini terungkap dalam siaran pers yang dikirim dari Seby Sambom, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) ketabloidjubi.com, Kamis (28/3).

Dalam siaran pers yang diterima menyebut, TPN-OPM menolak DOB karena penilaian TPN-OPM, pembentukan DOB bukan merupakan prioritas utama bagi kejahteraan orang asli Papua (Indigenous Peoples of West Papua). Menurut OPM, fakta membuktikan, semua pemekaran kabupaten dan provinsi di atas tanah Bangsa Papua Barat belum pernah memihak kepada masyarakat adat pribumi Papua.

“Dari hasil pemekaran yang telah berjalan saja tidak pernah memberikan jaminan kesejahteraan bagiIndigenous Peoples of West Papua, melainkan memperkaya diri para pejabat dan pegawai negeri sipil (PNS) orang asli Papua, serta memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi kaum imigran dari luar Papua. Imigran mendominasi dan memonopoli, serta menguasai daerah pemekaran baru dengan nafsu yang rakus,”

katanya dalam siaran persnya.

Masih dalam reales tersebut, semua pemekaran kabupaten, kota dan provinsi di atas tanah bangsa Papua Barat oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah yang bertujuan untuk

“West Papua to GENOCIDE”.

Bagi OPM, tulisnya, program ini diatur dengan cara terstruktur dan sistematik oleh pemerintah Republik Indonesia di wilayah tertimur ini. “TPN-OPM memperingatkan aktor orang Papua asli yang watak oportunis, agar segera hentikan niat jahatmu untuk membuat Pemekaran DOB yang tidak menguntungkan orang asli Papua,” tutur Goliat Tabuni dalam siaran persnya.

Goliat menambahkan, kaum oportunis Papua yang ambisius ini tidak mengindahkan peringatan TPN-OPM, maka aktor-aktor yang membuat pemekaran DOB akan menjadi target blacklist TPN-OPM, yang kemudian akan berhadapan dengan hukum Negara Papua Barat setelah merdeka.

“Ingat, TPN-OPM mempunyai data yang valid atas tindakan dan pernyataan-pernyataan kaum oportunis orang asli Papua, yang selalu mengobyekan isu Papua merdeka, guna memuluskan hasrat demi memperkaya familyisme, dengan jalan nepotisme dan kolusi. Oleh karena itu, TPN-OPM sangat tegas kepada semua aktor orang asli Papua, yang mana mewacanakan pemekaran DOB. Mengapa? Karena program DOB adalah proyek aparat keamanan Indonesia di tanah Papua, dengan tujuan genocide yang dapat dijelaskan di atas,”

ungkap Goliat.

Diakhir siaran pers itu, TPN-OPM mendukung penolakan pemekaran Provinsi Tabi dari Majelis Rakyat Papua (MRP), yang dikabarkan surat kabar harian Bintang Papua, Sabtu, 23 Maret 2013 lalu. Seperti diberitakan sebelumnya, MRP secara tegas menolak adanya pembentukan DOB tentang pembentukan Provinsi Tabi yang diusulkan lima kepala daerah kabupaten/kota se-Tanah Tabi, bahkan tim pemekaran sudah dibentuk baru-baru ini.

Menurut MRP, adanya aspirasi pemekaran provinsi, bukan satu – satunya obat untuk menyembuhkan penyakit bagi orang asli Papua atau bukan solusi untuk mensejahterakan orang asli Papua. Sehingga usulan pemekaran DOB, terutama bagi Provinsi Tabi yang saat ini sedang hangat diperbincangkan pasca Pilgub Papua.

“Dengan tegas saya menolak semua usulan pemakaran provinsi dan kabupaten di atas tanah Papua, lebih khususnya pemekaran Provinsi Tabi,”

ungkap Ketua MRP, Timotius Murib ketika menjawab pertanyaan Bintang Papua, usai menggelar Rapat Pleno, di Kantor MRP, belum lama ini. (Jubi/Musa)

 March 28, 2013,TJ

MRP Tolak Pemekaran Provinsi Tabi

JAYAPURA [PAPOS] – Majelis Rakyat Papua [MRP] secara tegas menolak usulan pembentukan daerah otonom baru [DOB] Provinsi Tabi yang diusulkan oleh tokoh-tokoh 5 kabupaten/kota se-Tanah Tabi, bahkan tim pemekaran telah terbentuk baru-baru ini.

“Adanya aspirasi pemekaran provinsi bukan satu-satunya obat untuk membunuh penyakit orang Papua atau bukan solusi menyejahterakan orang asli Papua. Karena itu, usulan pemekaran terutama Provinsi Tabi saya tolak secara tegas,” ungkap Ketua MRP, Timotius Murib kepada Papua Pos, Jumat (23/3) kemarin.

Dikatakannya, pemekaran Provinsi Tabi Ibarat guntur tanpa kilat, hujan tanpa guntur. “Kami merasa lucu adanya permintaan pemekaran ini, sebab selama dua tahun terakhir ini tidak pernah masuk proposal untuk pengusulan pemekaran provinsi,” ujarnya.

Timotius mengungkapkan, yang terpenting di daerah Provinsi Papua bagaimana pihak pemerintah provinsi baik itu gubernur maupun para bupati bisa mengalokasikan dana Otsus ke masing-masing daerah atau ke tingkat kampung karena dana Otsus di Papua cukup besar. Bagaimana pengalokasian dan bagaimana para bupati bisa mengelola dana Otsus itu dengan baik.

Ia juga mengingatkan para bupati maupun gubernur tidak boleh sekali-kali memberikan informasi yang salah atau menjanjikan kepada masyarakat bahwa pemekaran itu merupakan salah satu solusi untuk menyejahterakan masyarakat. “Kalau salah memberikan informasi dan tidak terbukti maka konsekensinya sangat besar kepada masyarakat,” tukasnya.

Karena itu, dirinya berharap agar ke depan para pejabat di Papua benar-benar menghimpun aspirasi untuk dijadikan suatu masukan atau aspirasi yang penting dalam rangka penyelenggara pembangunan secara benar sesuai dengan aspirasi masyarakat tersebut.

Ia kembali menegaskan, tetap tidak mengijinkan pemekaran provinsi di Papua ini. Ia mempertanyakan apa tujuan pemekaran itu. “Kalau terjadi pemekaran, Papua ini mau dikemanakan, sebab dari sekian ratus negara di dunia, sekarang Indonesia mulai didoakan khususnya di daerah Papua dan Kalimantan karena oksigen di Papua sangat besar. Kalau ada pemekaran, Papua akan kehilangan oksigan karena semua hutan ditebas habis,” jelasnya.

Untuk itu, tegas dia, pemekaran provinsi harus distop dan tidak boleh lagi berbicara soal pemekaran. “Jangan karena mendengar pemimpin di Provinsi Papua ini orang gunung, tiba-tiba meminta untuk dilakukan pemekaran. Itu tidak boleh terjadi,”  tegasnya.

Timotius mengemukakan bahwa, pisau di daerah Provinsi Papua ini sudah dipegang oleh wilayah Saireri. Wilayah Tabi juga sudah pernah pegang pisau sehingga pada kesempatan ini harus diberikan kepada Lukas Enembe dan Klemen Tinal selaku anak Lapago dari pegunungan.

“Jadi, jangan ada muncul pemekaran sana sini, karena yang menjadi korban adalah rakyat hanya demi kepentingan politik. Mari kita jalankan dana Otsus ini dengan baik, sehingga kesejahteraan rakyat itu ada,” ajak Timotius.

DPRP Tak Setuju

Komisi A DPR Papua pun tak setuju dengan ide pemekaran Provinsi Tabi. Ruben Magay, Ketua Komisi A DPR Papua meminta berbagai pihak untuk menghentikan upaya membentuk provinsi baru di Papua.

Permintaan tersebut disampaikan Ruben menyusul maraknya aspirasi untuk memekarkan provinsi baru, termasuk Provinsi Tabi.

“Stop dengan berbagai upaya membentuk provinsi baru termasuk Provinsi Tabi, maupun Papua Tengah, dan Teluk Cenderawasih,” ucap Ruben saat ditemui di ruang Komisi A DPR Papua, Jumat (22/3) kemarin.

Menurut Ruben, upaya untuk membentuk provinsi baru sebagai buah dari kekecewaan pihak-pihak tertentu, bukan datang dari keinginan rakyat.

“Untuk saat ini, hanya ada Provinsi Papua, jadi kalau ada upaya untuk memekarkan provinsi baru lebih baik dihentikan,” tegasnya.

Menurut Ruben, untuk membentuk provinsi baru ada banyak indicator seperti jumlah penduduk, wilayah, dan berbagai sarana yang ada.

Pasalnya, semua ini berkaitan dengan biaya dari pemerintah pusat dan kabupaten. ”Kalau dipaksakan tentu pemerintah pusat akan pikir-pikir, jadi tidak mudah memekarkan satu provinsi,” ucapnya.

Politisi Partai Demokrat ini mengatakan yang penting saat ini adalah penyiapan sumebdaya manusia, berbagai sarana dan sarana di kabupaten induk termasuk meningkatkan anggaran.

Menurut Ruben, jika hal tersebut sudah terpenuhi baru bisa berbicara soal pemekaran kabupaten ataupun provinsi. ”Apalah artinya satu kabupaten atau provinsi dimekarkan baru sumberdaya manusia tidak siap. Pertanyaannya pemekaran untuk siapa,” ujarnya.

Ruben melihat selama ini banyak terjadi pemekaran kabupaten, tapi pembangunan tak berjalan maksimal karena belum siapnya infrastruktur maupun sumber daya manusia.

“Banyak kabupaten pemekaran yang sebagian besar dana APBDnya digunakan untuk biaya trasportasi, sementara pendidikan, kesehatan tak dilaksanakan sepenuhnya,” jelas Ruben.

Sementara pengamat hukum dari Fakultas Hukum Uncen, Martinus Solossa, SH, MH menyatakan sulit untuk memekarkan Provinsi Tabi sebab kabupaten-kabupaten yang hendak dimekarkan berada dalam Provinsi Papua.

Yang bisa dilakukan, adalah merubah nama Provinsi Papua menjadi Provinsi Tabi. “Sulit untuk mewujudkan pemekaran Provinsi Tabi, kalau yang dimekarkan menjadi provinsi baru adalah Kabupaten Sarmi, Mamberamo Raya itu bisa, sementara Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Keerom jelas tidak bisa sebab kabupaten-kabupaten ini langsung berada di dalam wilayah Provinsi Papua,” jelas Solossa. [loy/frm]

Sabtu, 23 Maret 2013 01:19, Papuapos.com

Up ↑

BANANA Leaf Cafes

Multi-Brands, Multi-Purposes

Fly Wamena

Book Flights from & to Wamena

Koteka Tribal Assembly

for Peace and Harmony in New Guinea

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)