BMP Kecam Pendiskreditkan NKRI

Catatan SPMNews:
Ingatlah banga Papua, bahwa Gueteres Papua yang dulunya kita pikir orang dari tempat lain itu sudah muncul di ibukota Papua Barat, bernama Ramses Ohee. Coba dia maju lawan kalau bisa????
—————————

Ramses Ohee
JAYAPURA (PAPOS) –BMP (Barisan Merah Putih), mengecam ulah pihak-pihak yang mengatasnamakan organisasi seperti DAP (Dewan Adat Papua), KNPB (Komite Nasional Papua Barat), ONPB (Ototitas Nasional Papua Barat) yang selama ini mendiskreditkan NKRI dan memprovokasi masyarakat.

“Kami minta tindakan sekelompok organisasi yang telah memprovokasi masyarakat agar segera dihentikan, karena itu adalah upaya untuk memisahkan Papua dari NKRI,” kata Ketua BMP Ramses Ohee kepada wartawan usai acara pembacaan pernyataan BMP kepada wartawan kediamannya, Jumat (5/12).
Sekelompok organisasi tersebut lanjut dia, telah memutarbalikan fakta dengan pernyataannya seakan pemerintah negara Vanuatu, Newzeland dan anggota parlemen dan lain-lain sebagainya mendukung untuk penentuan nasib bagi Papua Barat.

Menurutnya, pernyataan itu pernyataan yang menyesatkan karena sampai saat ini pemerintah Newzeland, tidak pernah mengeluarkan surat dukungan secara resmi kepada organisasi Papua Merdeka (OPM).

Bahkan pelaksanaan Pepera 1969 yang dinyatakan cacat, dan meminta PBB mengakui kemerdekaan Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1961, oleh sekelompok organisasi tersebut juga merupakan pernyataan yang salah, karena pada tahun 1969 rakyat Papua telah memutuskan untuk bergabung dengan NKRI.

Ramses mengatakan, pernyataan bahwa Papua Barat merupakan tanah darurat adalah pembohongan publik yang cenderung tendensius, karena status tanah Papua berstatus tertib sipil dan situasi Papua hingga saat ini aman dan kondusif.

Untuk itu BMP sebagai barisan yang peduli terhadap tanah Papua dan juga NKRI meminta kepada TNI/Polri agar menindak tegas tokoh perorangan maupun kelompok yang selama ini telah mengeluarkan statement anti republik Indonesia, yang menyatakan suatu pernyataan pilitik dalam memisahkan diri dari NKRI.

“Aksi sekelompok massa yang berlangsung pada tanggal 1 Desember di makan Theys juga merupakan aksi Makkar,” terang Ranses lagi.

Dikatakan, BMP dalam situasi apa pun siap mempertahankan Papua agar tetap bersatu dengan NKRI, meski ada upaya sekelompok orang yang ingin memisahkan Papua dari NKRI.

“Silahkan jika ada organisasi-organisasi yang mau menentang NKRI, atau mau memisahkan Papua dari NKRI, kami BMP siap melawan mereka,” ucap Ramses Ohee.

Sebagai anak-anak Papua, BMP, kata Ramses telah bertemu sekelompok organisasi tersebut membicarakan tentang keinginan mereka memisahkan diri dari NKRI, namun mereka tetap pada pendapatnya yang menginginkan Papua tetap merdeka.(lina)

Ditulis Oleh: Lina/Papos
Sabtu, 06 Desember 2008

http://papuapos.com

Papua Tak Bisa Dipisahkan dari NKRI

[JAYAPURA] Barisan Merah Putih dan Komponen Masyarakat Peduli Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Tanah Papua menyatakan Papua tak bisa dipisahkan dari NKRI. Sebab, Indonesia adalah negara yang memiliki keagaman suku dan ras antara lain Melayu, Arab, Tionghoa, dan Melanesia.

Karena itu Papua adaah bagian sah dari Indonesia Raya sejak integrasi 1 Mei 1963. Jadi pernyataan bahwa ras Melanaesia yang ada di Papua adalah provokatif dan tidak berdasar.

Hal itu disampaikan Ketua Barisan Merah Putih, Ramses Ohee didampingi sekretarisnya Yonas A Nussy dalam pernyataan sikap kepada wartawan di Jayapura, Papua, Jumat (5/12) petang.

Pernyataan ini disampaikan Rames Ohee terkait atas Deklarasi Bangsa Papua Barat yang dibacakan Sekjend Presedium Dewan Papua, Thaha Alhamid, pada perayaan ibadah peringatan 1 Desember, hari yang disebut-sebut Hari Kemerdekaan Papua Barat, di Taman Peringatan Kemerdekaan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (Memori Park Freedom and Human Right Abuse) di Sentani, Kabupaten Jayapura, Senin (1/12) lalu.

Diungkapkan seperti kita ketahui ras Melanesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia, karena bukan hanya masyarakat Papua saja yang memiliki ras Melanesia. Tetapi, di daerah Indonesia lainnya seperti Nusa Tenggara Timur dan Pulau Maluku juga ras Melanesia. Mereka hidup rukun dan damai bersama saudara-saudara-nya sebangsa dan setanah air Indonesia, yang berideologikan Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

“Sedangkan pelaksanaan Pepera 1969 cacat hukum dan moral, serta tidak sah serta meminta Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengakui kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961. Kami barisan Merah Putih di Tanah Papua menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidak berdasar, karena saya selaku Ketua Umum yang juga sebagai pelaku sejarah Pepera 1969, mengetahui secara persis bagaimana pelaksanaan Pepera 1969,”ujar Ramses.

Pembohongan Publik

Ditegaskan Ramses, rakyat Papua saat itu memutuskan untuk bergabung dengan NKRI dan telah disetujui dan ditetapkan PBB melalui resolusinya Nomor 2504 Tanggal 19 November 1969.

“Yang berarti, Papua adalah mutlak bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI. Pernyataan deklarasi politik yang menyatakan Pepera tidak sah adalah pembohongan publik, untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang ingin agar pembangunan di Papua melalui Otsus tidak berjalan lancar, “ujarnya.

Sedangkan Papua tanah darurat, menurut Ohee, adalah pernyataan pembohongan publik dan cenderung tendensius, karena sampai saat ini status Tanah Papua merupakan tertib sipil dan tanah damai.

Dia menilai pernyataan PDP yang meminta PT Freeport ditutup dan eksploitasi gas alam oleh British Petrolium Indonesia di Tangguh, Bintuni, Papua Barat, harus ditutup karena melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan genoside di Tanah Papua adalah sangat tidak benar.

Barisan Merah Putih dan komponen masyarakat peduli NKRI meminta Tom Beanal yang mengklaim dirinya sebagai Pemimpin Bangsa Papua Barat, adalah salah satu komisaris PT Freeport yang digaji sekitar Rp 50 juta per bulan, dan telah menikmati fasilitas yang diberikan Freeport harus menolak rencana penutupan tersebut.

Selain itu, Ramses mempertanyakan, masyarakat tujuh suku di sekitar area tambang PT Freeport yang menerima dana 1 persen dari pendapatan perusahaan tersebut PT Freeport, berniat menutupnya.

“Sangatlah aneh apabila tujuh suku dengan tokohnya Tom Beanal sendiri ingin menutup PT Freeport, sementara yang bersangkutan menikmati fasilitasnya. Itu berarti Tom Beanal melakukan pembohongan terhadap diri sendiri,” ujarnya.

Menanggapi dukungan dari berbagai Negara Uni Eropa, Amerika Serikat, Vanuatu, Negara Kepulauan Pasifik, dan Anggota Parlemen Australia terhadap penentuan nasib sendiri bagi Papua Barat, adalah pernyataan yang tidak mendasar.

Karena tidak ada negara yang mengeluarkan surat dukungan secara resmi pada organisasi Papua Merdeka. ” Sampai saat ini, negara-negara tersebut masih mendukung keberadaan Papua sebagai bagian dari NKRI, “ujarnya.[154]

Di Boven Digoel, Mantan Danyon OPM Kembali ke NKRI

MERAUKE- Tokoh separatis OPM, John Imko yang mengaku sebagai Komandan Batalyon (Danyon) OPM secara resmi menyerahkan diri dan mengakhiri perjuangannya serta menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonsia di Tanah Merah Ibukota Kabupaten Boven Digoel, Selasa (4/11) kemarin.

Selain menyerahkan diri, John Imko bersama istrinya Maria (40) dan dua anaknya masing-masing Veronika (20) dan Jefrito (18) serta 2 anggotanya Januarius ((28) dan Samuel (30), mengikrarkan diri untuk setia kepada Pancasilan dan UU Dasar 1945, Bergabung dengan NKRI dan setia kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Ikrar tersebut dinyatakan John Imko dalam bentuk upacara di depan Pemerintah Kabupaten Boven Digoel yang diterima Dandim 1711 Boven Digoel Letkol Inf.Basuki Purwosusanto berlangsung di Makodim bari, Kilometer 6 Tanah Merah, sekitar pukul 10.30 WIT kemarin. Hadir pula dalam upacara itu, Ketua DPRD Boven Digoel Drs Paulinus Wanggimop.

Sehari sebelumnya, yakni Senin (3/11), John Imko bersama istri dan kedua anaknya serta 2 anggotanya itu menyerahkan diri kepada petugas yang ada di Asiki, Distrik Jair Kabupaten Boven Digoel.

Dandim 1711 Boven Digoel, Letkol Inf. Yang dikonfirmasi Cenderawasih Pos ke Tanah Merah, sesaat setelah upacara ikrar tersebut membenarkan kembalinya mantan Danyon OPM John Imko bersama istri, 2 anaknya dan 2 anggotanya itu. ‘’ Sekitar pukul 10.30 WIT tadi upacara ikrar itu dilakukan. Dan mereka sendiri yang membacakan ikrar tersebut,’’ terang Dandim.

Menurutnya, dalam upacara penyerahan dan ikrar setia itu, John Imko juga menyerahkan sepucuk senjata rakitan berupa enklop. Penyerahan diri yang dilakukan John Imko kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Boven Digoel ini dilakukan secara sukarela dan dengan kesadaran sendiri oleh John Imko dan istrinya, keduanya anaknya serta kedua anggotanya tersebut. ‘’Mereka kembali setelah melihat pembangunan yang semakin baik dan keamanan yang terus kondusif,’’ kata Dandim.

Selama ini, lanjut Dandim, John Imko bersama keluarganya itu tinggal di PNG. Namun harus memutuskan untuk kembali setelah kedua anaknya tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Pada kesempatan itu, John Imko mengaku akan membawa pulang saudara-saudara lainnya yang masih berada di PNG untuk kembali ke negerinya, Indonesia.

‘’ Pak Bupati (Bupati Yusak Yaluwo,red) pernah sampaikan ke mereka, bahwa Pemerintah Daerah dan Muspida dengan senang hati dan tangan terbuka akan menerima kembali saudara-saudara kita ini yang ingin kembali ke kampung halamannya. Karena kampung halaman mereka sebenarnya ada di Kabupaten Boven Digoel,’’ jelas Dandim.

Selain dengan tangan terbuka itu, terang Dandim, keamanan mereka akan dijamin dengan baik dan tidak seperti issu yang sering dihembuskan oleh pihak-pihak yang masih bersebarangan dengan Pemerintah Republik Indonesia. (ulo/CEPOS)

Eks Pengungsi Timtim Didekati Parpol

JAYAPURA (PAPOS) –Masyarakat eks pengungsi Timor-Timur (Timtim) yang bermungkim di Provinsi Papua sejak tahun 1999 mulai didekati oleh Parpol (Partai Politik) seperti yang dilakukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) “PDIP melalui Ketua DPD PDIP Provinsi Papua setelah mendapat informasi bahwa hingga kini masyarakat eks pengungsi Timtim belum mendapatkan hak-hak mereka sesuai janji pemerintah maka partai ini mulai mendekati mereka untuk memperjuangkan hak-hak itu,” kata Lambertus, salah seorang pengurus eks pengungsi Timtim di Jayapura, Minggu kemarin.

Maksud digelar pertemuan bersama masyarakat eks pengungsi Timtim yang bermukim di Jayapura, Minggu (26/10) kemarin untuk mencek berkas administrasi keanggotaan perkumpulan eks pengungsi Timtim dan selanjutnya bersama DPD PDIP Papua berangkat ke Jakarta untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat eks pengungsi yang selama ini belum diterima.

Diupayakan, setiap kepala keluarga (KK) dapat menerima uang sebesar Rp10 juta sebagai bagian dari pelaksanaan pemenuhan hak-hak masyarakat eks pengungsi Timtim yang bermukim di Papua.

Jumlah warga eks pengungsi Timtim yang bermukim di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura tercatat sebanyak 500 KK dan dari jumlah tersebut, 200 KK di antaranya sudah memiliki kartu keanggotaan perkumpulan masyarakat eks pengungsi Timtim.

“Kita menghargai inisiatif DPD PDIP Papua yang dalam waktu dekat berangkat ke Jakarta memperjuangkan hak-hak masyarakat eks pengungsi Timtim di Papua. Tentu saja, inisiatif ini tidak bermaksud sebagai upaya Parpol ini untuk membeli suara menjelang Pemilu legislatif 2009 mendatang,” kata Lambertus.

Sementara itu, salah seorang pengurus perkumpulan masyarakat eks pengungsi Timtim, Yosis mengatakan, pihaknya terus berusaha agar setiap warga eks pengungsi Timtim di Papua memiliki kartu tanda pengenal sehingga apabila pemerintah pusat mengucurkan dana bantuan maka pembagian dana tersebut mengacu pada kartu keanggotaan itu.

“Kami sudah membagikan sedikitnya 200 kartu tanda pengenal eks pengungsi Timtim dan masih banyak dari warga eks pengungsi ini yang hingga kini belum memiliki kartu tanda pengenal itu sehingga pengurus terus berupaya mendata warga eks pengungsi Timtim guna diberikan kartu tanda pengenal,” katanya.

Dia mengakui kalau DPD PDIP berinisiatif untuk memperjuangkan hak-hak eks pengungsi Timtim yang selama ini bermukim di Papua. Kiranya inisiatif tersebut tidak dipandang sebagai kampanye memebli suara menjelang Pemilu 2009 melainkan bkti kepedulian PDIP atas nasib masyarakat eks pengungsi Timtim di Papua.

Pertemuan yang dihadiri sekitar 100 warga eks pengungsi Timtim itu berlangsung di Asrama Haji, Kotaraja, Jayapura.

Suasana pertemuan diwarnai hujan interupsi dan pertanyaan-pertanyaan kristis seputar kesungguhan PDIP memperjuangkan nasib eks pengungsi Timtim di Papua, sumber dana yang akan diberikan kepada warga eks pengungsi Timtim, apakah dari Pemerintah Pusat melalui Departemen Sosial ataukah dari kantong Ibu Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum DPP PDIP.

Selain itu, banyak peserta pertemuan bersikap ragu dan pesimis atas tawaran bantuan PDIP Papua untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat eks pengungsi Timtim itu karena mereka sudah berpengalaman seputar janji-janji seperti ini dari banyak instansi baik swasta maupun pemerintah yang hingga kini tidak terwujud namun menjelang Pemilu, PDIP kelihatannya berbaik hati dan relah berkorban untuk urusan ini.(ant)

Ditulis Oleh: Ant/Papos
Senin, 27 Oktober 2008

Aktivitas PDP Tidak Terganggu Dengan Sikap Politik Nick Messet

JAYAPURA [Cepos] – Keinginan Nickholas ‘Nick’ Messet yang mengaku sebagai Menteri Luar Negeri OPM untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) sebagaimana yang disampaikan di hadapan Wapres Jusuf Kalla, tidak membuat Presidium Dewan Papua (PDP) kebakaran jenggot. Sebab, dalam tubuh PDP, Nick tak lebih dari seorang simpatisan.

Sekjen PDP, Thaha Al Hamid, saat dimintai tanggapannya terkait dengan sikap politik Nick Messet yang mengaku sebagai Menteri Luar Negeri OPM tersebut, pertama-tama ingin mengklarifikasi tentang pengakuan Nick sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) OPM di massa Theys Hiyo Eluay. “Di masa Theys, kami (PDP) tidak membentuk kabinet apapun, sehingga tidak ada yang namanya menteri ini dan itu. Jadi tidak benar ada menteri luar negeri pada masa Theys seperti pengakuan Nick Messet. Ini yang perlu kami klarifikasi,” jelas Thaha.

Dijelaskan oleh Thaha, pada masa Theys sebagai Ketua PDP, yang ada hanya organisasi perjuangan, dimana ada ketua, wakil ketua dan Sekjen. Sementara untuk urusan dalam luar negeri maupun dalam negeri, ditunjuk orang-orang yang disebut sebagai moderator.

Dari sepengetahun Thaha, peran Nick Messet untuk membantu diplomasi luar negeri soal Papua Merdeka bahwa pada masa tokoh OPM seperti Zeth Rumkorem dan Nickolas Tanggahma ke Senegal membuka kantor kedutaan OPM di sana, Nick Messet adalah seorang anak muda yang ikut bersama-sama dengan mereka dalam kegiatan itu. Selanjutnya, yang dirinya tahu, aktivitas Nick adalah sekolah menjadi pilot.

Thaha juga mengakui tahu persis bahwa Nick Messet adalah pilot yang sangat disegani negara-negara Pasifik. Ini didengar dan disaksikan langsung saat kunjungan ke beberapa negara di daerah Pasifik beberapa waktu lalu.

Ditanya, apakah selama ini Nick juga dipakai oleh PDP untuk membantu diplomasi politik masalah Papua di luar negeri? Thaha tidak menyangkalnya, namun peran Nick itu bukan dalam jabatan struktural lembaga PDP. “Di PDP, posisi Nick sebagai simpatisan. Jika Nick disebut membantu diplomasi di masa lalu, saya akui iya! Walaupun tidak secara resmi dalam bentuk surat atau SK sebagai wakil PDP secara struktural,” jawabnya seraya mencontohkan, bahwa Nick ikut terlibat dalam pertemuan yang dilakukan PDP tahun 2000 lalu di Port Vila, Ibu Kota negara Vanuatu dan beberapa pertemuan lainnya di Pasifik.

Sementara itu, tentang sikap politik Nickholas ‘Nick’ Messet, untuk minta kembali menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), ditanggapi Thaha sesuatu yang biasa. Bahkan lembaga representasi perjuangan politik rakyat Papua itu mengaku, tidak kaget dengan keputusan Nick itu.

Thaha Al Hamid menilai, sebenarnya yang terjadi adalah Nick Messet menghadap Wapres Yusuf Kalla adalah dalam rangka momohon atau minta kewarganegaraan atau Naturalisasi dan bukan repatriasi atau minta kembali menjadi WNI. “Yang saya pahami bahwa Nick belum pernah bergabung menjadi warga negara Indonesia, sebab dia keluar negeri sebelum massa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua tahun 1969,” jelasnya.

Thaha mengaku tidak kaget dengan apa yang dilakukan Nick Messet, sebab satu tahun lalu (2006), niat untuk naturasi pernah disampaikan Nick kepada dirinya. “Jadi apa yang dilakukan Nick bukan sesuatu yang luar biasa. Itu hal yang wajar dan biasa saja,” jelasnya.

Digambarkan, apa yang dilakukan Nick, sama seperti Ivana Lee, Liem Swie King, Tan Joe Hok, Hendrawan (Para Pemain Bulutangkis Andalan Indonesia di Tahun 1980-an) yang meskipun sudah membela nama Indonesia dan lahir di Indonesia, namun harus terus berjuang bertahun-tahun untuk mendapatkan Warga Negara Indonesia. “Artinya, apa yang dilakukan Nick untuk minta naturalisasi adalah hal yang biasa saja, sama seperti mereka,” tegasnya lagi.

Dijelaskan, sebenarnya 5 tahun lalu atau sekitar tahun 2000 -2002, Nick sudah pulang ke Papua. Hanya saja, karena ia warga negara Swedia, maka Nick terpaksa bolak-balik Papua dan luar negeri, terutama ke PNG. “Jadi yah… keinginan menjadi WNI sudah dia pikirkan jauh-jauh sebelumnya, apalagi dalam usianya saat ini, Nick ingin datang dan menetap di Papua, sehingga ia mewujudkan keiginannya itu melalui prosedur resmi ke pemerintah RI,” terang Sekjen PDP ini.

Dengan demikian, keiginan Nick menjadi WNI sama sekali tidak mengurangi aktivitas PDP baik di dalam maupun di luar negeri dalam hal diplomasi. “Kami tetap menghormati keputusan yang diambil Nick Messet, hanya saja, yang saya sayangkan, apa yang dilakukan Nick ini di blow up seolah-olah sebagai suatu keberhasilan, padahal yang perlu dicari dan dijawab adalah mengapa orang Papua lari dan bermukim di luar negeri, itu yang seharusnya selesaikan akar masalahnya,” papar Thaha.

Lalu bagaimana jika orang Papua lainnya yang lari ke luar negeri atau menjadi warga negara asing mengikuti jejak Nick Messet ingin kembali menjadi WNI? Thaha tetap saja menilai bahwa hal itu tak menjadi masalah. Malah, dirinya menilai bahwa sewajarnya orang Papua yang ada di luar negeri kembali ke tanah airnya di Papua. “Papua adalah tanah lahir mereka, jadi wajar jika mereka ingin kembali ke sini. Sebab kalau ingin berjuang untuk Papua, mari bersama-sama kita berjuang di sini, Kalau bisa berjuang di Papua, mengapa harus bermukim di sana (luar negeri),” ungkapnya.

Yang dirinya tahu, lanjut Thaha, dari laporan Badan Intelijen Negara (BIN) saat dirinya bertemu dengan DPR RI di Jakarta beberapa waktu lalu, selain Nick, Frans Albeth Joku (Mantan Mederator Urusan Luar Negeri PDP) juga akan melakukan naturalisasi. “Yang pokok di sini, bahwa dengan dilakukan repatriasi satu atau seribu orang Papua di luar negeri kan tidak berarti persolan di Papua menjadi selesai, sebab bagi kami, proses naturalisasi dan repatriasi adalah proses yang wajar saja,” jelasnya lagi.

Dikatakan juga bahwa sudah diketahui umum, baik dari internet mapun media massa bahwa orang-orang seperti Nick Messet, Frans Alberth Joku dan Febiola Ohei ini dipakai pemerintah untuk melakukan tour ke Eropa beberapa waktu lalu untuk diplomasi bagi pemerintah Indonesia terkait kampanye Otsus dan masalah Papua. Namun, hal itu dipandang sebagai sikap yang tidak mengganggu aktivitas PDP. “Perbedaan pandangan itu wajar, dan biarlah kita dalam perbedaan tetap membangun komunikasi yang baik, sehingga tidak menjadi pertentangan. Sebab sudah rahasia umum, bahwa dari dulu orang Papua memang selalu sengaja dibuat untuk saling bertentangan yang akhirnya bisa menimbulkan perpecahan,” jelas Thaha. (luc)

____________________________________
Sumber: SKH Cenderawasih Pos

OPM Rame-rame Kembali ke Ibu Pertiwi

Anggota Organisasi Papua Merdeka (Dok. GATRA/Ida Palaloi)Otonomi khusus di Papua sedikit memperlihatkan tuah. Setidaknya, dua pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengakui hal itu. Mereka yakin, otonomi khusus yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia di Papua sudah memenuhi prinsip keadilan. Karena itu, dua tokoh bernama Nicholas M. Messet, yang disebut-sebut sebagai mantan Wakil Menteri Luar Negeri OPM, menyatakan ingin kembali menjadi warga negara Indonesia (WNI).

Medio pekan silam, seorang di antara mereka menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden. “Saya sudah kirim surat kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk kembali sebagai WNI,” kata Nicholas, yang kini memegang kewarganegaraan Swedia.

“Otonomi khusus adalah pilihan terbaik bagi Papua,” kata Nicholas di hadapan pers. Pada saat ini, menurut dia, banyak anggota OPM di luar negeri yang ingin kembali menjadi WNI. Setidaknya, ia menyebut angka 1.000 orang yang menetap di Papua Nugini dan 20-30 orang di Belanda yang punya keinginan sama dengannya. Termasuk mantan petinggi OPM lainnya bernama Frans Albert Joku.

Pernyataan Nicholas itu segera saja menuai reaksi keras dari sejumlah tokoh OPM di luar negeri. Setidaknya, dua pentolan organisasi itu buka suara. Menurut Moses Weror, tokoh OPM di Madang, Papua Nugini, setidaknya ada dua hal yang mesti diluruskan. Pertama, soal jabatan mantan wakil menteri luar negeri. “Dia hanya anggota di ring empat, yang status keanggotaannya masih diragukan. Dalam OPM juga tidak ada jabatan menteri luar negeri atau wakilnya. Yang ada hanya penghubung luar negeri di sejumlah negara,” katanya.

Selain itu, Moses juga mengungkapkan, baik Nicholas maupun Frans semula memang anggota OPM murni. Mereka sempat diberi posisi: Frans sebagai penghubung di Papua Nugini dan Nicholas menjadi anak buahnya. “Tapi mereka dipecat sejak tahun 2005 dan sudah ada penggantinya,” ujar Moses lagi tanpa menyebutkan nama penggantinya karena memang dirahasiakan. Itu hal kedua yang mesti diluruskan tentang ketokohan Nicholas dan Frans.

Menurut Moses, pemecatan itu dilakukan atas sejumlah pertimbangan. Para petinggi OPM menilai, sejak kematian Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001, sikap Nicholas dan Frans tampak berubah. Keduanya dinilai aktif mempengaruhi warga OPM kembali ke Papua dan mempromosikan keberhasilan konsep otonomi khusus untuk Papua. Sampai-sampai keduanya dicap sebagai susupan Pemerintah Indonesia. “Sebab, bagi kami, kemerdekaan Papua adalah harga mati,” kata Moses.

Penilaian senada diungkapkan John Otto Ondowame, petinggi OPM untuk Vanuatu. Berbicara dari Port Villa, ia menilai langkah yang ditempuh Nicholas tidak akan mempengaruhi perjuangan OPM. Sebab posisi Nicholas tidak berarti apa-apa bagi anggota OPM. “Benar, pada organisasi kami tidak ada jabatan menteri luar negeri. Yang ada hanya liaison officer, pejabat penghubung, untuk negara tempat tinggal aktivis kami,” kata John, yang juga sudah menjadi warga negara Swedia.

Nicholas yang akrab dengan nama sapaan Nick itu pun membantah semua tudingan. Ia menegaskan bahwa dirinya bukan pengkhianat dan bukan pula orang susupan Pemerintah Indonesia. “Saya aktivis OPM murni, berjuang untuk Papua merdeka. Niat saya kembali menjadi WNI hanya karena sudah ada kemajuan serius setelah sekian lama saya tinggalkan Papua,” ujarnya.

Nick yang kini berusia 61 tahun itu menyatakan, kesediaannya kembali menjadi WNI terutama setelah melihat program otonomi khusus. “Saya melihat ada perubahan besar, kemajuan besar, yang dicapai rakyat Papua setelah pemberlakuan program otonomi khusus. Program itu, menurut saya, cukup berhasil,” ia menegaskan.

Nick yang kini berprofesi sebagai pilot di Papua Nugini itu lahir dan dibesarkan di kota kecil bernama Sarmi –kini sudah menjadi kabupaten sendiri. Ia berasal dari keluarga berada. Ayahnya, Thontje Messet, tercatat enam tahun menjadi Bupati Jayapura (1976-1982). Tapi, sejak menginjak dewasa, ia memendam kekecewaan mendalam karena merasa diperlakukan tak adil.

Cita-citanya menjadi orang Papua pertama yang jadi pilot Indonesia kandas. Walhasil, pada 1969, ia kabur ke Papua Nugini dan meminta suaka di sana. Nick pun langsung mendapat beasiswa untuk mengikuti pendidikan pilot di Australia. Setamat sekolah pilot, ia memilih kewarganegaraan Swedia sambil aktif berkampanye untuk kemerdekaan Papua di mancanegara.

Kini, setelah mengutarakan niatnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Nick tentu masih harus melalui proses lagi. Menurut Menteri Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, Andi Mattalatta, prosesnya tidak akan rumit karena dia bukanlah seorang terpidana. “Soal syaratnya, tentu tidak hanya proses administrasi, melainkan juga melihat semangat kejiwaannya terhadap negara kesatuan Republik Indonesia,” katanya kepada Anthony dari Gatra.

Namun lembaga yang dipimpin Andi itu tampaknya bakal kebanjiran permohonan repatriasi. Sebab, menurut R. Sandjaya, staf media dan informasi Kedutaan Besar Indonesia di Port Moresby, setidaknya ada 200 warga di Papua Nugini yang ingin menjadi WNI lagi. “Jumlah mereka yang ingin repatriasi makin bertambah karena mereka menilai situasi Papua sudah membaik,” ujarnya kepada John Kristian Pakage dari Gatra.

Erwin Y. Salim dan Antonius Un Taolin
[Nasional, Gatra Nomor 46 Beredar 30 September 2007]

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny