Bendera BK dan PBB saat berkibar di batas RI-PNG (Jubi/Indrayadi)
Jayapura, 5/4 (Jubi) – Kapolresta Jayapura, AKBP Alfred Papare, S.IK, terkena serpihan kaca akibat tembakan Kelompok Bersenjata saat kontak tembak di perbatasan RI-PNG.
Wartawan Jubi yang meliput di perbatasan RI-PNG melaporkan Kapolresta Jayapura, AKBP. Alfred Papare terkena pecahan kaca akibat tembakan kelompok bersenjata dalam kontak tembak yang terjadi sejak pukul 09.00 WP, Sabtu (5/4).
“Beliau sedang berdiri dekat Tower batas. Ada tembakan ke arahnya. Mengenai kaca dan pecahan kaca itu mengenai beliau. Sekarang beliau sudah dievakuasi.” kata Indrayadi saat melaporkan situasi terakhir di perbatasan RI-PNG.
Dilaporkan juga, seorang anggota TNI terkena tembakan dan sudah dievakuasi.
“Saat ini, yang memimpin pasukan adalah Kasdam XVII/Cenderawasih Brigjen TNI Hinsa Siburian.” kata Indrayadi menerangkan situasi di perbatasan.
Menurutnya, tembakan berasal dari tiga titik lokasi di wilayah PNG, termasuk dari arah bawah Tower perbatasan Wutung. Saat melaporkan situasi terakhir, sekitar pukul 13.15 WP, wartawan Jubi ini mengatakan masih terdengar beberapa kali tembakan.
Akibat kontak tembak ini, sejumlah wartawan yang berencana meliput Pemilu warga Indonesia di Vanimo, terpaksa terhenti di Pos TNI Perbatasan RI-PNG.
“Teman-teman ada di pos TNI dekat pasar Wutung.” kata Indrayadi, menerangkan posisi wartawan lainnya. (Jubi/Victor Mambor)
Sindonews.com – Aksi menuntut Papua merdeka yang digelar Aliansi Mahasiswa Papua, di bundaran Gladak, Jalan Slamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah, nyaris berakhir bentrok dengan massa Gerakan Masyarakat Peduli Rakyat (Gempar) menolak Papua merdeka.
Pantauan wartawan, puluhan aparat Dalmas Polresta Solo, lengkap dengan pentungan dan tembakan gas air mata, diterjunkan untuk mengantisipasi terjadinya bentrokan kedua kubu. Selain menerjunkan personel Dalmas, polisi juga menerjunkan anjing pelacak.
Awalnya, aksi tersebut berjalan biasa. Kedua koordinator dengan di fasilitasi Kabag Bimas Polresta Kompol Juliana dipertemukan. Dari pihak Gempar yang diwakili Koordinatornya Nusa, mempersilahkan Aliansi Mahasiswa Papua menggunakan bunderan gladak untuk menyuarakan aspirasinya.
Hanya saja, pihak Gempar meminta agar bendera Bintang Kejora yang biasa mereka kibarkan disetiap aksi, untuk tidak dikibarkan dalam aksi tersebut. Menanggapi syarat dari pihak Gempar, Koordinator Aliansi Mahasiswa Papua Jeffry Wenda menyanggupi untuk tidak mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Namun, setelah Jeffry menyampaikan hasil mediasi dengan para perserta aksi Papua lainnya, massa Papua yang juga menggunakan atribut ciri khas Papua termasuk koteka, lebih memilih bertahan di lokasi demo yang hanya berjarak 50 meter dari lokasi demo tandingan menolak Papua merdeka.
Selain pihak mahasiswa Papua yang kurang setuju dengan persyaratan yang diajukan massa menolak Papua merdeka, dari pihak pendemo tandingan juga menolak hasil mediasi tersebut. Akhirnya dengan difasilitasi pihak kepolisian, kedua belah kubu kembali bertemu.
Dalam mediasi tersebut, pihak yang menolak Papua merdeka meminta agar seluruh atribut pakaian yang digunakan mahasiswa Papua dicopot. Dan para mahasiswa Papua diminta berpakaian yang sopan. Selain itu, massa yang menolak Papua merdeka meminta agar bendera merah putih mau dikibarkan para mahasiswa Papua yang menggelar demo tersebut.
Namun permintaan pihak Gempar agar para mahasiswa Papua mengibarkan bendera merah putih di aksi mereka ditolak mentah-mentah oleh para mahasiswa Papua. Bahkan secara terang-terangan para mahasiswa Papua menuding bila banyak rakyat Papua yang gugur sia-sia akibat kekejaman TNI.
Mendengar caci maki mahasiswa Papua, hampir saja salah satu personel TNI yang ikut mengamankan aksi tersebut naik pitam mendengar tudingan tersebut. Untungnya, anggota lain yang mengamankan aksi tersebut mampu meredam kemarahan personel TNI yang tak terima dikatakan para mahasiswa Papua.
Sebelum akhirnya, pihak kepolisian memisah lokasi tempat aksi yang menyebabkan arus lalu lintas yang melintasi aksi tersendat.
Dalam selebaran yang dibagikan, Aliansi Mahasiswa Papua menuding Indonesia merebut paksa Papua dari tangan penjajah Belanda, melalui aksi militer yang disebut Operasi Mandala. Para mahasiswa Papua juga menolak dicap sebagai bangsa keturunan Melayu, karena mereka bukan dari bangsa Melayu.
Hingga sekarang, Indonesia terus menggunakan kekuatan militer yang melanggar hak asasi manusia dan menimbulkan banyak korban jiwa. Di antaranya meninggalkan beberapa pimpinan pergerakan rakyat Papua dan warga sipil lainnya.
Atas kondisi tersebut, Aliansi Mahasiswa Papua menyerukan tiga tuntutan, yakni berikan kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua, menarik semua TNI dan Polri organik dan nonorganik dari Papua sebagai syarat damai, serta menutup Freeport dan eksplorasi lain atas tanah Papua yang selama ini menyengsarakan rakyat.
(san)
Bramantyo, Kamis, 19 Desember 2013 − 15:10 WIB, SindoNews
Memperingati hari bersejarah atau hari besar bangsa Papua 1 Desember telah dilakukan berbagai kegiatan oleh bangsa Papua di tanah airnya (West Papua) maupun di berbagai tempat di seluruh muka Bumi. Kegiatan-kegaitan peringatan HUT 1 Desember yang mulai diperkenalkan kepada bangsa Papua sebagai “Hari Kemerdekaan” West Papua itu sejak tahun 2000 telah dilakukan dengan berbagai cara. Cara pertama di awal-awal abad ini ialah dengan pengibaran Bendera besar-besaran dan meluas di seluruh Tanah Papua, bahkan di manapun orang Papua berada Bintang Kejora berkibar dengan bebasnya. Orang Papua menyambut “udara bebas” ini dengan luapan ucapan syukur kepada Tuhan dan dengan genagan air mata kegembiraan. Banyak pemuda dan orang tua tidak sanggup menyaksikan Bintang Kejora berkibar dan bebas berkibar di Tanah Airnya, Bumi Cenderawasih.
Begitu berganti presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia, berganti pula kebijakan. Sejak Megawati Sukarnoputir menjadi Presiden, pertama-tama ia memerintahkan penculikan dan pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Dortheys Hiyo Eluay (Theys Eluay). Tepat 10-11 November 2001 Theys Eluay diculik dan ditemukan tewas di jalan menuju wilayah perbatasan West Papua – Papua New Guinea.
Dengan ancaman dan terornya, NKRI mulai melakukan penengekangan besar-besaran. Banyak aktivis dan tokoh Papua Merdeka dikejar, diburu dan dibantai.
Dampaknya kegiatan peringantan HUT Hari Besar Bangsa Papua sepanjang 10 tahun lebih belakangan ini terjadi secara kecil-kecilan. Ada yang ditandai dengan pengibaran Bintang Kejora, secara terbuka, ada yang secara tersembunyi. Ada yang diselenggarakan dengan orasi-orasi politik dan demonstrasi. Tetapi pada umumnya dirayakan dengan Kebaktian Ucapan Syukur memperingati Hari Besar bangsa Papua ini.
Menjelang 1 Desember banyak sekali aksi-aksi seperti teror dan penembakan terjadi di mana-mana. Menurut pengamatan “The Diary of OPM” kebanyakan merupakan hasil rekayasan NKRi dalam rangka mencari proyek HUT OPM per tanggal 1 Desember dan per tanggal 1 Juli setiap tahunnya. Paling tidak dua kali, atau ditambah HUT Bintang-14 tanggal 14 Desember setiap tahun juga menjadi hari-hari yang mendatangkan reseki atau uang kaget bagi para aparat TNI dan Polri yang bertugas di Tanah Papua. Oleh karena itu, kalau saja OPM dan tentaranya di rimba Papua berupaya memperingati HUT mereka dengan damai, itu hal yang tidak akan terjaid, karena aparat NKRI tidak bakalan mendapatkan uang kaget mereka. Itulah sebabnya tanggal-tanggal bersejarah bangsa Papua selama ini selalu menjadi tanggal-tanggal TNI dan Polri mencari uang kaget dan reseki tambahan.
Untuk tahun ini ada peristiwa penting yang terjadi, tepat 13 tahun setelah Bintang Kejora berkibar di Port Numbay (tepatnya Gedung Kesenian saat ini) di Taman Imbi, kini tanggal 1 Desember 2013, Bendera Bintang Kejora berkibar secara resmi di Kantor Gubernur Daerah Khusus Ibukota (NCD) dari negara orang Papua di sebelah Timur pulau New Guinea, Papua New Guinea. Pengibaran Bintang Kejora ini sendiri dipimpin langsung oleh Fungsionaris Organisasi Papua Merdeka Rt. Powes Parkop, MP, yang adalah Gubernur NCD sendiri.
Bupati Keerom: Kampung Nyaw Tidak Ada di Keerom Tapi di PNG
English: Lambang (Coat of Arms) of Kabupaten (Regency) Keerom, Papua Province, Indonesia (Photo credit: Wikipedia)
KEEROM – Pengibaran Bendera Bintang Kejora (BK) yang diduga dilakukan oleh OPM di Kampung Nyaw Arso Barat,Distrik Skanto Kabupaten Keerom tanggal 1 Juli bertepatan HUT OPM dan HUT Bhayangkara ke 67, dianggap suatu rekayasa belaka. Pasalnya, Kampung Nyaw yang disebut dijadikan tempat upacara pengibaran ‘BK’ ternyata bukan di wilayah Keerom, melainkan masuk wilayah Negara tetangga PNG. Hal itu diungkapkan Bupati Keerom Yusuf Wally, Se, MM.
“Jadi Kampung Nyaw berada di wilayah Hulu atau PNG, bukan di Keerom dan Pengibaran Benderah Bintang Kejora itu adalah rekayasa,”
ungkap Bupati Keerom, Yusuf Wally, saat ditemui wartawan di Arso Dua, Kampung Yuwanain, Distrik Arso Kabupaten Keerom, Rabu (3/7).
Sebab menurut Bupati, di wilayah Pemerintah Kabupaten Keerom Kampung Nyaw tidak ada, karena kampung- kampung yang ada serta diakui Pemerintah Kabupaten Keerom hanya 61 Kampung dari Tujuh Distrik se- Kabupaten Keerom.
“Kampung Nyaw atau Kampung Tua tidak ada di Keerom, dia berada di Hulu,”
katanya.
Untuk itu ditegaskan bahwa Kampung Nyaw yang berada di Arso Barat Distrik Skanto tidak benar, semuanya hanya omong kosong yang dilakukan orang yang tidak bertanggung jawab dan hanya membuat suatu daerah menjadi tidak nyaman.
”Jadi munculnya nama Kampung Nyaw hanya direkayasa orang yang mengaku dan bila ada yang mengaku bahwa ada Kampung Nyaw orang itu perlu dicurigai karena tidak sesui fakta yang ada,”
ujar Bupati Keerom.
Dijelaskan kampung- kampung yang berada di wilayah Distrik Skanto hanya ada 8 kampung, antara lain, Kampung Skanto, Kampung Jaifuri, Kampung Arso Pura, Kampung Wiantre, Kampung Inteimelyan, Kampung Traimelyan, Kampung Naramben dan Kampung Wulukubun. “ Inilah nama- nama Kampung yang barada di Distrik Skanto Kabupaten Keerom, sedangkan Kampung Nyaw tidak ada di Skanto,” jelasnya.
Sementara Kapolres Keerom, AKBP. Pasero, SH.MH mengatakan, seluruh jajaran yang berada di wilayah Keerom baik dari TNI, Polri, Pemerintah Daerah maupun Masyarakat, diberikan tanggung jawab pada menjaga lingkungannya, termasuk setiap para kepala kampung di wilayahnya masing-masing.
“Adanya berita pengibaran ‘BK’ kemarin, kami tidak pernah menerima laporan dari Kepala Kampung maupun dari Masyarakat, kami hanya dengar dari Media Massa,”
ungkapnya.
Selain itu, dalam mengantisifasi 1 Juli pihak Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati Keerom telah memberikan sport, baik TNI,Polri dan masyarakat yang berada di Keerom untuk melakukan antisipasi 1 Juli.
“ Dan dalam sistim pemerintah di Kabupaten Keerom tidak ada nama Kampung Nyaw di Arso Barat, Distrik Skanto Kabupaten Keerom dan di Skanto hanya ada Delapan Kampung dan Nama Kampung Nyaw tidak ada. Dan setelah ditelesuri nama Kampung Nyaw berada di daerah perbatasan yang telah masuk wilayah PNG,” ungkap Kapolres. (rhy/don/l03)
Lambert Pekikir dan Pasukkannya, [TabloidJubi]JAYAPURA – Jelang 1 Juli yang diklaim sebagai peringatan HUT OPM, ternyata tidak menggiurkan beberapa tokoh OPM untuk mengibarkan bendera bintang kejora, para pejuang OPM ini hanya berniat melakukan upacara saja sebagai bentuk peringatan.
Seperti dikatakan Koordinator Umum TPN-OPM, Lambert Pekikir melalui telepon kepada wartawan media ini Kamis (20/6) kemarin bawah pihaknya tidak berencana mengibarkan bendera bintang kejora, tetapi hanya melakukan upacara peringatan saja.
“Saya menghimbau kepada setiap pejuang kemerdekaan di masing-masing markas komando untuk melakukan upacara perayaan Proklamasi 1 Juli di markas masing-masing,”
tambahnya.
Hal yang sama juga disampaikan Menteri Sekretariat Negara Republik Papua Barat (NRPB) versi Presiden Yance Hembring, yakni, Agustinus Waipon.
“jika ada rencana sejumlah organisasi kemasyarakatan Papua Barat yang hendak melakukan aksi pengibaran bendera Bintang Kejora pada 1 Juli 2013 mendatang, silakan dan sah-sah saja, karena itu hak setiap warga negara Papua Barat. Namun, bagi NRPB tidak ada agenda untuk melakukan pengibaran BK,”
ujarnya kepada Bintang Papua via ponselnya, Kamis, (20/6) kemarin.
Pengibaran Bintang Kejora akan dilakukan NRPB, setelah Pemerintah Indonesia menyerahkan kedalautan kemerdekaan bangsa Papua Barat ke tangan Pemerintah NRPB.
Untuk itu, jika ada pihak-pihak yang melakukan pengibaran BK sebelum masa peralihan kemerdekaan bangsa Papua Barat itu adalah sebuah pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Papua yang dinakodai oleh Presiden Yance Hembring.
“Jadi kami menolak dengan tegas aksi-aksi peringatan 1 Juli maupun peringatan lainnya sebelum masa peralihan tersebut,”
ungkapnya.
Meski demikian, dalam peringatan 1 Juli itu, pihaknya akan menghimbau kepada rakyat NRPB untuk mengkhususkan tanggal tersebut sejenak untuk berdoa kepada Tuhan atas segala nikmat dan rahmatnya Tuhan. Dan juga meminta Tuhan untuk mengabulkan kemerdekaan seutuhnya bagi rakyat NRPB.
Dirianya mengatakan rakyat Papua Barat berhak untuk merdeka secara berdaulat dengan berpemerintahan sendiri. Untuk itulah, dirinya meminta dengan tegas kepada Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan dialog damai sekaligus pengakuan kedalautan Negara Papua Barat.
“Pemerintah Indonesia melakukan kejahatan terhadap bangsa Papua Barat, karena mencegah rakyat Papua dengan berbagai cara untuk tidak mendirikan Negara sendiri, sehingga lahirlah aneksasi dengan perjanjian New York 1962 pasal 2. Kemudian ditindaklanjuti dengan resolusi PBB No :2504/1969 sebagai undang-undang integrasi Papua kedalam NKRI,”
bebernya.
Sementara itu Kepala Sekretariat Komnas HAM Perwakilan Papua Fritz Ramandey usai Peluncuran Warta HAM Papua di Hotel Yotefa, mengatakan mengibarkan bendera Bintang Kejora itu sesuatu bagian dari ekspresi, bagian dari partisipasi, bagian dari dia mengepresikan partipasinya menggunakan cara yang lain. Sebab meseki dikibarkan Papua tidak langsung meredeka.
“Tapi kalau orang kibar bendera Bintang Kejora lalu dia ditembak, itu menimbukan pertanyaan. Dan itu kemudian membuat masyakatat menjadi antipati lagi terhadap negara,” tegas Friz Ramandey.
Tindak Tegas
Terkait 1 Juli adalah agenda rutin dari tahun ke tahun sehinga diharapkan aparat tak melakukan pendekatan represif, tap pendekatan dialogis, komunikatif dan bermartabat, karena ini adalah mainset politik.
“Saya yakin Polisi, TNI, pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk melakukan dialog dalam rangka mengantisipasi tanggal-tanggal dimana yang dipandang ada agenda politik warga negara,”
kata Fritz Ramandey.
Karena itu, pungkas Fritz Ramandey, pihaknya yakin Gubernur, Kapolda, Pangdam tahu mengatasi masalah ini tanpa cara-cara kekerasan represif menangani agenda politik rakyat Papua Barat seperti 1 Mei, 1 Juni, 1 Juli, 1 Desember dan lain-lain Sebab, tukas Fritz Ramandey, pendekatan represif akan mencederai wibawa negara.
Dilain kesempatan Koordinator Umum TPN-OPM, Lambert Pekikir menyatakan bahwa Polda Papua berhak untuk mengamankan situasi, namun ketegasan yang akan dilakukan Kapolda Papua agar tidak anarkis dan tidak asal tembak. Hal itu disampaikan terkait pernyataan Kapolda Papua bahwa pihaknya akan bertindak tegas jelang 1 Juli nanti.
“Selama Papua masih berada di wilayah Indonesia, silahkan saja, Polisi berhak mengamankan situasi, tetapi saya minta agar tindakan tegas yang akan diambil oleh Kapolda agar tidak dilakukan dengan anarkis, jangan main asal tembak saja,”
Bendera Bintang Kejora dan Bendera Merah Putih berkibar di halaman Kantor MRP beberapa tahun lalu. (Jubi/Levi)
Jayapura — Inilah sejumlah kasus pengibaran Bendera Bintang Kejora di dalam era pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua. Bendera Bintang Kejora terus jadi persoalan, bahkan momok menakutkan bagi aparat keamanan, maupun siapa saja yang melihatnya sebagai musuh.
Walau Bendera Bintang Kejora (bersama Lagu Hai Tanahku Papua, dan Logo Burung Mambruk) selama ini dipergunakan sebagai “simbol” Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dari kacamata politik pemerintah Republik Indonesia (RI) sebagai separatis. Tapi Abdurrahman Wahid semasa menjabat Presiden RI di tahun 2000 lalu, sempat mengijinkan Bendera Bintang Kejora bisa dikibarkan asalkan bersamaan Bendera Merah Putih dengan syarat ukurannya lebih kecil dan tingginnya lebih rendah dari Bendera Merah Putih.
Masalah simbol Papua, seperti bendera, lambang dan logo untuk wilayah Papua telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua. Ini tertera dalam pasal 1 butir “h” dan pasal 2 ayat 2-3 yang menyebutkan bahwa lambang daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultur bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan Papua.
Selanjutnya, ketentuan itu diatur oleh Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Tapi sejak UU Otsus disahkan November 2001 dan mulai dilaksanakan Januari 2002 di Papua, hingga kini belum ada Perdasus dan Perdasi yang mengatur secara jelas “simbol” Papua itu.
Melihat ini, pernah pihak Majelis Rakyat Papua (MRP) pernah melakukan konsultasi publik dengan rakyat Papua tentang “simbol” untuk Papua dalam era Otsus Papua. Hasilnya, rakyat Papua menginginkan Bendera Bintang Kejora, lagu Hai Tanahku Papua dan Logo Burung Mambruk sebagai lambang kultur Papua.
Saat itu, MRP mencoba mengkaji usulan rakyat itu dari berbagai sisi, termasuk posisi Bendera Bintang Kejora dalam tatanan hukum Indonesia. MRP juga mengambil inisiatif mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan eksekutif segera membuat Perdasus, agar jangan ada lagi orang asli Papua dibantai hanya karena Bendera Bintang Kejora.
Saat almarhum Agus Alue Alua masih menjabat Ketua MRP, dia pernah mengatakan, secara resmi usulan dalam bentuk pokok pikiran telah disampaikan ke DPRP, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Pusat di Jakarta.
“Tapi di tengah jalan, ada lembaga negara yang tak setuju. Mereka bereaksi dan menciptakan kondisi beda pendapat dengan MRP, bahkan MRP sebagai lembaga yang dibentuk negara dituduh lembaga separatis,”
katanya ketika itu, saat ditemui di Kantor MRP di Kotaraja, Kota Jayapura, Papua, Rabu 19 Maret 2008 lalu.
Belum usai perdebatan itu, tiba-tiba tanggal 10 Desember 2007, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 (PP 77/2007) tentang Lambang Daerah. PP 77/2007 yang juga diberlakukan untuk Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Provinsi Papua ini mengisyaratkan agar lambang daerah (bendera, lagu, dan logo) tak boleh sama dengan lambang separatis. Akibatnya, bagi siapapun di Papua, membentangkan atau menampilkan lambang dan Bendera Bintang Kejora akan dianggap makar dan separatis atau pihak yang hendak mendirikan negara di dalam Negara RI.
Di Kota Manokwari, ibukota Provinsi Papua, 3 Maret 2008 lalu misalnya, ketika kelompok West Papua National Authority (WPNA) Wilayah II Manokwari bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Manokwari dalam aksi demonya membentangkan Bendera Bintang Kejora. Maka ada enam orang ditangkap polisi dan dijadikan tersangka, serta di sidang di Pengadilan Negeri Manokwari atas tuduhan makar.
Terus 1 Mei 2008, di halaman Kantor Kelurahan Yabansai, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Bendera Bintang Kejora kembali berkibar selama beberapa menit dan akhirnya diturunkan pihak kepolisian. Polisi sempat mencari pelaku pengibarnya.
Lalu 19 Juli 2008, kembali Bendera Bintang Kejora berkibar di tiang bendera Geduang Pepera di Jalan R.A. Kartini, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Dalam kasus ini, polisi menetapkan sembilan tersangka, enam diantaranya dijerat Pasal Makar yakni Pasal 106, jo. Pasal 107 dan jo Pasal 110 dan tiga lainnya dikenakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951, tentang senjata tajam (sajam).
Di Wamena, seorang warga bernama Anthonius Tabuni (40 tahun) tewas diterjang peluru aparat keamanan saat kepolisian menurunkan paksa Bendera Bintang Kejora di Lapangan Sinapuk, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, Sabtu 9 Agustus 2008 lalu. Bendera Bintang Kejora dikibarkan sejumlah warga saat perayakan Hari Internasional Bangsa Pribumi Se-dunia. Polisi menangkap sejumlah saksi dan mengetahui identitas dua orang pelakunya, yakni berinisial AW dan AH.
Sebelumnya di tahun 2007, tepatnya 3 Juli, Bendera Bintang Kejora dibentangkan dalam salah satu tarian dari Group Sampari asal Manokwari pada pembukaan Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua (KBMAP) di Gedung GOR Cenderawasih, Kota Jayapura. Para pelaku sempat diperiksa polisi dan dimintai keterangannya.
Terus tiga hari sebelumnya, tepatnya 1 Juli 2007, Bendera Bintang Kejora sempat dikibarkan di atas atap Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas II A Abepura, Kota Jayapura. Pengibaran BenderaBintang Kejora dilakukan tiga narapidana bernama Yusak Pakage, Simson Wenda, dan Cosmos Yual. Ketiganya mengaku kesal dan kecewa kepada petugas Lapas Abepura yang saat itu tak mengijinkan mereka mengadakan konfrensi pers terkait 1 Juli di dalam lingkungan Lapas Abepura.
Menurut Yusak, aksi pengibaran Bintang Kejora selama lima menit itu dilakukan secara spontan. Yusak Pakage sendiri merupakan terpidana 10-15 tahun penjara bersama rekannya Filep Karma dalam kasus makar terkait pengibaran Bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora Abepura, Rabu 1 Desember 2004 lalu.
Pada momen 1 Desember 2004 itu juga, di Biak Barat, Kabupaten Biak Numfor pihak kepolisian setempat menangkap Betseba Adabikam, ibu berumur 60 tahun yang mengibarkan Bendera Bintang Kejora di halaman rumahnya sendiri. Lalu setahun kemudian, 1 Desember 2005, kembali Filep Karma mengibarkan Bendera Bintang Kejora di atap Lapas Abepura selama 30 menit yang diikat di sebuah tiang kira-kira sepanjang dua meter.
Masih ada beberapa kasus serupa hingga di tahun 2013 dan kemungkinan di tahun-tahun akan datang. Kasus itu adalah kasus pengibaran Bendera Bintang Kejora yang akhirnya pelaku akan ditangkap atau dikejar aparat keamanan. Tapi intinya, Bendera Bintang Kejora sepertinya akan terus menuai masalah. Tapi menurut Ketua MRP Agus Alue Alua ketika itu, jika nanti pemerintah mengakomodir Bendera Bintang Kejora dan simbol-simbol lainnya sebagai lambang daerah Papua, maka dijamin Papua akan tenang di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) .
“Saya jamin itu, kalau nanti PP 77/2007 tak berlaku di Papua dan Bintang Kejora bisa diakomodir, maka Papua akan jauh lebih aman di dalam NKRI. Sebaliknya, jika PP 77/2007 terus diberlakukan, maka masyarakat Papua akan terus dibayangi dua sikap yang bertentangan, yakni sikap yang represif dari aparat keamanan dan persuasif dari pemerintah. Sebab sejak awal lahirnya UU Otsus, rakyat Papua sudah dibayangi dua sikap yang bertentangan itu,”
Ratusan Bendera Bintang Kejora Dikibarkan Dalam Unjuk Rasa di Manokwari
MANOKWARI — Ratusan bendera bintang kejora dikibarkan di Manokwari, Papua Barat, Kamis (17/1/2013), dalam unjuk rasa masyarakat Papua yang mengatasnamakan West Papua National Authority (WPNA).
Aksi ini dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Papua, serta mendesak Komisi HAM PBB untuk masuk dan menyelesaikan berbagai persoalan di bumi Cenderawasih.
Aksi dimulai dari samping Gedung Olahraga (GOR) Sanggeng Manokwari, Distrik Manokwari Barat, dengan pengawalan ketat aparat Polres Manokwari dan Brimob Polda Papua di Manokwari. Saat aksilong march di ruas jalan di dalam kota Manokwari, menuju gereja Elim Kwawi, di Distrik Manokwari Timur, pengunjuk rasa membentangkan ratusan bendera bintang kejora berbagai ukuran.
Meskipun sejak awal, aksi massa tersebut ini dilarang. Namun polisi tidak dapat berbuat banyak saat para pengunjuk rasa yang membentangkan bendera bintang kejora memenuhi sepanjang jalan protokol di dalam kota Manokwari.
Dalam aksinya, massa menuntut penuntasan berbagai pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Papua, terutama kasus pelanggaran HAM berat yang terkesan dibiarkan dan para pelakunya hingga saat ini masih menghirup udara bebas.
Selain itu para pendemo juga mendesak agar Pemerintah Indonesia segera membebaskan Presiden dan Perdana Menteri Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB) yang saat ini ditahan di lembaga pemasyarakatan Jayapura, Papua serta mendesak dewan HAM PBB untuk melakukan investigasi seadil-adilnya guna menyelesaikan masalah Papua.
Aksi ratusan massa WPNA ini meski berlangsung damai dan lancar, namun sempat memacetkan sejumlah ruas jalan protokol. Sebagian pemilik toko yang berada di sepanjang jalan protokol pilih menutup toko untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Pendidikan dan Latihan TPN-OPM yang berjuang demi penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan PapuaJAYAPURA – Sementara itu ‘Kepala Staf Umum’ TPN-OPM, ‘Mayjen’. Terianus Satto saat dihubingi Bintang Papua menyampaikan bahwa, TPN-OPM melewati tanggal 1 Desember dengan doa, upacara menaikan bendera dan latihan di markas-markas mereka di tengah hutan belantara. “Kami upacara singkat, Bendera Bintang Kejora (BK) sudah kami naikkan sejak pagi, dan selanjutnya kami lewati dengan pendidikan dan latihan militer di markas kami, kalau Bintang Papua mau kami bisa email foto saat mereka latihan di makas,” ujar Terianus Satto yang ditunjuk sebagai Kepala Staf Umum TPN-OPM melalui Kenferensi Tingkat Tinggi (KTT) TPN-OPM di Markas TPN Perwomi Biak bulan Mei 2012 lalu.
Alasan TPN-OPM melakukan pengibaran bendera Bintang kejora pada tanggal 1 Desember lalu menurut Teri sebagai rasa menghargai”Upacara kami lakukan untuk menghargai sejarah, pada dasarnya kami TPN-OPM hargai semua pergerakan yang menuju pada penentuan nasib sendiri dan kami tetap memperjuangkan hak kami untuk merdeka,”katanya.
Untuk itu, ia menambahkan,”Kami ingin mendesak kepada PBB untuk segera membuka kembali ruang perundingan segitiga antara Pemerintah Belanda, Pemerintah lndonesia dan PBB dengan Juru-Juru Runding bangsa Papua, karena pihak-pihak ini pernah terlibat dalam aneksasi Papua secara sepihak,” harapnya.
Meski di Jayapura Dilarang, Berjalan Lancar
Sedangkan yang mengaku sebagai Sekretaris Dewan Nasional Papua Barat Republik Federal Papua Barat (NFRPB), Elly CH.Sirwa, mengatakan, momentum perayaan 1 Desember 2012, merupakan perayaan kebangkitan kedaulatan Bangsa Papua sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lain di muka bumi, yang mana sudah dirayakan sejak 1 Desember 1961 silam.
DIkatakan, seperti apa yang terbangun beberapa waktu menyangkut perayaan 1 Desember 2012, menyangkut Kamtibmas, kenyamanan, keamanan dan ketertiban justru terbukti bahwa perayaannya berlangsung hikmat dan penuh antusias oleh semua pihak, ini terbukti dengan perayaan kemarin (Sabtu, 1/12) berlangsung dengan tergelarnya berbagai kegiatan di wilayah Jayapura, Kota Jayapura, Waena dan sekitarnya serta diseluruh tanah papua.
“Sehingga dengan harapan kebersamaan ini terus dipupuk dan dijaga, agar di tahun mendatang, kegiatannya akan lebih bermartabat dan bersemarak antara semua pihak, ini sudah selayaknya bangsa lain menghargai kedaulatan Bangsa Papua,” jelasnya kepada Bintang Papua di Kantor Dewan Adat Papua (DAP), Minggu,(2/12).
Terkait dengan itu, pihaknya atas nama Bangsa Papua diseluruh Tanah Papua Barat menyampaikan trimah kasih yang sangat mendalam atas jasa dan pengorbanan semua pihak dalam mengisi dan turut merayakan HUT Kedaulatan Bangsa Papua yang ke-51. Mengingat hal yang sangat luar biasa yang tak pernah terduga oleh bangsa Papua diulang tahun yang ke-51, justru mendapat respon dan keterbukaan semua pihak untuk turut merayakannya bersma-sama, sekali lagi kami menyampaikan ucapan trima kasih atas semua upaya yang dilakukan.
Walaupun dalam perayaannya terdapat sedikit ketidak harmonisan yang terjadi antar bangsa papua dengan sudara-sudara bangsa lain, dalam penyelenggaraannya, namun sangat kami syukuri walaupun Bangsa papua sendiri tidak diperbolehkan merayakan ibadah syukuran namun pihak-pihak pemerhati dan bangsa lain sudah merayakannya secara terbuka dengan penuh hikmah, ditempat yang direncanakan oleh bangsa papua berkumpul untuk merayakan ibadah syukuran dimaksud.
“Kami juga berterima kasih yang mendalam, atas niat baik dan keterbukaan semua pihak untuk perayaan dimaksud, kami Bangsa Papua tidak merasa kesal ataupun kecewa,” jelasnya.
Lanjutnya, walaupun di beberapa tempat bangsa Papua yang menyiapkan diri untuk merayakan perayaan dimaksud harus dibubarkan paksa dengan menggunakan peralatan lengkap, bahkan ada pula rakyat yang ditangkap dan ditahan, namun pihaknya melihat ini ada niat baik. Karena memang dalam kesiapannya bangsa Papua sendiri memiliki keterbatasan, untuk dapat merayakannya secara sukses dan bemartabat apalagi sampai yang bersifat harus mengorbankan material dan finansial ataupun harta benda, tetapi kami bersyukur karena maksud dibubarkan dengan tujuan gabung bersama-sama pihak-pihak yang telah mempersiapkan perayaannya seperti yang terjadi dibeberapa tempat khusunya di Taman Imbi Jayapura, di Buper Waena, Di Gedung Olahraga Jayapura (GOR) dan di Sentani di Lapangan Almarhum Makam Theys H. Eluay yang di Gelar dalam bentuk bakar batu dan makan bersama. (bom/nls/don/l03)
JAYAPURA—Guna mengamankan 1 Desember 2012, TNI/Polri menggelar Siaga I dengan melibatkan 6.000 personil yang dimulai pada Jumat (30/11) malam.
Demikian Kabid Humas Polda Papua AKBP I Gede Sumerta Jaya, SIK ketika dikonfirmasi, Jumat (30/11).
Dikatakan hingga saat ini pihaknya belum menerima surat pemberitahuan dari kelompok-kelompok masyarakat yang hendak menggelar aksi unjukrasa guna memperingati HUT Organisasi Papua Merdeka (OPM).
“Kami tak memberikan izin untuk mereka lakukan aksinya. Kalau ada yang nekat melakukan aksi demo, kami akan bubarkan,” tutur dia.
Namun demikian, kalau masyarakat yang melakukan ibadah syukur, pihaknya akan mengawalnya, agar kegiatan tersebut berjalan lancar dan tertib,” lanjut dia, seraya menambahkan, pihaknya mengajak masyarakat untuk berdoa bersama, agar Desember menjadi bulan yang damai dan suci.”
Tidak hanya itu, sambungnya, pihaknya juga mengharapkan agar masyarakat tak terprovokasi atau terhasut oleh kelompok-kelompok yang ingin membuat situasi di Papua kacau-balau.
Polda Papua, katanya, berjanji akan menindak tegas bahkan memproses hukum pelakunya, apabila ada pihak-pihak yang sengaja menaikan Bintang Kejora (BK) pada 1 Desember mendatang,
“Apabila ditemukan ada pihak yang naikan Bintang Kejora kami tentu akan menindak tegas dan memproses hukum. Tapi, bila hanya Bintang Kejora naik tanpa pelaku, kami turunkan.
Hari ini Ibadah Syukur di Makam Theys, Non Papua Juga Diundang
Sementara itu, Ketua Solidaritas Hukum Dan HAM Demokrasi Rakyat Sipil Papua (SHDRP), Usama Usman Yogobi, dan Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Wim R. Medlama, menyatakan, besok (hari ini 1 Desember) direncanakan ibadah syukur peringatan 1 Desember kemerdekaan Bangsa Papua Barat di Sentani, tepatnya Makam Alm.Theys H. Eluay
Ketua SHDRP, Usama Usman Yogobi, mengatakan, pihaknya menjamin tidak akan ada konflik, jika ada konflik maka pihaknya tidak bertanggungjawab, melainkan bersama-sama aparat keamanan untuk mengamankan mereka yang terlibat konflik itu.
Untuk itulah, dirinya menghimbau kepada semua komponen masyarakat untuk tidak bimbang dan ragu untuk datang ke ibadah syukur dimaksud. Undangan ini bukan hanya untuk rakyat asli Papua tapi juga warga non Papua, sebab semuanya merupakan bagian dari Bangsa Papua Barat.
“Ibadah ini juga dilaksanakan disemua wilayah, seperti Manado, Makassar, Jakarta, Ambon, juga di 5 Benua akan laksanakan ibadah,” ungkapnya saat memberikan keterangan pers di Cafe Roti Bakar Jl.Baru Youtefa Kotaraja, Jumat, (30/11).
Bagi warga yang tidak sempat datang beribadah, diharapkan mendukung dalam doa, terutama rakyat non asli Papua, sebab jika Papua Merdeka semua warga yang berdomisili di Papua adalah warga Negara Bangsa Papua Barat. Hal ini sebagaimana terjadi di Negara-negara yang sudah merdeka dan berdaulat yang warga negaranya berasal dari berbagai suku, etnis, ras di dunia ini.
Pasalnya, kenyataan yang terjadi adalah manusia itu hidup dan saling ketertanggungan antara satu dengan yang lainnya, semuanya memiliki hak asasi manusia (HAM) yang sama di hadapan hukum dan dihadapan Tuhan.
“Perjalanan panjang banyak pengorbanan, banyak yang tumpah darah diatas tanah ini, jadi kami minta kepada Pemerintah NKRI untuk tidak melakukan kekerasan di atas Tanah ini. Kepada orang Papua yang tidak bersehati berjuang (pengkhianat) segera sadar. Kepada rakyat Papua mari bergabung berdoa, dan yang tidak sempat datang ibadah, tolong doakan juga di rumah masing-masing,” imbuhnya.
Juru Bicara KNPB, Wim R. Medlama, menuturkan, pada prinsipnya rakyat Papua rayakan, jadi pihaknya menghimbau kepada rakyat besok itu ibadah saja, jangan datang dengan membawa senjata tajam, alat Negara, dan tidak boleh mabuk.
Menurutnya, jika ketahuan ada yang datang membawa senjata tajam, mabuk dan membawa alat Negara (Bendera dan sejenisnya) maka itu merupakan bagian dari settingan (pengaturan) dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang dengan sengaja ingin mengacaukan ketertiban ibadah dan mengkambinghitamkan perjuangan rakyat Papua.
“Kepada Polda Papua jangan menghalangi rakyat, tapi sama-sama menjaga keamanan, juga ada keamanan kami yaitu Petapa yang hendaknya diberikan kesempatan untuk menjaga keamanan kami. 1 Desember besok ada beberapa diplomat meluncurkan IPWP di Wuyana Afrika Selatan, juga di Inggris, Belanda, PNG, dan Australia, Selandia Baru merayakan juga. Polda Papua hendaknya lebih profesional, jangan tunjuk alat canggih karena kami berjuang damai,” ujarnya.
“Ijin pemberitahuan sudah kami beritahukan ke Polda Papua dan dalam undang-undang menyatakan tidak mengaharuskan mengantongi ijin dari Polda, yang penting disini memberitahukan saja, Ini ibadah saja, ini kepercayaan individu dengan Tuhan, jadi jangan batasi,” sambungnya.(mdc/nls/don/l03)
JAYAPURA— Momen 1 Desember yang belakangan ini santer diperbincangkan, tak luput dari perhatian Ketua Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pdt.Lipius Biniluk .
Terkait 1 Desember ini, Pdt Biniluk menghimbau kepada semua elemen masyarakat untuk tidak menodai bulan Desember yang diyakni umat sebagai bulan yang suci, bulan perdamaian, serta bulan kehadiran Sang Juru Selamat Yesus Kristus.
“Rakyat jangan terlampau membesar-besarkan 1 Desember yang sering diperingati sebagian warga Papua sebagai HUT OPM seakan-akan Bintang Kejora (BK) naik Papua merdeka dalam tempo sekejap. “ Padahal tak segampang yang dibayangkan,” tukas Ketua Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pdt.Lipius Biniluk kepada wartawan di Jayapura, Kamis (29/11).
Karenanya, kata dia, pihaknya menghimbau kepada seluruh elemen masyarakat Papua menyampaikan ungkapan syukur dengan memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Pencipta, tanpa perlu dinodai dengan hal-hal seperti provokasi, hasutan, gerakan-gerakan yang tak seharusnya terjadi konflik masyarakat dimana-mana.
Menurutnya, pihaknya melihat ketegangan ini terjadi akibat pergerakan yang dilakukan TNI/ Polri dan masyarakat tertentu, karenanya selaku tokoh agama pihaknya menghimbau kepada semua pihak untuk duduk dan berdoa bersama dimulai pada 1 Desember.
BEMF dan DPMF : Polisi Jangan Vonis 1 Desember Hari Kemerdekaan Papua
Sementara itu, Kepolisian Republik Indonesia dalam hal ini, Polda Papua diminta untuk membuka ruang demokrasi bagi rakyat Papua guna menyampaikan aspirasnya kepada Pemerintah, karena negara ini merupakan negara bebas berdemokrasi.
Demikian disampaikan, Sekretaris Forum Anti Pelanggaran HAM, Weiles Wea kepada wartawan di Kampus Fisip Uncen Atas, Perumnas III Waena, Distrik Heram, Kamis (29/11) kemarin. Dikatakannya, sejak dilakukan penangkapan terhadap Mako Tabuni, Buchtar Tabuni yang menyampaikan aspirasinya kepada Pemerintah hingga saat ini sudah di Bungkam ruang demokrasi kepada rakyat Papua.
“Kami ini mau kemana dan kami menyampaikan aspirasi kemana, dan ketika menyampaikan aspirasi aparat keamanan berasalan tidak terdaftar ke Kesbangpol sehingga yang terjadi kepada rakyat Papua teror dan penangkapan ketika melakukan demokrasi di daerah Papua, padahal Negara ini bebas berdemokrasi dan itu sudah diatur dalam undang-undang,” tukasnya.
Ditegaskannya, ketika ruang demokrasi terus saat menyerukan hak pedapat Papua ke pemerintah maka yang terjadi konflik besar-besaran.
Untuk itu, Kapolda Papua segera membuka ruang demokrasi kepada rakyat Papua yang menyampaikan aspirasinya, terutama dalam perayaan 1 desember yang akan berlangsung besok, yang adalah hari bersejarah bagi rakyat Papua, sehingga patut dirayakannya melalui ibadah-ibadah syukur.
Ditempat yang sama, Sekretaris forum anti pelanggaran HAM, Aktivis Mahasiswa Uncen, Alfa Rumara, meminta agar jangan lagi masyarakat menjadi korban konflik karena tidak memberikan ruang demokrasi kepada rakyat dan beberapa sorotan penting yang dilakukan aparat selama ini yakni, pelanggaran HAM, sehingga pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk memberikan ruang demokrasi kepada rakyat Papua itu sendiri.
Sementara itu, Ketua Forum Anti Pelanggaran Ham di Papua, Septi Megdoga meminta agar pihak kepolisian Polda Papua tidak mevonis bahwa perayaan 1 Desember merupakan hari kemerdekaan bagi rakyat Papua.
“Saya tegaskan bahwa, 1 Desember bukan hari kemerdekaan Papua akan tetapi merupakan hari sejarah bagi orang asli Papua, dimana 1 Desember bentuk jajahan yang sempat dilakukan oleh Belanda,” ungkapnya.(mdc/nls/don/l03)