Ketua Komisi A, DPRP Papua, Ruben Magai, S.Ip. Foto: Dok MS
Jayapura — Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang menangani bidang Hukum, HAM, dan Hubungan Luar Negeri, Ruben Magai meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Kepala Kepolisian Derah (Kapolda) Papua, dan Kepala Kepolisian Kota (Polresta) Jayapura membebaskan Markus Haluk Cs yang ditangkap polisi pagi tadi, Senin, (13/1/14) di taman Imbi, depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Berkenaan dengan penangkapan aktivis HAM di depan kantor DPRP Papua pukul 09.50 atas nama Sekretaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua (AMPTPI), Markus Haluk dan Direktris Yahamak, Yosepha Alomang yang sementara ditahan di Polresta Jayapura, berkaitan dengan kedatangan tim MSG di tanah Papua, segera keluarkan dari tahanan sebelum terjadi sesuatu, kata Ruben dalam keterangan tertulisnya yang dikirimkan kepada majalahselangkah.com siang ini.
Ketika dikonfirmasi, Kapolres Jayapura, Alfred Papare mengatakan, Rombongan Markus tidak memberikan izin.
“Markus Haluk dan kawan-kawan ditahan karena memimpin aksi dan melanggar Undang-Undang. Mereka dimintai keterangan, jangan terpengaruh dengan sms-sms,”
kata Kapolres.
Diketahui, saat ini delegasi MSG diterima gubernur Enembe bersama beberapa pejabat diantaranya, Kapolda Papua, Wakapolda Papua, Wakil Gubernur dan Pangdam. (GE/HY/MS)
Jayapura,6/1(Jubi)—- “Aksi perampasan senjata pada 4 Januari 2014 di Pos Polisi Kulirik, Puncak Jaya adalah murni operasi gerilya dibawa pimpinan Tengamati Telenggen yang merupakan anggota TPN-PB dari Pimpinan Panglima Gen. Goliat Tabuni,” tegas Victor Yeimo melalui situs web resmi KNPB
Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengatakan tidak perlu ada spekulasi tentang siapa pelaku dan motif perampasan senjata di Kulirik, Puncak Jaya yang masih terjadi selama 10 tahun belakangan ini. Sebab daerah ini secara nyata, sudah dan sedang berlangsung perlawanan bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) dan Militer Kolonial Indonesia yakni TNI dan Polri.
Tentara Pembebasan Nasional West Papua dibawah komando Panglima Gen. Goliat Tabuni sudah berulang kali menyampaikan bahwa tujuan perang terbuka dan perang gerilya yang sedang terjadi adalah murni untuk mengusir pendudukan kolonial Indonesia diatas tanah West Papua. Sehingga, Goliat Tabuni berulang kali menolak penyebutan OTK, GPK/B, Teroris, dan sebutan lainnya yang bertujuan untuk mereduksi nilai perjuangannya.
“Aksi perampasan senjata pada 4 Januari 2014 di Pos Polisi Kulirik, Puncak Jaya adalah murni operasi gerilya dibawa pimpinan Tengamati Telenggen yang merupakan anggota TPN-PB dari Pimpinan Panglima Gen. Goliat Tabuni. Aksi perampasan senjata adalah salah satu taktik gerilya yang selalu ada dalam dunia perang dan perjuangan, sehingga sangat salah bila Poengky Indarti dari Imparsial yang tidak tahu situasi lapangan Puncak Jaya itu menyebut aksi gerilya itu sebagai gangster atau untuk kepentingan uang dan Pilkada,”
kata Victor Yeimo.
Menurut KNPB, aksi gerilya TPN-OPM bukan hal baru, sehingga TNI/Polri, NGO, dan semua pihak terutama media-media lokal dan nasional Indonesia tidak perlu mencari-cari pelaku aksi, karena TPN/OPM adalah pelaku yang selalu eksis melakukan perlawanan sekalipun tidak ada Pilkada atau kepentingan kolonial lainnya. Berulang kali Goliat mengatakan dirinya dan semua anggota yang tersebar tidak sedang perang untuk soal makan minum atau uang, tetapi murni memperjuangkan pembebasan bangsa Papua.
Goliat Tabuni adalah anggota resmi TPN-PB dibawah komando Kelly Kwalik di era 90-an hingga 2004. Di Puncak Jaya ia diangkat menjadi panglima wilayah dan pada Kongres TPB-PB di Biak 2012 lalu, Goliat terpilih menjadi Panglima Tinggi TPN-PB. Goliat dilantik pada 14 Desember 2012 di Tingginabut, Puncak Jaya. TPN-PB adalah sayap pertahanan militer Papua Barat yang berjuang untuk cita-cita kemerdekaan Papua Barat.
Menurut Web KNPB, penyebutan pelaku sebagai OTK, GPK/B, Gangster dan lain-lainnya justru memiliki dampak fatal bagi proses pengambilan resolusi antara subjek konflik, dan lebih parah lagi, penyebutan yang kabur justru akan dimanfaatkan oleh kepentingan penguasa dan petinggi militer yang selalu bermain di air keruh. Pihak-pihak yang ikut mengaburkan pelaku konflik justru terkesan memelihara konflik.
Sebelumnya, Kapolres Puncak Jaya, AKBP Marcelis juga menyebutkan pelaku penyerangan Pos Polisi di distrik Kulirik, Puncak Jaya adalah kelompok Leka Telenggen. Kapolres Puncak Jaya menyebut kelompok bersenjata ini sebagai kelompok binaan.
“Mereka ini sebenarnya anak binaan yang diikutsertakan untuk menjaga pembuatan jalan di Puncak Jaya tetapi entah bagaimana hal itu bisa terjadi,”
kata Marcelis, (5/1).
Marcelis juga mengatakan Leka dan Tengamati Telenggen bersama beberapa teman-temannya mengambil senjata milik anggota Polres Puncak Jaya, bukan Brimob. Para pelaku ini merupakan anggota kelompok Goliat Tabuni. Saat ini, tengah dilakukan pendekatan kepada kelompok adat dan tokoh agama, juga masyarakat agar meminta Leka Telenggen dan rekan-rekannya ini mau mengembalikan senjata yang mereka ambil. (Jubi/Mawel)
Jayapura, 6/1 (Jubi) – Ketua DPR Papua Deerd Tabuni mengatakan, Organisasi Papua Merdeka (OPM) sama sekali tidak pernah minta uang. Perjuangan mereka adalah ideologi.
Ia mengatakan, beberapa waktu lalu Bupati Puncak Jaya mengklaim panglima OPM, Goliat Tabuni meminta uang Rp. 20 miliar padahal hal itu tidak benar. Ada pihak yang menjual nama OPM.
“Bupati bilang GT minta Rp. 20 miliar dan ternyata ada pihak yang hanya menjual nama OPM karena OPM tidak pernah minta uang,”
kata Deerd Tabuni, Senin (6/1).
Deerd menduga, motif dibalik penyerang Pos Polisi di Distrik Kulirik, Puncak Jaya lalu karena kelompok tersebut marah dan kecewa.
“Jadi saya lihat motif penyerangan pos Polisi karena mereka marah. Ini akibat kekecewaan karena mereka ini yang selalu bicara ideologi bukan untuk cari makan,”
ujarnya.
Menurutnya, ia juga tak tahu OPM mana yang dikabarkan turun gunung beberapa waktu lalu, meski Bupati Kabupaten Puncak Jaya lalu mengklaim 100 orang OPM telah turun gunung dan sudah disiapkan lapangan kerja bagi mereka sebagai Satpol PP.
“Ini yang kami sayangkan. Harusnya ada komunikasi baik karena OPM di sana tidak satu tapi banyak. Bupati harus tanggungjawab kasus penyerangan Pos Pol itu karena ini masalah ideologi. Jangan hanya mengklaim itu anak buah GT. Jadi, OPM mana yang dulu turun gunung.”
tanya Ketua DPRP ini.
Kata Deerd, DPR Papua juga menghimbau agar semua pihak termasuk aparat keamanan TNI/Polri duduk bersama menyikapi masalah penyerang Pos Pol itu. Bupati harus berkomunikasi baik dengan masyarakat di sana.
“Rakyat dijadikan proyek untuk mencari uang. Ketika tidak ada masalah tidak ada uang, nanti ada masalah baru ada uang, ”
Aksi Mahasiswa penolakan “Otsus Plus” di depan kantor MRP yang berujung penangkapan. Foto: Ist.
Jayapura — Ketua Sinode Gereja KINGMI Tanah Papua, Benny Giay dengan tegas menyebut Majelis Rakyat Papua (MRP) penghianat bagi rakyat Papua, juga mahasiswa Papua yang ada di Jayapura.
“MRP yang sekarang ini penghianat besar bagi rakyat Papua, lebih khusus lagi mahasiswa di Jayapura yang selama satu minggu lalu bikin aksi damai. Termasuk pada saat aksi di halaman MRP, anak-anak mahasiswa di hadapan MRP ditangkap oleh polisi,”
kata Benny saat jumpa pers di kantor Sinode Kingmi Papua, Senin (11/11/2013) kemarin.
Penangkapan dan penahanan puluhan mahasiswa terjadi saat aksi damai secara berturut-turut menolak Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus (RUU Otsus) Plus, pekan lalu.
Benny Giay sangat menyayangkan sikap ketua dan anggota MRP yang dinilai tak bertanggung jawab dan terkesan kongkalikong dengan para penguasa.
“Mahasiswa Papua ditangkap di halamana kantor MRP, lalu pimpinan dan anggota MRP diam saja, biarkan polisi tangkap mahasiswa. MRP ini lembaga kultur Papua, mengapa harus bersikap masa bodoh? Tak satu pun yang bersuara. Patut dipertanyakan kinerja dan tugas pokok dari MRP. Heran, semua anggota MRP hilang dan kunci pintu ruang masing-masing. Ini bukan sikap sebagai orang tua, mau bilang MRP dikagetkan karena tak ada surat dan lainnya, itu alasan saja,”
tuturnya.
Majelis Rakya Papua sebagai lembaga kultur di tanah Papua yang seharusnya jadi benteng moral dan demokrasi, belakangan ini dituding sudah “salah jalan” karena lebih suka perjuangkan kepentingan-kepentingan penguasa yang menyengsarakan bangsa Papua.
“Aksi mahasiswa ini mendukung keputusan MRP yang menyatakan Otsus gagal dan kembalikan ke Jakarta. Terus, tiba-tiba muncul Otsus Plus dan mahasiswa demo tolak itu, tetapi mereka ditangkap di halaman MRP. Ini wajarkah?. Saya dan kita semua kesal, MRP tidak bisa jalankan tupoksi yang sebenarnya,”
kata Benny.
Diketahui, hasil keputusan MRP di Hotel Sahid Entrop Jayapura, pada Mei 2013, saat evaluasi Otsus, sudah dengan tegas menyatakan Otsus gagal dan meminta dialog Jakarta-Papua yang difasilitasi pihak netral.
Ia menilai, wajar saja jika ada sikap penolakan terhadap RUU Otsus Plus. Ini seharusnya didukung oleh perguruan tinggi maupun elemen masyarakat lainnya.
“Saat mahasiswa ditangkap, beberapa anggota MRP ada di halaman MRP. Tetapi saat itu mulut mereka ibarat dijahit untuk mengatakan tak boleh tangkap. Atau mungkin MRP juga takut ditangkap. Itu yang kami pihak Gereja katakan MRP penghianat,”
kata Giay penuh penyesalan.
Harapan masyarakat Papua hari ini, lanjut Benny, pihak MRP, DPRP dan Gubernur Papua segera tindak lanjuti hasil keputusan MRP yang telah diserahkan kembali oleh Gubernur Lukas Enembe. “Otsus gagal, tidak perlu ada gerakan tambahan lagi. MRP harus pahami itu baik, jangan binasakan rakyatmu!,” tegas ketua Sinode Kingmi Papua. (MS/Abeth Amoye You)
Benny Wenda, Pejuang Kemerdekaan Papua Barat dan Jennifer Robinson, ahli Hukum Internasional dan advokat Papua Barat . Foto: Ist.
Port Moresby — Pejuang kemerdekaan Papua Barat, Benny Wenda sudah berada di Papua Nugini sejak hari Rabu (6/11/2013) lalu.
Ia melakukan berbagai kegiatan di sana seperti Kuliah Umum dan workshop serta pertemuan dengan anggota-anggota Parlemen Nasional PNG untuk melobi bergabung dengan IPWP, termasuk secara resmi meluncurkan Free West Papua Campaign di gedung Partners with Melanesian Inc., opposite Pacific Engineering, Conference Room, Hohola Industrial Center, Port Moresby, PNG.
“Saya ingin bebas seperti Anda, dengan orang-orang saya,”
kata Benny Wenda kepada wartawan ketika menggelar jumpa pers bersama wartawan di Port Mort Moresby seperti dilansir actnowpng.org, Senin (11/11/2013).
Kata Wenda, Pada tahun 1969, Indonesia mengambil alih Papua Barat dan ditetapkan suatu rantai peristiwa yang melibatkan perlawanan dan pertumpahan darah karena Melanesia pribumi (masyarakat Papua,red) menolak aneksasi Indonesia. Amnesty International memperkirakan sekitar 400. 000 orang Papua Barat telah tewas dibunuh.
Dalam jumpa pers bersama wartawan di Papua Nugini ini, Benny Wenda juga menceritakan bagaimana perjuangan teman seperjuangannya, Filep Karma dengan perjuangan tanpa kekerasan hingga Filep Karma ditangkap karena mengibarkan bendera Bintang Kejora.
“Pada bulan Desember 2004, Filep Karma ditangkap karena mengibarkan Bendera Papua Barat, “Bintang Kejora”. Saya juga menghadapi nasib yang sama tetapi berhasil melarikan diri dari penjara pada tahun 2002. Sementara, Karma kini menjalani hukuman 15 tahun karena mengibarkan Bintang Kejora,”
kenangnya.
Pejuang kemerdekaan Papua Barat itu berada di PNG dalam kampanye Sorong to Samarai dengan tujuan untuk memobilisasi akar rumput dan dukungan politik bagi rakyat Papua Barat untuk menentuan nasib sendiri.
Wenda akan berada di PNG selama bulan November dan akan bergabung dengan Jennifer Robinson, seorang ahli Hukum Internasional dan advokat Papua Barat. (AE/ActNow/Ist/MS)
Abepura – Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua Pdt. Dr. Benny Giay mengatakan, orang Papua tidak meinta RUU PP dan Otsus Plus tetapi dialog damai.
Ia menilai, Jakarta salah menanggapi masalah-masalah yang terjadi di Papua dengan memberikan RUU PP dan Otsus Plus atau UP4B.
“RUU Pemerintahan Papua dan Otsus Plus itukan copy paste. Saya minta pemerintah; gubernur, MRP dan Jakarta harus bertobat dan kembali ke jalan yang benar dalam menangani masalah-masalah yang ada di Tanah Papua,’
katanya di Abepura, Kota Jayapura, Sabtu (9/11).
Universitas Cenderawasih (Uncen), kata dia, seharusnya melakukan kajian-kajian dan analisa yang netral, bukan cenderung mencari proyek dari pemerintah lalu membuat analisa sepihak untuk kepentingan penguasa.
“Kita ini kan tahu daerah Papua ini merupakan daerah konflik yang berkepanjangan untuk mengatur RUU PP dan Otonomi Plus itu harus melibatkan masyarakaat, pemerintah, mahasiswa dan beberapa tokoh di Tanah Papua, bukan seenaknya membuat undang-undang yang sepihak seperti itu,”
katanya lagi.
Menyinggung sejumlah oknum Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (Gempar) yang ditangkap ketika memerotes adanya RUU PP dan Otsus Plus pekan lalu, ia meminta aparat untuk membebaskan mereka.
“Mereka itu bicara tentang kepentingan rakyat dan mereka tidak anarkis sebenarnya aparat harus tahu hal itu. Negara ini negara demokrasi, semua orang berhak memberikan pendapatnya,”
Manokwari – Tahun depan Gerakan Papua Merdeka akan maju satu langkah dari strategi gerakan revolusi yang dipakai selama ini. Akan ada babak baru yang akan ditempuh bangsa Papua, sebagai model penyelesaian persoalan.
Demikian ungkap Juru Bicara Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB), Jack Wanggay kepada koran ini kemarin. hal ini katanya akan melibatkan pihak internasional.
“Ketika 4 sayap perjuangan politik, diplomasi, intelijen, dan militer mengalami jalan buntu, maka politik, diplomasi dan intelijen akan mundur dan menyerahkan sepenuhnya panggung politik ini kepada pihak militer, biar nanti militer yang akan membuka kran-kran demokrasi yang selama ini tersumbat,”
paparnya.
Ditanya apakah hal ini akan melibatkan militer internasional, katanya hal itu masih akan dibicarakan di kalangan para pimpinan.
“Saya hanya menyampaikan pesan, tahun depan pasti akan maju satu langkah,”
tuturnya.
Jika konflik berdarah itu terjadi, lanjut Jack, maka bukan hanya orang Papua yang akan mati, bahkan akan banyak orang Indonesia yang tidak berdosa akan ikut menjadi korban.
Untuk itu, hal ini menjadi peringatan.
“Tahapan maju satu langkah, hal itu akan disampaikan. Untuk itu para stakeholders baik yang berada di Papua, Indonesia, maupun dunia internasional perlu melihat secara bijaksana persoalan Papua, agar hal-hal buruk yang tak inginkan tidak terjadi,”
Wamena – Makin gencarnya pengusulan puluhan pemekaran kabupaten dan kota di Provinsi Papua dan Papua Barat yang diklaim lebih mendekatkan pelayanan pemerintahan dan pembangunan, mendokrak kesejahteraan rakyat, menurut Pastor Jhon Jonga Pr, bohong belaka.
Kata Pastor Jhon, semangat para elit Papua dan Papua Barat yang mendorong pemekaran kabupaten dan kota ini kebanyakan dibungkus dengan kepentingan kelompok atau berdasarkan keinginan para elit belaka.
“Fakta yang saya lihat selama ini ketika telah dimekarkan suatu wilayah menjadi kabupaten baru, kelakukan pejabatnya mulai dari tingkatan bawah sampai pejabat kepala dinas menjauh dari rakyat dan hanya mengejar kepentingan semata,”
katanya kepada SULUH PAPUA di Wamena, Jumat (8/11).
Pastor Jhon mengatakan hadirnya kabupaten pemekaran itu banyak rakyat terlantar, banyak rakyat yang miskin bahkan yang sangat ironisnya banyak pengangguran, dan bahkan pejabat ini tidak memberikan pelayaan pemerintahan dan pembangunan yang maksimal kepada masyarakat.
Dia menilai juga, kriteria yang digunakan sebagai syarat untuk pemekaran kabupaten tersebut tidak memenuhi syarat, khusunya jumlah penduduk, luas wilayah dan peryaratan formal lainnya. Dia mencontohkan di Kampung Hepuba Distrik Asolokobal kabupaten Jayawijaya tempat ia mengabdi jumlah penduduknynya tidak sampai 100 jiwa bahkan jumlah kepala keluarganya cuman sekitar 25 orang.
“Saya mengakui juga kalau akibat pemekaran kampung, distrik hingga kabupaten tidak ada pelayanan yang maksimal terutama pelayanan pendidikan dan kesehatan di tingkat masyarakat paling bawah. Ini masalah mendasar yang saya lihat dampak dari pemekaran distrik lalu naik jadi pemekaran kabupaten,”
Mahasiswa Papua di Jakarta demo tolak 33 DOB di tanah Papua. Foto: Eli.
Jakarta — Sebanyak 33 DOB, meliputi 30 daerah Kabupaten/Kota dari total 65 DOB di seluruh Indonesia, dan 3 provinsi tambahan telah diusulkan kepada pemerintah RI oleh DPR RI untuk ditempatkan di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat).
Rakyat Papua menolak. Seperti diberitakan pada media ini sebelumnya, seluruh elemen masyarakat Papua menyatakan menolak. Pemekaran dinilai hanya keinginan minoritas elite lokal Papua yang haus akan kekuasaan, jabatan dan uang.
Mahasiswa Papua Demo Tolak 33 DOB di Tanah Papua
Kali ini, giliran mahasiswa Papua yang melakukan di beberapa titik untuk menolak 33 DOB di tanah Papua.
Di Yogyakarta, hari ini, Senin (4/11/13), ratusan mahasiswa Papua melakukan aksi damai, menolak 33 DOB di tanah Papua.
Di Jakarta, juga di hari ini, di depan gedung DPR RI, puluhan mahasiswa Papua di sekitar Jakarta melakukan aksi damai, menolak 33 DOB di tanah Papua.
Alasan mahasiswa tetap sama. Orang asli Papua jadi minoritas (berkisar 30%) dari keseluruhan penduduk Papua saat ini. 33 DOB hanya akan menjadi pintu buat pendatang dari luar Papua (imigran) datang lebih banyak lagi. Ini mengancam eksistensi OAP.
Juga, 33 DOB berarti akan ada 33 kali lipat pertambahan militer, kepolisian, dan kesatuan militer Indonesia lainnya di tanah Papua. Dengan jumlah militer Indonesia di Papua saat ini saja, banyak masalah pelanggaran HAM terjadi.
Bagaimana bila jumlah militer bertambah 33 kali ketika 33 DOB disahkan? Itu satu pertanyaan mahasiswa, mengingat militer di Papua selalu membuat masalah.
Bila militer Indonesia di Papua dari dahulu identik dengan posisi pelanggar Hak Asasi Manusia Papua, maka dengan bertambahnya militer, kemungkinan pelanggaran HAM di Tanah Papua juga meningkat.
Segi lain, juga karena OAP tersingkir secara ekonomi, dan aspek hidup yang lainnya. Saat ini saja, kata mahasiswa, OAP tidak diberdayakan, sehingga secara kuantitas jelas minoritas. Juga, dalam aktivitas ekonomi, pendidikan, dan beberapa aspek hidup lainnya, OAP mulai tersingkir.
Ini juga, kata mahasiswa, karena tidak adanya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dari provinsi dan kabupaten yang ada di Tanah Papua saat ini.
Di tengah fenomena seperti ini, usulan 33 DOB di Tanah Papua bukan solusi. Malah menurut mahasiswa, akan menjadi masalah serius, bahkan ancaman bagi OAP.
Mahasiswa menuding, Tim Pemekaran dari Tanah Papua hanya memperjuangkan kepentingan perut, jabatan dan kekuasaan mereka, dengan cara-cara yang tidak legal, demi pemekaran DOB. Menurut mahasiswa, OAP tidak menghendaki DOB.
Sementara mahasiswa Papua dalam wadah Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menuntut untuk segera menghentikan semua produk kolonial Indonesia, dan menuntut self determination bagi bangsa Papua di Tanah Papua. karena menurut mereka, kedudukan indonesia di tanah Papua masih ilegal, dikarenakan manipulasi Pepera pada 1969 lalu, melalui tekanan militer Indonesia.
AMP menuntut Penentuan nasib Sendiri Bangsa Papua sebagai solusi demokratis bagi semua problematika hidup baik sosial, ekonomi dan politik di tanah Papua.
Mendagri Mengaku Ditekan Tim Pemekaran
Elias, aktivis HAM Papua di Jakarta melaporkan langsung dari Jakarta kepada majalahselangkah.com, bahwa Indrayanto, Direktur Jenderal Pemetaan dan Pemekaran Wilayah Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri mengaku diancam oleh tim pemekaran DOB dari Tanah Papua dengan isu Papua Merdeka bila pusat menolak usulan DOB dari mereka.
“Kami ditekan oleh tim pemekaran bahwa jika pemerintah pusat bersama anggota DPR/DPD RI tidak menerima usulan pemekaran, maka Papua akan keluar dari Negara Indonesia,”
tutur Indrayanto mengakui tekanan yang diterima.
“Kami takut dengan tekanan dan ancaman disintegrasi bagi Papua. Karena itu kami menerima usulan pemekaran,”
ungkapnya lagi.
Indrayanto lebih lanjut mengatakan,
“Aspirasi Mahasiswa akan menjadi bahan pertimbangan bagi kami saat pembahasan pemekaran antara Pemerintah dan DPR,”
saat menerima perwakilan massa aksi yang adalah mahasiswa Papua di ruang rapat kantor Mendagri, siang tadi, pukul 13.20 WIB. (MS/Topilus B. Tebai)
Perdana Menteri Papua Nugini (PNG) Peter O’Neill mengatakan sejumlah warga Papua asal Indonesia yang dikirim ke PNG oleh Australia, tidak akan dipaksa untuk kembali ke Indonesia.
Sekelompok warga Papua tersebut berjumlah tujuh orang, mencoba masuk ke Australia melalui PNG, bulan lalu. Pihak Imigrasi Australia kemudian menerbangkan mereka ke Port Moresby.
PM Peter O’Neill mengatakan, mereka dideportasi karena melakukan perjalanan melalui PNG untuk mencapai Australia.
Aktivis pembela hak-hak pengungsi menyatakan khawatir ke-7 warga Papua ini akan diusir kembali ke Indonesia. Namun menurut O’Neill, hal itu tidak akan dilakukan oleh pemerintahannya.
“Jika mereka ingin kembali ke Papua Barat, kami akan menfasilitasinya. Jika mereka ingin tinggal di sini, kami akan lihat apa yang bisa kami lakukan untuk membuat mereka betah tinggal di sini,”
katanya.
Pemerintah PNG belum lama ini menghapus biaya administrasi bagi warga Papua Barat yang ingin mengajukan permohonan kewarganegaraan di Papua Nugini.
Perkuat Kerjasama
Sementara itu, Menlu Indonesia Marty Natalegawa dan Menlu PNG Rimbink Pato menandatangani dokumen rencana kerja yang disaksikan Presiden SBY dan PM Peter O’Neill di sela-sela KTT APEC di Bali, awal pekan ini. Dokumen itu dimaksukan untuk memuluskan pelaksanaan perjanjian kesepakatan kedua negara yang telah ditandatangani Juni 2013.
Perjanjian kedua negara mencakup 11 bidang, termasuk perjanjian kerjasama bidang ekstradisi, penerbangan, olahraga, pendidikan, energi, generasi muda dan bidang pariwisata. Sebagai implementasi kerjasama bidang penerbangan misalnya, untuk pertama kalinya maskapai penerbangan PNG, Air Nugini, melakukan penerbangan perdana ke Bali, Agustus 2013.