Korban Kebiadaban Indonesia Terhadap Orang Asli Papua (amp)
Yogyakarta – Menanggapi tragedi tinju di Nabire yang menewaskan Puluhan Rakyat Asli Papua, Aliansi Mahasiswa Papua [ AMP ] Komite Kota Yogyakarta mengeluarkan pernyataan bahwa
” Indonesia Harus Bertanggung Jawab Atas Peristiwa Yang Telah Merenggut Puluhan Nyawa Rakyat Papua Di Nabire “.
Dalam pernyataan AMP Jogja yang dimuat di www.ampjogja.blogspot.com, menyebutkan bahwa tragedi Tinju Nabire yang mengakibatkan Puluhan nyawa orang asli Papua melayang dan puluhan lainnya kritis ini, penuh dengan rekayasa, dimana dari keterangan korban selamat sendiri menyebutkan bahwa
” Ketika keributan terjadi, kami yang ada didalam gedung berlari menuju pintu keluar, namun pintu ditutup oleh aparat yang berjaga dan ada seseorang yang melemparkan bom asap kedalam gedung, seketika itu dan beberapa saat kemudian tubuh kami kejang – kejang dan kami baru sadar ketika kami berada di rumah sakit, kami yakin kalau kami semua terkena Strom (sengatan listrik) “.
Hal serupa juga disampaikan oleh Dokter yang memeriksa para korban
” Saya sangat yakin, kalau korban meninggal dan kritis ini bukan karena terinjak – injak ataupun dipukuli, saya yakin mereka semua tersengat listrik dengan tegangan yang tinggi, hal ini bisa dibuktikan lewat ciri – ciri korban meninggal yang tubuhnya gosong “.
Maka untuk menanggapi kejadian itu, maka Aliansi Mahasiswa Papua [ AMP ] mengeluarkan pernyataan bahwa :
” MENGUTUK KERAS TIDAKAN GENOSIDA YANG SEDANG DILANCARKAN OLEH INDONESIA DI SELURUH TANAH PAPUA, DAN MENYATAKAN INDONESIA HARUS BERTANGGUNG JAWAB ATAS PERISTIWA DI GOR NABIRE YANG TELAH MENELAN PULUHAN NYAWA ORANG ASLI PAPUA ” .
“PEPERA 1969 Tidak Demokratis!!! Hak Menentukan Nasib Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua Barat”
Logo Aliansi Mahasiswa Papua [AMP]Perebutan wilayah Papua antara Belanda dan Indonesia pada dekade 1960an membawa kedua negara ini dalam perundingan yang kemudian dikenal dengan “New York Agreement/Perjanjian New York”. Perjanjian ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal. Diantaranya Pasal 14-21 mengatur tentang “Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote)”. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari PBB kepada Indonesia, yang kemudian dilakukan pada 1 Mei 1963 dan oleh Indonesia dikatakan ‘Hari Integrasi’ atau kembalinya Papua Barat kedalam pangkuan NKRI.
Kemudian pada 30 September 1962 dikeluarkan “Roma Agreement/Perjanjian Roma” yang intinya Indonesia mendorong pembangunan dan mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilih Bebas) di Papua pada tahun 1969. Namun dalam prakteknya, Indonesia memobilisasi Militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam gerakan Pro-Merdeka rakyat Papua. Operasi Khusus (OPSUS) yang diketua Ali Murtopo dilakuakan untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) diikuti operasi militer lainnya yaitu Operasi Sadar, Operasi Bhratayudha, Operasi Wibawa dan Operasi Pamungkas. Akibat dari operasi-operasi ini terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa besar, yakni penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak politik rakyat Papua, pelecehan seksual dan pelecehan kebudayaan dalam kurun waktu 6 tahun.
Lebih ironis lagi, tanggal 7 April 1967 Kontrak Karya Pertama Freeport McMoran, perusahaan tambang milik Negara Imperialis Amerika dengan pemerintahan rezim fasis Soeharto dilakukan. Yang mana klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia jauh 2 tahun sebelum PEPERA dilakukan. Sehingga sudah dapat dipastikan, bagaimanapun caranya dan apapun alasannya Papua harus masuk dalam kekuasaan Indonesia.
Tepat 14 Juli – 2 Agustus 1969, PEPERA dilakukan. Dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Praktek yang kemudian diterapkan Indonesia hingga saat ini untuk meredam aspirasi prokemerdekaan Papua. Militer menjadi tameng yang reaksioner dan kesenjangan sosial/kesejahteraan menjadi alasan untuk menutupi aspirasi kemerdekaan rakyat Papua dari pandangan luas rakyat Indonesia dan masyarakat Internasional.
Didasari kenyataan sejarah akan hak politik rakyat Papua yang dibungkam dan keinginan yang mulia rakyat Papua untuk bebas dan merdeka diatas Tanah Airnya, maka dalam peringatan 44 tahun PEPERA yang tidak demokratis, Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menuntut rezim fasis SBY-Boediono dan PBB untuk segera ;
1. Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua.
2. Menuntup dan menghentikan aktifitas eksploitasi semua perusahaan Multy National Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis ; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari seluruh Tanah Papua.
3. Menarik Militer Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non Organik dari seluruh Tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat Papua.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat, kami akan terus menyuarakan perlawanan atas segala bentuk penjajahan, penindasan dan penghisapan terhadap rakyat dan Tanah Air Papua hingga rakyat Papua memperoleh kemenangan sejati.
Aktivis dari Solidaritas Papua saat melakukan aksi lilin kemanusiaan di kawasan Bundaran Hotel Indonesia. Foto: http://www.merdeka.com
Jakarta — Solidaritas internasional masyarakatcinta kemanusiaan dan perduli Papua akan menggelar aksi Lilin Kemanusiaan (LinK) Papua, 14 Juli 2013 mendatang. Aksi LinK Papuaakan digelar di Indonesia, Philipina, Austalia dan Amerika.
Anggota National Papua Solidarity (Napas), Eli Ramos Petegemengatakan, aksi di Indonesia akan digelar di Jakarta, Salatiga, Jombang, Semarang. Surabaya, Bandung, Bogor, dan Bali. Sementara di Papua akan digelar di Jayapura, Sorong. Di Jakarta, LinK Papua akan diselenggarakan di Bunderan Hotel Indonesia dimulai pukul 20.00 WIB.
“Lilin Kemanusiaan (LINK) Papua adalah aksi solidaritas masyarakat yang cinta kemanusiaan dan perduli Papua secara serentak di berbagai tempat, nasional dan internasional, untuk mengampanyekan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. LinK Papua dilakukan karena negara mengabaikan kejahatan HAM yang terus terjadi di Papua,”
kata Napas dalam Rilis yang diterima majalahselangkah.com, Kamis, (11/07/13).
Kata dia, LinK Papua kali ini akan mengonsentrasikan kampanye terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM Wasior-Wamena yang oleh Komisi Hak Azasi Manusia (KOMNAS HAM) sudah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat dan berkasnya sudah diserahkan pada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti. Namun mandeg atau tidak jelas di tengah jalan.
“14 Juli 2013 dipilih karena pada tanggal dan bulan yang sama, 9 tahun yang lalu (2004), Komnas HAM telah merampungkan dan menyerahkan berkas Kasus Wasior-Wamena kepada Kejaksaan Agung,”
tulisnya.
Mengapa Wasior-Wamena?
Napas menjelaskan, berkas pelangaran HAM Wasior-Wamena adalah hasil penyelidikan tim ad hoc untuk penyelidikan pro justicia Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2003 yang terjadi di Propinsi Papua. Tim tersebut, berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, telah menemukan indikasi awal terjadinya pelanggaran HAM berat pada kedua kasus itu.
Namun, dijelaskannya, Kejaksaaan Agung mengembalikan berkas tersebut dengan alasan belum melengkapi dan memenuhi beberapa syarat formil dan materiil. Pada 29 Desember 2004, berkas tersebut dikembalikan lagi oleh Komnas HAM tanpa memperdulikan alasan dari Kejagung. Menurut Komnas HAM, wewenang Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Karena Komnas HAM tetap pada pendiriannya, dan Kejagung juga tetap pada pendiriannya, akhirnya sampai hari ini berkas Kasus Wasior-Wamena seperti masuk kotak dan dilupakan. Mandeg tak jelas nasibnya. Kejadian ini telah memberikan impunitas kepada para pelaku dan menjauhkan keadilan bagi para korban.”
“Napas memandang perlu untuk kembali mengingatkan keseriusan dan tanggungjawab negara untuk penegakan HAM di negeri ini. Bila penegakan HAM di Papua tidak mengalami kemajuan, maka konflik dan kekerasan akan terus berulang. Penanganan serius kejahatan kemanusiaan di Papua dapat membuka jalan untuk mengawali dialog damai untuk mengakhiri konflik,”
tulis Napas pada Rilis itu.
Pada aksi itu, Solidaritas akan mengkampanyekan, (1) penuntasan kasus pelanggaran HAM Wasior-Wamena dengan bersandar pada prinsip keadilan bagi korban. (2) Mengutuk kerja Komnas HAM dan Kejagung dalam menangangi kasus pelanggaran HAM Wasior-Wamena, karena pendiaman atas kasus ini akan semakin memperkuat jaring impunitas dan menambah beban sosial korban. (3) Penanganan kejahatan kemanusiaan di Papua harus ditindaklanjuti secara nyata dan serius dengan membentuk Pengadilan HAM, sebagai langkah awal membangun komunikasi konstruktif dengan Papua seperti yang dikatakan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono.
Napas mengharapkan untuk menyebarluaskan ajakan dukungan ini pada semua teman-teman yang perduli kemanusiaan; menyelenggarakan LinK Papua untuk Wasior-Wamena di berbagai tempat, mendokumentasikan dan menyebarluaskan dokumentasi tersebut untuk perluasan dukungan dan tekanan politik; dan Hadir pada LinK Papua di tempat masing-masing, membawa lilin solidaritas dan tuntutan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.
Solidaritas juga merekomendasikan pihak-pihak yang dapat membantu menyukseskan acara ini pada pihak penyelenggara. Juga bagi yang belum/tidak bisa hadir di lapangan, dapat menyatakan dukungan dan solidaritasnya melalui berbagai jejaring sosial, melalui foto-foto tuntutan dan bentuk-bentuk pernyataan sikap lainnya. Kampanye online, change.org.
Apa Latar Belakang Kasus Ini?
Kasus pelanggaran HAM di Wasior berawal dari konflik antara masyarakat yang menuntut ganti rugi atas hak ulayat yang dirampas oleh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan. Dalam aksi masyarakat pada akhir bulan Maret 2001 tiba-tiba saja “kelompok tidak dikenal bersenjata” menembak mati 3 orang karyawan PT. DMP. Paska penembakan, Polda Papua dengan dukungan Kodam XVII Trikora melakukanOperasi Tuntas Matoa.
Operasi ini telah menyebabkan korban dikalangan masyarakat sipil. Berdasarkan laporan Komnas HAM telah terjadi indikasi kejahatan HAM dalam bentuk: 1. Pembunuhan (4 kasus); 2. Penyiksaan (39 kasus) termasuk yang menimbulkan kematian (dead in custody); 3. Pemerkosaan (1 kasus); dan 5. Penghilangan secara paksa (5 kasus); 6. Berdasarkan investigasi PBHI, terjadi pengungsian secara paksa, yang menimbulkan kematian dan penyakit; serta 7. Kehilangan dan pengrusakan harta milik.
Kasus indikasi kejahatan HAM di Wamena terkait dengan respon aparat militer atas kasus massa tak dikenal yang membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena pada 4 April 2003. Pembobolan ini telah menewaskankan dua anggota Kodim dan seorang luka berat. Kelompok penyerang diduga membawa lari sejumlah pujuk senjata dan amunisi. Dalam rangka pengejaran terhadap pelaku, aparat TNI-Polri melakukan penyisiran, penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan atas masyarakat sipil, sehingga menciptakan ketakutan masyarakat Wamena.
Berberdasarkan laporan Komnas HAM telah terjadi indikasi kejahatan HAM dalam bentuk: 1. Pembunuhan (2 kasus); 2. Pengusiran penduduk secara paksa yang menimbulkan kematian dan penyakit (10 kasus); 3. Perampasan kemerdekaan fisik lain secara sewenang-wenang (13 kasus); 4. Penghilangan dan pengrusakan harta milik (58 kasus); 5. Penyiksaan (20 kasus); 6 penembakan (2 kasus); 9 orang menjadi Narapidana Politik (NAPOL).
Sudah sembilan tahun, berkas Komnas HAM tentang indikasi kejahatan kemanusiaan atas Kasus Wasior-Wamena yang dilakukan aparat negara tidak pernah mengalami kemajuan. Komitmen Presiden Soesilo Bambang Yudoyono untuk membangun komunikasi konstruktif untuk solusi damai Papua tidak akan mengalami kemajuan, bila rekomendasi Komnas HAM tentang kejahatan HAM tidak pernah ditindaklanjuti.(MS)
PORT MORESBY — Danny Kogoya, salah seorang komandan sayap militer Organisasi Papua Merdeka yang kini bersembunyi di Papua Niugini, mengajak para tokoh OPM berkumpul untuk melanjutkan perjuangan melepaskan diri dari Indonesia.
Kogoya yang menyusup ke Papua Niugini tahun lalu sekarang berada di tempat persembunyian yang dikenal sebagai Kamp Victoria.
Kamp itu berlokasi dekat dengan perbatasan Papua Niugini dan Papua Barat.
Dia mengajak agar semua tokoh gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) berkumpul di sana untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan dari Indonesia.
“Saya ingin Jacob Prai di Swedia, John Ondawame di Australia. Semua orang pemimpin di luar negeri untuk kembali ke kamp ini, Kamp Victoria, untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan,”
katanya.
Kogoya, yang diamputasi saat ditahan tahun lalu, bersumpah akan terus melakukan perlawanan meski berada di dalam hutan.
Dia menyusup ke Papua Niugini setelah diancam akan ditangkap kembali kendati sudah dibebaskan.
“Kaki ini dipotong karena OPM, pribadi saya minta merdeka. Papua harus keluar (merdeka) dari Indonesia,”
kata Kogoya.
Kogoya mengklaim telah memerintahkan 7.000 pasukan untuk bersiaga dengan sekitar 200 pejuang aktif, tetapi jumlah itu tidak dapat diverifikasi.
Sementara jurnalis Radio Australia, Liam Cochrane, dalam laporannya menyebutkan, pasukan Kogoya yang berada di Kamp Victoria hanya memiliki senjata rakitan tanpa berisi peluru.
Perjanjian ekstradisi
Sementara itu, bulan lalu Papua Niugini dan Indonesia telah menandatangani perjanjian ekstradisi.
Perjanjian itu dapat digunakan untuk menargetkan mengekstradisi aktivis OPM Papua Barat yang kini berada di Papua Niugini.
Sementara Perdana Menteri Papua Niugini Peter O’Neill mengatakan, perjanjian ekstradisi akan digunakan untuk penjahat dan bukan aktivis politik, tetapi untuk mereka yang bisa dianggap mengganggu itu masih harus diuji.
“Kami berpendapat, kebijakan dan masalah Papua Barat merupakan bagian integral dari Indonesia. Kami telah secara konsisten mempertahankan itu,”
Jayapura — “Rakyat Papua harus bersatu, rapatkan dan terus merapatkan barisan perlawanan,” begitu kata Usman Yogobi, ketua umum Solidaritas Hukum HAM dan Demokrasi Rakyat Papua (SHDRP) saat menggelar jumpa pers di Prima Garden, Senin, (08/07/2013) di Abepura, Jayapura.
Kepada www.majalahselangkah.com ketua SHDRP ini menjelaskan beberapa poin terkait persoalan di Papua yang menjadi perhatian SHDRP.
Pertama, ia meminta rakyat Papua agar mendukung dalam doa, karena pada 10 – 11 Juli, kata Yusman, akan ada pemeriksaan terhadap NKRI oleh PBB atas pelanggaran HAM Papua dari Swiss.
Kedua, Yusman juga menghimbau untuk memberi dukungan doa dari segenap rakyat Papua agar Papua diterima menjadi anggota MSG, yang dalam prosesnya, utusan MSG akan melawat Indonesia dan West Papua.
Ia juga menginformasikan kepada rakyat Papua, bahwa dalam rencana, ada kapal yang akan masuk ke Papua dalam waktu dekat ini, atas undangan Negara Federal Republik Papua Barat. Mengenai hal ini, Yusman minta dukungan doa dari rakyat Papua.
Dalam kesempatan ini, Yusman, mewakili bangsa Papua mengatakan menolak dengan sikap tegas terhadap keberadaan Otonami Khusus Plus. Menurutnya, Otsus, Otsus Plus, semua lahir karena keinginan orang Papua untuk merdeka atas dasar sejarah. Maka, kata dia, itu semua bukan solusi.
Satu-satunya solusi, kata Yusman, adalah pelurusan sejarah bangsa Papua terkait kebebasan berpendapat pada penentuan nasib sendiri bangsa Papua yang dimanipulasi RI.
Berkaitan dengan Otsus Plus, ia mengatakan, walau pemimpin rakyat Papua di pemerintahan penjajah Indonesia menerima, itu hanya demi implementasi yang bersifat politis, yang berusaha memadamkan keinginan murni dan asli bangsa Papua untuk menentukan nasib bangsa Papua sendiri di atas tanah airnya.
Mengaku atas nama rakyat Papua, ia juga sesalkan tindakan gubernur Papua, Lukas Enembe, yang membakar 4.000 porposal. Menurutnya, itu bentuk pemerintah menyegel pintu perhatian terhadap rakyat asli Papua yang biasa tidak tersentuh pembangunan di segala bidang, karena dalam prakteknya pembangunan dimonopoli orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Terakhir, ia meminta Militer RI (TNI Polri) harus belajar terkait HAM dahulu. Setelahnya, baru ia sarankan mereka datang ke Papua, agar mampu memahami dan menghargai kebebasan berpendapat orang Papua.
Ia mengatakan, orang Papua bukan bangsa kelas dua yang kebebasan berpendapatnya selalu dapat dihadapkan pada sistem represif militer Indonesia , penahanan, pembunuhan, dan penjara seenaknya, tanpa ada hukum yang mampu menjerat pelaku. (MS)
Massa Aksi AMP Saat Melakukan Demo di Yogyakarta (Doc:AMP)
Setelah wilayah Papua dimasukan secara paksa lewat manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) oleh Indonesia tahun 1969, wilayah Papua dijadikan wilayah jajahan. Indonesia mulai memperketat wilayah Papua dengan berbagai operasi sapu bersih terhadap gerakan perlawanan rakyat Papua yang tidak menghendaki kehadiran Indonesia di Papua.
Pada 1 Juli 1971 bertempat di Desa Waris, Numbay – Papua, dekat perbatasan PNG dikumandangkan “Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat” oleh Brigjend Zeth Jafet Rumkorem selaku Presiden Papua Barat. Namun demikian, proklamasi tidak dapat melepaskan Papua dari cengkraman kekejaman dan kebrutalan kekuatan militer Indonesia yang sudah menguasai seluruh wilayah Papua.
Berbagai operasi militer dilancarkan oleh Indonesia untuk menumpas gerakan pro kemerdekaan rakyat Papua.
Hari ini 1 Juli 2013, tepat 42 Tahun peringatan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat, Indonesia semakin menunjukan watak kolonialisnya terhadap rakyat Papua. Berbagai peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan terus terjadi di Papua, hutan dan tanah-tanah adat dijadikan lahan jarahan bagi investasi perusahaan-perusahaan Multy National Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis.
Pembungkaman terhadap ruang demokrasi semakin nyata dilakukan oleh aparat negara (TNI-Polri) dengan melarang adanya kebebasan berekspresi bagi rakyat Papua didepan umum serta penangkapan disertai penganiayaan terhadap aktivis-aktivis pro kemerdekaan Papua.
Maka, bertepatan dengan 42 Tahun Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Papua Barat, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), menuntut dan mendesak Rezim Penguasa Republik Indonesia, SBY-Boediono dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk segera :
1. Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua.
2. Menuntup dan menghentikan aktifitas eksploitasi semua perusahaan MNC milik negara-negara Imperialis ; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari seluruh Tanah Papua.
3. Menarik Militer Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non Organik dari seluruh Tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat Papua.
Saat Brigadir-Jenderal Seth Jafet Rumkorem membacakan naskah Proklamasi Papua Barat. Foto: Ist
Jayapura —Kepala Staf Umum (KASUM) Tentara Pembebasan Nasional – Papua Barat (TPN-PB), Mayjend Teryanus Satto dalam rilis yang diterima majalahselangkah.com, Kamis, (27/07/13) mengatakan, seluruh prajurit dan pejuang yang tergabung dalam Komando Nasional TPN-PB di seluruh pelosok wilayah tanah Papua untuk tidak terprovokasi dengan isu-isu terkait perayaan 1 Juli mendatang.
“Tidak terprovokasi dengan isu-isu yang disebarkan oleh oknum maupun kelompok yang tidak bertanggung jawab, terkait peringatan hari besar bangsa Papua tanggal 1 Juli 2013,”
tulisnya.
Himbauan tertanggal 20 Juni 2013 yang keluarkan Kepala Staf Umum atas nama Panglima Tinggi TPN itu menghimbau agar 1 Juli 2013 tetap diperingati dengan cara masing-masing.
“Perayaan 1 Juli 2013 dapat diperingati melalui ibadah syukur, dan atau Upacara Bendera bagi wilayah yang kondisi keamanan terjamin di seluruh KODAP,”
katanya.
Ditegaskan juga, Komando Nasional TPN-PB tetap menjalankan keputusan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) TPN dan Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) melalui program-program yang sudah dan sedang dilaksanakan.
Dikatakan, pernyataan-pernyataan di luar dari keputusan KTT dan RAKERNAS TPN adalah bentuk propaganda yang dilakukan oknum yang ingin merusak perjuangan bangsa Papua di bawah Komando Nasional.
Diberitakan, Lambertus Pekikir dari Markas Victoria mengatakan, pihaknya tidak akan mengibarkan Bendera Bintang Kejora pada hari Proklamasi Kemerdekaan Papua yang jatuh pada 1 Juli 2013.
Pihaknya hanya akan menggelar doa dan upacara biasa. Ia juga menolak
isu-isu yang dihembuskan oleh dari pihak-pihak yang ingin mengacaukan Papua.
“Apabila ada aksi penembakan, pengibaran bendera, sabotase, atau penghadangan, itu diluar tanggung jawab markas besar OPM,”
katanya seperti dikutik tempo.co, edisi 26 Juni 2013.
Diketahui, tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini, kini menjadi Markas Victoria, dilakukan pembacaan Proklamasi Papua Barat oleh Brigadir-Jenderal Seth Jafet Rumkorem. Sejak saat itu, orang Papua menetapkan 1 Juli sebagai hari Proklamasi Papua Barat. (001/Ist/MS)
Jenderal Goliath Tabuni, Panglimat Tertinggi TPN-PB (Foto: Ist)
Puncak Jaya — Panglima Tertinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB), Jenderal Goliath Tabuni berpesan kepada Kapolda Papua dan Pangdam XVII/Cenderawasih agar dapat memberikan pendidikan yang baik kepada anak buah mereka di wilayah tanah Papua.
“Harap Kapolda Papua dan Pangdam XVII/Cenderawasih dapat berikan pendidikan yang baik kepada anggota, agar mereka tidak melanggar aturan perang dan hukum Internasional, terutama konvensi Jenewa IV soal perlindungan orang sipil di waktu perang,”
ujar Jenderal Goliath, seperti ditulis website resmi TPN-PB,www.wplna.net, kemarin.
Dalam rilis tersebut, Jenderal Goliath juga mengaku bertanggung jawab atas tewasnya dua anggota TNI dari Yonif 753 Nabire, yang ditembak anak buahnya atas perintah dirinya, pada 25 Juni 2013 lalu di Distrik Ilu (baca: Goliath Tabuni Bertanggung Jawab Atas Tewasnya Dua Anggota TNI).
“Saya siap layani TNI/Polri jika ada yang melakukan pengejaran terhadap anggota saya, dan kemarin kami sudah ambil senjata milik anggota itu, sekarang justru kekuatan kami semakin banyak, jadi kami tidak ragu lagi kalau ada pengejaran terhadap kami, asalkan jangan terhadap masyarakat sipil Papua,”
tegas Jenderal Tabuni.
Jenderal Goliath juga meminta kepada media local, nasional, dan internasional agar tidak menyimpang dalam pemberitaan, sebab pelaku penembakan, dan yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut adalah dirinya selaku panglima tertinggi TPN-PB.
“Semua media harap ketika terjadi peristiwa penembakan terhadap TNI/Polri di wilayah Puncak Jaya, jangan pernah ada yang katakan sipil bersenjata dan OTK, tidak ada sipil bersenjata disini, yang memiliki senjata hanya TNI/Polri dan kami TPNPB-OPM, jadi jika korban TNI/Polri itu saya bertanggung jawab, dan saya selaku pimpinan TPN Papua Barat, bukan saya sipil besenjata,”
tegas Jenderal Goliath Tabuni.
Panglima tertinggi TPN-PB ini juga berpesan, jika TNI/Polri hendak mencari pelaku, masyarakat sipil tidak menjadi korban atas korban balas dendam aparat karena tidak berhasil menangkap ia dan anak buahnya.
Hingga berita ini diturunkan, jenazah satu anggota TNI yang tewas ditembak kelompok Goliath Tabuni sudah dievakuasi dari Puncak Jaya ke Jayapura, dan sedang dilakukan upacara penghormatan jenazah yang dipimpin langsung oleh Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjend Christian Zebua.
Jenderal Goliath Tabuni, Panglimat Tertinggi TPN-PB (Foto: Ist)
Puncak Jaya — Jenderal Goliath Tabuni, Panglima Tertinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNP-PB) mengaku bertanggung jawab atas insiden penembakan dua anggota TNI di Kampung Jigonikme, Distrik Ilu, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, pada Selasa 25 Juni 2013 lalu.
“Saya bertanggung jawab atas penembakan dua anggota TNI dari satuan Yonif 753 Nabire di Distrik Ilu, Kabupaten Puncak Jaya,”
ujar Jenderal Goliath saat mengkonfirmasi ke admin website resmi TPN-PB di www.wpnla.net, kemarin.
Jenderal Goliath juga membantah pemberitaan beberapa media massa di Papua dan Jakarta yang menyebutkan sopir taxi yang ditembak adalah seorang warga sipil.
“Tidak benar itu warga sipil, dia adalah intelejen Indonesia dari Yonif 753 Nabire. Dia sering antar jemput anggota TNI diwilayah tersebut. Memang benar, penembakan dilakukan oleh anak buah saya, atas perintah saya,”
tegasnya lagi.
“Anggota saya tidak bisa menembak warga sipil sembarangan, kalau ada media yang mengatakan itu masyarakat, maka saya katakan itu bohong. Kalau TNI yang menembak masyarakat sipil boleh itu biasa, kami tidak sembarangan menembak,”
ujar panglima tertinggi TPN-PB ini.
Untuk mencari dan menangkap anak buahnya yang telah menembak mati dua anggota TNI, Jenderal Tabuni juga menghimbau agar aparat TNI/Polri tidak melakukan penyisiran, pengrusakan dan penembakan terhadap warga sipil.
“Saya siap layani TNI/Polri jika ada yang melakukan pengejaran terhadap anggota saya, dan kemarin kami sudah ambil senjata milik anggota itu, sekarang justru kekuatan kami semakin banyak, jadi kami tidak ragu lagi kalau ada pengejaran terhadap kami, asalkan jangan terhadap masyarakat sipil Papua,”
tegas Jenderal Tabuni.
Sebelumnya, seperti diberitakan beberapa media, Kelompok Sipil Bersenjata (KSB) dikabarkan menembak mati anggota TNI dari Yonif 753, Letda Inf I Wayan Sukarta, juga menewaskan Tono, supir mobil jenis Ford nopol DS 8832 KA, sedangkan kondektur mobil tersebut hingga kini belum diketahui nasib serta namanya.
Insiden penghadangan terjadi sekitar pukul 14.00 WIT, saat korban bersama dua anggota TNI lainnya yakni Prada Andi dan Praka Supiyoko, beserta supir dan kernet hendak kembali ke Ilu setelah melakukan patroli di kebun anggur Distrik Jigonekme.
Jakarta — Rakyat Papua Barat menyambut positif hasil KTT MSG yang telah menerima aplikasi West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), dan menunda keanggotaan hingga para menteri luar negeri negara-negara Melanesia melakukan kunjungan ke Jakarta dan Papua Barat.
“Ini sebuah pencapaian yang sangat luar biasa. Sebab, ini juga baru pertama kali ada Negara-negara Melanesia yang secara resmi di sebuah forum tertinggi mau dengar harapan dari kerinduan rakyat Papua Barat,”
kata Dorus Wakum, aktivis hak asasi manusia di Jayapura, Papua, Minggu (23/6/2013).
Menurut Wakum, hasil KTT MSG yang menunda keanggotan Papua Barat tidak akan pernah menyurutkan semangat rakyat Papua Barat untuk terus berjuang.
“Awal yang sangat baik sudah dimulai WPNCL. Semua organ gerakan politik rakyat Papua, baik di dalam negeri maupun luar negeri harus menyatukan kekuatan untuk terus melawan Indonesia,”
ujar mantan aktivis KontraS Papua ini.
Senada dengan Wakum, Siprianus Bunai, salah satu aktivis HAM di Papua juga memberikan apresiasi atas hasil KTT MSG yang telah secara terubka menerima aplikasi dari WPNCL.
“Saya yakin, dalam beberapa bulan kedepan Papua sudah akan menjadi anggota MSG. Setelah itu, kita harus terus lanjutkan perjuangan kita,”
ujarnya.
“Setelah Papua Barat menjadi anggota MSG, bukan langsung Papua Merdeka, tapi proses yang harus diperjuangkan masih panjang, kita harus belajar dari pengalaman FLNKS,”
ujar Bunai, yang juga pernah menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Papua di Jakarta.
Sekedar diketahui, Front Nasional Pembebasan Kanaky (FLNKS) yang berada dalam jajahan Kaledonia Baru, juga pernah berulang kali mengajukan keanggotaan mereka pada MSG, dan baru diterima menjadi anggot penuh (full member) pada tahun 1996.