PM Cina Peringatkan Indonesia,Jika Tragedi 98 Terulang, Cina Akan Kirim Pasukan Ke Indonesia

Respon Keras datang dari Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang,Soal suasana politik yang sedang memanas di Indonesia yang mengusik kenyamanan warga keturunan tionghua yang ada di Indonesia.
Kabar soal aksi damai 4 November yang berakhir dengan aksi rusuh dan penuh dengan nada ancaman yang mengarah pada etnis Tiong Hua terdengar sampai kenegri China.PM Li Keqiang pun mengadakan konfrensi pers siang lalu bersama pejabat negara lainnya di Kantor Perdana Menteri China,Taipei,yang diliput stasiun televisi international.
Jelas sekali dalam konfrensi pers itu,Perdana Menteri negara tirai bambu tersebut,menyampaikan perihatinnya akan kondisi yang sedang terjadi di Indonesia.PM li juga menyayangkan etnis tiong hua kembali menjadi incaran adu domba oleh beberapa politikus Indonesia demi mengambil kekuasaan secara tidak sehat.
PM Li berharap pemerintah Indonesia bisa mengambil keputusan tegas dan bijak dengan apa yang terjadi saat ini.PM li sangat tidak menginginkan peristiwa kelam ditahun 1998 yang menjadikan etnis TIong Hua sebagai korban terulang lagi di Indonesia.Karena menurutnya kejadian itu harusnya tidak boleh terjadi lagi dinegara yang sudah memiliki banyak kemajuan dan perkembangan sedemikian rupa.
“Tentunya saya sudah mendengar kabar dari negara tetangga kita,Indonesia yang sedang mengalami gejolak politik yang bercampur dengan urusan agama dan etnis”Ujar PM Li dalam konfrensi persnya
“Kami sebagai negara sesama Asia turut perihatin melihat ini,Saya berharap yang terbaik untuk Bapak Presiden Jokowidodo dapat segera menenangkan suasana dan menyelesaikan masalah ini dengan bijak dan mencegah aksi-aksi yang dapat memecah bela negaranya”
“Namun tidak lepas saya adakan konfrensi pers ini,Saya ingin menegaskan bahwa Pemerintahan kami tidak mau dan tidak mengkhendaki,Jikalau sampai kejadian yang paling kelam terjadi pada tahun 1998 di Indonesia terulang kembali.Dijaman itu telah banyak warga keturunan kami disana diperlakukan secara kejam dan dibunuh.”
Sambungnya
“Jika memang Pemerintah gagal melindungi warga keturunan kami disana,dan terulang lagi sejarah kelam itu.Maaf jika kami pemerintah Tiongkok pun akan mencoba menaikkan banding kami ke Badan Persatuan Bangsa-Bangsa untuk mengirimkan pasukan pengamanan kami ke Indonesia,Demi memindahkan keturunan kami disana”
“Serta hubungan dari segi bisnis,perdagangan,bilateral,dan yang lainnya benar-benar akan kami putus dengan Indonesia.Mohon maaf sebelumnya tapi kami juga mempunyai hak untuk melindungi warga keturunan kami dimanapun mereka berada,Jika terjadi penindasan secara sosial dan nyawanya terancam.Tapi tetap dibalik itu semua kami tidak akan mendahului Pemerintahan RI”
Tegasnya
“Maka itu saya berharap Presiden dan para Menteri di Indonesia dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dengan sebaik-baiknya tanpa memakan korban dari pihak manapun.Karena sesungguhnya yang sedang terjadi saya tahu betul adalah tindakan politisi Indonesia yang sedang bergejolak dengan menggunakan,mengambing hitamkan etnis tiong hua sebagai sasaran”Tutupnya
Hal tersebut merupakan penggalan isi dari konfrensi pers yang di selenggarakan oleh PM Li,Sisa perbincangan dari konfrensi pers itu hanya membahas tentang pertukaran warga negara di Asia yang memang sudah direncanakan oleh seluruh anggota Asean.

Bendera Aceh berkibar di tengah demo Ahok

Bendera Aceh berkibar di tengah demo Ahok
Massa Aceh demo Ahok. ©2016 merdeka.com/raynaldo ghifari

Merdeka.com – Ratusan ribu ormas Islam berdemo di Istana Negara terkait kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sebelum menggelar aksi sebagian massa berkumpul di Masjid Istiqlal.

Pantauan merdeka.com, Jumat (4/11), ada bendera Aceh yang menyerupai Gerakan Aceh Merdeka yang dikibarkan oleh sekelompok pemuda yang diduga FPI Aceh. Tak hanya itu, bahkan para pemuda yang mengenakan baju putih-putih itu membentangkan spanduk yang berisi ancaman Aceh bakal pisah dari NKRI.

“Bila NKRI dipimpin oleh Pembela Ahok, Maka kami bangsa Aceh akan menuntut pisah dari NKRI,” tulis spanduk tersebut yang terdapat logo FPI Aceh.

Massa Aceh demo Ahok 2016 merdeka.com/raynaldo ghifari
Massa Aceh demo Ahok 2016 merdeka.com/raynaldo ghifari

Terkait itu, Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan mengatakan polisi sudah mengamankan dan mengambil bendera serta spanduk tersebut. Iriawan pun telah menyampaikan temuan itu ke Pimpinan FPI Habib Rizieq.

“Saya sudah sampaikan ke Habib Rizieq kenapa itu bisa terjadi. Karena saya menuntut apa yang disampaikan oleh korlap bahwa tidak akan ada provokasi,” kata Iriawan di Monas.
[eko]

Aksi Solidaritas Terhadap Mahasiswa Papua

Laporan Wartawan Tribun Timur, Fahrizal Syam

TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR – Puluhan massa dari Aliansi Peduli Kemanusiaan (APK) Makassar menggelar aksi solidaritas di bawah jalan layang Fly Over, Jl Urip Sumiharjo, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (27/7/2016).

APK Makassar melakukan aksi menyikapi maraknya tindakan represif berbasis diskriminasi dan rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Dalam tuntutannya, para demonstran meminta kepada pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran HAM terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta.

Mereka juga menuntut pemerintah mengadili ormas sipil reaksioner anti demokrasi, dan memberi perlindungan serta rasa aman terhadap warga papua dan kelompok minoritas lainnya.

Beberapa organisasi mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam aksi ini yaitu HMPB, PMII Rayon Hukum UMI, FMK kota Makassar, LMND Unuversitas Bosowa, dan beberapa pemuda Papua.

Mereka juga membentangkan spanduk putih lima meter bertuliskan “Stop Politik Rasisme Wujudkan Demokrasi Sejati”.

Beberapa petugas kepolisian dari Polsek Panakukkang yang mengenakan baju dinas lengkap dan beberapa intelejen kepolisian juga turun tangan kawal aksi tersebut. (*)
Penulis: Fahrizal Syam
Editor: Mohamad Yoenus
Sumber: Tribun Timur

NTT, NTB, Maluku dan Timor Leste: Apakah Melanesia atau Polynesia?

Dengan kleim NKRI di MSG bahwa NKRI mewakili lebih dari 11 juta penduduk Melanesia di Indonesia dan dengan demikian menyelenggarakan festival Melanesia di NTT baru-baru ini mendapatkan tanggapan tajam dari Vanuatu dan Masyarakat Kanak. Alasan mereka jelas dan tegas, “jangan campur-adukkan entitas identitas Melanesia dengan entitas identitas Polynesia”. Kata mereka, Timor Leste sampai kepulauan Maluku hingga ke Saparua dan Sanger Talaud ialah masyarakat Polynesia, bukan di wilayah Melanesia.

Mereka bersikukuh bahwa Melanesia dimulai dari Sorong sampai Fiji. Bahkan ada yang berpendapat, Raja Ampat, Waigeo dan Missol bisa masuk ke dalam kategori masyarakat Micronesia atau Polynesia daripada Melanesia.

Kasus kleim Indonesia atas kepemilikan Melanesia terbantahkan setelah Vanuatu menggugat Indonesia dengan mengatakan bahwa Festival Budaya Melanesia yang diadakan di Nusa Tenggara Timur dengan kleim sekalian pulau-pulau di luar New Guinea sebagai kawasan Melanesia menjadi mentah kembali. NKRI harus diam-diam gulung tikar dengan konsepsi berpikir yang keliru tentang tanah dan bangsa yang dijajahnya.

Dalam sebuah artikel berjudul: “Good Bye Indonesia”, Andre Barahamin menyatakan

Most damningly, Indonesia failed to address the cultural differences between Melanesians and Polynesians. For instance, in October of last year, it organized a Melanesian Cultural Festival aiming to promote cultural pluralism and demonstrate how integral Melanesians are to the country. But the event was held in Kupang, East Nusa Tenggara, a Polynesian — not Melanesian — region.

Artikel ini berlanjut lagi, menunjukkan betapa NKRI tidak mengenal siapa penjajah, dan siapa yang dijajahnya karena telah mengundang perwakilan dari Timor Leste dengan kleim bahwa masyarakat Timor Leste juga orang Melanesia:

The confusion didn’t stop there. Indonesia invited East Timor — a Polynesian country — to participate in the cultural festival.

Karena gagal memainkan kartu ini, maka pelan-pelan, walaupun dengan penuh malu dan geram, Presiden Joko Widodo segera menggantikan Menteri yang mengkoordinir urusan Hukum, Politik dan Keamanan, yang kesehariannya justru menjalankan fungsi dan tugas Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Binsar Luhut Panjaitan.

Dalam KTT MSG baru-baru ini, isu budaya seolah-olah sudah ompong, Indonesia terpaksa unjuk gigi dengan paket-paket ekonomi. Indonesia dalam hal ini muncul seolah-olah dia lebih maju dan lebih berduit daripada negara-negara Melanesia.

Sejak NKRI menginjakkan kaki dan menduduki Tanah Papua, manusia Papua selalu dianggap kuno, masih ketinggalan zaman, miskin, bahkan diteriaki “monyet”.

Dan harga manusia Papua sudah lama digadaikan dengan kepentingan ekonomi. Orang Papua dibunuh kapan saja sudah menjadi kewajiban NKRI dalam rangka mengamankan kepentingan ekonomi barat.

Kini NKRI dengan patokan pemikiran yang sama, yaitu Melanesia sama-sama kolot, sama-sama miskin, dan sama-sama “monyet”, bergerilya meyakinkan pemimpin Fiji dan PNG untuk merubah syarat-syarat menjadi anggota MSG. Apa yang sudah lama menjadi kebiasaan orang Melanesia dianggapnya bisa “dibeil” dengan iming-iming bantuan NKRI. Budaya consensus orang Melanesia dianggapnya murahan. Pantas saja, NKRI memandang Melanesia sebagai “monyet” yang bisa dirayu dengan “buah-buah” politik. Katanya, saat saya lempar “buah ini”, pasti emas yang di tangannya dilupakan terjatuh dan malahan kulit pusang yang kulempar yang nanti direbutnya.

NKRI lupa, bahwa di pulau di mana ada Presiden NKRI sendiri, Jawa, dan di mana ada Raja Jawa sendiri, dihuni oleh banyak sekali, jumlahnya lebih banyak dari pada total orang Polynesia, Micronesia dan Melanesia secara keseluruhan di dunia, mereka hidup sebagai pengemis, perampok, pemulung, pelacur dan memperdagangkan tenaga dengan sangat murahnya, sebagai tukang sapu-sapu lantai dan cuci pakaian di negeri tetangga, sebagai pembantu Rumah Tangga belaka di banyak Negara di dunia.

NKRI hadir dengan paradigma berpikir yang salah, karena menganggap Melanesia dan “monyet” sama saja, dan menganggap Tanah Papua terletak di Indonesia sehingga kalau manusia Papua mau merdeka harus mengungsi ke “Melanesia sana” untuk mendirikan Negara West Papua. Sudah salah konsep berpikir, sidah tidak tahu mana Melanesia dan mana Polynesia, salah lagi dalam peta geografisnya, tidak tahu kalau wilayah West Papua itu bukan wilayah Indonesia, tetapi milik bangsa Papua ras Melanesia,.

Semakin hari justru semakin nampak betapa bobroknya moralitas manusia Indonesia dan betapa kacaunya konsepsi berpikir yang menjadi pijakan kebijakan negara Indonesia. Membedakan Polynesia dan Melanesia sudah tidak bisa, membedakan manusia dan monyet juga tidak sanggup. Apakah dengan demikian kita bisa yakin manusia Indonesia mengenal dirinya sendiri? Apakah orang Indonesia tahu apa artinya “Indonesia”?

Bhineka Tunggal Ika dan NKRI: Wayang Kulit Raja Jawa yang Sangat Lucu

 Bhineka Tunggal Ika hanya berlaku kalau Semua Mau Mengatakan “Satu Bangsa, Satu Bahasa, Satu ….”, Nah kalau ada yang mengatakan “Saya berbeda”, bukan-kah itu tanda “keberagaman”? Di mana letak “kebhinekaan pendapat?” Apakah kebhinekaan Indonesia hanya dilihat dari ras dan suku-bangsa? Kalau begitu betapa dangkalnya kebhinekaan itu.
Bhineka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda itu satu itu, atau secara umum disebut berbeda-beda tetapi tetap satu. NKRI belum sanggup menerima realitas kebhinekaan itu lebih luas dan lebih dalam daripada sekedar apa yang terlihat di mata fisik, yaitu jenis rambut, warna kulit, budaya dan bahasa dan wilayah geografis. Kebhinekaan pendapat dan pendirian, kebhinekaan organisasi dalam kebersamaan menjadi pertanyaan dan pekerjaan rumah NKRI yang belum tuntas, tambahan dari tak begitu banyak pekerjaan dari pembangunan nasionalisme NKRI.
Nasionalisme Indonesia dan nasionalisme NKRI kelihatan sama, tetapi sebenarnya tidak sama secara prinsipil. Nasionalisme Indonesia ialah sebuah nasionalisme yang Benedict Anderson katakan sebagai sebuah “imagined society”, yang harus diperjuangkan dengan proyek-proyek rekayasa sosial dan rekayasa budaya (social and cultural engineering projects). Sedangkan nasionalisme NKRI anutan Megatati Sukarnoputri dan PDI-Perjuangan ialah “assumed society”, yaitu sebuah nasionalisme yang sudah dipatok walaupun masih dalam proses engineering.
Konsekuensi dari  sebuah assumed-society sangat tendensius karena ia memaksakan imaginasi yang sudah fixed, bayangan yang sudah baku sebelum baku, yaitu wajah dari nasionalisme fundamentalis yang melahirkan fundamentalisme nasionalis, yang membabi-buta, yang mengesampingkan logika dan rasional, apalagi moral dan kemanusiaan menjadi terhapus total.
Akibatnya aksis teror oleh negara dianggap halal dan sah, sedangkan pemeberontakan rakyat yang secara hewani menentang apa yang mereka alami sebagai salah dianggap haram dan teroris. Terorisme akhirnya menjadi milik negara untuk menghukum siapa saja kelompok atau oknum yang dianggap menentang negara. Negara sama dengan Tuhan, dan ekspresi nurani dan pembelaan manusiawi rakyat dianggap teroris.
Mereka yang melawan disebut separatis. Padahal NKRi sendiri lupa bahwa ia ada karena tadinya dia sendiri separatis dari Belanda. Ada uangkapan “Maling teriak maling!” itu yang terjadi dalam hal hubungan NKRI dan West Papua. Dulunya dia sendiri separtis, sekarang dia sebut orang Papua separatis.
Itu memang sebuah resiko perjuangan. Orang Indonesia yang dulu disebut separatis oleh Belanda, orang Timor Leste yang tadinya Indonesia tuduh sebagai separatis, toh akhirnya bekerja-sama juga, toh akhirnya menjadi tetangga yang seia-sekata juga. Politik memang begitu, menurut politisi NKRI, tidak ada kawan abadi, dan tidak ada makan siang gratis.
Sultan Hamengkubuwono X menyebut mahasiswa Papua separatis, padahal dia lupa, bahwak ayahnya sendiri secara terbuka dan nyata-nyata mendukung dan memupuk bibit-bibit separatisme menentang Belanda, kini tahta itu sendiri menentang separatisme.
Intinya sebenarnya bukan Bhineka Tunggal Ika, bukan juga “kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, tetapi ialah kerakusan, ketamakan, nafsu dan gengsi.
NKRI dan Raja Jawa saat ini sedang mempertaruhkan harga diri mereka di hadapan bangsa-bansga di dunia, termasuk bangsa-bangsa yang kini berada dalam pendudukannya: Jawa, Madura, Betawi, Sunda, Minang, Bugis, Batak, Papua, Toraja, Minahasa, dan sebagainya, mulai dari Pulau Weh sampai ke Kabupaten Maroke, Provinsi Papua.
Bhineka Tunggal Ika ialah sebuah slogan kosong, tagline pembenaran atas kebobrokan dan terorisme negara terhadap warga negara di wilayah pendudukan Indonesia. Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan hanya dimaksudkan untuk mengusir penjajahan Belanda atas Jawa dan Sumatera, bukan untuk memberikan peluang bangsa-bangsa di pulau Borneo, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dengan kata lain, Bhineka Tunggal Ika hanyalah sebuah permainan wayang di Panggung Sandiwara bernama NKRI. Slogan ini tiba-tiba terhapus sendiri pada asat orang Jawa sendiri kebakaran janggot. Malahan dia tuduh para pengikut jejaknya, kaum separatis sebagai musuhnya. Seharusnya penganut Bhineka Tunggal Ika menghargai pendapat yang berbeda, mengakomodir dan mengolahnya menjadi santapan sosial-politik buat membangun Jawa-Sumatera.

Mahasiswa Papua di Yogyakarta Putuskan Tinggalkan Yogyakarta

Sabtu, 23/07/2016 16:35

Mahasiswa Papua Siap Pulang Kampung
Mahasiswa Papua Siap Pulang Kampung

Pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua, Roy Karoba, mengatakan para mahasiswa Papua di Yogya telah menggelar rapat koordinasi yang menghasilkan keputusan untuk meninggalkan Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Kami, mahasiswa Papua di Yogya, menyatakan sikap untuk kembali ke Papua. Kami telah membuat kesepakatan. Terkait kuliah, akan dimintakan surat pindah untuk melanjutkan studi di Papua,” kata Roy kepada CNNIndonesia.com, Jumat malam (22/7).

Keputusan tersebut diambil karena para mahasiswa Papua khawatir dengan jaminan keamanan mereka di Yogya. Ucapan Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur DIY sekaligus Raja, menjadi pertimbangan utama.

“Pernyataan Sultan terkait separatisme sangat mengganggu, dan akan melegitimasi aparat serta ormas di Yogya untuk bertindak diskriminatif terhadap mahasiswa Papua,” ujar Roy.

Sultan sebelumnya meminta kepada orang Papua di Yogya untuk tidak melakukan aksi separatisme, sebab mereka bagian dari bangsa Indonesia. Bagi yang memiliki aspirasi separatisme, kata Sultan, jangan tinggal di Yogyakarta.
Baca: Komisioner Komnas HAM Sebut Ucapan Sultan Berdampak Luas

Menurut Roy, “Label separatis selama ini digunakan aparat sebagai legalitas untuk membunuh, menangkap, meneror, mengintimidasi, dan memenjarakan orang asli Papua.”

Kali ini, kata dia, label yang sama ditujukan Sultan kepada mahasiswa Papua. “Ini mengkhawatirkan. Akan sangat mungkin menjadi legalitas aparat dan ormas dalam menyikapi aktivitas mahasiswa Papua.”

Mahasiswa Papua angkat Kaki – Tabloid Wani (1)Peringatan Sultan agar warga Papua tak mengusung aspirasi separatisme, dikeluarkan beberapa hari setelah insiden pengepungan di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta.

Menangapi ucapan Sultan Yogyakarata dari komisiaris Natalis Pigai mengungkapkan

“Pernyataan tersebut dikeluarkan oleh seorang tokoh yang punya tiga pangkat sekaligus, yakni tokoh nasional, negarawan, dan raja. Untuk masyarakat Jawa di Yogya, ucapan itu dipandang sebagai sabda atau titah raja, dan bisa memicu ormas atau masyarakat melakukan tindakan-tindakan Papua-fobia,”

kata Pigai.

Mestinya, ujar pria kelahiran Paniai itu, Sultan menyebutkan nama jelas individu separatis. “Sehingga masalah dilokalisir ke individu, tak diperluas ke semua warga Papua.”

“Jika nama separatis tidak disebutkan, pandangan umum bisa menafsirkan semua mahasiswa Papua di Yogya separatis. Ini sangat berbahaya dan menciptakan ketidaknyamanan hidup bagi mereka secara keseluruhan. Mereka berada pada posisi serba salah,”

ujarnya.
Copyright ©CNN Indonesia

Komnas HAM: Ancaman Sultan Jogja Usir Mahasiswa Papua Itu Berbahaya!

1 Jumat, 22 Juli 2016

POSMETRO INFO – Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X menegaskan tidak boleh ada separatis di Yogyakarta. Sultan dikabarkan berniat mengusir mahasiswa asal Papua yang mendukung gerakan separatis.

Sultan mengatakan hal itu menanggapi aksi sejumlah mahasiswa Papua di Yogyakarta yang menggelar dukungan atas United Liberation Movement For West Papua (ULMWP). Para mahasiswa Papua itu mendorong ULMWP menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG).

Terkait hal itu, komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan, pernyataan Sultan itu sangat berbahaya. “Sultan merupakan Raja Jawa. Dikhawatirkan pernyataan itu dimaknai lain oleh warga Yogyakarta. Ini dianggap titah, itu berbahaya,” kata Natalius kepada Rimanews, Kamis (21/07/2016).
Natalius mengaku telah bertemu dengan Sultan HB X untuk mengklarifikasi pernyataan tersebut. “Saya meminta agar Sultan memberikan jaminan hidup kepada mahasiswa Papua. Sultan menjawab, dia tidak akan langsung mengusir mahasiswa Papua,” kata dia.

Komnas HAM, kata Natalius, mengimbau agar Sultan memberikan klarifikasi atas pernyataannya. “Sultan harus menyampaikan kepada warga Yogyakarta, mengklarifikasinya,” ungkap Natalius.

Dijelaskan Natalius, sejak lima tahun terakhir, mahasiswa Papua kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi di Yogyakarta. “Mahasiswa Papua kerap diejek, dan sulit sekali mendapatkan kost-kostan,” ujar Natalius.

Pemerintah Daerah Yogyakarta, menurut Natalius, harus melindungi para mahasiswa Papua yang menimba ilmu di Kota Pelajar. (rn)

Polisi Imbau Masyarakat tak Termakan Isu Kekerasan Mahasiswa Papua

Selasa, 19 Juli 2016, 09:48 WIB, Rep: Rizma Riyandi/ Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN — Usai aksi demo dari sekelompok mahasiswa asal Papua di Asrama Papua Kamasan Yogyakarta pada 14 dan 15 Juli, muncul berbagai pemberitaan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Kepala Bidang Humas Polda DIY, AKBP Anny Pudjiastuti menuturkan, ada pihak-pihak yang sengaja menebar isu dengan tujuan mempekeruh keadaan atau membiaskan alasan mengapa aksi tersebut tidak mendapat izin.

“Padahal aksi tersebut sudah sepatutnya dibubarkan guna menghindari konflik dengan masyarakat dan mencegah munculnya korban,” tuturnya, Selasa (19/7).

Menurutnya, ada beberapa isu yang sengaja disebarluaskan, namun bertentangan dengan fakta di lapangan, di antaranya adanya isu pengepungan dan isolasi terhadap asrama Papua Kamasan hingga berakibat penghuni kelaparan dan sakit.

“Faktanya upaya petugas agar aksi digelar di dalam asrama guna antisipasi terjadinya keributan di tempat umum. Di dalam asrama banyak terdapat persediaan makanan sehingga tidak ada yang kelaparan,” ujarnya.

Kemudian ada isu terjadi situasi rusuh dan pemukulan dan perusakan oleh peserta aksi terhadap warga umum yang lewat. “Faktanya situasi kondusif. Ketegangan kecil hanya terjadi saat massa didorong masuk ke dalam asrama,” papar Anny.

Saat pelaksanaan sweeping di area belakang asrama Kamasan, lanjutnya, ditemukan enam warga Papua bersepada motor yang masih berada di luar dan ada yang membawa panah. Saat hendak diberi pengarahan dan ditanya surat identitas serta SIM, mereka malah lari dan ada yg memukul petugas.

“Di sisi lain mereka juga tidak bisa tunjukan SIM. Maka itu mereka diamankan,” tegasnya.

Masyarakat Diminta Bijak Tanggapi Isu SARA

Selasa, 19 Juli 2016, 01:35 WIB, Rep: Eko Supriyadi/ Red: Yudha Manggala P Putra

 Asrama Mahasiswa Papua
Sejumlah anggota kepolisian berjaga di depan Asrama Mahasiswa Papua di Yogyakarta, Jumat (15/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Di saat ramai-ramai kasus ‘pengepungan’ mahasiswa Papua di Yogyakarta, ada kelompok-kelompok yang menyulut isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Pakar komunikasi Universitas Brawijaya Anang Sujoko menilai, hal ini terjadi karena persoalan dijadikan sebuah wacana publik, sehingga masyarakat bebas menyampaikan ekspresi.

Pada akhirnya, masyarakat cenderung emosi dalam provokasi-provokasi di media sosial yang tidak terkontrol. ”Tetapi, itu ada muatan komentar orang, yang memicu orang lain untuk berkomentar liar dan tidak santun yang pada akhirnya berujung pada SARA,” kata Anang, saat dihubungi, Senin (18/7).

Apalagi, opini-opini liar itu tidak dilandaskan dengan fakta-fakta yang ada, dan lebih mengedepankan emosi. Karena itu, Anang berharap masyarakat agar arif dan bijaksana dalam bersuara.

Intinya, saya berharap kembali semua media sosial, masyarakat harus cenderung arif dan bijaksana dalam bersuara. Karena akan dibaca dan mudah disebarkan kepada orang lain. Begitu juga jika ingin komentar mesti dipertimbangkan matang-matang.

Apalagi, isu HAM dan SARA sangat sensitif untuk diangkat media sosial dan media mainstream, yang dalam waktu cepat bisa menjadi viral di masyarakat.

Sementara itu, Pengamat Komunikasi Politik UIN Syarif Hidatatullah Gun Gun Heriyanto, mengimbau agar masalah ini disikapi bijak oleh berbagai pihak. Supaya tidak salah paham, sehingga membahayakan aspek kohesi sosial dan politik.

Ekspresi kebebasan harusnya dipergunakan dengan baik. Jangan merasa karena ada kebebasan berekspresi yang kemudian berlebihan. ”Yang menyikapi mesti wise, yang memberi stimulan seperti di opini, dengan spanduk dan pendapat mestinya mementingkan kepentingan publik. Tapi dua-duanya mesti bijak,” ujarnya.

Sri Sultan: Separatis tak Punya Tempat di Yogya

Rep: Neni Ridarineni/ Red: Teguh Firmansyah, Selasa, 19 Juli 2016, 16:43 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan orang Papua itu tidak sekedar saudara bagi masyarakat Yogyakarta, tetapi bagian dari bangsa Indonesia.

‘’Karena itu bagi yang punya aspirasi separatis jangan tinggal di Yogyakarta. Yogyakarta sudah kondusif bagian dari Republik Indonesia,’’ tegas Sultan pada wartawan usai acara pamitan Kontingen Jumbara (Jumpa Bakti Gembira) PMR (Palang Merah Remaja) VIII 2016 PMI DIY di Kepatihan Yogyakarta, Selasa (19/7).

Dia mengatakan setiap tahun selalu memperingatkan kepada orang Papua yang tinggal di Yogyakarta jangan melakukan aspirasi separatis. Mereka setiap tahun selalu memperingati OPM  (Organisasi Papua Merdeka).

“Karena itu saya minta kepada teman-teman (red. orang Papua) sebangsa, sesaudara jangan punya aspirasi separatis,’ ’tuturnya.

Sultan pun mengatakan, Kamis (21/7), seluruh ormas se DIY mau ketemu dia. ‘’Mereka akan bertemu saya terkait dengan  Papua, bagaimana? Mereka akan mempertanyakan kenapa saya memberikan ruang kepada Papua,’’ ujar Raja Keraton Yogyakarta ini.

Baca juga, Polisi Imbau Masyarakat tak Termakan Isu Kekerasan Mahasiswa Papua.

Ketika ditanya tentang  keinginan anggota DPRD Papua untuk bertemu Gubernur DIY Sri Sultan HamengkuBuwono X, Sultan mempersilakan. ”Silakan saja kalau mau bertemu saya. Tetapi saya belum menerima suratnya,”kata dia.

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny