Setelah Ego-isme Pribadi, Penyakit Terbesar Kedua ialah “Curiga-Mencurigai” antara Sesama Pejuang

Telah berulang-ulang Papua Merdeka News (PMNews) menangangkat isu “egoisme” sebagai persoalan terbesar, pertama dan utama, yang menghambat perjuangan Papua Merdeka. Egoisme dimaksud ada pada tingkat individu para pemimpin dan aktivis Papua Merdeka dan juga ada di tingkatan suku, klen, agama, kelompok politik, pertahanan masing-masing di seluruh kalangan orang Papua.

Setelah “egoisme” penyakit berikutnya ialah “curiga-mencurigai”, mencurigai sesama pejuang sebagai agen dan mata-mata NKRI. Irama “spy”, mata-mata dan saling mencurigai yang ada selama ini di Tanah Papua, di kalangan para pejuang Papua Merdeka kebanyakan didasari atas sentimen-sentimen pribadi, yang latar-belakang utamanya ialah egoisme pribadi dan kelompok, tidak ada alasan mendasar, bukti nyata yang menunjjukkan oknum yang dituduh benar-benar merupakan agen dari NKRI.

TIdak hanya di antara kelompok, suku atau generasi, tetapi di dalam kelompok sendiri juga masih saja ada saling curiga-mencurigai. Ini penyakit  yang sulit kita lenyapkan, tetapi harus kita lenjyapkan.

Cara mengecap diri sendiri sebagia pejuang dan pahlawan, dan mengecap sesama pejuang lain sebagai agen dan mata-mata adalah sebuah pemikiran dan perilaku bukan hanya tidak sopan, tetapi sekaligus tidak bermoral dan berbahaya bagi perjuangan Papua Merdeka.

Dan kita harus tegas menyatakan bahwa para pembawa isu-isu curiga-mencurigai itu sendiri adalah mata-mata dari NKRI, karena kita sebagai sesama pejuang tidak-lah mungkin dengan tega saling mencurigai dan saling menceritakan. Para pejuang bangsa Papua telah mempertauhkan semuanya, telah mempertaruhkan nyawa, menghabiskan waktu dan biaya untuk tujuan perjuangan. Akan tetapi pada waktu yang sama telah gagal menyatu dan saling mengakui.

Peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah perjuangan bangsa Papua, mulai dari Skotiau, Wutung, Jayapura, Waemna dan sekitarnya, dari tahun 1960-an dan terutama tahun 1977 di pegunungan tengah Papua sangat kental dengan warna saling mencurigai dan saling menuduh.

Akibatnya yang pernah terjadi waktu itu ialah saling menghukum sampai saling membunuh. Peristiwa saling membunuh tidak hanya berakhir di Wamena, ia berlanjut sampai ke wilayah perbatasan NKRI – West Papua. Bahkan bibit-bibit itu masih bertumbuh dan berbuah di hati sejumlah pemuda hari ini, yang senang menyebarkan gosip dengan menuduh sesama pejuang sebagai mata-mata NKRI dan sebagai kaki-tangan merah putih.

Kalau kita memang berjiwa nasionalis, kita berjuang benar-benar untuk Papua Merdeka, kita semua pejuang “bangs Papua”. maka pasti kita tanpa terkecuali merangkul semua orang Papua, itu merah-putih, itu putih-biru, itu bintang kejora, itu pejabat, anggota TNI dan Polri, ASN Indonesia, pejabat NKRI OAP, semuanya kami akan menganggap dan memperlakukan mereka sebagai sesama sebangsa dan setanah air. Para pejabat Barisan Merah Putih seperti Ramses Ohe, para tokoh OPM yang sudah kembali seperti Fransalbert Joku dan NIck Messet, semuanya akan kita pandang sama-sama sebagai bangsa Papua, dan sama-sama mengambil andil dalam rangka mempertahankan identitas bangsa Papua. Kita akan memperlakukan semua pihak tanpa curiga, apalagi menceritakan yang tidak-tidak dan tidak sesuai proporsi.

Memang perjuangan Papua Merdeka sejauh ini sangat lemah dengan PIS (Papua Intelligence Service). Strukturnya tidak ada, organisasinya tidak ada, apalagi pejabatnya tidak ada. Akibatnya semua informasi, semua kecurigaan, semua sentimen dia melayang secara liar tak terkendali. Semua orang dapat bersuara membela, menyalahkan, mencurigai, atas nama Papua Merdeka, padahal banyak dari kita sebenarnya menggunakan sentimen pribadi dan egoisme individu dan kelompok yang tidak ada manfaat apapun dan malahan sangat merugikan bagi perjuangan Papua Merdeka.

[Semoga Tunan membaca artikel ini]

Setelah Kantor ULMWP Ada Kapan Pejabat ULMWP Pindah dan Menetap di Port Vila?

Yang menjadi pertanyaan umum di seluruh dunia, dan sekarang ini juga menjadi pertanyaan Tentara Revolusi West Papua (TRWP) dari Markas Pusat Pertahanan (MPP), yaitu

“Kapan para pemimpin politik dan diplomasi Papua Merdka bersatu-padu membangun kebersamaan dan kesatuan secara personal dan pindah bekerja sehari-hari di kantor perjuangan Papua Merdeka?”

Dulu Seth Jafeth Roemkorem sebagai Ketua OPM/ Presiden Pemerintahan Sementara Republik West Papua tinggal di Belanda, menjalankan kegiatan Papua Merdeka dari Negeri Belanda. Jacob Hendrik Pray juga menjadikan Malmo Swedia sebagai kantor OPM/ Ketua Parlemen Republik West Papua. Di PNG OPM Revolutionary Council di bawah Moses Weror juga menjalankan kampanye Papua Merdeka dari Madang. Demikan juga dengan Clemens Runawery, Otto Ondawame, Andy Ayamiseba, Rex Rumakiek.

Belakangan Willy Mandowen, Thom Beanal, Theys Eluay, Sem Karoba, Benny Wenda, Jacob Rumbiak, John Rumbiak, Jonah Wenda, dan banyak lagi, mengkleim diri sebagai pejuang Papua Merdeka, dan mendirikan berbagai macam organisasi, berkampanye untuk satu barang bernama “Papua Merdeka”.

Semua aktivis Papua Merdeka menjalankan kegiatan Papua Merdeka menurut “gut feeling” dan “instinct” dari masing-masing “hewan politik”, berdasarkan naluri hewani yang dimiliki masing-masing orang. Kita hanya memiliki “roh perjuangan”, tetapi tidak pernah memiliki 3-C menurut Alm. Dr. OPM John Otto Ondawamena (Concern, Commitement and Consistency). Menurut Ondawame, semua orang Papua punya concern dan consistency, dan juga sebagian ‘commitment” tetapi sampai detik ini, ‘commitment untuk menghapus dan melupakan ego-ego kelompok dan pribadi tidak ada sama sekali’.

Jawaban ini diberikan Alm. Dr. OPM Ondawame saat ditanyakan oleh Maj. Gen. TRWP Amunggut Tabi di tahun 2004, dalam percakapan-percakapan lepas menganalisis persoalan yang dialami perjuangan Papua Merdeka.

Bukti-bukti tidak ada ‘commitment’ itu yang palin gmenonjol ada dua, yaitu pertama ke-enggan-an public figure dalam perjuangan Papua Merdeka. Dan hal kedua ialah kerelaan para pemimpin Papua Merdeka untuk membentuk satu keluarga pejuang Papua Merdeka, tinggal di satu tempat, bekerja dari satu kantor, bicara satu bahasa, punya satu program, dan saling menghargai.

Menurut Alm. Dr. OPM Ondawame kepada Maj. TRWP Tabi,

Jadi adik, saya dengan kakak Andy Ayamiseba putuskan untuk pindah ke Port Vila Vanuatu karena kami mau bikin sendiri lewat perbuatan kami, kami mau tinggal sama-sama, di satu tempat, dan berjuang untuk satu tujuan, sebagai satu keluarga, satu bangsa. Komitmen pribadi ada, tetapi kami punya banyak organisasi dan karena itu kami dua bentuk West Papuan Peoples’ Representative Office (WPPRO) di Port Vila dalam rangka menyatukan kami dua dan mendorong commitment kami menjadi sebuah kekuatan bersama. Kami juga dengan Kak Rex Rumakiek, kami mintak kak Rex di Suva, Fiji karena dia penting untuk ada di sana.

Jadi, ini contoh budaya politik Papua Merdeka dari tiga tokoh yang patut dicontoh oleh generasi muda pejuang Papua Merdeka.

Sekarang para pejabat ULMWP tinggal di mana? Setiap hari pekerjaanya apa? Fokus hidup mereka apa? Bahan-bahan sidang dan persoalan internal ULMWP disampaikan kepada siapa? Mereka di-ekspose kepada siapa? Siapa yang memberikan saran dan kritik terhadap mereka kalau mereka jalan masing-masing? Berapa sering para pengurus ULMWP bertemu? Setahun sekali? Tiga tahun sekali? Di mana komitment Papua Merdeka bisa dibanggakan kalau masing-masing pulang ke negeri ke-warga-negara-an mereka tetapi masing-masing bicara Papua Merdeka?

Memang hal yang logis. Contoh kasus, Joko Widodo berasal dari Solo, Jawa Tengah. Pada saat beliau terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, beliau pindah dan tinggal di Jakarta, di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta. Setelah terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, beliau juga pindah ke Jakarta, tinggal di Rumah Presiden R.I. Nah sekarang orang-orang pengurus ULMWP tinggal di mana?

Aneh!

Kalau kita main drama “aneh” di dunia ini, jangan bermimpin mengharapkan sebuah Papua Merdeka hadir atas mujizat Tuhan di permainan yang serba “Aneh” ini. Harap maklum!

“Slave Mentality” Will be Easily Manipulated by “Fear Factor”

Human beings who are mentally slave will not be free from fear. No matter who we are: politicians, clergymen, teachers, tribal elders, students, brave boys and girls, old and young, anybody , those who have “fear” in their life should automatically acknowledge themselves that they are mentally slave, they have slave mentality.

Slave mentality has no choice in life, mentality of surrender, mentality of uncertainty, mentality of dependence, mentality that has no position at all because slaves are totally dependent on the will, wishes and wants of their masters.

An interesting point to acknowledge is that most of slaves in human history are physically strong peoples. They work hard from morning to night, from young to old age, even until they die. They are hard-working peoples. But on the contrary, they are mentally the weakest human beings.

Most of the slaves are also spiritually and physically strong, but mentally weak, and this weakness is the gate into fear. Fear of being punished, fear of being sold, fear of being killed, fear of being anything bad that can happen to the slave.

The fear grows well because the slave status limits every rights, every possibility of making any choice in life.

Melanesian peoples today, when facing Australia, New Zealand and Indonesia, we can easily point out that we are mentally being slaved for so long. We declare that we live in free countries. We are proud that we live in Paradise South Pacific. We always declare that our country is rich of natural resources and culture. However, when it comes to talking about our identity, our freedom and our future, we suddenly put out our identity as the “true slave in this 21-st century”.

Of course Melanesia peoples have never experienced any slavery in our history like those of our fellow blacks across the Black Continent. However, when it comes to standing up and voicing our opinions and positions on various issues affecting our lives and our future generations against aggressors, colonizers and imperialists, then we suddenly become “true slaves” of the modern world.

We become powerless when being faced by Indonesian politicians. We become speechless when we are offered with some tens of kina, Vatu and dollars by the Australians and Indonesians. Our true “slave mentality” comes out when we are threatened to be attacked by the Indonesian armed forces. Slave mentality is the mentality that we Melanesians are sharing today. We must get rid of this mentality, free our mentality, then we can talk about “Free West Papua to Free Melanesia!”

“Fear-Factor” Politics by Indonesia Across Melanesian Peoples

Indonesia in reality is not that strong as it may appear to many Melanesians, particularly Papuans in Papua New Guinea. Militarily it is big in number. However, they are very unskilled. They do not know how to stay just one night without water. Their do not have any fighting spirit. They would rather go home and enjoy life with their families.

In addition, all Indonesian soldiers are very poorly paid. They have many burdens on their shoulders. Indonesia is very poor, many military and police forces are underpaid.

Indonesian soldiers are assigned to West Papua but they always pray everyday to go back to their homeland, because they do know, that West Papua is an occupied land, not their homeland.

Politicians however, always appear on tables and discussions, display as if they very strong military power in South East Asia. If this is true, then I can prove by saying, “they have been unable to completely wipe out all West Papuan fighters in the jungles of New Guinea”. How come this unskilled and unprofessional military forces pose fear to our Papuan peoples on the other side of our New Guinea Island?

Politics means telling lies, that is what Indonesians have taught us. And that is exactly what they are doing. They are telling us all stories contrary to the reality in the field. They told us Indonesia is a rich country, right? No, the reality is that 100% of beggars, prostitutes and beggars in Indonesia are from Java and Sumatera, the owners of the so-called Indonesia nation-state.How come they claim they are rich to us in Melanesia but they are the ones selling their bodies for money, day and night here in West Papua, in Sumatera, Sulawesi, Jawa, Bali? Just come and proof by yourself.

Politics means manipulating the reality. Indonesia politicians also manipulate the reality of ill-equipped, unskilled, unwilling Indonesian soldiers as if they are professional, well-equipped, dangerous soldiers on earth.

Just read various statements made by Papua New Guinea citizens and politicians, read them word by word. You will find out clearly that there is “fear” in the words, sentences that Papuans in PNG say. Even politicians like Michael Somare also said it is time to talk about West Papua today than before when he was the PNG PM for so long time. He was fearful that Indonesia will attack PNG at that time, they will kill him at that time, they will ambush Vanimo, and so on.

Indonesia is the expert in manipulating the truth and telling lies. They will appear as well-educated, civilized, very polite human beings on earth. Javanese culture does colour the Indonesian culture, they look polite and tidy, but they are actually stubborn and uncivilized in their mindset. They will appear very polite to you, and after they go home, they will demonstrate what they have done to you and how you reacted, and then they will laugh at your ignorance and stupidity.

They are using their manipulation tactic to terrorize all of us Melanesians. They want us Melanesians to realise that we cannot fight against Indonesia. They want us to see them like a lion hungry of Melanesian meats. They want us to think they are superpowers in the South Pacific Region. They want us to see them as the dangerous and determinant power in the region. They hide the reality that they are actually ill-equipped, unskilled, under-paid, and many of their people are unwilling to fight for West Papua, a far away Island from them.

Fear Factor is always used by colonial powers across the globe, along the history of colonialism in the world.

If we Papuans, and we Melanesians are scared of them, feel powerless before them, then we must be assured that we are suffering a colonial disease called “slave mentality.”

Human beings with “slave mentality” have no choice, have no power in mind even though physically powerful. Slave mentality always paranoid in making any right decisions. Slave mentality always use “security” and “safety” as the title to get away from facing the reality that undermines his/ her humanity.

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny