Minta Indonesia Kurangi Militer di Papua, Pernyataan O’Neill Dinilai Sangat Keras

Jayapura, Jubi – Dr Richard Chauvel dari University of Melbourne Asia Institute mengatakan ia belum pernah mendengar pernyataan yang keras dari seorang pemimpin Papua Nugini (PNG), ketika mereka berbicara tentang Papua Barat yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia. Namun pernyataan Perdana Menteri PNG, Peter O’Neill saat diwawancarai Radio Australia Jumat (27/3/2015) adalah pernyataan yang sangat keras dan berpotensi mempermalukan Indonesia.

“Keterusterangan Peter O’Neill meminta pertanggungjawaban pemerintah Jokowi untuk memenuhi komitmen presiden sebelumnya, Soesilo Bambang Yoedhoyono (SBY) adalah kejujuran yang sangat luar biasa,” kata Richard Cauvel setelah O’Neill diwawancarai Radio Australia, Jumat (27/3/2015).

O’Neill saat berada di Australia untuk menghadiri pemakaman Malcolm Fraser, mantan Perdana Menteri Australia telah diwawancarai oleh Radio Australia terkait Papua Barat. Dalam wawancara ini, O’Neill meminta pemerintah Indonesia memenuhi janji mengurangi personel militer di Papua Barat.

Menurut O’neill, pengurangan personel militer ini adalah janji presiden SBY saat ia bertemu dengan mantan Presiden Indonesia ini dalam pertemuan bilateral antara Indonesia dengan PNG di Jakarta.

“Kami akan terus mencoba untuk memastikan bahwa pemerintah Indonesia saat ini juga memiliki pandangan yang sama tentang pengurangan kehadiran militer di Papua. Dan otonomi yang lebih luas tentu lebih baik untuk rakyat Papua Barat,” kata O’Neill kepada Radio Australia.

Pernyataan inilah yang disebut oleh Richard Chauvel, seorang ahli Papua Barat, sangat keras dan berpotensi untuk mempermalukan pemerintah Indonesia.

“Tapi dia (O’Neill) juga sangat berhati-hati dalam caranya menghubungkan pernyataan untuk pelaksanaan otonomi yang lebih efektif untuk Papua Barat dan juga tanggung jawab Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional,” kata Chauvel kepada Jubi melalui sambungan telepon, Sabtu (28/3/2015).

Chauvel bahkan meragukan pernyataan versi Indonesia tentang pertemuan Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi dengan O’Neill baru-baru ini.

“Versi Indonesia terhadap pertemuan dengan Mr O’Neill, bagaimanapun, sangat jauh berbeda,” ujarnya.

Dr Richard Chauvel pernah menjadi konsultan untuk International Crisis Group (ICG) di Papua dan laporannya diterbitkan tahun 2001 oleh ICG dengan judul “Indonesia: Ending Repression in Irian Jaya”. (Victor Mambor)

Australia Minta Indonesia Buka Akses ke Papua

CANBERRA – Janji Perdana Menteri Tony Abbott untuk tidak lagi melakukan aksi apapun yang dapat membahayakan hubungan bilateralnya dengan Indonesia, kemungkinan akan dilanggar. Sebab, Rabu kemarin, Senat Australia mengajukan mosi yang menyerukan kepada Pemerintah Indonesia agar memberikan akses lebih terbuka ke Papua.

Harian Australia, The Age, edisi Kamis, 2 Oktober 2014 melansir, mosi itu terkait dengan kekhawatiran mereka terhadap dua jurnalis Prancis, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, yang ditangkap di Papua.

Keduanya ditangkap otoritas berwenang, Agustus lalu, karena diduga menyalahi aturan imigrasi. Dandois dan Bourrat menggunakan visa turis untuk bekerja. Mereka tengah melakukan pembuatan film dokumenter yang menggambarkan kehidupan sehari-hari warga Papua.

Mosi itu secara terbuka bahkan didukung oleh kantor Menteri Luar Negeri Julie Bishop. Senat Australia menyebut kebebasan pers di Papua Barat benar-benar dibatasi.

Anggota Senat dari Partai Hijau, Richard Di Natale, yang mengajukan mosi tersebut. Dia menyebut Bishop telah menghubungi dia pada Rabu dan mengatakan Pemerintah Australia akan mendukung mosi tersebut dengan perubahan teknis.

“Ini jelas telah dipertimbangkan secara detail oleh kantor Menlu dan saya bersemangat memperoleh dukungan itu,”

ungkap Di Natale.

Menurut dia, dukungan tersebut bisa diartikan sebagai sebuah gestur dari Pemerintah Australia, bahwa mereka secara aktif mengirimkan pesan yang sangat jelas kepada Indonesia.

“Sepertinya ini merupakan kebijakan yang sengaja diubah,”

imbuh dia. Senat menyerukan kepada Pemerintah Indonesia agar membebaskan dua jurnalis Prancis sebagai komitmen untuk membuat Papua lebih terbuka. Mereka juga khawatir terhadap penahanan mereka. Harapan terlihat ketika tongkat presiden beralih ke Joko Widodo. Sebab Jokowi yang masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta itu mengindikasikan akan adanya kelonggaran pembatasan di sana.

Menurut The Age, sesuatu yang tidak biasa bagi pemerintah untuk mendukung sebuah mosi mengenai isu luar negeri yang sensitif. Biasanya, mosi tersebut akan ditolak, karena Senat dianggap forum yang tidak sesuai. Lebih tidak sesuai lagi, karena subjek yang dibahas mengenai Papua.

Mosi ini berisiko akan kembali menyebabkan ketegangan diplomatik di Indonesia. Menurut Kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Evi Fitriani, ketimbang mengurusi isu Papua, Senator Di Natale lebih baik berkonsentrasi terhadap cara Pemerintah Australia menangani imigran gelap. Menurut dia, isu itu lebih krusial untuk ditindaklanjuti segera.

Sementara, ketika ditanya mengenai perubahan sikap rezim Abbott terhadap kebijakannya, Evi mengatakan hal itu bukan sesuatu yang baru. “Dia memang telah menyakiti Indonesia beberapa kali di masa lalu. Jadi, hal itu bukanlah sebuah kejutan,” kata dia.

Sementara, Ibu Bourrat, Martine, mengaku bahagia mendengar mosi yang diajukan oleh Senat Australia.

“Kami tidak memiliki hal yang sama di Prancis. Ini merupakan sebuah dukungan yang hebat, ketika membaca ini di Prancis. Ini menjadi sebuah contoh dan pesan yang bisa dikirim ke Parlemen Eropa,”

kata Martine.

Kedua jurnalis Prancis itu terancam hukuman bui selama lima tahun. Hukuman itu kemungkinan bisa bertambah, karena polisi setempat tengah menyelidiki apakah keduanya terlibat aksi makar.

Isu sensitif

Pemerintah Indonesia diketahui sensitif terhadap isu Papua Barat. Salah satunya, karena adanya kelompok tertentu yang ingin memerdekakan Papua.

Australia bahkan sempat dianggap melakukan intervensi dalam isu itu. Di tahun 2006, rezim Pemerintahan PM John Howard malah memberikan suaka kepada 42 anggota Pembebasan Papua Barat (FWP). Akibatnya, Indonesia murka dan menarik Duta Besar dari Canberra.

Perselisihan itu berhasil diselesaikan ketika kedua pihak menandatangani Traktat Lombok. Dalam kesepakatan itu, Australia menyatakan dukungan penuh terhadap kedaulatan teritori Indonesia, termasuk Papua. [VIV]

Copyright © 2013 Papua Untuk Semua, pada hari Minggu, 05 Oktober 2014 | pukul 22:54 WIT

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny