Setelah Dubes AS, Kini Giliran Duta Besar Inggris ke Papua

Rabu, 20 Januari 2016, 08:56 WIB

REPUBLIKA.CO.ID — Duta Besar (Dubes) Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik mengunjungi Provinsi Papua untuk menemui para pejabat pemerintahan dan beberapa universitas.

“Senang bisa melakukan kunjungan saya yang ke dua ke wilayah ini sejak menjabat sebagai Duta Besar,” katanya di Jayapura, Rabu.

Menurut Moazzam, pihaknya berada di Papua untuk membahas beberapa isu demi kepentingan bersama seperti perubahan iklim, pendidikan dan pembangunan.

“Dalam agenda kali ini, saya sangat senang bisa mengunjungi Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Universitas Papua (Unipa), di mana kami ingin mempromosikan kerja sama pendidikan dengan Inggris dan mengajak lebih banyak lagi masyarakat Papua untuk belajar di Inggris, termasuk beasiswa Inggris Chevening,” ujarnya.

Dia menjelaskan, Inggris mendukung secara penuh integritas teritori dan kedaulatan Indonesia. Inggris mengakui Papua sebagai bagian dari Indonesia.

“Kami juga mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan organisasi kemasyarakatan dalam menanggulangi masalah-masalah di Papua,” katanya lagi.

Dia menambahkan, Inggris berharap bisa menyaksikan perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan yang merata di seluruh wilayah bangsa ini.

Selama kunjungan ini Dubes Inggris akan bertemu dengan Gubernur dan Kapolda Papua serta pejabat lainnya.
Setelah mengunjungi Jayapura, ia juga akan mengunjungi wilayah lain di Provinsi Papua.

Sumber : Antara

Dubes AS Sebut Papua Sangat Penting Bagi Amerika

Rabu, 20 Januari 2016, 09:15 WIB, Red: Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA — Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia Roberth O Blake menyebut bahwa Papua sangat penting bagi Amerika. Karena itu, pihaknya melakukan kunjungan kerja di Bumi Cenderawasih itu.

“Dubes AS mengatakan kepada kami bahwa Papua itu penting bagi Amerika, makanya dia merasa penting untuk berkunjung ke tanah Papua,” kata Ketua Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Yuliano Languwuyo di Kota Jayapura, Papua, Rabu (20/1).

Dubes Blake, kata Yuliano, ingin mendengar bagaimana situasi politik dan HAM di tanah Papua selain perkembangan lainnya.

“Kami menyampaikan situasi politik di 2014 hingga 2015. Kami sampaikan situasi HAM di tanah Papua tidak ada perubahan walaupun di pertengahan 2014 orang bilang kita akan mempunyai pimpinan sipil yang kami harapkan,”

katanya.

Namun, harapan kekuasaan militerisme itu akan turun jika angka kekerasan yang dilakukan oleh aparat dan militerisme juga turun. Namun, ternyata kenyataan itu tidak juga terjadi, meski orang sipil berkuasa,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Yuliano mengatakan kepada Dubes Blake bahwa pengaruh militerisme masih dominan, terutama kepada investor besar di Papua, yaitu Freeport dan BP di Teluk Bintuni, Papua Barat.

“Di mana terlihat pemakaian militerisme sangan besar di dua perusahaan itu guna menjaga area investasi. Dan, itu berdampak buruk kepada masyarakat Papua juga kepada masyarakat yang tinggal sekitar perusahaan karena militer benar-benar menjaga daerah tambang,” katanya.

Yuliano mengutip penjelasan Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey, yang mengatakan perusahaan Freeport dan BP memberikan pelatihan tentang apa itu HAM kepada TNI dan polisi. Dengan harapan, mereka punya perspektif soal HAM sehingga dalam penanganan pengamanan tidak menggunakan cara-cara kekerasan.

Pertanyaan itu kami sampaikan kepada Freeport, tapi kami tak mendapat jawaban dan Dubes Blake mempertanyakan balik, “Apakah itu merupakan hal yang penting? Dan, kami bilang itu penting baik polisi dan militer,” katanya.

Mengenai berbagai kekerasan yang terjadi di Papua, dia mengatakan, Dubes Blake mengaku tahu soal kekerasan yang terjadi di Papua.

“Dubes juga bertanya bagaimana pendapat soal Presiden Jokowi? Kami katakan Presiden Jokowi orang yang baik, tapi pemerintahan sekarang masih dikontrol oleh militer. Pak Frits Ramandey juga menyatakan kepada Dubes Blake untuk merekomendasikan kepada pemerintahan Jokowi agar menyelesaikan kasus Paniai dan kekerasan lainnya di Papua,”

katanya.

Sejumlah tokoh Papua bertemu dengan Dubes AS Robert Blake yang dikemas dalam acara makan malam bersama di Restoran Yougwa, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Selasa (19/1) malam.

Terlihat tokoh Papua yang bertemu, di antaranya Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey, Ketua LSM Jaringan Kerja Rakyat (Jerat) Septer Manufandu, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Neles Tebay, dan Ketua Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Papua Yuliana Languwuyo.

Sumber : Antara

Staf Khusus Presiden Blusukan ke Lapas Biak

Biak, Jubi/Antara – Staf khusus Presiden Joko Widodo, Lenis Kogoya, blusukan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kabupaten Biak Numfor, Papua, Selasa 96/10/2015).

Kunjungan blusukan staf Presiden ke Lapas Biak diterima Kalapas, Danang Agus Triyanto, dan melakukan pertemuan dengan narapidana kasus makar ‘Bintang Kejora” Oktovianus Warnares dan Agustinus Sawias.

Lenis Kogoya mengakui kunjungan ke Lapas Biak untuk melihat dari dekat tentang aktivitas narapidana politik yang sedang menjalani hukuman karena kasus pidana dialami para narapidana kasus makar.

“Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi memberikan pengampunan grasi kepada narapidana kasus makar di Papua,” katanya.

Ia berharap dengan data dan hasil tatap muka dengan narapidana kasus makar warga binaan Lapas Biak akan disampaikan kepada pemerintah untuk menjadi perhatian dalam mengambil kebijakan terhadap Papua.

Salah satu narapidana makar, Oktovianus Warnares, menyatakan menolak pemberian grasi atau bentuk pengurangan hukuman atas kesalahan yang dibuatnya saat pengibaran bendera “Bintang Kejora’pada 1 Mei 2013 di kantor Diklat Jalan raya Adibay distrik Biak Timur.

“Saya harus menjalani hukuman selama enam tahun. Putusan Mahkamah Agung tetap saya jalani demi negeri Papua,” kata Oktovianus.

Usai tatap muka dengan narapidana kasus makar, staf khusus Presiden Jokowi, meninjau kamar narapidana.(*)

Masalah Papua ada di Pertemuan Internasional Karena ada Pihak NGO Asing

Kompasiana, 4 September 2015 08:35:53 Diperbarui: 14 September 2015 09:08:52

Wakil Menteri Luar Negeri RI A. M Fachir, menghadiri KTT ke-46 forum negara Pasifik atau Pasific Islands Forum (PIF) di Port Moresby, Papua Nugini. Forum ini berlangsung pada tanggal 7-11 September 2015. Pertemuan sendiri membahas isu-isu perikanan, perubahan iklim, kanker serviks, teknologi informasi dan pelanggaran HAM di Papua Barat, dan menyepakati komunike bersama sebagai hasil dari KTT tersebut. Namun dalam pertemuan tersebut Indonesia menyayangkan isu Papua yang dibahas di dalam forum tersebut, menurutnya isu tersebut kini sudah tidak ada lagi di Papua, dan Papua sekarang lebih makmur dan sejahtera, beda dari keadaan Papua yang dulu, isu tersebut hanya di buat-buat oleh pihak Non Goverment Organization (NGO) asing yang tidak bertanggung jawab yang sengaja mengangkat isu tersebut ke pertemuan Internasional.

Masuknya isu pelanggaran HAM di Papua Barat dalam agenda PIF, Indonesia menyayangkan hal ini, mengingat isu tersebut masuk atas desakan berbagai NGO dan bukan merupakan usulan Pemerintah Negara-negara PIF. Indonesia menyampaikan bahwa usulan tersebut tidak sejalan dengan tujuan utama pembentukan PIF, yaitu untuk mendorong kerja sama ekonomi dan pembangunan di kawasan.

Dari hasil pembahasan isu Papua, para Kepala Negara PIF kembali menyatakan dukungannya kepada kedaulatan dan integritas NKRI, termasuk terhadap semua Provinsi Papua. Selain itu, juga diusulkan agar ketua PIF melakukan konsultasi dengan Pemerintah Indonesia termasuk dengan mengirimkan misi pencari fakta PIF ke Papua Barat terkait adanya tuduhan pelanggaran HAM.
Menanggapi pembahasan isu tersebut Indonesia menyampaikan penolakan terhadap “tuduhan pelanggaran HAM di Papua yang tidak berdasar dan merefleksikan pemahaman yang salah terhadap fakta sesungguhnya di Lapangan.

Penolakan terhadap intervensi asing tersebut termasuk usulan adanya misi tim pencari fakta PIF ke Provinsi Papua Barat terkait pelanggaran HAM. Penolakan tersebut didasari karena sebagai negara demokratis, Indonesia sangat menjunjung tinggi supremasi hukum dan penghormatan terhadap HAM. Indonesia memiliki mekanisme HAM Nasional yang berfungsi dengan baik yang belum tentu dimiliki oleh sebagian Negara PIF.

Tidak hanya itu , selain adanya mekanisme HAM Nasional yang baik, Indonesia juga menekankan bahwa pembangunan perekonomian, pendidikan, kesejahteraan di Papua selama ini jauh lebih maju dari sebagian negara kepulauan di Pasifik. Oleh karena sebab itu Indonesia menyayangkan bahwa dalam pembahasan tidak disoroti kemajuan yang telah dicapai di Papua dan jumlah dana pembangunan yang dialokasikan ke Papua untuk pembangunan sosial dan ekonomi.

Pemerintahan Indonesia mempersilahkan jika adanya rencana tim pencari fakta dari PIF yang akan dikirim ke Provinsi Papua Barat, Indonesia tidak akan pernah takut dengan adanya Tim Pencari Fakta PIF, jika mereka datang pasti mereka akan mengetahui sendiri bagaimana keadaan Papua yang sesungguhnya. Perlu diketahui bahwa Indonesia pernah mengundang para pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG) untuk mengunjungi Papua Barat pada misi pencari fakta. Misi pencarian fakta terjadi pada Januari 2014 dengan tujuan adalah melihat kondisi Papua.

Pemerintahan Indonesia sebagai salah satu mitra wicara bersama Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Kuba, Filipina, Italia, Spanyol, India, Inggris, Jepang, Kanada, Korea Selatan (Korsel), Malaysia, Perancis, Thailand, Turki, dan Uni Eropa. Terkhususnya Indonesia, berharap kepada para delegasi PIF agar tidak termakan oleh isu-isu yang tidak bertanggung jawab dari NGO asing yang ingin memperkeruh keadaan demi tujuan tersendiri.(ak)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/alfredkarafir/masalah-papua-ada-di-pertemuan-internasional-karena-ada-pihak-ngo-asing_55f62479779773f429c8c9ba

Jika Ingin Jadi Anggota MSG, Indonesia Harus Ikuti Proses

Bendera Negara-Negara MSG [TabloidJubi.com]
Bendera Negara-Negara MSG [TabloidJubi.com]
Jayapura, Jubi – Menjelang pertemuan puncak Melanesia Spearhead Group (MSG) yang akan dilakukan 18-24 Juni nanti, para pemimpin negara-negara anggota MSG mulai mengisyaratkan posisi mereka terhadap aplikasi rakyat Papua Barat yang diwakili United Liberation Movement of West Papua (ULMWP).

Vanuatu dan Front Pembebasan Kanak (FLNKS) mendukung aplikasi Papua Barat. Sedangkan Papua Nugini (PNG) dan Fiji tampaknya semakin jelas berseberangan dengan Vanuatu dan FLNKS. Kepulauan Solomon, menjadi satu-satunya negara anggota MSG yang belum mengisyaratkan posisi mereka.

PNG dan Fiji mendukung keinginan Indonesia untuk menjadi assosiate member di MSG. Selain itu, Indonesia juga mengajukan lima provinsinya yakni Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Papua dan Papua Barat sebagai anggota di MSG.

Keinginan Indonesia ini ditentang oleh Vanuatu. Perdana Menteri (PM) Vanuatu, Joe Natuman, melalui juru bicaranya, Kiery Manassah kepada Jubi, Selasa (9/6/2015) mengungkapkan Indonesia benar-benar berusaha keras melobi PNG dan Fiji.

“Baru-baru ini ketika kami pergi ke Jepang untuk pertemuan PALM, PM O’Neill mengatakan kepada PM Natuman bahwa mereka berpikir untuk mendukung Indonesia menjadi assosiate member di MSG,” kata Manassah.

Vanuatu, lanjut Manassah, melihat telah terjadi pergeseran isu tentang Papua Barat ini.

“Sebab kesepakatan dari Noumea dan Papua New Guinea, MSG harus membahas aplikasi Papua Barat. Bukan membahas keinginan Indonesia menjadi assosiate member di MSG,” ujar Manassah.

Lagipula, MSG adalah sebuah organisasi regional yang memiliki aturan untuk keanggotaan.

“Jika Indonesia ingin menjadi anggota MSG, mereka harus mengikuti proses yang sama, sesuai aturan yang ditetapkan oleh MSG,” Manassah menegaskan.

Derrick Manuari, anggota Parlemen Kepulauan Solomon meminta negaranya mendudukan masalah Papua Barat sesuai mandat MSG. Manuari mengatakan isu Papua Barat bukan isu kedaulatan, tapi isu solidaritas sesama bangsa Melanesia. Ia mencontohkan FLNKS yang keanggotaannya dalam MSG tidak melibatkan Perancis yang masih menguasai bangsa Kanak di Kaledonia Baru.

“Para pemimpin MSG harus melihat kembali mengapa MSG didirikan. MSG didirikan untuk membebaskan bangsa Melanesia dari penjajahan,” ujar Manuari. (Victor Mambor)

Source: TabloidJubi.com, Diposkan oleh : Victor Mambor on June 9, 2015 at 11:13:03 WP []

Inggris Tak Mendukung Pandangan Benny Wenda

JAYAPURA – Kedutaan Besar (Dubes) Inggris, Moazzam Malik menyatakan, Pemerintahan Inggris tidak pernah mendukung gerakan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang menyuarakan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Kebijakan pemerintah saya, jelas mendukung Indonesia yang bersatu dan kami tidak mendukung kelompok OPM dan kami juga mendukung aspirasi semua masyarakat, termasuk hak proses demokrasi, kesejahteraan, dan proses pertumbuhannya. Kami tidak mendukung trend tersebut,” kata Moazzam kepada wartawan usai melakukan pertemuan dengan Kapolda Papua, Irjen Pol. Drs. Yotje Mende, pada Kamis (28/5).

Menurutnya, kunjungan pertama yang dilakukan ke Papua untuk melihat sendiri bagaimana situasi yang nyata di Papua dan Papua adalah salah satu Provinsi yang penting sekali untuk masa depan Indonesia.

“Walaupun ada beberapa masalah disini yang harus diatasi, tetapi saya percaya pemerintah baru Jokowi berkomitmen untuk mengatasi masalah disini dengan sering berkunjung ke Papua,” katanya.

Disinggung Tokoh OPM, Benny Wenda yang saat sedang berada di Inggris, Moazzam Malik menyatakan, Pemerintah Inggris tidak pernah mendukung terhadap pandangan Benny Wenda. “Tidak mendukung pandangan itu, tapi kami mendukung pendapat dari Indonesia,” katanya.

Dia menandaskan, selama dia (Benny Wenda) tidak melanggar peraturan bisa bebas mengeluarkan pendapat. Namun segala Visi Misi atau pandangan dari Benny Wenda tidak pernah disetujui oleh Pemerintah Inggris.

Sementara itu, Kapolda Papua, Irjen Pol. Drs. Yotje Mende menegaskan, Benny Wenda merupakan DPO Polda Papua. “Dia DPO kita, kalau dia datang ke Indonesia pasti akan kita tangkap,” tegasnya.

Ia mengatakan, Benny Wenda yang saat ini sudah masuk penduduk inggris namun kewargaan negara Indonesia belum dicabut, sehingga yang bersangkutan masih resmi warga negara indonesia (WNI).

“Selama ini ia melakukan perhatian di Papua melalui jalur inernet dengan cara memprovokasi agar menjadi bahan mereka untuk disampaikan kepada Pemerintah Indonesia. Itu dipersilahkan. Tapi ketika menginjak Indonesia kami segera tangkap,” tandasnya. (Loy/don/l03)

Source: BinPa, Jum’at, 29 Mei 2015 09:13

Kecewa dengan Gubernur dan DPRP

JAYAPURA – Menyusul adanya Surat Menteri Dalam Negeri RI No “161.97.2104/SJ tertanggal 27 April 2015 perihal penetapan Perdasus No 6 Tahun 2014 yang ditujukan kepada Gubernur Papua, dengan memerintahkan kepada Gubernur Papua sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mempertimbangkan kembali substansi materi Perdasus No 6 Tahun 2014 tentang keanggota DPRP melalui pengangkatan periode 2014-2019, ditanggapi Ketua Barisan Merah Putih (BMP) RI wilayah Provinsi Papua, Ramses Ohee.

Ia mengharapkan semua komponen masyarakat Papua untuk bersatu mendesak Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP untuk segera merealisasikan kursi adat di DPRP yang sudah diberikan negara kepada rakyat Papua, sesuai Keputusan MK No 116/PUU-VII/2009.

Dirinya selaku orang tua kesal, karena hak orang asli Papua yang diakui oleh negara tidak diseriusi Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP, karena seolah-olah hak 14 kursi yang diberikan negara, bukan untuk orang asli Papua.

Terutama Gubernur Papua, Lukas Enembe, selaku wakil Pemerintah Pusat menjelaskan keputusan negara ini kepada rakyat Papua, dan duduk bersama DPRP dan MRP untuk membahas aturannya dengan baik yang melibatkan semua komponen masyarakat, setelah itu baru disahkan menjadi Perdasus.

Sebagaimana 9 kursi adat yang sudah dinikmati oleh rakyat Papua Barat. Itu dikarenakan gubernurnya, DPRPnya dan MRP nya serius menyelesaikan hak adat rakyat Papua itu.

“Selama ini terkesan kita rakyat Papua, terutama Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP mempermainkan keputusan negara tersebut. Harusnya, Gubernur Lukas Eneme dan DPRP bertanggungjawab penuh atas keputusan MK ini, malah meninggalkannya dan memperjuangkan hal lain. 14 kursi ini tidak belum jadi, karena Gubernur, DPRP dan MRP tidak pernah duduk sama-sama dan sejalan bahas 14 kursi ini, dan berikan penjelasan yang baik kepada rakyat Papua bahwa kenapa 14 kursi ini belum direalisasikan,”

ungkapnya dalam keterangan persnya kepada wartawan di kediamannya, Jumat, (22/5).

Baginya, jika gubernur dan DPRP tidak punya itikad baik, maka dalam waktu dekat ini pihaknya tetap mendesak Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) atau Inspres, demi kebaikan rakyat Papua, dan sebagai wujud nyata pertahanan nasional, serta bahwa Papua benar-benar bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai persetujuan PBB tertanggal 19 November 1969 bahwa Papua didalam NKRI. Itu harga mati.

Terkait dengan pernyataan banyak pihak, diantaranya pakar hukum Ferry Kareth dan mantan anggota DPRP mengenai 14 kursi itu, dirinya menegaskan, Ferry Kareth tidak boleh mengeluarkan pernyataan di media lagi, karena Ferry Kareth adalah sosok yang pernah menyusahkan rakyat Papua dengan tidak memproses keputusan MK dimaksud.

Termasuk pernyataan DPRP juga salah dalam melihat makna putusan MK itu. Pasalnya disini 14 kursi harus memiliki fraksi sendiri di DPRP yang khusus membicarakan hak-hak adat orang asli Papua, bukan berbicara melalui kursi Parpol atau gabungan fraksi yang dicampurkan antara utusan Parpol dan adat.

“Dengan segala kerendahan hati, kami berjuang untuk anak asli Papua duduk di kursi adat DPRP, supaya memperjuangkan hak-hak orang asli Papua, sebab selama ini apa yang kami bicarakan di DPRP lewat kursi Partai Politik (Parpol) tidak didengar, mereka berjalan dengan maunya sendiri-sendiri dan maunya Parpol,”

tukasnya.

Ditegaskannya, dirinya sudah menyurati Presiden Jokowi yang isinya meminta Jokowi segera menerbitkan PP untuk mengeksekusi hak adat di parlemen bagi rakyat Papua, namun jika tidak ada PP, maka Papua bukan bagian dari NKRI.

Ditempat yang sama, Ketua BMP Perwakilan Papua wilayah DKI Jakarta, Willem Frans Ansanay, SH., M.Si, menandaskan, mensikapi polemik 14 kursi yang akibat dari tarik ulur antara kepentingan-kepentingan yang ada di Papua.

Melihat hal itu, dirinya meminta kepada semua pemangku kepentingan untuk memahami Papua secara komprehensif, yakni Tanah Papua seperti apa, manusia yang mendiaminya seperti apa, dan apa persoalan yang sangat fundamental di Papua, sehingga Papua memiliki karakteristik khusus yang di back up oleh UU Otsus Papua.

“Membangun Papua, tidak bisa dipahami secara parsial, karena ada kepentingan-kepentingan sesat, pemahaman yang sempit tentang tata kelola pemerintahan dan kurang memahami sosial kultural yang ada di Papua,”

terangnya.

Papua dipahami dalam NKRI, sebagai bagian yang utuh bahwa Papua adalah bagian yang utuh dari wilayah NKRI, yang dilegitimasi oleh hukum dunia Internasional, yang kemudian Indonesia berkewajiban membangun Papua. Tahapan Indonesia membangun Papua, kita semua tahu di era pemerintahan orde baru, Papua mengalami degradasi pembangunan yang selanjutnya hal yang sama dialami daerah lain, yang akibatnya terjadi reformasi yang melahirkan tuntutan ekstrim, yang sebagiannya sudah mencapai hasil, seperti Provinsi Timur-Timor yang sekarang menjadi suatu negara didalam kedaulatannya sendiri.

Sementara itu, Papua, dan Aceh termasuk dalam permintaan ekstrim kepada NKRI supaya memiliki kedaulatan sendiri. Termasuk Borneo dan Riau.

Untuk itu, apa yang menjadi persoalan bangsa ini harus dilihat secara utuh, karena dampaknya Papua juga terkena imbasnya, yang pada giliran diterbitkannya UU Otonomi Daerah (Otda) 1969 dan Tahun 2001 UU Otsus diterbitkan pada masa Pemerintahan Mega Wati Soekarno Putri, sebagai alat (UU) kelengkapan negara dalam membangun Papua kedepannya. Namun, apa yang terjadi UU Otsus dalam implementasinya mengalami hambatan, khusus menyangkut 14 kursi itu yang saat ini menjadi polemik.(Nls/don/l03)

Source: Sabtu, 23 Mei 2015 02:05, Kecewa dengan Gubernur dan DPRP

Jokowi Ke Papua, KNPB Himbau Rakyat Fokus Masuk MSG

1.Tour Jokowi ke Papua dan PNG adalah suatu bentuk “diplomasi munafik” yang lain omongan dengan kenyataan. Seribu alasan sudah selalu dan akan dipakai untuk menolak perjuangan kemerdekaan West Papua. Tujuannya agar negara-negara MSG ikut menjadi dan menerapkan diplomasi munafik terhadap rakyat West Papua. Buktinya, di berbagai pertemuan internasional, Jokowi telah gemar menggadai/menjual West Papua pada investor (kapitalis global) untuk terus mengekploitasi Sumber Daya Alamat kita. Bukti kenyataanya, setiap hari militer Indonesia (TNI/Polri) memenuhi dan mencengkram tanah dan orang Papua, dimana pembunuhan terjadi tiada henti.

2.Kami himbau rakyat West Papua tidak mudah terpengaruhi dengan segala upaya penjajah untuk mengalihkan perhatian perjuangan rakyat West Papua untuk menemukan statusnya dalam pertemuan penentuan keanggotaan ULMWP pada 21 Mei 2015 mendatang, yang akan dilaksanakan oleh para kementerian luar negeri MSG.

3.Kami himbau rakyat menyikapi kedatangan Jokowi sebagai bukti penjajah yang mulai kalang kabut akibat kemajuan perjuangan Papua Merdeka yang terus terjadi.

4.Maka rakyat West Papua segera meningkatkan aksi dan doa agar West Papua diterima menjadi anggota MSG, dan agar diplomasi suap yang dipakai para penjajah dapat digagalkan dalam kehendak Tuhan dan rakyat Melanesia.

Port Numbay, 7 Mei 2015

Victor Yeimo
Ketua Umum KNPB
Disiarkan lewat Facebook hari ini

Benny Wenda Meninggalkan Papua Nugini Setelah “Masalah Visa”

Port Moresby, MAJALAH SELANGKAH —  Pemerintah Papua Nugini mengatakan, Juru Bicara The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda  yang sempat  ditahan  oleh imigrasi Papua Nugini (PNG), Selasa (24/3/15) siang karena masalah visa  telah  diterbangkan ke luar negeri.

“Sekarang aku dideportasi,” kata Wenda sebelum dibawa ke terminal internasional di bandara Port Moresby itu seperti dikutip abc.net.au.

“Itu berarti saya meninggalkan negara ini, tapi semangat saya dan perjuangan, saya akan meninggalkannya dengan orang-orang dari PNG hari ini.”

Perdana menteri Papua Nugini, Peter O’Neill  mengatakan,  Wenda telah tiba di negara itu tanpa visa.

Seorang juru bicara Mr O’Neill mengatakan,  pemimpin kemerdekaan Papua Barat tidak dideportasi, tapi ia “tidak diizinkan untuk memasuki negara”.

“Ini bukan isu politik, itu masalah visa,” katanya.

Perdana menteri campur tangan dalam kasus ini, Rabu.

Benny Wenda, yang telah dilepaskan ke perawatan teman-teman, terbang keluar dari PNG pada Kamis sore.

Bulan lalu Mr O’Neill mengatakan, dia akan mulai berbicara tentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat Indonesia.

“Saya pikir, sebagai negara, sudah saatnya bagi kita untuk berbicara tentang penindasan rakyat kita di sana,” katanya.

Beberapa pengamat bertanya-tanya apakah memaksa keberangkatan  Benny Wenda dari PNG merupakan pengunduran oleh Mr O’Neill.  (Yermias Degei/MS)

Saat Presiden Soekarno Minta Dukungan AS untuk Klaim atas West Irian

Jayapura, Jubi – Tahukah anda jika pada tahun 1961, Presiden Indonesia, Soekarno bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS), John F. Kennedy untuk meminta dukungan AS atas klaim Indonesia pada Papua Barat, yang dulu disebut West New Guinea dan West Irian?

Pertemuan yang terjadi di Gedung Putih, Washington pada bulan April tanggal 24 ini terekam dengan baik oleh Gedung Putih dan diarsipkan oleh Perpustakaan Kennedy. Presiden Soekarno tiba pukul 10:25 AM dan pertemuan berlangsung pukul 10:28 AM hingga menjelang sore.

Pertemuan ini menegaskan konspirasi antara Indonesia, Amerika Serikat dan Belanda atas West New Guinea atau West Irian atau Papua Barat. Tak ada orang Papua yang disebutkan dalam percakapan ini, apalagi terlibat dalam pertemuan.

Sebagian percakapan dalam pertemuan tersebut:
“Sebelum tahun 1950, Amerika mengatakan Indonesia memiliki hak untuk merdeka. Mengapa anda tidak mengatakannya juga sekarang? Mengapa anda tidak mendukung klaim kami atas West Irian. Satu-satunya jawaban yang saya miliki adalah persahabatan anda (AS) dengan Belanda dan hubungan anda dengan NATO. Amerika tak seharusnya memerankan “tightrope dancer” antara Eropa dan Asia, menjaga keseimbangan setiap saat. Maaf Mr. Presiden, saya bicara terus terang,” kata Soekarno pada Kennedy.

“Mengapa anda menginginkan West Irian?” tanya Presiden Kennedy, sambil menambahkan bahwa orang Melanesia adalah ras yang berbeda dan West Irian membuat Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar, lebih dari apa yang didapatkan Belanda dari West Irian.
“Itu bagian negara kami. Harus dibebaskan,” kata Soekarno.

lanjutkan baca percakapan antara Soekarno dan Kennedy.

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny