Wartawan Tanyakan Dukungan Israel terhadap Referendum Papua

Benny Wenda, SekJend DeMMAK, Jubir ULMWP, Pendiri IPWP dan ILWP
Benny Wenda, SekJend DeMMAK, Jubir ULMWP, Pendiri IPWP dan ILWP

YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM – Pemberitaan yang cukup masif tentang adanya petisi referendum Papua telah menarik perhatian media di dalam dan luar negeri. Kendati klaim penyerahan petisi tersebut sudah dibantah dan klaim itu dianggap hoax, isu Papua kini semakin menarik perhatian dunia.

Penyerahan petisi kepada Komite Dekolonisasi PBB atau lazim disebut C24, pertama kali diberitakan oleh koran Inggris, The Guardian pada 28 September lalu. Berita tersebut kemudian menjadi meluas setelah berbagai media lain juga mengangkatnya.  Salah satu media yang memberi perhatian terhadap isu ini  adalah Arutz Sheva, sebuah media Israel yang dikenal menyuarakan kalangan religius Yahudi.

Arutz Sheva menurunkan tulisan berdasarkan laporan The Guardian, yang mengetengahkan bantahan dan penolakan PBB terhadap petisi referendum Papua yang digagas oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Namun, pada saat yang sama, media ini juga memberi ruang bagi Benny Wenda, jurubicara ULMWP, untuk mengemukakan gagasannya tentang latar belakang petisi tersebut.

Tidak sampai di situ. Media ini juga mencoba mencari tahu bagaimana posisi Israel terhadap isu referendum Papua yang digagas oleh ULMWP. Relevansi menanyakannya tidak disebutkan. Tetapi patut dicatat, Israel — yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia — adalah negara pertama yang menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan wilayah otonomi Kurdi di Irak, yang pekan lalu melaksanakan referendum yang ditentang oleh banyak negara.

Arutz Sheva menghubungi Jurubicara Kementerian Luar Negeri negara itu, Emmanuel Nachshon, untuk menanyakan bagaimana posisi Israel terkait isu kemerdekaan Papua. Sayangnya, jurubicara tersebut menolak untuk memberikan komentar.

Didengar dan Dibicarakan di Dunia

Dijawab atau tidaknya pertanyaan tersebut, bagi kalangan pro referendum Papua hal itu tak terlalu penting. Yang  lebih penting, gagasan penentuan nasib sendiri Papua telah didengar dan dibicarakan di banyak negara.

“Bagi rakyat dan bangsa Papua, petisi tidak sah atau ditolak, itu bukan masalah utama. Pesan kunci bagi bangsa Papua adalah  persoalan Papua menjadi perbincangan di tingkat internasional,” kata Socratez Sofyan Yoman, salah seorang tokoh gereja di Papua yang mendukung perjuangan ULMWP dalam salah satu komentarnya yang disebarkan melalui WA.

Bahkan diangkatnya isu ini oleh media dan pejabat Indonesia, menurut dia, menjadi promosi gratis. “Media dan pejabat Indonesia turun berperan aktif mempromosikan dengan gratis petisi dan perjuangan bangsa Papua. Dalam posisi Indonesia seperti ini lebih banyak  memberi keuntungan bagi bangsa Papua,” kata dia.

Rumit dan Sulit
Pakar Ilmu Politik dari Deakin University, Australia, Damien Kingsbury, mengakui simpati dunia terhadap isu Papua makin meluas. Namun pada saat yang sama, ia juga mengingatkan bahwa diplomasi Indonesia masih sangat kuat dan sebaliknya, dukungan formal dari negara-negara di dunia sangat minim terhadap kelompok separatis yang pro referendum Papua.

Damien Kingsbury adalah salah seorang pakar yang menaruh perhatian terhadap isu-isu referendum. Ia terlibat dari dekat dalam  monitoring penentuan nasib sendiri Timor Leste. Kingsbury juga pernah dilarang ke Indonesia karena keterlibatannya dalam memberi nasihat kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun dalam soal isu Papua, ia selama ini berpandangan bahwa Papua tidak bisa disamakan dengan Timor Leste, karena PBB telah mengakui Papua sebagai bagian integral dari Indonesia, berbeda dengan status Timor Leste.

Menurut dia, walaupun integrasi Papua ke dalam Indonesia melalui Pepera tahun 1969 dilaksanakan ‘dibawah todongan senjata’  dan hanya melibatkan 1.025 orang Papua dari populasi 800.000 orang, “Papua adalah bagian dari Indonesia – diakui ‘sah’ oleh PBB,” kata dia dalam sebuah artikel yang dimut di Crikey, akhir pekan lalu.

“Tidak seperti kasus Timor Timur, yang tidak pernah diakui secara hukum sebagai bagian dari Indonesia, PBB harus membubarkan atau mengabaikan pengakuannya atas Papua sebagai bagian dari Indonesia untuk  bisa mendukung pemungutan suara  mengenai kemerdekaan (Papua),” lanjut dia.

Di sisi lain, Kingsbury mengatakan bahwa kedudukan Indonesia di dunia internasional sangat kuat dibanding dengan pihak- pihak yang menyuarakan  kemerdekaan Papua. “Tidak seperti Papua, Indonesia memiliki teman-teman yang kuat di PBB, yang berusaha untuk mempertahankan hubungan ekonomi dan diplomatik yang kuat,” tutur dia. Sementara, lanjut dia lagi, pergerakan yang menginginkan kemerdekaan  Papua, “Hanya memiliki sedikit pendukung internasional.”

Belanda, negara yang dahulu dianggap berada di belakang pendukung kemerdekaan Papua, menurut dia, sudah menjauh dan dalam istilahnya sendiri, ‘cuci tangan’ dari isu ini.

Senada dengan itu, Australia juga telah menjamin bahwa negara itu menghormati kedaulatan teritorial Indonesia dengan  pertimbangan untuk memelihara hubungan bilateral dengan Indonesia.

Ada pun Amerika Serikat, kata Kingsbury, memiliki investasi besar di Papua  dan juga ingin mempertahankan hubungan  baik dengan Indonesia yang penting secara strategis.

Oleh karena itu, Kingsbury belum dapat memberikan kesimpulan terhadap prospek penanganan masalah ini. Di satu sisi ia mengatakan isu Papua sangat sulit; bahwa mencapai cita-cita penentuan nasib sendiri untuk Papua yang merdeka akan menghadapi berbagai rintangan yang terlalu sulit untuk dapat  diatasi. Di sisi lain, ia juga tidak bisa menutup mata terhadap keadaan yang mendesak untuk dilakukannya penentuan nasib sendiri, bahkan lebih kuat dari pada  sebelumnya.

“Di tengah keadaan ini, Presiden Joko Widodo, seperti mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tampaknya tidak berdaya  untuk secara mendasar memperbaiki keadaan penduduk asli Papua, apalagi membebaskan rakyat Papua dari cengkeraman polisi dan militer,” demikian Kingsbury.

Pada akhirnya, Kingsbury hanya dapat mengatakan bahwa hadirnya petisi yang dideklarasikan oleh Benny Wenda dan kawan-kawan menunjukkan bahwa rakyat Papua masih tetap menolak untuk menjadi bagian dari Indonesia setelah hampir lima dekade  mengalami penggabungan paksa; walaupun untuk itu mereka harus bergerak secara ‘bawah tanah’ dan sembunyi-sembunyi.

The Blue Water Rule

Ketua the Center for World Indigenous Studies, Rudolph C. Ryser, juga mengakui kerumitan masalah penentuan nasib sendiri untuk dijadikan agenda PBB. Salah satu penyebabnya, menurut dia, dalam sebuah tulisan yang dimuat di intercontinentalcry.com, adalah apa yang dikenal sebagai The Blue Water Rule, yang termaktub dalam Resolusi PBB No 637 VII. Dalam resolusi tersebut, negara-negara anggota PBB sepakat bahwa bangsa-bangsa yang berada di dalam wilayah negara-negara anggota PBB tidak boleh mendapatkan kemerdekaan melalui proses penentuan nasib sendiri.

Sampai sejauh ini, Papua tidak termasuk dalam kategori wilayah yang tanpa pemerintahan (Non-Self-Governing Territories) pada Komite Dekolonisasi PBB. Hanya ada 17 teritori yang sudah terdaftar, yaitu Western Sahara, Anguilla, Bermuda, British Virgin Islands, Cayman Islands, Falkland Islands, Montserrat, Saint Helena, Turks and Calcos Islands, United States Virgin Islands, Gibraltar, American Samoa, French Polynesia, Guam, New Caledonia, Pitcairn dan Tokelau.

Sementara itu, menurut Ryser, ada sejumlah teritori lainnya yang diketahui menuntut referendum dari negaranya. Di antaranya Catalonia (Spanyol), Kurdistan (Irak), Palestina (Israel), Biafra (Nigeria), Papua (Indonesia), Baluchistan (Pakistan), Uyghuristan (Tiongkok), Pasthunistan (Afghanistan), Crimean Tartars (Rusia), Qom (Argentina).

“Ada banyak bangsa yang tidak setuju untuk diperintah oleh negara yang menguasainya namun PBB dengan dipelopori oleh AS pada tahun 1952 mendorong untuk secara permanen mencegah bangsa-bangsa tersebut memisahkan diri dari ‘hubungan yang tidak menyenangkan dengan negara yang sekarang melingkupinya,” kata Ryser.

Menurut Ryser, Blue Water Rules seharusnya dihapuskan di PBB.

Di tengah rumitnya mekanisme di PBB tersebut, ULMWP dalam siaran persnya mengatakan akan tetap menempuh mekanisme PBB dalam memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri Papua.
Editor : Eben E. Siadari

Lt. Gen. A. Tabi: Referendum Catalonia dan Kurdistan Bukti Jelas dan Pasti NKRI BUKAN Harga Mati!

Dukungan kuat untuk Kemerdekaan Katalonia
Dukungan kuat untuk Kemerdekaan Katalonia

Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Terntara Revolusi West Papua (TRWP). Lieutenant -General Amunggut Tabi menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini, mulai dari Deklarasi Kemerdekaan Sudah Selatan 9 Juli 2011, deklarasi kemerdekaan Kosovo 17 Februari 2008, pembentukan State Union of Serbia and Montenegro pada tahun 2003 menyusul keruntuhan Yugoslavia, Timor Leste yang merdeka dari NKRI pada 20 Mei  2000, kemerdekaan Palau 1 Oktober 1994, didahului oleh Eritrea pada 27 April 1993 menyatakan kemerdekaan setelah referendum, didahului oleh Republik Czech dan Slovakia pada tanggal 1 1993, di mana Czechoslovakia di-disolved menjadi dua yaitu Cheko dan Slovakia.

Dalam minggu ini kita saksikan referendum di Katalonia dan Kurdistan. Dalam waktu dekat kita akan saksikan referendum di ujung pulau New Guinea, Bougainville.

Peta Wilayah Spanyol dan Katalonia
Peta Wilayah Spanyol dan Katalonia

Semua peristiwa ini mementahkan, dan memuntahkan gosip dan isi-isu pembodohan dari pihak-pihak yang juga tidak mengerti politik dunia, antara lain mereka katakan

  1. PBB sudah tutup pintu untuk semua negara di dunia untuk merdeka. Akhir dari kesempatan hanya tahun 2000, kalau lewat dari tahun 2000, maka PBB tidak akan terima lagi bangsa manapun di dunia ini untuk berkesempatan merdeka. Ini termentahkan total. Dan terbukti kebodohan dari isu ini.
  2. Isu NKRI Harga Mati, adalah sebuah logika politik yang tidak hanya menyesatkan tetapi secara langsung menentang kodrat dan rencana Allah Sang Pencipta. New Guinea ialah buatan Tuhan, Jawa adalah buatan Tuhan, Sumatera adalah buatan Tuhan, Bali ialah buatan Tuhan. Tetapi Irian Jaya, Sumatera Utara, Jawa Barat, Indonesia, Kalimantan Selatan, dan sejenisnya semuanya ini ialah buatan manusia, yang tidak mutlak, tidak harga mati, tidak kodrati. NKRI bukan kodrat, bukan dirumuskan dalam Kitab Suci manapun, dan sekaligus menentang hukum alam yang paling mendasar, yaitu rumus organisme, yang secara hakiki selalu, setiap detik dan moment mengalami perubahan, dari satu titik ke titik lain. Mematikan NKRI merupakan usaha pembodohan yang memalukan, dan tidak hanya itu, langsung melanggar kodrat Sang Ilahi.
  3. Melarang bangsa-bangsa yang ingin melepaskan diri dengan cara intimidasi, teror, hasutan, yang memainkan “fear-factor” secara lihai ialah perbuatan zaman kuno, cara kerja kerjaaan Majapahit dan Mataram, yang sudah harus dibuang di era yang beradab dan demokratis ini. Sudah jelas, bangs Papua, berdasarkan atas UUD 1945 dan UU NKRI, berhak untuk mementukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu, dalam memperjuangkan kemerdekaan ini, kita harus berbangga hati bahwa kita bukan pencuri, kita bukan penjahat, kita bukan gerakan liar, kita bukan kelompok sipil bersenjata, bukan OTK – orang tak dikenal, tetapi kami adalah pemilik tanah leluhur, yang punya hak penuh atas tanah leluhur bangsa Papua, yang secara luhur dan murni menuntut NKRI keluar dari Tanah leluhur, yang tidak harus diteror, ditembaki, diusir dari tanah leluhur sendiri.

    Saksikanlah apa yang terjadi dengan Brexitr, Katalonia dan Kurdistan. Yang terjadi adalah debat politik, proses demokrasi dan beradab. Bukan penerjunan pasukan gelap dan pasukan terang, bukan pasukan teroris berbaju hijau atau putih, bukan cara-cara kuno.

    Karena NKRI sudah berdemokrasi, maka bangsa Papua sudah saatnya untuk menuntut referendum di Tanah Papua secara terbuka, tanpa harus dikejar dan ditembaki di hutan-hutan.

  4. Hai bangsa Papua, perhatikan, Spanyol, Sudan, Cheko, Slovakia, Timor Leste, Kurdistan, semua wilayah ini berbagi peta daratan dengan negara-negara penjajah, tetapi mereka sukses melepaskan diri dari penjajahan. Tanah Papua terlepas secara ras, secara etnis, secara suku-bangsa, secara geografis pulau jelas dan tegas terpisah, dan tidak sama dengan wilayah geografis dan suku-bangsa mayoritas NKRI. Oleh karena itu, kami pasti dan harus merdeka dan berdaulat di luar NKRI.
  5. Kami serukan kepada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk segerak menyelesaikan langkah-langkah untuk mendirikan pemerintahan Republik West Papua, dengan menerapkan Undang-Undagn Revolusi West Papua (UURWP) yang telah disahkan oleh Parlemen Nasional West Papua (PNWP) dan melakukan upaya konsolidasi untuk menerapkan aturan-aturan sebagaimana sebuah negara.
  6. Kami mengundang Gubernur Provinsi Papua dan Gubernur Provinsi Papua Barat, Wali Kota dan Bupati, Ketua DPRP dan Ketua DPRPB serta para anggota dewan serta elit politik di seluruh Tanah Papua untuk mendukung langkah-langkah pendirian sebuah pemerintahan dengan kantor pemerintahan dalam waktu dekat demi mewujudkan cita-cita para leluhur bangsa Papua: Nicolaas Jouwe, Loudwick Mandatjan, Barens Mandatjan, Kelly Kwalik, Yustinus Murib, Eduard Mofu, Theys Eluay, Mako Tabuni, Hans Bomay, Elias Yikwa, Petrus Tabuni, Lukas Tabuni, Arnold C. Ap, Otto Ondawame, August Rumaropen, dan semua pejuang tanpa nama yang berada di sepenjang tanah Papua, Sorong sampai Samarai.
  7. Kepada seluruh elemen perjuangan kemerdekaan West Papua, mari kita tinggalkan pikiran-pikiran egoisme pribadi dan kelompok yang secara langsung dan jelas-jelas merusak perjuangan kita. Pada titik saat ini, kami dari TRWP jelas-jelas membaca, barangsiapa dengan alasan apapun, menghambat, mempermasalahkan dan memberikan banyak alasan menghalangi pengesahan UURWP dan pembentukan pemerintahan sementara Republik West Papua, maka tanpa ragu-ragu, kita harus pastikan bahwa mereka itu adalah agen-agen NKRI, penghambat perjuangan, pendukung agenda BIN dan BAIS RI.

————————————-

Dikeluarkan di: Markas Pusat Pertahana

Pada tanggal: 3 Oktober 2017

 

 

 

Amunggut Tabi, Lt.Gen. WPRA

BRN: A.DF 018676
Personal Adviser to the WPRA Commander in Chief

1.8 million West Papuans petition UN for independence vote

West Papuan independence leader Benny Wenda.
West Papuan independence leader Benny Wenda. Photo: RNZI/ Koroi Hawkins

A petition with the signatures of 1.8 million West Papuans in Indonesia has been presented to the United Nations in New York demanding an internationally supervised vote on independence.

The exiled West Papuan independence leader Benny Wenda presented the document to the C24, the special committee on decolonisation on Tuesday.

Dr Jason MacLeod from the University of Sydney is a West Papua expert who has just returned from the Indonesian territory to verify the petition.

He said it was fair and accurate representation of the West Papuan people’s will and the UN needed to pay due attention.

“They’ve got two choices before them. They can either re-list West Papua on the UN Committee for Decolonisation or they can put pressure on the Indonesian government to hold a referendum. One of those two things really need to happen.”

The Free West Papua movement said the 1.8 million people who signed the petition account for more than 70 percent of the region’s population.

Ballot box in a Vanuatu election.
Calls persist to revisit the 1969 vote which passed the former Dutch colony into Indonesian possession Photo: RNZ / Johnny Blades

 Source: http://www.radionz.co.nz/

Call for ACP-EU Resolution on West Papua

Vanuaty Daily Post, By Jonas Cullwick Jul 28, 2017

Last week’s 14th Pacific Regional ACP-EU Joint Parliamentary Assembly in Port Vila issued a five-point position of the issue of West Papuan independence.

It says Parliamentarians of the ACP-EU Parliaments can voice their concern and they can support Papuan rights, including the right to self-determination by rallying to the call from the 8 Pacific Island Countries for justice and respect for the right to self-determination.

They can get regional and global intergovernmental bodies such the African Union, CARICOM and other regional and sub-regional multilateral bodies to pass resolutions and restrict commercial and other relations with Indonesia.

As member states of the United Nations ACP–EU countries can insist on an internationally supervised referendum on independence (or at least the re-listing of West Papua as a non-self-governing territory).

Support with one voice the proposed resolutions in the upcoming Joint ACP-EU parliament meeting in month of October and also the resolution on West Papua to be adopted at ACP Council of Ministers meeting in November 2017; And call on ACP-EU Parliamentarians to urge their respective governments to address the issue of West Papua at the multilateral level and assist Indonesia to resolve this 54 year crisis.

Jonas Cullwick, a former General Manager of VBTC is now a Senior Journalist with the Daily Post. Contact: jonas@dailypost.vu. Cell # 678 5460922

Vanuatu Seruhkan ACP-EU Membuat Resolusi Tentang West Papua

Vanuatu meminta:

– Parlemen-Parlemen ACP-EU dapat menyuarakan keprihatinan mereka dan mereka dapat mendukung hak Papua, termasuk hak penentuan nasib sendiri – sebagaimana diseruhkan 8 negara Pasifik untuk keadilan dan penghormatan terhadap hak untuk penentuan nasib sendiri.

– Mereka bisa mendapatkan badan antar pemerintah regional dan global seperti Uni Afrika, CARICOM dan badan multilateral regional dan sub regional lainnya untuk memberikan resolusi dan membatasi hubungan komersial dan lainnya dengan Indonesia.

– Sebagai negara anggota negara PBB ACP -EU dapat menuntut referendum yang diawasi secara internasional (atau setidaknya kembali didaftarkan pada teritori tanpa pemerintahan -dekolonisasi).

– Dukungan dengan satu suara resolusi yang diusulkan dalam pertemuan parlemen gabungan ACP-UE mendatang pada bulan Oktober dan juga resolusi tentang Papua Barat untuk diadopsi pada pertemuan Dewan Menteri ACP pada bulan November 2017.

– Mendesak Anggota Parlemen ACP-UE untuk mendesak pemerintah masing-masing untuk menangani masalah Papua Barat di tingkat multilateral dan membantu Indonesia menyelesaikan 54 tahun krisis ini.

Sumber: https://www.gov.vu/…/240-port-vila-acp-eu-heard-that-more-1…

Jika 60 persen OAP ingin bersama NKRI, lakukan referendum

Ilustrasi OAP - Jubi/Arjuna Pademme, TabloijdJubi.com
Ilustrasi OAP – Jubi/Arjuna Pademme, oleh TabloijdJubi.com

Jayapura, Jubi Legislator Papua, Laurenzus Kadepa meminta digelarnya referendum di Papua, untuk membuktikan hasil survei Indikator Politik yang menyebut 60 persen orang asli Papua (OAP) menolak berpisah dari NKRI.

Ia mengatakan, kalau hasil survei itu benar, tentu pihak Jakarta tak perlu khawatir menggelar referendum.

“Ya, sebaiknya begitu. Gelar referendum untuk membuktikan mayoritas orang asli Papua ingin tetap bersama NKRI. Jika tidak berani menggelar referendum, berarti hasil survei itu dipertanyakan,” kata anggota Komisi I DPR Papua bidang pemerintahan, politik, hukum dan HAM itu ketika menghubungi Jubi, Minggu (7/5/2017).

Ia menduga, berbagai upaya kini dilakukan Pemerintah Indonesia untuk membentuk opini publik, bahwa Papua baik-baik saja. Termasuk saat delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Luar Negeri, Retno Masudi dalam pemaparan laporan HAM rutin Indonesia dalam Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB (UNHRC), 3 Mei di Jenewa.

“Delegasi Indonesia menyebut kebebasan berekspresi di Papua tak ada masalah. Inikan sudah bohong,” ujarnya.

Katanya, justru hal-hal seperti inilah yang akan menjadi sorotan dunia internasional. Negara lain tentu juga punya data terkait Papua. Hal-hal seperti ini, termasuk hasil survei itu, lanjut dia, justru menambah masalah. Memunculkan gejolak baru.

“Kalau mau selesaikan masalah Papua, jujur saja. Itu akan lebih baik. Kemudian bersama-sama mencari solusinya. Tidak harus berbohong kepada publik, apalagi di forum-forum internasional,” katanya.

Sebelumnya, dalam pemberitaan satuharapan.com yang melansir pemberitaan The Jakarta Post menyebut, hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei Indikator Politik menemukan 60 OAP menolak berpisah dari Indonesia. Hanya 18 persen yang mendukung gagasan merdeka dan 22 persen tidak memiliki pendapat.

“Sebagian besar mereka setia pada negara (Indonesia),” kata Direktur Riset Indikator Politik, Hendro Prasetyo, Jumat (5/5/2017).

Menurut Hendro Prasetyo, survei tersebut dilakukan 23 Maret-3 April 2017 di berbagai wilayah di seluruh Papua. Jumlah responden sebanyak 700 orang. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan metode multistage random.

Survei ini juga mengklaim menemukan 77 persen responden puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo di Papua. (*)

Survei: 60 Persen Rakyat Papua Tolak Berpisah dari RI

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei Indikator Politik menemukan 60 persen Orang Asli Papua (OAP) menolak berpisah dari Indonesia, sementara hanya 18 persen yang mendukung gagasan merdeka.

“Sebagian besar mereka setia pada negara (Indonesia), sedangkan 22 persen tidak memiliki pendapat,” kata Direktur Riset Indikator Politik, Hendro Prasetyo, Jumat (05/05) dilansir dari The Jakarta Post.

Survei tersebut dilaksanakan mulai 23 Maret hingga 3 April 2017 di berbagai wilayah di seluruh Papua. Jumlah responden sebanyak 700 orang dan pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan metode multistage random.

Lebih jauh, survei ini juga menemukan 77 persen responden puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo di Papua. Selain itu, survei ini juga mengungkapakan bahwa kebutuhan dasar seperti air bersih, layanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur merupakan isu yang paling penting bagi rakyat Papua.

Editor : Eben E. Siadari

Walau tertunda, pemimpin Guam tetap ingin referendum dekolonisasi

Gubernur Guam, Eddie Calvo - Office of the Governor of Guam
Gubernur Guam, Eddie Calvo – Office of the Governor of Guam

Nabire, Jubi – Gubernur Guam dalam pidato resmi tahunannya Senin (6/3) lalu menyatakan disamping dukungannya untuk memercepat proyek-proyek pembangunan, namun mengaku masih berhutang atas pelaksanaan pemungutan suara dekolonisasi Guam yang tertunda hingga 2018 mendatang.

Eddie Calvo, Gubernur Guam dua periode memaparkan rencana akhir tahunnya di dalam pernyataan tersebut. Proyek modernisasi rumah sakit wilayah itu senilai US$100 juta dan rencana membangun kembali Hagåtña, distrik ibukota pulau itu.

Calvo juga menyatakan kembali komitmennya terhadap satu janji utama di masa kekuasaannya, yaitu menyelenggarakan plebisit atas masa depan politik teritori itu.

Namun, Calvo mengakui penundaan pemungutan suara terjadi karena beberapa hal menyangkut ketidakpastian hukum, seperti persyaratan pendaftaran dan pemungutan suara, dan tantangan dihadapan pengadilan federal.

Meskipun pelebisit (referendum) tahun lalu gagal, Calvo berusaha menyakinkan keinginannya untuk menyelenggarakan pemungutan suara di akhir masa jabatan gubernurnya.

Guam, sebuah pulau berbentuk pisang sepanjang 50km, adalah wilayah koloni Amerika Serikat sebagai rampasan perang setelah Perang Spanyol-Amerika 1898 dan, terlepas dari pendudukan brutal Jepang selama Perang Dunia II, Guam masih menjadi bagian Washington sejak saat itu.

Status resmi Guam adalah ‘wilayah tak-berbadan (hukum)’ bersama dengan wilayah-wilayah seperti Northern Marianas, American Samoa, Puerto Rico dan US Virgin Islands. Walaupun menjadi warga negara Amerika Serikat, rakyatnya tidak boleh memilih Presiden, hal-hak dalam Konstitusi AS tidak berlaku, dan satu-satunya delegasi mereka di Kongres AS tidak punya hak suara.

Secara teknis Guam dimiliki AS, yang oleh Calvo dalam pidato tahunannya awal 2016 lalu menyebutnya sebagai “sebuah bentuk kolonialisme yang tidak dapat dibiarkan.”

“Inilah saatnya kita mengonfrontasi fakta bahwa hampir 400 tahun kita berada di bawah kolonial,” tegas Calvo. “Sekarang kepercayaan diri mungkin dapat menjadi pemicu yang mengubah negara kolonial sekali dan selamanya.”

Pendidikan politik atas tiga skenario masa depan Guam

Plebisit dekolonisasi Guam yang tertunda kemungkinan akan dilakukan pada 2018 mendatang.

Kontroversi terkait siapa yang berhak memberikan suara dan kekhawatiran bahwa para pemilih tidak memahami opsi-opsi di hadapan mereka dituding sebagai penyebab penundaan.

Guam telah disiapkan untuk menyelenggarakan plebisit tidak-mengikat sejak tahun 1980, yang akan mengajukan tiga opsi kepada pemilih atas masa depan pulau Mikronesia mereka itu.

Opsi-opsi tersebut adalah menjadi negara bagian AS, merdeka, atau menjadi asosiasi bebas bersama AS.

Guna memberi pendidikan politik pada pemilih terkait masing-masing opsi itu, tiga satuan tugas telah dibentuk sejak tahun 1997.

Satuan tugas Merdeka dituduh menunda-nunda plebisit tahun ini, namun ketuaa satgas Victoria-Lola Leon Guerrero membantah bahwa hukum Guam lah yang mensyaratkan agar plebisit diselenggarakan bersamaan dengan pemilu gubernur.

“Jadi apa yang ditawarkan gubernur itu ilegal karena melanggar hukum plebisit Guam sendiri,” ujar Leon Guerrero.

Menurut dia atas alasan itulah mereka menolaknya, dan mereka juga tidak setuju masyarakat didorong-dorong dengan terburu-buru untuk memilih sesuatu.

Masyarakat asli Chamorro, Guamanians dan para turunannya yang ‘dinaturalisasi’ oleh UU Organik 1950 mendapatkan hak memilih, namun, saat ini sedang dijegal di pengadilan AS oleh penduduk lama Amerika di Guam yang menganggap Guam tidak dapat masuk dalam daftar dekolonisasi.

Sebanyak 13,192 rakyat mendaftar hingga pertengahan Desember tahun lalu, sementara 52 ribu orang sudah lebih dulu teregistrasi pada pemilihan umum November.

Ketua Satgas Asosiasi Bebas Adrian Cruz mengatakan ketiga kelompok satgas sedang bekerja bersama untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya plebisit.

“Jadi itulah tugas pertama. Hingga sekitar enam atau tujuh bulan sebelum pemilu sebenarnya berlangsung saat itulah kami menyatakan opsi kami masing-masing dengan lebih jelas (termasuk perbedaan-perbedaannya),” ujarnya sambil menambahkan bahwa yang terpenting saat ini adalah masyarakat mengerti alasan kenapa mereka mesti memilih.

Ketua Satgas Negara Bagian Eloy P. Hara mengatakan menjadi negara (bagian) AS akan memberikan kemungkinan bagi militer AS melindungi perikanan Guam dari pengaruh Cina yang makin besar di kawasan itu.

“Cina sudah menyatakan akan bergerak untuk ‘ambil alih’ Federated States of Micronesia (FSM). Mereka sudah menggelontorkan uang ke pemerintah FSM,” ujar Hara.

“Sebagai negara bagian kita bisa meminta militer untuk menjaga zona ekonomi. Sekarang Cina, Korea sedang masuk dan kita tidak bisa melindungi diri.”

Dengan jumlah personil militer AS di Guam dari 6000 menjadi 11 ribu yang direlokasi dari Jepang, Cruz mengatakan Asosiasi Bebas akan menjadikan Guam bangsa berdaulat dengan hak suara untuk meminta kehadiran militer Amerika.

Namun ancaman sepihak militer AS saat ini yang merencanakan wilayah Guam jadi tempat pelatihan militer membuat Cruz meragukan pernyataannya sendiri. “Itu menunjukkan lagi bagaimana militer bisa lakukan apapun semau mereka,” katra Cruz.

Sementara Guam yang merdeka, kata Leon Guerrero, akan memiliki kekuatan lebih besar untuk bernegosiasi dengan posisi-posisi yang lebih setara dengan militer AS, termasuk pengembalian tanah pertanian mereka yang paling subur (yang diduduki militer AS).

Untuk diketahui Federated States of Micronesia bergabung sebagai Asosiasi Bebas dengan AS, demikian pula Kepulauan Marshall di tahun 1986 dan Palau di tahun 1994.(*)

 

Aborigin Pertama Jadi Menteri Australia Minta Referendum

Ken Wyatt, orang Aborigin pertama yang jadi menteri di Australia (Foto: @getty)
Ken Wyatt, orang Aborigin pertama yang jadi menteri di Australia (Foto: @getty)

CANBERRA, SATUHARAPAN.COM – Untuk pertama kalinya seorang warga negara Australia berlatar belakang suku asli, Aborigin, dilantik menjadi menteri pemerintah federal  bulan lalu. Namanya Ken Wyatt. Ia menjadi menteri federal untuk urusan usia lanjut dan kesehatan penduduk pribumi.

Dia seorang pendukung diadakannya referendum nasional untuk mengakui keberadaan rakyat Aborigin dalam konstitusi Australia,  sebagai bagian dari upaya mengubah salah kelola yang telah menjadi sejarah panjang.

Para pendukung referendum yang dimotori sejumlah partai politik dan kelompok pribumi, berupaya untuk melenyapkan satu bagian dari pasal yang memperbolehkan negara-negara bagian mendiskriminasi penduduk asli berdasarkan ras. Namun, proses ini berjalan lambat karena adanya perbedaan tentang seberapa luas cakupan perubahan hukum yang akan dilaksanakan. Sebagian kelompok pribumi Australia bahkan mulai mundur dari tuntutan mengamandemen konstitusi dan memilih bentuk perjanjian dengan pemerintah saja.

Wyatt termasuk tokoh yang tetap menuntut referendum lewat pendekatan konstitusi.

“Kesepakatan hanyalah perjanjian formal yang bisa dilanggar, dikesampingkan atau dihormati dengan cara yang minimalis,” kata pria berusia 64 tahun ini kepada Financial Times.

“Saya percaya bahwa  memasukkan pengakuan (akan hak Aborigin) di dalam konstitusi seperti memahat kata-kata ke dalam  pondasi batu. Ini akan membentuk dasar yang dengannya keputusan Pengadilan Tinggi akan dicapai di tengah tantangan hukum di masa depan. ”

Hanya saja rencana menggelar referendum yang diusulkan dilaksanakan pada bulan Mei — tepat pada ulang tahun ke-50 dari  referendum tahun 1967 yang memberi masyarakat asli hak-hak yang lebih besar tampaknya akan batal.  Wyatt mengatakan pelaksanaan referendum pada tahun 2018 adalah yang paling mungkin saat ini.

Dia memperingatkan hasil “No” pada referendum akan berisiko merusak yang telah dicapai pada referendum 1967 dan permintaan maaf pemerintah atas generasi yang hilang pada tahun 2008.

“Itu akan memundurkan kembali hubungan harmonis yang terjalin antara kita semua dan berdampak pada bagaimana Australia dipandang di seluruh dunia,” kata dia.

 

Siapa Ken Wyatt

Ken Wyatt, yang ketika dilantik jadi menteri bulan lalu mengenakan jubah Kanguru, lahir di rumah misi di Roelands, bekas rumah untuk anak-anak pribumi yang dipaksa dipisahkan dari orang tua mereka selama era “generasi yang dicuri” di Australia.

“Ibu saya dan semua saudara-saudaranya  dimasukkan ke dalam rumah misi dan mereka dipisahkan – sehingga kontak mereka dengan kakek dan nenek saya terbatas,” kata  Wyatt.

“Saya punya file Departemen Kesejahteraan Penduduk Asli nenek saya dan ada suratnya yang dia tulis sendiri yang mengatakan ia ingin bertemu dengan anak-anaknya.”

Dalam wawancara dengan Financial Times, ia mengatakan bertekad menangani kalangan berkebutuhan khusus dan melawan rasisme institusional yang mempengaruhi masyarakat asli, yang jumlahnya 3 persen dari penduduk Australia yang 24 juta.

Wyatt berpendapat bahwa pemerintah sebelumnya  tidak bekerja dengan masyarakat Aborigin sebagai mitra sejajar. Rekaman video yang dirilis pada bulan Desember menunjukkan penganiayaan dalam tahanan polisi atas seorang wanita Aborigin berusia 22 tahun, yang kemudian meninggal. Ini, menurut Wyatt,  adalah pengaruh rasisme institusional yang berlangsung di hampir seluruh layanan negara.

Dia kemudian mendirikan sebuah kelompok kerja untuk melihat determinan sosial dalam kesehatan masyarakat, termasuk rasisme institusional.

Ketika ditanya mengapa  begitu lama bagi pemerintah federal untuk menunjuk seorang menteri urusan penduduk asli, Wyatt menjawab bahwa “orang-orang non-pribumi selama bertahun-tahun telah meragukan orang pribumi untuk bisa melakukan pekerjaan ini.”

“Saya pikir adalah fakta bahwa telah terjadi pola pikir bahwa kita [orang Aborigin] memiliki tempat,” katanya. “Saya mendasarkan ini pada seorang guru yang pernah berkata kepada saya: ‘Anda adalah anak Aborigin. Anda harus meninggalkan sekolah dan mendapatkan pekerjaan di sebuah peternakan, karena Anda tidak akan pergi jauh.”

Editor : Eben E. Siadari

Mahasiswa Papua Tuntut Tambang Freeport Ditutup dan Referendum

KBR, Jakarta– Aliansi Mahasiswa Papua bersama Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua mendukung upaya tujuh Negara Pasifik yang bakal membawa berbagai macam masalah Papua ke Dewan HAM PBB. Koordinator aksi, Samsi Mahmud mengatakan, cara itu ialah satu-satunya jalan penyelesesaian berbagai macam masalah di Papua terutama masalah pelanggaran HAM.

Samsi juga mendesak Pemerintah Presiden Jokowi untuk memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.

“Kita juga akan menyampaikan kepada rakyat Indonesia, kepada Pemerintah Indonesia terkait dengan kehendak rakyat Papua yaitu menentukan nasib sendiri adalah solusi demokratik untuk masa depan rakyat dan bangsa kita ini. Dan bagi kami terkait dengan persoalan-persoalan yang ada di Papua, solusinya adalah kehendak menentukan nasibnya sendiri bagi rakyat Papua,” ujarnya saat berorasi di depan Kantor Perwakilan PBB untuk  Indonesia, Jakarta, Jumat (03/03).

Koordinator aksi, Samsi Mahmud  juga mendesak Pemerintah Presiden Jokowi untuk menarik seluruh kekuatan militer termasuk kepolisian di seluruh wilayah Papua. Kata dia, keberadaan kekuatan militer   justru semakin membuat Papua rentan pelanggaran HAM.

“Kami meminta dan harus ditindak lanjuti soal penuntasan seluruh kasus pelanggaran hak asasi manusia di tanah Papua. Seluruhnya tanpa terkecuali termasuk yang terbaru soal konflik sengketa Pilkada di Intan Jaya,” ucapnya.

Dia menambahkan, penutupan PT Freeport juga menjadi harga mati. Pasalnya kata dia, keberadaan Freeport di Papua tidak  memberikan dampak apapun kepada warga Papua di sekitar perusahaan. Kemiskinan dan diskriminasi kata dia tidak mengalami penurunan di sana padahal daerah tersebut sangat kaya akan sumber daya alam.

“Saat Pemerintah Indonesia menerbitkan izin eksplorasi dan eksploitasi tambang Freeport melalui Kontrak Karya I yang diterbitkan pada 7 April 1967 itu, rakyat dan bangsa west Papua tidak dilibatkan. Padahal status West Papua belum secara resmi diakui Internasional sebagai bagian dari wilayah Indonesia,” tambahnya.

Editor: Rony Sitanggang

Bagikan berita ini :

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator

Fast, Pray, and Praise

to Free Melanesia and Melanesian Peoples from Satanic Bondages