Filep Karma: Papua Tidak Minta Merdeka, Papua Minta Referendum

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Filep Jacob Semuel Karma, mantan tahanan politik karena memperjuangkan kemerdekaan Papua dan dibebaskan oleh Presiden Joko Widodo tahun lalu, mengatakan rakyat Papua tidak menuntut merdeka dari Indonesia melainkan menuntut referendum. Jika hasil referendum itu mengatakan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia, rakyat Papua harus konsekuen menerimanya.

Demikian pula sebaliknya.

Hal itu ia katakan dalam konferensi pers di kantor Setara Institute, Jakarta, hari ini (25/10). Ia mengatakan hal itu menjawab wartawan yang menanyakan apakah tuntutan merdeka merupakan keinginan seluruh rakyat Papua atau hanya segelintir saja.

“Untuk mengetahui apakah itu merupakan tuntutan segelintir rakyat atau seluruh rakyat, maka adakanlah referendum,” kata Filep Karma sambil tersenyum. Di dadanya, tersemat sebuah bendera mini Bintang Kejora seukuran kartu nama.

“Kalau mayoritas rakyat Papua memilih bersama NKRI, berarti kami akan berhenti berjuang. Sebab selama ini juga kami berjuang untuk rakyat Papua. Jika mereka mengatakan bergabung dengan NKRI berarti marilah kita membangun bersama. Jadi pembuktian segelintir atau tidak, mari adakan referendum,”

kata dia.

Filep Karma ditangkap dan kemudian dijebloskan ke dalam penjara karena pada 1 Desember 2004, ia ikut mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam sebuah upacara di Jayapura. Karena tindakannya itu, ia dituduh melakukan pengkhianatan kepada negara dan dihukum penjara selama 15 tahun. Amnesty International dan Human Rights Watch melayangkan protes atas penahanannya dan Amnesty International menetapkan Filep Karma sebagai tahanan keyakinan.

Pada 19 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo membebaskannya setelah menjalani hukuman 11 tahun.

Filep Karma sendiri menolak pembebasannya itu sebagai grasi. Ia mengatakan tidak pernah meminta grasi kepada Jokowi.

Pada jumpa pers itu, Filep Karma kembali menegaskan alasan mengapa dirinya memperjuangkan penentuan nasib sendiri Papua. Menurut dia, Papua dan Indonesia memiliki sejarah politik yang berbeda.

“Belanda masuk ke Indonesia karena perdagangan. Belanda masuk ke Papua untuk mengabarkan Injil. Jadi Papua mulai mengenal peradaban modern diawali oleh Injil,”

tutur dia.

Dia menambahkan, di masa pendudukan Belanda, ekonomi Papua lebih baik dibanding Indonesia. Bahkan mata uang Papua lebih tinggi nilainya.

Belanda dalam memerintah di Papua, kata dia, beradaptasi dengan kebudayaan dan cara hidup setempat. Sebaliknya, ketika Indonesia masuk ke Papua, ia mengklaim militer melakukan penjarahan aset-aset yang ditinggalkan Belanda.

“Selama Belanda menduduki Papua, hanya seorang Papua yang mati dibunuh, itu pun karena dia menembak Kepala Pemerintah Setempat (KPS). Setelah RI masuk ke Papua, secara kasar saya perkirakan ada 100 ribu orang Papua yang tewas,”

kata dia.

Ia juga menjelaskan sejarah versi dirinya yang didasarkan pada sejumlah buku sejarah. Menurut dia, sebelum Indonesia merdeka, tokoh Papua sudah mengangkat senjata melawan Jepang.

“Pada tahun 1944 rakyat Papua sudah melihat bahwa mereka bisa merdeka. Ketika itu tentara Sekutu sudah masuk ke Papua. Rakyat Papua melihat orang-orang kulit hitam dari AS dapat menyetir mobil, menerbangkan pesawat. Dan rakyat Papua waktu itu sudah berkata suatu hari nanti saya akan begitu,”

ia menambahkan.

Selanjutnya, kata dia, pada tahun 1960-1961, rakyat Papua telah membentuk parlemen untuk Papua. Pada saat itu lahir Komite Nasional Papua, yang menetapkan bendera dan lagu kebangsaan Papua.

“Jadi, kalau rakyat Papua menuntut referendum bukan karena kesejahteraan tetapi karena sejarah yang berbeda,” kata dia.

Kendati demikian ia menegaskan kembali kalau hasil dari referendum mengatakan bahwa rakyat Papua ingin bersama Indonesia, maka dirinya akan menerimanya.

Editor : Eben E. Siadari, 19:50 WIB | Selasa, 25 Oktober 2016

Papuan pro-independence leader calls for referendum

Radio NZ – Papuan pro-independence leader Filep Karma has called on the Indonesian government to hold a referendum on independence.

West Papuan independence campaigner Filep Karma.

West Papuan independence campaigner Filep Karma. Photo: RNZI / Koroi Hawkins

Mr Karma is a former political prisoner who was released last year after being jailed for 11 years for raising the banned Morning Star flag.

He told the Jakarta Post that the long-demanded referendum was a win-win solution for both the government and the Papuan people, who still suffered from mistreatment and abuse despite the region being granted special autonomy status.

Mr Karma said the referendum would provide a fair mechanism for Papuans to decide for themselves whether they wanted to remain as part of the unitary state of Republic of Indonesia or independence.

He said should the referendum result show that Papuans wanted to remain Indonesian citizens, the rebels would stop demand separation.

He said however that the government should also promise Papuans a peaceful transfer to independence if the referendum showed otherwise.

Indonesia annexed the former Dutch colony after a 1969 UN-backed vote which is widely seen as a farce.

Momentum dekolonisasi Pasifik dorong Gutterres bersikap?

Aksi pengucapan syukur KNPB kepada tujuh negara Pasifik yang membawa masalah Papua ke Majelis Umum PBB (19/9/2016) - Jubi/Zely Ariane
Aksi pengucapan syukur KNPB kepada tujuh negara Pasifik yang membawa masalah Papua ke Majelis Umum PBB (19/9/2016) – Jubi/Zely Ariane

Jayapura, Jubi – Atmosfer dekolonisasi di Pasifik dan dorongan pemerintah serta masyarakat sipil Kepulauan Pasifik terhadap status politik Papua menjadi momentum penting yang berkemungkinan mendorong Sekretaris Jenderal PBB yang baru, Antonio Gutterres untuk bersikap.

Dr. Cammi Webb-Gannon, pemerhati West Papua dari Universitas Sydney, mengatakan tingkat pendiskusian terkait penentuan nasib sendiri dan hak azasi manusia West Papua di Sidang PBB bulan lalu merefleksikan momentum baru menuju dekolonisasi Pasifik.

Peran Perdana Menteri Manasseh Sogavare sebagai ketua MSG dan perdana Menteri Kepulauan Solomon patut dicatat sebagai faktor pendorong penting dalam proses itu, demikian menurut Dr Webb-Gannon seperti dilansir RNZI, Selasa (18/10/2016).

“TIdak saja Sogavare sudah mendorong bertambahnya negara Pasifik berbicara terkait West Papua di Majelis Umum PBB, tetapi dia juga berusaha agar isu tersebut dibawa hingga ke komite dekolonisasi PBB,” ujarnya.

Inilah kali pertama setelah puluhan tahun, lanjutnya, rakyat West Papua berhasil membawa persoalan mereka sampai ke radar internasional, “dan hal itu dimungkinkan karena kerja luar biasa yang dilakukan oleh negeri-negeri Pasifik,” ungkap Webb.

Sementara wakil United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Pasifik, Akouboo Amatus Douw, menanggapi terpilihnya Antonio Gutterres sebagai Sekretaris Jenderal PBB yang baru, berharap Gutterres dapat membantu rakyat Papua memfasilitasi ajakan tujuh negara Pasifik di sidang umum PBB lalu untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM di Papua.

Terkait jasa Gutterres, mantan PM Portugal terhadap kemerdekaan Timor Leste, Douw menilai hal itu memang menguntungkan Timor Leste, namun menurut dia, Belanda tidak memenuhi kewajiban moralnya terhadap rakyat Papua seperti yang dilakukan Portugal.

Douw mencatat peran Gutterres selagi dia masih memimpin UNHCR. Menurut Douw UNHCR telah memberikan bantuan hukum dan kemanusiaan kepada lebih dari 10,000 pengungsi West Papua di PNG.

“Estimasi kasar saya sekitar 30,000 pengungsi politik Papua diseluruh dunia saat ini, termasuk saya,” kata Douw.

Alasan utama orang-orang Papua meninggalkan Papua, lanjutnya, akibat penyangkalan hak atas penentuan nasib sendiri di negerinya.

“Saya punya pikiran positif terkait prioritas Gutterres untuk ikut mengatasi masalah kami,” tegasnya.(*)

KNPB : Permintaan rakyat Papua adalah referendum

Jayapura, Jubi – Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menegaskan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa pihaknya bersama rakyat di tanah Papua tidak membutuhkan pembangunan dan kesejahteraan, yang diminta rakyat Papua selama ini adalah referendum bagi Papua.

Hal itu dikatakan Sekretaris KNBP Pusat, Ones Suhuniap. Ia meminta agar rakyat Papua jangan pernah berharap kepada Pemerintah Indonesia untuk sebuah perubahan di negeri Cenderwasih ini.

“Presiden kolonial Joko Widodo datang ke Papua hanya untuk memuluskan praktek kolonialisme di tanah Papua. Rakyat Papua tidak minta uang dan tidak butuh pembangunan,” kata Ones Suhuniap kepada Jubi di Jayapura, Senin, (17/10/2016).

Dikatakan Ones, Presiden Jokowi tidak akan pernah mensejahterakan rakyat Papua. Kedatangannya di Papua beberapa kali hanya sebagai bentuk pencitraan nama baik Indonesia di mata internasional.

Lanjutnya, Jokowi sesungguhnya merupakan pembunuh berdarah dingin sama seperti dengan pendahulunya. Oleh karena itu, diminta agar segera hentikan semua janji palsu terhadap rakyat Papua.

“Permintaan rakyat Papua adalah pengakuan hak politik dan memberikan ruang bagi rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri Self Determination (Referendum ) yang demokratis. Masa depan bangsa Papua adil makmur dengan kebebasan abadi itu ada di dalam Papua yang merdeka,” jelasnya.

Berkaitan dengan persoalan di Papua, Mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk hati-hati dalam menggunakan cara-cara kekerasan di Papua karena bisa meningkatkan aksi separatisme dan memperluas perlawanan bersenjata.

Dia mengatakan hal yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia adalah mendengarkan dan mengerti kenapa terjadi perlawanan di sana.

“Semua sudah tahu perlawanan itu sudah ada sejak lama, Indonesia harus memahami kenapa pulau sebesar itu ingin memisahkan diri, kenapa orang-orang tidak senang. Mereka inginkan kedamaian, kebebasan, penghargaan serta pembangunan. Selama ini mereka tidak merasakan pemerataan dari pembangunan yang ada,” kata Horta baru-baru ini.

Untuk mengentaskan masalah di Papua, kata Jose, bukan perkara mudah dan sederhana. Menurutnya, butuh usaha, komitmen, serta kepemimpinan yang kuat untuk membangun Papua.

Untuk itu, lanjutnya, harus ada kebijakan yang berkesinambungan yang dapat menguntungkan masyarakat lokal. Selain itu, pembangunan Papua juga tidak boleh merusak lingkungan dan budaya.. (*)

Papua Dipaksakan ke Dalam Indonesia

Aksi-aksi perjuangan pemisahan diri tidak pernah habis di bumi Cendrawasih,  sejak PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969 silam. PEPERA yang merupakan sebuah referendum rakyat Papua dengan pilihan bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai sebuah negara berakhir dengan kemenangan pemilih Indonesia. Tidak semua rakyat Papua terlibat referendum tersebut.

Berikut ini sekilas tentang PEPERA  yang dikutip dari “PEPERA 1969 (ACT OF FREE CHOICE) DAN KONSEKUENSI POLITIK BAGI NKRI SAAT INI oleh: Raimondus Arwalembun, S.S”,  (klik disiniuntuk membaca full)

Pada saat itu, penduduk Irian diperkirakan berjumlah 800.000 jiwa, maka setiap 750 jiwa memiliki 1 wakil dalam Dewan Musyawarah Pepera tersebut. Berikut jumlah anggota Dewan Musyawarah Pepera dari tiap-tiap Kabupaten:

  • Kabupaten Jayapura: Jumlah penduduk 81.246 jiwa – jumlah wakil 110;
  • Kabupaten Teluk Cenderawasih: Jumlah penduduk 93.230 – jumlah wakil 130;
  • Kabupaten Manokwari: Jumlah penduduk 53.290 – jumlah wakil 75;
  • Kabupaten Sorong: Jumlah penduduk 86.840 – jumlah wakil 110;
  • Kabupaten Fakfak: Jumlah penduduk 38.917 – jumlah wakil 75;
  • Kabupaten merauke: Jumlah penduduk 141.373 – jumlah wakil 175;
  • Kabupaten Paniai: Jumlah penduduk 156.000 – jumlah wakil 175;
  • Kabupaten Jayawijaya: Jumlah penduduk 165.000 – jumlah wakil 175.

Dari perwakilan di atas maka didapatlah 1025 orang Anggota Dewan Musyawarah Pepera yang akan ikut menentukan nasib Irian Barat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Setelah DMP dibentuk, maka DMP kemudian mengadakan musyawarah untuk menentukan pilihan, apakah akan bergabung bersama indonesia atau ingin memisahkan diri dari Indonesia.

Hasilnya Pepera yang dilangsungkan di 8 (delapan) Kabupaten tersebut, semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia. Hasil tersebut disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tanda tangan semua yang hadir dalam rapat Pepera tersebut. Hasil Pepera ini diumumkan pada tanggal 2 Agustus 1969 dan selanjutnya pada tanggal 8 Agustus 1969 Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Amir Machmud selaku Ketua Pelaksana Pepera melaporkan kepada Presiden. Lalu pada tanggal 16 Agustus 1969, Presiden menyampaikan sebagai laporan pertanggungjawaban tahunan di depan sidang MPR.

Melihat tata cara pelaksanaannya saja sudah menjadi pertanyaan di kepala kita semua, apakah layak sebuah referendum penentuan nasib sebuah bangsa dilakukan dengan diwakili oleh segelintir orang. Banyak pihak yang tidak dilibatkan kala itu, bahkan banyak kepala suku pun tidak mengetahui akan hal itu.

Masyarakat Papua mulai kaget dari tidurnya setelah melihat banjir penduduk dari pulau Jawa yang datang dengan menerapkan suatu pemerintahan yang sama sekali tidak dipahami mereka.

Dengan proses berjalannya waktu, masyarakat Papua mulai sadar akan apa yang sedang terjadi. Dari kesadaran itu lahirlah gerakan-gerakan pemisahan diri yang sampai sekarang ini beranggotakan sebagian besar orang-orang Papua.

Paksaan menjadi Indonesia. Paksaan adalah virus yang tidak akan terobati. Gerakan Papua merdeka tidak akan hilang dari jiwa orang Papua karena bergabung Indonesia bukanlah pilihan mereka, bukan juga pilihan kakek nenek mereka.

Apa yang seharusnya dilakukan Indonesia agar gerakan pemisahan diri dapat terhapus dari bumi Papua adalah membuat bergabungnya Papua ke Indonesia sebagai pilihan orang Papua sendiri. Indonesia tidak boleh merekayasa pilihan orang Papua dengan media dan sejarah palsu. Satu-satunya solusi adalah mengubah system politik militer di Papua dan referendum ulang dengan melibatkan seluruh orang Papua sebagai pemilih-pemilih yang sah.

Jika semua orang Papua bahagia dan memilih bergabung dengan Indonesia, maka masa depan Indonesia akan lebih cerah dan tentunya takkan ada lagi gerakan-gerakan PEMISAHAN DIRI di bumi Papua. Jika sebaliknya, Indonesia harus merelahkan Papua seperti NKRI merelahkan Timor Leste berdiri sendiri sebagai sebuah negara.

Jangan dipaksa!

Pepera 1969 di West Irian Sudah Final Karena Disahkan oleh PBB?

Retorika NKRI bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di West Irian Tahun 1969 adalah Final, terbantahkan secara otomatis dan tegas setelah fenomena internasional, terutama di wilayah kerajaan Inggris muncul isu-isu referendum dari politisi Scottish Natioanl Party di Skotlandia dan Irish Republican Party di Irlandia Utara, yang para politisinya mengatakan akan menyelenggarakan referendum untuk meminta pendapat rakyat di wilayah mereka, apakah keluar dari Inggris Raya ataukah tetap tinggal dengan Inggris Raya yang telah keluar dari Uni Eropa.

Selain keluarnya Inggris (Britain Exit – disingkat BREXIT) yang jelas-jelas merupakan referendum separatis dari Uni Eropa juga menunjukkan dengan gamplang dan tidak harus dijelaskan kepada siapapun bahwa referendum ialah sebuah proses demokratis di negara demokrasi untuk menentukan pendapat rakyat.

Referendum bukan barang haram, referendum adalah wajah dari demokrasi. Semua negara yang mengaku demokratis harus menyelenggarakan referendum untuk menentukan nasib masing-masing bangsa.

Politisi NKRI di Tanah Papua, Gubernur, para Bupati, DPRP dan para DPRD di Tanah Papua seharusnya sudah sejak awal-awal ini, menyambung gelombang referendum-referendum ini, mempersiapkan agenda-agenda seperti referendum untuk menentukan sikap rakyat Papua, secara khusus Orang Asli Papua terkait dengan berbagai isu, misalnya

  1. Sikap dukungan atau penolakan Orang Asli Papua terhadap UU Otsus Plus yang diajukan oleh Gubernur Lukas Enembe, Ketua DPRP dan Ketua MRP;
  2. Keberhasilan Otonomi Khusus di Tanah Papua sejak tahun 2001 hingga tahun 2016;
  3. Menerima/ Menolak Pendudukan NKRI di Tanah Papua.

Negara demokrasi, yang mengaku menjunjung tinggi HAM, yang mengaku menuju proses demokratisasi, secara otomatis, dan secara naluri pasti sadar bahwa referendum ialah bagian tak terpisahkan dari proses demokrasi dalam menentukan pilihan rakyat.

Referendum bukan barang haram, referendum bukan agenda separatis, referendum ialah agenda demokrasi, agenda modernisasi, agenda peradaban, cara bermartabat dan beradab untuk mementukan nasib, bukan dengan saling membunuh, bukan dengan saling meneror dan mengintimidasi, tetapi dengan saling mempengaruhi opini rakyat sehingga rakyat menentukan nasib mereka sendiri.

Inggris telah disahkan oleh Uni Eropa sebagai Anggotanya, diakui oleh PBB sebagai anggota Uni Eropa. Skotlandia diakui sebagai anggota Kerajaan Inggris oleh PBB. PBB juga mengakui Irlandia Utara sebagai bagian dari Kerajaan Inggris. Tetapi pengakuan PBB, pengakuan Uni Eropa itu bukanlah “Suara Tuhan”.

“Suara Rakyat, Suara Tuhan”, dalam minggu lalu Suara Tuhan katakan Inggris keluar dari Uni Eropa, maka itu telah terjadi. Minggu lalu Suara Tuhan memunculkan wacana Irlandia Utara dan Skotlandia akan menyelenggarakan referendum untuk menentukan nasib sendiri, yaitu merdeka dari Kerajaan Britania Raya atau bergabung ke Uni Eropa, yang artinya memisahkan diri dari negara Induk Inggris.

Tuntutan referendum di Tanah Papua tidak dapat ditolak dengan alasan pengakuan PBB dan salah fatal kalau dikatakan separatis. Malahan sikap semacam itu menunjukkan dengan terang-benderak betapa ketidak-tahuan, dan kalau boleh lebih jelas, kebodohan kita, tentang hakikat demokrasi. Kkalau kita katakan “Pepera Sudah Final”, maka kita membodohi makna demokrasi bagi diri kita sendiri. Pepera tidak Final dengan alasan demokratis yang jelas bahwa rakyat West Papua tidak pernah menentukan nasibnya sendiri. Dan kalaupun sudah pernah, tidak harus berarti bahwa NKRI harga mati, karena setiap bangsa, setiap pulau, setiap rumpun yang ada di dalam NKRI berhak penuh untuk menentukan nasibnya sendiri. Pengakuan PBB tidak memaksa, tidak mengikat, tidak mematikan konsep Jawa NKRI sebagai sesuatu kodrat dari Tuhan yang diwahyukan yang harus ditaati mati-matian oleh semua wilayah jajahan NKRI.

BREXIT Secara Otomatis dan Pasti Membatalkan Argumen NKRI Harga Mati dan Pepera Sudah Final

BREXIT menjadi tolak ukur secara global, di zaman ini, menunjukkan martabat dan identitas demokrasi sejati, yaitu “Suara Rakyat, Suara Tuhan” dan referendum untuk West Papua ialah pasti dan harus.

Betapapun pahitnya, betapapun negara tidak menerima, bepapapun mati harganya, betapapun sudah final, tetap, “Suara Rakyat, Suara Tuhan”, Suara Rakyat Dapat dan telah terbukti berulang-ulang menggugat realitas yang ada.

Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia, masyarakat Tanah Papua dari Sorong sampai Samarai, masyarakat Melanesia, bahwa slogan Partai Politik Penguasa Kolonial, Parta Demokrasi Indonesia “Suara Rakyat, Suara Tuhan” telah terbukti minggu ini, di mana Rakyat Inggris, yaitu “Suara Tuhan” telah memilih untuk Negara Kerajaan Inggris Raya Bersatu KELUAR dari kerajaan Eropa bernama Uni Eropa, atau Komisi Eropa.

Dampak dari “Suara Rakyat, Suara Tuhan” yang telah memenangkan BREXIT ialah usulan penyelenggaraan Referendum di Irlandia Utara dan Skotlan, salah dua dari paling tidak lima wilayah yang kini bersatu dan Inggris Raya Bersatu.

Dari peristiwa bersejarah dalam kehidupan manusia dan demokrasi sedunia ini menunjukkan pelajaran yang jelas.

Pelajaran yang pertama ialah bahwa benar terbukti, slogan Partai kolonial Indonesia PDI-P “Suara Rakyat, Suara Tuhan” memang benar-benar harus kita kawal dan kita lindungi dan kita tunduk kepadanya.

Kalau rakyat Papua menuntut referendum, ya itu hak mutlak “Suara Tuhan”, maka haruslah diberikan kepada bangsa Papua. PDI-P haris konsisten terhadap slogannya

Kedua, pernah tersebar isu buatan NKRI, bahwa sejak tahun 2000, pintu untuk negara baru merdeka telah tertutup dan Papua tidak akan berpeluang untuk merdeka, secara mentah-mentah dan di depan mata terbukti terbalik, Kemerdekaan ialah hak segala bangsa, dan oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, kapan-pun, di manapun, oleh siapapun.

Kalau NKRI benar-benar berbicara di pentas politik global bahwa dia telah mendemokratisasi negaranya, maka referendum dan hak berpendapat dari Orang Asli Papua ialah bagian tak terpisahkan dari demokrasi itu sendir, dan hasil daripada referendum itu harus diterima oleh baik kolonial maupun oleh bangsa Papua.

Ketiga, para pemuda Papua, semua organisasi masa dan penggerak didalam negeri teruskan perjuanganmu, suarakan referendum untuk Tanah Papua, dan desak NKRI tunduk kepada slogan partai penguasa hari ini “Suara Rakyat, Suara Tuhan”.

Pesan per email dikirim dari MPP TRWP, Vanimo, Papua New Guinea, Tanah Papua Sorong – Samarai

Skotlandia dan Irlandia Utara Ingin Merdeka Dari Inggris

Pemimpin Sinn Fein, Gerry Adams (kiri) dan Wakil Menteri Pertama Irlandia Utara, Martin Mcguinness (kanan) berbicara pada konferensi pers di luar Kastil Stormot di Belfast, Irlandia Utara, pada 24 Juni 2016 pasca referendum 23 Juni (Foto:AFP)

BELFAST, SATUHARAPAN.COM – Desakan untuk merdeka dan memisahkan diri dari Inggris mencuat pasca hasil referendum yang dimenangi oleh para pendukung Brexit; Inggris keluar dari Uni Eropa.

Berbeda dengan keseluruhan rakyat Inggris, di Skotlandia dan Irlandia Utara mayoritas suara justru mendukung untuk tetap di Uni Eropa.

Ini menyebabkan sejumlah pemimpin di dua wilayah itu menilai Inggris tidak lagi memiliki mandat untuk mewakili mereka. Mereka menyerukan diadakan referendum untuk mendengar suara rakyat di kawasan itu apakah memilih tetap dalam naungan pemerintahan Inggris Raya atau merdeka.

Wakil Pemimpin Irlandia Utara, Martin McGuinness, pada hari Jumat (24/6) menyerukan diadakannya referendum untuk Irlandia di tengah jatuhnya harga saham di negara itu yang dipicu oleh ketidakpastian ekonomi dan politik pasca Brexit.

Irlandia memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di Uni Eropa tetapi juga yang paling banyak dirugikan dengan keluarnya Inggris. Implikasinya diperkirakan akan luas bagi perdagangan, ekonomi, ketahanan pasok energi dan perdamaian di wilayah Irlandia Utara yang dikuasai oleh Inggris.

Sebanyak 56 persen pemilih di Irlandia Utara memberi suara untuk tetap berada di Uni Eropa pada referendum yang diadakan pada 23 Juni lalu. Sementara secara keseluruhan di Inggris Raya,  52 persen suara memilih keluar dari Uni Eropa.

Untuk wilayah Skotlandia, penghitungan akhir menyebut 62 persen warga memilih agar Inggris tetap bergabung dengan UE sedangkan 38 persen warga memilih keluar.

McGuinness wakil ketua Sinn Fein, partai nasionalis terbesar di Irlandia Utara, mengatakan pemerintah Inggris harus melakukan referendum bagi Irlandia untuk menentukan nasibnya pasca Brexit.

“Pemerintah Inggris sekarang tidak memiliki mandat demokratis untuk mewakili pandangan (Irlandia) Utara dalam negosiasi masa depan dengan Uni Eropa dan saya percaya bahwa ada keharusan demokrasi untuk diadakannya referendum,” kata McGuinness dalam sebuah wawancara televisi, seperti dikutip kembali oleh voanews.com.

“Implikasi bagi kita semua di kepulauan Irlandia benar-benar besar. Hal ini dapat memiliki implikasi yang sangat besar bagi perekonomian kita (di Irlandia Utara),” kata dia.

Seruan serupa datang dari mantan pemimpin Skotlandia, Alex Salmond, yang kalah dalam pemilu referendum kemerdekaan dua tahun lalu. Sebagaimana dikutip dari bbc.com, ia mengatakan yang paling masuk akal yang dilakukan Skotlandia adalah tidak meninggalkan Uni Eropa.

Oleh karena itu, dia mengatakan penggantinya, Nicola Sturgeon, sekarang harus kembali mendesak bagi diadakannya pemungutan suara untuk memisahkan diri dari Inggris.

Sturgeon mengatakan hal ini memang dapat dipikirkan setelah Inggris memutuskan keluar Uni Eropa.

“Pilihan referendum kedua harus ditawarkan dan ini memang ada,” kata dia, seperti dikutip kantor berita AFP.

Dia menambahkan undang-undang bagi pemungutan suara kedua, setelah dilakukannya hal yang sama pada tahun 2014, akan dipersiapkan saat Parlemen Skotlandia menyepakatinya.

Sementara itu, partai nasionalis terbesar Irlandia, Sinn Fein, mengatakan karena Irlandia Utara memberikan suara untuk tetap di dalam Uni Eropa, maka mereka memiliki alasan yang lebih kuat bagi dilakukannya referendum untuk bergabung dengan Republik Irlandia.

Namun, seruan  Sinn Fein ditolak oleh Menteri Pertama Irlandia yang pro-Inggris, Arlene Foster dan Perdana Menteri Irlandia Enda Kenny. Menurut mereka, ada  masalah yang jauh lebih serius untuk menangani.

Kenny mengatakan pertemuan kabinet darurat diadakan segera setelah hasil referendum Brexit diumumkan. Pemerintah Irlandia mengatakan mereka telah menyiapkan sejumlah datar tindakan terkait dengan perdagangan, invetasi,dan hubungan Inggris-Irlandia dan Irlandia Utara.

Bank sentral Irlandia telah memperingatkan bahwa keluarnya Inggris dari UE akan melukai pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, serta dampak yang signifikan terhadap sektor keuangan. Laporan pemerintah mengatakan keluarnya Inggris dari UE dapat mengurangi perdagangan Inggris 20 persen.

Perbankan Irlandia yang memiliki eksposur dengan Inggris sekitar 21 persen dari total aset, menyebabkan keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa memangkas delapan persen indeks harga saham di Irlandia. Saham Bank of Ireland turun sebesar 25 persen.

Saham perusahaan penerbangan terbesar di Eropa, Ryanair, juga anjlok tajam, sama jalnya dengan produsen pengepakan Smurfit Kappa dan perusahaan bahan bangunan Kingspan.

Editor : Eben E. Siadari Penulis: Eben E. Siadari 17:22 WIB | Sabtu, 25 Juni 2016

Ratusan Massa Papua Merdeka Orasi di Tengah Kota Jayapura

Jayapura, Jubi – Sedikitnya seratusan lebih demonstran pro Papua Merdeka yang menamakan diri Komunitas masyarakat Dok 7,8,9 Tanjung Ria Jayapura melakukan orasi damai di tengah Kota Jayapura, tepatnya di Taman Imbi, Rabu (15/6/2016). Aksi itu dimulai sekira pukul 15:00 WIT.

Demonstran awalnya berniat melakukan aksi damai di halaman kantor DPR Papua. Namun puluhan polisi yang berjaga sejak pagi menghalangi pendemo masuk ke halaman kantor wakil rakyat Papua itu. Polisi menutup dan menjaga semua pintu masuk. Alasannya, demonstran tak memiliki ijin dari kepolisian setempat. Demonstran yang dikoordinir Asius Ayemi itu tak putus asa.

Demonstran akhirnya memilih menyampaikan orasi politiknya di Taman Imbi. Dalam orasinya, Asius Ayemi sempat mengkritik polisi yang menghalangi pihaknya memasuki halaman DPR Papua.

“Ini rumah rakyat, kenapa polisi halangi kami. Biarkan kami masuk ke halaman DPR Papua. Apakah wakil rakyat menerima kami atau tidak itu terserah mereka. Buka ruang demokrasi. Ini rumah rakyat. Ini kantor kami,”

kata Asius.

Sementara Filipus Robaha dalam orasinya mengatakan, ini menjadi catatan dan pelajaran politik. Para legislator Papua itu bukan dipilih oleh aparat keamanan, Polri dan TNI, namun rakyat sipil. Rakyat yang punya hak suara memilih.

“Kita pilih mereka menyuarakan aspirasi kita. Menjadi lidah rakyat, bukan lidah aparat keamanan. Papua Merdeka itu pasti. Papua Merdeka bukan hanya dipikirkan Edison Waromi, Papua Merdeka bukan hanya dipikirkan Buhctar Tabuni dan lainnya, tapi Papua Merdeka menjadi candu orang Papua dari Sorong sampai Samarai,”

kata Filipus Robaha dalam orasinya.

Katanya, candu Papua Merdeka bukan karena pemikiran orang-orang Papua tapi pendiri atau peletak GKI di tanah Papua, I.S. Kijne. Kijne mengatakan, “bangsa ini akan bangkit memimpin dirinya sendiri”. Ini yang terus ada dalam benak orang Papua”.

Setelah berorasi kurang lebih 90 menit, seorang perwakilan demonstran membacakan pernyataan sikap. Beberapa poin pernyataan sikap itu antar lain, menolak kedatangan Meko Polhukam, Luhut Panjaitan ke Papua. Pelaporan HAM di West Papua harus diselesaikan di luar kepentingan politik Indonesia karena aktor pelanggaran HAM di Papua adalah Negara Indonesia. Tak mungkin negara mengadili negara. Sejak Indonesia menganeksasi Papua Barat pada 1963, dan sampai kapan pun tak ada jaminan hidup kepada bangsa Papua. Indonesia hanya butuh kekayaan alam dan sumber daya alam Papua, bukan orang asli Papua.

“Itu motivasi sesungguhnya Indonesia di Papua. Kami rakyat Papua tak butuh sandiwara politik Jakarta melalui tim terpadu penanganan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat bentukan Menko Polhukam. Kami menolak tim penanganan pelanggaran HAM di Papua buatan Indonesia yang melibatkan Marinus Yaung. Matius Murib dan Lien Molowali. Mereka ini tak punya kapasitas menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua,”

kata perwakilan demonstran itu.

Pernyataan sikap lainnya, mendesak penentuan nasib sendiri. Mendesak tim pencari fakta Forum Island Pasifik segera ke Papua. Mendesak aktivis HAM, agama korban dan seluruh rakyat Papua menolak tim bentukan Menkopolhukam. (*)

Dosen Uncen Papua: Masalah Papua Bukan Masalah Indonesia Tapi Masalah Internasional

Jayapura, (KM)—Salah satu Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Cendrawasih (FISIP Uncen) Papua, Frans Kapisa, mengatakan, perjuangan masalah Papua adalah bukan masalah indonesia, tetapi masalah dunia Internasional dan Negara-negara Forum Pasifik.

“dengan adanya masalah ini, dikomitmen bahwa perjuangan Papua dilakukan secara bermartabat. Jangan kita berjuang dengan menggunakan kekerasan diatas tanah ini. Sebab, kebenaran adalah jalan menuju sebuah kemenangan,”kata Frans dalam orasi yang disampaikan di hadapan masa aksi, Rabu, (13/04/16).

Menurutnya, dengan melihat perjuangan Papua dinilai hampir mengakhir kebebasan atas tindakan kolonial indonesia.

Lanjutnya, dengan melakukan aksi demo damai yang dimotori dar Komite Nasional Papua Barat (KNPB) guna mendukung ULMWP agar terdaftar sebagai anggota penuh di MSG pada konfrensi 3 Mei mendatang.

“hal ini sudah menunjukan bahwa kemerderkaan ialah hak segala bangsa dan penjajahan diatas dunia di hapuskan,”katanya, yang juga diakui sebagai Aktivis Papua.

Ia menilai, konflik yang terjadi di tanah Papua bukan konflik perpanjangan persolan menyangkut Otsus dan kesejahtraan ekonomi di papua. Tetapi, menyangkut status politik, yakni penentuan nasib sendiri.

“Untuk itu, Papua akan terlihat adanya udara segara ketika Papua termasuk anggota Penuh di MSG,”tegasnya.

Ia berharap, 3 Mei 2016 mendatang Papua akan terdaftar menjadikan salah satu anggota penuh di MSG itu sudah pasti.

“maka, perlu ada dinamika aksi atau dukungan dari seluruh rakyat papua untuk regalitasi dalam forum MSG nanti,”harapnya.

Sementaraitu, salah satu Atlet Bola Kaki,penjaga gawang dari Tim Mutiara Hitam, Jayapura, Eneko Pahabol, mengatakan, “saya juga mewakili teman-teman atlet di Papua juga sangat mendukung ULMWP agar Papua masuk sebagai anggota penuh di MSG.

Kata dia, satu hal yang menjadi dosa terbesar ialah orang sudah tahu apa yang harus dilakukan. Tapi tidak dilakukan. Itu sudah menjadi dosa terbesar.

“maka, apa yang dinilai di Papua kalau itu benar, yah harus dilakukan. Jangan tunggu dan menunggu,”tegasnya.

(Yosafat Mai Muyapa/KM)

Editor: Alexander Gobai

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny