PM Papua Nugini Bertemu Sekjen PBB Bicarakan Referendum

Penulis: Eben E. Siadari 19:29 WIB | Minggu, 29 Mei 2016

Jayapura, Jubi – Mantan ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Bucthar Tabuni menyeruhkan rakyat Papua bersama KNPB sebagai media perlawanan melakukan gerakan damai di dalam kota-kota di tanah West Papua.

“Kita percaya, tidak perlu emosi dan anarkis,”ungkap Tabuni dari Inggris melalui sambungan telepon genggam yang dihubungkan ke pengeras suara kepada ribuan massa KNPB yang menghadiri ibadah sekaligus pengumuman deklarasi IPWP di anjungan Expo Waena, Kota Jayapura, Papua, Rabu (11/05/2016)

Kata dia, dirinya baru saja menhadiri pertemuan International Palementarian for West Papua (IPWP) pada 3 Me lalu. Pertemuan itu dihadiri sejumlah anggota parlemen dari berbagai negara, pemipin pemerintahm, termasuk pemimpin oposisi Inggris, Jeremy Corbyn menyatakan dukungan penentuan nasib sediri bagi rakyat West Papua.

“Pimpinan Partai Buruh, pemimpin oposisi, Jeremy Corbyn mendukung kita. Langkah selanjutnya kita umumkan dimana-mana melalui gerakan damai,”harapnya.

Kata, ketika semakin banyak dukungan, pemerintah Indonesia sedang melakukan provokasi terhadap rakyat Papua. Tetapi, ajak dia, Rakyat Papua harus mengambil pelajaran dari provokasi yang dikobarkan pemerintah Indonesia. Rakyat Papua harus semakin dewasa dalam perjuangan menentukan nasib sendiri.

“Kita harus belajar dari pengalaman. Kita harus semakin maju dari satu tahap ke tahap yang lebih maju dalam perlawanan,”ungkap pria yang masih berstatus Daftar Pencaharian Orang Polda Papua terkait demo 26 November 2013.

Kata dia, perlawanan damai itu demi menghindari pertumpahan darah. Tabuni tidak mau lagi ada korban dari pihak rakyat Papua. “Kita tidak mau ada gerakan penembakan lagi,”tegasnya.

Filep Karma yang turut mengahadiri ibadat itu menyuguhkan perjuangan Papua merdeka tidak boleh melalui pertumpahan darah. Pertumbahan darah hanya melahirkan kehidupan bangsa yang buruk bila Papua Merdeka.

“Kita tidak boleh merdeka dengan darah-darah,”ungkap pria mantan tahanan Politik Papua Merdeka ini orasi pendidikan politiknya di hadapan ribuan masa.

Ia mencontohkan kehidupan bangsa Indonesia yang pernah menempuh perjuangan berdarah. Indonesia berjuang dengan membunuh penjajah, orang Cina, orang Belanda, orang Jepang berdampak pada kehidupan bangsa tidak menentu.

“Perjuangan berdarah-darah itu hanya melahirkan kehidupan bangsa yang buruk,”tegasnya.(*)

Wawancara Khusus Benny Wenda: Kami akan Bawa Papua ke PBB

Penulis: Eben E. Siadari 22:16 WIB | Rabu, 25 Mei 2016

SYDNEY, SATUHARAPAN.COM – Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda, menilai tidak ada keseriusan pemerintah Indonesia untuk berdialog dengan rakyat Papua. Oleh karena itu, ia mengatakan pihaknya akan memfokuskan perjuangan membawa masalah Papua ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Tujuan akhir adalah terselenggaranya referendum penentuan nasib sendiri di bawah pengawasan lembaga antarbangsa itu.

Hal itu ia ungkapkan dalam wawancara dengan satuharapan.com hari ini (25/5) lewat sambungan telepon. Benny Wenda saat ini tengah berada di Sydney, Australia, dan berharap dapat mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG) di Port Moresby, Papua Nugini. KTT itu dijadwalkan mulai 30 Mei hingga 3 Juni 2016, namun belum dipastikan.

Benny Wenda lahir di Lembah Baliem, Papua, 17 Agustus 1974, oleh Indonesia digolongkan sebagai tokoh separatis. Ia kini bermukim di Inggris setelah mendapat suaka pada tahun 2013.

Benny Wenda mengklaim dirinya sebagai salah seorang keturunan pemimpin suku terbesar di Papua dan kedua orang tuanya beserta sebagian keluarga besarnya, merupakan korban pembunuhan militer Indonesia. Ia selalu menyuarakan perlunya rakyat Papua diberi hak menentukan nasib sendiri karena integrasi Papua ke dalam RI lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 penuh rekayasa.

Setelah Orde Baru jatuh, gerakan referendum dari rakyat Papua yang menuntut pembebasan dari NKRI kembali bangkit. Benny Wenda, sebagaimana dicatat oleh Wikipedia, melalui organisasi Demmak (Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka), membawa suara masyarakat Papua. Mereka menuntut pengakuan dan perlindungan adat istiadat, serta kepercayaan, masyarakat suku Papua. Mereka menolak apapun yang ditawarkan pemerintah Indonesia termasuk otonomi khusus.

Dia pernah dipenjarakan pada 6 Juni 2002 di Jayapura, dituduh atas berbagai macam kasus, di antaranya melakukan pengerahan massa untuk membakar kantor polisi, hingga harus dihukum 25 tahun penjara.

Pada 27 Oktober 2002 Benny Wenda berhasil kabur dari penjara dibantu oleh para aktivis, diselundupkan melintasi perbatasan ke Papua Nugini dan kemudian dibantu oleh sekelompok LSM Eropa untuk melakukan perjalanan ke Inggris. Di sana lah ia mendapat suaka politik.

Ke arah mana pergerakan ULMWP dalam memperjuangkan rakyat Papua, dan sejauh mana kemungkinan adanya titik temu dengan pemerintah RI, berikut ini selengkapnya wawancara dengan Benny Wenda.

Satuharapan.com: Pada akhir bulan ini akan ada pertemuan MSG di Port Moresby. Apa yang Anda harapkan dari pertemuan tersebut?

Benny Wenda: Kami harapkan bahwa pertemuan ini sangat penting, special summit, kami harap dalam pertemuan ini akan membahas ULMWP menjadi anggota dengan keanggotaan penuh (full membership). Itu harapan kami.

Apakah Indonesia akan hadir pada KTT itu?

Pasti. Karena mereka juga associate member.

Apakah kemungkinan ada dialog dengan Indonesia di MSG  dalam kaitan dengan yang diperjuangkan ULMWP selama ini?

Dialog melalui permintaan dari ketua MSG sudah disampaikan kepada pemerintah Indonesia. Tetapi ternyata tidak jadi. Ditolak. Dan kedua, ketua MSG sendiri mengusulkan bertemu dengan presiden RI tetapi tidak ada respon. Dan juga rekomendasi Pacific Islands Forum (PIF) untuk diadakannya fact finding misson ke Papua, tidak ada follow up dari pemerintah Indonesia. Sehingga kami menganggap Indonesia tidak ada niat melakukan dialog. Jadi saya pikir tidak mungkin.

Jadi ULMWP lebih fokus menjadi anggota penuh MSG?

Itu kami target.

Jika sudah menjadi full member, apa langkah selanjutnya?

Langkah selanjutnya, akan dibicarakan oleh pemimpin ULMWP dalam diskusi internal. Namun agenda kami yang kami targetkan adalah internationally supervised vote for independence seperti yang sudah dideklarasikan oleh International Parliamentarians for West Papua (IPWP) di London pada 3 Mei kemarin. Jadi kami akan fokus ke sana. Pemerintah Indonesia tidak serius dalam dialog dan kami pikir kami sudahi sampai di situ. Kami harus kembali ke United Nations (UN). Membawanya ke UN.

LIPI sudah memberikan rekomendasi agar ada dialog antara Jakarta dan Papua. Apa pendapat Anda? Format dialog seperti apa yang diinginkan oleh ULMWP?

Saya pikir, dialog nasional yang dirumuskan LIPI lebih ke arah dialog internal antara orang Papua dan Jakarta. Lebih menekankan sisi pembangunan dan kesejahteraan. Tetapi kami mengharapkan masalah ini akan kembali ke UN, itu yang akan jadi fokus kami. Sebelumnya kami akan fokus dulu ke full membership bagi ULMWP di MSG, setelah itu baru kami membicarakan bagaimana berhadapan dengan Indonesia.

Apakah Anda akan berangkat ke Port Moresby?

Pasti, saya akan berusaha pergi. Untuk sementara ini saya tidak bisa masuk, tetapi karena kami (ULMWP) sudah menjadi anggota MSG, pasti saya akan ke sana. (Catatan: Benny Wenda pernah tidak diizinkan masuk ke Papua Nugini, red).

Anda sudah pergi ke berbagai negara untuk mendapatkan dukungan, termasuk ke Ghana dan beberapa negara Afrika. Apa saja dukungan yang Anda terima?

Saya pikir negara-negara ini memiliki sentimen yang sama karena mereka juga lepas dari neokolonialisme. Jadi mereka support kami. Mereka memiliki sentimen yang sama. Mereka simpati pada bangsa Papua. Dan bangsa Papua merupakan bagsa yang ditindas dalam hal ini, dan mereka melihat Papua sebagai koloni, sehingga mereka memberikan dukungan.

Belakangan ini Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan menemui Tokoh Gereja Inggris, Lord Harries di London yang selama ini mendukung kemerdekaan Papua. Apa pendapat Anda?

Saya pikir itu tidak apa-apa. Wajar saja jika demi kepentingan negara Indonesia, ia mewakili bangsa, ia bisa pergi kemana saja.

Editor : Eben E. Siadari

Bougainville dan Papua New Guinea menetapkan target untuk referendum kemerdekaan

Presiden Bougainville John Momis dan Perdana Menteri Papua Nugini Peter O’Neill telah sepakat untuk bekerja menuju 2019 referendum kemerdekaan, setelah pertemuan di Port Moresby minggu lalu.

Bougainville merupakan bagian otonom dari PNG dan berjuang perang saudara selama satu dekade dengan pemerintah nasional yang berakhir pada tahun 1999.

daerah harus memegang referendum kemerdekaan pada tahun 2020 di bawah ketentuan Perjanjian Perdamaian Bougainville, tetapi target baru belum final.

Presiden Momis mengatakan keputusan itu kickstarted proses perencanaan menjelang pemilihan bersejarah pada tanggal 15 Juni 2019.

“Dengan tanggal tersebut sekarang setuju, kita dapat merencanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengadakan referendum, dan waktu dan dana dan tenaga yang dibutuhkan untuk melaksanakan setiap langkah,” katanya kepada surat kabar Post Courier di PNG.

Pemerintah PNG juga telah berkomitmen untuk persiapan dana referendum, dan diharapkan keputusan akan menyebabkan pembuangan senjata penuh di Bougainville.

Beberapa fraksi di Bougainville memegang senjata mereka setelah konflik dalam kasus PNG tidak akan membiarkan referendum untuk melanjutkan, tapi Presiden Momis mengatakan kecurigaan mereka dapat merusak suara.

“Saya call now untuk pembuangan senjata lengkap … hanya kemudian Bougainville akan dapat menjadi referendum-siap. Perjanjian Perdamaian Bougainville mengharuskan referendum bebas dan adil,” katanya.

“Seharusnya tidak ada lagi keraguan di antara Bougainville apakah referendum akan diadakan.”

Sumber: http://mobile.abc.net.au/news/2016-05-23/bougainville-referendum-set-for-2019/7436566

Lily Wahid: Situasi Keamanan di Papua Bisa Berujung Referendum

INTELIJEN.co.id – Situasi keamanan di papua yang terus memanas dikhawatirkan akan memunculkan persoalan lebih krusial dan luas. Masyarakat Papua akan semakin tidak percaya dengan pemerintah pusat, sehingga mencari pola penyeleseian ke organisasi internasional.

Kondisi tersebut, harus segera mendapat respon dan langkah-langkah penyeleseian. Pemerintah pusat harus segera menyelesaikan persoalan Papua agar masyarakatnya tidak mengajukan referendum yang didukung PBB.

“Analisa saya, indikasi referendum, warga Papua mendatangi kantor PBB di Jakarta,” kata anggota Komisi I DPR RI Lily Wahid kepada wartawan di gedung DPR, Rabu (26/10).

Menurut Lily Wahid, dengan masuknya warga Papua ke PBB, pihak internasional menganggap bangsa Indonesia tidak menangani wilayah di Bumi Cenderawasih itu.

“Ini bisa berujung ke referendum,” paparnya.

Lily juga meminta pemerintah tidak melakukan pendekatan represif terhadap pergolakan di Papua. Persoalannya juga terkait kebijakan di daerah. Dana otonomi daerah selama ini tidak didukung dengan Peraturan Daerah (Perda).

“Pemerintah Provinsi Papua harus membuat Perda pelaksanaan otonomi khusus, agar yang di bawah tidak teriak-teriak,” pungkasnya.

Sumber: indonesiatoday.in

Referendum dari Catalunya, Spanyol Sampai Bougainville, PNG

Jayapura, Jubi- Barcelona adalah klub kebanggaan masyarakat Catelunya, Provinsi Otonom Spanyol. Bahkan ketika Barcelona berlaga Bendera Kebangsaan Catelonya turut berkibar pula meramaikan stadion kebanggaan Barcelona. Saat Spanyol menang Piala Dunia Puyol, Pique dan kawan-kawan melambaikan bendera Catalunya. Anehnya punggawa Barcelona tidak ditangkap oleh aparat keamanan di Negara Kesatuan Spanyol dan tidak pula dikenakan pasal gerakan separatisme.

Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirayuda mengakui kalau gerakan kemerdekaan di Indonesia tak selamanya bisa selesai begigtu saja. Pasalnya kata dia negara-negara demokratis tua seperti di Inggris, Spanyol maupun Belgia yang sudah berusia hampir 300 tahun masih saja ada referendum untuk memisahkan diri.

Kepada Jubi belum lama ini di Denpasar Bali, Hassan Wirajuda mengatakan negara-negara seperti Inggris yang sudah berusia ratusan tahun termasuk Spanyol dan Belgia mempunyai ekonomi dan kesejahteraan yang baik tetapi semangat referendum masih ada di sana.

“Hal ini tidak menutup kemungkinan bisa saja terjadi di Indonesia.”kata Menlu di era Megawati dan SBY mengingatkan kepada Republik Indonesia yang baru saja berusia 70 tahun kemerdekaan.

Era 1998 saat Perang Saudara di Yugoslavia, mendiang begawan antropologi Indonesia Koentjarangrat dalam artikelnya berjudul Perang Suku Bangsa di Yugoslavia mengatakan jika membandingkan masalah suku bangsa Indonesia dengan Yugoslavia masalah hubungan antar suku bangsa dan agama. Kata dia Indonesia jauh lebih beruntung, hanya saja Koentaraninggrat mengingatkan tiga hal pokok penting dalam negara kesatuan Republik Indonesia, pertama perlu menghindari upaya memaksakan konsep mengenai nilai-nilai budaya kepada penduduk yang dipandang “terbelakang,” seperti yang masih dilakukan terhadap penduduk di Timor Timur (sekarang sudah jadi Timor Leste) dan Papua (Papua dan Papua Barat). Kedua adalah mendiskriminasikan sesama warga bangsa Indonesia, seperti yang secara sadar atau tidak masih saja dilakukan. Ketiga, menjaga agar kesenjangan antara daerah yang cepat maju dengan yang lambat maju untuk tidak menjadi terlalu besar.

Jika menyimak pernyataan Koentjaraningrat jelas, diskriminasi maupun kesenjangan masih saja terjadi dan Timor Timur sudah merdeka dan kini jadi Timor Leste. Kemenangan referendum di Timor Leste menjadi jawaban bahwa pembangunan fisik dan kesejahteraan bukan tolok ukur dalam membangun wawasan kebangsaan dan bernegara. Ada nilai-nilai budaya suku bangsa yang terkadang diabaikan dan dianggap sepele.

Bagaimana dengan warga Catalunya yang bertahun-tahun tidak bisa menjadi warga negara Spanyol. Bahkan ketika klub Barcelona bermain, ada slogan “Catalunya is not Spain.” Ini adalah realita sosial di negara-negara maju di Spanyol, Inggris dengan Scotlandia, Belgia hingga negara tetangga Papua New Guinea dengan semangat referendum di Provinsi Otonomo Bougainville.

Ratusan ribu pendukung kemerdekaan Catalunya, yang dikutip Jubi dari Kompas terbitan, Jumat (11/9/2015), unjuk kekuatan di kota Barcelona, Spanyol. Mereka melakukan pawai untuk mengampanyekan gerakan Catalunya merdeka atau pemisahan wilayah otonom itu dari Spanyol.

Ratusan pengendara sepeda, Jumat pagi, berkumpul di alun-alun kota kecil Vic, sekitar 70 kilometer dari Barcelona, ibu kota Catalunya. Mereka bersiap-siap mengendarai sepeda menuju Barcelona guna memeriahkan pawai pro kemerdekaan.

Pelatih kenamaan asal Catalunya, Pep Guardiola, dan pemain klub sepak bola Barcelona, Gerard Pique, adalah sebagian tokoh asal wilayah itu yang mendukung kemerdekaan Catalunya. “Kami ingin mengelola sumber daya kami sendiri,” ujar Guardiola yang kini melatih Bayern Muenchen, Selasa silam.

Pawai besar-besaran pro kemerdekaan digelar bertepatan dengan hari nasional Catalunya. Presiden Catalunya Artur Mas mengatakan, hari nasional Catalunya tahun ini spesial karena perayaannya berdekatan dengan pemilihan parlemen regional pada 27 September.

Unjuk kekuatan gerakan pro kemerdekaan Catalunya yang konon diikuti sekitar 500.000 orang tak ubahnya kampanye menjelang pemilu parlemen Catalunya. Kelompok pendukung kemerdekaan ini berharap kubu mereka merebut setidaknya 68 kursi dari total 135 kursi di parlemen Catlunya atau meraih mayoritas sederhana (50 persen+1).

Seandainya berhasil merebut mayoritas, kelompok politik pendukung kemerdekaan akan lebih leluasa melakukan langkah-langkah mengantar Catalunya yang berpenduduk 7,5 juta orang berpisah dari Spanyol. Sebaliknya, jika gagal merebut mayoritas pada pemilu parlemen Catalunya, pukulan telak pun dialami kelompok pro kemerdekaan.

Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy membantah referendum bisa diadakan seandainya kelompok pro kemerdekaan menjadi mayoritas di parlemen Catalunya. Menurut dia, referendum pemisahan Catalunya tak sesuai dengan konstitusi Spanyol.

Pusat Riset Sosiologi milik Pemerintah Spanyol menggelar survei yang hasilnya menunjukkan, koalisi partai pendukung kemerdekaan Catalunya, Junts pel Si (Together for Yes), dan partai kiri CUP dapat mengumpulkan 68-69 kursi.

Gerakan nasionalisme Catalunya mendapat dukungan lebih besar sejak ekonomi Spanyol melemah, beberapa waktu terakhir.

Bagaimana dengan Papua New Guinea dengan Provinsi Otonom, John Momis Presiden Daerah Otonom Bougainville mengatakan “Kami adalah orang-orang asli tanah air kita Bougainville. Kami sendiri harus memutuskan masa depan kita, takdir kita. Tidak ada orang luar dapat memutuskan untuk kita. ”

Karena itu tak heran kalau John Momis telah menjadwalkan 2019 sebagai tahun untuk suara referendum yang akan dilakukan, tapi ini belum disepakati oleh Perdana Menteri PNG dan kabinetnya.(Dominggus Mampioper)

“Rakyat Papua Pahami Dialog itu Referendum”

JAYAPURA – Wacana dialog yang disampaikan Pemerintahan Presiden RI Ir. Joko Widodo (Jokowi) ketika berada di Papua, beberapa waktu lalu, ternyata terus dipertanyakan.

Pasalnya, Kepala Negara tak menjelaskan secara baik dialog macam apa yang diingini  pemerintah pusat dan pemerintah daerah. “Jangan sampai ini membuat bom waktu, padahal  sebetulnya dengan adanya Rancangan UU Otsus Plus bagi Papua itu merupakan salah-satu  jawaban terhadap semua gejolak yang terjadi di Tanah Papua,” tegas Sekda ketika membahas pembangunan Papua bersama Direktur Informasi dan Media Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Siti Sofia Sudarma di Kantor Gubernur Papua, Jayapura, Selasa (17/3).

“Dialog menjadi isu kontenporer yang cukup signifikan, karena dialog menurut pemahaman  rakyat Papua  focus interes-nya adalah referendum,” jelas Sekda.

Menurut Sekda, di Papua ini ternyata tak terjadi gesekan-gesekan horizontal atas dasar isu agama, isu suku dan lain-lain. Walaupun memang pihaknya menyadari dan memaklumi    sejumlah rakyat Papua masih bergerilya di gunung dan di hutan memanggul senjata  mengusung idelogi Papua merdeka.

Namun demikian, ujar Sekda, pemerintah berusaha mengakomodir aspirasi mereka dan berusaha memberikan pemahaman dengan kearifan-kearifan lokal yang ada, sehingga suatu saat nanti mereka kembali ke pangkuan NKRI dan membangun Papua.

Dikatakan Sekda, ketika pembahasan Rancangan UU Otsus Plus di DPR RI, ternyata Fraksi-Fraksi di DPR RI sebagian menerima dan sebagiannya menolak. Padahal rancangan UU Otsus Plus tersebut telah dipersiapkan setahun lebih. Tapi hal ini tak dipahami pemerintah pusat melainkan menyatakan pembahasan Rancangan UU Otsus Plus di DPR RI menunggu Prolegnas tahu 2016 mendatang.

Menurut Sekda, kebijakan pemerintah pusat ini membuat pemahaman semua elit di Papua terhadap Jakarta menjadi tak baik.

Namun demikian, menurut Sekda, ini realita yang mesti diketahui bersama seharusnya  Rancangan UU Otsus Plus sebanyak 365 Pasal adalah jawaban untuk mengatur kewenangan bagi masyarakat Papua di atas semua potensi dan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada. (mdc/don/l03)

Source: Kamis, 19 Maret 2015 06:16, BinPa

Mahasiswa Dukung Jokowi Hapus Otsus Papua

Tolak Otsus Mnta Referendum
Spanduk bertuliskan kegagalan Otsus Papua, yang diusung warga, saat berdemo di Kantor MRP, beberapa waktu lalu.(Ist.)

Jayapura, Jubi – Wacana Presiden Joko Widodo untuk menghapus Otonomi Khusus (Otsus) mendapat penolakan keras dari Gubernur Papua, Lukas Enembe dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Namun, mahasiswa Papua berpendapat lain.

Mahasiswa justru mendukung wacana Presiden Joko Widodo menghapus UU. No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.

Leo Himan, ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Universitas Cenderawasih mengatakan, sangat menyetujui rencana Presiden Jokowi. Karena, selama Otsus ada hingga hari ini, tidak pernah membawa perubahan bagi masyarakat Papua.

“Saya selaku pimpinan mahasiswa senang sekali dan setuju (Penghapusan Otsus Papua), karena Otsus tidak pernah berpihak pada rakyat. Tetapi jika Jokowi mau hapus Otsus, solusinya harus ada.”

kata Himan.

Dan solusi yang tepat untuk orang Papua adalah memberikan ruang kepada orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. “Solusi yang kami tawarkan adalah merdeka harga mati untuk Papua,” tegas Himan kepada Jubi (28/11).

Aktivis Gempar, Selphy Yeimo mengutarakan hal yang sama.

“Jika hendak menghapus Otsus ya dihapus saja. 12 tahun UU No. 21/2001 tidak berjalan sama sekali. Selama ini Otsus itu diaplikasikan dalam bentuk uang saja. Sehingga hasilnya hanya dinikmati oleh kaum elit politik. Sementara, kehidupan masyarakat dibawah tidak pernah merasakan kesejahteraan dari otsus itu,”

katanya melalui telepon selularnya kepada Jubi (28/11) dari Wamena.

Lanjut Yeimo, “Jadi kalau pemerintahan baru mau menghapus Otsus untuk Papua. Saya dengan tegas katakan, hapus saja. Karena tidak ada artinya untuk orang Papua dan solusinya berikan kebebasan penuh bagi bangsa Papua Barat,”

Selain itu, hal senada diungkapkan oleh Frans Takimai, mahasiswa Stikom Muhammadiyah Jayapura. Ia berpendapat, sudah sewajarnya Presiden memikirkan untuk memecahkan kevakuman jalannya Otsus selama 12 tahun terakhir.

“Sebaiknya Otsus dihapus saja. Karena, Otsus tidak memberikan perubahan pada tataran hidup orang Papua. Karena hasil Otsus itu dinikmati oleh para elit politik Papua,”

ujarnya di Abepura. (Arnold Belau)

Sumber: Penulis : Arnold Belau on November 29, 2014 at 18:19:49 WP, TJ

Tolak Transmigrasi dan DOB, Mahasiswa Minta Referendum

Ratusan Mahasiswa Papua dari berbagai Universitas di Kota Jayapura, menggelar aksi demo damai di Kantor DPR Papua, Senin (17/11) kemarin.JAYAPURA – Ratusan mahasiswa Papua yang tergabung dari berbagai universitas di Kota Jayapura menduduki halaman Kantor DPR Papua, Senin (17/11) siang, untuk menolak secara tegas program transmigrasi dan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua dan Papua Barat.

Kedatangan mahasiswa yang dikoordinator Pontius Mogodoman membawa sejumlah spanduk dan pamflet, bertujuan untuk menyampaikan aspirasi kepada anggota DPR Papua terkait penolakan program Jokowi untuk Papua.

“Saat ini yang dibutuhkan Papua bukan penambahan penduduk dan pejabat baru, tetapi pemerintahan Jokowi harus fokus menyelesaikan masalah dasar persoalan Papua. Jika orang transmigrasi dari Jawa didatangkan ke Papua akan menambah masalah baru. Sebab akan mengkriminalisasi orang Papua di Tanahnya sendiri. Jadi kami tegas menolak transmigrasi,”

kata Pontius Mogodoman selaku Koordinator aksi demo.

Dalam aksi demo damai mereka melakukan longmarch dari Ekspo, Waena, Abepura menuju gedung DPRP dengan membawa sejumlah sejumlah pamflet, dan spanduk diantaranya bertuliskan “Transmigrasi Adalah Pelanggaran HAM”. Ada juga tulisan “Orang Papua Tolak Trans” dan “Stop Transmigrasi dan DOB di Papua”.

Pimpinan fakultas teknik, Arius Yahuli menyatakan, kebijakan diatas kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap orang Papua dalam hal ini otsus plus yang sudah ditolak, maka kebijakan pemerintah pusat mendatangkan transmigrasi ke Papua juga ditolak secara tegas.

“Apakah Papua merupakan daerah transmigrasi?. Hari ini mahasiswa bersama rakyat Papua datang semua menolak kebijakan pemerintah pusat di Papua. Solusinya kami hanya meminta referendum,”

katanya disambut meriah para pendukung demo.

Arius menandaskan, hari ini (kemarin-red) sudah jelas kenapa ditolak otsus plus, tanpa permintaan dari Papua memasukkan transmigrasi di tanah Papua juga ditolak. “Hari ini Papua secara tegas menolak transmigrasi dan solusi lainya hanya referendum,” katanya lagi.

Untuk itu, mahasiswa Papua datang dihadapan anggota DPR Papua untuk meminta dan memohon kepada anggota dewan yang dipilih rakyat untuk mengeluarkan surat kebijakan program transmigrasi di tanah Papua sehingga orang Papua bebas berkarya di tanah ini bukan dikuasai oleh orang luar Papua.

“Kami tidak mau ada perang, kami juga minta kepada aparat keamanan sebagai perpanjangan tangan untuk menyampaikan bahwa Pemerintah Pusat menolak Otsus Plus dan kali ini Papua menolak Transmigrasi dan meminta untuk referendum,”

tukas Arius.

Arius kembali menegaskan, Gubernur Provinsi Papua secara tegas telah menolak transmigrasi di tanah Papua dan kali meminta penjelasan dan sikap dari anggota DPR Papua. Ditempat yang sama, Presiden Mahasiswa Umel Mandiri Yohanes Magai dalam orasinya mengatakan, pihaknya menolak program transmigrasi karena akan semakin membuat orang asli Papua tersisih sehingga meminta meminta kepada anggota DPR Papua agar dalam sidang paripurna perdana periode 2014-2019 hal pertama yang harus dibahas mengenai kependudukan.

“Dalam Perdasus nomor satu tahun 2008 disitu dibahas masalah kependudukan tapi itu tidak dijalankan. Yang perlu dibahas dalam sidang pertama ada harus ada Perdasus kependudukan yang membatasi orang dari luar masuk ke Papua,”

kata Yohanes Magai.

Yohanes menyatakan, mahasiswa mempertanyakan kinerja DPR Papua selama ini terkait banyaknya transmigrasi di tanah Papua dengan menggunakan jasa Kapal Putih dan Pesawat terbang.

“Harusnya hal seperti ini diperjuangkan oleh anggota parlemen Papua periode lalu. Perlu ada regulasi. Orang-orang yang dikirim ke Papua bukan orang-orang bodoh. Tapi orang-orang pintar. Kami minta DPR Papua ikut menolak ini. Kalian ini adalah putra/putri asli Papua terbaik. Harapan kami ada di lembaga terhormat ini,”

harap dia.

Hal yang sama disampaikan salah satu Koordinator Mahasiwa Umel Mandiri menyatakan, transmirgasi salah membuat virus di Papua. Pemerintah pusat sengaja mendatangkan orang luar Papua hanya membawa virus dan membunuh orang Papua sehingga secara sistematis orang Papua mati secara pelan-pelan di tanah ini.

“Kami minta kepada DPRP Papua selaku perwakilan rakyat melihat secara jeli terkait program Transmigrasi di tanah Papua. DPRP merupakan lembaga tertinggi. Bagaimana bisa mengamankan daerah ini. Kita akan disingkirkan di tanah ini kalau dibiarkan. Nanti kami yang melayani dan kami yang jadi pesuruh, sehingga kami minta hentikan pembahasan transmigrasi di tanah papua ini,”

tegasnya disambutnya meriah para pendemo.

Usai orasi, salah satu dari mahasiswa perempuan membacakan pernyataan aspirasi dihadapan sejumlah anggota DPR Papua yang intinya, pertama, mahasiswa Papua dengan tegas menolak transimigrasi karena orang Papua belum siap.

Kedua, transmigrasi hanya akan membuat orang Papua terpinggirkan dan meminta pemerintah atau DPR Papua agar menghentikan pemekaran, jangan mengatasnamakan rakyat. Selanjutnya, pernyataan sikap diserahkan ke perwakilan DPR Papua antara lain, Yunus Wonda, Eduard Kaiz, Emus Gwijangge, Yanni, Nason Utti dan Yakoba Lokbere.

Wakil Ketua sementara DPR Papua, Eduar Kaize di hadapan mahasiswa berjanji akan menindaklanjuti aspirasi itu. “Kami akan sampaikan prosesnya secara resmi sampai dimana nanti proses itu. Saya juga pernah seperti kalian, turun jalan demo,” kata Eduar.

Eduar juga meminta kepada mahasiswa untuk selalu mengingatkan atas aspirasi ini. “Kami akan perjuangkan terus dan kalau sudah ada hasil kami akan panggil untuk menyampaikan aspirasi ini,” ungkapnya.

Pada kesempatan itu, juga anggota DPR Papua, Yunus Wonda mengatakan, pergumulan rakyat Papua adalah pergumulan DPR Papua sehingga tahu betul masalah di Papua. “Kebenaran tidak akan pernah ditutupi. Kami juga dengan tegas menolak transmigrasi. Kami akan surati pemerintah pusat agar tidak ada proses transmigrasi dan kami menolak semua kebijakan yang tidak menguntungkan orang Papua,” ungkapnya.

Selain itu, pihaknya akan memperjuangkan agar tidak ada transmigrasi di atas tanah Papua. “Kami butuh dukungan dari semua rakyat Papua karena kami dipilih untuk mewakili rakyat Papua,” kata tegas Yunus Wonda.

Yunus menandaskan, aspirasi mahasiswa yang disampaikan pada hari ini pihaknya menangis karena suatu saat Papua hilang di tanah ini.

“Kami terus perjuangkan dan tidak ada cerita adanya Transmigrasi trans di tanah Papua. Kami akan mempertaruhkan segalanya. Semua sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan diatas tanah ini. Apa yang kami banggakan lagi,”

katanya. Untuk itu, Yunus menyarankan kepada mahasiswa jika kembali ke daerah agar menjelaskan hal ini kepada masyarakat dan kepada orang tua tentang masalah transmigrasi dan masalah pemekaran supaya di mengerti.

Sambung Yunus, semua kebijakan untuk Papua harus bisa mensejahterakan orang Papua. Kami sudah miskin jangan lagi kami tampung beban. Masa depan bukan ada di kami tapi di generasi Papua berikutnya. Senada disampaikan Anggota DPR Papua, Yakoba Lokbere menyampaikan, rasa bangga kepada mahasiswa karena perjuangan ini yang dilakukan sama apa yang diperjuangkan pemerintah dan teman-teman di DPR Papua. “Kami akan bawa aspirasi ini kepada Pemerintah RI untuk menjawab apa yang menjadi aspirasi masyarakat,” singkatnya. (Loy/don)

Selasa, 18 November 2014 03:16, BinPa

Marinus: DPRP Harus Berani Usul Referendum ke Pusat

JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, DPRP harus mengambil sikap tegas terhadap Pemerintah Pusat tentang UU Otsus Plus.

Menurutnya, DPRP harus berani menyampaikan kepada Pemerintah Pusat bahwa sudah waktunya digelar Referendum untuk membahas semua persoalan di atas Tanah Papua ini demi mewujudkan Tanah Papua yang damai dan sejahtera.

Mengenai sikap protes Gubernur Papua dan Ketua DPRP yang akan meletakkan jabatan apabila Pemerintah Pusat tidak mengakomodir pasal-pasal kewenangan yang luas dalam konsep plus atau RUU Pemerintahan Papua tidak terlalu mendapat simpati dan dukungan dari rakyat Papua, karena Otsus Plus sudah dari awal ditolak oleh rakyat Papua.

Rakyat Papua seluruhnya baik orang asli Papua dan non Papua serta kelompok-kelompok perlawanan terhadap pemerintah, semuanya sudah sepakat untuk menyelesaikan masalah Papua melalui dialog Damai Jakarta-Papua. Bahkan dalam rapat dengar pendapat MRP Juli 2013 lalu, seluruh perwakilan wilayah adat di Tanah Papua telah mengeluarkan keputusan untuk menyelesaikan masalah Papua melalui Dialog Papua yang damai dan bermartabat.

“Hasil rapat dengan pendapat ini kemudian dipolitisir atau dikhianati oleh Ketua MRP dengan menyampaikan hasil pleno bahwa MRP dan rakyat Papua mendukung UU Otsus plus atau RUU Pemerintahan Papua,”

ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampus FISIP Uncen Jayapura di Waena, Jumat, (22/8).

Kemudian, MRP dinilai mengkhianati orang Papua, maka kalau Pemerintah Pusat mengkhianati elit politik dan pejabat Papua melalui dicabutnya sebagian besar pasal yang mengatur kewenangan kekuasaan dalam UU Otsus plus, itu bagian dari hukum tabur tuai. Siapa menabur dusta, akan menuai dusta.

Untuk itu, dirinya menyadarkan elit politik Papua dan Gubernur Papua bahwa sampai kapanpun elit politik di Jakarta tidak akan pernah bisa percaya, mengakui dan menghargai orang Papua, para elit politik dan pejabat Papua akan selalui dicurigai sebagai kaum separatis yang akan diragukan rasa nasionalisme. Pemerintah Pusat tidak akan memberikan kewenangan kekuasaan yang besar buat Papua, kalau ada aturan hukumnya, itu hanyalah hitam diatas putih. Tidak pernah diimplementasikan dengan baik dan komprehensif.

Kasus UU Otsus Papua Tahun 2001 seharusnya sudah menjadi refleksi dan pembelajaran politik buat elit politik dan pejabat Papua untuk tidak lagi membuat kesalahan yang sama dengan percaya pada political will pemerintah pusat yang ‘Not Action Talk Only’. Sudah waktunya elit politik di Papua mengambil sikap yang tegas untuk berdiri di sisi orang Papua mendukung pilihan politik orang Papua untuk menyelesaikan masalah Papua, bukan berdiri mendukung pemerintah pusat dalam konsep Otsus Plus. Khusus buat DPRP Papua, sudah harus mengeluarkan sikap untuk mendorong dialog Damai-Jakarta-Papua atau menuntut digelarnya referendum di Papua dalam menyelesaikan konflik Papua atau kontroversi UU Otsus Papua.

“Pilihan Dialog Damai Jakarta-Papua dan referendum sudah harus menjadi senjata politik di DPRP untuk menjadikannya sebagai bargaining politic dengan pemerintah pusat. Kalau ada sikap tegas DPRP seperti ini saya pastikan pemerintah pusat, khususnya Kemendagri dan Kemenkopolhukam akan berpikir ulang dengan kebijakan yang sudah mereka ambil terhadap draff ke-14 RUU Pemerintahan Papua,”

tukasnya.

Jika Pemerintah Pusat tidak mengindahkan aspirasi DPRP tentang dua cara penyelesaian masalah Papua ini. Maka jangan salahkan orang Papua kalau kemudian orang Papua menghendaki tuntutan politik yang jauh lebih besar yakni meminta kemerdekaan. Momen ini yang tepat untuk Gubernur Papua, Lukas Enembe dan DPRP menunjukan ketegasan dan ancaman yang serius terhadap pemerintah pusat. Bila sekadar ancaman mengundurkan diri dari jabatan, tidak sama sekali mendapat dukungan rakyat Papua. Kalau mengancam dengan menggelar dialog damai Papua-Jakarta (referendum) barulah Jakarta, akan serius mendengarnya.

Hal lainnya yang disampaikan dirinya bahwa, harus diingat bahwa sebagaimana diketahui setelah Aceh redah dari kekerasan senjata, maka Papua satu-satunya wilayah Indonesia yang terus dijadikan ‘Killing Field’ untuk kepentingan politik, karena momentum agenda politik nasional tahun ini adalah Indonesia akan betul-betul membangun supremasi sipil pasca Pemilu Presiden 2014 dengan mengeluarkan militer dari kekuasaan sipil ataukah militer masih dibutuhkan dalam lingkaran kekuasaan sipil untuk menjamin stabilitas politik negara dan menjaga integrasi bangsa dari ancaman disintegrasi.

“Saya membaca bahwa kehadiran pasangan Jokowi-JK, pasangan kombinasi kekuatan sipil sebagai calon kuat pemenangan pemilu presiden dan wakil presiden 2014 ini, merupakan ancaman serius bagi dominasi militer dari kekuasaan politik selama ini. Jadi sudah saatnya DPRP tegas kepada Pemerintah Pusat,”

ujarnya.

Baginya, dirinya melihat dirinya ragu bahwa sipil belum bisa dipercaya untuk mengelola kekuasaan politik, atau kekuasaan politik ditangan sipil hanya akan membawa Indonesia pada bencana politik yang jauh lebih besar kedepannya.

Karena itu, kehadiran militer masih sangat dibutuhkan dalam politik Indonesia di era transisi demokrasi saat ini. Dengan demikian kekerasan senjata dan konflik di Papua akan semakin meningkat tajam karena memiliki tujuan untuk mengamankan kepentingan politik kelompok militer dalam pemerintahan baru ke depan pasca kempemimpinan Presiden SBY.

Berikutnya, untuk kepentingan keamanan karena ‘Mindsetnya’ Pemerintah Pusat yang melihat Papua sebagai daerah operasi militer (DOM) belum berubah sampai sekarang. Diatas kertas DOM di Papua sudah dihapuskan dan pendekatan yang dikedepankan adalah pendekatan pembangunan dan kesejahteraan. Tetapi ibarat jauh panggang daripada api. Pilihan pendekatan militer masih menjadi kebijakan utama Pemerintah Pusat terhadap Papua.

Dimana orang Papua masih dilebelkan separatisme/kejahatan sipil dan masih diragukan rasa nasionalismenya. Sehingga hanya senjata atau bedil sajalah yang adalah alat utama komunikasi pemerintah dengan orang Papua dan juga sebagai alat untuk mengendalikan keamanan di Papua.

Alat yang lain yang ditawarkan yakni dialog Papua-Jakarta dipandang sebagai alat penyelesaian tidak demokratis dan berbahaya bagi NKRI apalagi referendum,” bebernya.

Dengan demikian, dirinya menyimpulkan bahwa kekerasan senjata dan konflik-konflik yang terjadi di Lanny Jaya dan tempat lainnya di Papua kedepannya hanyalah implikasi dari pertarungan di ruang publik antara pendekatan dialog Papua versus pendekatan militer dan Otsus Plus.

“Kalau mau ciptakan perdamaian di Papua, segera buka ruang dialog damai Papua-Jakarta. Kalau pemerintah bersikeras hati dan tidak membuka ruang untuk dialog Papua, sama saja pemerintah terus memelihara konflik dan kekerasan di Papua,”

tandasnya lagi.

“Elit politik di Papua (pejabat gubernur, Ketua DPRP, Ketua MRP) dan Pemerintah Pusat adalah pihak yang harus disalahkan dari semua konflik dan kekerasan yang menimbulkan banyak korban jiwa di Papua karena kesombongan dan kekerasan hati merekalah dalam mempertahankan pendekatan militer dan Otsus Plus dalam menyelesaikan masalah Papua. Sampai kapan kamu (pejabat gubernur, Ketua DPRP, Ketua MRP) membiarkan darah umat manusia tertumpah terus diatas Tanah Papua?,”

sambungnya.

Sementara Ketua Umum Badan Pusat Pelayanan Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (BPP PGBP), Socratez Sofyan Yoman, M.A., kembali menegaskan, rakyat Papua harus berpikir untuk membangun diri sendiri dan menjadi diri sendiri. Lebih baik jangan mengharapkan orang lain, yakni Pemerintah Indonesia, karena jelas rakyat Papua dipaksakan menjadi orang Indonesia. Sebab secara etnis, ras dan geografis antara Pulau Jawa dan Papua sudah sangat beda jauh. Saya sendiri tidak memilih saat mencoblos, karena saya tidak mau berikan legitimasi bagi seorang Presiden yang tidak menyelesaikan masalah Papua.

“Indonesia hanya berhasil mengajarkan Bahasa Indonesia bagi rakyat Papua, sementara pembangunan disisi lain tidak terlalu signifikan. Ini rakyat Papua berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia karena sudah mengajarkan Bahasa Indonesia,”

tukasnya.

Jika rakyat Papua mengharapkan Jokowi menyelesaikan masalah Papua, atau Jusuf Kalla(JK)? Namun JK orangnya hanya mau menyederhanakan masalah. Karena JK wataknya seorang pembisnis, bukan seorang negarawan. Masalah Papua yang sangat substansi, yakni masalah politik, masalah pelanggaran HAM, masalah kegagalan pembangunan, itu jelas JK akan merangkum semunya dalam satu kata yaitu masalah kesejahteraan, karena JK memandang dari sisi bisnismen.

Ditegaskannya, orang Papua berpikir untuk membangun diri sendiri, bukan berarti dalam artian bahwa orang Papua mengisolasikan diri, karena pada dasarnya kita semua membutuhkan solidaritas, butuh kawan, butuh teman dan sahabat serta butuh kehidupan sosial.

Tapi pada pada intinya kita berinteraksi dengan komunitas sosial yang lebih luas, tetapi jangan lupa membangun jati diri diatas kaki sendiri dan jangan terbawa dengan nasionalisme dan budaya orang lain atau sejarah orang lain. Karena sangat berbahaya jika sejarah, budaya, bahasa, identitas kita dan nasionalisme itu hilang, sebab itu nantinya dengan mudah dikendalikan oleh orang lain. Membangun diri kita sendiri, meski kita butuh dukungan solidaritas kepada siapa saja yang punya hati nurani yang tulus (hati kemanusian), karena sejak dulu masalah Papua semakin meningkat. Contoh saja perjuangan-perjuangan Papua adalah perjuangan OPM, namun aparat TNI/Polri menyatakan itu kelompok kriminal, jelas itu sangat merendahkan.(Nls/don)

Sabtu, 23 Agustus 2014 09:06, BinPa

Dilema Referendum Skotlandia

Logo “Yes” bagi kemerdekaan Skotlandia di Selkirk, Inggris.
Logo “Yes” bagi kemerdekaan Skotlandia di Selkirk, Inggris.

EDINBURGH – Pendukung kemerdekaan Skotlandia kesulitan meyakinkan rakyat bahwa negara mereka akan bernasib lebih baik jika lepas dari United Kingdom (UK).

Skotlandia akan menyelenggarakan referendum tanggal 18 September untuk menentukan kedaulatan negara itu. Warga yang belum memastikan pilihan tengah menimbang pro dan kontra soal lepasnya Skotlandia dari kerja sama jangka panjang dengan Inggris, Wales, dan Irlandia Utara. Salah satunya Calum Carruthers, 36 tahun, ayah dua anak dari Dunblane, kota katedral dekat Edinburgh.

“Secara emosional, insting saya mengatakan ini adalah hal yang baik,” kata Carruthers, yang bekerja di bank. Namun ia menambahkan ketidakpastian ekonomi adalah kecemasan utamanya, sebuah dilema yang dihadapi banyak warga Skotlandia. “Ada banyak pro, tapi ada satu kontra besar yang menatap langsung ke saya.”

Jelang referendum, pendukung persatuan dengan UK dan pendukung kemerdekaan telah berdebat soal siapa yang dapat memberi masa depan ekonomi cerah bagi Skotlandia. Jajak pendapat menunjukkan hanya sekitar sepertiga warga Skotlandia—dari total empat juta pemilih—mendukung kemerdekaan. Sementara sekitar setengahnya lebih memilih tetap bersatu bersama UK. Jumlah warga yang belum menentukan pilihan pun masih banyak.

Alex Salmond, pemimpin pemerintahan semi-otonomi Skotlandia, menilai kemerdekaan penuh akan membawa Skotlandia bergabung bersama klub negara-negara kecil yang bahagia dan kaya seperti Norwegia, Finlandia, dan Swedia. Mereka yang menentang kemerdekaan, termasuk tiga partai politik utama di London, memperingatkan Skotlandia akan rugi besar jika lepas dari Inggris.

Jajak pendapat mengindikasikan pendukung persatuan menang dalam argumen ekonomi. Survei bulan ini oleh ICM memperlihatkan hanya 34% warga Skotlandia meyakini kemerdekaan akan menguntungkan ekonomi Skotlandia.

Pendukung kemerdekaan dalam kamp “yes” menilai lepasnya Skotlandia dari Inggris bukan hanya masalah produk domestik bruto (PDB). Kelompok ini sering terlihat mengenakan lencana biru dan putih, warna bendera Skotlandia, dan termasuk selebriti seperti Sean Connery.

Pendukung kemerdekaan memandang pemerintahan Inggris di London mengasingkan warga Skotlandia dan mengabaikan permintaan pemilih. Bagi mereka, kemerdekaan berarti pajak yang naik di Skotlandia akan dipakai di Skotlandia untuk hal-hal yang kurang didukung pemilih di Inggris. Ini seperti jaringan keamanan sosial yang lebih baik bagi rakyat miskin.

Menurut Salmond, salah satu prospek ekonomi Skotlandia sebagai negara independen datang dari energi terbarukan. Sektor ini dipandangnya sebagai pengganti mesin pertumbuhan dari cadangan minyak yang hilang di Laut Utara. Industri teknologi tinggi juga akan menyediakan lapangan kerja baru dengan gaji layak. Angka dari pemerintah Skotlandia memperlihatkan bahwa Skotlandia, sebagai negara merdeka, akan memiliki situasi finansial lebih baik ketimbang UK secara keseluruhan. Defisit anggaran Skotlandia untuk 2017 diproyeksi antara 1,6%-2,4% dari PDB, lebih kecil ketimbang prediksi defisit 3,4% untuk UK secara keseluruhan.

Pendukung persatuan—dan banyak ekonom—mengatakan proyeksi ekonomi Salmond terlalu optimis.

Departemen Keuangan UK mengatakan setiap warga Skotlandia akan lebih kaya 1.400 poundsterling per tahun jika Skotlandia tetap bergabung. Pemerintah memprediksi pajak minyak dan gas akan turun dengan laju yang lebih cepat dari laju yang dipakai Salmond dalam rencana belanjanya. Ekonom memperingatkan Skotlandia yang independen harus membayar biaya pinjaman lebih besar ketimbang UK secara menyeluruh.

19. August 2014, 17:04:52 SGT, The Wallstreet Journal

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny