Juha: Proses perdamaian Aceh bisa diterapkan di Papua

Jakarta (ANTARA) – Juha Christensen, fasilitator perdamaian Aceh, mengatakan proses perdamaian yang sudah berjalan di Tanah Rencong bisa saja diterapkan untuk menciptakan perdamaian di Papua.

“Ya, kita kan sudah buktikan di Aceh bahwa melalui proses dialog, di mana ada pihak ketiga yang independen, Itu bisa selesai konflik yang lebih dari 30 tahun,” katanya di Jakarta, Rabu.

Hal tersebut diungkapkan pria berkebangsaan Finlandia itu, saat Dialog Publik “Memaknai Perdamaian Aceh: Refleksi 14 Tahun MoU RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)”.

Juha yang sangat fasih berbahasa Indonesia mengatakan proses perdamaian yang tercipta di Aceh bisa menjadi model dan harapan penyelesaian konflik di daerah-daerah lain, termasuk Papua.

Ia menjelaskan setiap konflik pasti memiliki kondisi kekhasan tertentu yang dipengaruhi berbagai aspek, baik pernah ada di Aceh ataupun daerah-daerah lain.

“Tentu ada hal-hal, faktor khusus, seperti pada perdamaian Aceh dan perundingan Helsinki. Tetapi, kalau ada kemauan, pasti bisa. Semua negara ingin bisa selesai masalah-masalah domestik dan internalnya,” katanya.

Juha mengaku tidak terlalu memahami kondisi konflik di Papua karena memang tidak menangani sebagaimana konflik di Aceh, tetapi kunci menyelesaikan konflik adalah melalui dialog.

Mengenai pendekatan bersenjata melalui berbagai operasi untuk mengatasi konflik di Papua, ia menghormati karena TNI dan kepolisian memiliki kewenangan dan tanggung jawab masing-masing.

“Tentu ada tugas TNI, tugas Polri. Tetapi, kalau untuk konflik-konflik itu kan harus ada dialog. Apakah masalah internal domestik, atau ada masalah lebih besar, perang. Itu yang kami promosikan, dialog,” ujar Juha.

Konflik dengan kelompok sipil bersenjata di Papua hingga sekarang ini masih terus berlangsung dan menimbulkan korban dari kedua pihak. Terakhir, anggota Polri Briptu Hedar gugur setelah ditembak.

Anggota Ditreskrimum Polda Papua yang meninggal dalam penyanderaan kelompok bersenjata di Kabupaten Puncak, Papua, itu dikabarkan sempat berusaha melawan dan melarikan diri, tetapi kemudian ditembak.

PM Papua Nugini, Hon. Mr. James Marape, ingatkan PBB tentang Keputusan PIF tahun 2019 tentang West Papua

“James Marape (Prime Minister of PNG): I would also like to recall the Pacific Islands Leaders Forum decision in 2019 and the outstanding visit by the United Nations human rights mechanism to address the alleged human rights concerns in our regional neighbourhood. This visit is very important to ensure that the greater peoples of the region have peace within their respective sovereignties and their rights and cultural dignities are fully preserved and maintained (New York, 25 September, 2021).

Artinya

“James Marape (Perdana Menteri PNG): Saya juga ingin mengingatkan keputusan Forum Pemimpin Kepulauan Pasifik (PIF) pada tahun 2019 dan kunjungan luar biasa oleh mekanisme Hak Asasi Manusia (HAM) PBB untuk mengatasi dugaan masalah Hak Asasi Manusia di lingkungan regional kami. Kunjungan ini sangat penting untuk memastikan bahwa masyarakat yang lebih besar di kawasan ini memiliki kedamaian dalam kedaulatan masing-masing dan hak serta martabat budaya mereka sepenuhnya dipertahankan dan dirawat (New York, 25 September 2021.”
_____
Sumber YouTube:
(https://m.youtube.com/watch?v=ssyZWLTIijg&feature)

Sumber Facebook:
(https://m.youtube.com/watch?v=ssyZWLTIijg&feature)

#PapuaNewGuinea #PNG #UNGA76 #UnitedNation #WestPapua #PacificIslandForum #PIF

LIPI Luncurkan Papua Road Map Jilid 2

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM -Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hari ini (14/10) meluncurkan Papua Road Map (PRM) jilid II, yang merupakan revisi dari PRM yang sudah pernah diluncurkan pada tahun 2008. Peluncuran itu dilangsungkan di Auditorium Gedung Widya Graha,LIPI, Jakarta, melalui sebuah seminar berjudul Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map.

Deputi Ketua LIPI bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusian (IPSK-LIPI), Tri Nuke Pudjiastuti, dalam pidato pembukaan mengatakan PRM menawarkan empat agenda penyelesaian persoalan Papua yang saling terkait.

Pertama, rekognisi yang berorientasi pada pemberdayaan Orang Asli Papua sebagai kompensasi atas marjinalisasi dan diskriminasi yang mereka alami.

Kedua, pembangunan berparadigma baru dengan orientasi pada pemenuhan hak dasar rakyat Papua di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik.

Ketiga, dialog yang dilandasi rasa saling percaya sebagai bagian dari upaya berdamai dengan sejarah masa lalu dan untuk menyamakan persepsi melihat masa depan.

Keempat, rekonsiliasi yang berorientasi pada pengungkapan kebenaran atas kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Papua dan kesediaan otoritas negara untuk mengakuinya sebagai kekeliruan masa lalu.

Tri Nuke mengatakan Tim Kajian Papua LIPI telah melaksanakan berbagai kegiatan dan diseminasi untuk mendorong direkomendasikannya hasil kajian PRM, khususnya mengenai dialog sebagai bagian dari penyelesaian damai bagi Papua.

“Sayangnya rekomendasi hasil penelitian tujuh tahun yang lalu itu tidak diindahkan. Maka kompleksitas persoalan di Papua semakin tinggi,” kata dia.

Kini, kata dia, dalam rangka membantu merumuskan kembali makna dialog sebagai sebuah ‘strategi baru’, LIPI memutakhirkan data dan analisis lewat PRM ‘jilid’ dua ini.
Pemutakhiran data, menurut dia, difokuskan pada dua aspek. Pertama, pemetaan aktor dalam konflik Papua, yang dihubungkan dengan perkembangan gerakan politik kaum muda dan diaspora Papua di luar negeri.

Kedua, dialog sebagai pendekatan damai bagi Papua.

“Kedua hal ini dirasa paling signifikan mengalami perubahan dan merupakan elemen baru yang belum sempat dibahas pada buku PRM sebelumnya,” kata dia.

Hadir sebagai pembicara pada acara peluncuran PRM jilid II ini adalah Irjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw, Kapolda Papua mewakili Kapolri, Mayjen TNI Yoedhi Swastono, deputi I/Koordinasi Bidang Politik DAlam Negeri Kemenpolhukam, Pater Neles Tebay, Koordinator Jaringan Damai Papua, Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif LP3BH Manokwari, Adriana Elisabeth, kepala Pusat Penelitian Politik LIPI yang juga ketua tim penulis buku PRM jilid II. Seminar dipandu oleh moderator Latifah Hanum Siregar dari Aliansi Demokrasi untuk Papua.

PRM jilid II sampai saat ini masih dalam bentuk ringkasan karena masih memerlukan penyuntingan lebih mendalam. PRM jilid II diberi judul, Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map. Tim penulis terdiri dari Adriana Elisabeth, Aisah Putri Budiatri, Amorisa Wiratri, Cahyo Pamungkas dan Wilson.

Ada pun PRM jilid I, yang diluncurkan pada 2008, diberi judul Negotiationg the Past, Improving the Present and Securing the Future. Ketua tim penulis buku PRM jilid I adalah Muridan S. Widjojo, yang sudah berpulang, bersama Adriana Elisabeth, Amirudin Al-Rahab, Cahyo Pamungkas dan Rosita Dewi.

Editor : Eben E. Siadari

Di Tolikara, TNI dan Polri Nyaris Bentrok

Selasa, 09 Oktober 2012 08:24, BP

JAYAPURA – Ketegangan antara personel TNI dan Polri terjadi di Karubaga Kabupaten Tolikara Papua, Senin 8 Oktober sekitar pukul 11.35 WIT. Ketegangan yang diduga dipicu sikap arogan dari salah satu personil institusi, nyaris berbuntut bentrok, sebelum kemudian berhasil diredakan masing-masing komandan satuan.

Juru Bicara Kodam 17 Cenderawasih Letkol Jansen Simanjuntak saat dikonfirmasi membenarkan adanya ketegangan itu. “Sempat ada ketegangan di Jalan Koramil Karubaga antara oknum anggota Polri dan TNI, ini dipicu akibat adanya anggota yang sama-sama bertugas di satu daerah bersifat arogan dengan menyakiti hati seseorang dari satuan lain,”ucapnya.
Beruntung, lanjutnya, ketegangan itu langsung bisa diredam sebelum berujung pada bentrokan. “Kedua komandan satuan mampu mengendalikan personilnya masing-masing,”tandasnya.

Bahkan, tambahnya, kedua satuan sepakat untuk saling meminta maaf dan kembali melaksanakan tugas bersama sebagai aparat keamanan. “Anggota yang arogan dan menyakiti akhirnya sepakat meminta maaf kepada anggota Kompi C Batalyon 755,”terangnya.

Ditanya secara detail pemicu ketegangan, Jansen Simanjutak enggan membeberkannya, namun ia meminta semua pihak untuk membatu meredakan ketegangan. “Kami berharap semua elemen ikut serta meredakan suasan ini,” singkatnya. Juru Bicara Polda Papua AKBP I Gede Sumert Jaya saat dikonfirmasi mengatakan, belum mengetahui secara pasti peristiwa itu. “Tunggu saya cek dulu ya,”imbuhnya. (jir/don/l03)

12 Tahun Pencanangan Papua Zona Damai

Minggu, 23 September 2012 21:37

Suasana Peringatan HUT Zona Damai dilapangan Alun-alun Serui

SERUI -Tidak terasa sudah 12 tahun Kabupaten kepulauan Yapen ditetapkan sebagai daerah pencetus Zona Damai untuk wilayah Papua, pencanangan yang dilakukan tahun 2000 itu merupakan titik awal membina hubungan antara suku dan agama juga perbedaan dalam menciptakan kedamaian juga toleransi diantara masyarakat, walaupun berberda suku, beberada agama dan lainya.

Penyelesaian Konflik Aceh Beda Papua

Jumat, 07 September 2012 21:10, httpp://bintangpapua.com

JAYAPURA—Pernyataan Anggota DPD RI Drs Paulus Sumino untuk mempersiapkan rencana Dialog Jakarta-Papua, semua stake-holders (pemanggu kepentingan) harus mulai merumuskan konsep dialog yang bisa diterima semua pihak, agar konflik Papua bisa segera tuntas seperti Aceh, ditolak Anggota Komisi A DPRP Yohanes Sumarto ketika dikonfirmasi Bintang Papua diruang keranya, Sabtu (7/9).

Tokoh Partai Gerindra Papua ini mengemukakan, Dialog Jakarta- -Papua meskipun tujuannya sama dengan penyelesaian konflik yang terjadi di Aceh, namun situasinya sangat berbeda. Pasalnya, pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sangat jelas orangnya dan pengaruhnya. Sedangkan pimpinan pro merdeka di Papua ini terdiri dari banyak orang.

Dia mengatakan, Dialog Jakarta- -Papua mesti dimulai dari tingkatan masyarakat yang paling rendah. Selanjutnya, saat ini diperlukan adalah inventarisir tokoh-tokoh yang kurang puas dan selalu mengkritisi segala kebijakan NKRI. Dari inventaris tokoh-tokoh ini dicari tokoh-tokoh NKRI yang mempunyai kemampuan pendekatan baik dari segi keluarga, agama, kepentingan dan hubungan emosional. Selain itu, kata dia, Dialog Jakarta-Papua seyogyanyalah dimulai dari tahap-tahap sebagai berikut. Tahap pertama, konsolidasi dengan pemerintah untuk memperkuat kesadaran nasional bagi pejabat pemerintah, anggota DPRP, anggota DPRD, PNS dan lain-lain. Tahap kedua, konsolidasi dengan tokoh agama. Banyak tokoh-tokoh agama di Papua yang mengkritisi penyelesaian konflik Papua secara benar tapi ada pula mengkritisi dengan dasar yang tak jelas. Tahap ketiga, konsolidasi dengan tokoh tokoh adat. Pemerintah membina tokoh tokoh adat tentang kesadaran nasional, tapi pada beberapa decade ini pembinaan ini tak pernah dilakukan sehingga banyak tokoh-tokoh adat bingung bahkan ikut gerakan yang merugikan pemerintah. Tahap keempat, konsolidasi dengan generasi mudah. Gerakan yang menuntut kemerdekaan bangsa Papua Barat akhir-akhir ini sebagian besar masih mengikuti pendidikan. (mdc/don/l03)

Albert Hasibuan: Jaringan yang Dibangun JDP Harus Didukung

Rabu, 05 September 2012 21:21, http://bintangpapua.com

DR Albert Hasibuan didampingi saat diwawancarai wartawan usai bertemu MRP Rabu (5/9).
DR Albert Hasibuan didampingi saat diwawancarai wartawan usai bertemu MRP Rabu (5/9).

JAYAPURA – Trust atau kepercayaan menjadi prasyarat utama untuk membangun ruang dialog Jakarta-Papua yang menjadi salah satu agenda dari kedatangan Tim Kerja Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) di bawah pimpinan DR Albert Hasibuan selama beberapa hari di Papua.

Hal itu diungkapkan Ketua Tim Kerja dari Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan HAM DR Albert Hasibuan, saat ditemui wartawan usai bertemu dengan unsur pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP), Rabu (5/9)
Selain itu, menurutnya, proses menuju dialog juga musti didukung pemerintah, baik di tingkat Provinsi Papua maupun pusat. “Usaha-usaha Jaringan Damai Papua yang dirintis oleh jaringan damai Papua (JDP) itu harus didukung oleh pemerintah daerah, bahkan pemerintah pusat,” jelasnya.

Setelah itu, menurutnya adalah menuju proses selanjutnya yaitu berbicara tentang materi-materi apa yang akan dibahas dalam pelaksanaan dialog. “Karena hal tersebut juga sangatlah penting,” tandasnya.

Dari pertemuan yang telah digelar dengan DR Benny Giay dan Pater Neles Tebay termasuk Foker LSM dan MRP, menurutnya dialog tersebut sangat penting dan didambakan oleh masyarakat Papua untuk dilaksanakan demi menempuh jalan buntu penyelesaian masalah yang ada di Papua.

Hal itu karena, Otsus yang semua diharapkan bisa menjadi jalan tengah, dianggap gagal oleh masyarakat Papua, karena penyaluran dananya yang tidak menyentuh masyarakat. “Dan itu adalah salah satu sumber permasalahan utama,” jelasnya.
Masalah penyaluran dana yang sangat besar tersebut, menurutnya menjadi tanda tanya. “Pemerintah pusat menyampaikan bahwa telah banyak mengeluarkan dana khusus untuk Papua. Yang jadi pertanyaan kemana dana- dana itu?,” ungkapnya. Hal senada disampaikan Wakil Ketua I MRP, Pdt Hofni Simbiak, bahwa jalan dialog adalah untuk menjawab kebuntuan yang terjadi dalam upaya menyelesaikan masalah di Papua.

“Dialog dangan representasi kultural sangatlah penting, oleh karena itu perlu dibangun trust (kepercayaan) dalam rancangan dialog yang ada, sehingga masyarakat tidak merasa takut dalam dialog yang nantinya akan dilaksanakan,” ujarnya kepada Wartawan di kesempatan yang sama.

Menurutnya, pembicaraan masalah pelurusan sejarah yang mendapat penilaian sebagai tindakan yang menjurus makar atau stigma sparatis harus dihapus. “Sehingga kami minta anggapan-anggapan ini dihapuskan karena yang akan duduk dalam dialog adalah orang Papua yang juga merupakan warga Negara Indonesia,” ujarnya.(ven/aj/don/l03)

Wantimpres Bidang KumHAM Dorong Dialog Papua-Jakarta

Selasa, 04 September 2012 21:00, http://bintangpapua.com/

JAYAPURA – Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Hukum dan Hak Asassi Manusia (KumHAm), Dr. Albert Hasibuan, SH mengharapkan dialog antara Pemerintah Pusat dan Papua dapat dilaksanakan dalam masa pemerintahan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.

Hal ini diungkapkan anggota dewan pertimbangan Presiden bidang hukum dan hak asasi manusia Dr. Albert Hasibuan, SH. kepada wartawan usai melakukan pertemuan dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua, Selasa (4/9) kemarin di ruang kerja Sekda Provinsi Papua yang diterima oleh Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi Papua, Drs. Elia I. Loupatty.

Menurutnya dari hasil pertemuan Pemprov Papua telah disetujui bahwa masalah yang menimbulkan kebuntuan, status quo dan hal ini sudah muncul dari berbagai pihak. “Kunjungan ini untuk memberikan manfaat yang besar dalam dialog nantinya, sehingga dialog antara Jakarta-Papua dapat dilakukan,” katanya.

Lanjut Hasibuan, dirinya mengharapkan agar dialog Jakarta-Papua dapat dilakukan di Papua, agar dapat dihadiri oleh semua elemen masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat. Minimalnya dapat dilaksanakan dalam masa pemerintahan Presiden RI. SBY, karena diharapkan Papua dapat menjadi tanah yang penuh dengan kedamaian dan rakyatnya dapat hidup sejahtera. “Oleh karena itu, dalam kunjungan kali ini adalah untuk menghimpun berbagai materi persoalan untuk dijadikan meteri pada dialog nantinya,” jelasnya. Dalam pertemuan tadi (kemarin, red) dengan Pemprov Papua menanyakan perspektif Pemda Papua mengenai masalah – masalah apa saja yang terjadi dan perlu didahulukan seperti masalah kesehatan, pendidikan serta masalah Otonomi Khusus (Otsus). “Otsus itu yang perlu dilaksanakan, agar Otsus menjadi suatu Undang-Undang (UU) atau produk hukum yang berguna bagi masyarakat Papua. Jadi itu data-data ini nantinya akan dilengkapi dengan pemikiran dari sudut keamanan Polda Papua, TNI dan besok (hari ini, red) anggota Wantimpres Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (KumHAM) akan kembali melakukan pertemuan dengan tokoh gereja, sehingga untuk mendapatkan gambaran yang konkrit dan materi-materi yang bisa didahulukan,” imbuhnya.

“Saya memang menyadari sudah banyak kunjungan ke Papua, namun kita berharap dan akan berusaha untuk menghubungkan agar laporan saya kepada bapak Presiden SBY menjadi suatu laporan yang berbeda dan lebih praktis agar dapat dilaksanakan,” tuturnya.

Ditanya tanggapan Pemprov Papua mengenai adanya rencana dialog ini, dirinya mengaku Pemprov Papua menyambut baik adanya rencana dialog ini. “Saya mengatakan kepada mereka bahwa perlu ada dialog untuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapi oleh Pemprov Papua dan apabila dialog diadakan maka masalah yang ada dapat dibicarakan, tetapi dapat juga diselesaikan oleh semua pihak, pentingnya dialog ini untuk menembus keadaan status quo terhadap masalah yang terjadi di Papua,” terangnya.

Namun itu, lanjutnya mengenai dimana tempat pelaksanaan dialog nanti, dirinya belum mengetahui apakah dialog akan dilakukan di Papua atau di Jakarta. “Saya akan menyampaikan materi ini kepada bapak Presiden SBY. Walaupun kita berharap dialog dapat dilakukan di Papua, tetapi masalah tempat pelaksanaan dialog itu urusan pemerintah Pusat,” tandasnya.

Di tempat yang sama, Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi Papua, Drs. Elia I. Loupatty mengatakan, pada pertemuan tersebut rombongan anggota Wantimpres Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (KumHAM) menyampaikan misi mengenai dialog antara Jakarta-Papua. “Penting bagi saya terkait pesertanya tidak menjadi soal, yang mana menjadi soal yaitu bagaimana soal pesertanya, makanya harus dirumuskan secara baik,” jelasnya.

Loupatty mengatakan, konteksnya ada pada dialog tetapi mengenai pesertanya harus dipertimbangkan lagi. Dan jangan merugikan siapa-siapa, anggota Wantimpres Bidang Hukum dan HAM akan menjembatani untuk dengan semua pihak sekaligus menjaring semua aspirasi masyarakat Papua. “Sebenarnya tugas pemerintah adalah mengarah dan menuju pada kesejahteraan rakyat dan secara bertahap dan berkesinambungan secara terus menerus yang selalu dilakukan oleh institusi pemerintah daerah, Sedangkan hal-hal lain ada pada institusi lain,” tukasnya. (mir/mdc/don/l03)

Dialog Intensif, Jalan Keluar Konflik Berkepanjangan di Papua

JAKARTA – Pengamat Intelijen, Wawan Purwanto, menilai dialog intensif antara pemerintah dan dua organisasi di Papua merupakan solusi tepat untuk menyudahi konflik yang terjadi di provinsi tersebut.

Penilaian itu muncul menanggapi pengibaran bendera bintang kejora di sejumlah daerah dan penembakan yang terjadi saat HUT Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada Minggu, 1 Juli lalu. “Itu akan terus terjadi, karena memang dari tahun 1961 hingga saat ini, persoalan di sana belum kelar,” ujarnya kepada Okezone di Jakarta, Rabu (3/7/2012).

Menurutnya, sulitnya penyelesaian konflik di Papua lantaran di Bumi Cendarawasih itu dikomandoi dua organisasi berbeda, yakni OPM dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Sehingga, pemerintah perlu melakukan dialog komprehensif yang melibatkan dua organisasi untuk duduk di satu meja. “Selama ini, dibuat dialog, yang satu datang yang satu enggak. Penembakan terjadi lagi, terus yang satu bilang kami kan kemarin tidak hadir, tidak ada kesepakatan damai. gitu-gitu terus,” ujarnya.

Munculnya asumsi adanya pihak asing yang ingin menjadikan Papua merdeka, dinilainya bukanlah suatu ancaman selagi pemerintah Indonesia ingin mempertahankan Bumi Cendrawasih tersebut dalan kesatuan NKRI. Justru pihak asing dapat memberikan kontribusi untuk menyudahi konflik di timur Indonesia itu. “Dialog itu biasanya diadakan di luar negeri agar tidak adanya intervensi. Kalau diperbatasan, justru keamanannya sangat riskan,” urainya.

Selain itu, sambungnya, tugas besar pemerintah beserta aparat keamanan yakni mencari tahu dari mana asupan amunisi yang diperoleh oleh para sparatis, mengingat senjata yang mereka gunakan merupakan senjata curian dan rakitan. “Yang perlu dicari tahu itu, siapa pemasoknya,” tegas Wawan.

“Kuncinya memang peran aktif dari masyarakat sendiri untuk menyampaikan keinginan mereka, keluh kesah mereka dengan berdialog,” pungkasnya.
(ded)

“Konflik Papua Lebih Dulu dari Aceh”

JAKARTA – Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla terbukti mampu menjadi mediator dalam penyelesaian masalah di beberapa wilayah konflik yang ada di Indonesia. Pria yang sering dipanggil JK ini telah sukses menyelesaikan konflik berkepanjangan yang terjadi di Poso dan Aceh.

Atas dasar pengalaman JK tersebut, belakangan sangat santer kabar bahwa Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) ini diharapkan bersedia untuk menjadi mediator dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua.

Namun saat dimintai keterangan oleh wartawan terkait hal tersebut, JK tidak menyatakan dengan tegas kesediaannya. Dia turut prihatin atas banyaknya aksi teror yang disertai konflik di bumi Cendrawasih tersebut.

“Sebenarnya masalah Papua itu lebih duluan dibandingkan Aceh,” kata JK saat berbincang dengan wartawan di kediamannya di Jalan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (11/07/2012).

JK menyarankan agar pemerintah mampu memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Yakni dengan menerapkan program-program yang dapat berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua.

“Masalah di situ (Papua) sebenarnya bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat lewat cara yang lebih produktif,” tegas JK.

(lam)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny