Sem Karoba: Apa dan Siapa “Orang Asli Papua”?

Orang Asli Papua ialah sebuah istilah yang dapat disoroti dari berbagai sudut, semantik, sosiologis, politis, dan hukum, ilmiah ataupun awam. Akan tetapi, dalam konteks pemaksaan Otsus NKRI untuk West Papua sejauh ini dan khususnya terkait dengan gugataan Watubun tentang ke-Asli-an atau ke-Papua-an dirinya sebagai bagian dari komunitas “Orang Papua”, perlu ditinjau secara hukum, politis dan sosiologis; karena ada keterkaitan menjelaskan siapa orang asli Papua dan siapa tidak.

Kalau dikaitkan dengan hukum ketata-negaraan dan kependudukan serta hukum internasional terkait tanah leluhur dan kebangsaan seseorang dikaitkan dengan asal-usul dan tempat kelahiran, serta dikaitkan lagi dengan hukum adat, khususnya politisasi hukum adat yang sejauh NKRI berdiri sudah marak dipraktekkan dan dianggap halal, maka masalahnya semakin rumit.

Menanggapi perkembangan belakangan ini tentang ke-Papua-an Mr. Resubun, maka saya sekedar memberikan pendapat secara awam.

1. Orang Asli Papua menurut UU Otsus 21/2001

Menurut UU Otsus NKRI untuk West Papua sudah-lah jelas, siapa “orang Papua” dan “Orang Asli Papua” itu. UU Otsus menyatakan “Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua”

Memang namanya UU ini buatan penjajah, jelaslah bahwa Udang-Undang yang dibuatnya haruslah memberi peluang seluas-luasnya bagi WNI aslinya untuk memanfaatkan peluangnya sehingga “orang asli Papua” itu bukan saja ber-ras Melanesia dengan ciri rambut, kulit dan sukus serta asal-usul kampung yang jelas, tetapi siapa saja yang diakui oleh orang asli Papua bisa dianggap sebagai “orang Asli Papua”

Maka, memang benar, gugatan ini diterima, dan itulah yang MK lakukan.

2. Orang Asli Papua menurut Orang Papua Sendiri

Menurut orang Papua, Orang Asli Papua dan Masyarakat Adat Papua sudah jelas, seperti dilihat dalam tanggapan anggota DPR RI ataupun DPRP, bahwa, “Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua, pada umumnya berkulit sawo-matang (cokelat) dan berambut keriting, berasal dari salah satu suku di pulau New Guiena bagian Barat.”

Di sini orang yang ibunya atau ayahnya bukan asli Papua bisa mengkleim diri sebagai orang asli Papua, tetapi secara sosiokultural telah lama kita kenal nama mereka ialah “peranakan”, bukan asli. Peranakan Papua artinya salah satu orang tua ialah non-Papua. Pertanyaan yang tertinggal dan perlu terus kita cerahkan ialah bagaimana kalau seorang ayah Papua melahirkan anak dari ibunya non-Papua? Ia membawa marga Papua, tetapi tidak berambut keriting? Kalau ibunya Papua dan ayahnya non-Papua lebih jelas tidak serta-merta disebut orang Papua, karena menurut budaya timur dan kususnya Melanesia, identitas ayahnya lebih membawa dampak kepada identitas anak.

3. Orang Asli Papua dan Orang Papua

Kalau ada orang bertanya kepada saya, “Kamu asal dari mana?” Maka saya akan jawab, “Dari Tanah Papua”. Lalu bila ada pertanyaan, “Kamu orang apa?”, maka jawabannya, “Saya orang Papua.” Mas Joko, yang lahir di Arso, orang tuanya ditransmigrasi ke Arso sejak mereka masih muda, dan Joko ialah anak pertama dari pasangan Nudirman dan Supinah, yang waktu datang barusan menikah. Pada saat orang bertanya kepadanya, “Mas orang mana?”, atau “Kamu roang apa?”, maka pantasnya ia menjawab, “1. Saya dari tanah Papua”, dan “2. Saya orang Papua?”

Siapa sebenarnya orang Papua, dan siapa sebenarnya orang ASLI Papua? Apakah sama? Kalau berbedea, di mana perbedaannya? Memang orang Papua sendiri perlu menghabiskan waktu dan pemikiran untuk menjawab pertanyaan ini, karena ada perbedaan semantik, yang berkonsekuensi perbedaan arti secara sosio-antropologis dari keduanya.

4. Orang Papua dan Penduduk Papua

Orang Asli Papua juga berbeda dari Penduduk Papua. Saya sudah banyak membahas ketegorisasi manusia yang telah dilakukan belakangan ini dalam berbagai buku yang saya tulis, bahwa manusia modern sudah berupaya memahami dan mengelompokkan Masyarakat Adat (MADAT) dan Masyarakat Sipil, serta masyarakat lainnya dan akhirnya mengelompokkan MADAT ke dalam masyarakat sipil. Jauh sebelum itu memang sudah ada pengelompokkan seorang dan/atau sekelompok orang sebagai Penduduk dan Warga Negara dan sebagai Penghuni.

Penduduk Papua ialah semua orang yang bertempat tinggal di Tanah Papua, terlepas dari perbedaan dari mana asal-usul, ras, agama, suku-bangsa mereka. Orang Papua juga memenuhi semua syarat penduduk Papua ini, tetapi ditambah lagi dengan pembatasan “orang yang diterima ke dalam salah satu kelompok masyarakat adat Papua” dan BUKAN seperti penjelasan UU 21/2001 buatan NKRI di atas, “orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.”

Ada perbedaan antara orang yang diterima dan orang yang diakui. Orang yang diterima tidak harus berarti serta-merta mereka menjadi “orang asli Papua”, dan orang yang diterima tidak juga secara otomatis menjadi “orang asli Papua”, karena “orang Asli Papua” bukan sebuah identitas KELOMPOK masyarakat, tetapi “Orang asli Papua dalam hal ini ialah sebuah identitas etnis dan ras.

Kalau sebuah kelompok masyarakat itu ditandai dengan pembatasan identias etnis dan ras, maka jelas pengakuan dan penerimaan bukan sertamerta mensahkan ras dan etnis karena keduanya tidak dapat dipindah-akui atau ditolak-diterima oleh manusia. Identitas ras dan etnisitas ialah kodrat ilahi, yang tidak pernah diganggu-gugat dan berganti menurut perpindahan manusia secara geografis. Ini hukum alam, hukum kodrati, bukan hukum politik.

Pengakuan dan penerimaan sebagaimana dimaksud dalam UU Otsus No. 21/2001 jelas-jelas hanyalah hukum-politis, sebuah produk politik hukum, hukum yang dibuat dengan niatan politik; niatan politik yang membawa dampak kepada marginalisasi dan pembasmian ras Melanesia dari tanah leluhurnya.

Orang yang diakui juga bukan berarti secara kodrati pengakuan itu menghapus identitas ke-Asli-an yang dibawa seseorang itu sebelum pengakuannya, tidak juga berarti dengan demikian ke-asli-an ras dan etnisitasnya langsung tersulap dan berubah.

Selama ini manusia di dunia, kehiduapn di Indonesia dan masyarakat Papua mengakui bahwa ada berbagai macam kelompok manusia menurut rujukan perbedaan mereka masih-masing secara khas mencirikan mereka. Dalam contoh kasus ini, memang benar, MADAT Serui dikauinya telah “mengakui” dirinya sebagai orang Papua. MADAT Serui juga telah menerimanya sebagai orang Papua. APAKAH ITU BERARTI secara ras dan etnis Resubun menjadi ras Melanesia dan etnis Papua?

  • Apa yang kita maksudkan dengan “Orang Asli Papua?” di sini
  • Kalau itu hanya bisa dibeli dan dijual dengan cara pengakuan dan penerimaan, “Apa makna hakiki dan manfaat hakiki dari UU Otsus yang notabene katanya untuk ‘orang asli Papua’ itu?”

Kalau ada seratus atau seribu orang Jawa, Bali, Papua, Makassar, Maluku, Key, mau menggugat dan menyatakan diri sebagai “orang asli Papua”, maka ke mana harus peri kaum umat manusia berambut keriting, berkulit cokelat dengan identitas suku dan kampung yang jelas itu?

5. Hak Politik di Tanah Papua dan Orang Asli Papua

Sesuai aturan main di seluruh negara modern, semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, berhak untuk dipilih dan memilih.

Apalagi, walaupun UU Otsus dimaksud telah memberikan keistimewaan perlakuan dan pembedaan yang positiv terhadap orang asli Papua dan yang tidak asli Papua, dalam UU yang sama pula diberikan peluang seluas-luasnya bagi siapa saja untuk mengkleim diri sebagai “orang asli Papua.” Peluang itu pertama kali diperoleh Mr. Resubun kali ini. Tentu saja Resubun-Resubun berikut sudah berdiri menunggu giliran untuk mengkleim pengakuan ke-aslian-nya. Selau diucapkan mulai dari pusat sampai ke kamar mandi, “Negara Indonesia ialah negara hukum.” Salah satu hukumnya ialah UU Otsus ini. Maka UU Otsus itulah, negara hukum itulah memberikan HAK MUTLAK kepada Resubun dari saudara-saudaranya dari Indonesia untuk secara bergilir mengkleim diri sebagai orang asli Papua.

6. Komentar

Sudah lama dan sudah banyak upaya telah dilakukan NKRI, mulai dari operasi militer membabi-buta, operasi gerilya kota dan kampung, operasi intelijen, sampai operasi penjual pakaian, penjual bakso, penjual lampu remang-remang, dan sampai kepada penjual identitas dan jatidiri sebuah bangsa.

Yang diperjual-belikan dalam kasus Resubun ini ialah pengakuan DIRI PRIBADI sebagai orang lain, pengakuan orang Indonesia sebagai “orang asli Papua.” Perlu diingat, ini bukan pengakuan secara etnis dan ras, tetapi secara politis belaka. Politik selalu berubah, berubah menurut kepentingan.

Pertanyaan yang perlu saya ajukan kepada MADAT Papua yang selama ini melakukan upacara-upacara penyambutan dan pengukuhan seseorang sebagai “Anak Adat”, dan “Kepala Suku” dengan mengenakan Mahkota Burung Surga sebagai simbolnya dan aneka prosesi sejenisnya yang selama ini dilakukan khususnya menjelang Pilkada dan Pemilukada memang sangat membuat banyak orang menjadi dongkol.

  • Apa latarbelakang pengukuhan dimaksud?
  • Apakah dengan demikian seseorang itu disulap sejenak secara etnis dan ras?
  • Kalau Resubun telah berubah ras dan etnisnya menjadi orang asli Papua, maka apa yang terjadi dengan etnis dan ras bawaannya sebelum penyulapan dilakukan oleh MADAT Serui? Kapan etnisitas dan ras bawaannya dilepaskan? Atau Kapan kedua ras dan etnisitasnya di-merged, dikombinasikan, ditempelkan?
  • Apa atau siapa sebenarnya orang yang sudah berasal dari etnis dan ras yang lain tetapi kemudian diterima dan diakui oleh MADAT Papua?
  • Bukankah ini sebenarnya menentang dan merombak kodrat ilahi dan hukum alam?
  • Bagaimana seorang yang berambut lurus dan berkulit putih disebut sebagai orang Asli Papua dan dengan demikian itulah orang yang ber-ras Melanesia, etnis Papua?

Kata Lukas Eneme, Alex Hesegem, dan seluruh Kaum Papindo bahwa Otsus itu baik oleh karena itu harus didukung oleh semua orang Papua, tetapi “Siapa orang Papua semua itu?”

  • Katanya Otsus itu baik untuk membangun Papua, tetapi apa buktinya?
  • Kalau kaum Resubun dan kerabatnya mengkleim diri sebagai orang Papua, maka apa nasib suku-bangsamu? Dapatkah sebuah identitas di-merged?
  • Tidaklah salah kalau kita sebut para pendukung Otsus sebagai kaum Papindo – orang Papua-Indonesia, satu orang dengan dua identitas yang sudah di-merged?

Pencarian Jejak Penemu Teori Evolusi di Ternate

Ternate (ANTARA News) Ketenangan keluarga Paung Tjandra bakal berubah ketika pencarian jejak naturalis Alfred Russel Wallace, penemu teori evolusi, berakhir di rumah yang mereka tinggali sejak 1974.

Rumah Paung Tjandra di Jalan Nuri, Ternate, diyakini cocok dengan sejumlah informasi yang dikumpulkan Pemerintah Kota Ternate berdasarkan catatan Wallace, terutama keberadaan sumur di samping kanan rumah itu.

Sumur tersebut memang sudah ditutupi lantai semen. Tapi menurut pengakuan sang pemilik rumah, sebagai sumber air sumur itu masih utuh dan letaknya ditandai oleh sebuah pipa yang mencuat di lantai tersebut.

Sumur tersebut mendapat catatan khusus oleh Wallace dalam suratnya kepada Charles Darwin (1858), dengan menyatakan, di tempat tinggalnya di Ternate, dia memiliki sumur yang memenuhi kebutuhan hidup. Bagi dia, sumur itu merupakan barang mewah dan airnya dapat langsung diminum.

Menurut kesaksian sejumlah tetangga, pada 1980an, juga datang sejumlah peneliti dari Inggris dan Jepang yang khusus memeriksa sumur di rumah tersebut.

“Kami mengira, mereka meneliti untuk mencari terowongan ke benteng oranye,” kata seorang ibu tetangga rumah itu.

“Mengapa selalu sumur itu yang diperiksa,” kata ibu itu.

Tapi, Wakil Walikota Ternate Amas Dinsie menolak adanya “sesuatu” di balik pencarian sumur tersebut. Bagi dia, sumur itu merupakan bukti otentik yang dapat menjadi petunjuk tempat tinggal Wallace selama empat tahun di Ternate.

Yang lainnya sudah berubah jauh dari yang digambarkan Wallace. Rumah itu sudah direnovasi menjadi rumah bata pada tahun 1980an. Atapnya juga sudah berganti menjadi genteng, bukan rumbia.

Menurut kesaksian sejumlah tetangga, sumur itu memang terkenal sejak dulu, karena menjadi sumber mata air bagi sebagian warga.

Memang ada sebuah lagi sumur serupa di kawasan yang sama, namun yang tepat dengan gambaran bahwa lokasi rumah hanya lima menit perjalanan ke pasar dengan arah berlawanan dengan gunung, seperti ditulis Wallace, memperkuat keyakinan rumah itulah yang dimaksud.

Selain itu, kata Amas Dinsie, Jalan Nuri merupakan jalan lama, ketika di Kota Ternate belum banyak jalan raya. Dan, sumur lain yang disebut masyarakat sebagai sumur kuno juga, tidak terdapat di pinggir jalan dan tidak cocok dengan kondisi geografis yang disebut dalam catatan Wallace.

Maka, pada Rabu (3/12), halaman rumah Paung Tjandra digali selebar lebih dari satu setengah meter dengan kedalaman sekira semeter. Di sana, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Umar Anggara Jenie, Walikota Syamsir Andili dan wakilnya Amas Dinsie bergantian menanam batu pertama bagi pembangunan Monumen Wallace.

Selesai upacara peletakan batu pertama itu, mereka meresmikan penggantian nama jalan yang melintas di depan rumah itu, dari Jalan Nuri menjadi Jalan Alfred Russel Wallace.

Rumah milik Paung ramai dikunjungi orang. Sang pemilik hanya duduk menyaksikan semua itu dari sebuah kursi plastik di teras rumahnya setelah dia diperkenalkan kepada khalayak oleh Walikota.

Dia mengaku siap melepas rumah itu asalkan harganya sesuai. “Bergaining dulu saja,” katanya.

Inspirasi

Seperti dikutip dalam makalah Dr Abdurrahman Hoda (Universitas Khairun) yang disampai pada pra-simposium “Letter from Ternate”, Wallace menemukan tempat tinggal yang menyenangkan di Ternate setelah berpetualang di Nusantara selama delapan tahun (1854-1862).

Wallace antara lain menulis: “Aku menempati rumah ini selama tiga tahun. Saya sangat senang mempunyai tempat untuk pulang setelah perjalananku ke berbagai pulau di Maluku dan Nugini. Aku bisa mengemasi koleksiku, mengembalikan kesehatanku, dan membuat persiapan untuk perjalanan selanjutnya.”

Selama perjalanan berkeliling nusantara, Wallace mengoleksi ribuan contoh flora dan fauna.

Suatu kali, Wallace jatuh sakit karena malaria dan beristirahat di rumah yang kini dimiliki Paung tersebut. Ketika sakit itulah dia memiliki waktu untuk merenungi semua yang telah dia lakukan dalam pengembaraan intelektualnya.

Di sana pula dia menulis makalah singkat yang di dalamnya menguraikan teori seleksai alam.

Menurut Hoda, dari sana pula Wallace berkorespondensi dengan Charles Darwin mengenai pemikirannya tentang evolusi jenis yang didasarkanoleh seleksi alam yang dikenal dengan teori “Survival Of The Fittes”: siapa kuat dialah yang menang.

Wallace menyatakan keyakinannya bahwa seleksi alam adalah metode utama, bahkan mungkin satu-satunya metode, yang dapat menerangkan teroi evolusi makhluk hidup di bumi. Pernyataan Wallace itu yang kemudian menempatkan dirinya bersama Darwin sebagai penemu teori evolusi.

Tulisan Wallace, bagi Hoda, merupakan inspirasi dan semangat. Setidaknya untuk menjadikan Ternate sebagai pusat observali alam Wallace.

Selain melahirkan teori evolusi selama di rumah itu, Wallace juga memaparkan pengamatannya bahwa di Kepulauan Indonesia terdapat perbedaan besar antara fauna yang hidup di barat dengan yang di timur.

Wallace menempatkan garis imajiner antara Lombok dan Bali dan antara Kalimantan dan Sulawesi. Garis itu sebagai tanda bahwa Kalimantan, Jawa, dan Sumatera dulunya merupakan bagian Asia, Timor, Maluku, Irian, dan Sulawesi pernah menjadi bagian Pasifik-Australia.

Garis itu dikenal dengan Garis Wallace.

Pencarian jejak rumah Wallace dan pra-simposium di Ternate pada awal Desember itu merupakan bagian dari upaya mengenalkan kembali sosok Wallace sebagai penemu teori evolusi.

Itu juga sekaligus mengangkat nama Ternate, sebagai tempat yang ditinggali Wallace dalam pengembaraan intelektualnya. Sebuah rumah di kota itu pula yang disebut Wallace sebagai tempanya menghabiskan hari-hari bahagia.

Semua itu dilakukan untuk mengenang 150 tahun surat yang dikirim Wallace dari ternate kepada Charles Darwin, yang kemudian disebut “Letter from Ternate”.

Bagi Kepala LIPI Umar Anggara Jenie, pencarian jejak ilmuwan Inggris itu di Ternate diharapkan mampu mengajak warga setempat khususnya untuk meneladani sosok ilmuwan besar Alfred Russel Wallace, yang pengembaraan intelektualnya dikota itu memunculkan ide besar yaitu Teori Evolusi.

Pertemuan pra-simposium di Ternate itu kemudian menghasilkan enam poin Deklarasi Ternate.

Satu dari enam poin itu menyebut bahwa masyarakat Ternate merekomendasikan untuk membuat monumen di kota itu sebagai penghormatan atas jasa-jasa Wallace di bidang ilmu pengetahuan.

Itu untuk menghormati semangat kepioniran dalam mengangkat ilmu pengetahuan yang dilakukan Wallace, yang kemudian menghasilkan teori yang fenomenal.

Monumen yang dimaksud dapat berupa pembangunan kembali rumah Wallace dan penetapan nama Jalan Alfred Russel Wallace.

Juga disebutkan, sebagai tindak lanjut dari pra-simposium itu, diserukan kepada masyarakat, khususnya ilmuwan nasional dan intenasional agar, melakukan dan mengembangkan riset di wilayah Ternate untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat. (*)

COPYRIGHT © 2008 ANTARA

PubDate: 05/12/08 16:47

Nelson Mandela tentang Rekonsiliasi

K Bertens

Pada 18 Juli mendatang Nelson Mandela mencapai usia 90 tahun. Untuk menghormati dia, pada 27 Juni yang lalu diselenggarakan konser musik besar-besaran di Hyde Park, London, yang melibatkan banyak penyanyi top dari berbagai tempat dan dihadiri oleh sekitar 46.000 penonton. Walaupun keadaan fisiknya sudah rapuh, Namun Mandela masih sempat memberikan sambutan singkat kepada massa pengagum itu. Konser ini sekaligus memperingati konser serupa 20 tahun lalu di Stadion Wembley, ketika ulang tahunnya ke-70, yang bertujuan mendesak pemerintah Afrika Selatan agar membebaskan Mandela yang masih dipenjara saat itu.

Selama 27 tahun Nelson Mandela meringkuk di penjara. Bahkan ia dijatuhi hukuman kurungan seumur hidup. Satu-satunya kejahatannya, ia menentang sistem apartheid: pemisahan radikal antara ras kulit putih dan kulit hitam di Afrika Selatan dalam segala hal. Hanya orang kulit putih memiliki hak politik, seperti boleh memilih atau dipilih dalam DPR dan ambil bagian dalam pemerintahan. Sistem apartheid ini ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Afrika Selatan, sehingga negara ini didasarkan atas prinsip rasistis yang sangat tidak etis.

Dengan segenap tenaga Nelson Mandela melawan keadaan tidak adil ini. Untuk itu ia sudah lama bergabung dengan gerakan African National Congress (ANC) di mana ia juga menjadi ketua umum. Tujuannya adalah persamaan hak untuk semua kelompok etnis di Afrika Selatan. Pada 1960, ANC sudah dilarang, tapi para anggotanya melanjutkan perjuangan secara tersembunyi. Selama di penjara, Mandela menderita banyak. Antara lain ia harus dirawat untuk beberapa waktu karena penyakit tuberkulosis. Tetapi, di tengah segala penderitaan itu Mandela justru menjadi simbol perjuangan ANC di Afrika Selatan dan di dunia internasional.

Dibebaskan

Pada 11 Februari 1990 Nelson Mandela dibebaskan dari penjara oleh pemerintahan Presiden FW de Klerk. Pada saat itu suasana sudah berubah, karena de Klerk dan partainya, National Party, mengerti bahwa tidak ada masa depan untuk Afrika Selatan bila susunan rasistisnya tidak ditinggalkan.

Di pihak lain, Mandela menyadari juga bahwa ANC harus menghentikan perjuangan bersenjata dan mengusahakan rekonsiliasi dengan Presiden de Klerk dan pemimpin-pemimpin Afrika Selatan lainnya. Dalam hal ini, ia berbeda pendapat dengan beberapa anggota ANC lain yang lebih radikal.

Lalu menyusul beberapa tahun di mana diupayakan persiapan masa depan untuk Afrika Selatan yang demokratis. Selama 1990 dan 1991 pemerintahan Presiden de Klerk berangsur-angsur menarik kembali undang-undang yang menjadi dasar hukum untuk sistem apartheid. Pada 1993, dibentuk pemerintahan kesatuan nasional yang harus mempersiapkan pemilihan umum multiras pertama di Afrika Selatan dan sekaligus membentuk konstituante yang bertugas merumuskan undang-undang dasar baru. Pada tahun yang sama, Nelson Mandela bersama Presiden de Klerk dianugerahi Hadiah Nobel untuk perdamaian yang menggarisbawahi dukungan internasional bagi usaha damai mereka.

Selama perundingan dengan penguasa kulit putih, Mandela selalu berpegang pada prinsip one person, one vote dalam mempersiapkan pemilu demokratis. De Klerk dan partainya tidak setuju. Mereka menginginkan suatu bentuk demokratis di mana minoritas putih dan mayoritas hitam membagi kekuasaan, karena mereka mengkhawatirkan suatu pemerintahan seratus persen hitam akan membalas dendam terhadap minoritas putih, sehingga Afrika Selatan demokratis akan menjadi permulaan penderitaan bagi mereka. Keadaan diskriminasi akan ter-balik. Tetapi, Mandela tidak pernah bersedia meninggalkan prinsipnya dan hanya mempunyai otoritas moralnya untuk menjamin hak warga negara penuh untuk minoritas putih juga dalam Afrika Selatan masa depan.

Di sisi lain, Mandela harus mempersatukan partai-partai kulit hitam yang sering mempunyai keinginan sendiri, khususnya Inkatha Freedom Party, partai suku Zulu di bawah pimpinan Buthelezi. Namun, dalam upaya sulit ini pada umumnya Mandela berhasil juga. Akhirnya pada 1994 Afrika Selatan dapat mengadakan pemilu multiras pertama yang dimenangkan oleh ANC dan membuat Mandela menjadi presiden pertama Afrika Selatan yang sungguh-sungguh demokratis.
Rekonsiliasi

Nelson Mandela bukan saja menjadi tokoh moral besar dalam memerangi ketidakadilan ter- hadap kaum hitam. Sesudah perjuangannya akhirnya berhasil, ia menjadi lebih besar lagi karena bersedia mengampuni mereka yang melakukan ketidakadilan di masa silam. Jika kita ingat akan penderitaannya yang begitu panjang dan intensif, memang luar biasa bahwa ketika ia sampai mencapai puncak kekuasaan ia tidak membiarkan hatinya diracuni oleh rasa benci atau balas dendam. Ia menjadi besar teristimewa karena ia mampu memaafkan.

Ketika ia dilantik sebagai presiden pada 10 Mei 1994, ia mengimbau semua warga negara Afrika Selatan “menyembuhkan luka-luka masa lampau, menghormati hak fundamental setiap individu, dan membangun tatanan baru yang didasarkan atas keadilan untuk semua”.

Terutama atas jasa Nelson Mandela, kata “rekonsiliasi” menjadi populer di banyak tempat di dunia, termasuk Indonesia. Se- bagai presiden baru, bersama dengan partainya, ANC, yang memiliki mayoritas dalam parlemen, ia menciptakan Truth and Reconciliation Commission, berdasarkan undang-undang yang disebut Promotion of National Unity and Reconciliation Act (1995).

Mandela yakin bahwa rekonsiliasi baru dapat diwujudkan setelah lebih dulu kebenaran diakui. Oleh karena itu, komisi ditugaskan memanggil dan mendengarkan semua pihak yang terlibat dalam proses penciptaan dan pelaksanaan sistem apartheid dulu serta peristiwa- peristiwa kekerasan yang terjadi saat itu. Baru setelah kebenaran diketahui dan diakui, pengampunan dapat diberikan dengan segenap hati. Inilah cara paling baik untuk menyelesaikan masalah masa lalu yang suram itu.

Yang menjadi ketua Truth and Reconciliation Commission adalah Uskup Desmond Tutu. Dialah tokoh besar lain yang memainkan peranan penting dalam memperjuangkan penghapusan diskriminasi kejam untuk mayoritas hitam di Afrika Selatan. Ia juga dianugerahi Hadiah Nobel untuk per- damaian karena kontribusinya sangat besar kepada perjuangan itu (1984) dan kemudian memperoleh beberapa hadiah kemanusiaan.

Yang dikatakan Presiden Mandela tentang Desmond Tutu dalam acara perpisahannya sebagai Uskup Agung Cape Town (1996), sebenarnya berlaku juga tentang dirinya sendiri: “Ia merasa senang dengan keanekaan kita dan memiliki semangat tulus untuk mengampuni. Dua ciri yang memberikan kontribusi tak terhingga kepada bangsa kita, sama dengan gairahnya untuk keadilan dan solidaritasnya dengan kaum miskin”.

Ada alasan lain lagi mengapa Nelson Mandela termasuk tokoh politik terbesar dalam abad ke-20. Ketika ia dipilih sebagai presiden pertama di Afrika Selatan demokratis pada usia hampir 75 tahun, ia langsung menyatakan bahwa masa jabatannya satu periode saja. Ia tidak berambisi sedikit pun untuk mempertahankan kuasanya. Dan setelah masa pemerintahannya selesai, ia tidak campur lagi dalam pemerintahan penggantinya, meskipun otoritas moralnya tetap luar biasa besar.

Sayang sekali, Presiden Mugabe dari negara tetangga Zimbabwe dan beberapa penguasa lain tidak belajar dari sikap luhur ini. Seandainya mereka mau belajar, banyak tragedi tidak perlu terjadi.

Penulis adalah anggota staf Pusat Pengembangan Etika Unika Atma Jaya, Jakarta

Last modified: 12/7/08

Inflasi Moralisme dan Rasionalitas Kekuasaan

Inflasi Moralisme dan Rasionalitas Kekuasaan Thomas Koten Panggung-panggung elite negeri mutakhir tidak henti-hentinya mempertontonkan paradigma kekuasaan yang tidak pernah bebas dari kritik masyarakat yang penuh sinisme. Masalahnya, kekuasaan yang semestinya menjadi “panggung” untuk mengelola negara semakin dijadikan sebagai ajang untuk menguras harta. Gelagat suap dan korupsi di Mahkamah Agung, DPR, politik uang, dan berbagai kebobrokan di tingkat elite, memperlihatkan betapa kaum elite atau penguasa negeri ini selalu melakukan berbagai akrobat yang tidak terpuji tanpa malu-malu. Yang menarik, pada saat yang bersamaan diskursus mengenai moralitas pun begitu menyengat, memenuhi akustik ruang publik. Seruan mengenai pentingnya nilai-nilai moral dan etika tidak henti-hentinya digelontorkan untuk diperbincangkan dengan harapan ia menjadi bahasa profetik yang dapat mencerahkan kehidupan keberbangsaan. Dengan pengandaian bahwa moralitas dan nilai-nilai etik yang disuarakan dapat menjadi obor penerang bagi penyelesaian berbagai persoalan bangsa, karena ia dapat mendorong perbaikan perilaku elite negara. Ironisnya, kata-kata agung yang disuarakan itu tetap menjadi bahasa sunyi yang hilang ditiup angin. Keadaan ini tidak ubahnya di era Soeharto, di mana Orde Baru sendiri merupakan wujud nyata dari sebuah tatanan politik yang mencoba menempatkan moralitas dan nilai-nilai etik lainnya dalam persoalan-persoalan publik. Setiap penyelewengan di birokrasi tidak diakui sebagai sebuah pelanggaran hukum, tetapi hanya dikatakan sebagai kesalahan prosedur. Maka, birokrasi pun selamat dari “cacat moral” dan karenanya tidak harus bertanggung jawab secara hukum. Tetapi, lebih ironis lagi paradigma moralitas yang benar-benar gagal dalam eksperimentasi Orde Baru itu terus direproduksi melalui cara-cara yang hampir sama. Berbagai “cacat moral” yang menyergap dalam diri kaum elite, misalnya, bukan saja dilindungi oleh institusinya, justru institusi dikonsolidasi untuk melindungi “cacat moral” yang menyergap oknum. Inflasi Moralisme Kekuasaan sesungguhnya adalah “panggung” dalam mengelola negara. Tetapi, tatkala kekuasaan diartikan sebagai dunia perebutan takhta dan harta negara maka yang terjadi di arena kekuasaan adalah aksi korupsi, “saling memeras”, dan setiap lawan politik yang dianggap mengancam dibabat sampai habis. Demi memuluskan jalan menuju kekuasaan atau demi mempertahankan kekuasaan, teman yang baik pun boleh dikhianati. Karena dalam arena kekuasaan dan politik khususnya selalu berlaku adagium, “tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan”. Atau dalam politik, kepentingan adalah panglima. Demokrasi yang semestinya menjadi ruang agung bagi terciptanya kemaslahatan bersama pun dapat berubah menjadi ruang pertikaian yang tanpa ujung. Ruang demokrasi yang lazim dijalankan dengan mekanisme suara terbanyak dapat berubah menjadi ruang rembuk untuk menghasilkan permufakatan jahat. Demokrasi yang mewajibkan praktik deliberasi, yaitu keterlibatan aktif rakyat dalam mengawasi dan mengontrol roda penyelenggaraan negara, dapat dibelokkan untuk mendukung kepentingan politik pihak yang kuat atau yang berkuasa. Suara rakyat dieksploitasi demi memenangkan kepentingan politik kekuasaan. Maka bermuaralah kita pada persoalan moralitas. Moralitas hakikat dasarnya menawarkan suatu sistem prinsip-prinsip dan nilai-nilai agung yang terkait dengan perilaku manusia, yang umumnya diterima oleh suatu masyarakat tertentu. Bagi Immanuel Kant, hukum moral merupakan suatu kewajiban dan hukum batas moral. Duty and obligation are the only names ‘for’ our relation to the moral law. Tetapi, apakah nilai-nilai moral yang digemakan dan menjadi tema sentral dalam diskursus publik dapat memperbaiki karakter para penguasa? Pertanyaan ini menjadi penting tatkala kekuasaan itu senantiasa digunakan sebagai kesempatan dan areal untuk menguras uang negara, sehingga kekuasaan cenderung merusak moralitas dan mencederai karakter para pemilik kekuasaan. Segala “cacat moral” atau “penyelewengan moral” di antara para penguasa malah ditutup-tutupi oleh rekan-rekannya. Pembohongan masyarakat umum dianggap prestasi. Dalam dunia politik, misalnya, masyarakat bahkan sering menyebut politisi yang licik mengatasi segala permainan kotor di dalam arena politik dianggap sebagai politisi tulen. Maka dalam hal ini, terhadap para penguasa yang doyan menyelewengkan moral, seruan, dan imbauan moral ibarat menepuk air di dulang, tidak ada manfaatnya. Atau, mengharapkan perbaikan karakter para penguasa hanya dengan imbauan moral, ibarat membuang kapas di hulu sungai atau sama artinya menggarami lautan. Sehingga, tidak heran pula jika tema moralitas kerap ditertawakan para ahli dan dikorupsikan oleh penguasa dan politisi sendiri. Moral yang merupakan pusat orientasi sikap dan perilaku elite menjadi sia-sia. Ditandingi Sejak Karl Marx menempatkan moralitas manusia ke dalam bangunan atas ideologis yang hanya berfungsi melegitimasikan struktur-struktur kekuasaan yang mapan, harapan bahwa perbaikan moralitas para penguasa akan menunjang perbaikan dalam kehidupan masyarakat, dianggap naif, kolot, tidak realistis, bahkan dicurigai sebagai ideologis sendiri. Sejak itu pula segala inflasi moralisme dari atas ditandingi dari arah yang sama oleh inflasi penyelewengan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa dan pengabaian terhadap nasib rakyat yang kurang beruntung. Oleh karena itu, benar kata Perdana Menteri Inggris William Gladstone, sejarah pemerintahan merupakan salah satu wajah paling bejat dari umat manusia. Sebagaimana juga kata Herbert Hooner, presiden ke-31 AS, yang dikutip oleh harian The New York Times edisi 9 Agustus 1961, When there is a lack of honor in government, the morals of the whole people are piosened (moralitas seluruh bangsa akan teracuni jika tidak ada martabat dalam pemerintahan. Bagaimanapun, moralitas tetap menjadi sosok yang abstrak, entah betapapun kerasnya ia disuarakan dan sangat gencar dalam wacana dan diskursus publik. Sebab, moralitas dalam konteks apa pun, terutama dalam konteks kekuasaan, bukan menyentuh unsur privat, melainkan justru bersentuhan dengan moralitas publik, seperti kejujuran, keterbukaan, keadilan, kesejahteraan dan kebaikan. Moralitas itu menjadi bermanfaat sejauh diakomodasikan dalam bentuk kontrol dan kritik publik dengan aturan main lain yang sifatnya “mengikat” diikuti segala sanksi hukumnya. Maka dalam mengkritisi penguasa dengan segala sepak terjangnya bukan hanya sesuatu yang bersentuhan dengan moralitas, tetapi hendaknya pula ditekankan pada rasionalitas, yaitu rasionalitas kekuasaan. Proses-proses kekuasaan hendaknya diarahkan bukan hanya pada paradigma moralitas, tetapi juga pada paradigma rasionalitas sebagai penjelasan. Karena dunia kekuasaan dan politik adalah dunia yang begitu riil, rasional, dan obyektif. Juga karena jika peralihan dari paradigma moralitas ke paradigma rasionalitas saja pun tidak akan langsung memperbaiki keadaan, terutama di tengah realitas masyarakat kita yang oleh Alasdair MacIntyre dalam Whose Justice? Which Rationality (1988), dikatakan, kurang memiliki rational consensus terhadap rentetan masalah moral yang sedang terjadi. Padahal, sama sekali tidak dapat dimungkiri bahwa peran rasionalitas sangat menentukan apa yang akan dilakukan oleh masyarakat atau seseorang, dan bagaimanakah seharusnya bertindak. Karena memang kasus-kasus sosial, politik-kekuasaan dan ekonomi dalam negara bermula dari perilaku penguasa-elite negara dan warga negara yang melupakan pentingnya rasionalitas dan nilai-nilai moral dasar dalam hidup, seperti keadilan, kejujuran, dan kebenaran. Penulis adalah Direktur Social Development Center Last modified: 8/7/08

Demokrasi Khas Indonesia?

Jeffrie Geovanie

Demokrasi Kesukuan: Suatu Pengantar, Sem Karoba, dkk.
Demokrasi Kesukuan: Suatu Pengantar, Sem Karoba, dkk.

Mengapa kita harus berlindung dibalik adagium yang segalanya khas Indonesia, sampai dalam berdemokrasi pun, kita lebih suka atas nama khas Indonesia?

Saya kira, sumbernya berakar dari kerapuhan karakter, mentalitas inferior, yang kemudian menemukan justifikasi dalam pemaknaan nasionalisme yang sempit. Dengan begitu, reformasi boleh saja digagas dan digerakkan, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) boleh saja digagas dan ditegakkan, tapi jangan coba-coba dilepaskan dari apa yang disebut dengan kearifan lokal. Maka tak perlu heran, atas nama kearifan lokal, demokrasi dan HAM terdistorsi sehingga kehilangan substansi. Continue reading “Demokrasi Khas Indonesia?”

SP Daily: Politik atau Politisasi Agama?

Richard Daulay

engenai hubungan agama dan negara sebuah tesis berbunyi: Revivals often occur when politics is broken, when it fails to address the most significant moral issues of the day. Social movement then rise up to change politics, and the best movements usually have spiritual foundations” (Kebangunan rohani biasanya muncul ketika politik rusak, ketika politik gagal mengatasi isu-isu penting menyangkut moralitas masyarakat. Kemudian gerakan sosial muncul untuk mengubah politik dan gerakan sosial yang benar biasanya mempunyai dasar spiritual yang kuat). (Jim Wallis, The Great Awakening: Reviving Faith & Politics in A Post-Religious Right America. (New York: HarperCollins, 2008), hal 2) Continue reading “SP Daily: Politik atau Politisasi Agama?”

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny