Inside the West Papua Resistance

The Organisasi Papua Merdeka (OPM) was first created in the 1960s by a group of comrades who called themselves West Papuan Freedom fighters. The organization was created to fight the Indonesian Army, which had occupied large parts of West Papua after the Dutch colonialists withdrew.

The movement grew rapidly in the late 1970s with fighters joining its ranks in all major provinces of West Papua. Their operations mainly consisted of attacking Indonesian patrols. Over the years it started to carry out more sophisticated  attacks on foreign mining companies, such as blowing up pipelines in the Grasberg mine in Freeport.

It carried out assaults on civilian aircrafts in Timika, targeted foreign migrant workers, and kidnapped foreigners and journalists during the infamous Mapenduma incident.

The militant wing of the OPM allegedly had ties to former Libyan dictator Muammar Gaddaffi, who had also supplied weapons to the group. Some senior OPM Commanders underwent training in Libya in the 1990s.

The diplomatic wing of the OPM also received support from the government of Senegal in the 1990s and were permitted to open a mission in Dakar.

Today, the military wing has many splinter groups who operate independently.

Some factions have agreed to a truce with the Indonesian government; others continue to wage their guerrilla campaign.

Photojournalist Rohan Radheya  was allowed to follow elements of the military wing, visiting their headquarters deep within the jungles of West Papua.

Source: https://thediplomat.com/

Belajar dari Pengalaman Perwakilan OPM di Senegal

Jayapura, 25/5(Jubi)–Aktivis pejuang Papua Merdeka Filep Jacob Semuel Karma yang akrab dipanggil Jopie Karma  telah mengingatkan agar pengalaman perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Senegal jangan sampai terulang lagi. Peringatan ini penting dalam menjalin kerja sama dengan Persaudaraan Ujung Tombak Negara Negara  Melanesia di Pasifik Selatan.

Namun yang jelas Karma mendukung upaya yang dilakukan West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL)untuk perjuangan Papua Merdeka sebagai wakil bangsa Papua di MSG. Lebih lanjut  kata Karma dalam perjuangan Papua Merdeka, semua kelompok dalam faksi-faksi membagi-bagi peran dan tugas masing-masing untuk mencapai kemerdekaan.

Mendiang Ben Tanggahma mantan Kepala Perwakilan Organisasi Papua Merdeka(OPM) di Senegal pernah bertugas selama beberapa tahun di sana dan mendapat dukungan dari pemerintah Senegal. Sayangnya beberapa tahun kemudian pihak pemerintah Indonesia dengan kekuatan modal melakukan pendekatan dan kerja sama ekonomi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Senegal. Akibatnya kantor Perwakilan OPM di Senegal ditutup karena kekuatan modal yang dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kondisi ini diperparah lagi dengan munculnya faksi-faksi dalam perjuangan Papua Merdeka, sehingga memperlemah perjuangan Papua Merdeka.

Ben Tanggahma mengatakan sebagai sesama bangsa kulit hitam memang banyak negara-negara Afrika sangat mendukung Papua Merdeka tetapi negara-negara Afrika yang miskin dan butuh dukungan kerja sama ekonomi. Kondisi inilah yang terkadang mengenyampingkan kesamaan kulit dan ras demi kepentingan kepentingan politik yang lebih besar.

Prof Dr Nazaruddin Sjamsoddin dalam bukunya berjudul, Integrasi Politik di Indonesiamenyebutkan  secara umum bisa dikatakan OPM sebagai sebuah organisasi perjuangan terbagi atas dua jenis gerakan yang masing-masingnya mengkoordinasikan kegiatan politik dan militer.

Dalam penelitiannya tentang Integrasi Politik di Indonesia, Nazaruddin menulis ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya gerakan politik dan militer bekerja sama dengan baik dalam perjuangan Papua Merdeka.

Faktor yang pertama tentu saja keterbatasan ruang gerak yang disebabkan oleh operasi-operasi militer dan tindakan-tindakan lain yang diambil oleh Pemerintah Indonesia.

Belakangan setelah reformasi di Indonesia 1998, salah satu  pemimpin Papua  alm Theys Hiyo Elluay lebih memilih perjuangan damai dalam sopan santun politik. Soalnya bagi Theys kemerdekaan Papua sudah ada pada 1 Desember 1961 dan tinggal mengembalikan hak-hak politik.

Kedua, adanya latar belakang suku yang berbeda di antara sesama pemimpin OPM baik di kalangan militer maupun politiknya yang sering menimbulkan perbedaan interpretasi atas sasaran-sasaran perjuangan dan perbedaan kepentingan.

Ketiga adanya perbedaan iedologi di antara sesama pemimpin OPM; di antara mereka ada yang berorientasi ke kanan dan ada pula yang kekiri. Keempat, kekurangan dana membatasi kegiatan pemimpin-pemimpin politik OPM, termasuk hubungan mereka dengan pemimpin gerakan militer. Kelima pembatasan-pembatasan yang dikenakan pemerintah Papua New Guinea(PNG).

Kegiatan-kegiatan Papua Merdeka di luar negeri pertama kali berpusat di Negeri Belanda di mana terdapat dua pentolan pemimpin Papua masing-masing alm Markus Kaisiepo dan Nicolas Jouwe. Belakangan Nicolas Jouwe , Frans Alberth Yoku dan Nicolash Meset kembali ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia

Selain di Negeri Belanda ada juga kelompok yang tinggal di Stockholm Swedia pada 1972 sudah membuka perwakilan OPM di sana. Bahkan mendapat dukungan dari sekolompok akademisi senior beraliran Marxis di Universitas Stockholm, Swedia. Kantor ini ditutup pada 1979 ini karena kekurangan dukungan dana. Begitupula perwakilan OPM di Dakar, Senegal didirikan pada 1976 dan mendapat dukungan-dukungan  dari negara-negara Afrika selama beberapa tahun.

Markus Kaisiepo lebih percaya kepada kekuatan militer untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga bekerja sama dengan Door de eeuwen trouw, sebuah Yayasan yang menjadi tulang punggung pemerintahan dalam pengasingan RMS dibawah kepemimpinan Ir Manusama beberapa waktu lalu.

Pemimpin OPM di Dakar dan Stockhol lebih banyak dikuasai oleh pemimpin muda seperti alm Ben Tanggahma.Perwakilan OPM di Dakar didukung sepenuhnya oleh Presiden Senegal Senggor antara lain dengan menyalurkan dana-dana swasta. Ben Tanggahma juga dibantu oleh beberapa negara kelompok Brazzaville 13 yang memang tidak mendukung Indonesia dalam pembahasan masalah Irian Barat di PBB sejak 1960 an.

Sedangkan dukungan di Pasifik Selatan, terutama negara-negara Melanesia Vanuatu membuka perwakilan di sana pada 1983. Vanuatu yang mendorong agar sesama negara Melanesia saling membantu dalam perjuangan dan kepentingan politiknya. Agaknya pemerintah Papua New Guinea (PNG) akan mempunyai posisi yang sulit karena berbatasan langsung dengan Indonesia (Provinsi Papua). Apalagi  Perdana Menteri (PM) pertama PNG  Michael Somare telah menegaskan tidak mendukung OPM di dalam perjuangan Papua Merdeka.

Namun yang jelas letak geografis antara sesama negara Melanesia bisa menjadi salah satu faktor pendukung guna menjalin kerja sama antar persaudaraan Melanesia. Pesan Filep Karma soal perjuangan dan dukungan negara-negara sesama Melanesia sangat penting tetapi jangan sampai pengalaman di Senegal terulang lagi. Pasalnya perbedaan pendapat dalam perjuangan politik dan juga dukungan dana bisa menjadi penghambat.

Apalagi pendekatan politik dan ekonomi pemerintah Indonesia bisa menjadi  posisi tawar bagi negara-negara Ujung Tombak Persaudaran Melanesia. Perjuangan Papua Merdeka juga akan mendapat tekanan dari tiga negara penting di Pasifik Selatan masing-masing Papua New Guinea(PNG), Selandia Baru dan Australia. Ketiga negara ini mempunyai hubungan politik dan ekonomi yang sangat baik dengan pemerintah Indonesia.(Jubi/Dominggus A Mampioper)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny