Pola hidup OAP Telah Tercemar oleh Gaya dan tradisi Orang Pendatang

Ya, benar, ini sebuah tragedi kemanusiaan yang telah menimpa salah satu kelompok manusia di muka Bumi, bernama bangsa Papua, ras Melanesia, yaitu bahwa “Pola hidup OAP Telah Tercemar oleh Gaya dan tradisi Orang Pendatang Melayo-Endo”

Pertama, kita lihat dan kita alami setiap hari, dari apa yang kita makan,semua orang Papua hari ini makan nasi, IndoMie dan makanan Malayo-Endos. Pada acara kenegaraan maupun acara keluarga, semua orang Papua hari ini lebih suka merayakan hari-hari penting dan hari-hari biasa dengan memakan nasi dan sayur ala orang Melayu. Sudah lupa dan bahkan sudah menganggap ketinggalan zaman kalau makan Ubi (erom) dan Sagu/ Papeda.

Yang ada di dalam perut sendiri sudah makanan non-Papua, jangan harap apa yang keluar dari dalam tubuh yang diisi dengan makanan asing itu adalah asli Papua. Iti bohong.

Terlihat dari pola makan OAP. Dan kedua gaya bahasa OAP yang sudah jauh melenceng jauh dari gaya hidup dan budaya OAP.

Kedua, sampai hari ini, dalam setiap acara-acara besar yang digelar di pesisir maupun gunung Tanah Papua tidak ada nuansa asli yang menonjol yang menceritrakan gaya hidup manusia pibumi Papua.

Ini merupakan suatu ancaman kepunahan sistem kebudayaan di Papua . Nilai budaya bukan barang hiasan untuk dipampang pada saat tertentu, namun harus mewarnai kehidupan setiap hari. Jika nilai benda budaya orang Papua dipakai hanya untuk momen-momen tertentu, berarti kita sedang terpenjara dalam sistem kebudayaan Bangsa Lain

Pola hidup orang Asli Papua telah tercemar dengan gaya dan tradisi orang Pendatang (Indo-Melayu). Terlihat dari pola makan dan gaya bahasa yang sangat melenceng jauh dari gaya hidup kebudayaan OAP. Sampai hari ini, dalam setiap acara-acara besar yang di gelar di pesisir pantai maupun gunung

Salam Perlawanan OAP….alam Perlawanan OAP….

Ini Hasil Diskusi KPP: Mengenal Lebih Dekat Perempuan Mamta

By Kabar Mapegaa 03.16.00

Yogyakarta, (KM)- Komunitas Perempuan Papua (KPP), Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (09/09), kembali mengadakan diskusi terbuka, dengan tema, “Saatnya Perempuan Papua Bangkit dan Bersuara”. Kegiatan ini berlangsung di asrama Bintuni, Babarsari, belakang Kampus I YKPN.

Zuzan Crystalia Griapon, menjadi moderator dalam diskusi kali ini dengan topik “Mengenal lebih dekat perempuan Mamta” dan mempersilakan kepada penyaji materi tentang kehidupan perempuan di Mamta yang dibawakan oleh Yoha Pulalo.

Yona Palalo adalah mahasiswi pascasarjana Univesitas Gadjah Mada Yogyakarta, juga sebagai salah satu guru relawan Papua.

Dalam diskusi tersebut, mereka menggangkat masalah penindasan perempuan Papua pada umumnya dan lebih khususnya Perempuan-perempuan di wilayah adat Manta. Wilayah adat Mamta merupakan wilayah adat sekitar Jayapura. Wilayah adat Mamta juga merupakan wilayah adat terbesar dengan 87 suku. Wilayah Mamta terdiri dari: Port numbay, Sentani , Sarmi, dan Keroom.

Secara garis besar, Yona menyampaikan kehidupan perempuan- perempuan Papua di wilayah adat Mamta, kemudian mempersilakan peserta diskusi untuk menyampaikan pendapat berupa tanggapan, pertanyaan serta solusi.

Dalam diskusi tersebut, mereka (perempuan) menentang semua penindasan-penidasan terhadap perempuan yang atas namakan nilai-nilai adat istiadat dan pembangunan yang mana laki-laki berada pada kedudukan tertinggi dalam segala bidang.

Mereka berpendapat bahwa, Laki-laki dan perempuan berada di muka bumi ini ada tugasnya masing-masing, masing-masing ada jatahnya. Akan tetapi marginalisasi terhadap perempuan Mamta, secara terang-terang terjadi. “Budaya patriarki itu benar-benar dirasakan oleh perempuan-perempuan di Mamta,” tegas salah satu mahasiswi yang juga berasal dari Manta saat dikusi berlangsung.

Katanya, tanah adat dijual oleh laki-laki, perempuan tidak dapat berbuat apa-apa, tempat bercocok tanam mama-mama sudah mulai tergeser. Padahal nenek moyang berpesan untuk melindungi tanah, akan tetapi apa yang terjadi, tanah dijual. Hal ini berdasarkan kenyataan yang sedang dialami saat ini di Mamta, tanpa keterlibatan perempuan didalamnya.

Hal ini bertolak belakang, yang seharusnya laki-laki yang menjaga tanah adat, tetapi mala sebaliknya perempuan berusaha untuk melindungi tanah adat mereka. Niat baik perempuan Mamta untuk melindungi tanah mereka namun mereke (perempuan) tidak ada nilainya didepan laki-laki Mamta.

Sementara itu, mereka juga berpendapat bahwa tulang punggung warga itu ada di perempauan. Mereka juga menolak keras terhadap budaya patriarki.

Perempuan tidak ada ruang dan hak untuk bersuara demi tanahnya sendiri, perempuan ditindas oleh nilai budaya itu sendri. Ruang lingkup perempuan sangat sempit. Perempuan terus ditindas. Hal ini Karena adanya nilai-nilai budaya setempat yang masih melekat.

Menurut mereka, kesadaran kritis itu harus ada di Perempuan Papua. Tanah dan manusia Papua ada ditangan Perempuan Papua. Kami perempuan Papua sangat merasakan penindasan. Namun , tidak menutup kemungkinan, bahwa suatu saat nanti perempaun akan hadir sebagai pengambil keputusan akan tetapi hal ini membutuhkan waktu yang panjang.

Sementara itu, seperti yang dikutip oleh media ini, saat diskusi berlangsung, ada beberapa penindasan yang terjadi terhadap perempuan Papua pada umumnya dan khususnya perempuan Mamta, diantara: Perempuan ditindas oleh budaya itu sendiri, laki-laki menduduki kedudukan tertinggi disegala lini, Perempuan tidak mendapat kesempatan dalam menyuarakan tanahnya, Pengambil keputusan dalam segala hal dilakukan oleh laki-laki, Perempuan menindas perempaun atas dasar nilai-nilai adat, Tanah itu adalah mama, tetapi kenyataannya adalah tanah itu bapak, Penduduk asli mulai tergeser, lahan-lahan milik mereka dijual oleh laki-laki. Orang asli menyinggir atas nama pembanggunan.

Moderator diskusi, Zuzant mengatakan, diskusi ini ruting dilakukan perminggu sekali, untuk minggu besok, kami akan mengadakan dikusi dengan topik: Mengenal Lebih dekat Perempuan-perempuan Meepago.

Untuk itu, lajut Zuzant, kami mengharapkan keterlibatan laki-laki untuk menghadiri setiap diskusi kami adakan perminggu sekali. (Manfred/KM)

Keanggotaan MSG akan Lebih Terbuka

Delegasi ULMWP menuju kota Honiara dari Honiara International Airport, Selasa (12/7/2016) – Jubi/Victor Mambor
Delegasi ULMWP menuju kota Honiara dari Honiara International Airport, Selasa (12/7/2016) – Jubi/Victor Mambor

Honiara, Jubi – Keanggotaan Melanesia Spearhead Group (MSG) akan dibahas secara khusus dalam pertemuan para pemimpin MSG di Honiara, 14-16 Juni 2016.

“Ide tentang keanggotaan MSG yang lebih terbuka akan menjadi pembahasan khusus dalam pertemuan para pemimpin nanti. Ini berarti, kelompok internasional atau regional maupun negara yang tidak berada dalam blok Melanesia bisa menjadi anggota penuh ataupun anggota asosiasi,” jelas Ketua MSG, Manaseh Sogavare kepada wartawan usai bertemu dengan Pimpinan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Octovianus Mote dan Benny Wenda di Mendana Hotel, Honiara, Rabu (13/7/2016).

Ia mengaku sudah memberikan instruksi kepada Sekretariat MSG untuk membuat persyaratan dan panduan baru keanggotaan MSG. Menurutnya, panduan dan persyaratan ini nantinya harus dipahami oleh para pihak yang ingin menjadi anggota MSG.

“Para pemimpin akan diberikan kesempatan bertemu dengan ULMWP,” lanjut Sogavare.

Ia menambahkan, dukungan Fiji terhadap perjuangan bangsa Papua berpemerintahan sendiri juga telah dibicarakan.

“Dukungan dari lima anggota MSG ini datang dari dalam hati,” tambah Sogavare.

Benny Wenda dan Octovianus Mote, dua pemimpin ULMWP, usai bertemu Sogavare mengatakan ULMWP sebagai perwakilan bangsa Papua sudah siap dengan konsekuensi jika nantinya diterima sebagai anggota penuh.

“Bangsa Papua sejak dulu adalah bagian dari Melanesia. Kami tentu sangat ingin berinteraksi dengan sesama saudara Melanesia kami di Papua New Guinea, Solomon, Vanuatu, Fiji dan Kanaki,” ujar Wenda.

Papua, menurut Wenda ingin mulai melakukan interaksi dengan sesama saudara Melanesianya melalui olahraga, terutama sepakbola. Selain itu, para mahasiswa dan pelajar dari Papua bisa dikirimkan untuk belajar di Perguruan Tinggi di Kepulauan Solomon atau Vanuatu.

“Suatu saat nanti, orang Papua bisa belajar di Papua New Guinea dan juga sebaliknya,” tambah Mote.

Mengenai kewajiban sebagai anggota untuk membayar iuran setiap tahun, Mote mengatakan bangsa Papua sadar bahwa itu adalah konsekuensi sebagai anggota penuh.

“Kami siap melakukan semua kewajiban sebagai anggota. Termasuk jika suatu saat nanti bangsa Papua harus menjadi tuan rumah pertemuan pemimpin MSG, saya yakin bangsa Papua juga siap,” jelas Mote.

Belakangan ini, iuran keanggotaan menjadi isu penting di MSG setelah Front Pembebasan Kanak (FLNKS) tidak bisa memenuhi kewajiban mereka. Direktur Jenderal MSG, Amena Yauvoli, kepada wartawan menjelaskan situasi FLNKS sangat dimengerti oleh anggota MSG lainnya sehingga kontribusi FLNK dikurangi mulai tahun depan.

“MSG akan mengurangi budget operasional sekretariat untuk mengatasi masalah keuangan ini,” kata Yauvoli. (*)

Up ↑

BANANA Leaf Cafes

Multi-Brands, Multi-Purposes

Fly Wamena

Book Flights from & to Wamena

Koteka Tribal Assembly

for Peace and Harmony in New Guinea

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)