Pola hidup OAP Telah Tercemar oleh Gaya dan tradisi Orang Pendatang

Ya, benar, ini sebuah tragedi kemanusiaan yang telah menimpa salah satu kelompok manusia di muka Bumi, bernama bangsa Papua, ras Melanesia, yaitu bahwa “Pola hidup OAP Telah Tercemar oleh Gaya dan tradisi Orang Pendatang Melayo-Endo”

Pertama, kita lihat dan kita alami setiap hari, dari apa yang kita makan,semua orang Papua hari ini makan nasi, IndoMie dan makanan Malayo-Endos. Pada acara kenegaraan maupun acara keluarga, semua orang Papua hari ini lebih suka merayakan hari-hari penting dan hari-hari biasa dengan memakan nasi dan sayur ala orang Melayu. Sudah lupa dan bahkan sudah menganggap ketinggalan zaman kalau makan Ubi (erom) dan Sagu/ Papeda.

Yang ada di dalam perut sendiri sudah makanan non-Papua, jangan harap apa yang keluar dari dalam tubuh yang diisi dengan makanan asing itu adalah asli Papua. Iti bohong.

Terlihat dari pola makan OAP. Dan kedua gaya bahasa OAP yang sudah jauh melenceng jauh dari gaya hidup dan budaya OAP.

Kedua, sampai hari ini, dalam setiap acara-acara besar yang digelar di pesisir maupun gunung Tanah Papua tidak ada nuansa asli yang menonjol yang menceritrakan gaya hidup manusia pibumi Papua.

Ini merupakan suatu ancaman kepunahan sistem kebudayaan di Papua . Nilai budaya bukan barang hiasan untuk dipampang pada saat tertentu, namun harus mewarnai kehidupan setiap hari. Jika nilai benda budaya orang Papua dipakai hanya untuk momen-momen tertentu, berarti kita sedang terpenjara dalam sistem kebudayaan Bangsa Lain

Pola hidup orang Asli Papua telah tercemar dengan gaya dan tradisi orang Pendatang (Indo-Melayu). Terlihat dari pola makan dan gaya bahasa yang sangat melenceng jauh dari gaya hidup kebudayaan OAP. Sampai hari ini, dalam setiap acara-acara besar yang di gelar di pesisir pantai maupun gunung

Salam Perlawanan OAP….alam Perlawanan OAP….

Bainimarama : Tradisi dan Budaya Melanesia Harus Dipertahankan dan Dikembangkan

Perdana Menteri Fiji, Voreqe Bainimarama saat menerima pemberian dari masyarakat adat Kanak (Jubi)
Perdana Menteri Fiji, Voreqe Bainimarama saat menerima pemberian dari masyarakat adat Kanak (Jubi)

Noumea-Kaledonia Baru – Perdana Menteri Fiji, Voreqe Bainimarama, yang akan digantikan sebagai ketua Melanesian Spearhead Group menekankan kebutuhan untuk menjaga budaya dan tradisi Melanesia.

Bainarama menyampaikan hal ini dalam upacara pembukaan secara adat yang dilakukan di wilayah otoritas adat Kanak, di Noumea, New Caledonia, Rabu (19/06). Para pemimpin negara-negara MSG dan undangan disambut dengan sebuah prosesi adat masyarakat Kanaky. Prosesi adat ini berlangsung unik, karena setiap pemimpin negara Melanesia yang datang harus menyerahkan sesuatu yang dibalas juga dengan penyerahan patung asal Kanaky dan Yam (umbi-umbian) untuk ditanam di negara masing-masing para peserta MSG.

PM Bainimarama menjadi tamu utama dalam prosesi pembukaan ini. Ia menekankan pentingnya generasi Melanesia mempertahankan kekayaan budaya dan tradisi Melanesia.

“Ini menunjukkan kepada saya bahwa kami telah mempertahankan kekayaan budaya Melanesia dan tradisi melalui setiap generasi dan memberikan kekompakan pada masyarakat Melanesia secara bersama-sama,” kata PM Bainimarama.

“Ini merupakan hak istimewa dan suatu kehormatan bagi saya dan saya berbicara atas nama semua delegasi di sini, bahwa kita semua telah menciptakan ruang untuk berbagi dalam warisan budaya yang berbeda. Dan khusus Kanaky, anda telah menyambut kami dengan prosesi adat yang menunjukkan kekayaan budaya Melanesia.”

lanjut Bainimarama.

PM Bainimarama menegaskan bahwa budaya dan tradisi Melanesia adalah hal yang membedakan Melanesia dari masyarakat lainnya di seluruh dunia. Ia menambahkan bahwa pekerjaan saat ini yang sedang dilakukan oleh MSG adalah untuk melindungi dan melestarikan pengetahuan tradisional Melanesia.

“MSG telah mengembangkan inisiatif di bawah perjanjian perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya untuk membuat kebijakan yang akan melindungi dan melestarikan budaya dan tradisi apakah itu ekspresi melalui cerita rakyat, lagu dan tari, pengetahuan, seni atau flora dan fauna,”

kata PM Bainimarama. 

Bainimarama menekankan untuk memberikan pengetahuan tradisional kepada generasi muda agar budaya dan tradisi Melanesia berkembang.

“Saya menekankan di sini bahwa pengetahuan tradisional adalah kekayaan intelektual dan salah satu yang tidak dapat dipelajari di sekolah. The Melanesian Arts Festival dan inisiatif lainnya untuk menangkap informasi budaya harus terus didorong. Kami sekarang memiliki teknologi untuk melakukan ini dan harus penuh memanfaatkan ini untuk keuntungan kami sehingga kekayaan budaya dan tradisi tetap hidup untuk generasi yang akan datang, “

kata PM Bainimarama.

Dalam prosesi pembukaan secara adat ini, selain delegasi negara-negara MSG, hadir juga delegasi Indonesia sebagai observer yang dipimpin oleh Wakil Mentri Luar Negeri, Wardana bersama Michael Manufandu dan staff kedutaan Besar RI di Canberra, Australia. Juga hadir sebagai undangan khusus, delegasi West Papua National Coalition Liberation (WPNCL) yang dipimpin oleh John Otto Ondowame.(Jubi/Adm)

June 20, 2013 ,05:46,TJ

Titus Pekei: “Noken Papua Mengandung Banyak Nilai”

Direktur Ecology Papua Institute, Titus Christoforus Pekei (Jubi/Levi).
Direktur Ecology Papua Institute, Titus Christoforus Pekei (Jubi/Levi).

Nabire — Di tengah maraknya tokoh politik di bumi Papua, muncul seorang peneliti dan penggagas muda asal tanah Papua  yang peduli dengan budayanya. Dia adalah, Titus Christoforus Pekei, SH, Msi, yang berhasil mendaftarkan tas tradisional Papua yang dikenal dengan nama: Noken  ke tingkat internasional dalam sidang PBB di Paris, Prancis, beberapa waktu lalu.

“Tanah Papua sangat potensi dengan sumber daya alamnya dan juga ilmu-ilmu dasar, dalam hal ini adat tradisi yang mana mengasa kreatif atau berimajinasi melalui kerajinana tangan yang sangat kaya, salah satunya tas tradisional Papua bernama Noken,”

kata Titus yang juga Direktur Ecology Papua Institute (EPI), beberapa waktu lalu di Deiyai, Papua.

Sebagai ajakan bagi masyarakat tanah Papua, kata Titus, terutama para pengrajin dan juga yang paling utama pemangku kepentingan di tanah Papua, baik dari gubernur hingga tinggkat terendah, pemimpin agama hingga tingkat terendah dan lembaga swadaya masyarakat agar benar-benar melihat hal ini. Sebab sekarang Noken telah ditetapkan dan diakui sebagai warisan dunia.

“Kita harus kembali mendalami ilmu Noken ini. Sebab Noken mengajarkan kita tentang berbagi, demokrasi dan kebenaran,”

kata Titus, yang penulis buku Manusia MEE di Papua dan buku Cermin Noken Papua ini.

Menurut Titus, awalnya Noken yang  dianggap sebuah benda yang di mata orang mungkin tak bermanfaat. Namun sebenarnya di dalam Noken, tersimpan banyak makna atau nilai.

“Karena itu, kita harus mengedepankan nilai-nilai yang terkandung dalam arti Noken in. Sebab tanpa Noken, tidak ada kehidupan dan  tanpa noken tidak ada kebersamaan,”

kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini.

Titus mengatakan, bagi siapa saja yang nantinya terpilih menjadi pimpinan di suatu daerah, mestinya harus mengenakan atau menggunakan Noken sebagai simbol pelantikan wadah untuk menyimpan aspirasi masyarakat.

“Saya fikir jika kita mengenakan Noken, artinya bahwa ia (pemimpin), juga merupakan anak adat yang maju tanpil di provinsi maupun di daerah,”

katanya. (Jubi/Ones Madai)

 Monday, January 7th, 2013 | 15:40:21, TJ

Ini Alasan Noken Papua Masuk Warisan Budaya Dunia

Jayapura, (5/12) -– Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta mengaku, alasan kuat noken Papua (tas tradisional) ini diterima dan diakui serta disahkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia karena terancam globalisasi dunia. Selain itu, noken ini terancam punah dan mendesak untuk dilindungi.
Hal ini terkuak dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta bekerja sama dengan Balai Nilai Budaya wilayah Papua dan Papua Barat di Hotel Horison Jayapura, Papua, Rabu (5/12). Dalam FGD itu, Anton Wibisono dari Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta mengatakan, alasan noken Papua diajukan untuk disahkan sebagai warisan budaya dunia karena terancam globalisasi.

Globalisasi menimbulkan berbagai macam ancaman. Berbagai ancaman itu bisa saja dari Sumber Daya Alam (SDA) tapi juga dari Sumber Daya Manusia (SDM). Bertolak dari itu, noken perlu dilestarikan dan dijaga sebagai suatu budaya turun temurun dari leluhur orang Papua. Anton Wibisono menuturkan, noken Papua lulus nominasi warisan budaya tak benda yang sudah diakui dan disahkan oleh UNESCO sejak 4 Desember 2012 di Paris, Perancis.

Melalui kerangka acuan FGD yang diterima, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, globalisasi dunia saat ini disamping menciptakan transformasi sosial tapi juga hubungan baru antara masyarakat. Selain itu, menimbulkan fenomena dan ancaman-ancaman terhadap perusakan warisan budaya takbenda, khususnya kurangnya sumber daya untuk melindungi warisan tersebut.

Menyadari hal itu, pemerintah Indonesia berusaha untuk melindungi noken sebagai warisan budaya takbenda dengan mendaftarkannya warisan budaya Indonesia termasuk noken dalam daftar warisan budaya tak benda Unesco. Noken telah diusulkan pemerintah Indonesia melalui kemenrian pendidikan dan pariwisata pada 2011 untuk masuk dalam daftar warisan budaya tak benda Unesco. Tas tradisional asal Papua ini diusulkan karena membutuhkan perlindungan mendesak.
Kepala Kantor Balai Nilai Budaya wilayah Papua dan Papua Barat di Jayapura, Apollo Marisan mengaku, FGD yang digelar merupakan implikasi dari penetapan noken sebagai warisan dunia yang telah ditetapkan oleh UNESCO di Paris, Perancis sejak Selasa, 4 Desember 2012.

Noken adalah aspek paling mendukung karena merupakan salah satu budaya orang Papua. Impilikasi dari penepatan itu, salah satunya adalah membangun diskusi. Diskusi bertujuan untuk memperoleh beberapa konsep yang diharapkan pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan cq Direktorat Internalisasi Nilai dan Dipolomasi Budaya.

Dari konsep yang dihasilkan, kata Marisan, selain dibawa ke Jakarta, konsep itu juga akan dititipkan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua agar kedepan bagaimana pemerintah mengambil langkah untuk dapat dapat mewujudkan noken sebagai warisan budaya khusus. “Mungkin ada perda (peraturan daerah) yang akan mengakomodir itu sebagai salah satu aksi dimana dalam rangka pelestarian noken ini. Dengan demikian akan berdampak luas, baik secara ekonomi bagi masyarakat,” ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, masih banyak hal-hal yang terkandung dalam noken ini yang perlu diangkat ke permukaan dalam rangka pembinaan generasi muda guna pembinaan karakter sebagai jati diri bangsa. Marisan menambahkan, Balai Nilai Budaya wilayah Papua dan Papua Barat mengajukan noken ke UNESCO untuk mendapat pengakuan internasional sejak tahun 2011.

Naga Biniluk, salah satu pengrajin noken asal Kabupaten Tolikara, Papua, yang hadir dalam FGD mengatakan rata-rata warga Tolikara membuat noken untuk dijual. Hasil dari penjualan, digunakan untuk membiayai sekolah dari anak-anaknya. “Kami di Tolikara itu buat noken untuk biaya sekolah dari anak-anak kami mulai dari sekolah taman kanak-kanak sampai ke perguruan tinggi,” ungkapnya. Naga menuturkan, bahan yang digunakan untuk membuat noken berasal dari kulit pohon hutan dan tali hutan. Salah satu jenis pohon yang biasanya diambil lalu digunakan kulitnya untuk noken adalah pohon genemo.
Sementara, pewarna noken, ia mengaku warga Tolikara biasanya menggunakan beberapa jenis buah hutan. Diakhir kesaksian Naga, ia berharap dengan lulusnya noken sebagai nominasi warisan budaya dunia, para pengrajin noken diperhatikan dan diberdayakan. Mereka (pengrajin noken) juga diharapkan agar difasilitasi. Generasi muda juga diharapkan menyukai dan dapat membuat noken.

Ketua Komunitas Noken Papua (Konopa), Marshel Suebu mengatakan, untuk melestarikan noken, pihaknya telah berupaya membentuk komunitas. Komunitas berhasil dibentuk dengan Komunitas Noken Papua (Konopa). Kemudian, komunitas ini berupaya untuk mendapatkan lebel penjualan noken untuk ditetapkan di hasil karya noken yang sudah dibuat untuk siap dipasarkan. “Nama lebelnya sudah didapatkan dari kementrian hukum dan HAM Republik Indonesia,” ujarnya.

Komunitas ini baru dibentuk tahun 2012 ini, bertepatan dengan upaya pemerintah pusat mendorong noken untuk menjadi warisan budaya dunia. Semenjak Konopa terbentuk, banyak noken yang sudah dibuat dan dipasarkan. Menurut Marshel, noken Papua perlu dijaga dan dilestarikan karena merupakan sejumlah simbol dan makna. Diantaranya, sebagai simbol kejujuran, simbol persatuan dan kedamaian. Selanjutnya, bermakna kesuburan bagi kaum wanita.

Tetapi, kata dia, sampai saat ini, banyak orang terutama generasi muda masih beranggapan bahwa noken adalah hal yang biasa tak bermakna dan memiliki symbol tertentu. “Sampai sekarang masih banyak orang anggap noken sebagai hal yang biasa. Tidak bermakna dan memiliki symbol tertentu,” tuturnya. Dia menambahkan, ketika nilai-nilai dan symbol-simbol serta nilai-nilai yang terkandung dalam noken diketahui, diharapkan disampaikan ke khayalak umum agar diketahui baik Indonesia maupun dunia luar tahu bahwa noken Papua sangat penting.

Kepala Dinas Pariwisata Kota Jayapura, Everth Merauje mengatakan berbicara tentang noken berarti tidak terlepas dari harga diri orang Papua. “Bagi orang Papua, kalau harga dirinya diganggu, pasti dia mengamuk dan berontak,” cetusnya. Everth menilai, noken merupakan salah satu kearifan lokal. Untuk itu, noken perlu dijaga dan dilestarikan. Indentifikasi jenis-jenis noken juga penting untuk dilakukan. Everth berjanji, kedepan pihaknya akan mengupayakan noken sebagai satu item pariwisata.

Pantauan tabloidjubi.com, dalam Focus Group Discussion yang digelar oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta bekerja sama dengan Balai Nilai Budaya wilayah Papua dan Papua Barat di Hotel Horison Jayapura, dihadiri oleh pengrajin noken di kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura. Turut hadir dalam diskusi itu, sejumlah instansi terkait, akademisi dan mahasiswa. (Jubi/Musa)

Penulis : Musa Abubar | Wednesday, December 5th, 2012 | 19:53:28, Jubi

Papua Tak Maju Karena Orang Papua Saling Mencelakai

JAYAPURA – Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua, Drs.Willem Ch.Rumbino,MM, mengatakan, Tanah Papua tidak maju, mandiri dan sejahtera rakyatnya, karena antara orang asli Papua sendiri saling mencelakai.

Artinya bahwa orang Papua yang satu dengan yang lainnya tidak mau melihat sesamanya duduk dalam sebuah jabatan atau kehidupan sudah mulai membaik (meningkat kesejahteraan hidupnya) mereka berusaha menjatuhkan dengan segala cara sesamanya yang sudah maju kehidupannya itu.

Hal lainnya, adalah sesama orang Papua tidak saling mendengar, mereka pada umumnya saling mempertahankan prinsip. Disamping itu pula, salah satu faktor lainnya yakni, Papua memiliki ratusan suku dan beragam bahasa daerah, sehingga terkadang hal itu menjadi hambatan dalam berkomunikasi.

“Papua tidak maju karena ratusan suku, dan bergam bahasa, itu hambatan pembangunan, tidak ada bahasa Papua yang mempersatukan,”

ungkapnya dalam memberikan sambutannya pada kegiatan pagelaran seni dan budaya di Ekspo Waena, belum lama ini. Menurutnya, selama ini masyarakat selalu menyatakan bahwa Papua kaya dan indah, tapi tidak ada upaya untuk menggali dan memperindahnya khususnya kekayaan alam akan seni dan budaya misalnya yang perlu ditingkatkan dan dilestarikan, sebab jika tidak, tentunya dalam 5 tahun atauu 10 tahun mendatang seni dan budaya asli Papua akan hilang.

Dengan demikian, diharapkan ada apresiasi dan kemauan masyarakat dalam memperluas kesempatan masyarakat untuk menikmati dan mengembangkan potensi yang luar biasa di Tanah Papua ini, demi kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan hidupnya, salah satunya tentang seni budaya ini.

“Seorang harus kreatif, dituntut untuk menata dan menciptakan karya-karya baru yang bermutu, memiliki nilai estetika yang tinggi, tapi juga mempunyai nilai ekonomis, sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat, dengan demikian seniman akan mendapatkan nilai tambah untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya,”

jelasnya.(nls/don/l03)

Rabu, 21 November 2012 18:40, www.bintangpapua.com

Papua Ideal Untuk Penelitian Etnoarkeologi

Senin, 1 Juni 2009 06:13 WIB | Peristiwa | Unik | Dibaca 139 kali
Jayapura (ANTARA News) – Dengan kondisi budayanya yang beragam, wilayah Papua dan Papua Barat menjadi tempat yang ideal untuk kegiatan penelitian bertema etnoarkeologi.

Kepala Balai Arkeologi Jayapura, Drs.M.Irfan Mahmud,M.Si di Jayapura, Senin mengatakan, penelitian etnoarkeologi penting untuk mengetahui sejarah perkembangan budaya masyarat mulai jaman pra sejarah hingga sekarang.

“Sebagian masyarakat yang mendiami Pulau Papua secara keseluruhan masih melaksanakan dan mewarisi budaya nenek moyang mereka,” ujarnya.

Etnoarkeologi merupakan salah satu cabang dari ilmu arkeologi yang mempelajari sisi etnik atau perkembangan budaya dari suatu masyarakat berdasarkan bukti-bukti peninggalangan berupa artefak.

Jika merujuk pada jumlah bahasa daerah yang masih digunakan di wilayah Papua, jumlah etnik yang menempati pulau ini mencapai 300 suku.

Sementara itu, sebagian besar bahkan hampir seluruh etnik masyarakat ini masih melakukan beberapa aktivitas yang sama atau mirip dengan nenek moyang mereka beberapa generasi yang telah lewat.

Misalnya kegiatan bercocok tanam menggunakan alat-alat cangkul sederhana yang belum tersentuh teknologi tinggi yang sampai saat ini masih dikerjakan masyarakat di daerah pegunungan.

Selain itu, ada pula aktivitas menokok atau mengolah sagu yang dilakukan masyarakat yang tinggal dekat daerah pesisir.

Kegiatan-kegiatan budaya seperti ini, menurut Irfan secara substansial masih sama dengan yang dilakukan masyarakat masa lalu. Perbedaan yang tidak terlalu signifikan biasanya terletak pada peralatan atau media yang digunakan yang semakin meringankan pekerjaa yang dilakukan

“Tapi dasar budayanya tetap sama,” tandasnya.

Kondisi inilah yang menjadikan penelitian etnoarkeologi dengan mudah dilakukan karena bukti arkeologinya jelas dan lengkap.

Salah satu faktor yang menyebabkan sebagian masyarakat Papua memiliki kekayaan etnoarkeologi yang masih bertahan kemurnniannya adalah keadaan geografis yang menjadi hambatan, terutama masyarakat daerah pegunungan untuk berinterkasi intensif dengan budaya dari komunitas di luar etnik mereka.

“Warisan budaya yang sangat berharga ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kegiatan ilmiah yang hasilnya digunakan untuk merancang bentuk pembangunan yang sesuai dengan tradisi masyarakat Papua,” jelas Irfan.(*)

COPYRIGHT © 2009

Jhon Ibo: Budaya Masyarakat Semakin Terkikis

Catatan SPMNews:
Buat Drs. John Ibo: APAKAH ADA HARAPAN DAN DOA UNTUK MEMPERTAHANKAN BUDAYA PAPUA SELAMA INDONESIA MENDUDUKI TANAH AIR DAN MENJAJAH BANGSA ANDA?
Kalau BISA, mana buktinya, dari seluruh contoh yang ada di muka bumi?
==================

SENTANI-Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Drs John Ibo,MM menilai budaya dan adat istiadat masyarakat saat ini sudah semakin terkikis dengan masuknya dampak globalisasi hingga mengikis nilai-nilai budaya itu sendiri.

Dicontohkan, banyaknya pemuda yang kurang menghargai nilai-nilai kemasyarakatan (moral). Hal ini akibat dampak pergaulan yang tidak memiliki keterkaitan dengan sejarah maupun adat setempat.

“Saat ini budaya itu sudah jauh karena pergeseran norma-norma kemasyarakatan yang majemuk dimana jarang ditemukan pemuda yang mau bekerja dan melestarikan budayanya sendiri,” ujar John Ibo usai peresmian Huluva Kombo Ifale atau sentra kerajinan dan pendidikan kampung di Kampung Ifale, Jumat (5/9).

Bentuk lain yang dari kesimpulannya bahwa nilai budaya mulai terkikis nampak pada postur atau ornamen yang melekat pada sebuah rumah khususnya orang asli Papua kini tidak nampak lagi dan banyak yang sudah diganti dengan bentuk etnik dari sebuah arsitektur modern.Padahal menurut John Ibo dengan menampilkan ornamen asli Papua meskipun skala kecil sama artinya ikut melestarikan budaya dan mepromosikan sebuah ciri khas daerah.

Karenanya dari peresmian Kombo ini diharapkan bisa menjadi inpirasi khususnya bagi kaum pemuda agar bisa kembali menggali nilai yang hilang itu mengingat didalam Kombo tetap mengandung unsure pendidikan bagi generasi muda, tempaan dan dibentuk kepribadian dimana nantinya akan dijadikan ujung tombak dalam pembangunan dikampungnya sendiri.

Lanjut pria kelahiran Sentani ini sebuah daerah bisa dianggap besar dan kuat jika mampu mempertahankan nilai budaya itu sendiri namun yang terjadi saat ini justru kebalikannya dan John Ibo cukup sedih dengan kondisi ini. (ade)

Politik Devide et Impera Terbukti dalam Politik Pemekaran NKRI di Papua Barat dari Sudut-Pandang Sosio-Budaya

Pengalaman adalah Guru Terbaik, Pengalaman Indonesia diadu domba Belanda Telah Menjadi Guru untuk Mengadu-Domba bangsa Papua

Banyak orang Papua pada umumnya, dan khususnya dalam minggu ini untuk orang-orang Papua di pegunungan tengah kelihatan sekali bergembira lantaran telah disahkan Lima Kabupaten Baru di sana. Dalam politik NKRI disebut sebagai “pemekaran”. Dalam kamus TRPB/OPM adalah politik devide et impera. Keduanya bisa dibuktikan oleh orang Papua sendiri: Apakah ‘pemekaran’ yang terjadi ataukah pecah-belah dan adu domba. Continue reading “Politik Devide et Impera Terbukti dalam Politik Pemekaran NKRI di Papua Barat dari Sudut-Pandang Sosio-Budaya”

Editorial: Politik dan Wajah Perjuangan Bangsa Papua

Antara Politik "Buru-Pungut" dengan Politik "Tanam-Pungut/Tuai"
Papua Barat penuh dengan kekayaan alamnya yang melimpah ruah. Demikian juga dengan bahasa, budaya dan tradisinya begitu kaya-raya. Penduduk yang jumlahnya tidak mencapai 2 juta itu mendiami luas wilayah 3 kali Pulau Jawa. Dari sekitar 2 juta itu memiliki sekitar 250 suku dan bahasa yang berbeda. Dibandingkan dengan Jawa, perbedaan yang sangat menonjol hanyalah antara Jawa, Madura dan Sunda, sementara hampir seantero pulau berbahasa-budaya satu dan sama saja. Lebih meluas lagi, kalau kita menyebarang ke Pula sumatera, Kalimantan dan Sulawesi serta Bali, maka bahasa dan budaya mereka hampir sama saja. Memang mereka semua bertutur bahasa Melayusoid.

Berbeda halnya dengan bangsa Papua, yang beretnis Melanesia, tetapi dengan jumlah yang sedikit tetapi memilik keragaman budaya yang begitu tajam. Secara garis besar sering ada kategorisasi Pantura, Pantai Selatan, Pesisir dan Pegunungan. Sementara Belanda membaginya ke dalam tujuh Kelompok Masyarakat Hukum Adat, atau masyarakat berdasarkan kemiripan dan perbedaan yang dimiliki dari sisi seni, budaya, tradisi dan bahasa.

Persamaan yang hampir merata di antara orang Melayu ini memberikan warna politik yang memang sama di antara mereka. Hampir tidak kelihatan perbedaan, apalagi tidak ada peluang kemunculan pertentangan di antara mereka. Semua seia-sekata, senasib-sepenanggungan, sepaham-sejalur, searah-seirama.

Wajah politik di Papua Barat tidaklah demikian. Sama halnya dengan perbedaan budaya dan bentangan luas wilayah yang begitu besar, demikianlah politik yang dimainkan antara satu dengan yang lain begitu berbeda, dan jurang perbedaan itu nampaknya membentang luas, hampir sulit dibayangkan di mana titik temunya.

Memang sejak Papua Barat dan bangsa Papua terlibat dalam politik masyarakat modern, kita membawa serta perangai dan tabiat kita dalam tradisi dan budaya masing-masing. Tradisi berburu dan memungut, tradisi berkebun, bercocok dan menuai, serta tradisi mengail dan memanen, tradisi menokok dan mengkonsumsi, semua ini mewarnai politik bangsa Papua.

Suku-suku di Papua Barat yang berangkat dari tradisi bercocok tanam memiliki filsafat politik, pendekatan, dan strategi perjuangan yang begitu berbeda daripada yang dimiliki orang Papua di pesisir. Perbedaan ini saya beri julukan "Politik BUru-Pungut" dan "Politik Tanam-Panen"

Politik Tanam-Panen memiliki ciri nampak sangat perlahan dan sangat diam. Ada filsafat berkebun di situ: "Sebelum Anda mengundang teman dan tetangga untuk membantu Anda berkebun, Anda harus membuat pagar sekeliling kebun itu, entah sebesar apapun atau sekecil apapun juga. Anda harus membabat rumput sekeliling pagar itu, seluas satu atau dua meter besarnya mengelilingi pagar kebun baru dimaksud. Pada saat Anda menyelesaikan pagar dan pembersihan rumput itu, orang akan tahu bahwa Anda akan mengundang sesama untuk bergotong-royong. Pada saat si pemilik kebun itu memulai bekerja ia tak pernah nampak di pasar, di pertandingan-pertandingan, bahkan dalam rapat-rapat dan berbagai pestapun ia mengurung dirinya. Yang jelas ia tak bisa meninggalkan kebun yang barusan ia mulai. Ia memulai berkebun sebelum matahari terbit, dan pulang setelah matahari terbenam. Bahkan orang serumahpun jarang melihat wajahnya, apalagi berbicara dengannya. Sebegitu ia tahu pagar dan pembersihan rumput itu mencapai sekitar 80%, maka suaranya akan kedengaran, walaupun wajahnya tidak kelihatan. Honai Adat memonitornya, bahwa sang pemilik kebun sudah bersuara dan kedengaran suaranya dari Honai Lelaki, berarti sudah mendekati waktu mengeluarkan undangan." Begitu dan seterusnya.

Kita bandingkan tradisi ini dengan apa yang terjadi di pesisir. Memang alam Papua ini begitu kaya-raya, dan sang pencipta begitu bermurah hati kepada mereka. Danau, Laut, sungai, hutan, semuanya dipenuhi dengan makanan, lauk dan minuman. Manusia hampir tak perlu berkeringan sedikitpun, kecuali berkeringat disaat memungut, mengolah dan memakannya. Cerita sang Penanam atau Pekebun tadi baru kita mulai pada tahapan pertama, tetapi ceritanya sudah panjang sekali, apalagi waktunya dari ia mulai kebun barunya sampai ia mengundang sesamanya, sampai kebunnya dibakar, sampai dibersihkan, sampai ditanam, sampai, dan sampai dan sampai. Belum lagi hasil kebun itu harus dipanen dan dibawa pulang, dalam jarak yang begitu jauhnya.

Mentalitas dan/atau tradisi "buru-pungut" dan "tanam-panen" ini sangat mewarnai politik bangsa Papua, entah politik di dalam NKRI maupun politik Papua Merdeka.

Ada politisi Papua yang kesehariannya hanya melakukan kleim-kleim dan kleim saja. Ada politisi atau aktivis yang tidak pernah sama sekali berbisik, jangankan bersuara ataupun mengkleim ini dan itu. Ia berkelana di rimba dan lautan Politik bangsa Papua dan begitu ia melihat ikan, ia tinggal mengail/ memancing, tanpa pernah tanya siapa yang punya ikan itu, atau siapa yang memberinya makan, atau siapa yang memberinya hak untuk memiliki ikan itu dan seterusnya. Ia tinggal berkeliling hutan sagu dan menghitung pohon sagu mana yang sudah waktunya ditebang. Ia tinggal berkeliling bersama anjingnya untuk mencar kalau ada binantang di hutan yang tidak pernah ia beri makan, yang tidak pernah ia tanam itu untuk dipanennya.

Politisi ‘buruh-pungut’ jarang sekali mengeluarkan anggaran waktu, tenaga, uang dan keringat. Mereka menunggu sambil bercerita mob atau bergurau atau bermesrahan bersama pasangan hidupnya. Sampai pada detik ada posisi dan jabatan, ada duit dan kenikmatan, ada kedudukan dan keramaian, ia meloncat sama seperti gerakan orang saat ikan sudah ketahuan memakan umpan, pada saat ketahuan jerat sudah terkena, saat anjing sudah menggongong pertanda ada mangsa. Iapun tidak mengejar babi hutan itu, ia hanya berteriak sekeras mungkin sambil merokok dan makan pinang. Sementara anjingnya jatuh-bangun, sampai pertaruhkan nyawanya mengejar binantang buruan itu, seakan-akan dialah yang nantinya akan menjadi tuan dalam membagi hasil buruannya itu.

Kita kembali kepada proses pembuatan kebun tadi sedikit. Setelah suara-suara mulai kedengaran dari honai lelaki, sesekali ia akan muncul dan secara terbuka memberi salam atau mengajak berbicara dengan sesama, tak bersembunyi lagi, tak diam lagi. Tindakan seperti ini sudah menandakan saatnya mengundang orang lain. Jadi, undangan hanya keluar, dan si pemilik kebunpun hanya muncul, SETELAH ia tahu proses pembuatan pagar sudah tuntas seratus persen, dan pembabatan rumput sekeliling pagar seluas satu-dua meter itupun sudah tuntas-beres. Maka ada Kepala Kebun akan mengambil-alih tugas dan peran mengeluarkan undangan, mengundang tetangga dan sesama, sekampung ataupun kampung sesama. Kepala Kebun-lah yang akan bertindak sebagai yang mengundang, yang beracara dan yang menjamu para pekerja. Si Pemilik kebun sama sekali tidak akan dikenal, dilihatpun tidak. Ia akan duduk dan bekerja bersama dengan para tamu, ia akan menjadi tamu dan undangan dalam peristiwa itu.

Kita sampai di sini dulu.

Dalam politik bangsa Papua memang kedua perbedaan ini sangat kental dan begitu nampak. Ada pejuang dan politisi yang merasa benar dan tidak berdosa kalau ia hanya duduk berteriak, duduk memerintah dan duduk mengkleim lalu menikmati hasil kleim-kleimnya, hasil buruh-pungutnya. Kalau ada pihak yang membantah kleimnya itu, ia akan seperti cacing kebakaran, akan memberontak dan bahkan mengancam. Ada politisi dan aktivis bangsa Papua yang sama sekali tidak dikenal, tidak pernah bersuara, jangankan dilihat, apalagi mengkleim apapun dari segala yang telah terjadi dan diperbuatnya, tidak pernah menuntut siapapun, tetapi ia menjadi buta dan tuli, menjadi kotor dan tak tahu apa-apa. Memang begitu karena ia tidak mengejar kedudukan, bukan untuk kenikmatan pribadi dan keluarga, bahkan keluarganya dan bahkan nyawanyapun sudah dipertaruhkan

Yang menjadi masalah dalam politik bangsa Papua adalah kleim-kleim yang dilakukan di antara bangsa Papua itu bukan kleim dalam hubungan bangsa Papua – NKRI, tetapi dalam batas sangat sempit dan picik, ditambah licik. Dan tindakan-tindakan itu hanya dilakukan untuk kepentingan yang tidak jelas, untuk kepentingan perut dan nama sendiri dan keluarganya. Keluarganyapun hanya isteri dan anaknya, tidak termasuk orang tua. Apalagi suku dan bangsa.

Begitu zaman berlalu, begitu asimilasi dan similarisasi antara pegunungan dan pesisir, Melayu dan Melanesia, modern dan Masyarakat Adat dan tatanan sosial lainnya terus berinteraksi, maka sebenarnya pada saat ini perbedaan Politik "Buruh-Pungut" dan "Tanam-Panen" itu tidak bisa langsung kita petakan menurut asal-usul seorang Papua. Kini kedua wajah politik ini mewajahi segenap bangsa Papua, di gunung dan di lembang, di pedalaman dan perkotaan, di dalam dan di luar negeri, di perkampungan dan di hutan-rimba. Ada lima Bupati Pegunungan Papua yang mau membentuk Provinsi Papua, tanpa pernah berpikir dampak daripada perbuatan mereka terhadap anak-cucunya, terhadap suku-bangsanya, paling tidak dalam jangka waktu 15 tahun saja, karena jelas paling maksimal mereka dapat mejadi Gubernur 10 tahun saja, itu bukan jabatan warisan moyang, apalagi itu bukan jabatan bangsa Papua. Mengapa orang yang moyangnya "Tanam-Tuai" itu mengkopi tradisi buru-pungut? Ada juga Bupati dan pejabat negara neokoloni Indonesia yang berasal dari pesisir, yang punya dedikasi, pengorbanan dan pelayanan yang tanpa pamrih. Mereka melihat ke sepuluh sampai seratus tahun kedepan, untuk melihat hasil dari apa yang mereka kerjakan hari ini.

Diplomasi, Politik Tradisi Buru-Pungut dan Tradisi Tanam-Pungut

Menurut saya, politik adalah bagaimana mengelola kepentingan dan golongan dengan cara mengelola dan memanfaatkan kepentingan-kepentintangan pihak lain yang ada yang dapat mereka raih, untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Itu sebabnya "Politics is the process by which groups of people make decisions" (Wikipedia, The Free Enclyclopedia). Sekelompok orang membuat keputusan atas dasar kepentingan mereka, dengan seolah-olah mengupayakan pemenuhan kepentingan bersama. Ada perhitungan ekonomis di situ, memanfaatkan kepentingan bersama sekecil-mungkin untuk kepentingan pribadi dan golongan sebesar-besarnya. Makanya politik disebut kemungkinan-kemungkinan yang bisa, bukan yang tidak bisa. Entah bisa apa, terserah kepadanya.

Politik bersifat memanfaatkan potensi yang ada. Memang ada berbagai upaya kaderisasi, ideologisasi dan seterusnya, tetapi pada saat permainan itu dimulai, politik tidak lebih daripada mempertaruhkan kepentingan-kepentingan, untuk kepentingan-kepentingan masing-masing pihak. Tentus saja yang berlaku di sini adalah hukum rimba: Siapa yang kuat dialah yang menang. Itulah demokrasi, bukan? Pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, tetapi dari rakyat mayoritas untuk kepentingan minoritas yang berpolitik (berkuasa).

Kalau kita kaitkan dengan kedua tradisi bangsa Papua yang merasuk ke dalam politik bangsa Papua tadi, maka secara prinsipil kedua potensi ini dapat dimanfaatkan dengan optimal demi kepentingan bangsa Papua. Yang satu bisa dimanfaatkan untuk memainkan politik, dan yang lainnya untuk menggarap politik itu, yang satunya menunggu dan berteriak, yang lainnya membuat pagar dan membersihkan rumput, yang satunya tinggal menunggu untuk mengkleim dan yang lainnya bekerja tapi tidak mengkleim. Toh keduanya sama-sama sebangsa-setanah air.

Antara Politik "Buru-Pungut" dengan Politik "Tanam-Pungut/Tuai" Memang diplomasi lebih pas kalau dioperasikan oleh bangsa Papua dengan tradisi atau mentalitas buru-pungut. Tetapi untuk urusan politik sepertinya lebih pas dieksekusi para politisi "tanam-pungut." Yang terjadi sekarang para diplomat dan politisi tidak bisa kita bedakan, antara lobbyist dengan aktivs, antara politisi dan tentara revolusi, antara aktivis dengan aktor intelektual, antara tokoh dan figur, semuanya kita buat campur-aduk. Barangkali kita semua memungut budaya makan pinang: campur kapur, campur sirih, campur pinang, campur ludah dan gigi bersama mulut mengolah semuanya. Atau mungkin ilmu Papeda, air mentah dan sagu bercamur di tempat penokokan, lalu air panas dan sagu kembali lagi berjumpa di loyang. Lagi-lagi air dan papeda bertemu di piring. Dan lagi-lagi air dan papeda bertemu di perut. Aduh, lagi-lagi mereka bertemu saat berpisah, pada akhirnya. Dari Niew Guinea Raad Sampai Koalisi Nasional untuk Pembebasan Sekarang bangsa Papua disuguhkan dengan sebuah lembaga bernama Koalisi Nasional untuk Pembebasan Papua Barat, sebuah koalisi yang katanya dibentuk oleh lebih dari 20 organisasi politik. Siapakah organisasi politik yang jumlahnya 20 itu? Di mana kampung dan kantor mereka? Di mana sarang dan tempat mandi mereka? Apakah mereka pungut nama apa saja yang bisa dipungut sepanjang mengembara di hutan perjuangan ini? Ia menyusul PDP yang lagi-lagi membantah pernah ada OPM dan TPN yang puluhan tahun berjasa membela identitas dan aspirasi bangsa Papua. TPN/OPM hanya dijadikannya sebagai pilar. Sementara itu West Papua National Authority, entah dari mana otoritas nasional itu berasal, mengkleim sebagai yang punya otoritas. Sejauh mana otoritasnya? Siapa yang tunduk kepada otoritas itu? Dari New Guinea Raad sampai Koalisi Nasional, bangsa Papua pantas disebut orang ‘panas-panas tahi ayam", sebentar menyala sebentar lagi padam. Sebentar mengamuk, tak lama lagi mencium. Tak lama mencaci, tak lama pula menjilat. Memang selama ini para politisi "tanam-pungut" terus saja bekerja, tanpa mengkleim, tanpa memperkenalkan diri, tanpa dan tanpa, bahkan dengan mengorbankan nyawa dan nasibnya, sekali lagi tanpa. Mereka menempatkan nasib bangsa lebih di atas daripada nasib hidup pribadi dan keluarganya. Tetapi ada pula orang Papua yang berjuang di dalam hati, yang berdoa merupakan patok kerja yang Tuhan sudah berikan, jadi tidak apa-apa mereka tinggal berdoa saja. Tetapi saat mendadak ada teriakan "Papua Merdeka!" semua bangkit mengkleim, dengan berbagai macam dan bentuk kleim. Orang yang berjuang di dalam hati ini tidak mau menolak kalau ditawari jabatan, duit atau kenikmatan. Merekapun menerimanya, dengan alasan, "Ah, masih ada lain yang sedang berjuang, saya hanya berjuang dalam hati." Sementara itu, ada politisi yang terbang seantero dunia, mengaku diri mulai dari Kepala Suku, Kepala Bidang, Koordinator, Pemimpin, Panglima, Panglima Tertinggi, sampai Presiden. Rapat-rapat juga ramai diselenggarakan, mulai dari rapat solidaritas, musyawarah, kongres, Konferensi, dan kini Konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Siapa yang tinggi dan siapa yang rendah? Siapa yang meninggikan dan ditinggikan? Dari mana ketinggian itu berasal? Boleh saja sang Kepala Kebun beracara. Tetapi ia selalu tahu jawaban atas pertanyaan: "Mengapa kebun itu sudah terpagar dan sebagian rumputnya sudah terlebih dahulu dibersihkan?" Tetapi pertanyaan ini tak pernah ditanyakan politisi bangsa Papua, jangankan dijawab. Ada slogan-slogan: "West Papua Go International" malahan muncul tahun 2007, padahal West Papua sudah "Go International" sejak tahun 1963. Ada slogan KTT malahan muncul saat ini. Terlepas dari semuanya, barangkali langkah Koalisi ini perlu dipagari dan ditopang, karena ia jelas sejalan dengan langkah para Panglima Tentara Revolusi Papua Barat (TRPB), yang melalui Kongres pertamanya di hutan rimba Papua pada November – Desember 2006 telah membuat keputusan-keputusan dan mengeluarkan resolusi yang sangat penting buat perjuangan ini. Dari antaranya, salah satunya menyatakan Tentara Revolusi memisahan diri secara struktural organisatoris dari OPM, dengan maksud memberikan peluang dan keleluasaan sebesar-besarnya bagi OPM sebagai sayap politik perjuangan bangsa Papua untuk melakukan lobi-lobi politik dalam hubungan nasional dan internasional. Barangkali sang pemilik kebun tahu apa langkah berikut dari pagar itu. Dan nampkanya itulah yang terwujud saat ini. OPM harus terlepas dan dilepaskan dari sangkar, agar saat ia berbicara tidak dilihat sebagai tangan berlimpahan darah, orang militer yang berpolitik. Akan tetapi, bangsa Papua haruslah waspada, karena wajah dan corak politik ‘buru-pungut’ dan ‘tanam-pungut’ sangat kental dan tidak akan pernah punah dari Bumi Cenderawasih. Kalau tidak dikelola, ia menjadi bumerang yang mematikan. Jika dimanfaatkan baik, ia menjadi senjata untuk berburu dan menuai hasil. Yang terpenting dari semua barangkali perlu ada kesadaran dari elit politik bangsa Papua, agar kleim-kleim yang dibuatnya tidak terhadap sesama bangsanya sendiri, tetapi lebih-lebih diarahkan terhadap NKRI. Karena kemampuan mengkleim itu sangatlah positiv dan bermanfaat bagi bangsa ini. Demikian pula, para pekebun-pemungut janganlah lelah berkebun, menanam, nenyiangi dan memeliharanya dengan tekun. Tak perduli apakah Anda secara pribadi memanennya, tidaklah pusing Anda disebut di mana oleh siapapun atau tidak. Yang jelas kebun itu milih bangsa Papua. Yang penting Tanah dan Moyangmu mengenal Anda, namamu akan dicatat dengan tinta merah dihatinurani bangsamu, sampai selama-lamanya, lamanya tidak sama dengan kaum Papindo yang menjadi kepentingan sesaat, kaum pejuang yan mencari nama sejenak, yang berteriak seolah-olah. [BERSAMBUNG]

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny