Seruan Nasional Penyambutan Forkorus Yaboisembut Cs

Forkorus Yaboisembut
Forkorus Yaboisembut dikawal polisi NKRI dan petugas LAPAS

PAPUAN, Jayapura — Kepala panitia keamanan penjemputan Forkorus Yaboisembut Cs, Elias Ayakiding, menyerukan kepada seluruh rakyat Papua Barat, untuk merayakan hari pembebasan Forkorus Cs, yang akan berlangsung pada 21 Juli 2014 mendatang.

“Perlu adanya perayaan penjemputan pak Forkorus, dkk, untuk itu kami minta rakyat di seluruh tanah Papua menggelar acara syukuran,” kata Elias, saat memberkan keterangan kepada wartawan, siang tadi.

Dikatakan, banyak perubahan yang telah terjadi dalam perjuangan rakyat Papua, hal ini terbukti dengan respon negara-negara Melanesia terkait persoalan Papua Barat.

“Perlu adanya perayaan penyambutan pembebasan dua tokoh Papua ini guna menunjukan pada dunia internasional bahwa kami Bangsa Papua telah memiliki pemimpin,”

kata Elias.

Dalam perayaan penyambutan pembebasan dua tokoh Papua, Forkorus Yaboisembut yang diklaim sebagai Presiden NRFPB, dan Edison Waromi yang diklaim sebagai Perdana Menteri, rencananya akan dirayakan di seluruh Papua.

Tempat penyambutan mulai dari Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Abepura, hingga Kantor Dewan Adat Mamta, Kampong Sabron, Yaru,” katanya.

Adapun yang menjadi tuntutan panitia keamanan;

Pertama, keamanan adalah tanggung jawab bersama semua pihak, karena itu diharapkan kerja samanya.

Kedua, pihak TNI/Polri agar menghormati dan menghargai keamanan yang dilaksanakan oleh polisi Negara Federal Republik Papua Barat.

Ketiga, masyarakat dan pengusaha yang berada di sepanjang jalan Abepura – Sentani – Sabron Yaru, agar menghentikan sejenak aktifitasnya selama satu hari demi kebersamaan dan kelancaran keamanan.

Keempat, masyarakat adat Papua dan simpatisan yang akan jemput agar tertip sesuai intruksi keamanan, yaitu tidak membawa atau mengibarkan BK “ Bintang Kejora ” saat penjemputan berlangsung, ataupun membawa alat tajam.

Kami berharap himbauan ini bisa didengar dan ditaati oleh seluruh masyarakat Papua,” tutup Elias.

AGUS PABIKA, Sumber SUARAPAPUA.com

Demonstran Internasional Minta Pembebasan Tahanan Politik Papua

Protes di London, Inggris. Foto: Helen Saunders/Survival

Jayapura, MAJALAH SELANGKAH — Hari ini, 2 April 2014, 100 orang demonstan meminta pembebasan segera terhadap tahanan politik di Papua dalam sebuah demonstrasi damai di luar Kedutaan Besar Indonesia di London, Inggris yang diselenggarakan TAPOL, Survival Internasional dan Amnesty Internasional Inggris.

Dalam keterangan tertulis yang diterima majalahselangkah.com malam ini mengatakan, demonstran meminta partai politik dan kandidat Presiden Indonesia untuk mendukung pemenuhan hak berdemokrasi di Papua dalam menghadapi pemilihan umum nasional untuk calon legislatif, minggu depan. Demonstrasi serupa juga diselenggarakan di Skotlandia, Belanda, Australia, Selandia Baru, Australia, dan Papua.

Di Jayapura, sekitar pukul 10:00 pagi hari ini, polisi melepaskan tembakan kepada peserta aksi damai yang meminta pembebasan terhadap tahanan politik Papua. Polisi menyebut mereka “monyet” dan dua orang telah ditangkap. Laporan awal mengindikasikan bahwa dua orang yang ditahan di Polresta Jayapura mengalami penyiksaan dan tidak diperbolehkan menemui pengacara hukum mereka.

Di London pukul 13:00 masing-masing demonstran memrepresentasikan 76 orang tahanan politk yang saat ini berada di balik jeruji di Papua yang secara simbolik diborgol dan ditutup mulutnya untuk menunjukkan pembungkaman kebebasan berekspresi di Papua.

Pendemo dan mantan tahanan politik Burma, Ko Aung menyatakan,

“Saya menghabiskan enam tahun di penjara untuk menyerukan perlawanan atas ketidakadilan di Burma. Sekarang saya berdiri di sini untuk memberikan solidaritas kepada kawan-kawan di Papua yang mengalami hal yang sama.”

Meskipun kepedulian internasional tentang situasi politik dan HAM di Indonesia telah meluas, namun partai politik di Indonesia tetap tidak memiliki agenda yang ditawarkan untuk situasi damai di Papua. Beberapa demonstran menantang para kandidat Presiden untuk memberikan perhatian dan menjelaskan kebijakan mereka terhadap Papua.

Para demonstran mengangkat plakat yang berisi: “Jokowi, wartawan asing boleh masuk Papua?”  dan “Bakrie, maukah bebaskan tapol Papua?”

Pada surat kepada Duta Besar Indonesia di London, HE Teuku Mohammad Hamzah Thayeb, yang dikirimkan hari ini, penyelenggara demonstrasi, TAPOL menyatakan bahwa terdapat 537 peristiwa penangkapan politik di Papua pada 2013, dua kali lipat dari jumlah penangkapan di tahun 2012.

Kasus yang dilaporkan berupa penyiksaan dan perlakukan buruk dalam tahanan berjumlah tiga kali lipat dibandingkan tahun 2012, sementara kasus yang melibatkan penolakan akses kepada pengacara atau pengadilan yang tidak adil berjumlah dua kali lipat dibandingkan tahun 2012.

Surat itu menunjukkan bahwa terungkapnya peningkatan besar dalam tindakan penangkapan yang bernuansa politik ‘sangat mengganggu dalam masa menjelang pemilihan umum nasional Indonesia minggu depan. Minimnya ruang demokrasi di Papua berarti bahwa Pemilu hampir tidak relevan untuk banyak orang Papua.’

Tahanan politik Papua Dominikus Surabut hari ini mengirimkan pesan dari penjara Abepura ke seluruh para demonstran, yang menyatakan: Kebebasan dan demokrasi tidak bisa dibunuh dan dipenjarahkan, sebab rohnya absolut, tak bisa seseorang atau Negara manapun bisa gagalkan. Kepada para pekerja HAM dan Demokrasi dunia, kita tidak bisa berdiam membisu, tetapi kita terus kepalkan tangan dan jiwa kita secara bersama-sama menyelamatkan dan menempatkan berdemokrasi pada tempatnya.

Surabut ditahan pada 19 Oktober 2011 dan saat ini menjalani tiga tahun hukuman di penjara karena keikutsertaannya dalam pertemuan politik secara damai di Jayapura.

Berdasarkan perkembangan pemantauan bersama yang dipublikasi oleh Papuan Behind Bars, tahanan politik di Papua sering disiksa dan dipaksa untuk mengakui kesalahan. Banyak dari mereka dipukuli dan menjadi subjek dari tindakan kejam dan merendahkan martabat seperti digunduli, dipaksa untuk saling berkelahi atau tidak diberikan makan atau pengobatan yang layak.

Pembatasan pada organisasi internasional dan media asing yang bekerja di Papua Barat berarti bahwa banyak pelanggaran terjadi dalam rahasia, dan pelaporan yang independen adalah hampir mustahil. Ini adalah masalah serius di wilayah yang dikenal menjadi tuan rumah dari salah satu konsentrasi tertinggi pasukan keamanan di dunia.

“Jika Indonesia tidak memiliki hal yang disembunyikan di Papua, mengapa mereka tidak memperbolehkan jurnalis dan organisasi internasional datang ke Papua?,”

ujar Paul Barber, koordinator TAPOL dalam keterangan itu.

“Tujuh puluh enam tahanan politik di Papua tidak dapat disembunyikan dari dunia,”

ujar Paul.

Organisasi internasional dan mekanisme PBB semakin menanyakan pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi di Papua yang tidak dapat diterima. Pada November 2012, Working Grup PBB tentang Penahanan Sewenang-wenang mengeluarkan pendapat bahwa penahanan terhadap Filep Karma, selama 15 tahun penjara karena mengibarkan bendera Bintang Kejora adalah pelanggaran terhadap hukum internasional.

Pada Mei 2012, pada sesi Laporan HAM Berkala Universal (Universal Periodic Review) Indonesia pada Dewan HAM PBB di Jenewa, Pemerintah Indonesia menerima rekomendasi untuk mengundang pelapor khusus PBB tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, Frank La Rue.

Meskipun kunjungan tersebut direncanakan akan dilaksanakan pada awal tahun 2013, namun kunjungan tersebut dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah Indonesia. Pada Mei 2013, Ketua Komisi HAM PBB, Navi Pillay menyampaikan situasi kritis terhadap serangan kebebasan berekspresi yang terus berlanjut di Papua.

TAPOL menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan tuduhan kepada aktivis politik Papua dengan tuduhan kriminal, meminta pembebasan tanpa syarat terhadap tahanan politik, memenuhi standar internasional mengenai perlakuan terhadap tahanan dan memperbolahkan akses terbuka bagi internasional jurnalis, organisasi HAM dan humaniter.

TAPOL juga meminta para kandidat Presiden untuk membuat agenda setting tentang pelaksanaan HAM, termasuk pembebasan tahanan politik tanpa syarat sebagai pemenuhan hak dasar dan berdemokrasi bagi orang-orang Papua.

Diketahui, berdasarkan update terbaru yang dipublikasi oleh Papuans Behind Bars, terdapat setidaknya 76 orang tahanan politik di Papua yang dipenjara hingga akhir Februari 2014.

Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu proyek kolektif yang dimulai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerjasama dalam rangka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua. Ini adalah gagasan kelompok bawah dan mewakili kerjasama yang lebih luas antara para pengacara, kelompok-kelompok HAM, kelompok-kelompok adat, para aktivis, wartawan dan para individu di Papua Barat, LSM-LSM di Jakarta, dan kelompok-kelompok solidaritas internasional.

Penangkapan politik didefinisikan oleh Papuan Behind Bars berupa penangkapan-penangkapan yang tampaknya bermotif politik dan dapat mencakup penangkapan yang terjadi dalam konteks politik seperti demonstrasi atau berbagai wadah yang digunakan oleh orang-orang maupun organisasi yang secara aktif berpolitik; penangkapan terhadap orang-orang yang aktif dalam politik atau kerabat mereka, penangkapan terhadap orang-orang karena dugaan keterlibatan politik mereka; penangkapan terhadap kegiatan politik seperti menaikkan bendera atau terlibat dalam kegiatan perlawanan sipil; penangkapan massal, dan penangkapan yang bermotif politik dengan tuduhan kriminal yang direkayasa. (Yermias Degei/MS)

Yermias Degei | Kamis, 03 April 2014 02:06,MS

Lihat foto di sini: KLIK

Demo Damai Tuntut Bebaskan 76 Tapol Papua, Polisi Tangkap 2 Mahasiswa

Jayapura, MAJALAH SELANGKAH — Kepolisian Resort Kota (Polresta) Jayapura menangkap 2 mahasiswa Papua, Alfares Kapisa (25) dan Yali Wenda (20) dalam sebuah demonstrasi damai yang digelar Solidaritas Mahasiswa Peduli Tapol (Tahanan Politik) Papua di depan Gapura Universitas Cenderawasih (Uncen) Waena, Jayapura, Rabu (02/04/14).

Demonstrasi digelar mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jayapura dalam rangka meminta pembebasan 76 Tapol Papua yang mendekam di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan di tanah Papua.

Alfares Kapisa, mahasiswa Kedokteran Uncen dan rekannya Yali Wenda ditangkap dalam pembubaran paksa oleh polisi yang bersenjata lengkap di depan Gapura Uncen sekitar pukul 10:30 waktu setempat.
Selanjutnya, dua mahasiswa Papua ini dibawa ke Polresta Jayapura untuk diinterogasi.

“Kami sedang berada di Polresta. Mereka dua (Alfares Kapisa dan Yali Wenda:red) sedang diinterogasi.  Alfares mendapat intimidasi sampai luka-luka di pipi kiri. Kucuran darah membuat jas almamaternya penuh dengan darah. Demikian juga Yali Wenda luka-luka di kepala,”

kata aktivis HAM Papua, Elias Petege kepada majalahselangkah.com sore tadi melalui telepon selulernya.

Tidak Ada Akses untuk Bertemu

Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Papua, Olga Helena Hamadi dan Pendeta Dora Balubun telah berada di Polresta sekitar pukul 18:30 waktu setempat atas permintaan rekan-rekan dan orang 2 mahasiswa itu. Tetapi, kedatangan mereka sia-sia. Mereka tidak mendapatkan akses untuk menemui 2 mahasiswa itu.

Kepada majalahselangkah.com, melalui pesan singkatnya, Olga mengatakan,

“Katanya Kasat tidak ada di tempat. Lalu, saya telepon Kapolres, tapi katanya mereka lagi periksa jadi belum bisa ketemu. Saya jadi heran juga, padahal mereka dua ini tidak di rutan, ada kemungkinan 2 mahasiswa ini dapat pukul.”

“Kami tidak dberi akses bertemu, jadi kami pulang. Padahal, kami datang ke sini atas permintaan teman-temannya dan orang tua 2 mahasiswa ini,”

kata Olga.

Terkait penangkapan dan pembatasan akses ini, majalahselangkah.commenghubungi  Kepala Bidang Humas Polda Papua, Kombes Pol Drs Sulistyo Pudjo, tetapi telepon tidak aktif. Terpaksa, majalalahselangkah.commengirimkan pesan singkat untuk konfirmasi, tetapi hingga berita ini ditulis belum ada balasan.

HIngga berita ini ditulis, Alfares Kapisa dan Yali Wenda masih ditahan di Polresta Jayapura. (Yermias Degei/MS)

 Yermias Degei | Rabu, 02 April 2014 23:24,MS

Kunjungan MSG Hanya Ke Jakarta dan Bali, Tanpa Ke Papua

Edward Natapei (Jubi/Victor Mambor)

Jayapura, 10/01 (Jubi) – Delegasi para Mentri Luar Negeri negara-negara Melanesia Spearhead Group (MSG) dilaporkan akan melakukan kunjungan ke Indonesia dalam beberapa hari ke depan. Kunjungan ini seharusnya dilakukan tahun lalu.

Kunjungan delegasi ini merupakan resolusi MSG Summit di Noumea, Juni tahun lalu yang diputuskan setelah West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) mengajukan aplikasi keanggotaan di MSG. Negara anggota MSG terpaksa menunda pembahasan aplikasi WPNCL tersebut setelah Indonesia menawarkan kunjungan ke Jakarta dan Papua untuk melihat lebih dekat isu-isu tentang pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Papua yang diduga dilakukan oleh Indonesia. Rencananya, kunjungan ini akan dilakukan antara tanggal 11 – 15 Januari 2014. Perwakilan Front Pembebasan Rakyat Kanaki (FLNKS) bahkan dilaporkan telah terbang ke Jakarta tadi malam (9/1)

Namun di luar harapan banyak pihak, delegasi ini hanya diundang oleh Pemerintah Indonesia untuk mengunjungi Jakarta dan Bali saja, tanpa Papua. Hal ini memicu protes dari Vanuatu, salah satu negara anggota MSG yang belakangan ini sangat concern dengan isu penentuan nasib sendiri untuk Rakyat Papua. Wakil Perdana Mentri Vanuatu yang juga menjabat Mentri Luar Negeri, Edward Natapei, saat dihubungi Jubi mengatakan Vanuatu telah melayangkan surat protes ke Sekretariat MSG terhadap undangan Pemerintah Indonesia ini.

“Undangan itu tidak termasuk Papua melainkan Jakarta dan Bali saja. Kami telah meminta Ketua MSG memastikan Jakarta menyertakan agenda kunjungan ke Papua, sebelum hari Senin (13/1-red),”

kata Natapei saat dihubungi Jubi, Jumat (10/1) pagi.

Dalam pertemuan pra MSG Summit yang dihadiri para mentri luar negeri MSG di Pulau Lifou, Loyalty Islands Kaledonia Baru, bulan Juni tahun lalu. Mentri Luar negeri Fiji, Ratu Inoke Kubuabola mengatakan kunjungan delegasi MSG ke Indonesia merupakan inisiatif Pemerintah Indonesia.

“Kita semua sepakat bahwa misi akan berangkat ke Jakarta atas undangan Pemerintah Indonesia dan kemudian ke Papua Barat. Tahun ini (2013-red), tergantung pada tanggal yang disepakati dengan Pemerintah Indonesia.”

kata Kubuabola saat itu. Undangan pemerintah Indonesia ini, kata Kubuabola, disampaikan oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 3 Juni, dalam pertemuan antara Perdana Menteri Fiji Voreqe Bainimarama dan Djoko Suyanto, Menkopolhukam Indonesia.

Pemerintah Indonesia, melalui Wakil Mentri Luar Negeri, Wisnu Wardhana, dihadapan pleno MSG Summit tanggal 21 Juni mengatakan hubungan Indonesia dengan MSG harus dipererat dan terus ditingkatkan. Salah satu caranya adalah dengan mempersilahkan para Menteri Luar Negeri negara-negara MSG untuk datang ke Indonesia.

“Untuk memperkuat hubungan Indonesia dengan MSG, Indonesia mempersilahkan para Menteri Luar negeri MSG datang ke Indonesia. Untuk bertukar pengalaman dan memberikan kesempatan untuk melihat dan memahami dengan baik tentang pembangunan di Indonesia, termasuk Papua dan papua Barat.”

kata Wisnuwardhana.

Sementara itu, Filep Karma, tahanan politik Papua meminta dalam kunjungannya, MSG juga mengunjungi Tapol Papua yang saat ini tersebar di beberapa lapas di Papua.

“Saya minta, dalam kunjungan para pemimpin MSG nanti ke Papua agar dapat mengunjungi Tahanan Politik Papua,”

kata Filep Karma kepada Jubi di Lapas Klas IIA, Abepura, Jayapura, Kamis (9/1).

Kunjungan yang dimaksud, bukan hanya ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Abepura di Jayapura saja tetapi juga ke Lapas di kota lain di Papua yang ada tahanan politiknya. Seperti Lapas Biak, Nabire, Manokwari, Sorong, Wamena dan Fakfak.

“Saya juga berharap, MSG tidak hanya bertemu dengan Orang Papua yang telah disiapkan oleh Pemerintah Indonesia tetapi juga siapapun Orang Papua yang ingin bertemu dengan para pemimpin MSG,”

harap Filep Karma lagi.

Sedangkan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) meminta Pemerintah Indonesia untuk membuka secara luas tanpa mengisolasi realitas masalah yang terjadi di Papua. Pimpinan MSG harus diberi kebebasan bertemu dengan siapapun orang Papua untuk mengerti masalah yang dihadapi masalah Papua selama berintegrasi dengan Indonesia.

“Kami menyambut dan menantikan kehadiran Pimpinan MSG di Papua,”

kata ketua KNPB, Victor Yeimo kepada Jubi di Lapas Klas IIA ABepura, Jayapura. (Jubi/Victor Mambor/Aprila)

January 10, 2014 at 09:09:47 WP,TJ

Tapol Napol Harus Dapat Pelayanan Manusiawi

JAYAPURA – Kunjungan Jeremy Bally aktivis Tapol Napol yang melakukan kunjungan simpati dan solidaritas ke Lembaga Pemasyarakatan Abepura juga mendapat tanggapan dari Tokoh Intelektual Papua, Franzalbert Joku.

Kepada Bintang Papua, Rabu (18/12), Franzalbert Joku mengungkapkan, para tahanan termasuk Tapol Napol adalah warga negara yang hanya untuk sementara dibatasi kebebasannya bergerak secara leluasa, karena satu dan lain hal. Untuk itu, Tapol Napol harus mendapatkan pelayanan dan perhatian manusiawi.

Menurut Franzalbert Joku, semua tahanan perlu diberikan perhatian dan perlindungan yang sama sesuai hukum negara yang berlaku, walaupun perbuatan dan hukumannya berbeda beda.

“Namun hak asasi tetap melekat pada diri Tapol Napol sampai kapanpun. Mereka-Tapol Napol memang harus diberikan perhatian dan pelayanan sama,”

ujarnya singkat.

Sementara itu, DPRP menegaskan pemerintah jangan selalu menganggap Tapol/Napol Papua seperti musuh negara, karena mereka adalah orang-orang yang betul-betul dengan sadar dan hati ikhlas membela apa yang mereka rasa hak mereka.

Sekretaris Komisi A DPRP yang membidangi masalah Hukum, HAM dan Luar Negeri Julius Miagoni, S.H., menyampaikan ketika dikonfirmasi Bintang Papua di Jayapura, Rabu (18/12). Hal ini terkait Jeremi Bally (27), aktivis Kanada kepada Tapol/Napol Papua, yang mengunjungi Tapol/Napol yang selama ini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Abepura dengan tuduhan tindakan pidana makar, antara lain : Filep Karma, Forkorus Yaboisembut, Selpius Bobii, Dominikus Serabut, Viktor Yeimo dan lain-lain.

Jeremi Bally juga menyampaikan 40 kartu pos dan pesan lain, yang dikumpulkanya dari aktivis Papua di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia dan New Zealand, guna memberi dukungan kepada Tapol/Napol di Papua, ketika bersepeda keliling dunia selama 6 bulan terakhir sejak Juli 2013 lalu.

“Kami memberikan apresiasi kepada aktivis Kanada yang mengunjungi Tapol/Napol Papua, karena dia juga seorang manusia yang datang menyampaikan kepedulian kepada manusia lain di Papua,”

kicau Miagoni.

Sedangkan terkait harapan aktivis internasional, agar pemerintah Indonesia memperlakukan Tapol/Napol Papua secara manusiawai, sebagaimana disampaikan Plt. Sekretariat Komnas HAM Perwakilan Papua Fritz B Ramandey, S.Sos., M.H., dikatakan Miagoni, pihaknya sependapat. Tapi, ujar Miagoni, Tapol/Napol Papua perlu diperlakukan khusus.

Pertama, Tapol/Napol Papua tak memenuhi unsur-unsur tindak pidana makar. Kedua,Tapol/Napol Papua tak melakukan pelanggaran dan kejahatan terhadap negara. Tapi mereka hanya membela apa yang mereka rasa punya hak. Ketiga, harus ada perubahan sikap setelah keluar dari tahanan.

Miagoni menjelaskan, Tapol/Napol Papua harus diperlakukan secara khusus, karena definisi makar mempunyai kriteria bahwa seorang betul-betul melakukan tindakan makar, seperti ada unsur sudah pegang alat tajam dan menyerang negara.

“Secara logika Tapol/Napol Papua tak melakukan sebuah kejahatan. Mereka itu orang-orang yang sehat jasmani sehingga tak perlu dibina, sehingga pemeritah harus mengerti out-put yang akan diperoleh setelah orang keluar dari tahanan, lanjut Miagoni.

Sesungguhnya, ujar Miagoni, Tapol/Napol Papua selama ini ditahan dengan alasan makar. Padahal mereka belum memenuhi unsur-unsur tindak pidana makar.

“Dan selama ini negara ini kan menahan orang itu kan tak jelas. Ini semacam balas dendam saja, karena seharusnya sebagai sebuah negara dia harus perhitungkan setelah dia ditahan kira-kira orang itu setelah keluar seperti apa, karena tujuan orang ditahan kan dibina setelah dia bebas dia tak lakukan hal-hal yang sama,”

beber Miagoni.

Dikatakan, selama ini negara tak memperhatikan Tapol/Napol, karena Indonesia menyangkut tahanan-menahan siapa saja atas nama negara mau tahan boleh saja. Tapi perlu juga dipertimbangkan setelah dia bebas dari tahanan harus ada perubahan.

“Jangan setelah dia keluar dari tahanan dia malah tambah jahat lagi,”

tukas Miagoni. (ven/mdc/don/l03)

Kamis, 19 Desember 2013 02:09, BinPa

Enhanced by Zemanta

Pengampanye Papua Merdeka di 7 Negara Itu Tiba di LP Abepura

Jeremy Bally bersama tahanan politik Papua di LP Abepura. Foto: tabloidjubi.com

Jayapura — Pemuda Kanada berusia 25 tahun, Jeremy Bally, tiba di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Abepura, Kota Jayapura, Papua, Senin (16/12/13) siang setelah melalui perjalanan panjang melelahkan.

Ia tiba di LP Abepura dan bertemu dengan para Tahanan Politik (Tapol) Papua setelah sebelumnya memberikan tenaga, waktu dan pikirannya secara unik untuk orang Papua dengan keliling 7 negara dengan mengkayuh sepeda. Perjalanan ketujuh negara ia tempuh selama 6 bulan.

Satu setengah bulan terakhir (November-Desember) ia habiskan untuk mengelilingi kota-kota di Australia. Ia memberi dengan perjalanan panjang yang ia sebut “Pedalling for Papua”.

Tentu, ini adalah cerita cara unik bagaimana orang di luar sana ikut merasakan tentang apa yang terjadi dan dialami orang Papua selama 50 tahun terakhir. Bukan soal suku, ras, agama, tetapi benang merah menyatunya rasa Jeremy Bally adalah kita satu manusia, ciptaan Allah.

Sumber di LP Abepura mengabarkan, pertemuan bersama para Tapol berlangsung sekitar pukul 12.00 siang.

Kata sumber itu, Jeremy menyerahkan sebuah dokumen yang berisi sejarah integrasi Papua, perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri dan kekerasan militer Indonesia terhadap rakyat Papua selama 50 tahun.

Dikatakan, Jeremy disambut sejumlah Tapol Papua, seperti Victor Yeimo (Ketua KNPB), Filep Karma, Forkorus Yoboisembut, Selpius Bobi, Dominikus Surabut dan tahanan politik yang lain.

“Kami sempat kaget, dia datang,”

kata sumber itu.

Sumber yang tidak ingin namanya disebutkan itu mengatakan, semua dokumen yang diserahkan diterima oleh Filep Karma.

“Kami juga menyerahkan sebuah dokumen kepada Jeremy,”

kata dia. (GE/MS)

Editor : Yermias Degei
Senin, 16 Desember 2013 22:09,MS

Per November 2013, 537 Penangkapan Politik dan 71 Tapol di Papua

Para Tahanan Politik Papua. Foto: Tapol / PMC

Jayapura — Intensitas politik di tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) meningkat pada tahun 2013. Seiring dengan itu, jumlah penangkapan dan tahanan politik (tapol) ikut meningkat.

Sebuah situs Tapol Papua, papuansbehindbars.org merilis, per November 2013 telah terjadi penangkapan politik  sebanyak 537. Dari jumlah itu, sebanyak 112 penangkapan politik terjadi pada tiga peristiwa terpisah.

“Ini merupakan peningkatan 165% jumlah penangkapan politik dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2012, yang menandakan penurunan tahap kebebasan berekspresi dan berkumpul di Papua,”

tulis lamanpapuansbehindbars.org.

Penangkapan politik ini membuat jumlah Tapol di penjara tanah Papua meningkat. Pada bukan sebelumnya, September 2013, terdapat 54 Tapol dalam penjara di Papua. Tetapi, dalam satu bulan, akhir November 2013 meningkat menjadi  71 Tapol  di Papua.

“Tindakan kepolisian terhadap kegiatan demonstrasi yang semakin teratur dan berkoordinasi di Papua menjadi perhatian bulan ini, termasuk beberapa penangkapan massa sewenang-wenang, penggunaan berulang kali kekerasan yang berlebihan, menghalangi pengacara hukum mengakses tahanan, melakuan tindakan kejam dan menghina tahanan, dan menangkap dan memaksa aktivis mahasiswa untuk menandatangani perjanjian untuk menghentikan unjuk rasa,”  tulisnya.

Lebih lanjut ditulis, “Mahasiswa Universitas Cenderawasih (UNCEN) tersandera dalam bentrok dengan pihak universitas atas keterlibatan dosen dalam kegiatan kontroversial, yakni penyusunan perubahan draft RUU Otonomi Khusus. Otoritas kampus tampaknya aktif mengundang polisi untuk memberangus aktivitas politik di kampus, yang menyebabkan banyak penangkapan dan pemukulan mahasiswa. Sejumlah pemimpin Papua telah menyatakan keprihatinan atas apa yang mereka anggap sebagai usaha polisi untuk secara sistematis menutup ruang politik, khususnya menjelang tanggal penting seperti 1 Mei, dan dalam hal ini 1 Desember.”

Dijelaskan media Tapol itu, pada 26 November, sebanyak 80 orang ditangkap di empat kota yang berbeda karena mendukung pembukaan kantor Kampanye Papua Barat Merdeka di Papua Nugini dan kampanye Sorong ke Samarai. Satu orang demonstran tewas dan tiga lainnya telah menghilang.

Sementara di Biak, sidang untuk enam tahanan 1 Mei Biak masih berlanjut dan Yohanes Boseren tetap dalam tahanan meskipun sakit mental. Pengacara HAM dan LSM telah menyerukan pembebasannya. investigasi juga berlanjut atas kasus empat tokoh masyarakat Sorong yang menghadapi tuduhan konspirasi untuk melakukan makar.(GE/papuansbehindbars.org/MS)

Minggu, 08 Desember 2013 12:22,MS

Komite HAM Dunia Soroti Kekerasan di Papua

Direktur Eksekutif Imparsial Poengki Indarti
Direktur Eksekutif Imparsial Poengki Indarti

Poengki IndartiJayapura – Komite Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terus menyoroti kekerasan yang sedang berlangsung di Papua dan menyesalkan penggunaan kekuatan berlebihan oleh pasukan keamanan Indonesia. Ironisnya, tidak ada mekanisme yang efektif yang tersedia untuk pertanggungjawaban hukum anggota militer yang melakukan kekerasan.

Dalam siaran Pers Bersama Fransiscans Internasional, Human Rights and Peace for Papua (ICP), Imparsial, Kontras, Tapol and the West Papua Networkomite HAM Dunia melihat, pengulangan kejadian kekerasan di Papua menunjukkan tingginya angka pembunuhan yang terjadi di luar hukum terutama dalam dua tahun terakhir, dan salah satu yang menjadi sorotan adalah penggunaan kekerasan dalam membubarkan protes damai di Papua.

Hal itu terungkap dalam diskusi tentang Papua di Komite HAM PBB yang berlangsung di Jenewa beberapa hari lalu. “Diskusi tentang Papua di Komite HAM PBB menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di Papua terus menjadi perhatian utama bagi masyarakat internasional,”ujar Direktur Eksekutif Imparsial Poengki Indarti melalui pesan elektroniknya, Senin 15 Juli.

Disisi lain, Komisi HAM PBB menilai pengadilan militer Indonesia dalam banyak kasus tidak terbuka untuk umum dan kurang transparan, kurang adil, dan independen. “Kami sebagai delegasi Indonesia dalam pertemuan itu sudah menjelaskan bahwa pengadilan itu umumnya dapat diakses oleh publik,”ucapnya.

Bahkan, sambung Poengki Indarti, Indria Fernida dari Tapol di London terkejut melihat Indonesia kekurangan lembaga untuk menolak pelanggengan budaya impunitas .

“Korban kecewa dengan kegagalan pengadilan militer di Papua dan sangat membutuhkan mekanisme pengaduan yang efektif atas pelanggaran yang dilakukan oleh militer,” kata Indria Fernida.

Komite HAM menekankan bahwa pengadilan untuk anggota militer yang bertanggung jawab harus terbuka, adil, transparan dan akuntabel. Masyarakat sipil yang menghadiri peninjauan ini mengharapkan Komite HAM memberikan rekomendasi yang kuat kepada pemerintah untuk meninjau UU Pengadilan Militer.

Delegasi Pemerintah menyatakan kepada Komite HAM bahwa media lokal di Papua bebas untuk mempublikasikan berita. Sementara itu, kasus intimidasi, ancaman, dan kekerasan terhadap wartawan lokal di Papua terus berlanjut.

Salah satu contohnya serangan kekerasan terhadap jurnalis Banjir Ambarita.

Dalam penilaiannya, badan PBB ini juga menyesalkan situasi kebebasan berekspresi dan masalah tahanan politik di Papua.

Letnan Jenderal purnawirawan Bambang Darmono, kepala Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B), sebagai anggota delegasi pemerintah menanggapi bahwa “kebebasan berekspresi tidak mutlak.” Komite HAM menyesalkan problem terhadap tahanan politik di lembaga
pemasyarakatan Papua. Delegasi pemerintah menyatakan posisinya bahwa Filep Karma, Kimanus Wenda, dan tahanan lainnya sah dipenjara karena ekspresi mereka bertujuan untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Menurut delegasi, pemerintah Indonesia akan terus menghentikan ekspresi damai pandangan politik yang bertujuan memisahkan Papua dari Indonesia dengan memidanakan mereka. Delegasi melihat pembatasan kebebasan berekspresi diperlukan untuk mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah Indonesia.

Budi Tjahjono dari Fransiskan International khawatir bahwa “hal ini menyiratkan upaya memperpanjang pendekatan keamanan yang merugikan di Papua.”

Komite akan mempublikasi kesimpulan observasi dan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia pada akhir July.

Sehingga, lanjut Poengki, Komisi HAM PBB mengevaluasi ulang tentang pelaksanaan kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik. “Komisi Hak Asasi Manusia PBB meninjau pelaksanaan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, salah satu hak asasi manusia paling penting yang sudah diratifikasi Indonesia dan pemerintah berkewajiban untuk menjalankan jaminan perlindungan hak-hak itu di Indonesia,”ujar Poengki. (Jir/don/l03)

Selasa, 16 Juli 2013 07:27, Binpa

Enhanced by Zemanta

Bangsa Papua Korban Konspirasi Kepentingan

Oleh: Selpius Bobii

|| Penjara Abepura, 05 Juli 2013 ||

Selpius Bobi, salah tahanan politik Papua (Foto: Ist)
Selpius Bobi, salah tahanan politik Papua (Foto: Ist)

Papua Barat semakin terkenal di Manca Negara bahkan tercatat dalam dokumen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) karena adanya “Konspirasi Kepentingan” dari berbagai pihak. Konspirasi Kepentingan, baik skala Internasional, nasional dan lokal makin tumbuh subur di tanah Papua. Berbagai Konspirasi Kepentingan dari skala terbesar sampai terkecil dapat terjadi karena ada daya tarik khusus yang dimiliki di tanah Papua Barat.

Daya tarik itu terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu. Pertama, tanah air Papua Barat yang alamnya subur dan indah. Tanah Papua memiliki panaroma alam yang indah menawan. Memiliki dataran lembah dan bukit membentang hijau, deretan gunung menjulang tinggi nan hijau, pantai pasir dihiasi nyiur pantai melambai lambai dihempas angin, lautan biru membentang dan ombak memecah di bibir pantai.  Tanah Papua juga memiliki banyak marga satwa khusus, diantaranya burung Cenderawasih (bird paradise) serta burung mabruk (bird victoria).

Orang Papua terpesona dengan keindahan alam Papua. Banyak lagu diciptakan untuk melukiskan keindahan alam Papua. Seperti  syair lagu berikut ini: “Tanah Papua bagai Surga yang jatuh ke bumi”. Keindahan alam Papua Barat yang asri itu menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai orang dari luar Papua datang dan pergi serta menetap di tanah Papua.

Kedua, menyimpan sumber daya alam yang tiada bandingnya dengan pulau pulau dan benua-benua lain di dunia. Tanah Papua terkenal karena kekayaan alamnya, diantaranya adalah kandungan emas dan tembaga, serta minyak bumi. Bergunung-gunung emas dan tembaga tersimpan dalam ibu bumi Papua. Dan masih banyak sumber daya alam lainnya diam membisu dalam tanah air Papua Barat.

Sumber Daya Alam Papua Barat itu menjadi daya tarik bagi berbagai pihak dari luar Tanah Papua berdatangan dengan tujuan mengambil kekayaan alam dengan cara legal dan illegal.

Ketiga, dihuni oleh sekitar 273 suku yang memiliki kebudayaan yang khas dan unik. Suku suku bangsa Papua Barat tersebar dalam tujuh wilayah adat. Pembagian tujuh wilayah adat itu dibagi atas pertimbangan kesamaan karakteristik suku-suku pribumi Papua Barat. Pembagian itu dilakukan pada jaman kekuasaan pemerintahan Belanda, dengan tujuan jangka panjang yaitu pemetaan wilayah adminitrasi pemerintahan dan rencana pengembangan pembangunan, yang berorientasi sesuai dengan karakteristik suku suku di tujuh wilayah adat.

Tujuh wilayah adat memiliki kebudayaan yang amat khas dan unik. Di antara suku-suku, ada tradisi yang hampir serupa tetapi tak sama. Kekhasan budaya suku suku di Tanah Papua yang unik itu memberi ketertarikan bagi para pengunjung, baik lokal, nasional dan internasional.

Dari tiga kategori ketertarikan di Tanah Papua, daya tarik yang paling utama dan terutama adalah daya tarik kategori kedua yaitu “ketertarikan pada kekayaan alam Papua”. Tanah Papua dilirik oleh berbagai negara, khususnya Belanda, Amerika, Inggris, dan Jepang serta Indonesia.

Bangsa Papua Barat menjadi korban konspirasi kepentingan dari pangkuan ke pangkuan. Dari Pangkuan Belanda ke Pangkuan United Nation Temporary Executive Autority (UNTEA), dan dari Pangkuan UNTEA ke Pangkuan NKRI. Sejarah mencatat bahwa Papua Barat menjadi Zona Konspirasi berbagai Kepentingan.

Untuk menguasai tanah air dan merampas kekayaan alam Papua yang terkandung di dalamnya, timbul berbagai persaingan konspirasi kepentingan ekonomi dan politik semata. Perebutan Tanah Papua oleh pihak pihak asing dan Indonesia dengan rakyat bangsa Papua telah memakan korban materi, waktu, tenaga dan bahkan korban manusia yang tidak sedikit.

Tanah Papua terkenal di manca negara bukan saja karena PT Freeport di Timika menjadi dapur tambang tembaga dan emas urutan ketiga di dunia, tetapi juga Papua Barat terkenal di dunia karena menjadi Dapur Konflik. Sejak kedaulatan bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI (1 Mei 1963) sampai detik ini Papua Barat terus membara dengan berbagai konflik.

Konflik yang berkepanjangan ini terjadi akibat dari berbagai konspirasi kepetingan itu. Untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik, Negara Indonesia dan Amerika Serikat bersekongkol untuk merebut Tanah Papua Barat dari pangkuan Belanda ke pangkuan NKRI. Kepentingan Amerika Serikat berfokus pada penguasaan ekonomi dan keamanan kawasan. Sedangkan kepentingan Indonesia adalah berfokus pada kekuasaan politik (perluasan wilayah), artinya ketertarikan pada tanah air Papua Barat dan sumber daya alamnya (kepentingan ekonomi).

Kepentingan Amerika Serikat terpenuhi ketika tanda tangan MoU tentang Operasi Tambang Freeport di Timika antara RI dan AS pada tahun 1967. Dengan adanya tanda tangan perjanjian ini, maka langkah ini memuluskan klaim atas Papua Barat oleh RI melalui refrendum yang tidak bebas dan tidak sesuai dengan hukum Internasional (cacat secara moral dan hukum) yang digelar pada tahun 1969.

Tanda tangan MoU antara AS dan RI untuk pembukaan tambang Freeport di Timika – Papua Barat sudah terbukti bahwa motivasi awal Amerika Serikat membantu Negara Indonesia menganeksasi bangsa Papua ke dalam NKRI adalah kepentingan ekonomi.

Ada pula kepentingan lain yaitu mengamankan kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia dan Pasifik dari pengaruh Negara Komunis (Rusia). Intervensi Amerika Serikat atas sengketa antara Indonesia dan Belanda terjadi karena adanya upaya RI untuk memanfaatkan perang dingin antara Rusia dan Amerika Serikat. RI memulai kerja sama dengan Rusia, khususnya dalam bidang pertahanan keamanan dengan membeli peralatan perang dari Rusia untuk menghadapi Belanda merebut tanah Papua Barat.

Strategi politik RI memang berhasil. Amerika Serikat tidak mau membiarkan musuhnya (Rusia) menguasai kawasan Asia dan Pasifik. Amerika Serikat mengintervensi sengketa Papua Barat antara RI dan Belanda. Intervensi AS dilakukan dengan tujuan RI memutuskan hubungan kerja sama dengan Rusia karena AS ambil alih secara politik untuk menyelesaikan sengketa atas Papua Barat. Dengan jalan itu, AS mempertahankan kawasan Asia dan Pasifik terbebas dari pengaruh komunis (Rusia) dan dengan itu dapat menyelamatkan kepentingan ekonomi serta keamanan AS.

Strategi Politik yang digunakan AS adalah bersekongkol dengan RI. Kemudian AS menekan Ratu Belanda melalui misi utusan presiden J. F. Kennedy dan menunjuk mantan Duta Besar AS untuk PBB (Bunker) untuk mempersiapkan sebuah proposal sebagai Road Map (peta jalan) bagi penyelesaian sengketa antara Belanda dan RI soal Papua Barat. Dalam waktu yang bersamaan, Amerika Serikat juga mempengaruhi PBB untuk mengintervensi sengketa itu.

Belanda sebelumnya mengharapkan dukungan dari Australia, Inggris dan khusus Amerika Serikat untuk mempertahankan Papua di bawah kekuasaan Belanda, ternyata Amerika Serikat melakukan manufer politik yang tidak pernah dibayangkan oleh Belanda. Inggris dan Australia pun tidak ada reaksi.

Akhir dari babak sengketa antara RI dan Belanda itu, menggelar pertemuan yang dimediasi oleh PBB atas skenario Amerika Serikat. Dalam pertemuan itu, AS meloloskan proposal yang disiapkan oleh Bunker dan diterima sebagai Road Map bagi penyelesaian sengketa atas Papua Barat. Proposal itu ditingkatkan menjadi suatu perjanjian antara RI dan Belanda. Dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak (Belanda – RI) yang disaksikan oleh PBB, tanpa melibatkan wakil rakyat bangsa Papua. Kemudian peristiwa itu dikenal dengan sebutan New York Agreement 15 Agustus 1962. Dengan adanya perjanjian itu, maka Belanda tidak memiliki kekuasaan untuk mempertahankan Papua Barat dan dengan demikian tidak akan dapat menjawab janji Belanda untuk Papua berdaulat penuh.

Belanda menyerahkan kekuasaan adminitrasi pemerintahan kepada badan PBB (UNTEA) dan pada 01 Mei 1963, UNTEA menyerahkan kekuasaan adminitrasi pemerintahan Papua ke RI untuk mempersiapkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) bagi orang Papua untuk menentukan masa depan hidup dan bangsanya. Namun, Penentuan Pendapat Rakyat Papua dengan sistem satu orang satu suara (one man one voice) diubah oleh RI dengan sistem perwakilan. Untuk itu dibentuklah sebuah badan yang diberi nama Dewan Musyawarah PEPERA.

Hanya 1026 orang Papua yang dipilih RI untuk menentukan nasib bangsa Papua mewakili 800.000 lebih orang Papua. Sebelumnya, para wakil orang Papua dibawa ke Jawa. Di sana mereka tinggal di hotel hotel berbintang dan RI mempersiapkan Wanita Seks Komersial (WSK). Para wakil orang Papua itu terbuai dengan kenikmatan sesaat dan pada saat pulang, mereka diberi sejumlah uang dan peralatan, seperti radio.

Setelah kembali, mereka ditampung di kamp khusus untuk mendoktrin dan memaksa mereka untuk menyatakan Papua bergabung ke dalam NKRI. Pada puncaknya, di bawah pemaksaan teror dan intimidasi, para wakil orang Papua yang berjumlah 1026 diberi kesempatan untuk menyatakan pilihannya.

Dari 1026 orang Papua, satu orang tidak sempat hadir karena sakit, sementara satu orang di Fak Fak menyatakan menolak NKRI dan memilih Papua merdeka penuh. Pemerintah Indonesia kecolongan dengan kejadian itu, maka para pemilih selanjutnya diintimidasi dan didoktrin secara keras dan dengan pengawasan ketat oleh militer, 1024 orang Papua sisanya memilih menyatakan Papua menjadi bagian dari teritorial Indonesia.

Kemenangan NKRI dalam PEPERA itu bukan kemenangan atas penegakan supremasi hukum, demokrasi, keadilan, kebenaran, kejujuran, hak asasi manusia dan kedamaian; tetapi kemenangan atas kekerasan (cacat moral) dan sewenang-wenang/rekayasa (cacat hukum/illegal).

Kegagalan Indonesia dalam melaksanakan Perjanjian New York, dilaporkan oleh wakil khusus PBB, Ortisan dalam sidang umum PBB. Walaupun sekitar 15 Negara anggota PBB menolak dan keluar dari ruang sidang, namun hasil PEPERA itu, PBB mencatat bahwa perjanjian New York 15 Agustus 1962 telah selesai dilaksanakan.

Dalam proses aneksasi Papua ke dalam NKRI, terbukti bahwa Amerika Serikat memainkan peranan yang luar biasa. Tanpa adanya bantuan AS, RI pasti mengalami hambatan melawan Belanda yang memiki peralatan perang modern. Namun, kepentingan ekonomi dan keamanan di kawasan Asia – Pasifik diutamakan dan menjadi paling penting bagi Amerika Serikat. Dua kepentingan inilah yang ditegakkan dan diwujudkan, sedangkan nilai nilai luhur, seperti menegakkan supremasi hukum Internasional, demokrasi, Hak Asasi Manusia, keadilan, kebenaran, kejujuran dan kedamaian diabaikan dan dikalahkan untuk mencapai kepentingan AS dan RI.

Itulah yang disebut Konspirasi Kepentingan Internasional atas aneksasi Bangsa Papua ke dalam NKRI secara sepihak melalui invasi politik dan militer. Untuk mengamankan kedua kepentingan Amerika Serikat itu, maka hak asasi politik Bangsa Papua (kemerdekaan Papua Barat) dikorbankan dan secara sepihak bangsa Papua digadaikan kepada Negara Indonesia.

Setelah bangsa Papua Barat dipaksakan bergabung dengan NKRI, konspirasi kepentingan Internasional semakin kokoh di Tanah Papua. Konspirasi itu diwujudkan dalam kerja sama bilateral dan multi-lateral. Kerja sama dalam bidang pertambangan dan perdagangan menjadi benteng pertahanan Papua Barat dalam bingkai NKRI.

Misalnya, PT Freeport di Timika – Papua Barat adalah perusaan tambang emas dan tembaga terbesar urutan ke tiga di dunia. Pemilik PT Freeport adalah J. B Mofet, pengusaha terbesar di Amerika Serikat. Puluhan negara-negara telah menanam saham di perusahaan raksasa ini. PT Freeport di Timika memberi penghasilan terbesar bagi gedung putih di Amerika Serikat dan sisanya terbagi-bagi di negara-negara pemilik saham di PT Freeport Timika. Perusahaan tambang lainnya adalah tambang minyak di Bintuni dan di Sorong (LNG Tangguh). Dua tambang terbesar ini dikelolah oleh Inggris atas kerja sama RI. Ada pula negara-negara lain menanam saham di dua perusaan tambang minyak ini. Selain tambang tambang ini, masih banyak perusahaan berskala sedang dan kecil berinventasi di Papua Barat.

Papua Barat menjadi dapur dunia. Kerja sama Inventasi dibidang tambang, perdagangan serta energi menjadi posisi tawar Indonesia untuk mempertahankan Papua Barat dalam bingkai NKRI.

Kampanye dan lobi-lobi agar Papua Barat berdaulat penuh, terhalang karena negara-negara di dunia lebih memilih mementingkan kerja sama bilateral dan multi-lateral dalam berbagai bidang dengan Negara Indonesia. Khususnya untuk di Tanah Papua menjadi wilayah yang sangat menjanjikan bagi investasi  tambang Internasional. Maka dampaknya bangsa Papua terus menjadi korban konspirasi kepentingan internasional.

Selain itu, Bangsa Papua Barat menjadi korban konspirasi Nasional Indonesia. Tujuan menganeksasi bangsa Papua Barat ke dalam NKRI, hanya karena tertarik pada tanah air dan kekayaan alam Papua. Demi mengambil Emas, Mas (orang Papua) dimarginalisasi, didiskriminasi, diminoritasi, dibunuh secara langsung maupun tidak langsung dan akibatnya sedang menuju kepunahan etnis.

Penerapan Undang-undang (UU) nomor 12 tahun 1969 tentang Otonomi Luas dan Real , yang selanjutnya diubah dalam UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, dan kini sedang diubah ke dalam UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua adalah konspirasi kepentingan Nasional yang berdimensi multi nasional karena paket-paket politik Jakarta ini didukung oleh negara-negara di dunia. Bahkan ada pula negara di dunia yang menjadi donatur untuk mendukung paket paket politik Jakarta untuk diterapkan di tanah Papua Barat, walaupun bangsa Papua menolak semua paket politik ini.

Bangsa Papua Barat juga menjadi korban Konspirasi Kepentingan Lokal. Kategori konspirasi ini dibagi ke dalam dua yaitu dibuat oleh masyarakat migrant dan orang Papua tertentu. Masyarakat pendatang dari luar Papua yang bermukim di tanah Papua memainkan peran untuk bekerja sama dengan RI dan negara lain melalui berbagai bidang kehidupan. Selain itu, pusat-pusat kota dan perekonomian di Tanah Papua telah di kuasai oleh masyarakat migrant. Masyarakat setempat berjualan di pinggir jalan dan di dekat pinggir tokoh, serta di pinggir pasar yang dibangun Pemerintah.

Ada pula orang Asli Papua tertentu menjadi agent konspirasi kepentingan lokal yang berdimensi konspirasi kepentingan nasional dan internasional, hanya untuk memenuhi kenikmatan sesaat. Orang asli Papua tertentu yang menjadi agent konspirasi ini bermain di berbagai bidang kehidupan, antara lain ada yang menjadi perintis jalan untuk membuka investasi tambang, ada yang bertindak sebagai agent mata mata (BIN), mereka menyusup masuk dalam organisasi perlawanan (musuh dalam selimut), ada yang menyusup masuk dalam LSM dan PNS, ada yang masuk dalam tubuh Gereja, ada yang menyusup masuk dalam akademisi, ada pula yang mendirikan organisasi untuk mempertahankan Papua dalam bingkai NKRI (seperti Barisan Merah Putih).

Masih banyak peran konspirasi kepentingan berskala internasional, nasional dan lokal diterapkan secara rapi dan sistematis, yang bertujuan untuk mempertahankan penjajahan NKRI dan para sekutunya, guna memperpanjang penindasan terhadap rakyat bangsa Papua Barat.

Konspirasi kepentingan internasional, nasional dan lokal itu melahirkan berbagai konflik yang berkepanjangan yang tidak ada ujung pangkalnya. Aktor pertama yang melahirkan konflik berkepanjangan adalah Negara Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB, yang secara sepihak tanpa melibatkan orang asli Papua menganeksasi bangsa Papua ke dalam NKRI.

Akibat dari aneksasi kemerdekaan bangsa Papua ke dalam NKRI itu, telah melahirkan dua masalah turunan yakni pelanggaran HAM dan ketidak-adilan dalam berbagai dimensi bidang pembangunan, akibat turunannya adalah menciptakan marginalisasi, diskriminasi, minoritasi dan pemusnahan etnis Papua.

Untuk menyelamatkan bangsa Papua dari darurat kemanusiaan terselubung yang sangat mengerikan, maka kami meminta para aktor (RI, AS, Belanda dan PBB) harus bertanggung jawab. Keempat aktor ini terlibat penuh dalam aneksasi Papua ke dalam NKRI, maka keempat aktor ini harus bertanggung jawab untuk mengakhiri penjajahan dari NKRI dan para sekutunya di Tanah Papua Barat.

Untuk itu, segera menggelar perundingan tanpa syarat antara bangsa Indonesia dan Bangsa Papua, yang dimediasi oleh PBB, Belanda, Amerika Serikat dan atau negara lain yang netral untuk membahas tuntas semua masalah Papua dan menemukan solusi alternatif yang bermartabat.

Selpius Bobii adalah Ketua Umum Front PEPERA PB, juga sebagai Tawanan Politik Papua Merdeka di Penjara Abepura, Jayapura, Papua Barat.

Tuesday, July 09, 2013,SP

Buchtar Dukung Penolakan Grasi oleh Tapol/Napol

JAYAPURA – Sikap penolakan Filep Karma CS,(para Napol/Tapol) atas grasi (pengampunan) yang akan diberikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap tahanan politik dan narapidana politik (Tapol/Napol) Papua Merdeka, mendapat dukungan dari salah satu mantan Napol Papua Merdeka, yang pernah mendekam di Lapas Abe dan juga sebagai Ketua Parlemen Nasional West Papua (PNWP), Buchtar Tabuni.

Buchtar Tabuni mengatakan memberikan apresiasi yang tinggi kepada sikap Tapol/Napol Papua Merdeka yang menolak pemberian grasi dari Pemerintah Indonesia dalam hal ini Presiden Republik Indonesia (RI), SBY.

Kata Buchtar, pemberian grasi kepada Tapol/Napol Papua Merdeka itu seolah – olah memberikan arti bahwa rakyat Papua Barat yang selalu melakukan kesalahan atau melanggar kesepakatan yang berlaku. “Seolah – olah kami (rakyat Papua Barat, red) ini berada pada posisis yang salah, sehingga harus meminta pengampunan dari kolonial Pemerintah RI,” kata Buchtar Tabuni yang nyentrik dengan kacamata hitam dan jaket loreng ketika menggelar jumpa pers, di Café Prima Garden Abepura, Selasa (4/6) kemarin siang.

Buchtar selaku pimpinan PNWP, menegaskan bahwa Pemerintah Republik Indonesia yang seharusnya meminta maaf kepada rakyat Papua Barat, karena mereka (RI) yang melakukan kesalahan dengan cara melanggar persetujuan yang telah disepakati antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Belanda pada perjanjian New York Agreement. “Jadi, mereka yang harus minta maaf kepada rakyat Papua Barat, kenapa?. Karena dalam persetujuan antara Belanda dan Indonesia dalam New York Agreement itu ada sebuah persetuan yang mengatakan bahwa hak penentuan nasib sendiri (Self Determination),” tuturnya.

Dirinya mendukung dan berterima kasih kepada Tapol/Napol Papua Merdeka karena mereka telah berani menolak grasi yang akan diberikan Pemerintah RI kepada mereka. “Sama saja kita buat pernyataan bahwa keberadaan Negara Indonesia ini di Papua Barat itu sah dan kita harus perlu minta maaf. Tapi yang jelasnya NKRI yang ada diatas Negara Bangsa Papua Barat itu tidak sah dan mereka telah melanggar persetujuan dari New York Agreement tersbeut,” ujar Buchtar.

Menurutnya, untuk sisi persoalan pembangunan, di Papua Barat sangatlah berjalan dengan baik dan itu merupakan kewajiban dari pemerintah yang sudah berjalan berdasarkan persetujuan yang telah disepakati selama ini. “Tapi mereka yang telah melanggar persetujuan yaitu hak penentuan nasib sendiri. Hal itulah yang dilanggar, sehingga Pemerintah RI harus meminta maaf dan secepatnya melaksanakan penentuan nasib sendiri (Self Determination) dengan cara One Men One Vote (Satu Orang, Satu Suara),” tegasnya.

Kata Buchtar, selama ini Pemerintah Indonesia tidak paham dengan kesepakatan yang mereka buat dengan Kerajaan Negara Belanda tentang penentuan nasib sendiri (Self Determination), sehingga mereka menilai rakyat Papua Barat sebagai separatis. “Indonesia tidak memahami keputusan yang pernah dibuat oleh Belanda, makanya mereka menuduh rakyat Bangsa Papua Barat sebagai separatis, karena mereka tidak tahu, atau mungkin mereka itu tahu tapi sengaja pura – pura tidak tahu,” imbuhnya.

Menurut Buchtar, jika Negara Indonesia ini merupakan Negara Hukum, maka semua warga harus taat dan tunduk kepada aturan dan hukum yang berlaku. “Yang lain – lain sudah dijalankan Indonesia, tapi soal perjanjian untuk melakukan penentuan nasib sendiri (Self Determination) itu yang belum jalan sampai saat ini sehingga saya katakan bahwa NKRI yang melanggar dan harus meminta maaf kepada rakyat Bangsa Papua Barat,” pungkasnya. (mir/don/l03)

Sumber: Rabu, 05 Jun 2013 06:16, Binpa

Enhanced by Zemanta

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny